Sanksi Bagi Penghulu Ilegal Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang No.32 Tahun 1954

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat memperoleh Gelar Sarjana Syariah ( S.Sy)

Oleh:

WAISUL QURNI NIM : 109044200008

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah ( S. Sy)

Oleh:

Waisul Qurni

NIM : 109044200008

Dibawah Bimbingan

Dr. KH. A. Juaini Syukri, Lcs,.MA

NIP. 19550706 199203 1 001

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(3)

(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Januari 2014


(5)

Undang No. 32 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954. Administrasi Keperdataan Islam. Ahwal as-Syakhsiyyah. Fakultas Syariah dan Hukum.Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2013. IX+86+16.

Norma yang terkandung dalam UU No. 22 tahun 1946 Jo. UU No. 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk, mengatur adanya sanksi bagi penghulu yang melakukan pencatatan perkawinan, karena mereka tidak berwenang. Akan tetapi dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak ada sanksi bagi penghulu ilegal, jelasnya dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak ada norma yang mengatur sanksi bagi penghulu ilegal (tidak resmi), padahal dalam kenyaataanya banyak para pihak khususnya kaum wanita yang dirugikan dengan masih banyaknya praktik pencatatan perkawinan abal-abal yang dilakukan oleh oknum penghulu ilegal.

Tujuan penulisan penelitian ini adalah bagaimana melihat realitas yang terjadi dalam masyarakat dengan masih banyaknya praktik pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh oknum penghulu ilegal, bagaimana sesungguhnya peran dan fungsi penghulu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan bagaimana sanksi bagi penghulu ilegal yang mencatat perkawinan padahal bukan kewenangan atau menyalahi kewenangan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, dengan melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach). Sumber data untuk mendeskripsikan masalah utama adalah sumber data primer (peraturan perundang-undangan) dan sumber data sekunder (studi kepustakaan). Teknik pengumpulan data dengan cara dokumentasi, wawancara, dan observasi. Metode analisis yang diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas adalah melalui pendekatan kualitatif.

Pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan merupakan suatu keharusan, bagi pemeluk agama Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama dan dilaksanakan oleh seorang Penghulu. Penghulu ilegal merupakan orang yang melalakukan pencatatan perkawinan yang tidak berwenang menurut peraturan perundang-undang dan orang yang menyalahgunakan kewenangan. Sanksinya menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 adalah sangat ringan, oleh karena itu harus disesuaikan dengan kondisi zaman sekarang, hal ini agar tujuan daripada hukum itu sendri tercapai. Hal ini dapat dijawab dengan adanya RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, dengan semakin jelasnya sanksi bagi penghulu ilegal dan bagi pelaku nikah sirri.

Kata kunci : Penghulu, Penghulu Ilegal, dan Sanksi Pembimbing : Dr. KH. A. Juaini Syukri, Lcs., MA DaftarPustaka : Tahun 1978 s.d Tahun 2012


(6)

vi

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada pembimbing umat, Muhammad Rasulullah SAW, bagi keluarganya, para sahabatnya, dan pengikutnya sebagai suri tauladan yang baik bagi kita semua.

Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis, juga dengan penuh kesadaran penulis menyadari bahwa skripsi yang berjudul “SANKSI BAGI

PENGHULU ILEGAL

Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 Jo.

Undang-

Undang No. 32 Tahun 1954)”

tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil.

Seperti juga perjalanan studi yang penulis lalui dari awal hingga akhir, tidak ada pekerjaan yang sukses dilalui dalam kesendirian. Dibalik keberhasilan selalu ada lingkaran lain yang memberikan semangat, motivasi bimbingan serta do’a. Maka dalam kesempatan yang baik ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH.,MA.,MM selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vii

3. Bapak Dr. K.H. A. Juaini Syukri, Lcs. M.A selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing, memberikan arahan dan meluangkan waktunya kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini selesai.

4. Kepala Seksi Bimas dan Binbaga Islam di Kementrian Agama, terima kasih atas pelayanan dan bantuannya dalam memberikan data-data yang penulis perlukan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Ketua dan seluruh staf Perpustakaan Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu dalam mendapatkan buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

6. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, S.H. M.A selaku Dosen Pembimbing Akademik

penulis selama kuliah di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

7. Seluruh civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ahwal as-Syakhsiyyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis. 8. Ayahanda tercinta H. Bunyamin Ahmad, yang telah mendidik saya dengan tegas

dan baik sehingga saya bisa seperti ini, dan Ibunda tercinta Hj. Maryam, terima kasih atas segala kasih sayang, perhatian dan motivasinya baik moril maupun materil, sujud abdiku kepada Ibunda atas doa dan pengorbanannya selama ini “Allahummagfirlii Waliwaalidayya Warhamhumaa Kamaa Rabbayaanii Shagiira”. Kepada Kakakku tercinta Mpok Riri, Bang Okip, dan Bang Robi, dan juga teruntuk keponakanku yang imut-imut: Naila dan Haikal.

9. Kakak ipar Abdul Falaq, Bang Aziez, Bang Eki dan seluruh keluarga besar Majelis

Sama’, terimakasih atas do’a dan inspirasinya. Tidak lupa pula untuk guruku sekaligus sahabatku Ustadzah Iyum, terima kasih atas petuah dan bantuannya, semoga beliau selalu diberikan kesehatan dan dimurahkan rizkinya.


(8)

viii

11.Sahabat karibku Uuf Rouf, Abdul Rauf, Lia, Izhar Helmi, Andika Kharis Ahmadi, James, Kunay, Dzikri, terima kasih atas kebaikan, dukungan dan semangat kalian, semoga persahabatan kita tidak akan pernah putus meskipun kita tidak bersama lagi.

Mengakhiri kata pengantar ini, atas semua bantuan yang telah diberikan, penulis hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah SWT semoga kebaikan yang telah diberikan dapat bernilai ibadah dan dibalas oleh Allah SWT.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada semua pihak yang membacanya, memperoleh ridha Allah SWT, dan menjadi penyemangat bagi penulis untuk bisa mengembangkan keilmuan pada masa-masa berikutnya di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dengan pesat pada era globalisasi ini.

Jakarta, Januari 2014


(9)

ix

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIAN UJIAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Studi Review ... 9

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II PERKAWINAN DI INDONESIA ... 18

A. Pengertian Perkawinan ... 18

B. Syarat Sah dan Rukun Perkawinan... 24


(10)

x

AKTA NIKAH

A. Pengertian Penghulu... 43

B. Penghulu dalam Fiqih Islam dan Undang-Undang ... 44

C. Fungsi, Tugas dan Wewenang Penghulu dalam Undang-Undang ... 52

D. Kriteria Penghulu Ilegal ... 59

BAB IV SANKSI BAGI PENGHULU ILEGAL ... 61

A. Sanksi Bagi Penghulu Ilegal ... 61

B. Analisis Penulis ... 66

BAB V PENUTUP ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Kritik dan Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 83


(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Sedangkan menurut hukum Islam perkawinan ialah suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan dasar sukarela dan keridhaan keduanya dalam rangka mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman dan kasih sayang dengan cara yang diridhai oleh Allah.2

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 suatu perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dengan demikian, perkawinan harus

1

Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 2


(12)

memenuhi ketentuan hukum Negara yang dimaksud, yakni perkawinan harus dilakukan di depan pejabat berwenang yang ditunjuk.3

Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, sehingga konsekuensi bagi setiap perbuatan hukum yang sah adalah menimbulkan akibat hukum, berupa hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak suami isteri atau juga pihak lain dengan siapa salah satu pihak atau kedua-duanya atau suami isteri mengadakan hubungan. Setiap orang yang melaksanakan perkawinan harus dilaksanakan secara sah yaitu terpenuhi syarat dan rukunnya serta resminya dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama bagi mereka yang beragama Islam, dan Catatan Sipil bagi mereka yang diluar agama Islam, dibuktikan adanya surat nikah dan surat nikah tersebut banyak manfaatnya diantaranya yaitu mendapat perlindungan hukum. Misalnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Jika sang isteri yang pernikahannya secara sirri atau tidak dicatatkan mengadu kepada pihak yang berwajib, pengaduannya sebagai isteri yang mendapat tindakan kekerasan tidak akan dibenarkan. Alasannya, karena sang isteri tidak mampu menunjukkan bukti-bukti otentik akta pernikahan yang resmi, memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan. Akta nikah akan membantu suami isteri untuk melakukan kebutuhan lain yang berkaitan dengan hukum, demikian juga dengan akta kelahiran, akibat hukum dari anak-anak yang

3

Tutiek Retnowati, Tinjauan Yuridis Penyelesaian Perceraian Perkawinan Siri Yang Telah Diisbatkan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Jurnal Fakultas hUkum Volume XX No. 20, April 2011, Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya.


(13)

dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Selain itu hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada, legalitas formal pernikahan di hadapan hukum. Pernikahan yang dianggap legal secara hukum adalah pernikahan yang dicatat oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau yang ditunjuk olehnya. Karenanya, walaupun secara agama sebuah pernikahan yang tanpa dicatatkan oleh PPN, pada dasarnya ilegal menurut hukum, terjamin hak-haknya. Isteri dan anak berhak memperoleh nafkah dan warisan dari suami / ayahnya dan terjamin keamanannya. Sebuah pernikahan yang dicatatkan secara resmi akan terjamin keamanannya dari kemungkinan terjadinya pemalsuan dan kecurangan lainnya. Misalnya, seorang suami atau isteri hendak memalsukan nama mereka yang terdapat dalam Akta Nikah untuk keperluan yang menyimpang. Maka, keaslian Akta Nikah itu dapat dibandingkan dengan salinan Akta Nikah tersebut yang terdapat di KUA tempat yang bersangkutan menikah dahulu.4

Indonesia merupakan negara hukum yang mana segala sesuatu yang bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat, seperti halnya kelahiran, kematian termasuk juga perkawinan. Perkawinan termasuk erat dengan masalah kewarisan, kekeluargaan sehingga perlu dicatat untuk menjaga agar ada tertib hukum.

4

Jenal Mutakin, Hukum Perkawinan, diaskses pada tanggal 24 Maret 2013 dari http://www.pa-cibadak.go.id/artikel/baca/28.


(14)

Pegawai Pencatat Nikah (PPN) mempunyai kedudukan yang jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia (UU No.22 Tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1954) sampai sekarang PPN adalah satu-satunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum agama Islam dalam wilayahnya. Untuk memenuhi ketentuan itu maka setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan PPN karena PPN mempunyai tugas dan kedudukan yang kuat menurut hukum, ia adalah Pegawai Negeri yang diangkat oleh Menteri Agama pada tiap-tiap KUA Kecamatan.

Kedudukan nikah dalam Al-Qur’an adalah sebagai mitsaqan ghalidzan atau ikatan yang kokoh (Q.S. An-Nisa [4] : 21). Sebagai ikatan yang kokoh maka setiap pasangan yang menikah dituntut untuk berkomitmen dalam menjaga kelangsungan perkawinan. Inilah mengapa dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian. Meskipun nikah memiliki kedudukan sebagai ikatan yang kokoh, tetapi Al-Qur’an tidak memerintahkan pencatatan akad nikah. Berbeda dengan masalah akad hutang-piutang dalam mana Al-Qur’an memerintahkan para pihak yang melakukan akad hutang-piutang untuk mencatatnya (Al-Baqarah [2] : 282). Mengapa demikian? Di sinilah perlunya kita memahami ketentuan tersebut dengan mengkaji konteks sosial budaya masyarakat Arabia pada saat pewahyuan Al-Qur’an. Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat Arabia pada saat pewahyuan Al-Qur’an merupakan masyarakat kesukuan. Sebuah suku terdiri dari beberapa klan yang terikat berdasarkan hubungan darah, dan sebuah klan terdiri dari beberapa keluarga yang


(15)

masing-masing keluarga tinggal di tenda-tenda. Nah, dalam kondisi yang demikian itu, maka masyarakat masih bersifat komunal dimana nilai-nilai kebersamaan masih begitu kuat dan kepala suku memiliki tanggung jawab untuk melindungi setiap anggota sukunya. Selain itu, ada kecenderungan bahwa pasca perkawinan, anggota suku cenderung untuk hidup menetap di daerahnya, baik karena keterbatasan sarana transportasi maupun mata pencaharian yang tidak menuntut mobilitas bahkan untuk menetap di daerah lain.

Dalam situasi yang seperti ini, maka masyarakat masih memiliki fungsi kontrol terhadap status perkawinan setiap anggotanya. Masyarakat masih dapat menjadi saksi atas ikatan perkawinan setiap anggotanya. Inilah mengapa Rasulullah menganjurkan agar setiap akad nikah diselenggarakan pesta perkawinan meski dengan seekor kambing. Tujuannya tidak lain adalah agar dipersaksikan oleh masyarakat. Dalam konteks seperti ini tentu pencatatan perkawinan belum menjadi sebuah tuntutan bagi masyarakat pada saat itu, yang mungkin mempengaruhi para ulama fiqih klasik dalam merumuskan syarat perkawinan. Berbeda dengan akad hutang-piutang, sejak awal Al-Qur’an memerintahkan agar para pihak yang terlibat melakukan pencatatan. Hal ini karena dalam akad hutang-piutang biasanya hanya diketahui oleh pihak debitur dan kreditur, sehingga untuk menjamin adanya kepastian hukum atas hak dan


(16)

kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam akad hutang-piutang, akad tersebut harus dicatat dengan benar.5

Problematika yang timbul akhir-akhir ini marak perkawinan yang dilakukan oleh penghulu tidak resmi yakni ilegal, kasus-kasus yang ada seperti perkawinan sirri bupati garut Aceng Fikri yang secara Undang-undang melanggar kode etik sebagai pejabat pemerintahan. Namun, yang menjadi permasalahan disini adalah terkait sanksi pidana bagi penghulu yang melakukan aktivitas yang mana bukan merupakan pegawai yang berwenang bisa disebut ilegal.

Peraturan perundang-undangan sekarang yang mana belum secara jelas diatur mengenai sanksi pidana bagi pelaku nikah sirri dan penghulu ilegal. Namun, sebelumnya sebenarnya sudah secara lengkap diatur terkait masalah ini yaitu di UU No. 22 tahun 1946 jo. UU No. 32 tahun 1954.

