Hasil Analisa Data HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Bagian ini akan menguraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami gaya kepemimpinan penghulu Minangkabau, maka data akan dijabarkan, dianalisa dan diinterpretasi per-tema, dan disesuaikan dengan teori yang terdapat pada Bab II Tinjauan Pustaka. Kutipan dalam setiap bagian analisa akan diberi kode-kode tertentu karena satu kutipan dapat saja diinterpretasikan beberapa kali. Contoh kode yang digunakan adalah: W3B3b.11-171 maksud kode ini adalah: W1 merupakan wawancara ketiga; B3: ahli budaya ketiga; b.11-17: baris ke 11 sampai 17, 1 adalah analisa ke-1.

A. Hasil Analisa Data

Kepemimpinan Minangkabau bermula dari kepemimpinan dua penghulu awal Minangkabau, yaitu Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah nan Sabatang. Dua datuk ini merupakan pelopor sistem kepemimpinan yang ada di Minangkabau, yang lebih dikenal dengan sistem kelarasan. Kelarasan Bodi Chaniago didirikan oleh Datuak Parpatiah nan Sabatang dan Kelarasan Koto Piliang didirikan oleh Datuak Katumanggungan. Kedua kelarasan ini memiliki kekhasan masing-masing dalam menjalankan pemerintahan di nagari Minangkabau. Hal ini dikarenakan pendiri Universitas Sumatera Utara kedua kelarasan ini berasal dari latar belakang yang berbeda dan menganut nilai yang berbeda, sehingga berbeda dalam menjalankan kepemimpinan. Kedua kelarasan yang bertolak belakang ini hidup dalam masyarakat Minangkabau, yang tidak hanya teraktualisasi pada dua nagari yang berdampingan tetapi juga terkadang terdapat dalam suatu nagari yang sama. Oleh karena itu sebenarnya tidak ada aturan multak untuk memakai salah satu sistem kelarasan tersebut. Biasanya penerapan sistem kelarasan ini sesuai dengan pewarisan yang dilakukan penghulu yang sebelumnya, tetapi dapat juga berdasarkan hasil kesepakatan yang dilakukan masing-masing nagari. Seperti yang diungkapkan responden berikut: “Tidak satupun nagari sekarang ini yang memakai Koto Piliang. Tidak satupun nagari yang memakai Bodi Chaniago tok. Kedua-duanya ada orang memakai. Di Batipuah, kami terang terangan memakai adat Koto Piliang, lakek Penghulu tetap menurut Koto Piliang, tetap sama menurut Bodi Chaniago.” W1B2b.666-66837 Penghulu di Minangkabau merupakan seorang pemimpin yang berasal dari kaumnya yang terdiri dari orang-orang yang terikat pertalian menurut garis keturunan ibu. Penghulu mengemban tugas sebagai pemelihara kaumnya, dimana dia harus mengelola harta pusaka, mengatur pewarisan harta pusaka, dan menyelesaikan perselisihan yang terjadi di kaumnya. Dikarenakan tugasnya tersebut penghulu haruslah yang berasal dari kaumnya sendiri sehingga memahami seluk beluk persoalan kaumnya, dan orang yang mensejahterakan masyarakat. Penghulu dikatakan gadang karano dihamba, tinggi karano dianjuang, yang artinya adalah penghulu itu tidak besar sendiri tetapi karena dihamba oleh kaumnya dan tinggi karena diangkat oleh kaumnya. Oleh karena itu Universitas Sumatera Utara penghulu harus berhati-hati dalam menjalankan kepemimpinannya karena penghulu juga berasal dari kaumnya sehingga jika tidak melakukan amanahnya maka mudah saja untuk menurunkannya kembali, seperti yang diungkapkan oleh responden berikut: “Pemimpin itu hanyalah didahulukan selangkah, ditinggi kan seranting kan gitu. Tidak sesuatu yang serba sempurna. Orang Minang tidak, menganggap ya manusia biasa. Kalaupun gadang ya, gadang karano dihamba, tinggi karano dianjuang. Pemimpin itu tidak tinggi dengan sendirinya, tidak besar dengan sendirinya, tapi dianjung. Tinggi itu karena rakyat yang meninggikan, besarnya karena dihamba. Karena dia hanya dulu selangkah tinggi seranting, diperingatkan oleh orang Minang. Hati- hati yang di- atas, dibawah akan maimpok. Jadi bukan yang di atas yang akan maimpok yang di bawah, tapi yang di bawah ini yang akan maimpok. Artinya diperingkatkan, kalau pemimpin itu diberi amanah ternyata tidak menjalankan amanahnya dengan baik, hati-hati kami akan segera me nurunkan. Karena tingginya hanya seranting mudah menurunkannya. Dulunya cuma selangkah, bisa ditarik ke belakang. Jadi posisi pemimpin begitu. W1B3b.30-534 Disebutkan juga bahwa penghulu itu didahulukan selangkah, ditinggikan sarantiang, didahulukan selangkah, ditinggikan seranting,. Maksud dari pepatah ini adalah bahwa penghulu itu ditinggikannya hanya seranting, dan didahulukannya hanya selangkah bukan karena status sosialnya atau jabatan yang dibawanya melainkan karena penghulu itu memiliki fungsi sebagai pemimpin di Minangkabau. “Jadi sebenarnya antara pemimpin dan orang yang dipimpin itu setara. Cuma pemimpin ini didahulukan karena fungsi nya. Jadi bukan status sosialnya sebenarnya. Tapi karena fungsinya tentu harus dihormati, makanya didahulukan selangkah.” W1B1b.19-242 Universitas Sumatera Utara Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin