b. Jika penghulu sebagai sumber, seperti sumber mata air atau sungai,
maka dia harus jernih, mensucikan dan membersihkan. Oleh karena itu penghulu membawa beban berat di dunia akhirat. Fisik,
mental dan spiritual harus telah terlatih dengan sebaik-baiknya dalam menghadapi tantangan yang mungkin terjadi dalam menjalankan
kepemimpinan.
2. Sejarah Penghulu Minangkabau
Minangkabau dikenal dengan ciri khas budayanya yang unik. Sebagai satu-satunya etnis di Indonesia yang menganut sistem kekerabatan
matrilineal, Minangkabau mengatur masyarakatnya dibawah sistem pemerintahan nagari. Nagari adalah unit pemukiman yang paling
sempurna yang diakui oleh adat Kato, 2005. Suatu pemukiman harus memiliki berbagai fasilitas umum yang memadai bagi masyarakatnya
seperti balai balairung, mesjid, jalan raya, tempat pemandian umum, sawah dan ladang, halaman dan area permainan umum, serta tempat
pemakaman Effendi, 2004. Nagari pada dasarnya merupakan perpaduan dari dua sistem, yaitu
sistem pemerintahan dan sistem adat Minangkabau. Sebagai sistem pemerintahan, nagari merupakan suatu unit teritorial yang mempunyai
struktur politik dan aparat hukumnya tersendiri Kato, 2005. Menurut Peraturan Nomor 9 Tahun 2000, nagari adalah kesatuan hukum
masyarakat hukum adat Minangkabau yang terdiri dari himpunan beberapa
Universitas Sumatera Utara
suku yang mempunyai wilayah yang tertentu batas-batasnya, mempunyai kekayaan sendiri, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
dan memiliki pimpinan pemerintahannya. Oleh karena itu masing-masing nagari bersifat otonom dan tidak memiliki kaitan struktural formal dengan
nagari lainnya, sehingga sering disebut sebagai republik atau negara kecil. Dilihat dari sudut pandang adat, nagari merupakan kesatuan kekuatan
sosial budaya masyarakat Minangkabau yang telah diwarisi secara turun temurun berdasarkan ikatan hubungan darah genealogis Effendi, 2004.
Dimensi geneologis nagari bersifat matrilineal yang terorganisasi dalam tingkatan atau hierarki yang ketat, mulai dari kelompok terkecil.
Struktur kepemimpinan masyarakat Minangkabau memiliki karakteristik yang berbeda dan memiliki kekhasan dibanding dengan
masyarakat yang ada di Indonesia Mauludin, 2010. Lebih lanjut lagi Mauludin menjelaskan bahwa struktur masyarakat adat di Minangkabau
diawali dari rumah tangga. Rumah tangga dipimpin oleh kepala keluarga suami yang disebut dengan urang sumando. Tingkat yang lebih tinggi
lagi yaitu samande hubungan yang terkait antara rumah tangga-rumah tangga di antara saudara yang berasal dari ibu yang sama. Struktur ini
dipimpin oleh seorang mamak rumah, yaitu saudara laki-laki dari para anak perempuan. Di rumah ibunya, laki-laki tadi bertindak sebagai
pemimpin bagi saudara perempuan dan keponakannya, namun di keluarga istrinya laki-laki tersebut menjadi urang sumando.
Universitas Sumatera Utara
Tingkat yang lebih tinggi disebut sajurai, yaitu kumpulan beberapa keluarga yang berasal dari satu ibu, memiliki keturunan hingga generasi
ketiga. Jurai ini dipimpin oleh tungganai yang perannya sama dengan mamak rumah, tetapi dengan cakupan yang lebih luas.
Kumpulan sajurai membentuk hubungan keluarga saparuik yang berasal dari satu ibu kemudian berkembang hingga generasi keempat,
yaitu ibu, anak, cucu, cicit. Pemimpin paruik ini adalah tuo kampuang. Kumpulan saparuik kemudian berkembang menjadi suku. Suku
dipimpin oleh penghulu andiko, yaitu seorang pria yang terbaik yang dipilih dari mamak-mamak rumah yang ada, diyakini mampu memimpin
dan membawa sukunya menjadi lebih maju dan sejahtera. Penghulu Andiko ini diangat dengan suatu proses yang disebut Batagak Panghulu.