Dari permasalahan di atas penulis akan mengkaji terkait dengan sanksi

bagi penghulu ilegal dalam sebuah skripsi yang berjudul “SANKSI BAGI PENGHULU ILEGAL DALAM UU NO. 22 TAHUN 1946 JO. UU NO. 32 TAHUN 1954”.

5

Muhamad Isna Wahyudi, Nikah Siri Tidak Lagi syar'i, diakses pada tanggal 24 Maret 2013 dari www.badilag.net.


(17)

B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Dalam perkawinan di Indonesia tidak luput dari kehadiran Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau juga disebut sebagai penghulu. Oleh karena itu, penghulu bertugas sebagai wakil untuk menikahkan dan sekaligus pencatat nikah. Penghulu yang tidak mematuhi aturan perundang-undangan, maka akan terkena sanksi. Sanksi Bagi Penghulu Ilegal Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954. Norma yang terkandung dalam UU No. 22 tahun 1946 Jo. UU No. 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk, mengatur adanya sanksi bagi penghulu yang melakukan pencatatan perkawinan, karena mereka tidak berwenang. Akan tetapi dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak ada sanksi bagi penghulu ilegal, lebih jelasnya dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak ada norma yang mengatur sanksi bagi penghulu ilegal (tidak resmi), padahal dalam kenyaataanya banyak para pihak khususnya kaum wanita yang dirugikan dengan masih banyaknya praktik pencatatan perkawinan abal-abal yang dilakukan oleh oknum penghulu ilegal.

Dengan maraknya para penghulu ilegal, kemudian penulispun menspesifikasikan cakupan bahasan skripsi yang akan digarap oleh penulis dalam masalah yang berkaitan dengan Sanksi Bagi Penghulu Ilegal Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang-Undang-Undang No. 32 Tahun 1954.


(18)

2. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Disini penulis hanya akan mengkaji mengenai sanksi bagi penghulu tidak resmi (ilegal) berdasarkan UU No. 22 tahun 1946 Jo. UU No. 32 tahun 1954 yang tidak tercantum secara jelas dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ataupun PP No. 9 Tahun 1975.

2. Perumusan Masalah

Menurut UU No. 22 tahun 1946 Jo. UU No. 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk, sanksinya adalah kurungan selama 3 bulan atau denda sebanyak 100 rupiah bagi penghulu ilegal (tidak resmi) diberlakukan untuk para penghulu yang biasa disebut dengan ‘Amil maupun Na’ib. Akan tetapi, Menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan hal tersebut bertentangan dengan UU No. 22 tahun 1946 Jo. UU No. 32 tahun 1954, bahwa di dalam UU tersebut tidak termaktub Sanksi bagi penghulu ilegal/pelaku nikah sirri (nikah yang tidak tercatat) yang sangat merugikan terutama bagi kaum perempuan, juga merugikan terhadap status anak yang dilahirkannya.

Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana Pandangan Fiqh dan Undang-undang yang berlaku di Indonesia tentang pencatatan perkawinan?


(19)

2. Bagaimana tugas dan wewenang penghulu menurut peraturan perundang-undangan?

3. Bagaimana sanksi bagi penghulu tidak resmi (ilegal)?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada permasalahan yang telah disebutkan diatas, penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui Pandangan Fiqh dan Undang-undang yang berlaku di Indonesia tentang pencatatan perkawinan.

2. Untuk mengetahui tugas dan wewenang penghulu menurut peraturan perundang-undangan.

3. Untuk mengetahui sanksi bagi penghulu tidak resmi (ilegal).

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para Hakim dan praktisi hukum dalam menangani masalah perkara dibidang perkawinan terkait penetapan anak ataupun hak asuh anak pada umumunya, maupun dikalangan akademisi yang sedang bergulat di dalam bidangnya.


(20)

2. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi penulis dalam menambah wawasan, pengalaman, dan pengetahuan tentang materi kajian yang akan dibahas pada permasalahan tersebut.

3. Hasil Penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

E. Studi Review

Pembahasan dalam penelitian ini penulis melakukan tela’ah studi

terdahulu pada hasil penelitian yang pembahasannya menyerupai dengan pembahasan yang akan di angkat oleh penulis yaitu:

No. Identitas Subtansi Pembeda

1 Endra Rukmana, Pemidanaan nikah sirri berdasarkan UU

No. 22 tahun 1946 jo. UU No. 32 tahun

1954, Fakultas

Syari’ah dan

Hukum-Peradilan Agama-Hukum

Hasil penelitian berupa skripsi ini membahas

Sanksi Pidana bagi pelaku nikah siri sebagaimana telah

diatur dalam UU No. 22 tahun 1946

jo. UU No. 32 tahun 1954.

Disini penulis hanya akan membahas Sanksi bagi penghulu

tidak resmi berdasarkan UU No.

22/1946 Jo. UU No. 32/1954.


(21)

2

Keluarga Islam, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. 2011. Ade Uswatul Jamiliyah, Upaya Preventif Penghulu

dalam mengurangi pelaku perkawinan nikah sirri dan di

bawah umur, Fakultas Syariah dan

Hukum-Peradilan Agama-Hukum Keluarga Islam, UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta 2011.

Upaya preventif yang dilakukan oleh

penghulu dalam rangka mengurangi pelaku perkawinan nikah sirri dan di bawah umur.

Disini penulis hanya akan membahas Sanksi bagi penghulu

tidak resmi berdasarkan UU No.

22/1946 Jo. UU No. 32/1954.


(22)

F. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka Penulis menggunakan metode:

a. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, adalah: 1. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk

mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. 6

2. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini antara lain:

1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) ialah pendekatan dengan melakukan pengkajiian terhadap peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian skripsi ini. 7

2. Pendekatan terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal ialah untuk mengungkapkan kenyataan, sejauh mana perundang-undangan tertentu serasi secara vertikal, atau mempunyai keserasian secara horizontal

6

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Pubhlishing, 2008), h.294.

7


(23)

apabila menyangkut perundang-undangan sederajat mengenai bidang yang sama.8

Secara Vertikal: pendekatan dengan melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan yag berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan lain apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki peraturan perundang-undangan yang ada.9

Secara Horizontal: pendekatan dengan meninjau peraturan perundang-undangan yang kedudukannya sederjat atau sama.

b. Sumber Bahan Hukum

Dalam penyusunan skripsi ini Penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:

1. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan dengan Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bahan hukum primer tersebut yaitu UU No. 22 tahun 1946 Jo. UU No. 32 tahun 1954, UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

8

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali Press, 1985), h.85

9


(24)

2. Bahan hukum sekunder

Bahan Hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.10 Bahan hukum yang terdiri atas buku-buku (textbook) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de hersende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasl-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini. Bahan hukum sekunder tersebut terdiri dari buku-buku hukum, media cetak, artikel-artikel baik dari internet maupun berupa data digital.

c. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Berisis uraian logis prosedur pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bagaimana bahan hukum tersebut diinterventarisasi dan diklasifkasikan dengan menyesuaikan masalah yang dibahas.

Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, digunakan metode sebagai berikut:

1. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.11

10

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992) h.51 11


(25)

2. Metode Interview

Metode Interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.12 Dalam penulisan skrips ini Penulis akan melakukan wawancara dengan para pakar hukum, seperti hakim dan pengamat hukum lainnya.

d. Teknis Analisis Bahan Hukum

Analis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan dengan pengelolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.

