Profil Kadar GulaDarahSewaktu Dan Hematokrit Dan Hasil Akhir Klinis Penderita Kontusio Serebri di IGD RSUP H. Adam Malik, Medan Pada Tahun 2012
PROFIL KADAR GULA DARAH SEWAKTU DAN HEMATOKRIT DAN HASIL AKHIR KLINIS PENDERITA KONTUSIO SEREBRI PADA TAHUN 2012 DI IGD
RSUP. H. ADAM MALIK, MEDAN
Oleh: KOMANA 100100296
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(2)
PROFIL KADAR GULA DARAH SEWAKTU DAN HEMATOKRIT DAN HASIL AKHIR KLINIS PENDERITA KONTUSIO SEREBRI PADA TAHUN 2012 DI IGD
RSUP. H. ADAM MALIK, MEDAN
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh: KOMANA 100100296
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(3)
LEMBAR PENGESAHAN
Judul :Profil Kadar GulaDarahSewaktu Dan Hematokrit Dan
HasilAkhirKlinisPenderitaKontusioSerebri Di IGD RSUP.H. Adam Malik, Medan PadaTahun 2012
Nama :Komana NIM : 100100296
Pembimbing, Penguji ,
Dr.dr. Rr. Suzy Indharty, M.Kes. Sp.BS dr. JessyChrestella, Sp. PA
(4)
ABSTRAK
Latar belakang : Cedera kepala merupakan masalah kesehatan utama di negara maju dan berkembang. Pengobatan dan peningkatan hasil akhir pada penderita cedera kepala masih menjadi tantangan dalam bidang kedokteran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah parameter laboratorium yaitu kadar gula darah sewaktu dan kadar hematokrit saat masuk dapat menjadi prediktor terhadap hasil pada penderita kontusio serebri.
Tujuan : Untuk meneliti profil kadar gula darah sewaktu dan kadar hematokrit dengan hasil akhir klinis penderita kontusio serebri pada tahun 2012 di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM).
Metode penelitian : Dalam penelitian ini, pendekatan deskriptif dengan desain penelitian cross sectional study digunakan. Data penelitian diambil secara retrospektif (sekunder) dari rekam medis yaitu pada tahun 2012 untuk mengetahui profil kadar gula darah dan hematokrit penderita kontusio serebri di IGD RSUP. H. Adam Malik Medan Sampel penelitian adalah semua penderita kontusio serebri di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dari periode 1 Januari - 31 Desember 2012. Pengambilan sampel harus memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang telah ditetapkan. Pengolahan data telah dilakukan dengan menggunakan komputer dengan perisian SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) versi 20,0, kemudian dianalisa dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi. Hasil : Jumlah kasus penderita kontusio serebri di Intalasi Gawat Darurat RSUP. H. Adam Malik dari periode 1 Januari - 31 Desember 2012 berjumlah 49 kasus. Proporsi terbanyak penderita kontusio serebri berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahawa laki-laki seramai 38 orang yaitu 77.6% daripada keseluruhan responden. Sementara perempuan seramai 11 orang yaitu 22.4% daripada keseluruhan responden dan berdasarkan kelompok umur menunjukkan bahawa kelompok umur yang paling tinggi adalah 21-30 tahun yaitu seramai 21 orang (42.9%), diikuti dengan kelompok umur 31-40 tahun yaitu seramai 11 orang (22.4%). Kelompok umur 41-50 tahun dan 51-60 tahun masing-masing terdiri dari 7 orang (14.3%) dan 8 orang (16.3%). Kelompok umur yang terendah adalah kelompok umur 18-20 tahun yaitu seramai 2 orang (4.1%). Berdasarkan hasil penelitian 49 orang (100%) responden adalah penderita kontusio serebri yang mempunyai kadar gula darah sewaktu normal dan kadar hematokrit menurun.
Kesimpulan dan saran : Pada pihak Rumah Sakit disarankan untuk melengkapi sistem pencatatan yang sudah ada tentang penderita kontusio serebri yang dirawat untuk dipergunakan pada penelitian lebih lanjut. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar dan kriteria inklusi serta eksklusi yang lebih ketat.Semua penderita kontusio serebri harus segera diperiksa parameter labotarium yang dapat memperburuk sehingga segera dapat dilakukan koreksi untuk mencegah hasil akhir klinis yang lebih buruk
(5)
Abstract
Background: Head injury is a major health problem in developed and developing countries. Treatment and improvement of clinical outcome in patients with head injury remains a challenge in the field of medicine. This study aims to determine whether the laboratory parameters, namely blood glucose and hematocrit levels during the time of admission can be a predictor of outcome in patients with cerebral contusions.
Objective: To examine the profile of blood glucose and hematocrit levels during the clinical outcome of patients with cerebral contusions in 2012 in di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM).
Method: In this study, a descriptive approach to the design of the study used a cross-sectional study. The data were taken retrospectively (secondary) of the medical record that is in the year 2012 to know the profile of blood sugar levels and hematocrit in patients with cerebral contusions Hospital ER. H. Adam Malik samples were all patients with cerebral contusions in the ER General Hospital Haji Adam Malik of the period 1 January to 31 December 2012. Sampling must meet the inclusion and exclusion criteria that have been set. Data processing was performed using SPSS computer with perisian (Statistical Package for the Social Sciences) version 20.0, then analyzed and the results are presented in tabular form distribution.
Result: The number of cases of patients with cerebral contusions in intalasi Emergency Hospital. H. Adam Malik of the period January 1 - December 31, 2012 amounted to 49 cases. The highest proportion of people with cerebral contusions by sex demonstrated that men are as busy as 38 people rather than the overall 77.6% of respondents. While women are busy as 11 people than 22.4% of respondents overall and by age group demonstrated that the highest age group is 21-30 years old that is as busy as 21 people (42.9%), followed by age group 31-40 years are as busy as 11 people (22.4 %). Age groups 41-50 years and 51-60 years each consisting of 7 persons (14.3%) and 8 (16.3%). Lowest age group is 18-20 year age group is as busy 2 (4.1%). Based on the results of 49 studies (100%) of the respondents were cerebral contusion patients who have normal blood sugar levels and hematocrit levels while decreasing
Conclussion: At the Hospital advised to complement the existing recording system on cerebral contusion patients treated for use in further research. Further research needs to be conducted with a larger sample size and the inclusion and exclusion criteria are more cerebral contusions ketat.Semua patient should be examined labotarium parameters that can worsen so that corrections can be done immediately to prevent clinical outcomes worst
(6)
KATA PENGANTAR
Penulis bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karunia-Nya yang telah memelihara dan memampukan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
Banyak sekali hambatan dan tantangan yang dialami penulis selama menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Dengan dorongan, bimbingan, dan arahan dari beberapa pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini tepat pada waktunya. Ucapan jutaan terima kasih ini penulis tujukan kepada kedua orang tua penulis yaitu Bapak Sangar dan Ibu Salachei yang telah memberikan dorongan dan doa restu, baik moral maupun material selama penulis menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada :
1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD. KGEH atas izin penelitian yang telah diberikan.
2. Dr.dr. Rr. Suzy Indharty, M.Kes., Sp.BS selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
3. Direktur RSUP. H. Adam Malik, Medan atas izin penelitian yang diberikan untuk melakukan penelitian di RSUP. H. Adam Malik.
4. Staf-Staf Bagian Rekam Medis RSUP. H. Adam Malik yang telah membantu penulis dalam mendapatkan infromasi rekam medis yang dibutuhkan.
5. Kepada teman-teman penulis yang ikut membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
(7)
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan Rahmat dan Karunia-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan segala bantuan tersebut di atas. Skripsi ini tentu saja masih jauh dari sempurna, sehingga penulis dengan senang hati menerima kritik demi perbaikan. Kepada peneliti lain mungkin masih bisa mengembangkan hasil penelitian ini pada ruang lingkup yang lebih luas dan analisis yang lebih tajam. Akhirnya semoga skripsi ini ada manfaatnya. Demikian dan terima kasih.
