1.2. Perumusan Masalah
Profil kadar gula darah sewaktu dan kadar hematokrit dengan hasil akhir klinis penderita kontusio serebri pada tahun 2012 di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik RSUP HAM.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum
Untuk mengetahui profil kadar gula darah sewaktu dan kadar hematokrit dengan hasil akhir klinis penderita kontusio serebri pada tahun 2012 di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik RSUP HAM.
1.3.2 Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui kasus penderita kontusio serebri berdasarkan rekam medis pada tahun 2012 di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
RSUP HAM.
b. Untuk mengetahui profil kadar gula darah sewaktu dan hubungannya pada penderita kontusio serebri pada tahun 2012 di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik RSUP HAM.
c. Untuk mengetahui profil kadar hematokrit dan hubungannya pada penderita kontusio serebri pada tahun 2012 di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik RSUP HAM.
Universitas Sumatera Utara
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Untuk Rumah Sakit
Dapat dipakai sebagai informasi atau masukan dalam meningkatkan pelayanannya terutama dalam menangani parameter laboratorium pada penderita kontusio serebri
1.4.2. Untuk Peneliti Lain
Dapat dipakai sebagai sumber informasi untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian yang telah dilakukan penulis.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Kepala 2.1.1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective tissue
atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan perikranium Japardi, I., 2002.
2.1.2 Tulang Tengkorak
Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua bagian yaitu kranium kalvaria yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka wajah yang terdiri atas empat
belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan atas yang dikenal sebagai kubah tengkorak, licin pada permukaan luar dan pada permukaan dalam ditandai dengan gili-gili dan
lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan pembuluh darah. Permukaan bawah dari rongga dikenal sebagai dasar tengkorak atau basis kranii. Dasar tengkorak ditembusi oleh banyak lubang
supaya dapat dilalui oleh saraf dan pembuluh darah Pearce, EC.,2008.
2.1.3. Meningia
Meningia merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang. Fungsi meningia yaitu melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan
cairan sekresi cairan serebrospinal, dan memperkecil benturan atau getaran terdiri atas 3 lapisan, yaitu:
a. Durameter Lapisan sebelah luar
Durameter ialah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan dura meter propia di
bagian dalam. Di dalam kanalis vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Durameter pada tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena dari otak, rongga ini
dinamakan sinus longitudinal superior yang terletak diantara kedua hemisfer otak b.
Selaput Arakhnoid Lapisan tengah
Universitas Sumatera Utara
Selaput arakhnoid merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter yang membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi
seluruh susunan saraf sentral. c.
Piameter Lapisan sebelah dalam Piameter merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piameter
berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trebekel. Tepi falks serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis
inferior yang mengeluarkan darah dari flaks serebri. Tentorium memisahkan cerebrum dengan serebellum Pearce, EC.,2008.
Gambar 2.1 Lapisan Meningea 2.2. Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala adalah suatu ruda paksa yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan structural dan gangguan fungsional jaringan otak. Cedera kepala
melibatkan setiap komponen yang ada, mulai dari bagian terluar kulit kepala hingga bagian terdalam otak. Setiap komponen yang terlibat memiliki kaitan yang erat dengan mekanisme
cedera kepala yang terjadi. Cedera kepala merupakan hantaran energi luar seperti tenaga mekanik yang menyebabkan rusaknya jaringan kepala sehingga timbul reaksi jaringan
Fearnside, 1997 Cedera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala
tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cedera baik yang trauma tertutup ataupun trauma tertembus Satya Negara, 1998 : 59. Kontusio cerebri adalah sindrom
Universitas Sumatera Utara
yang melibatkan bentuk ringan dari cedera otak yang menyebar. Terjadi disfungsi neurologis sementara dan bersifat dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan kesadaran. Jika ada penurunan
kesadaran mungkin pasien mengalami disorientasi dan binggung hanya dalam waktu singkat Hudak dan Gallo, 1996 : 227
Cedera otak adalah proses patologis jaringan otak yang bukan bersifat degeneratif ataupun kongenital, melainkan akibat kekuatan mekanis dari luar, yang menyebabkan gangguan
fisik, fungsi kognitif, dan psikososial. Gangguan ini dapat bersifat menetap atau sementara dan disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaranValadka,1996.Berdasarkan mekanismenya
cedera otak di bagi atas cedera otak tumpul dan cedera otak tembustajam penetrating head injury Valadka, 1996.