Dalam analisis Bahan Hukum ini kegiatan yang dilakukan antara lain: 1. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur

tentang status Penetapan Anak dalam peraturan perundang-undangan. 2. Membuat sistematik dari pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum tersebut

berkaitan dengan masalah yang penulis angkat sehingga menghasilkan klasisfikasi tertentu.

12


(26)

e. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman

penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan suatu masalah yang diteliti. Adapun sistem penulisan skripsi ini sebagai berikut:

Pendahuluan dalam bab ini yang memuat tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi review, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Kedua dalam bab ini membahas perkawinan Indonesia meliputi penegertian, syarat sah perkawinan dan rukunnya menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, pentingnya pencatatan perkawinan dan dasar hukumnya, dan penghulu / petugas pencatat perkawinan dalam peraturan perundang-undangan.

Ketiga dalam bab ini membahas mengenai penghulu sebagai petugas pencatat akta nikah meliputi pengertian penghulu, penghulu persfektif islam dan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan tugas wewenang penghulu dalam peraturan perundang-undangan.


(27)

Keempat dalam bab ini mengenai analisa sanksi pemidanaan bagi penghulu ilegal meliputi pencatatan perkawinan perspektif Islam dan undang-undang di Indonesia, perkawinan menurut UU No. 22 tahun 1946 Jo. UU No. 32 tahun 1954 dan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Sanksi pidana bagi penghulu ilegal berdasarkan UU No. 22 tahun 1946 Jo. UU No. 32 tahun 1954 dan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Kelima dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, dalam bab ini penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang penulis lakukan sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis gunakan dalam bab. Uraian terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjut berkaitan dengan apa yang telah penulis kaji.


(28)

BAB II

PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Pengertian Perkawinan

Perkawinan menurut istilah Ilmu Fiqih dipakai perkataan “nikah” dan perkataan “zawaj”. Kata nikah atau kawin dalam literatur fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu Nikah )جاكن( dan Zawaj )جاوز(. Secara bahasa kata nikah berarti bergabung, menghimpit, menindih atau berkumpul (مض).1 Dalam al-Qur’an kata nikah mempunyai dua arti yaitu hubungan suami istri )ءطو(2

ataupun mengadakan perjanjian (دقع).3

Dalam istilah hukum islam terdapat beberapa rumusan akan arti nikah oleh ulama terdahulu yang berbeda-beda namun saling melengkapi. Meskipun demikian, definisi-definisi yang mereka berikan sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab fiqh klasik begitu pendek dan sederhana karena hanya mengemukakan hakikat utama dari suatu pernikahan, yaitu kebolehan melakukan hubungan suami isteri setelah berlangsunggnya pernikahan itu.

Dalam masalah perkawinan, para ahli fiqh mengartikan “nikah” menurut arti kiasan. Mereka berbeda pendapat tentang arti kiasan yang mereka pakai.

1

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia-Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Prenada Medai Group, 2009), h. 35-36

2

Lihat surat al-Baqarah ayat 230 3

Ali Maqri Fayumi, Misbahul Munir, (Kairo: tp, tt), h. 295-296. Lihat juga surat an-Nisa ayat 22


(29)

Imam Abu Hanifah4 memakai arti “setubuh”, sedang Imam Asy-Syafi’i5 memakai arti “mengadakan perjanjian perikatan”.6

Ulama kontemporer memperluas jangkauan definisi yang dikemukakan ulama terdahulu. Diantaranya sebagaimana yang disebutkan oleh Dr. Ahmad Ghandur dalam bukunya al-Ahwal as-Syakhsiyyah fi at-Tasyri’ al-Islami :7

Artinya :

Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban.

Dalam pendapat yang serupa Muahmmad Abu Ishrah mengatakan :8

4

Kamal Muchtar, asas-asas hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: tp, tt), h.1 5

Ibid, h. 1 6

Imam Muhammad B. 'Ali asy-Syaukani, Fathul Qadir: Al-Jaami’ Baina Fanni ar-Riwaayah wa ad-Diraayah min ‘Ilm at-Tafsiir, Jilid II, (Jakarta: Pustaka Azzam, tt), h. 357

7

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia-Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h.39

8


(30)

Artinya :

Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami isteri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.

Demikian pula di dalam Al-Qur’an, perkataan “nikah” pada umumnya diartikan dengan “perjanjian perikatan”.

Firman Allah SWT :

٢٢

)

Artinya :

Dan nikah (aqad)-kanlah orang-orang yang tidak mempunyai jodoh diantara kamu (yang merdeka) dan orang-orang yang layak (bernikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba sahayamu yang perempuan. (QS. An-Nur: 32).

Demikian pula halnya perkataan “nikah” yang terdapat didalam hadits-hadits Nabi SAW, pada umumnya berarti “perjanjian perikatan”, seperti :


(31)

Hadits Nabi SAW :

Artinya :

Telah menceritakan kepada kami Nashr bin al-Jahdhomi dan Kholil bin Amr, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Isya ibnu Yunus, dari Kholid bin Ilyas, dari Robi’ah bin Abi Abdurrahman, dari al-Qasim, dari Aisyah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: Syiarkanlah pernikahan ini dan mainkanlah rebana. (H.R. Ibnu Majjah dan At-Tirmidzi)

Menrut Prof. Mahmud Yunus, Perkawinan dalam bahasa arab ialah nikah.10Menurut Syara’, hakikat nikah itu ialah akad antara calon isteri dan calon suami untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami isteri. Menurut Nashruddin Thaha nikah adalah perjanjian dan ikatan lahir bathin antara laki-laki dengan seorang perempuan yang dimaksudkan, untuk bersama berumah tangga dan untuk mempunyai keturunan, serta harus dilangsungkan memenuhi rukun dan syarat-syaratnya menurut Islam dan Negara.11

9

Muhammad Ibn Yazid Abu Abdullah al-Qazwainiy, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Juz. I, No. 1895, h. 611. Lihat juga Muhammad Ibn 'Isa Abu 'Isa Tirmidzi as-Silmiy, Sunan at-Tirmidzi, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-'Arabi, tt), Juz. III, No. 1089, h. 398

10

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta : CV Al-Hidayah, 1975), h.1 11

Nashruddin Thaha, Pedoman Perkawinan Islam Nikah, Talak, Ruju’, (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), h. 10


(32)

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.12

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.13

Perkawinan merupakan suatu perbuatan sakral, yang dalam istilah agama disebut “Mitsaqan Ghalidzan” yaitu suatu perjanjian yang sangat kokoh dan luhur, ditandai dengan pelaksanaan ijab dan qabul antara wali nikah dengan mempelai pria, yang bertujuan untuk membentuk suatu rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.14

Peristiwa perkawinan tersebut oleh masyarakat disebut sebagai peristiwa yang sangat urgen dan religious, karenanya peristiwa nikah tersebut disamping erat kaitannya dengan pelaksanaan syariat agama, juga dari perkawinan inilah akan terbentuknya suatu rumah tangga atau keluarga yang merupakan cikal bakal bangunan suatu bangsa dan negara.