Disember 2013,
(8)
DAFTAR ISI
Halaman Persetujuan ... ii
Kata Penghantar………..iii
Daftar Isi……….. ………...iv
Daftar Tabel………...v
Daftar Gambar………..vi
Daftar Istilah/ Singkatan……….vii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 3
1.3.1. Tujuan Umum ... 3
1.3.2. Tujuan khusus ... 3
1.4. Manfaat Penelitian ... 3
1.4.1. Untuk Rumah Sakit ... 3
1.4.2. Untuk Peneliti Lain ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 5
2.1.Anatomi kepala ... 5
2.1.1 Kulit kepala ... 5
2.1.2 Tulang Tengkorak ... 5
2.1.3.Meningia ... 5
2.2 Definisi cedera kepala ... 6
2.3. Epidemiologi ... 9
2.4. Patofisiologi ... 9
2.4.1. Cedera kepala primer ... 10
(9)
2.4.3. Diffuse axonal injury ... 13
2.4.4. Cedera kepala sekunder ... 14
2.5. Mekanisme terjadinya fraktur pada cedera kepala ... 14
2.5.1.Perubahan pada tengkorak ... 14
2.6 Pemeriksaan Klinis pada Cedera Kepala ... 15
2.6.1 Anamnesis ... 15
2.6.2 Pemeriksaan Fisik ... 15
2.7 Pemeriksaan Laboratorium ... 17
2.7.1 Glukosa ... 17
2.7.2 Hematokrit ... 18
2.8 Pemeriksaan Radiologis ... 20
2.8.1 Foto Rongen ... 20
2.8.2 CT Scan Kepala ... 20
2.8.3 Magnetic Resonance Imaging (MRI) ... 21
2.8.4 Glasgow Outcome Scale ... 21
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 24
3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... ………24
3.2. Definisi Operasional ... 24
3.3 Cara Ukur ... 25
3.4 Alat Ukur ... 25
BAB 4 METODE PENELITIAN ... 26
4.1. Rancangan Penelitan ... 26
4.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... 26
4.3. Populasi dan Sampel ... 26
4.3.1. Populasi ... 26
(10)
4.4 . Kriteria Inklusi dan Ekslusi ... 27
4.4.1 Kriteria Inklusi...27
4.4.2 Kriteria Ekslusi...28
4.4. Jenis dan Sumber Data...28
4.5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data...28
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...29
5.1. Hasil Penelitian ...29
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ...29
5.1.2. Deskripsi Karekteristik Penelitian ...29
5.1.2.1 Jenis Kelamin ...29
5.1.2.2. Umur ...31
5.1.2.3 Kadar Gula Darah Sewaktu ... 31
5.1.2.4 Kadar Hematokrit. ...32
5.2 Pembahasan ...32
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ...36
6.1. Kesimpulan ...36
6.2. Saran ...37
DAFTAR PUSTAKA………..38
(11)
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Stratifikasi Resiko pada Penderita dengan Cedera Kepala...8 Table 2.2 Glasgow Coma Scale...16
(12)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Lapisan Meningea ... 6 Gambar 2.2 Trauma kepala tertutup ... 10 Gambar 2.3 Mekanisme Terjadinya Kontusio Kepala ... 12
(13)
DAFTAR ISTILAH/ SINGKATAN
ADO : Aliran Darah Otak CBF : Cerebral Blood Flow CT : Computed Tomografi DAI : Diffuse Axonal Injury GOS : Glassgow Outcome Scale MRI : Magnetic Resonance Imaging PTA : Post Traumatic Amnesia RS : Rumah Sakit
(14)
ABSTRAK
Latar belakang : Cedera kepala merupakan masalah kesehatan utama di negara maju dan berkembang. Pengobatan dan peningkatan hasil akhir pada penderita cedera kepala masih menjadi tantangan dalam bidang kedokteran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah parameter laboratorium yaitu kadar gula darah sewaktu dan kadar hematokrit saat masuk dapat menjadi prediktor terhadap hasil pada penderita kontusio serebri.
Tujuan : Untuk meneliti profil kadar gula darah sewaktu dan kadar hematokrit dengan hasil akhir klinis penderita kontusio serebri pada tahun 2012 di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM).
Metode penelitian : Dalam penelitian ini, pendekatan deskriptif dengan desain penelitian cross sectional study digunakan. Data penelitian diambil secara retrospektif (sekunder) dari rekam medis yaitu pada tahun 2012 untuk mengetahui profil kadar gula darah dan hematokrit penderita kontusio serebri di IGD RSUP. H. Adam Malik Medan Sampel penelitian adalah semua penderita kontusio serebri di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dari periode 1 Januari - 31 Desember 2012. Pengambilan sampel harus memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang telah ditetapkan. Pengolahan data telah dilakukan dengan menggunakan komputer dengan perisian SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) versi 20,0, kemudian dianalisa dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi. Hasil : Jumlah kasus penderita kontusio serebri di Intalasi Gawat Darurat RSUP. H. Adam Malik dari periode 1 Januari - 31 Desember 2012 berjumlah 49 kasus. Proporsi terbanyak penderita kontusio serebri berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahawa laki-laki seramai 38 orang yaitu 77.6% daripada keseluruhan responden. Sementara perempuan seramai 11 orang yaitu 22.4% daripada keseluruhan responden dan berdasarkan kelompok umur menunjukkan bahawa kelompok umur yang paling tinggi adalah 21-30 tahun yaitu seramai 21 orang (42.9%), diikuti dengan kelompok umur 31-40 tahun yaitu seramai 11 orang (22.4%). Kelompok umur 41-50 tahun dan 51-60 tahun masing-masing terdiri dari 7 orang (14.3%) dan 8 orang (16.3%). Kelompok umur yang terendah adalah kelompok umur 18-20 tahun yaitu seramai 2 orang (4.1%). Berdasarkan hasil penelitian 49 orang (100%) responden adalah penderita kontusio serebri yang mempunyai kadar gula darah sewaktu normal dan kadar hematokrit menurun.
Kesimpulan dan saran : Pada pihak Rumah Sakit disarankan untuk melengkapi sistem pencatatan yang sudah ada tentang penderita kontusio serebri yang dirawat untuk dipergunakan pada penelitian lebih lanjut. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar dan kriteria inklusi serta eksklusi yang lebih ketat.Semua penderita kontusio serebri harus segera diperiksa parameter labotarium yang dapat memperburuk sehingga segera dapat dilakukan koreksi untuk mencegah hasil akhir klinis yang lebih buruk
(15)
Abstract
Background: Head injury is a major health problem in developed and developing countries. Treatment and improvement of clinical outcome in patients with head injury remains a challenge in the field of medicine. This study aims to determine whether the laboratory parameters, namely blood glucose and hematocrit levels during the time of admission can be a predictor of outcome in patients with cerebral contusions.
Objective: To examine the profile of blood glucose and hematocrit levels during the clinical outcome of patients with cerebral contusions in 2012 in di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM).
Method: In this study, a descriptive approach to the design of the study used a cross-sectional study. The data were taken retrospectively (secondary) of the medical record that is in the year 2012 to know the profile of blood sugar levels and hematocrit in patients with cerebral contusions Hospital ER. H. Adam Malik samples were all patients with cerebral contusions in the ER General Hospital Haji Adam Malik of the period 1 January to 31 December 2012. Sampling must meet the inclusion and exclusion criteria that have been set. Data processing was performed using SPSS computer with perisian (Statistical Package for the Social Sciences) version 20.0, then analyzed and the results are presented in tabular form distribution.
Result: The number of cases of patients with cerebral contusions in intalasi Emergency Hospital. H. Adam Malik of the period January 1 - December 31, 2012 amounted to 49 cases. The highest proportion of people with cerebral contusions by sex demonstrated that men are as busy as 38 people rather than the overall 77.6% of respondents. While women are busy as 11 people than 22.4% of respondents overall and by age group demonstrated that the highest age group is 21-30 years old that is as busy as 21 people (42.9%), followed by age group 31-40 years are as busy as 11 people (22.4 %). Age groups 41-50 years and 51-60 years each consisting of 7 persons (14.3%) and 8 (16.3%). Lowest age group is 18-20 year age group is as busy 2 (4.1%). Based on the results of 49 studies (100%) of the respondents were cerebral contusion patients who have normal blood sugar levels and hematocrit levels while decreasing
Conclussion: At the Hospital advised to complement the existing recording system on cerebral contusion patients treated for use in further research. Further research needs to be conducted with a larger sample size and the inclusion and exclusion criteria are more cerebral contusions ketat.Semua patient should be examined labotarium parameters that can worsen so that corrections can be done immediately to prevent clinical outcomes worst
(16)
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama dikalangan usia produktif khususnya di Negara berkembang. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah disamping penanganan pertama yang belum benar dan rujukan yang terlambat. Pada satu studi prospektif cedera kepala berat dengan pemeriksaan CT Scan didapat hasil, 30% normal dan 70% abnormal ( Japardi, I, 2004)
Kasus cedera kepala yang dirawat di departemen saraf RS Cipto Mangunkusumo selama tahun 1981-1982 adalah sebesar 1850 orang, 1642 orang (88,75%) di antaranya adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Sedangkan kasus cedera kepala di unit gawat darurat RS Cipto Mangunkusumo pada tahun 1982 adalah 4146 orang, 4056 dewasa dan 90 anak-anak. Di antara 1642 kasus yang dirawat tersebut 137 meninggal dunia. ( S. Harahap, 1983)
Dengan tingginya angka kematian akibat trauma merupakan tantangan dalam menangani penderita cedera kepala sejak terjadinya kecelakaan, dibawa ke rumah sakit dan tindakan/ perawatan di rumah sakit. Dengan kemajuan di bidang kedokteran penegakan diagnosis serta menentukan prognosis penderita cedera kepala lebih baik seperti pada pemeriksaan klinis,
Glassgow Coma Scale ( GSC), Computed Tomografi ( CT ) Scan atau Magnetic Resonance Imagine ( MRI) kepala. Disamping itu juga dapat dilakukan pemeriksaan darah rutin. Termasuk didalamnya pemeriksaan kadar gula darah dan pemeriksaan hematokrit. ( Fearnside, 1997).
Pentingnya hiperglikemi iskemik telah dibuktikan dengan baik pada klinis dan percobaan. Bukti yang paling kuat dari nilai prognostic dari parameter laboratorium terdapat pada glukosa, dengan kadar yang tinggi dikaitkan dengan outcome yang jelek. Peranan patofisiologi kerusakan neuronal setelah trauma kapitis belum jelas. ( Kinoshita dkk, 2002).
Jeremitsky dkk pada suatu studi dari 81 pasien yang didiagnosa dengan trauma kapitis, telah ditemukan bahwa hiperglikemi dihubungkan dengan peningkatan mortilitas dan keberadaan di rumah sakit yang lebih lama ( cit Paolino dan Garner, 2005).
(17)
Pada penelitian yang lain dari pasien trauma kapitis, kadar glukosa yang tinggi pada saat masuk dikaitkan dengan outcome neurologi yang lebih buruk ( Paolino dan Garner , 2005).
Young dkk (1989) melakukan studi pada 59 pasien trauma kapitis secara konsekutif untuk menilai hubungan hiperglikemi pada saat masuk dengan outcome neurologi pada pasien trauma kapitis berat. Studi ini memberikan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
outcome saat 3 bulan dan 1 tahun dan kadar glukosa darah puncak 24 jam saat masuk rumah sakit. Pasien dengan kadar glukosa darah puncak 24 jam kurang dari atau sama dengan 200mg/dL memiliki persentase yang lebih baik untuk outcome baik pada hari ke 18, 3 bulan dan 1 tahun dibanding dengan pasien yang kadar glukosa darah puncak 24 jam waktu masuknya lebih dari 200 mg/ dL.