Kontusio serebri yang dimaksud dalam penelitian ini didasarkan pada penilaian klinis dengan Glasgow Coma Scale GCS dan CT-scan kepala dimana didapati adanya intracerebral
hemorrhage yang tidak ada indikasi operasi. Cedera kepala kami bagi atas:cedera kepalasedang CKS dengan GCS 9-13 dan cedera kepala berat CKB dengan GCS 3-8.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. stratifikasi resiko pada penderita dengan cedera kepala Kategori resiko
Karakteristik Ringan
Pemeriksaan neurologi normal Tidak ada kontusio
Tidak ada intoksikasi obat atau alcohol Dapat mengeluh nyeri kepala atau dizziness
Dapat dijumpai abrasi scalp, laserasi atau hematoma Tidak ada kriteria trauma sedang atau berat
Sedang SKG 9-14 bingung, lethargi,stupor
Concussion Posttraumatic amnesia
Muntah Seizure
Kemungkinan tanda basiler atau fraktur tengkorak yang menekan atau cedera wajah yang serius
Intoksikasi obat atau alcohol Tidak ada riwayat cedera atau riwayat tidak jelas
Usia 2 tahun atau kemungkinan child abuse Berat
SKG 3-8 koma Penurunan progressif tingkat kesadaran
Tanda neurologic fokal Cedera penetrasi tengkorak atau fraktur tengkorak
Dikutip dari : Mayer SA, Rowland LP . Head Injury . In : Rowland LP , editor. Merritt’s Neurology. 10
th
ed.Philadelphia : Lippincott Williams Wikkins; 2000. P401-6.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Epidemiologi
Insiden trauma kapitis di negara-negara berkembang adalah 200100.000 populasi per tahun. Dalam satu studi yang berdasarkan populasi menunjukkan bahwa insiden trauma kapitis
sekitar 180-250100.000 populasi per tahun di Amerika Serikat. Insiden lebih di Eropa dari 91100.000 populasi per tahun di Spanyol hingga 546100.000 di Swedia, di Southern Australia
322100.000 dan di Afrika Selatan 316100.000 Bondanelli dkk, 2005. Di Indonesia data epidemiologi secara nasional belum ada. Di ruang rawat neurologi
RSCM Jakarta, dari tahun ketahun terdapat peningkatan. Pada tahun 1994 jumlah penderita dirawat 1002 orang. Musridharta dkk, 2006.
Insiden tertinggi penderita trauma kapitis ditemukan pada kelompok umur 15-24 tahun atau 75 tahun lebih, sedangkan pada anak insiden puncaknya pada usia kurang dari 5 tahun.
Angka insiden untuk pria dua kali lebih sering dibanding wanita dengan ratio tertinggi pada remaja dan dewasa muda, dan range dari 1,2 : 1 sampai 4,4 : 1 dalam populasi yang berbeda
Bondanelli dkk ,2005 .
2.4 Patofisiologi
Patofisiologi menurut Markum 1999, trauma pada kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetak, kerusan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran makin besar
getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal ini menyebabkan
pembuluh darah robek sehingga menyebabkan hematoma epidural, subdural, maupun intrakranial, perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun
sehingga suplai oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringa akan menyebabkan odema serebral.
Akibat dari hematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan tekanan intrakranial
merangsang kelenjar dan steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa mual dan muntah sehingga masukan nutrisi kurang Satyanegara, 1998.
Universitas Sumatera Utara
Patofisiologi kerusakan diotak akibat trauma kapitis dapat dikelompokkan dengan dua stadium yaitu cedera kepala primer dan sekunder Gilroy, 2000; Marik dkk, 2002;
Hemphill,2005.
Gambar 2.2 Trauma kepala tertutup 2.4.1 Cedera kepala primer Primary Brain Injury
Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi hancur, robek, memar, dan perdarahan. Cedera ini dapat
berasal dari berbagai bentuk kekuatantekanan seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang dapat
memberi efek pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan lokal, multifokal ataupun difus Valadka, 1996.
Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan atau pembuluh darah. Cedera parenkim berupa kontusio, laserasi atau diffuse axonal injury DAI, sedangkan cedera pembuluh darah
berupa perdarahan epidural, subdural, subarachnoid dan intraserebral Graham,1995, yang dapat dilihat pada CT-scan. Cedera difus meliputi kontusio serebri, perdarahan subarachnoid traumatik
dan DAI. Sebagai tambahan sering terdapat perfusi iskhemik baik fokal maupun global Valadka, 1996.