Karenanya kehadiran penghulu pada setiap peristiwa perkawinan pada hakekatnya mempunyai fungsi ganda, disamping tugas pokoknya mengawasi dan

12

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. 13

Asnawi Mochd, Himpunan Peraturan dan Undang-undang RI tentang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaan,(Kudus:Menara, 1975), h. 232

14

Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Dirjen Bimbaga Islam : 1992), h. 20


(33)

mencatat perkawinan, juga sekaligus memandu acara akad nikah agar pelaksanaannya dapat berlangsung secara tertib dan khidmat. Oleh sebab itu setiap penghulu dalam melaksanakan tugasnya dituntut untuk mampu menciptakan suasana yang khusyuk selama acara akad nikah itu berlangsung.

Realita yang sering dijumpai di lapangan, baik dari hasil pemantauan maupun pengaduan masyarakat, masih ada diantara penghulu dalam memimpin acara akad nikah yang kurang mampu untuk menciptakan suasana yang khidmat tersebut sehingga kurang memuaskan masyarakat.

Sebagaimana Firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi :

Artinya :

“Diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Ia ciptakan bagi kamu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tenang bersamanya dan cinta kasih sayang sesama kamu. Sesungguhnya yang demikian itu merupakan tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi kaum yang berfikir”. (Q.S. Ar-Ruum: 21)


(34)

B. Syarat Sah dan Rukun Perkawinan

Menurut Undang-undang perkawinan tahun 1974, bahwa Syarat Sah dan Rukun Perkawinan Adalah :15

Syarat-syarat perkawinan atau pernikahan :

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan, lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2,3, dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang

15


(35)

tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal ini.

6. Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

7. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

Adapun rukun perkawinan atau pernikahan adalah : 1. Calon mempelai pria dan wanita.

2. Wali dari calon mempelai wanita.

3. Dua orang saksi laki-laki.

4. Ijab, yaitu ucapan penyerahan calon mempelai wanita dari walinya atau wakilnya kepada calon mempelai pria untuk dinikahi.

5. Qabul, yaitu ucapan penerimaan pernikahan dari calon mempelai pria atau wakilnya.

Firman Allah SWT :

















.

٩٤

)


(36)

Artinya :

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S. Adzariyat : 49)

Menurut Kompilasi Hukum Islam, Syarat sah dan Rukun untuk melaksanakan perkawinan harus ada :16

Syarat-syarat perkawinan atau pernikahan :

1. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kuangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

2. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.

3. Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.

4. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

5. Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.

16


(37)

6. Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.

7. Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.

Adapun rukun perkawinan atau pernikahan, yaitu :

 Calon suami.

 Calon isteri.

 Wali nikah.

 Dua orang saksi.

 Ijab dan Qabul.

Selain itu, dari sebuah perkawinan yang dilaksanakan akan ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Hikmah perkawinan antara lain : 1. Menyalurkan Naluri Seks.

2. Jalan Mendapatkan Keturunan yang Sah. 3. Penyaluran Naluri Kebapaan dan keibuan. 4. Dorongan Untuk Bekerja Keras.


(38)

C. Pentingnya Pencatatan Perkawinan dan Dasar Hukumnya 1. Pentingnya Pencatatan Perkawinan

Sebagaimana disebutkan dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan bahwa perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan Perkawinan dilakukan ketika atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, yang mana isinya berlaku pula terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Akan tetapi pencatatan perkawinan tidak dapat disahkan jika melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

Pencatatan perkawinan dalam pelaksanaanya diatur dengan PP. No. 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama No. 3 dan 4 Tahun 1975. Bab II pasal 2 ayat (1) PP. No. 9 Tahun 1975, Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkannya menurut Agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954, tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

Seperti diketahui pelaksanaan perkawinan itu didahului kegiatan-kegiatan, baik yang dilakukan oleh calon mempelai maupun oleh pegawai Pencatat Perkawinan. Calon mempelai atau orang tuanya atau wakilnya memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan (pasal 3 dan 4 PP). Selanjutnya Pegawai tersebut meneliti apakah syarat-syarat


(39)

perkawinan telah dipenuhi, dan apakah tidak terdapat halangan menurut Undang-undang. Demikian pula meneliti surat-surat yang diperlukan (Pasal 5 dan 6 PP) buku ini.

Apabila ternyata dari hasil penelitian itu terdapat halangan perkawinan atau belum dipenuhi syarat-syarat yang diperlukan maka keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya (pasal 7 ayat (2) – PP). Bila pemberitahuan itu telah dipandang cukup dan memenuhi syarat-syarat yang diperlukan serta tidak terdapat halangan untuk kawin, maka Pegawai Pencatat membuat pengetahuan tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, menurut formulir yang telah ditetapkan, dan menempelnya di Kantor Pencatatan yang mudah dibaca oleh umum. Pengumuman serupa itu juga dilakukan di Kantor Pencatatan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman masing-masing calon mempelai (pasal 8 dan Penjelasan pasal 9 PP).17

Bab III pasal 7 dijelaskan bahwa Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau P3NTR yang menerima pemberitahuan kehendak Nikah memeriksa calon suami, calon isteri dan wali Nikah, tentang ada atau tidaknya halangan pernikahan itu dilangsungkan baik halangan karena melanggar hukum munakahat atau karena melanggar Peraturan Perundang-undangan tentang Perkawinan.18

17

Nasir Muchtar, KH. Pelaksanaan Undang-undang perkawinan Suatu Tinjauan Administratif, Jakarta,(Jakarta: Dirjen Bimas Islam (seminar), h. 3

18


(40)

Jadi pasal ini mempunyai dua aspek pelanggaran: a. Terhadap hukum agama.

b. Terhadap peraturan perundang-undangan tentang perkawinan.

2. Dasar Hukum Perkawinan dan Pencatatan Perkawinan

Perkawinan mempunyai peranan penting bagi manusia dalam hidup dan perkembangannya. Untuk itu Allah melalui utusan-Nya memberikan suatu tuntunan mengenai perkawinan ini sebagai dasar hukum. Adapun dasar perkawinan dalam Islam adalah firman Allah dalam kitab suci al-Qur’an diantaranya :

Firman Allah dalam surat an-Nur ayat 32:









































. Artinya :

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. An-Nuur: 32)


(41)

Artinya :

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Ruum: 21)

Disamping ayat-ayat di atas ada juga hadist nabi yang berisi anjuran-anjuran perkawinan diantaranya bahwa perkawinan itu dianjurkan bagi orang-orang yang telah dianggap mampu dan mempunyai kesanggupan memelihara diri dari kemungkinan-kemungkinan melakukan perbuatan yang tercela (terlarang). Maka perkawinan lebih baik baginya.

Sabda Nabi SAW:

Artinya:

Telah menceritakan kepada kami 'Abdan dari Abu Hamzah dari Al A'masy dari Ibrahim dari 'Alqamah berkata; Ketika aku sedang berjalan bersama 'Abdullah radliallahu 'anhu, dia berkata: Kami pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang ketika itu Beliau bersabda: "Barangsiapa yang sudah mampu (menafkahi keluarga), hendaklah dia kawin (menikah) karena menikah itu lebih bisa menundukkan pandangan dan lebih bisa menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak sanggup (manikah) maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi benteng baginya". (HR. Bukhari)

19

Muhammad Ibn Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-ja'fiy, Shahih Bukhari, (Beirt: Daar Ibnu Katsir, 1987), Juz. II, No. 1772, h. 673


(42)

Abu Yahya Zakaria Al-Anshori mendefinisikan: “Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya”.20

Zakiyah Daradjat mendefinisikan: “Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau tazwij atau semakna dengan keduanya”.21

Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi yang luas, yang juga oleh Zakiyah Daradjat: “akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami isteri) antara pria dengan wanita dan mengadakan tolong-menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”.22

Berdasarkan dalil-dalil yang menjadi dasar disyariatkannya perkawinan tersebut di atas, maka hukum asal perkawinan adalah sunnah. Sedangkan menurut kesepakatan ulama, bahwa perkawinan merupakan suatu yang disunnahkan.