itu jaraknya tidak jauh, tetapi berada dekat dengan masyarakatnya, sehingga mudah untuk menyusulnya. Penghulu bukanlah utusan dewa, melainkan orang yang berasal dari kaumnya yang hanya didahulukan pun selangkah saja dan ditinggikan hanya seranting. Dikarenakan penghulu dekat dengan masyarakatnya maka pemimpin itu bisa mendengar dan melihat permasalahan yang dihadapi oleh masyarkatnya. Seperti yang diungkapkan responden berikut: “Jadi kalau kita berbicara mengenai konsep kepemimpinan menurut adat budaya Minangkabau, pemimpin itu didahulukan selangkah ditinggikan seranting, itu konsep dasarnya. Jadi artinya antara pemimpin dan orang yang dipimpin tidak jauh. Dia bisa mendengar dan melihat permasalahan masyarakatnya. Masyarakat pun bisa menjangkau pemimpin jika dia terlalu cepat berjalan.” W1B1b.1-71 “Iya karena Bodi Chaniago ini dalam istilah untuk semua adat. Baik Bodi Chaniago maupun Koto Piliang, penghulu itu kan tingginya seranting, dahulunya selangkah. Di Bodi Chaniago itu yang dipakai. Karena dia da- hulunya hanya selangkah, tingginya hanya seranting, maka lebih dekat dia bermusyawarah dengan anak kemenakan.” W3B3b.77-837 Penghulu hanya berkuasa atau hanya bisa memimpin di kaumnya saja. Seorang penghulu dari rumah gadang maupun dari suatu nagari tidak bisa memimpin kaum dari rumah gadang lain maupun dari nagari lain. Hal ini dikarenakan kekuasaan penghulu hanya berlaku pada kelompok matrilineal dia saja, sedangkan kelompok matrilineal lain juga memiliki penghulu masing- masing. Seorang laki-laki yang merupakan seorang penghulu, ketika dia berada di rumah istrinya dia tidak memiliki kekuasaan apapun, bahkan kepada anak- Universitas Sumatera Utara anaknya sendiri dalam urusan adat. Rumah istrinya sudah mempunyai mamak dan laki-laki tersebut disebut dengan sumando jika berada pada rumah istri. Berikut penuturan responden: “Kalau di adat tidak ada hubungan kita. bapak dan anak. Di adat mamak dan kemenakan. Kalau bapak itu mamak pula di kampungnya. Sumando bagi Tidak boleh mencampuri urusan kita. Tapi kalau di rumah gadang boleh. Itu bapak rajanya. Rumah beraja qadhi. Qadhi itu bapak. Tapi kalau kampung beraja mamak. Halaman, pekarangan, selama itu tanah pusaka. Rumah gadang dibangun di atas tanah pusaka. Jadi raja lah kita di rumah itu. Tapi kalau ke halaman jangan coba- coba, kena nanti oleh mamak. Itu bedanya kalau Minangkabau” W2Pb.75-842 Jadi hal-hal yang berhubungan dengan adat tidak boleh dicampuri oleh pihak lain diluar dari anggota rumah gadang tersebut. Tetapi hal lain seperti mata pencaharian tetaplah tanggung jawab orang sumando. Seperti pepatah adat anak dipangku kamanakan dibimbiang anak dipangku kemenakan dibimbing. Hal ini menandakan bahwa di Minangkabau seorang laki-laki itu memiliki dua kewajiban, bertanggung jawab terhadap anaknya sebagai seorang ayah dan bertanggung jawab terhadap kemenakannya sebagai seorang penghulu. “Anak dipangku itu kan dengan harta pencahariannya dan kemenakan dibimbing dengan harta pusaka. Kalau memangku anak kan bisa selama tangan bisa memangku, kalau memimbing ya sepanjang jalan, karena dimbimbing selagi kemenakan mau dibimbing maka mamak akan membimbingnya. Untuk laki-laki Minang itulah yang dipakai, tidak hanya untuk penghulu. W3B3b.354-357 Seorang penghulu ketika menghadapi persoalan yang ada pada kaumnya haruslah berdasarkan pendapat masyarakatnya, tidak boleh penghulu sendiri yang Universitas Sumatera Utara menentukan. Hal ini dikarenakan prinsip masyarakat Minangkabau itu menganggap orang sama dan sejajar sehingga masyarakat bebas memberikan pendapatnya dan pendapat tersebut dijadikan sebagai bahan pertimbangan ketika membuat keputusan. Seperti yang diungkapkan responden berikut: “Sebab dia mengakui hak tiap orang. Dia menghargai dan mengakui hak- hak setiap manusia. Sebab dia tidak mengklaim bahwa dia yang benar.” W4Pb.601-60318 “Prinsip orang Minang begitu juga, menganggap orang itu sama.” W1B2b.24-306 Kesediaan penghulu untuk menerima masukan dari masyarakat ini berlaku pada kedua sistem kelarasan, namun terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya. Pengambilan keputusan di Bodi Chaniago dinamakan mambasuik dari bumi muncul dari bumi, dimana keputusan tersebut berasal dari aspirasi masyarakat melalui proses musyawarah dan mufakat. Setiap persoalan yang terjadi di masyarakat harus diselesaikan dengan cara musyawarah. Musyawarah tersebut melibatkan penghulu, perangkat adat, serta pihak-pihak yang terkait lainnya. Penghulu mendengar semua pendapat yang hadir pada musyawarah tersebut. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara berikut: “Bodi Chaniago lebih ya dominan demokrasi. Keputusannya itu lebih banyak dimusyawarahkan.” W1B2b.139-14018 “Dalam sistem demokrasi kan disuruh aspirasi itu disampaikan. Pemimpin itu membuka diri untuk berdiskusi dengan rakyatnya.” W1B2b.165-16721 Universitas Sumatera Utara “Menurut dia segala sesuatu yang akan diberlakukan kepada masyarakat dimusyawarahkan dulu.” W4Pb.34-362 “Kalau di Bodi Chaniago, itu duduk dengan penghulu dengan cadiak pandai dengan ulama sehamparan masyarakat banyak. Menyampaikan apa yang terasa.” W3B3b.28-313 Musyawarah yang dilakukan oleh kelarasan Bodi Chaniago mengenai semua aspek kehidupan masyarakat. Terutama mengenai anak dan kemenakan, sangat banyak hal-hal yang dimusyawarahkan oleh penghulu. Kesalahan- kesalahan yang dilakukan oleh anak dan kemenakan misalnya. Apa kesalahan yang dilakukan, apa tindakan yang harus dilakukan selanjutnya, dan bagaimana caranya agar kesalahan tersebut tidak terulang kembali. Ataupun hal-hal yang berhubungan dengan sengketa adat, mengenai harta pusaka yang perlu dilakukan musyawarah yang melibatkan anggota kaum, dan sebagainya “Apapun yang terjadi harus dimusyawarahkan. Persoalan menggadai sawah, persoalan mau beristri, persoalan harta pusaka, bagaimana mendidik anak, segala macamnya itu harus dimusyawarahkan. Segala aspek kehidupan” W3B2b.203-206 Bersangkutan dengan acara-acara adat juga perlu dilakukan dengan musyawarah. Seperti pengangkatan penghulu dimana tradisi kelarasan Bodi Chaniago, proses pergantian penghulu dilakukan setelah penghulu sebelumnya sudah meninggal. Hal ini dikarenakan pada kelarasan Bodi Chaniago, posisi penghulu itu digilirkan pada setiap paruik yang ada. Jadi setiap kemenakan yang ada pada kelompok paruik itu memiliki peluang untuk dijadikan penghulu. Setiap Universitas Sumatera Utara anak dari saudara perempuan memiliki hak untuk menggantikan posisi mamaknya. Oleh karena itu perlu dilakukan musyawarah untuk mendiskusikan kemenakan mana yang pantas dan memiliki kapasitas untuk menggantikan penghulu sebelumnya. Proses ini tidak dilakukan di kelarasan Koto Piliang, karena pada kelarasan Koto Piliang, penghulu digantikan oleh kemenakan yang ada di bawahnya. Seperti yang diungkapkan responden berikut: “Sistem pengangkatan penghulunya kalau Bodi Chaniago, hilang baganti namanya. Jadi bergilir di dalam kaum itu. Misalnya sekarang dari paruik ini, kalau meninggal paruik yang ini menggantikan. Tapi kalau orang Koto Piliang tidak, langsung. Misalnya anak bundo penghulu, kalau dia meninggal langsung kemenakannya Jadi langsung digantikan. Tapi kalau Bodi Chaniago tidak bisa langsung. Sudah dikubur penghulu yang dulu baru dicari penggantinya. Karena dia dipilih dulu di antara calon-calon yang ada.” W1B1b.113-12211 Selain mendiskusikan mengenai persoalan masyarakat dan hal yang berhubungan dengan adat, musyawarah juga dilakukan sebelum melakukan kegiatan bersama. Musyawarah tersebut mendiskusikan apa yang akan dilakukan pada kegiatan tersebut, kemudian dilakukan pembagian tugasnya. Hal ini sesuai dengan ungkapan responden berikut: “Di bidang pertanian contohnya. Kalau Datuak Parpatiah, untuk melakukan semacam gotong royong ke sawah, bongkar bandar, itu melalui musyawarah dan mufakat.” W4Pb.512-51513 “Darimana mulai, apa yang akan dibawa, benda-benda apa. Dimusyawarahkan dulu.” W4Pb.530-53115 Universitas Sumatera Utara Setelah semua pendapat dikumpulkan, penghulu kemudian menyimpulkan pendapat tersebut untuk dibuat sebagai keputusan yang akan diberikan kepada masyarakat. Berikut pernyataan responden: “Kan sudah ada usul usul usul. Kemudian diresum, diformulasikan. Nah ini hasil rapat kita tadi, kan sepakat kita semuanya.” W1B3b.299-30212 Semua pendapat dikumpulkan karena ingin melihat yang mana yang paling tepat, oleh karena itu semuanya dikumpulkan dulu agar bisa dibandingkan sehingga keputusan yang dihasilkan lebih sesuai, sebagaimana yang dinyatakan responden berikut: “Minimal nanti untuk bahan perbandingan. Hal-hal yang benar dilihat salahnya dulu. Pendapat orang ini salah, pendapat kita benar, tapi dilihat yang salahnya dulu, punya nilai tidak pendapat kita kalau dibandingkan dengan yang salah itu.” W4Pb.422-42810 Penghulu Koto Piliang ketika mengambil keputusan juga mempertimbangkan aspirasi masyarakat tetapi tidak bertemu langsung dengan masyarakat. Penghulu dan masyarakat dihubungkan oleh seorang perantara yaitu seorang Manti yang bertugas menyampaikan informasi di dalam nagari. Kelarasan Koto Piliang memiliki hirarki otoritas, sehingga terdapat jenjang-jenjang dalam kepemimpinannya. Penghulu dalam kelarasan itu mendapat peringkat hierarkis dan penghulu dengan tingkat paling tinggi yang membuat keputusan di dalam nagari tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh responden berikut: “Dia harus ada manti. Penghulu dalam Koto Piliang, dia tidak bisa sampai ke rakyat. Tidak levelnya berbicara dengan rakyat kalau tidak diperlukan.” W1B3b.81-833 Universitas Sumatera Utara “Di Koto Piliang kan itu juga petuahnya. Penghulu tinggi seranting, dahulu selangkah. Tapi tidak bisa