Universitas Sumatera Utara
Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti hipotensi, hipoksia, tekanan intrakranial Intracranial Pressure ICP yang meninggi, edema, kompresi
jaringan fokal, kerusakan mikrovaskularpada fase lanjut late phase, dimana terjadi vasospasme Vazquez-Barquero,1992; Ingebrigtsen, 1998. Keadaan setelah cedera kepala dapat dibagi
menjadi: 1. Fase awal fase 1, segera, dengan hipoperfusi,
2. Fase intermediate fase 2, hari 1-3, tampak hyperemia dan 3. Fase lanjut vasospastic fase 3, hari ke-4-15, dengan reduksi aliran darah Ingebrigtsen, et al.
1998. Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional Cerebral Blood Flow
CBF, dan reduksi aliran darah ke sekitar inti iskhemik ischemic core yang tidak memberi respon terhadap bertambahnya Cerebral Perfusion Pressure CPP Andersson, 2003.
2.4.2 Kontusio Serebri memar otak
Kontusio serebri merupakan cedera fokal kepala yang paling sering terjadi.Dilaporkan bahwa 89 mayat yang diperiksa postmortem mengalami kontusio serebri Cooper, 1982.Depreitere et
al melaporkan bahwa kasus kontusio serebri paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian dan cedera olahraga Depreitere B, 1982.Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi
dan deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim otak dan perdarahan mikro di sekitar kapiler pembuluh darah otak.Pada kontusio serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan
otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang menjadi
perdarahan serebral. Namun pada cedera berat, kontusio serebri sering disertai dengan perdarahan subdural, perdaraham epidural, perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid
Hardman, 2002.
Universitas Sumatera Utara
Freytag dan Lindenberg 1957 mengemukakan bahwa padadaerah kontusio serebri terdapat dua komponen, yaitu daerah inti yang mengalami nekrosis dan daerah perifer yang
mengalami pembengkakan seluler yang diakibatkan oleh edema sitotoksik. Pembengkakan seluler ini sering dikenal sebagai pericontusional zone yang dapat menyebabkan keadaan lebih
iskemik sehingga terjadi kematian sel yang lebih luas. Hail ini disebabkan oleh kerusakan autoregulasi pembuluh darah di pericontusional zone sehingga perfusi jaringan akan berkurang
akibat dari penurunan mean arterial pressure MAP atau peningkatan tekanan intrakranial. Proses pembengkakan ini berlangsung antara 2 hingga 7 hari. Penderita yang mengalami
kontusio ini memiliki risiko terjadi kecacatan dan kejang di kemudian hari Davis G, 2009 .
Gambar 2.3. Mekanisme Terjadinya Kontusio Kepala Mesiano, 2010 Penyebab penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi kepala yang juga
menimbulkan pergeseran otak dengan tulang tengkorak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat akan menyebabkan hiperekstensi kepala.Oleh karena itu, otak
membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularisdifus. Akibat hambatan itu, otak tidak mendapat input aferen
sehingga kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung Liau et al, 1996.
Universitas Sumatera Utara
2.4.3 Diffuse Axonal Injury
Diffuse axonal injury merupakan istilah yang kurang tepat, sebab ini bukan merupakan cedera difus pada seluruh daerah otak. Cedera yang terjadi lebih dominan pada area otak tertentu yang
mengalami percepatan yang tinggi dan cedera deselerasi dengan durasi yang panjang. DAI merupakan ciri yang konsisten pada cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas dan beberapa
olahraga tertentu. Gambaran patologi secara histologi dari DAI pada manusia adalah terdapat kerusakan yang luas pada akson dari batang otak, parasagittal white matter dari korteks serebri,
korpus kallosum dan gray-white matter junction dari korteks serebriSmith et al, 1999. Pada DAI ringan dan sedang umumnya tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan radiologi baik
CT-scan dan MRI. Namun pada pemeriksaan mikroskopis akan dijumpai akson-akson yang membengkak dan putus. Mekanisme utama terjadinya DAI adalah akibat dari pergerakkan
rotasional dari otak saat akselerasi dan deselerasi. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan densitas dari jaringan otak yaitu jaringan white matter lebih berat dibandingkan grey matter. Pada saat
otak mengalami rotasi akibat kejadian akselerasi-deselerasi, jaringan dengan densitas lebih rendah bergerak lebih cepat dibandingkan dengan jaringan dengan densitas lebih besar.
Perbedaan kecepatan inilah yang menyebabkan robekan pada akson neuron yang menghubungkan grey matter dan white matterSmith et al, 1999.