Banyak studi telah menunjukkan bahwa Aliran Darah Otak (ADO) akan turun secara bermakna dalam beberapa jam pertama setelah mendapat cedera kepala berat baik pada manusia dan model hewan ( Bauma, Muizelaar. 1992; Obrist et al.1994)
Pada sekitar sepertiga penderita cedera kepala, menunjukkan penurunan yang signifikan ADO selama 24 jam pertama dibandingkan orang seha dan meningkat mencapai puncaknya pada hari kedua ( Saustiel JF, Levy E. 2002).
Hematokrit darah diantara 30-35% secara luas diterima sebagai kadar optimal pada penderita cedera kepala. Angka ini didapat dari beberapa studi eksperimental terhadap vesikositas darah dan kapasitas pengangkutan oksigen ( Saustiel JF, Levy E. 2002);(Deutsch H,Ulman JS, 2005).
Sampai saat ini belum ada didapati data penelitian tentang apakah pada cedera kepala yang menyebabkan penurunan ADO akan meningkatkan hematokrit secara bermakna. Apakah peningkatan hematocrit tersebut berhubungan dengan tingkat keparahan cedera kepala.
Dari ulasan tersebut penulis tertarik untuk meneliti profil kadar gula darah sewaktu dan kadar hematokrit dengan hasil akhir klinis penderita kontusio serebri pada tahun 2012 di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM).
(18)
1.2. Perumusan Masalah
Profil kadar gula darah sewaktu dan kadar hematokrit dengan hasil akhir klinis penderita kontusio serebri pada tahun 2012 di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM).
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui profil kadar gula darah sewaktu dan kadar hematokrit dengan hasil akhir klinis penderita kontusio serebri pada tahun 2012 di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM).
1.3.2 Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui kasus penderita kontusio serebri berdasarkan rekam medis pada tahun 2012 di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM).
b. Untuk mengetahui profil kadar gula darah sewaktu dan hubungannya pada penderita kontusio serebri pada tahun 2012 di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM).
c. Untuk mengetahui profil kadar hematokrit dan hubungannya pada penderita kontusio serebri pada tahun 2012 di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM).
(19)
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Untuk Rumah Sakit
Dapat dipakai sebagai informasi atau masukan dalam meningkatkan pelayanannya terutama dalam menangani parameter laboratorium pada penderita kontusio serebri
1.4.2. Untuk Peneliti Lain
Dapat dipakai sebagai sumber informasi untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian yang telah dilakukan penulis.
(20)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Kepala
2.1.1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue
atau jaringan penunjang longgar dan perikranium (Japardi, I., 2002).
2.1.2 Tulang Tengkorak
Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua bagian yaitu kranium (kalvaria) yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka wajah yang terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan atas yang dikenal sebagai kubah tengkorak, licin pada permukaan luar dan pada permukaan dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan pembuluh darah. Permukaan bawah dari rongga dikenal sebagai dasar tengkorak atau basis kranii. Dasar tengkorak ditembusi oleh banyak lubang supaya dapat dilalui oleh saraf dan pembuluh darah (Pearce, EC.,2008).
2.1.3. Meningia
Meningia merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang. Fungsi meningia yaitu melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil benturan atau getaran terdiri atas 3 lapisan, yaitu:
a. Durameter (Lapisan sebelah luar)
Durameter ialah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan dura meter propia di bagian dalam. Di dalam kanalis vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Durameter pada tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior yang terletak diantara kedua hemisfer otak
(21)
Selaput arakhnoid merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter yang membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf sentral.
c. Piameter (Lapisan sebelah dalam)
Piameter merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piameter berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trebekel. Tepi falks serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior yang mengeluarkan darah dari flaks serebri. Tentorium memisahkan cerebrum
dengan serebellum (Pearce, EC.,2008).
Gambar 2.1 Lapisan Meningea 2.2. Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala adalah suatu ruda paksa yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan structural dan gangguan fungsional jaringan otak. Cedera kepala melibatkan setiap komponen yang ada, mulai dari bagian terluar (kulit kepala) hingga bagian terdalam (otak). Setiap komponen yang terlibat memiliki kaitan yang erat dengan mekanisme cedera kepala yang terjadi. Cedera kepala merupakan hantaran energi luar seperti tenaga mekanik yang menyebabkan rusaknya jaringan kepala sehingga timbul reaksi jaringan (Fearnside, 1997)
Cedera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cedera baik yang trauma tertutup ataupun trauma tertembus (Satya Negara, 1998 : 59). Kontusio cerebri adalah sindrom
(22)
yang melibatkan bentuk ringan dari cedera otak yang menyebar. Terjadi disfungsi neurologis sementara dan bersifat dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan kesadaran. Jika ada penurunan kesadaran mungkin pasien mengalami disorientasi dan binggung hanya dalam waktu singkat (Hudak dan Gallo, 1996 : 227)
Cedera otak adalah proses patologis jaringan otak yang bukan bersifat degeneratif ataupun kongenital, melainkan akibat kekuatan mekanis dari luar, yang menyebabkan gangguan fisik, fungsi kognitif, dan psikososial. Gangguan ini dapat bersifat menetap atau sementara dan disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran(Valadka,1996).Berdasarkan mekanismenya cedera otak di bagi atas cedera otak tumpul dan cedera otak tembus/tajam (penetrating head injury) (Valadka, 1996).
Kontusio serebri yang dimaksud dalam penelitian ini didasarkan pada penilaian klinis dengan Glasgow Coma Scale (GCS) dan CT-scan kepala dimana didapati adanya intracerebral hemorrhage yang tidak ada indikasi operasi. Cedera kepala kami bagi atas:cedera kepalasedang (CKS) dengan GCS 9-13 dan cedera kepala berat (CKB) dengan GCS 3-8.
(23)
Tabel 2.1. stratifikasi resiko pada penderita dengan cedera kepala Kategori resiko Karakteristik Ringan Pemeriksaan neurologi normal
Tidak ada kontusio
Tidak ada intoksikasi obat atau alcohol Dapat mengeluh nyeri kepala atau dizziness
Dapat dijumpai abrasi scalp, laserasi atau hematoma Tidak ada kriteria trauma sedang atau berat
Sedang SKG 9-14 (bingung, lethargi,stupor)
Concussion
Posttraumatic amnesia
Muntah Seizure
Kemungkinan tanda basiler atau fraktur tengkorak yang menekan atau cedera wajah yang serius
Intoksikasi obat atau alcohol
Tidak ada riwayat cedera atau riwayat tidak jelas Usia < 2 tahun atau kemungkinan child abuse
Berat SKG 3-8 (koma)
Penurunan progressif tingkat kesadaran Tanda neurologic fokal
Cedera penetrasi tengkorak atau fraktur tengkorak
Dikutip dari : Mayer SA, Rowland LP . Head Injury . In : Rowland LP , editor. Merritt’s Neurology. 10th ed.Philadelphia : Lippincott Williams & Wikkins; 2000. P401-6.
(24)
2.3 Epidemiologi
Insiden trauma kapitis di negara-negara berkembang adalah 200/100.000 populasi per tahun. Dalam satu studi yang berdasarkan populasi menunjukkan bahwa insiden trauma kapitis sekitar 180-250/100.000 populasi per tahun di Amerika Serikat. Insiden lebih di Eropa dari 91/100.000 populasi per tahun di Spanyol hingga 546/100.000 di Swedia, di Southern Australia 322/100.000 dan di Afrika Selatan 316/100.000 (Bondanelli dkk, 2005).
Di Indonesia data epidemiologi secara nasional belum ada. Di ruang rawat neurologi RSCM Jakarta, dari tahun ketahun terdapat peningkatan. Pada tahun 1994 jumlah penderita dirawat 1002 orang. (Musridharta dkk, 2006).
Insiden tertinggi penderita trauma kapitis ditemukan pada kelompok umur 15-24 tahun atau 75 tahun lebih, sedangkan pada anak insiden puncaknya pada usia kurang dari 5 tahun. Angka insiden untuk pria dua kali lebih sering dibanding wanita dengan ratio tertinggi pada remaja dan dewasa muda, dan range dari 1,2 : 1 sampai 4,4 : 1 dalam populasi yang berbeda (Bondanelli dkk ,2005 ).
2.4 Patofisiologi
Patofisiologi menurut Markum (1999), trauma pada kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetak, kerusan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal ini menyebabkan pembuluh darah robek sehingga menyebabkan hematoma epidural, subdural, maupun intrakranial, perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplai oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringa akan menyebabkan odema serebral.
Akibat dari hematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan tekanan intrakranial merangsang kelenjar dan steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa mual dan muntah sehingga masukan nutrisi kurang ( Satyanegara, 1998).
(25)
Patofisiologi kerusakan diotak akibat trauma kapitis dapat dikelompokkan dengan dua stadium yaitu cedera kepala primer dan sekunder (Gilroy, 2000; Marik dkk, 2002; Hemphill,2005).
Gambar 2.2 Trauma kepala tertutup 2.4.1 Cedera kepala primer ( Primary Brain Injury)
Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang dapat memberi efek pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan lokal, multifokal ataupun difus (Valadka, 1996).
Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan / atau pembuluh darah. Cedera parenkim berupa kontusio, laserasi atau diffuse axonal injury (DAI), sedangkan cedera pembuluh darah berupa perdarahan epidural, subdural, subarachnoid dan intraserebral (Graham,1995), yang dapat dilihat pada CT-scan. Cedera difus meliputi kontusio serebri, perdarahan subarachnoid traumatik dan DAI. Sebagai tambahan sering terdapat perfusi iskhemik baik fokal maupun global (Valadka, 1996).