dilangkahi. Karena hierarkinya, kalau istilahnya tidak usah repot-repot lah. Jadi dia harus melalui Manti tidak perlu dengan orang banyak.” W3B3b.83-879 Manti tidak hanya menyampaikan informasi dari penghulu ke masyarakat, tetapi juga dari masyarakat ke penghulu sehingga manti bisa menyampaikan informasi dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas Persoalan itu bisa datangnya dari penghulu dan bisa datangnya dari masyarakat. Seperti penyataan responden berikut: “Bukan, Koto Piliang itu bajanjang naiak batanggo turun. Artinya, bisa dari atas ke bawah, bisa dari bawah ke atas. Dari atas ke bawah, artinya dari penghulu ke masyarakat. Tapi ada Manti pembatasnya. Kalau dari bawah ke atas, yang masyarakat banyak ini tidak boleh pula ke penghulu. Dia harus ke Manti ke atasnya. Sampai di Manti baru Manti yang bercerita ke penghulu.” W3B3b.11-131 Jika persoalan tersebut berasal dari penghulu, maka penghulu menyampaikan informasi tersebut kepada manti, yang menyampaikannya kepada masyarakat untuk dimusyawarahkan. Setelah selesai dimusyawarahkan, masyarakat menyampaikan hasil kesepakatan kepada manti dan manti menyampaikannya ke penghulu. Barulah penghulu kemudian yang mengambil keputusan akhirnya, apakah ada yang perlu ditambahkan oleh penghulu atau dikurangi. Sebaliknya juga begitu, jika persoalan datang dari masyarakat, maka masyarakat bermusyawarah terlebih dahulu, kemudian menyampaikan hasilnya kepada manti. Informasi tersebut diteruskan oleh manti kepada penghulu untuk disetujui atau tidak oleh penghulu. Pengambilan keputusan yang seperti ini disebut dengan Universitas Sumatera Utara bajanjang naiak batanggo turun berjenjang naik, bertangga turun. Artinya ada proses bertahap atau berjenjang yang dilakukan dalam pemgambilan keputusan. Hal ini sesuai dengan pernyataan responden: “Yang ada pikiran saya begini, begini, kata penghulu ke manti. Coba saya sampaikan dulu ke bawah, kata manti. Dikumpulkan orang oleh manti, kata Penghulu begini, begini. Oh tidak suka kami, kami sukanya begini. Diukur oleh manti memang benar. Diteruskannya ke atas. Seperti ini pemikiran masyarakat, kata manti kepada penghulu, sesuai sama pemikiran datuak tadi tapi ini tambahannya.” W1B3b.84-914 “Kalau Koto Piliang tentang perkara alek dan segala macam tu kita menyampaikan ke Manti. Itu yang dari bawah ke atas. Oleh Manti disampaikan ke penghulu. Oleh penghulu ditelaahnya, kalau sekarang ini dia pelajari, dia teliti, kalau betul menurut dia baru disahkan. Yang sudah dibarih itu dirubah lagi itu. Artinya berjalan itu sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga memakai adat dalam nagari. Tidak boleh dirubah.” W3B3b.57-657 Penghulu mengambil keputusan berdasarkan informasi yang disampaikan Manti yang berasal dari bawah atau masyarakat. Informasi tersebut dikoreksi oleh Penghulu bersama cadiak pandai atau cendekiawan sehingga menjadi suatu keputusan yang nantinya akan disampaikan lagi oleh Manti kepada masyarakat. “Ya karena dia, kalau istilah gadih gadangnya kan kato putuih dek penghulu. Makanya dia memakai raso jo pareso, memakai anggo jo tanggo kan. Raso pareso tu pikiran masyarakat banyak, pikiran masyarakat dari bawah, dia periksa dengan cendekiawannya dari atas, apakah cocok atau tidak, baru diambilnya keputusan.” W3B3b.19-243 Meskipun penghulu dan masyarakat harus berhubungan lewat Manti, namun pada kondisi yang mendesak ataupun ketika manti tidak berada di tempat, masyarakat dapat bertemu langsung dengan penghulu dengan membawa saksi. Universitas Sumatera Utara Saksi yang biasa dibawa menemui penghulu yaitu seorang ulama. Hal ini dianalogikan seperti ketika kita menaiki tangga dalam keadaan buru-buru atau terdesak ada kemungkinan kita dapat menaiki tangga itu dua atau tiga anak tangga sekaligus. Maka dari itu disebutkan bahwa di dalam proses pengambilan keputusan banjanjang naiak batanggo turun masyarakat dapat melangkahi ‘tangga’ itu dua atau tiga buah dalam satu waktu. Berikut pernyataan responden: “Bedanya, tadi apa bahasanya, titiak dari ateh otokrasi. Kalau menurut mamak otokrasinya tidak tepat. Alasannya seperti yang dicontohkan tadi. Kalau Katu manggungan, tunggu dulu. Katumanggungan.. Kalau kita berlari dari rumah, dari jalan, pada suatu kali bisa tidak melangkahi dua anak tangga? Bisa, kadang-kadang tiga, karena kecil-kecil. Itu Katumanggungan salah satu contohnya. Walaupun ada manti di bawah, di tengah, pauleh suri nan tagantuang, lidah nan reco dek panghulu. Pauleh suri nan tagantuang itu sifat manti. Artinya penyambung kata dari atas, penyampai pesan dari bawah. Tapi pada suatu masa kita bisa melangkah anak tangga tiga loh. Bisa penghulu “Ondeh saya sudah tiga hari mencari manti angku, sekarang baru bertemu angku di rumah. Saya perlu sekali berbicara dengan beliau sedikit.” “Kalau memang untuk saya sampaikan sajalah.” Berarti kan dilangkahi