Dan menurut pendapat sebagian Sarjana Hukum Islam, asal hukum melakukan nikah (perkawinan) adalah ibahah. Namun berdasarkan illatnya atau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakannya serta tujuan

20

Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenada Media, 2003), cet. 1 h. 21

Ibid h. 8 22


(43)

melaksanakannya, maka maka melakukan perkawinan itu dapat beralih hukumnya menjadi wajib, sunnah, haram, makruh dan boleh (mubah).

a. Melakukan Perkawinan Hukumnya Wajib

Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dikhawatirkan akan tergelincirnya dalam perbuatan zina seandainya ia tidak kawin, maka hukum perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib.

b. Melakukan perkawinan hukumnya sunnah

Orang yang telah mempunyai kemampuan dan kemauan untuk melangsungkan perkawinan, akan tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnah.

c. Melakukan perkawinan hukumnya haram

Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan kemampuan serta tanggung jawab atas kewajiban-kewajiban dalam berumah tangga, sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantar dirinya dan istrinya, maka hukum melakukan perkawinan baginya adalah haram.

d. Melakukan perkawinan hukumnya makruh

Jika seseorang dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaniyahnya telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat mendesak. Tetapi belum ada biaya untuk hidup sehingga kalau ia kawin hanya akan membawa kesengsaraan hidup bagi istri dan anak-anaknya, maka makruh untuknya melakukan perkawinan.


(44)

e. Melakukan perkawinan hukumnya mubah

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir melakukan perbuatan zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan isteri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera.

D. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan

Ta’rif perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata “nikah” yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wath’i). Kata nikah sendiri sering digunakan untuk arti bersetubuh (coitus), juga untuk arti akad nikah.23

Menurut Istilah Hukum Islam, terdapat beberapa definisi, diantaranya adalah :24

23

Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenada Media, 2003), cet. 1 h. 24


(45)

“Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk memperbolehkan bersenang-bersenang antara laki-laki dengan perempuan untuk menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki”.

Firman Allah SWT :

















































































.

Artinya :

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. An-Nisa: 3).

Kawin/Nikah adalah salah satu asas pokok yang hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satujalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.

Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami isteri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Betapa tidak? Dari baiknya pergaulan antara si


(46)

isteri dengan suaminya, kasih mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolong-tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.

Sabda Rasulullah SAW :

Artinya :

Telah menceritakan kepada kami Amru bin Hafsh bin Ghiyats Telah menceritakan kepada kami bapakku Telah menceritakan kepada kami Al A'masy ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Umarah dari Abdurrahman bin Yazid ia berkata; Aku, Alqamah dan Al Aswad pernah menemui Abdullah, lalu ia pun berkata; Pada waktu muda dulu, kami pernah berada bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Saat itu, kami tidak sesuatu pun, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada kami: "Wahai sekalian pemuda, siapa diantara kalian telah mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya." (H.R. Bukhari )

25

Muhammad Ibn Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-ja'fiy, Shahih Bukhari, (Beirt: Daar Ibnu Katsir, 1987), Juz. V, No. 4678, h. 1950. Lihat juga Rasyid Sulaiman H, Fiqh Islam,(Jakarta: Attahiriyah, 1954), h. 260


(47)

Artinya:

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abdullah bin Numair Al Hamdani telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yazid telah menceritakan kepada kami Haiwah telah mengabarkan kepadaku Syurahbil bin Syarik bahwa dia pernah mendengar Abu Abdurrahman Al Hubuli telah bercerita dari Abdullah bin 'Amru bahwasannya Rasulullah Saw bersabda: "Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah”. (HR. Muslim)

Artinya :

Telah menceritakan kepada kami Ali Ibn Isa Ibn Ibrahim, telah menceritakan kepada kami al-Husain Ibn Muhammad Ibn Ziyad, telah menceritakan kepada kami Abu as-Saib Salim Ibn Janadah, telah menceritakan kepada kami Asamah, telah menceritakan kepada kami Hisyam Ibn Urwah Abu al-Abbas Muhammad Ya’kub dari ayahnya dari Aisyah Ra telah berkata, telah bersabda Rasulullah Saw : Nikahilah olehmu kaum wanita itu, maka sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta (rejeki) bagi kamu”. (HR. Hakim)

26

Abu al-Husain Muslim Ibn al-Hajaj Ibn Muslim al-Qusyairiy an-Naisaburiy, Shahih Muslim, (Beirut: Daar al-Jiil, tt), Juz. IV, No. 2668, h. 178

27

Muhammad Ibn Abdullah Abu Abdullah al-Hakim an-Naisaburiy, Al-Mustadrak 'Ala Shahihain, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), Juz. II, Hadis No. 2679, h. 174


(48)

Kebanyakan manusia ingin menikah, karena disebabkan beberapa faktor, diantaranya :

1. Karena mengharapkan harta benda 2. Karena mengharapkan kebangsawannya. 3. Karena ingin melihat kecantikannya.

4. Karena agama dan budi pekertinya yang baik.

Yang pertama, karena harta. Kehendak ini datang baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Misalnya ingin menikah dengan seseorang hartawan, sekalipun dia tahu bahwa pernikahan itu tidak akan sesuai dengan keadaan dirinya dan hendak masyarakat, orang yang mementingkan pernikahan disebabkan harta benda yang diharap-harapnya atau yang akan dipungutnya.

Pandangan ini bukanlah pandangan yang sehat, lebih-lebih kalau hal ini terjadi dari pihak laki-laki, sebab hal itu sudah tentu menjatuhkan diri dibawah pengaruh perempuan dari hartanya. Hal yang demikian itu adalah berlawanan dengan sunnah alam dan titah Allah yang menjadikan manusia.

Allah telah menerangkan dalam Al-Qur’an cara yang sebaik-baiknya bagi aturan kehidupan manusia, yaitu sebagai berikut :


(49)

Firman Allah SWT :



























































































































Artinya :

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (QS. An-Nisa: 34)

Sabda Rasulullah SAW :

28

Muhammad Ibn Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-ja'fiy, Shahih Bukhari, (Beirt: Daar Ibnu Katsir, 1987), Juz. V, No. 4700, h. 1958. Lihat juga Abu al-Husain Muslim Ibn al-Hajaj Ibn Muslim al-Qusyairiy an-Naisaburiy, Shahih Muslim, (Beirut: Daar al-Jiil, tt), Juz. IV, No. 471, h. 175


(50)

Artinya :

Telah menceritakan kepada kami Musaddad Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Ubaidullah ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Abu Sa'id dari bapaknya dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung." (HR. Bukhari dan Muslim)

Yang kedua, karena mengharapkan kebangsawanannya, berarti mengharapkan gelar atau pangkat. Ini juga tidak akan memberi faedah sebagaimana yang diharapkannya, bahkan dia akan bertambah hina dan dihinakan, karena kebangsawanan salah seorang diantara suami isteri itu tidak akan berpindah kepada orang lain.