(26)
Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti hipotensi, hipoksia, tekanan intrakranial /Intracranial Pressure (ICP) yang meninggi, edema, kompresi jaringan fokal, kerusakan mikrovaskularpada fase lanjut (late phase), dimana terjadi vasospasme (Vazquez-Barquero,1992; Ingebrigtsen, 1998). Keadaan setelah cedera kepala dapat dibagi menjadi:
1. Fase awal (fase 1, segera, dengan hipoperfusi),
2. Fase intermediate (fase 2, hari 1-3, tampak hyperemia) dan
3. Fase lanjut vasospastic (fase 3, hari ke-4-15), dengan reduksi aliran darah (Ingebrigtsen, et al. 1998).
Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional Cerebral Blood Flow (CBF), dan reduksi aliran darah ke sekitar inti iskhemik (ischemic core) yang tidak memberi respon terhadap bertambahnya Cerebral Perfusion Pressure (CPP) (Andersson, 2003).
2.4.2 Kontusio Serebri (memar otak)
Kontusio serebri merupakan cedera fokal kepala yang paling sering terjadi.Dilaporkan bahwa 89% mayat yang diperiksa postmortem mengalami kontusio serebri (Cooper, 1982).Depreitere et al melaporkan bahwa kasus kontusio serebri paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian dan cedera olahraga (Depreitere B, 1982).Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi dan deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim otak dan perdarahan mikro di sekitar kapiler pembuluh darah otak.Pada kontusio serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang menjadi perdarahan serebral. Namun pada cedera berat, kontusio serebri sering disertai dengan perdarahan subdural, perdaraham epidural, perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid (Hardman, 2002).
(27)
Freytag dan Lindenberg (1957) mengemukakan bahwa padadaerah kontusio serebri terdapat dua komponen, yaitu daerah inti yang mengalami nekrosis dan daerah perifer yang mengalami pembengkakan seluler yang diakibatkan oleh edema sitotoksik. Pembengkakan seluler ini sering dikenal sebagai pericontusional zone yang dapat menyebabkan keadaan lebih iskemik sehingga terjadi kematian sel yang lebih luas. Hail ini disebabkan oleh kerusakan autoregulasi pembuluh darah di pericontusional zone sehingga perfusi jaringan akan berkurang akibat dari penurunan mean arterial pressure (MAP) atau peningkatan tekanan intrakranial. Proses pembengkakan ini berlangsung antara 2 hingga 7 hari. Penderita yang mengalami kontusio ini memiliki risiko terjadi kecacatan dan kejang di kemudian hari (Davis G, 2009 ).
Gambar 2.3. Mekanisme Terjadinya Kontusio Kepala (Mesiano, 2010) Penyebab penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi kepala yang juga menimbulkan pergeseran otak dengan tulang tengkorak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat akan menyebabkan hiperekstensi kepala.Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularisdifus. Akibat hambatan itu, otak tidak mendapat input aferen sehingga kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung (Liau et al, 1996).
(28)
2.4.3 Diffuse Axonal Injury
Diffuse axonal injury merupakan istilah yang kurang tepat, sebab ini bukan merupakan cedera difus pada seluruh daerah otak. Cedera yang terjadi lebih dominan pada area otak tertentu yang mengalami percepatan yang tinggi dan cedera deselerasi dengan durasi yang panjang. DAI merupakan ciri yang konsisten pada cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas dan beberapa olahraga tertentu. Gambaran patologi secara histologi dari DAI pada manusia adalah terdapat kerusakan yang luas pada akson dari batang otak, parasagittal white matter dari korteks serebri, korpus kallosum dan gray-white matter junction dari korteks serebri(Smith et al, 1999).
Pada DAI ringan dan sedang umumnya tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan radiologi baik CT-scan dan MRI. Namun pada pemeriksaan mikroskopis akan dijumpai akson-akson yang membengkak dan putus. Mekanisme utama terjadinya DAI adalah akibat dari pergerakkan rotasional dari otak saat akselerasi dan deselerasi. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan densitas dari jaringan otak yaitu jaringan white matter lebih berat dibandingkan grey matter. Pada saat otak mengalami rotasi akibat kejadian akselerasi-deselerasi, jaringan dengan densitas lebih rendah bergerak lebih cepat dibandingkan dengan jaringan dengan densitas lebih besar. Perbedaan kecepatan inilah yang menyebabkan robekan pada akson neuron yang menghubungkan grey matter dan white matter(Smith et al, 1999).
Terdapat dua fase dari cedera aksonal pada DAI yaitu fase pada cedera primer dan cedera sekunder atau fase lambat. Pada cedera primer robekkan akson terjadi akibat regangan saat kejadiaan. Sedangkan pada fase lambat terjadi perubahan biokimia yang mengakibatkan pembengkakan dan putusnya akson-akson. Perubahan biokimia yang terjadi yaitu peningkatan influks natrium yang juga memicu influks kalsium. Peningkatan kadar kalsium ini akan menyebabkan aktifnya calsium-mediated proteolysis. Kerusakan akson menyebabkan kerusakan dari pengangkutan sehingga terjadi penunmpukan di dalam akson yang membengkak. Kerusakan akson yang luas akan menyebabkan atrofi otak dengan ventrikulomegali yang dapat menyebabkan kejang, spastisitas, penurunan fungsi intelektual dan yang paling berat adalah
(29)
2.4.4 Cedera kepala sekunder ( Secondary Brain Injury)
Cedera kepala sekunder terjadi setelah trauma awal dan ditandai dengan kerusakan neuron-neuron akibat respon fisiologis sistemik terhadap cedera awal (Marik dkk,2002). Faktor sekunder akan memperberat cedera kepala dikarenakan hasil shearing pada laserasi otak, robekan pembuluh darah, spasme vaskuler, oedem serebral, hipertensi intrakranial, pengurangan
cerebral blood flow (CBF), iskemik,hipoksia dan lainnya yang dapat menimbulkan kerusakan dan kematian neuron (Gilroy, 2000).
Sejumlah substans biokemikal telah terbukti memiliki peranan dalam perkembangan cedera neural setelah cedera kranioserebral. Substan ini meliputi asam amino eksitatori glutamat dan aspartate, sitokin dan radikal bebas (Marik dkk,2002).
2.5 Mekanisme terjadinya fraktur pada cedera kepala 2.5.1 Perubahan pada tengkorak
Bila suatu benda bergerak memukul kepala atau bergerak mengenai suatu benda, maka pada waktu kontak antara keduanya akan terbentuk energi yang besarnya bergantung pada massa, densitas, bentuk dan kecepatan benda yang memukul. Sebagian dari energi benda akan diserap oleh kepala dan menyebabkan terjadinya deformitas berupa pelekukan ke dalam (inbending) tulang pada lokasi benturan (impak). Jika energi yang terserap melewati suatu ambang tertentu maka terjadilah fraktur tengkorak.
Banyaknya serta karakteristik deformitas tengkorak terutama ditentukan oleh kecepatan obyek yang memukul dan lamanya energi bekerja pada tengkorak (lamanya penyerapan energi). Selain itu ukuran dan bentuk obyek serta ketebalan tulang turut pula berpengaruh pada hal tersebut. Pada saat terjadi kekerasan pada kepala, tulang tengkorak pada daerah pukulan akan melekuk ke dalam ( deformitas lokal), sedangkan daerah-daerah tertentu yang berjauhan dari lokasi pukulan akan melekuk ke luar ( deformitas umum). Jika pelekukan pada daerah impak tidak terlalu besar, maka tulang akan kembali ke kedudukannya semula (rebound) dan di daerah tersebut tidak akan terjadi fraktur depresi. Pada keadaan ini biasanya terjadi pelekukan ke luar (outbending) yang bermakna pada daerah yang justru berjauhan dari daerah impak.
(30)
Pelekukan keluar ini akan menimbulkan kekuatan robekan pada permukaan luar tengkorak sehingga di sini bermula suatu fraktur linier yang menjalar dalam dua arah yang berlawanan, yaitu satu patahan berjalan menuju impak dan yang lainnya menjauhi impak. Jika pelekukan ke dalam daerah impak cukup hebat, maka pada daerah impak akan terjadi fraktur depresi. Pada keadaan ini ada tidaknya pelekukan ke luar pada daerah yang berjauhan dari impak bergantung pada kecepatan penyerapan energi di titik impak (kecepatan impak). Semakin cepat pukulan, maka semakin kurang pelekukan ke luar pada daerah yang berjauhan dari impak dan bertambah terlokalisasi di daerah depresi yang terjadi. Dengan demikian, pada keadaan ini kita dapat menjumpai adanya 3 kemungkinan pola fraktur, yaitu fraktur linier saja yang berjalan dari perifer menuju impak, fraktur depresi saja di daerah impak atau fraktur depresi dan satu atau lebih fraktur linier yang berjalan dari perifer menuju ke daerah depresi (Soemarmo Markam, 1999).
2.6 Pemeriksaan Klinis pada Cedera Kepala 2.6.1 Anamnesis
Sedapatnya dicatat apa yang terjadi, dimana, bila terjadinya kecelakaan yang dialami oleh pasien. Selain itu perlu ditanyakan pula tentang kesadarannya, luka-luka yang diderita, muntah apa tidak, adanya kejang. Bila pasien sadar, tanyakan apa yang terjadi, apa keluhan yang dirasakannya. Kalau pasien tidak ingat apa yang terjadi, tanyakan apa yang terakhir diingatnya sebelum kecelakaan.
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dicatat tanda-tanda vital: kesadaran, nadi, tensi darah, frekuensi dan jenis pernapasan serta suhu badan. Tingkat kesadaran dicatat yaitu kompos mentis,apatis, somnolen, spoor, soporokoma atau koma. Selain itu ditentukan dengan menilai Skala Koma Glasgow
(31)
Table 2.2 Glasgow Coma Scale (Teasdale dan Jennett, 1974)
Assesment area Score *Eye Opening (E)
Spontaneous
To speech
To pain
None
4
3
2
1
*Motor Respon (M)
Obey command
Localize pain
Normal flexion ( withdrawal to pain )
Abnormal flexion (decorticate )
Abnormal extension ( decerebrate )
6
5
4
3
(32)
None ( flaccid ) 1
*Verbal Respon (V)
Oriented
Confused conversation
Inappropriate word
Incomprehensible sounds
None
5
4
3
2
1
Skala 5 : Recovery baik. Pasien dapat kembali ke pekerjaan semula, terdapat sedikit gangguan neurologis atau psikis.
