Pemanfaatan Tenaga Kerja Anak

10

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

A. Pemanfaatan Tenaga Kerja Anak

Fenomena keberadaan pekerja anak di Indonesia banyak muncul karena berbagai faktor yaitu faktor pendorong dan faktor penarik, faktor pendorong antara lain kemiskinan, dan pendidikan rendah. Sedangkan faktor penarik antara lain yaitu tidak memerlukan persyaratan formal dan dan upah yang menggiurkan. Jika dilihat dari Undang-Undang Perlindungan Anak sebenarnya keberadaan pekerja anak merupakan kondisi tidak ideal, sebagaimana yang tertuang dalam UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 pasal 13 ayat 1 tentang pekerja anak, yang menyebutkan bahwa “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya”. Selanjutnya pada ayat 2 dituangkan pernyataan yang berbunyi “Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, maka dikenakan pemberatan hukuman”. Berbagai hasil penelitian tentang pekerja anak sudah banyak dilakukan untuk menunjukkan keragaman dari berbagai segi. Hal ini tampak dari berbagai sudut pandang ilmu sosial, ekonomi, hukum, sosiologi maupun antropologi seperti tampak dalam penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi 2008:13-14 11 menunjukkan bahwa dari seluruh fenomena pekerja anak yang ada sesungguhnya isu utama yang berkembang bukanlah anak yang bekerja tetapi adanya potensi untuk mengeksploitasi pekerja anak tersebut, baik dari sisi jam kerja maupun pemberian upah. Tidaklah mudah untuk memisahkan antara pandangan yang mengacu pada partisipasi dan eksploitasi pekerja dalam pasar kerja. Rendahnya kehidupan ekonomi keluarga menyebabkan banyak keluarga yang memerlukan bantuan anak untuk memenuhi kebutuhan marginal. Bahkan ada yang merasa bahwa keadaan ekonomi rumahnya akan terganggu jika anaknya tidak bekerja. Dimasa lampau anak-anak yang ikut bekerja bersama orangtua baik di tambang-tambang seperti yang terjadi di negara Jerman dan Inggris di abad ke-17 hingga ke delapan belas tidak mendapat perhatian serius, begitu juga di Indonesia. Saat masa kolonialisme Belanda, anak-anak ikut orangtua menjadi buruh pemetik teh di Bandung, buruh pada perkebunan sawit di Sumatera dan juga sebagai tenaga yang diperbantukan pada proses pembuatan keris Hendra, 2010: 3. Artinya bagi masyarakat dan orang yang mempekerjakan fenomena pekerja anak sudah biasa terjadi dan bukan merupakan suatu pelanggaran bagi orang yang menyuruh anak bekerja, karena bagi mereka sudah menjadi hal yang biasa dan wajar. Persoalannya adalah apabila dikaitkan dengan undang-undang masa kini, mempekerjakan anak di bawah usia 18 tahun merupakan suatu palanggaran. Anak sebagai amanah dari Tuhan Yang Maha Esa terhadap orang tuanya yang mana didalamnya terdapat martabat dan hak azasi yang harus dijunjung tinggi seperti yang tercantum dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan “Setiap anak 12 berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi ”, namun tidak semua anak mempunyai kesempatan itu. Sebagian besar peneliti berbicara tentang kebijakan pekerja anak sering diasumsikan bahwa semua pekerjaan yang dilakukan anak dianggap membahayakan. Akan tetapi sejak pertengahan tahun 1990-an mulai muncul pemahaman pekerjaan tertentu yang dilakukan anak dapat memberikan manfaat bagi mereka karena pekerjaan tersebut dapat memberikan pengalaman, pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan anak untuk survive ketika mereka dewasa Pratiwi, 2008: 16. Dalam penelitian ini terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi anak bekerja pada usia dini yaitu faktor ekonomi, pendidikan, dan lingkungan. Hasil penelitian yang dilakukan Pratiwi 2008: 15 menyatakan bahwa anak bekerja bagian dari sosialisasi. Lemahnya keadaan ekonomi keluarga menyebabkan anak disosialisasikan