tiga anak tangga analoginya. Sebab kenapa? Dia bajanjang naiak batanggo turun, titiak dari ateh mambasuik dari bumi. Bajanjang naiak batanggo turun Katumanggungan. Jadi walaupun kata orang semacam otokrasi, walaupun kata mamak tidak pas, kita bisa juga langsung dengan dia, di saat-saat yang genting. Umpamanya, manti sang penyambung lidah pergi ke Pekanbaru. Kita perlunya hari sekarang. Kan tidak harus dengan manti. Kita bawa saja seorang ulama, kalau memang perlu sekali. Artinya orang yang akan mendengarkan, yang menjadi saksi, kan bisa juga berbicara dengan penghulu.” W1B3b.155-1825 Saat ini kepemimpinan pada kelarasan Koto Piliang mengalami perubahan. Perubahan tersebut yakni adanya musyawarah yang dilakukan dalam kelarasan Koto Piliang. Seperti yang diungkapkan responden berikut: “Secara hirarki, menurut dahulu begitu. Manti tetap ada, tapi tetap saja musyawarah segala sesuatunya itu tetap sama untuk seluruh Minangkabau.” W4B2b.24-275 Universitas Sumatera Utara Pengambilan keputusan melalui proses berjenjang yang sudah dijelaskan di atas, adalah suatu proses ideal menurut adat yang seharusnya dilakukan oleh penghulu dalam kelarasan Koto Piliang. Tetapi pada saat sekarang ini tidak banyak lagi nagari yang mengikuti prosedur itu, meskipun nagari tersebut secara tegas menyatakan menganut sistem kelarasan Koto Piliang. Hal ini dikarenakan meskipun kedua kelarasan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, namun ada hal-hal yang berlaku umum untuk seluruh alam Minangkabau. Berikut penuturan responden: “Itu tatanan adat yang ideal. Yang mamak terangkan yang barusan apakah sampai hari ini masih dipakai yang ideal menurut Koto Piliang itu? Tidak banyak lagi yang memakainya. Realita hari ini, tidak semua orang yang memakai yang ideal itu, walaupun wilayahnya merupakan wilayah Koto Piliang. Tatanan adat sabatang panjang itu banyak yang berlaku secara umum walaupun yang membuatnya Datuak Parpatiah nan Sabatang dan Katumanggungan, banyak yang berlaku secara umum. Namanya adat sabatang panjang kan? Adat sabatang panjang itu di Minangkabau seluruhnya berlaku sama secara umum, menurut idealnya.” W4B2b.31-415 Pembagian daerah-daerah Minangkabau ke dalam kelarasan Koto Piliang atau Bodi Chaniago sebenarnya sudah jelas pada masa pemerintahan Datuak Parpatiah nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan. Hal ini diartikan bahwa sudah jelas bahwa suatu nagari memakai suatu sistem kelarasan, sedangkan nagari lain memakai sistem kelarasan yang lainnya. Namun yang terjadi saat ini adalah kebanyakan dari nagari yang memakai sistem kelarasan Koto Piliang, banyak yang melakukan musyawarah yang merupakan ciri khas dari kelarasan Bodi Chaniago. Perubahan itu terjadi begitu saja dan bukan merupakan kesepakatan yang dilakukan sebelumnya. Seperti yang diungkapkan responden berikut: Universitas Sumatera Utara Wilayah Bodi Chaniago dan wilayah Koto Piliang itu lebih banyak ditentukan dengan daerah bukan orangnya. Umpamanya, daerah Ampek Angkek Agam daerahnya Koto Piliang. Daerah di Batipuah di kampung mamak, itu daerahnya Koto Piliang. Itu idealnya ya. Yang dipakai orang hari ini Koto Piliang tidak? Tidak, itu jawabannya. Itu berlaku saja sendirinya, tidak ada kesepakatan. Yang dipakai orang di Batipuah sekarang, untuk meminang dan semacamnya itu sudah Bodi Chaniago. Di nagari Batipuah, walaupun Tuan Gadang Batipuah itu adalah payuang panji di Koto Piliang, sampai hari ini tatanan adat yang dipakai itu Bodi Chaniago W4B2b.45-567 Salah satu contoh dilakukannya musyawarah pada kelarasan Koto Piliang adalah dalam hal pengangkatan penghulu. Pada kelarasan Koto Piliang, yang menggantikan penghulu yang sebelumnya adalah kemenakan langsung yang ada di bawahnya, jadi tidak perlu dilakukan musyawarah karena sudah jelas calon yang akan diangkat menjadi penghulu. Nyatanya dalam realita ada kondisi dimana cara pengangkatan yang seperti ini tidak bisa dilakukan. Kondisi tersebut diantaranya yaitu ketika kemenakan yang akan menggantikan penghulu yang sebelumnya itu mengalami kelainan jiwa atau tidak mencukupi kapasitas intelegensinya. Hal ini menyebabkan kemenakan ini tidak bisa diangkat menjadi penghulu. Oleh karena itu perlu diadakannya musyawarah untuk mencari calon ke anak neneknya yang lain yang memiliki kapasitas sebagai seorang penghulu. Jadi dapat diartikan engan melakukan proses pencarian itu Koto Piliang sudah memakai cara Bodi Chaniago. Berikut pernyataan responden: “Dia umpamanya mau menikah, atau batagak penghulu tetap juga bermusyawarah. Tetapi yang musyawarah ini tetap dilihat dulu kemenakan kontannya kalau di Koto Piliang. Kalau kemenakan kontannya itu gila, tentu tidak mungkin diangkat gelarnya. Tentu dicarinya ke anak neneknya yang lain yang bisa bergelar. Itu berarti sudah memakai Bodi Chaniago. Atau dia tidak punya kemenakan kandung yang