Skala 4 : Keterbatasan moderat. Pasien tidak dapat kembali kepada pekerjaan semula tetapi dapat menjalankan aktivitas harian secara mandiri.
Skala 3 : Keterbatasan berat. Pasien perlu bantuan untuk aktivitas harian dan tidak dapat hidup mandiri.
Skala 2 : Status vegetatif persisten. Tidak adanya fungsi wicara dan fungsi mental pada pasien yang tampak bangun dengan respon buka mata spontan.
Skala 1 : Mati
(33)
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap seperti biasanya. Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat dilakukan pemeriksaan obyektif. Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan meningens, yang berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh dilakukan bila kolumna vertebralis servikalis (ruas tulang leher) normal. Tes ini tidak boleh dilakukan bila ada fraktur atau dislokasi servikalis. Selain itu dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik dan sarah sensorik (nervus kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12, yaitu : nervus I (nervus olfaktoris), nervus II (nervus optikus), nervus III (nervus okulomotoris), nervus IV (troklearis), nervus V (trigeminus), nervus VI (Abdusens), nervus VII (fasialis), nervus VIII (oktavus), nervus IX (glosofaringeus) dan nervus X (vagus), nervus XI (spinalis) dan nervus XII (hipoglosus), nervus spinalis (pada otot lidah) dan nervus hipoglosus (pada otot belikat) berfungsi sebagai saraf sensorik dan saraf motorik (Markam,S dkk., 1999).
2.7 Pemeriksaan Laboratorium 2.7.1 Glukosa
Bukti yang paling kuat dari nilai prognostic dari parameter laboratorium terdapat pada glukosa, dengan kadar yang tinggi dikaitkan dengan outcome yang jelek. Peranan kadar glukosa darah pada patofisiologi kerusakan neuronal setelah trauma kapitis belum jelas (Kinoshita dkk, 2002).
Mekanisme yang mendasari perburukan kerusakan adalah multifactorial. Peningkatan pembentukan laktat dan H+ mengakibatkan penurunan pH intraseluler dan ekstraseluler sebagai konsekuensi dari iskemia. Kadar laktat yang meningkat juga akan mempengaruhi glial dan endotel kapiler, menyebabkan gangguan vaskular (Kinoshita dkk, 2002). Hiperglikemia dikaitkan dengan laktat serebral yang meningkat dan mengakibatkan asidosis pada jaringan otak lokal. Asidosis jaringan otak memperburuk fungsi mitokondria pada penumbra, jaringan otak yang mengalami iskemi sedang yang terletak di sekitar pusat trauma, dan meningkatkan ukuran infark serebral (Paolino dan Garner, 2005).
Rosner dkk telah berspekulasi bahwa hiperglikemi dan peningkatan katekolamin darah dikaitkan secara sebab-akibat. Katekolamin dan glucagon menstimulasi pecahnya glikogen yang tersimpan di hati menjadi glukosa. Bessey dkk telah menunjukkan pada manusia normal terdapat
(34)
tiga hormon infus (glukagon, katekolamin dan kortisol) yang menyebabkan hiperglikemi seperti yang terlihat pada stress sedang atau berat. Katekolamin meningkatkan sekresi glukagon dan menginhibisi sekresi insulin setelah trauma dan stress ( cit.Young dkk 1989).
Proses inflamasi dipercaya berperan dalam pathogenesis trauma kepala melalui mekanisme sekunder (Kinoshita dkk, 2002). Charian dkk dengan yakin menunjukkan pada hewan percobaan bahwa dampak trauma pada kortikal diikuti oleh iskemik dengan adanya hiperglikemi yang secara signifikan meningkatkan volume otak iskemik, volume kontusio dan mortalitas dan penurunan hasil fungsional pada penderita (cit Atkinson,2000).
2.7.2 Hematokrit
Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO) stabil bila tekanan darah rata-rata 50-160mmHg (untuk pasien normotensif, dan bergeser ke kanan pada pasien hipertensif dan sebaliknya). Dibawah 50mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas 160mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak dengan akibat peninggian tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak dengan akibat ADO tergantung secara linear terhadap tekanan darah. Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau hipertensi.
Peninggian tekanan intrakranial (TIK) mempengaruhi ADO akibat kompresi arterial, regangan atau robekan arteria dan vena batang otak serta gangguan perfusi. ADO konstan 50ml/100gr/menit pada otoregulasi normal. Jadi ADO dipengaruhi oleh tekanan darah arterial, tekanan intrakranial, otoregulasi, stimulasi metabolic serta distorsi atau kompresi pembuluh darah oleh massa atau herniasi. Pada kenyataannya, banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat pergeseran otak dibanding tingkat TIK sendiri. Edema otak yang telah terjadi oleh sebab apapun akan meningkatkan TIK yang berakibat gangguan ADO yang memperberatkan edema ( Chesnut, RM, 1996)
Pada saat autoregulasi cairan darah otak intak, viskositas hanya berpengaruh sedikit terhadap Aliran Darah Otak (ADO), yang secara primer dipengaruhi oleh diameter pembuluh darah. Pada saat autoregulasi hilang ( saat cedera kepala), pembuluh darah dilatasi maksimal, dan viskositas menjadi faktor yang sangat menentukan terhadap ADO. Fungsi autoregulasi cairan darah otak disesuaikan oleh radius pembuluh darah untuk mengkompensasi perubahan tekanan
(35)
dan viskositas darah, pada situasi dimana fungsi autoregulasi hilang dan radius pembuluh darah maksimal, viskositas menjadi sangat penting dalam menentukan cairan darah otak, sehingga hematokrit menjadi sangat menentukan viskositas darah. (Deutsch H,Ulman JS.2005)
Banyak studi hewan membuktikan peningkatan Aliran Darah Otak dan penurunan iskemik sebagai hasil dari hemodilusi dan pengurangan hematokrit. Hematokrit adalah perbandingan sel darah merah terhadap volume darah. Nilai normal beragam tetapi secara umum untuk lelaki adalah diantara 40,7% hingga 50,3% manakala untuk wanita adalah 36,1% hingga 44,3%. ( Carlson AP,Schemer CR, Lu SW.Retrospective evaluation of anemia and transfusion in traumatic brain injury. J trauma, 2006 September; 61(3):571).
Hematokrit meninggi pada keadaan :
Dehidrasi Eritrositosis Polisitemia vera
Hematokrit menurun pada keadaan :
Anemia
Hancurnya sel darah merah Leukemia
Multiple myeloma Rheumatoid arthiritis Gangguan sumsum tulang Malnutrisi
( Pherson RA, Pincus MR. 2007)
Hematokrit darah diantara 30-35% secara luas diterima sebagai kadar optimal pada penderita cedera kepala. Angka ini didapat dari beberapa studi eksperimental terhadap viskositas darah dan kapasitas pengangkutan oksigen. ( Saustiel JF, Levy E.2002)
(36)
2.8 Pemeriksaan Radiologis 2.8.1 Foto Rongen
Pada trauma kapitis perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna vertebralis servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila lesi terdapat di daerah oksipital, buatkan foto anterior-posterior dan bila lesi pada kulit terdapat di daerah frontal buatkan foto posterior-anterior. Bila lesi terdapat pada daerah temporal, pariental atau frontal lateral kiri, film diletakkan pada sisi kiri dan dibuat foto lateral dari kanan ke kiri. Kalau diduga ada fraktur basis kranii, maka dibuatkan foto basis kranii dengan kepala menggantung dan sinar rontgen terarah tegak lurus pada garis antar angulus mandibularis (tulang rahang bawah). Foto kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral untuk melihat adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak mungkin dapat ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan intrakranial yang tinggi mungkin menimbulkan impressions digitae (Markam,S dkk. 1999)
2.8.2 CT scan kepala
CT scan kepala merupakan pemeriksaan yang mendasar dalam mengevaluasi penderita trauma kapitis. Literatur secara umum menyarankan pemeriksaan CT scan pada semua kasus trauma kapitis termasuk derajat ringan yang paling kurang dijumpai minimal satu kriteria berikut: kehilangan kesadaran, post traumatic amnesia, konfusion atau gangguan kewaspadaan (akertness) ( Cushman dkk, 2001).
Marshall dkk telah mengembangkan klasifikasi trauma kapitis berdasarkan tingkat keparahan dari trauma kapitis berdasarkan gambaran CT-Scan dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) (Lovasik dkk,2001). Klasifikasi ini berdasarkan adanya lesi fokal atau diffuse pada gambaran CT-Scan. Beberapa studi menyatakan bahwa gambaran Head CT-Scan merupakan salah satu predicator terpenting pada trauma kapitis (Tateno dkk, 2003).
Indikasi pemeriksaan CT-Scan pada penderita trauma kapitis : 1. SKG < 15 atau terdapat penurunan kesadaran
(37)
3. Adanya tanda klinis fraktur basis kranii .4. Adanya kejang
5. Adanya tanda neurologis fokal.
6. Sakit kepala yang menetap (Japardi, I., 2002). 2.8.3 MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI dapat memberikan foto berbagai kelainan parenkim otak dengan lebih jelas.Beberapa keuntungan MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : lebih baik dalam menilai cedera sub-akut, termasuk kontusio, shearing injury, dan sub dural hematoma, lebih baik dalam menilai dan melokalisir luasnya kontusio dan hematoma secara lebih akurat karena mampu melakukan pencitraan dari beberapa posisi, dan lebih baik dalam pencitraan cedera batang otak. Sedangkan kerugian MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : membutuhkan waktu pemeriksaan lama sehingga membutuhkan alat monitoring khusus pada pasien trauma kapitis berat, kurang sensitif dalam menilai perdarahan akut, kurang baik dalam penilaian fraktur, perdarahan subarachnoid dan pneumosefalus minimal dapat terlewatkan (Japardi, I.2002).