Kepadanya diberikan sebuah gelar Datuk oleh suku atau kaumnya. Suku-suku di Minangkabau ini dapat digolongkan ke dalam satu
antara dua kelarasan tradisi politik dari Bodi Chaniago dan Koto Piliang. Kelarasan Bodi Chaniago dan Koto Piliang merupakan dua bentuk dari
sistem pemerintahan di Minangkabau. Effendi 2004 mengungkapkan bahwa istilah sistem pemerintahan ini sering dipertukarkan dengan sistem
adat, sistem politik, lareh, kelarasan dan lain-lain. Kedua kelarasan ini tidak hanya merupakan sistem adat dan sistem pemerintahan, namun di
dalam keduanya melekat juga sistem politik, bentuk kekuasaan, norma, aturan, dan sebagainya. Terdapat beberapa perbedaan antara kedua
kelarasan diantaranya adalah struktur dan hierarki kekuasaan, proses
Universitas Sumatera Utara
pengambilan keputusan sistem pewarisan, adat istiadat, arsitektur rumah gadang dan balai, serta falsafah adat.
Kelarasan Bodi Chaniago didirikan oleh Datuak Parpatiah nan Sabatang, sedangkan kelarasan Koto Piliang didirikan oleh Datuak
Katumanggungan. Kedua datuak ini merupakan sosok penghulu Minangkabau yang merupakan saudara satu ibu yang berasal dari latar
belakang yang berbeda sehingga memiliki karakter yang berbeda dalam menjalankan sistem pemerintahannya, namun tetap berdasarkan kepada
sistem kekerabatan matrilineal. Berdasarkan legenda yang berkembang di beberapa nagari, Arifin
2006 mengungkapkan bahwa Datuk Katumanggungan lahir ketika Sri Maharajo Dirajo dan istrinya Indo Jalito masih di Pariangan Padang
Panjang. Ketika Sri Maharajo Dirajo wafat dan jandanya Indo Jalito kawin dengan Cati Bilang Pandai, lalu terjadi perpindahan “keluarga
kerajaan” ini dari daerah Pariangan Padang Panjang ke daerah Dusun Tuo Lima Kaum. Di daerah Dusun Tuo inilah lahir salah seorang anak
mereka yang kemudian dikenal sebagai Datuk Parpatiah Nan Sabatang. Dalam perkembangan kemudian, Datuk Katumanggungan dan Datuk
Parpatiah Nan Sabatang inilah kemudian yang mengendalikan “kerajaan” baru di daerah Dusun Tuo tersebut, dimana datuk Katumanggungan
diserahi tugas sebagai “raja” dan Datuk Parpatiah Nan Sabatang diserahi tugas sebagai pengendali dan penasehat kerajaan mungkin bisa kita
samakan dengan jabatan “perdana mentri”.
Universitas Sumatera Utara
Dari tangan duo datuak ini “kerajaan” baru di daerah Dusun Tuo berkembang dengan pesat. Perpaduan kepemimpinan duo datuak ini
dibantu oleh Datuk Bandaro Kayo sebagai penghulu pucuk Pariangan, Datuk Maharajo Basa sebagai penghulu pucuk Padang Panjang serta
kedua orangtuanya Cati Bilang Pandai dan Indo Jalito telah menjadikan “kerajaan” ini berkembang dengan pesat. Melalui perpaduan
kepemimpinan kedua datuak ini pula lalu dibuatlah aturan-aturan yang kemudian dikenal dengan sebutan undang-undang nan 22 dan
dilakukannya pengelompokan-pengelompokan masyarakat berdasarkan induak yang sama satu paruik atau ibu yang kemudian dikenal dengan
sebutan suku. Melalui Datuk Parpatiah Nan Sabatang misalnya di Dusun Tuo lalu dibentuk 4 suku pasukuan nan 4 batua beserta dengan
penghulu-penghulunya, dan mengangkat Datuk Bandaro Kuniang sebagai penghulu pucuk di daerah Dusun Tuo tersebut.