Sabda Rasulullah SAW :

Artinya :

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim Bin Muhammad Bin Araq al-Hamshiy, telah menceritakan kepada kami Amru Ibn Utsman, telah menceritakan kepada kami Abdussalam Ibn Abdul Qudus dari Ibrahim Ibn Abi ‘Ablah dari Anas Ibn Malik telah berkata, aku telah mendengar Rasulullah bersabda: Barang

29

Sulaiman Ibn Ahmad Ayub Abu al-Qasim at-Thabrani, Musnad As-Syaamiyyiin, (Beirut: Muasasah ar-Risalah, 1984), Juz. I, h. 29


(51)

siapa yang menikahi perempuan karena kehormatannya, maka Allah tidak akan menambahkannya baginya kecuali kehinaan. Barang siapa yang menikahi perempuan karena hartanya, maka Allah tidak akan menambahkannya baginya kecuali kefaqiran. Barang siapa yang menikahi perempuan karena keturunannya, maka Allah tidak akan menambahkannya baginya kecuali kerendahan, dan barang siapa menikahi perempuan dengan tidak ada tujuan selain memejamkan penglihatannya dan menjaga farjinya, atau silaturrahim, maka Allah akan memberi keberkahan pada diri si perempuan baginya, dan memberi keberkahan pada dirinya bagi si perempuan. (HR. At-Thabrani)

Yang ketiga, karena kecantikannya. Menikah karena hal ini sedikit lebih baik dibandingkan dengan karena harta dan kebangsawanan, sebab harta dapat lenyap dengan cepat, tetapi kecantikan seseorang dapat bertahan sampai tua, asal dia jangan bersifat bangga dan sombong karena kecantikannya itu.

Sabda Rasulullah SAW :

Artinya:

Dari Abdullah Ibn Umar telah berkata, aku mendengar Rasulullah Saw telah bersabda :Janganlah kamu menikahi perempuan itu karena kecantikannya, mungkin kecantikannya itu akan membawa kerusakan bagi mereka sendiri. Dan janganlah kamu menikahi mereka karena mengharap harta mereka, mungkin hartanya itu akan menyebabkan mereka sombong, tetapi nikahilah mereka dengan dasar agama. Dan sesungguhnya hamba sahaya yang hitam lebih baik, asal ia beragama. (HR. Baihaqi)

30

Ahmad Ibn al-Hsain Ibn Ali Ibn Musa Abu Bakr al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, (Makkah: Maktabah Daar al-Baaz, 1994), Juz. VII, No. 13247, h. 80


(52)

Yang keempat, karena agama dan budi pekerti. Inilah yang patut dan baik menjadi ukuran untuk pergaulan yang akan kekal, serta dapat menjadi dasar kerukunan dan kemaslahatan rumah tangga serta semua keluarga.

Firman Allah SWT :

...



























Artinya :

“Sebab itu maka wanita yang shalehah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri sepeninggal suaminya karena Allah telah memelihara (mereka).” (Q,S, An-Nisa: 34).

Sabda Rasulullah SAW :

Artinya :

Dari Anas bin Malik RA telah berkata, Rasulullah SAW telah bersabda: Barang siapa menikahi seorang perempuan karena hartanya, kecantikannya, maka Allah akan melenyapkan harta dan kecantikannya itu, barang siapa menikahi seorang perempuan karena agamanya niscaya Allah mengaruniainya dengan harta dan kecantikannya. (HR. At-Thabrani)

31

Sulaiman Ibn Ahmad Ayub Abu al-Qasim at-Thabrani, Musnad As-Syaamiyyiin, (Beirut: Muasasah ar-Risalah, 1984), Juz. I, h. 32


(53)

BAB III

PENGHULU SEBAGAI

PEGAWAI PETUGAS PENCATAT AKTA NIKAH

A. Pengertian Penghulu

Penghulu atau yang biasa disebut Pegawai Pencatat Nikah (PPN) ialah Pegawai Negeri yang diangkat oleh Menteri Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 pada tiap-tiap Kantor Urusan Agama Kecamatan.1

PPN mempunyai kedudukan jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia sejak keluarnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 sampai sekarang ini, sebagai satu-satunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut agama Islam dalam wilayahnya.

Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1976 menunjuk Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi atau yang setingkat sebagai pejabat yang berhak mengangkat dan memberhentikan Pegawai Pencatat Nikah atau wakilnya, menetapkan tempat kedudukan dan wilayahnya setelah terlebih dahulu menerima usul dari Kepala Bidang Urusan Agama Islam/Bidang Bimas Islam/Bidang Bimas dan Binbaga Islam.

Instruksi Kepala Jawatan Urusan Agama Nomor 3 Tahun 1960 menyatakan bahwa Kepala KUA kecamatan dan PPN pada prinsipnya harus di

1

Departemen Agama R.I. Direktorat Jenderal Bimbingan Mayarakat Islam dan Urusan Haji, Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Islam, (Jakarta: 1991/1992), h. 1


(54)

satu tangan dan Instruksi Kepala Jawatan Urusan Agama Nomor 5 tahun 1961 menyatakan bahwa untuk dapat diangkat menjadi PPN harus lulus testing.

Oleh karena itu para pejabat yang berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan PPN harus memperhatikan benar tentang kedua hal tersebut di atas. Dalam hal ini terutama sekali adalah Kepala Bidang Urusan Agama Islam/Bidang Bimas Islam/Bidang Bimas dan binbaga Islam di Provinsi karena ia yang mengusulkan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama yang bersangkutan.

Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka PPN hanya mengawasi nikah dan menerima pemberitahuan rujuk saja. PPN tidak mengeluarkan Kutipan Buku Pendaftaran Talak dan Kutipan Buku Pendaftaran Cerai kepada pihak-pihak yang bersangkutan karena proses cerai talak dan cerai gugat diselesaikan di depan sidang Pengadilan Agama dan sekaligus Pengadilan Agama mengeluarkan Akta Cerai Talak dan Cerai Gugat bagi yang bersangkutan.

B. Penghulu Dalam Fiqh Islam dan Undang-Undang

Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah SAW maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat,


(55)

pernikahan yang telah dilakukan hendaknya dii’lankan, diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-'ursy.