2.8.4 Glasgow Outcome Scale (GOS)
Glasgow Outcome Scale adalah skala tertua yang digunakan untuk mengukur hasil setelah terjadinya trauma kapitis dan juga digunakan secara luas sebelum timbul skala baru.
Glasgow Outcome Scale diciptakan oleh Jennet dkk pada tahun 1975 dan extended version diperkenalkan pada tahun 1998 oleh Wilson dkk. Glasgow Outcome Scale dan Glasgow Outcome Scale Extended (GOSE) dipakai untuk mengalokasikan pasien yang menderita cedera otak akut dari cedera otak traumatik dan non-traumatik ke dalam kategori hasil yang lebih luas. Skala ini mengambarkan disabilitas dan kecacatan dibandingkan gangguan; yang difokuskan pada bagaiman trauma mempengaruhi fungsi pada kehidupan dibanding hanya defisit dan gejala yang ditimbulkan oleh trauma (Leon-Carrion, 2006).
Skala yang asli terdiri dari 5 tingkatan sebagai berikut: (Leon-Carrion, 2006; Capruso dan Levin, 1996)
(38)
2. Vegetative state : tanda dari vegetative state adalah ketiadaan fungsi kognitif yang ditunjukkan oleh hilangnya komunikasi total; yang menyatakan bahwa korteks serebri tidak berfungsi lagi. Tidak seperti pada pasien koma, pasien pada vegetative state
memiliki respon buka mata, gerakan bola mata, dan siklus tidur/bangun. Meskipun pasien pada vegetative state dapat menunjukkan berbagai aksi motorik yang refleksif, kebiasaan ini tidak dapat menunjukkan kesadaran. Meskipun pasien bangun tetapi mereka tidak waspada
3. Disabilitas berat : sadar tetapi pasien yang membutuhkan pertolongan termasuk dalam kategori ini. Meskipun tingkat ketergantungan bervariasi, yang termasuk dalam kategori ini adalah pasien yang tergantung pada seorang caregiver pada seluruh aktifitas sepanjang hari. Pada beberapa pasien, fungsi kognitif dan fisik masih relatif utuh, tetapi pasien sangat disinhibisi atau apatis sehingga mereka tidak meninggalkan perlengkapan peribadi mereka. Pasien yang tidak dapat ditinggal sendiri dan merawat diri mereka sendiri selama interval 24 jam termasuk dalam kategori ini.
4. Disabilitas sedang : pasien yang tidak membutuhkan pertolongan tetapi tidak mampu termasuk dalam kategori ini. Meskipun mereka dapat tinggal sendiri, tetapi pasien ini memiliki tingkat kecacatan fisik dan kognitif yang membatasi mereka dibandingkan tingkat kehidupan sebelum trauma. Banyak pasien pada kategori ini kembali bekerja, meskipun dalam pekerjaan mereka diberikan kelonggaran khusus dan asisten untuk mereka, dan mereka tidak dapat memikul pekerjaan sebesar tanggung jawab mereka sebelum sakit.
5. Perbaikan baik : pasien tidak bergantung dimana mereka dapat kembali ke pekerjaan atau aktifitas mereka sebelum sakit tanpa adanya keterbatasan mayor masuk dalam kategori ini. Pasien ini dapat memiliki defisit neurologi atau kognitif yang menetap sampai tingkat ringan, tetapi defisit ini tidak mengganggu keseluruhan fungsi mereka. Pasien ini kompeten bersosialisasi dan mampu membawa diri mereka secara adekuat dan tanpa perubahan kepribadian yang berarti.
(39)
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep
Pada penelitian ini kerangka konsep tentang hubungan kadar gula darah sewaktu dan hematokrit pada penderita kontusio serebri.
Variabel Dependan Variabel Independan
3.2 Definisi Operasional
1. Penderita cedera kepala non operatif ialah pasien yang berdasarkan diagnosis dokter dinyatakan menderita kontusio serebri dan telah dirawat di unit gawat darurat di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik (RSUPHAM) Medan pada tahun 2012.
2. Kareteristik Penderita Trauma Kepala a) Jenis kelamin
Jenis kelamin ialah ciri khas (organ reproduksi) yang dimiliki penderita trauma kapitis seperti yang tertera pada kartu status, yaitu:
Kontusio Serebri
Kadar gula darah sewaktu
- Hipoglikemia
- Normal
- Hiperglikemia
Kadar Hematokrit
- Menurun
- Normal
(40)
Laki –laki Perempuan
3. Umur ialah usia penderita seperti yang tertera pada kartu status di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik (RSUPHAM) Medan .
Untuk uji statistik, umur dikategorikan atas : 1. 6-15 tahun
2. 16-25 tahun 3. ≥26 tahun
Umur dihitung berdasarkan ulang tahun terakhir.
4. Pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan pada penderita trauma kapitis sesuai dengan yang tertera pada kartu status, yang dikategorikan atas :
a. Kadar gula darah
- Hipoglikemi
- Normal
- Hiperglikemi b. Kadar hematokrit.
- Menurun
- Normal
- Meningkat 3.3 Cara Ukur
Meneliti data dari Rekam Medis (data sekunder) dari bagian rekam medis di RSUP H. Adam Malik.
3.4 Alat Ukur
(41)
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitan
Pada bab ini peneliti akan menjelaskan tentang metode yang digunakan dalam penelitian ini. Berikut meliputi rancangan penelitian, lokasi dan waktu penelitian, populasi dan sampel, jenis dan sumber data serta teknik pengolahan dan analisa data.
Dalam penelitian ini, pendekatan deskriptif dengan desain penelitian cross sectional study digunakan. Data penelitian diambil secara retrospektif (sekunder) dari rekam medis yaitu pada tahun 2012 untuk mengetahui profil kadar gula darah dan hematokrit penderita kontusio serebri di IGD RSUP. H. Adam Malik Medan.
4.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Pemilihan lokasi pnelitian ini atas pertimbangan:
a. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit umum dan kebanyakan kasus-kasus darurat yang mendapat perawatan.
b. Rumah sakit ini mempunyai data yang lengkap tentang pasien-pasien yang mendapat perawatan di unit gawat darurat.
Waktu penelitian dilaksanakan pada tahun 2012
4.3.Populasi Dan Sampel 4.3.1.Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh data profil kadar gula darah dan hematokrit penderita kontusio serebri di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012 yaitu sebanyak 1498 orang.
(42)
4.3.2.Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah data profil kadar gula darah dan hematokrit penderita kontusio serebri di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012 yang tercatat dalam laporan rekam medis di RS Haji Medan . Sampel adalah sama dengan populasi (total sampling).
4.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi 4.4.1 Kriteria Inklusi
(1) penderita cedera kepala sedang (GCS 9-13) dan berat (GCS 3-8), (2) usia 18 tahun sampai 60 tahun,
(3) Terjadinya cedera kepala kurang atau sama dengan 48 jam,
(4) Penderita yang telah diizinkan untuk ikut serta oleh keluarganya (informed consent), dan (5) Gambaran CT scan menunjukkan suatu kontusio serebri
4.4.2 Kriteria Ekslusi
(1) Usia < 18 tahun dan >60 tahun, (2) Cedera kepala dengan multiple injury,
(3) Cedera otak tajam (penetrating brain injury),
(4) Penyakit premorbid (yang diderita sebelum terjadi cedera kepala dan dapat memengaruhi proses penyembuhan, misalnya: hipertensi, kelainan darah, epilepsi, keganasan),
(5) penderita sedang menggunakan obat-obatan, seperti heparin atau antikoagulan lain, dan (6) penderita hamil.
(43)
4.4.Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari rekam medik profil kadar gula darah dan hematokrit penderita kontusio serebri di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012.
4.5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer dengan SPSS (Statistical Package for the Social Sciences), kemudian dianalisa secara deskriptif yang hasilnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi, diagram bar dan diagram pie.
(44)
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian
5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan dinamakan rumah sakit kelas A pada tahun 1990 sesuai dengan Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990. Namun, nama rumah sakit ini mengalami perubahan yang pada mulanya bernama Rumah Sakit Umum Kelas A di Medan menjadi Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik. Pada tahun 1991 pula ia dijadikan sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.502/Menkes/IX/1991 tanggal 6 September 1991 dan secara resmi pusat pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dipindahkan ke RSUP H. Adam Malik pada tanggal 11 Januari 1993.
5.1.2 Deskripsi Karekteristik Responden
Seramai 49 orang responden telah diambil datanya dengan membuka rekam medis mereka yaitu terdiri daripada penderita kontusio serebri. Semua penderita telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi penelitian.
5.1.2.1 Jenis Kelamin
Tabel 5.1: Jenis Kelamin Responden
Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)
Laki-laki 38 77.6
Perempuan 11 22.4
(45)
Gambar 5.1: Jenis Kelamin Responden
Berdasarkan hasil penelitian, jenis kelamin responden yang terlihat pada Tabel 5.1 menunjukkan bahawa laki-laki seramai 38 orang yaitu 77.6% daripada keseluruhan responden. Sementara perempuan seramai 11 orang yaitu 22.4% daripada keseluruhan responden.
5.1.2.2 Umur
Tabel 5.2: Kelompok Umur Responden
Umur (tahun) Frekuensi (n) Persentase (%)
18-20 2 4.1
21-30 21 42.9
31-40 11 22.4
41-50 7 14.3
51-60 8 16.3
(46)
Gambar 5.2: Kelompok Umur Responden
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.2, kelompok umur responden yang paling tinggi adalah 21-30 tahun yaitu seramai 21 orang (42.9%), diikuti dengan kelompok umur 31-40 tahun yaitu seramai 11 orang (22.4%). Kelompok umur 41-50 tahun dan 51-60 tahun masing-masing terdiri dari 7 orang (14.3%) dan 8 orang (16.3%). Kelompok umur yang terendah adalah kelompok umur 18-20 tahun yaitu seramai 2 orang (4.1%).