Dalam perkembangan berikutnya kemudian Datuk Katumanggungan memerintahkan kepada datuk Bandaro Kayo penghulu pucuk Pariangan
untuk membentuk suku-suku di daerah Pariangan dan Padang Panjang dan sekitarnya yang dikenal dengan suku nan 22. Dengan wafatnya Cati Bilang
Pandai yang kemudian juga disusul dengan wafatnya Indo Jalito, maka kekompakan atau perpaduan kepemimpinan duo datuak ini mulai sedikit
goyah. Tanda-tanda akan terjadi perpisahan antara duo datuak ini mulai terlihat ketika Datuk Katumanggungan membangun “kerajaan” baru yang
dikenal dengan “kerajaan Bungo Setangkai” di Sungai Tarab. Datuk
Universitas Sumatera Utara
Katumanggungan sekaligus menjadi “Raja” dan Datuk Bandaro Putiah penghulu pucuk di Sungai Tarab diangkat menjadi panungkek wakil.
Para penghulu dari 22 suku yang dibentuk sebelumnya di daerah Pariangan dan sekitarnya akhirnya cenderung akhirnya menjadi pengikut
Datuk Katumanggungan. Sementara Datuk Parpatiah Nan Sabatang tetap bertahan di daerah Dusun Tuo Lima kaum dan karena pengaruhnya juga
maka para penghulu nan 4 batu yang ada di Dusun Tuo cenderung akhirnya menjadi “pengikut” Datuk Parpatiah nan Sabatang. Dengan
berdirinya kerajaan Bunga Setangkai di Sungai Tarab, dan bertahannya Datuk Parpatiah Nan Sabatang di Dusun Tuo, mulailah percaturan politik
secara terbuka antara kedua datuak ini dimulai. Datuk Katumanggungan kemudian mengembangkan kerajaan Bunga Setangkai seorang diri dengan
membangun kubu-kubu pertahanan sehingga daerah Lima Kaum terjepit didalamnya. Sebaliknya Datuk Parpatiah Nan Sabatang juga akhirnya
membentuk 17 suku-suku baru yang akhirnya menjadi benteng pertahanan daerah Lima Kaum.
Puncak dari semua ini, terjadinya pertempuran antara kelompok kedua datuak ini yang menurut Dobbin 1977 sampai terjadi “perang bedil”
yang memakan banyak korban. Dikarenakan nilai-nilai persaudaraan dan persahabatan masih relatif kuat, maka perdamaian antara duo datuak
kemudian dilakukan. Dengan kebesaran hatinya sebagai saudara muda adik, maka Datuk Parpatiah Nan Sabatang menemui Datuk
Katumanggungan di Sungai Tarab dengan membawa siriah jo carano dan
Universitas Sumatera Utara
menyatakan diri mundur dari pertempuran dan menyerahkan semua penyelesaiannya kepada Datuk Katumanggungan. Sebaliknya, melihat
kebesaran jiwa Datuk Parpatiah Nan Sabatang, maka Datuk Katumanggungan pun lalu kembali menjalin ulang persaudaran dan
persahabatan yang telah mereka lakukan selama ini. Disini lalu disepakati bahwa daerah yang telah dipancang Datuk Parpatiah Nan Sabatang selama
ini, akhirnya diserahkan kepada Datuk Parpatiah dan menamai daerah- daerah tersebut dengan Bodi Chaniago yang bermakna sebagai “budi yang
sangat berharga”. Daerah yang dipancang Datuk Katamenggung diberi nama dengan Koto Piliang yang bermakna “koto yang dipilih atau koto
yang telah ditentukan”. Sementara daerah Pariangan dan Padang Panjang sebagai daerah awal duo datuak ini kemudian dikenal dengan sebutan
lareh Nan Panjang yang “bodi chaniago bukan, koto piliang antah”. Proses politik yang tetap mengandalkan persaudaran dan tidak melupakan
akar budayanya inilah yang kemudian dikenal dalam pepatah adat Minangkabau sebagai “mancancang indak mamutuihkan, manabang indak
marabahkan, manikam indak mamatikan”.
3. Fungsi Penghulu