laki-laki, tentu kemenakan yang berbeda nenek yang ranjinya agak jauh yang dicarinya. Mencari seperti itu sudah masuk Bodi Chaniago.” Universitas Sumatera Utara W4B2b.61-687 Kondisi lainnya yang memerlukan dilakukannya musyawarah dalam pengangkatan penghulu adalah ketika pada suatu nagari suatu posisi penghulu tidak terisi dan ada hal yang menuntut untuk dilakukannya pengangkatan penghulu untuk mengisi posisi tersebut. Namun penghulu sebelumnya yang mengisi posisi itu tidak memiliki kemenakan laki-laki yang di bawahnya untuk menggantikan posisinya. Maka seperti pemecahan kondisi yang di atas, perlu dilakukan musyawarah untuk mencari ke anak lain dari neneknya untuk dijadikan penghulu. Seperti pernyataan responden berikut: “Ketika kita akan diberi gelar, dan kemenakan yang perempuan tidak memiliki anak laki-laki, tentu kita harus menarik dari orang dalam suku kita juga kalau ingin penghulu ini tetap ditegakkan. Atau penghulu nagari menuntut. “Angkatlah gelar penghulu di suku kalian.” Ada nagari yang mendesak. Apalagi kalau yang berjurai. Orang jurai nan tigo memang tiga orang penghulunya kalau di Batipuah. Yang ada cuma dua, tentu susah yang berdua itu kalau bermufakat. Dia menuntut untuk meletakkan gelar. Tentu terpaksa dicari ke yang lain. Kalau mencari ke yang lain itu tetap dicari dengan cara Bodi Chaniago walaupun Batipuah itu adalah langgam adatnya Koto Piliang. Menurut barih adaik zaman dahulu, Batipuah itu Koto Piliang. Tapi ketika dilihat realita, sampai umur sekarang sejak mamak tahu, tidak pernah Koto Piliang itu dipakai dalam alek apa saja.” W4B2b.87-9810 Dilakukannya musyawarah dalam kelarasan Koto Piliang memberi kesan seakan aturan yang ada pada kelarasan Koto Piliang itu tidak jelas atau tidak baku. Tetapi dalam realitanya memang ada hal-hal yang tidak bisa diselesaikan oleh proses penyelesaian masalah titiak dari ateh itu, oleh karenanya musyawarah dibutuhkan untuk menemukan solusi dari masalah tersebut. Hal ini menyebabkan sebagian besar nagari Koto Piliang sudah melakukan proses musyawarah Universitas Sumatera Utara meskipun sudah secara tegas nagari tersebut menyatakan memakai sistem kelarasan Koto Piliang. “Orang yang melihat hari ini mungkin bisa dikatakan seperti itu. Mamak melihat orang Ampek Angkek itu sampai sekarang seperti itu juga. Kata orang itu Koto Piliang adatnya. Lalu mamak tanya apa yang sistem Koto Piliang itu yang masih dipakai? Memilih gelar penghulu bermufakat tidak? Bermufakat. Itu Bodi Chaniago tu. “ W4B2b.78-839 Sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab untuk mengayomi dan mensejahterakan kaumnya, penghulu harus menghargai setiap potensi yang dimiliki oleh anak dan kemenakannya. Tidak ada potensi yang tidak berguna, semua potensi tersebut haruslah dihargai dan dimanfaatkan untuk kemajuan kaum. Hal ini dikarenakan di dalam budaya Minangkabau semua manusia itu dianggap berguna meskipun memiliki kekurangan masing-masing, oleh karena itu kelebihan dan kekurangan itu dapat dimanfaatkan. Sesuai dengan falsafah adat: Nan buto pahambuih lasuang Yang buta peniup lesung Nan pakak palapeh badia Yang tuli pelepas bedil Nan lumpuah pauni rumah Yang lumpuh penghuni rumah Nan binguang ka disuruah-suruah Yang bodoh untu disuruh-suruh Berdasarkan filosofi alam takambang jadi guru alat terbentang jadi guru, alam sebagai tempat hidup yang dijadikan sumber pelajaran bagi orang Minangkabau memiliki unsur-unsur atau pun komponen yang sifatnya setara. Oleh karena itu manusia sebagai bagian dari alam juga harus dilihat sejajar, dan diperlakukan secara adil. Setiap manusia memiliki kapasitas masing-masing yang harus dihargai. Bukan berarti orang yang memiliki kelebihan daripada yang lain derajatnya berada di atas orang yang lebih kurang. Hal ini diperkuat lagi ketika Islam masuk ke Minangkabau, dimana orang yang mulia dihadapan Allah itu Universitas Sumatera Utara adalah orang yang bertakwa, bukan orang yang memiliki status atau derajat yang tinggi dibandingkan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan responden berikut: “Ada buku dasar falsafah adat Minangkabau, disitu mengatakan filosofi inti orang Minang itu kan alam takambang jadi guru. Alam itu kan memiliki unsur setara, sejajar. Misal nya dalam falsafah Yunani alam itu terdiri dari empat unsur air, api, tanah dan angin. Orang Minang mengata kan seperti itu juga, bahwa setiap unsur itu sama., sejajar, setara, tapi perannya yang berbeda. Makanya dikatakan nan buto paambuih lasuang, nan pakak palapeh badiah nan cadiak tampek batanyo, nan kayo baselang tenggang itu dia menempatkan bahwa orang kaya itu tidak lebih mulia dari yang buta tadi. Yang lumpuh pun ada tugasnya Jadi secara kemanusiaan setiap orang itu dihargai, dihor mati. Cuma karena kapasitasnya berbeda maka perannya berbeda pula. Oleh karena itu orang Minang menganggap semuanya sama.” W1B3b.174-18920 