Terdapat dua fase dari cedera aksonal pada DAI yaitu fase pada cedera primer dan cedera sekunder atau fase lambat. Pada cedera primer robekkan akson terjadi akibat regangan saat
kejadiaan. Sedangkan pada fase lambat terjadi perubahan biokimia yang mengakibatkan pembengkakan dan putusnya akson-akson. Perubahan biokimia yang terjadi yaitu peningkatan
influks natrium yang juga memicu influks kalsium. Peningkatan kadar kalsium ini akan menyebabkan aktifnya calsium-mediated proteolysis. Kerusakan akson menyebabkan kerusakan
dari pengangkutan sehingga terjadi penunmpukan di dalam akson yang membengkak. Kerusakan akson yang luas akan menyebabkan atrofi otak dengan ventrikulomegali yang dapat
menyebabkan kejang, spastisitas, penurunan fungsi intelektual dan yang paling berat adalah vegetative state
Blumbergs, 2011.
Universitas Sumatera Utara
2.4.4 Cedera kepala sekunder Secondary Brain Injury
Cedera kepala sekunder terjadi setelah trauma awal dan ditandai dengan kerusakan neuron-neuron akibat respon fisiologis sistemik terhadap cedera awal Marik dkk,2002. Faktor
sekunder akan memperberat cedera kepala dikarenakan hasil shearing pada laserasi otak, robekan pembuluh darah, spasme vaskuler, oedem serebral, hipertensi intrakranial, pengurangan
cerebral blood flow CBF, iskemik,hipoksia dan lainnya yang dapat menimbulkan kerusakan
dan kematian neuron Gilroy, 2000. Sejumlah substans biokemikal telah terbukti memiliki peranan dalam perkembangan
cedera neural setelah cedera kranioserebral. Substan ini meliputi asam amino eksitatori glutamat dan aspartate, sitokin dan radikal bebas Marik dkk,2002.
2.5 Mekanisme terjadinya fraktur pada cedera kepala 2.5.1 Perubahan pada tengkorak
Bila suatu benda bergerak memukul kepala atau bergerak mengenai suatu benda, maka pada waktu kontak antara keduanya akan terbentuk energi yang besarnya bergantung pada
massa, densitas, bentuk dan kecepatan benda yang memukul. Sebagian dari energi benda akan diserap oleh kepala dan menyebabkan terjadinya deformitas berupa pelekukan ke dalam
inbending tulang pada lokasi benturan impak. Jika energi yang terserap melewati suatu ambang tertentu maka terjadilah fraktur tengkorak.
Banyaknya serta karakteristik deformitas tengkorak terutama ditentukan oleh kecepatan obyek yang memukul dan lamanya energi bekerja pada tengkorak lamanya penyerapan energi.
Selain itu ukuran dan bentuk obyek serta ketebalan tulang turut pula berpengaruh pada hal tersebut. Pada saat terjadi kekerasan pada kepala, tulang tengkorak pada daerah pukulan akan
melekuk ke dalam deformitas lokal, sedangkan daerah-daerah tertentu yang berjauhan dari lokasi pukulan akan melekuk ke luar deformitas umum. Jika pelekukan pada daerah impak
tidak terlalu besar, maka tulang akan kembali ke kedudukannya semula rebound dan di daerah tersebut tidak akan terjadi fraktur depresi. Pada keadaan ini biasanya terjadi pelekukan ke luar
outbending yang bermakna pada daerah yang justru berjauhan dari daerah impak.
Universitas Sumatera Utara
Pelekukan keluar ini akan menimbulkan kekuatan robekan pada permukaan luar tengkorak sehingga di sini bermula suatu fraktur linier yang menjalar dalam dua arah yang
berlawanan, yaitu satu patahan berjalan menuju impak dan yang lainnya menjauhi impak. Jika pelekukan ke dalam daerah impak cukup hebat, maka pada daerah impak akan terjadi fraktur
depresi. Pada keadaan ini ada tidaknya pelekukan ke luar pada daerah yang berjauhan dari impak bergantung pada kecepatan penyerapan energi di titik impak kecepatan impak. Semakin cepat
pukulan, maka semakin kurang pelekukan ke luar pada daerah yang berjauhan dari impak dan bertambah terlokalisasi di daerah depresi yang terjadi. Dengan demikian, pada keadaan ini kita
dapat menjumpai adanya 3 kemungkinan pola fraktur, yaitu fraktur linier saja yang berjalan dari perifer menuju impak, fraktur depresi saja di daerah impak atau fraktur depresi dan satu atau
lebih fraktur linier yang berjalan dari perifer menuju ke daerah depresi Soemarmo Markam, 1999.
2.6 Pemeriksaan Klinis pada Cedera Kepala 2.6.1 Anamnesis