c. Mempunyai harta pusaka
Penghulu memiliki harta peninggalan dari orang-orang tuanya terdahulu yang harus dijaga dan dirawat. Jika tidak akan bertambah sekurang-
kurangnya yang sudah ada itu harus dipertahankan. d.
Memelihara anak kemenakan Penghulu memiliki kewajiban untuk memelihara dan menjaga
kemenakan. Sesuai dengan pepatah adat anak dipangku, kamanakan dibimbiang anak dipangku, kemenakan dibimbing.
C. GAYA KEPEMIMPINAN PENGHULU MINANGKABAU
Sistem pemerintahan adat di Minangkabau dikenal sebagai pemerintahan nagari, dimana dipimpin oleh pemuka adat yang disebut dengan penghulu.
Pada pemerintahan nagari terdapat dua sistem pemerintahan yang mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau. Sistem ini dikenal dengan sebutan
kelarasan, yang terdiri dari kelarasan Bodi Chaniago dan kelarasan Koto Piliang.
Kedua kelarasan ini merupakan ciri khas kepemimpinan budaya Minangkabau yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang
terdahulu. Kedua kelarasan ini memiliki karakteristik yang berbeda, baik dalam kepemimpinan maupun dalam aspek adat lain, seperti struktur rumah gadang.
Perbedaan pada kedua kelarasan ini disebabkan karena perbedaan latar belakang dan pemikiran pendirinya yang berbeda, yang menyebabkan
perbedaan pada kedua datuak tersebut dalam menjalankan kepemimpinan.
Universitas Sumatera Utara
Kelarasan Bodi Chaniago dicetuskan oleh Datuak Parpatiah nan Sabatang, dimana sangat menjunjung tinggi hak-hak dan kesetaraan individu. Nilai-nilai
ini diwujudkan dalam pengambilan keputusan yang dilakukan secara musyawarah. Sedangkan Koto Piliang didirikan oleh Datuak Katumanggungan
yang dalam menjalankan kepemimpinannya menerapkan hirarki antara penghulu dan masyarakat.
Setiap nagari biasanya akan secara tegas menyatakan dirinya penganut sistem kelarasan Bodi Chaniago ataupun Koto Piliang. Namun dalam
realitanya, walaupun setiap nagari memutuskan akan menggunakan salah satu sistem kelarasan, namun keberadaan kelarasan lain tidak dilarang untuk dipakai
pada nagari tersebut. Arifin dan Gani, 2007. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam kepemimpinan Minangkabau terdapat sesuatu yang dinamis sehingga
menjadikan kepemimpinan itu tidak bersifat kaku. Sistem kepemimpinan di Minangkabau dapat dijelaskan dengan teori
kontingensi, dimana kondisi kepemimpinan yang berbeda membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Teori Kontingensi Fiedler dalam Burn, 2004
membagi pemimpin ke dalam dua kategori, yaitu pemimpin yang berorientasi sosioemosional dan pemimpin yang berorientasi kepada penyelesaian tugas.
Pemimpin yang sosioemosional yaitu pemimpin yang lebih mengutamakan hubungan yang baik dengan anggotanya dibandingkan dengan penyelesaian
tugas-tugas yang ada. Sementara itu, pemimpin yang berorientasi kepada tugas, lebih menfokuskan anggota kepada pencapaian tugas-tugas kelompok.
Universitas Sumatera Utara
Fiedler kemudian mengungkapkan bahwa ada tiga situasi yang mempengaruhi gaya kepemimpinan, yaitu hubungan antara pemimpin dan
anggota, struktur tugas, dan kekuasaan posisi. Situasi yang pertama yaitu leader-member relation atau hubungan antara pemimpin dan anggota, pada
penghulu Minangkabau hubungan tersebut merupakan hubungan penghulu dan masyarakat, apakah hubungan tersebut baik atau bersifat sulit.
Situasi yang kedua adalah task structure atau struktur tugas, yaitu bagaimana pemimpin membagi tugas kepada anggotanya. Pada penghlu
Minangkabau situasi ini adalah bagaimana penghulu membagi tugas yang ada di masyarakat, apakah secara mendetail atau tidak. Situasi yang ketiga adalah
Position power atau kekuasaan posisi, yaitu tingkat dimana pemimpin memiliki otoritas tertentu terhadap anggota. Pada penghulu Minangkabau, situasi ini
adalah bahwa seberapa besar otoritas penghulu terhadap masyarakatnya. Berdasarkan ketiga situasi tersebut, dapat diartikan bahwa gaya
kepemimpinan dapat efektif pada suatu situasi, tetapi tidak efektif pada situasi yang lainnya. Pemimpin sosioemosional dapat efektif pada hubungan antara
pemimpin itu cukup baik, struktur tugas cukup jelas dan kekuasaan dan otoritas pemimpin sedang. Sementara itu, pemimpin yang berorientasi kepada tugas
akan efektif ketika pemimpin berfokus pada pencapaian tugas, tidak mementingkan hubungan antara pemimpin dengan anggota.
Karakteristik kepemimpinan kelarasan Bodi Chaniago diantaranya menjunjung tinggi hak-hak dan kesetaraan masyarakat dalam pencapaian
mufakat dengan menggunakan sistem musyawarah dalam memutuskan suatu
Universitas Sumatera Utara
permasalahan yang terjadi. Hal ini dapat diartikan bahwa, masyarakat Bodi Chaniago dapat ikut terlibat langsung untuk memutuskan suatu permasalahan
yang terjadi bersama-sama dengan Penghulu mereka. Oleh karena itu, karakteristik kepemimpinan kelarasan Bodi Chaniago dapat dijelaskan dengan
teori gaya kemimpinan sosioemosional menurut Fiedler dalam Burn, 2004, dimana kepemimpinan sosioemosional berfokus pada kualitas hubungan yang
terjalin antara penghulu dengan masyarakat. Berbeda dengan kepemimpinan Bodi Chaniago, kepemimpinan Koto
Piliang memiliki karakteristik dimana adanya hirarki antara penghulu dengan masyarakat dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Hal ini dapat diartikan
bahwa adanya perantara yang menghubungkan penghulu dengan masyarakat. Penghulu Koto Piliang menyampaikan keputusannya melalui perantara yang
kemudian meneruskan keputusan tersebut kepada masyarakat. Proses ini dalam budaya Minang disebut dengan manitiak dari ateh. Berdasarkan karakteristik
tersebut, kelarasan Koto Piliang dapat dikaitkan dengan gaya kepemimpinan berorientasi pada tugas menurut Fiedler dalam Burn 2004, dimana dalam
proses penyelesaian masalah penghulu tidak berfokus pada hubungan interpersonal yang dijalin antara penghulu dengan masyarakat, tetapi lebih
berfokus kepada penyelesaian masalah yang dihadapi.
Universitas Sumatera Utara
D. PARADIGMA TEORITIS