Penghulu merupakan tenaga penggerak bagi masyarakatnya. Maju mundurnya setiap kaum tergantung kepada penghulunya. Jika penghulu tidak menggerakkan masyarakatnya, maka tersimpanlah potensi-potensi yang dimiliki oleh anak kemenakan. Tugas penghulu lah yang menggerakkan potensi tersebut dengan cara menempatkan anak kemenakan sesuai dengan potensi yang dimilikinya masing-masing. Seperti pepatah adat yang latakkan sesuatu pado tampeknyo letakkan sesuatu pada tempatnya, maka berilah anak kemenakan posisi yang membutuhkan kelahlian yang sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Hal ini sesuai dengan penuturan responden berikut: “Memberikan pekerjaan kepada yang patut. “Kalau si anu ini yang dikerjakannya bagaimana datuak?” “Kenapa dia, apa kepandaiannya? Pandai tidak dia melepas hari kalau dia disuruh membuat rumah?” “Oh tidak.” “Hancur lah rumah nanti.” Menempatkan sesuatu pada tempatnya.” W1B3b.468-47325 Universitas Sumatera Utara “Besarnya diambah tingginya diambuang. Makanya ada kalimat menghargai sesuatu itu di dalam Koto Piliang di dalam Bodi Chaniago, ada kalimat satu lagi, latak kan sesuatu pado tampeknyo, di dalam alua jo patuik. Itu menghargai individu. Menghargai kepandaian orang, menghargai skill orang, menghargai segala macam. Letakkan sesuatu pada tempatnya. Kita berikan contohnya, masa pegawai bank sarjana hukum? Di adat tidak boleh seperti itu. Keahlian orang itu letakkan pada propor si yang benar. Itu maupun Koto Pilliang dan Bodi Chaniago sama saja itu.” W3B3b.225-2362 Menempatkan anak dan kemenakan sesuai dengan potensi mereka misalnya jika anak dan kemenakan itu memiliki potensi di bidang agama arahkan dia menjadi ulama dan jika berpotensi di bidang adat arahkan menjadi tokoh adat, seperti yang diungkapkan responden berikut: “Iya sama saja, keputusan rapat itu harus dihargai. Dihargai potensi itu, kemampuan orang itu harus dihargai. Kalau dia ahli di bidang agama, letakkan dia di bidang agama, kalau ahli dia di bidang adat letakkan dia ke adat.” W3B3b.109-11211 Menempatkan anak dan kemenakan sesuai dengan potensi yang dimilikinya, dapat diartikan bahwa penghulu itu mengendalikan kaumnya. Dikarenakan anak dan kemenakan berada pada posisi yang sesuai dengan kemampuanya maka memperkecil kemungkinan akan munculnya permasalahan bahwa anak dan kemenakan tersebut merasa diarahkan dan ditempatkan pada tempat yang salah. Berikut pernyataan responden: “Mengendalikan kaum. Kaum komunal. Kalau mengendalikan kaum itu semua unsur, walaupun agak cele matanya, diterima. Agak tuli telinganya diterima juga. Tidak membedakan, makanya ada istilah meletakkan se suatu pada tempatnya. Kepandaiannya menyapu, tidak mungkin disuruh jadi karani. Karani tahu? Tukang tulis.” W1B3b.494-49826 Universitas Sumatera Utara Penghulu memiliki tugas mengawasi apa-apa saja yang terjadi di masyarakat. Penghulu harus mengetahui setiap seluk beluk kehidupan masyarakatnya. Seperti yang diungkapkan dalam falsafah adat siang dicaliak-caliak an, malam didanga- dangakan siang dilihat-lihat, malam didengar-dengarkan. Maksud dari falsafah ini adalah bahwa pengawasan penghulu terhadap masyarakat tidak boleh terhenti, siang ataupun malam. Pengawasan juga dapat dianalogikan sesuai dengan falsafah anak dipangku kamanakan dibimbing, yang juga merupakan bentuk pengawasan dimana penghulu itu harus mengawasi anak dan kemenakannya melalui ilmu agama dan ilmu adat. Seperti yang diungkapkan responden berikut: “Iya. Yang mamak bilang tadi, kaluak paku di awal tadi, itu kan pengawasan. Salah satu dari pengawasan, mendidik anak. Yang kata Al Qur’an yaayyuhallazhiina amanuu wanfusakum wa ahlikum naara. Itu kata Al Quran. Kata kita anak dipangku kemenakan dibimbing.” W1B2b.313-31716 Selain itu, struktur rumah gadang dapat dijadikan bentuk pengawasan, yaitu pintunya yang tidak pernah menghadap ke jalan yang dilalui oleh orang ramai. Struktur yang seperti ini terdapat pada rumah gadang Bodi Chaniago maupun Koto Piliang. Hal ini bertujuan agar orang di dalam rumah tidak terlihat oleh orang yang lewat, yang terkadang anak perempuan jika sudah berkumpul bersama tidak mementingkan lagi tata krama dan duduk sembarangan, oleh karena itu struktur pintu yang seperti ini mencegah terlihatnya hal-hal yang tidak patut dilihat oleh orang lain. Seperti yang diungkapkan responden berikut: “Jadi pengawasan itu, Bodi Chaniago dan Koto Piliang sama. Ini contohnya. Tidak satupun rumah gadang membelakangi jalan eh menghadap ke jalan. Ru mah gadang dulu. Itu harus merusuk jalan atau membelakangi jalan. Kalau ada rumah gadang arah ke Solok satu satu yang menghadap ke jalan besar, itu tangganya kiri kanan, tangganya pun diberi dinding.” Universitas Sumatera Utara W1B2b.319-32517 Pengawasan ini tentu dapat dilakukan dengan cara bergaul dan berusaha mendekatkan diri dengan masyarakatnya. Jika penghulu