5.1.2.3 Kadar Gula Darah Sewaktu
Tabel 5.3: Kadar Gula Darah Sewaktu Responden
KGD Frekuensi (n) Persentase (%)
Normal 49 100
(47)
Gambar 4: Kadar Gula Darah Sewaktu Responden
Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 5.3, 49 orang (100%) responden adalah penderita kontusio serebri yang mempunyai kadar gula darah sewaktu normal.
5.1.2.4 Kadar Hematokrit
Tabel 5.4: Kadar Hematokrit Responden
Hematokrit Frekuensi (n) Persentase (%)
Menurun 49 100
(48)
Gambar 5: Kadar Hematokrit Responden
Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 5.4, 49 orang (100%) responden adalah penderita kontusio serebri yang mempunyai kadar hematokrit menurun.
5.2 Pembahasan
Di dalam pembahasan ini akan difokuskan hal-hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian dilakukan yaitu untuk profil gula darah sewaktu dan hematokrit dengan hasil akhir klinis pada penderita kontusio serebri pada tahun 2012 di Instalasi Gawat Darurat RSUP.H. Adam Malik, Medan
Daripada hasil yang diperolehi, dari 49 penderita kontusio serebri, jenis kelamin responden yang terlihat menunjukkan bahawa laki-laki seramai 38 orang yaitu 77.6% daripada keseluruhan responden. Sementara perempuan seramai 11 orang yaitu 22.4% daripada keseluruhan. Berdasarkan jenis kelamin, setelah dianlisa secara statistic persentase kelompok laki-laki berbeda bermakna dengan perempuan pada penderita kontusio serebri. Hal ini tidak
(49)
sesuai dengan hasil penelitian McCauley dkk(2001) yang menyebutkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan dari jenis kelamin terhadap parameter laboratorium yaitu kadar gula darah dan hematokrit.
Berdasarkan kelompok umur responden yang paling tinggi adalah 21-30 tahun yaitu seramai 21 orang (42.9%), diikuti dengan kelompok umur 31-40 tahun yaitu seramai 11 orang (22.4%). Kelompok umur 41-50 tahun dan 51-60 tahun masing-masing terdiri dari 7 orang (14.3%) dan 8 orang (16.3%). Kelompok umur yang terendah adalah kelompok umur 18-20 tahun yaitu seramai 2 orang (4.1%). Kelompok umur 21-30 tahun mempunyai persentase tinggi dengan kontusio serebri karena mereka sangat rentan dengan kecelakaan di jalan raya.Data penelitian ini tidak memberikan dukungan terhadap adanya korelasi antara umur dan hasil akhir klinis penderita kontusio serebri sehingga dapat disimpulkan usia bukan predictor yang kuat terhadap hasil akhir klinis.
Berdasarkan hasil penelitian pada profil kadar gula darah adalah semua penderita kontusio serebri yang mempunyai kadar gula darah sewaktu normal. Hiperglikemia sebagai suatu komponen respon stress pada fase akut, hamper selalu ada pada cedera otak berat. Hiperglikemia akan memacu terjadinya cedera sekunder yang akhirnya menyebabkan kerusakan sel sehingga memperburuk defisit neurologic pada penderita cedera kepala. Pada penelitian yang dilakukan oleh Margulies dkk(1994) didapatkan bahwa kadar gula darah pada penderita cedera kepala ringan saat masuk rumah sakit adalah normal secara sederhana menggambarkan beratnya cedera kepala. Robertson dkk(1998) melakukan penelitian secara prospektif bahwa peningkatan kadar gula darah tertinggi pada hari pertama hingga hari ketiga setelah cedera kepala dan menjadi normal kembali mulai minggu pertama sampai minggu kedua setelah terjadinya trauma.
Berdasarkan hasil penelitian 49 orang (100%) responden adalah penderita kontusio serebri yang mempunyai kadar hematokrit menurun. Dengan demikian kadar hematokrit menurut penelitian yang sederhana ini belum dapat dipakai sebagai penyaring terhadap cedera kepala karena penurunan ADO yag turun secara bermakna dalam beberapa jam setelah mendapat cedera kepala seperti penelitian yang dilakukan oleh Bauma, Muzelaar (1992). Kadar hematokrit belum dapat dipastikan telah mengambil alih fungsi autoregulasi otak karena fungsi autoregulasi cairan
(50)
darah otak akan hilang pada saat cedera kepala sehingga viskositas menjadi sangat penting dalam menentukan cairan darah otak, sehingga hematokrit menjadi sangat menentukan viskositas darah. Maka saat terjadinya cedera kepala kadar hematokrit menurun karena viskositas darah menurun. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kuschinsky 1997 mungkin disebabkan beberapa faktor yang dalam dapat terdeteksi sebelum kejadian cedera seperti keadaan status gizi dan adanya penyakit kronik yang dapat menurunkan kadar hematokrit akibat defesiensi zat besi.
(51)
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
6.1.1. Jumlah kasus penderita kontusio serebri di Intalasi Gawat Darurat RSUP. H. Adam Malik dari periode 1 Januari - 31 Desember 2012 berjumlah 49 kasus.
6.1.2. Proporsi terbanyak penderita kontusio serebri berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahawa laki-laki seramai 38 orang yaitu 77.6% daripada keseluruhan responden. Sementara perempuan seramai 11 orang yaitu 22.4% daripada keseluruhan responden.
6.1.3. Proporsi terbanyak penderita kontusio serebri berdasarkan kelompok umur menunjukkan bahawa kelompok umur yang paling tinggi adalah 21-30 tahun yaitu seramai 21 orang (42.9%), diikuti dengan kelompok umur 31-40 tahun yaitu seramai 11 orang (22.4%). Kelompok umur 41-50 tahun dan 51-60 tahun masing-masing terdiri dari 7 orang (14.3%) dan 8 orang (16.3%). Kelompok umur yang terendah adalah kelompok umur 18-20 tahun yaitu seramai 2 orang (4.1%).
6.1.4. Berdasarkan hasil penelitian 49 orang (100%) responden adalah penderita kontusio serebri yang mempunyai kadar gula darah sewaktu normal.
6.1.5. Berdasarkan hasil penelitian 49 orang (100%) responden adalah penderita kontusio serebri yang mempunyai kadar hematokrit menurun.
(52)
6.2. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar dan kriteria inklusi serta eksklusi yang lebih ketat.
2. Semua penderita kontusio serebri harus segera diperiksa parameter labotarium yang dapat memperburuk sehingga segera dapat dilakukan koreksi untuk mencegah hasil akhir klinis yang lebih buruk.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi dokter dalam rangka perencanaan terapi rehabilitasi sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup penderita kontusio serebri.
(53)
DAFTAR PUSTAKA
Bauma GJ, Muizellar JP, Stringer WA, et al. Ultra early evaluation of regional cerebral blood flow in severe head injured patients using xenon-enhanced computerized tomography. Journal of neurosurgery, 77,360-368.1992
Bondanelli, M., Ambrosio, M.R., Zatelli, M.C., Marinis, L.D., Uberti, E.C.D. 2005. Hypopituitarism after traumatic brain injury. European Journal of Endocrinology. 152:679-691.
Carlson AP,Schemer CR, Lu SW.Retrospective evaluation of anemia and transfusion in traumatic brain injury. J trauma, 2006 September; 61(3):571
CDC's Injury Center – Saving Lives and Protecting People: Preventing Traumatic Brain Injuries (TBI) from Injury Prevention & control: traumatic head injury. Available from http://www.cdc.gov/TraumaticBrainInjury/index.html [Accessed 9 April 2013]
Cushman, J.G., Agarwa, I.N., Fabian, T.C., Garcia V., Nagy, K.K., Pasquale, M.D., Salotto, A.G. 2001. Practise Management Guidelines for The Management Mild Traumatic Brain Injury. The EAST Practise Management Guidelines Work Group.
Deutsch, H, Ulman, J.S. What is the optimal hematocrit and hemoglobin for head injury patients?, Neurotrauma, Thieme: 88-90. 2005.
Fearnside, R.M, 1997. Epidemiology Head Injury. Dalam Peter Reilly (eds), Head Injury. Pathophysiology and management of severe closed injury. Champman and Hall, London, United Kingdom.
(54)
Frey, K.L., Rojas, D.C., Anderson, A., Arciniegas, D.B. 2007. Comparison of the O-Log and GOAT as Measures of Posttraumatic Amnesia. Brain Injury. 21:53-520.
Gilroy, J. Basic Neurology. 2003. 3rd ed. Mc Graw-Hill. New York. 2000
Iskandar Japardi 1976 . Penatalaksanaan Cedera Kepala Secara Operatif Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. USU Repository 2004. Available from http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1976/1/bedah-iskandar%20japardi61.pdf [Accessed 9 April 2013]
Kinoshita, K, Kraydieh, S, Alonso, O., Hayashi, N., Dietrich, D. 2002. Effect of Posttraumatic Hyperglycemia on Contusion Volume and Neutrophil Accumulation after Moderate Fluid-Percussion Brain Injury in Rats. Journal of Neurotrauma. 19:681-692.
Leon- Carrion, J. 2006. Methods and Tools for The Assessment of Outcome After Brain Injury Rehabilitation.
Marik , P.E., Varon, J., Trask, T. 2002. Management of Head Trauma. Chest. 122:699-711.
Mayer, S.A., Rowland, L.P. 2000. Head Injury. In: Rowland, L.P. (ed). Merritt’s Neurology. 10th ed. pp 401-15. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia.
Paolino, A.S., Garner, K.M. 2005. Effect of Hyperglycemia on Neurologic Outcome in Stroke Patients. Journal of Neuroscience Nursing. 37: 130-135.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia., 1999. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
(55)
Satyanegara , Bedah Saraf, Edisi ke-3, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 147.1998.