Rasulullah SAW bersabda:

Artinya :

Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana. Selanjutnya Beliau bersabda :

Artinya :

Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya dari Humaid dari Anas dia berkata; Abdurrahman datang kepada kami, lalu Nabi SAW mempersaudarakan antara dia dengan Sa'd bin Ar Rabi'. Lalu Nabi SAW bersabda: "Adakanlah walimah walau dengan seekor domba. (H.R. Bukhari)

2

Muhammad Ibn Yazid Abu Abdullah al-Qazwainiy, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Juz. I, No. 1895, h. 611. Lihat juga Muhammad Ibn 'Isa Abu 'Isa Tirmidzi as-Silmiy, Sunan at-Tirmidzi, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-'Arabi, tt), Juz. III, No. 1089, h. 398

3

Muhammad Ibn Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-ja'fiy, Shahih Bukhari, (Beirt: Daar Ibnu Katsir, 1987), Juz. V, No. 5618, h. 2258


(1)

Penghulu ilegal, maka menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954, yaitu yang terdapat dalam pasal 3 ayat (2) dan ayat (4). Sanksi pada pasal 3 ayat (2), bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran, yaitu menikahkan padahal bukan tugasnya untuk menikahkan (penghulu ilegal), maka pihak tersebut dijatuhi hukuman pidana selama-lamanya 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,-. Sedangkan Sanksi pada pasal 3 ayat (4), bagi para pihak yang mengatasnamakan penghulu resmi atau mengaku-ngaku sebagai penghulu (penghulu ilegal), sanksinya adalah hukuman pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah). Mengenai sanksi yang dijatuhkan lebih dominan mengarah kepada sanksi denda. Akan tetapi, sanksi denda yang tercantum dalam pasal 3 Undang-undang No. 22 Tahun 1946 itu sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan ekonomi zaman sekarang sehingga perlu adanya penyesuain dengan besaran sanksi denda tersebut. Penyesuaian sanksi denda yang dibebankan itu harus merujuk kepada SEMA No.04/Sip/1970 tertanggal 02 Maret 1970 yang mengatur mengenai besaran sanksi denda harus disesuaikan dengan harga emas.

4. Ketidaan peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi kepentingan terjaganya hak konstitusional warga negara dalam bidang perkawinan, semakin mendapat tempat setelah adanya RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, dalam RUU tersebut sudah semakin jelas dan


(2)

tegas sanksi bagi pelaku penghulu ilegal, juga bagi mereka yang melakukan pernikahan siri atau pernikahan yang tidak tercatat, jika RUU tersebut disahkan oleh legislator di DPR, maka tujuan dan perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia akan semakin terjamin.

B. Kritik dan Saran

Agar tidak ada lagi penghulu ilegal, maka diharuskan bagi setiap Penghulu untuk menikahkan setiap orang yang ingin menikah agar mencatatkan pernikahannya ke kantor KUA. Karena apabila tidak dicatatkan, maka pernikahan tersebut dianggap tidak resmi/ilegal. Dan bagi penghulu ilegal yang tidak mencatatkannya di KUA maka akan dikenai sanksi pidana berupa denda maupun kurungan sesuai dengan aturan yang diberlakukan Negara ini.

Harusnya tidak ada lagi gratifikasi Penghulu, agar tidak ada lagi masyarakat yang tidak mencatatkan pernikahan. Dan solusi untuk menghindari masyarakat untuk tidak mencatatkan pernikahannya diharapkan untuk digratiskan biaya pernikahan, ataupun tidak adanya praktek gratifikasi atau pungutan liar dalam praktek biaya pernikahan di luar KUA.

Agar DPR RI segera mungkin mensahkan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan menjadi Undang-undang, hal ini dimaksudkan agar tujuan dan perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia semakin terjamin, dan hak konstitusional kaum wanita yang selama ini banyak dirugikan, akan semakin terjamin dan terlindungi.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya, DEPAG RI

Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Abdurrahaman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2012.

Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta : Prenada Media, 2003.

Abu al-Husain Muslim Ibn al-Hajaj Ibn Muslim al-Qusyairiy an-Naisaburiy, Shahih Muslim, Beirut: Daar al-Jiil, tt. Juz. IV, No. 471

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 1999. Ahmad Ibn al-Hsain Ibn Ali Ibn Musa Abu Bakr al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi

al-Kubra, Makkah: Maktabah Daar al-Baaz, 1994, Juz. VII, No. 13247. Ali Maqri Fayumi, Misbahul Munir, Kairo: tp, tt.

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia- Anatara Fiqh

Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana Prenada

Medai Group, 2009.

Arso Sosroatmojo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta:Bulan Bintang, 1981.

Asnawi Mochd, Himpunan Peraturan dan Undang-undang RI tentang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaan,Kudus:Menara, 1975.

Bambang Suggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.


(4)

Departemen Agama R.I. Direktorat Jenderal Bimbingan Mayarakat Islam dan Urusan Haji, Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Islam, Jakarta: 1991/1992

Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Dirjen Bimbaga Islam : 1992

Drs. Natsir Muchtar, Seminar Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan (Jakarta: 1974

Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang, Jakarta: Logos, 1998

Imam Muhammad B. 'Ali asy-Syaukani, Fathul Qadir: Al-Jaami’ Baina Fanni ar-Riwaayah wa ad-Diraayah min ‘Ilm at-Tafsiir, Jilid II, Jakarta: Pustaka Azzam, tt

Jenal Mutakin, Hukum Perkawinan, diaskses pada tanggal 24 Maret 2013 dari http://www.pa-cibadak.go.id/artikel/baca/28.

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Pubhlishing, 2008.

Kamal Muchtar, asas-asas hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: tp, tt Kompilasi Hukum Islam, Buku I : Hukum Perkawinan, Jakarta: Fokusmedia ,

2007

M. Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta : Bulan Bintang, 1983

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta : CV Al-Hidayah, 1975

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : PT. Hidakarya Agung, tt Muhamad Isna Wahyudi, Nikah Siri Tidak Lagi syar'i, diakses pada tanggal 24


(5)

Muhammad Ibn Abdullah Abu Abdullah al-Hakim an-Naisaburiy, Al-Mustadrak 'Ala Shahihain, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990, Juz. II

Muhammad Ibn 'Isa Abu 'Isa at-Tirmidzi as-Silmiy, Sunan at-Tirmidzi, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-'Arabi, tt, Juz. III

Muhammad Ibn Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-ja'fiy, Shahih Bukhari, Beirut: Daar Ibnu Katsir, 1987, Juz. V

Muhammad Ibn Yazid Abu Abdullah al-Qazwainiy, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar al-Fikr, tt

Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan, Mimbar hukum No. 26 Tahun VII, Jakarta: Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, Mei-Juni, 1996

Nashruddin Thaha, Pedoman Perkawinan Islam Nikah, Talak, Ruju’, Jakarta : Bulan Bintang, 1967

Nasir Muchtar, KH. Pelaksanaan Undang-undang perkawinan Suatu Tinjauan Administratif, Jakarta, Jakarta: Dirjen Bimas Islam

Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat; Menurut Hukum Tertulis di Insonesia dan Hukum Islam, Jakarta; Sinar Grafika, 2010

Rasyid Sulaiman H, Fiqh Islam, Jakarta: Attahiriyah, 1954

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali Press, 1985.

________, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992. Suharsismi Arikunto, Prosedur Penelitan, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Sulaiman Ibn Ahmad Ayub Abu al-Qasim at-Thabrani, Musnad As-Syaamiyyiin, Beirut: Muasasah ar-Risalah, 1984), Juz. I.


(6)

Tarsa dan Farid Wadjdi, Tata Cara Pelayanan Prima Kantor Urusan Agama Kecamatan, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama 2005. Tutiek Retnowati, Tinjauan Yuridis Penyelesaian Perceraian Perkawinan Sirri

Yang Telah Diisbatkan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Jurnal Fakultas hukum Volume XX No. 20, April 2011, Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-undang No. 22 Tahun 1946 Jo. Undang-undang No. 32 Tahun 1954. UUP di Indonesia Peraturan dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Pradnya Pramita,