tidak pandai bergaul maka penghulu tidak mengetahui permasalahan yang dimiliki anak dan kemenakan atau kesalahan-kesalahan apa yang mereka lakukan, sehingga kesalahan-kesalahan tersebut tidak dapat diperbaiki dan terus mereka lakukan. Oleh karena itu sangat penting bagi penghulu untuk bergaul dengan masyarakatnya, berikut ungkapan responden: “Tapi kan tidak harus dia merasa seperti di Inggris, dia pangeran tidak boleh bergaul dengan orang banyak. Yang penghulu itu memang yang pandai bergaul dengan orang banyak.” W3B3b.96-999 “Kalau dia tidak bergaul dengan orang banyak kapan dia tahu dengan orang banyak. Kapan dia tahu dengan kehidupan kemenakan. Dengan pergaulan itu dia mengetahui kesalahan-kesalahan. Kalau dia menyendiri saja apa gunanya dia menjadi penghulu?” W3B3b.102-10610 Pada beberapa nagari, ada yang memakai kedua sistem kelarasan Bodi Chaniago dan Koto Piliang, seperti yang berlaku pada nagari Aia Tabik yang merupakan salah satu nagari yang ada di kota Payakumbuh. Hal ini merupakan hasil perjanjian Bukit Marapalam yang menggabungkan kedua sistem tersebut. Ada pembagian tugas kepada suku Bodi Chaniago dan Koto Piliang sesuai dengan karakteristik yang dimiliki kedua kelompok tersebut. Bodi Chaniago diidentikkan dengan musyawarah, maka ketika ada persoalan di nagari, penghulu dari Bodi Chaniago lah yang bermusyawarah. Setelah mereka selesai bermusyawarah, hasil kesepakatan itu diberikan kepada penghulu dari Koto Piliang untuk disampaikan Universitas Sumatera Utara ke masyarakat. Koto Piliang memiliki karakteristik bajanjang naiak batanggo turun, maka penghulu dari Koto Piliang diberi tugas untuk menyampaikannya kepada masyarakat, sehingga proses berjenjang tersebut tetap terjadi. Contohnya adalah di bidang hukum. Jika ada sebuah kasus hukum yang terjadi di masyarakat, maka penghulu Bodi Chaniago bermusyawarah untuk menentukan kategori kesalahannya. Hasilnya disampaikan kepada penghulu Koto Piliang, kemudian Koto Piliang yang memutuskan apakah hal tersebut salah dan bagaimana hukumannya. Berikut pernyataan responden: “Memutuskan perkara tugasnya Bodi Chaniago, tapi mengundangkan tugas Koto Piliang. Yang menyatakanini salah, ini benar, adalah tugas Koto Piliang. Salah ditimbang, hutang dibayar, itu tetap Bodi Chaniago. Tapi memutuskan bahwa orang tersebut bersalah, tugasnya Koto Piliang itu.” W2Pb.1-61 Pada nagari Aia Tabik itu, jika ada kegiatan bersama, misalnya gotong royong, maka suku Bodi Chaniago bermusyawarah dahulu untuk menentukan kegiatan apa yang dilakukan dan dimana dilakukan. Hasil musyawarah itu disampaikan ke penghulu Koto Pilang yang mengumumkan ke masyarakat. Pada nagari ini, penghulu Koto Piliang memiliki tendensi ketika berbicara langsung kepada inti pembicaraan, sedangkan penghulu Bodi Chaniago ketika berbicara biasanya suka mendengar pendapat masyarakatnya dulu. Begitu juga dengan hal- hal yang berhubungan dengan kegiatan yang dilakukan atapun alat-alat yang akan dibawa, jika penghulu Koto Piliang biasanya tidak memberikan informasi yang mendetail, maka dengan kondisi seperti itu masyarakat sudah memahami dan membawa alat-alat yang kira-kira akan mereka perlukan. Tetapi pada suku Bodi Universitas Sumatera Utara Chaniago, hal-hal tersebut dimusyawarahkan kembali dengan masyarakat. Berikut penuturan responden: “Kalau karakter operasionalnya berbeda. Koto Piliang suka memerintah. Tapi yang diperintahnya tidak bisa Bodi Chaniago, hanya di kaumnya saja. Sikumbang, Guci, Koto dan Piliang sistemnya seperti itu di dalam internal Koto Piliang. Tapi kalau orang Koto Piliang memerintah orang Bodi tidak bisa. Dia harus bilang begini, Tuak, ada ide ini, bagaimana kalau kita ke banda?” dia harus seperti itu kalau dengan Bodi Chaniago. Tapi di dalam kaumnya sendiri, “Hey, kita ke banda besok.” Kalau Bodi memberitahu ke masyarakat Bodi, “Ada waktu luang tidak, bagaimana kalau kita bergotong royong.” Begitu cara Bodi ke masyarakatnya. Walaupun tidak bisa dicari alternatif lain, harus tetap hari itu, tapi caranya begitu. Yang Koto Piliang tidak. “Kami sudah ada keputusan dengan Bodi, gotong royong hari ini, jangan sampai tidak pergi.” W2Pb.134-1493 “Kemudian kalau terbakar rumah orang, dan dibangun lagi rumahnya kalau niniak mamak Koto Piliang memerintahkan ke kaumnya seperti ini, “Rumah si anu terbakar. Kalian bawa ini, bawa itu, bawa seng, paku.” Begitu cara orang orang Piliang ke orang Piliang. Orang Bodi tidak seperti itu. “Kan sudah sama-sama kita tahu saudara kita kena musibah. Kapan kita pergi bersama-sama?” Yang tadi tidak bersama-sama, siapa yang mau duluan, duluan saja. Kalau ini bersama-sama. “Apa yang kita bawa tuak?”, “kamu yang bawa, bisa, tapi tidak boleh. “Apa bagusnya” apa salahnya, paku ini yang bawa, seng yang kita bawa? Menurut kita bersama lah apa kira-kira yang bermanfaat.” Itu pola Bodi.” W2Pb.150-1624

B. Pembahasan