Soemarmo Markam, 1996, Cedera Kepala Tertutup, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Soustiel JF, Levy E, Zaeroor M.A new angle independent Doppler ultrasonic device for assessment of blood flow volume in the extracranial internal carotic artery. JUltrasound Med 2002;21,1405-12. 2002
Young, B., Ott, L., Dempsey, R., Haack, D., Tibbs, P. 1989. Relationship Between Admission Hyperglycemia and Neurologic Outcome of Severely Brain-Injured Patients. Ann Surg. 210: 466-471
(56)
LAMPIRAN
N0 UMUR JENIS
KELAMIN KADAR GULA DARAH INTEPRETASI KGD KADAR HEMATOKRIT INTEPRETASI HEMATOKRIT
GCS INTEPRETASI GCS
1 52 LAKI‐LAKI 101.6 NORMAL 30.3 MENURUN 13 SEDANG
2 27 PEREMPUAN 100 NORMAL 28.9 MENURUN 12 SEDANG
3 35 LAKI‐LAKI 120 NORMAL 32.5 MENURUN 14 SEDANG
4 52 PEREMPUAN 119 NORMAL 36.2 MENURUN 10 SEDANG
5 22 LAKI‐LAKI 190 NORMAL 42.1 MENURUN 14 SEDANG
6 54 LAKI‐LAKI 88.7 NORMAL 43.2 MENURUN 14 SEDANG
7 30 LAKI‐LAKI 122 NORMAL 39.8 MENURUN 9 SEDANG
8 52 LAKI‐LAKI 170.3 NORMAL 35.1 MENURUN 10 SEDANG
9 47 LAKI‐LAKI 125 NORMAL 32 MENURUN 10 SEDANG
10 26 LAKI‐LAKI 111 NORMAL 37.4 MENURUN 14 SEDANG
11 34 LAKI‐LAKI 198.9 NORMAL 37.8 MENURUN 13 SEDANG
12 34 LAKI‐LAKI 103.9 NORMAL 42.1 MENURUN 10 SEDANG
13 24 LAKI‐LAKI 130 NORMAL 43 MENURUN 10 SEDANG
14 27 LAKI‐LAKI 144 NORMAL 42.4 MENURUN 14 SEDANG
15 32 PEREMPUAN 93 NORMAL 34.8 MENURUN 14 SEDANG
16 34 LAKI‐LAKI 118 NORMAL 39.9 MENURUN 14 SEDANG
17 38 LAKI‐LAKI 147.9 NORMAL 33.9 MENURUN 9 SEDANG
18 45 LAKI‐LAKI 180 NORMAL 14.9 MENURUN 13 SEDANG
19 21 PEREMPUAN 114.3 NORMAL 37.2 MENURUN 13 SEDANG
20 31 PEREMPUAN 102.8 NORMAL 34.2 MENURUN 14 SEDANG
21 21 LAKI‐LAKI 90 NORMAL 43.4 MENURUN 13 SEDANG
22 30 LAKI‐LAKI 88.9 NORMAL 27.3 MENURUN 14 SEDANG
23 54 PEREMPUAN 147.9 NORMAL 26.8 MENURUN 13 SEDANG
24 22 LAKI‐LAKI 169 NORMAL 41 MENURUN 14 SEDANG
25 19 LAKI‐LAKI 110 NORMAL 37.9 MENURUN 13 SEDANG
26 29 LAKI‐LAKI 109 NORMAL 37.4 MENURUN 13 SEDANG
27 20 LAKI‐LAKI 104.6 NORMAL 39.6 MENURUN 14 SEDANG
28 30 LAKI‐LAKI 161 NORMAL 36.2 MENURUN 14 SEDANG
29 47 PEREMPUAN 101 NORMAL 40.6 MENURUN 10 SEDANG
30 48 LAKI‐LAKI 104.5 NORMAL 31 MENURUN 11 SEDANG
31 40 PEREMPUAN 81 NORMAL 27.3 MENURUN 14 SEDANG
32 21 LAKI‐LAKI 103.5 NORMAL 34.3 MENURUN 14 SEDANG
33 22 LAKI‐LAKI 117 NORMAL 29 MENURUN 13 SEDANG
34 25 PEREMPUAN 111 NORMAL 46.7 MENURUN 14 SEDANG
35 36 LAKI‐LAKI 108 NORMAL 37.1 MENURUN 13 SEDANG
36 43 LAKI‐LAKI 174 NORMAL 35.6 MENURUN 14 SEDANG
37 21 LAKI‐LAKI 162 NORMAL 38.2 MENURUN 13 SEDANG
38 25 LAKI‐LAKI 153 NORMAL 31.9 MENURUN 14 SEDANG
39 24 LAKI‐LAKI 124 NORMAL 41.4 MENURUN 13 SEDANG
40 49 PEREMPUAN 175 NORMAL 36.3 MENURUN 13 SEDANG
41 42 LAKI‐LAKI 113 NORMAL 39.1 MENURUN 14 SEDANG
(57)
43 23 LAKI‐LAKI 142 NORMAL 41.5 MENURUN 13 SEDANG
44 51 LAKI‐LAKI 125.3 NORMAL 40.4 MENURUN 14 SEDANG
45 32 PEREMPUAN 160 NORMAL 38.5 MENURUN 13 SEDANG
46 37 LAKI‐LAKI 189 NORMAL 34.9 MENURUN 14 SEDANG
47 54 LAKI‐LAKI 150.4 NORMAL 36.7 MENURUN 13 SEDANG
48 28 LAKI‐LAKI 120 NORMAL 37.2 MENURUN 13 SEDANG
49 27 LAKI‐LAKI 89 NORMAL 39.2 MENURUN 14 SEDANG
(58)
SPSS Output Frequency Table
Statistics
UMUR JENIS KELAMIN
KADAR GULA DARAH
KADAR
HEMATOKRIT GCS
N Valid 49 49 49 49 49
Missing 0 0 0 0 0
UMUR
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 18-20 2 4.1 4.1 4.1
21-30 21 42.9 42.9 46.9
31-40 11 22.4 22.4 69.4
41-50 7 14.3 14.3 83.7
51-60 8 16.3 16.3 100.0
Total 49 100.0 100.0
JENIS KELAMIN
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent Valid LAKI-LAKI 38 77.6 77.6 77.6
PEREMPUAN 11 22.4 22.4 100.0
Total 49 100.0 100.0
KADAR GULA DARAH
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
(59)
KADAR GULA DARAH
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent Valid NORMAL 49 100.0 100.0 100.0
KADAR HEMATOKRIT
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent Valid MENURUN 49 100.0 100.0 100.0
(60)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Komana A/P Sangar
Tempat / Tanggal Lahir : Selangor, Malaysia / 19 October 1988
Agama : Hindu
Alamat : Jalan Dr. Mansur Gang Sehat No .29, Medan Selayang
Riwayat Pendidikan : 1. Tahun 1994, Tadika Methodist Klang
2. Tahun 1995 - 2000, Sekolah Kebangsaan (SK) Pendamaran Jaya
3. Tahun 2001 - 2005, Sekolah Menengah Kebangsaan (SMK) Pendamaran Jaya
4. Tahun 2006-2009 , Nilai University College 5 Tahun 2010 - sekarang, Fakultas Kedokteran USU Riwayat Organisasi : 1. Ketua Disiplin Lembaga Pengawas SK Pendamaran
Jaya dari periode 1998 - 2000
2. Wakil Presiden Kelab Bahasa Inggis SMK Pendamaran Jaya dari periode 2003 - 2005
(61)
(62)
(1)
43 23 LAKI‐LAKI 142 NORMAL 41.5 MENURUN 13 SEDANG
44 51 LAKI‐LAKI 125.3 NORMAL 40.4 MENURUN 14 SEDANG
45 32 PEREMPUAN 160 NORMAL 38.5 MENURUN 13 SEDANG
46 37 LAKI‐LAKI 189 NORMAL 34.9 MENURUN 14 SEDANG
47 54 LAKI‐LAKI 150.4 NORMAL 36.7 MENURUN 13 SEDANG
48 28 LAKI‐LAKI 120 NORMAL 37.2 MENURUN 13 SEDANG
49 27 LAKI‐LAKI 89 NORMAL 39.2 MENURUN 14 SEDANG
(2)
SPSS Output Frequency Table
Statistics
UMUR JENIS KELAMIN
KADAR GULA DARAH
KADAR
HEMATOKRIT GCS
N Valid 49 49 49 49 49
Missing 0 0 0 0 0
UMUR
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 18-20 2 4.1 4.1 4.1
21-30 21 42.9 42.9 46.9
31-40 11 22.4 22.4 69.4
41-50 7 14.3 14.3 83.7
51-60 8 16.3 16.3 100.0
Total 49 100.0 100.0
JENIS KELAMIN
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid LAKI-LAKI 38 77.6 77.6 77.6
PEREMPUAN 11 22.4 22.4 100.0
Total 49 100.0 100.0
KADAR GULA DARAH
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
(3)
KADAR GULA DARAH
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid NORMAL 49 100.0 100.0 100.0
KADAR HEMATOKRIT
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid MENURUN 49 100.0 100.0 100.0
(4)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Komana A/P Sangar
Tempat / Tanggal Lahir : Selangor, Malaysia / 19 October 1988
Agama : Hindu
Alamat : Jalan Dr. Mansur Gang Sehat No .29, Medan Selayang
Riwayat Pendidikan : 1. Tahun 1994, Tadika Methodist Klang
2. Tahun 1995 - 2000, Sekolah Kebangsaan (SK) Pendamaran Jaya
3. Tahun 2001 - 2005, Sekolah Menengah Kebangsaan (SMK) Pendamaran Jaya
4. Tahun 2006-2009 , Nilai University College 5 Tahun 2010 - sekarang, Fakultas Kedokteran USU Riwayat Organisasi : 1. Ketua Disiplin Lembaga Pengawas SK Pendamaran
Jaya dari periode 1998 - 2000
2. Wakil Presiden Kelab Bahasa Inggis SMK Pendamaran Jaya dari periode 2003 - 2005
(5)
(6)