untuk dapat membantu orang tuanya. Anak- anak diharapkan memainkan peran yang berorientasi kepada pemahaman makna bekerja dalam kehidupannya, penanaman rasa tanggung jawab pribadi, dan berpartisipasi dalam kehidupan keluarga. Kalau melihat keadaan, kita tidak bisa melarang seorang anak bekerja untuk membantu orang tuanya, atau karena alasan yang lain, misalnya tuntutan ekonomi, sekedar membantu pekerjaan orang tua, untuk mendapatkan keinginan pribadi, pengaruh lingkungan dan pergaulan. Ada satu hal yang penting dan harus diperhatikan, jangan sampai seorang anak tereksploitasi dan kehilangan 13 hak-haknya sebagai seorang anak dengan segala keceriaannya. Dalam hal ini peran pemerintah dan orang tua sangat besar. Pasti semua pihak menginginkan mereka hidup sejahtera dan tidak ada lagi anak-anak yang terpaksa harus memilih bekerja dan meninggalkan bangku sekolah karena tidak ada biaya dan terpaksa bekerja demi kelangsungan hidup mereka serta keluarganya. Menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1984 pasal 1 tentang perindustrian, definisi industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang tinggi untuk penggunaannya. Selain itu industri juga dapat diartikan kegiatan yang produktif, meliputi pertanian, peternakan, pertambangan,dan sebagainya. http:organisasi.orgpengertiandefinisiindustridiindonesia_perekonomian_bisni s diunduh pada tanggal 9 April 2010. Di Indonesia, kehadiran pekerja anak terlihat menonjol menjelang abad 20, ketika sektor perkebunan dan industri gula modern mulai perkembang oleh kolonialisme Belanda. Namun demikian, sesungguhnya sebelum itupun di berbagai daerah pekerja anak sudah sejak lama ada, bahkan di wilayah pedesaan, anak berumur 8 tahun ikut membantu orang tua mencari nafkah dan dianggap sebagai hal biasa, keadaan ini terus berkembang sampai sekarang. Tahun 1990- an jumlah pekerja anak disinyalir makin bertambah sebagai salah satu akibat industrialisasi yang menyebabkan terjadinya proses kemiskinan di sebagaian besar masyarakat pedesaan. 14 Periode awal pembicaraan tentang kebijakan pekerja anak sering diasumsikan bahwa semua pekerjaan yang dilakukan anak dianggap membahayakan. Akan tetapi sejak pertengahan tahun 1990-an mulai muncul pemahaman pekerjaan tertentu yang dilakukan anak dapat memberikan manfaat bagi mereka karena pekerjaan tersebut dapat memberikan pengalaman, pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan anak untuk survive ketika mereka dewasa. Oleh sebab itu, pekerjaan ringan yang dapat dikerjakan anak setelah pulang sekolah, magang, pekerjaan yang dilakukan anak di lahan milik orangtuanya atau pekerjaan lain yang tidak dengan tegas dimaksudkan untuk memperoleh penghasilan finansial tidak dapat dikategorikan sebagai pekerja anak. Istilah pekerja anak merujuk kepada pekerjaan yang dapat menghalangi anak bersekolah dan pekerjaan yang harus dilakukan anak dalam kondisi yang membahayakan kesehatan, fisik dan mentalnya Rogers Swinnerton dalam http:www.georgetwon.edufacultypaperexploitpdf diunduh pada tanggal 9 April 2010. Kalau melihat pada keadaan, kita tidak bisa melarang seorang anak bekerja untuk membantu orang tuanya, atau karena alasan yang lainnya. Tapi yang perlu digaris bawahi di sini, satu hal yg penting dan harus diperhatikan, jangan sampai seorang anak tereksploitasi dan kehilangan haknya sebagai seorang anak dengan segala keceriaannya. Di sini, mungkin peran pemerintah dan orang tua sangat besar. Pasti tidak ada yang ingin mereka tetap seperti ini, semua harus sejahtera. Tidak ada lagi anak-anak yang terpaksa harus memilih bekerja dan meninggalkan bangku sekolahnya karena tidak ada biaya. Tak ada lagi anak 15 yang menghabiskan kehidupannya di kehidupan jalanan yang keras. Tidak ada lagi anak yang hidup menggelandang, hidup tanpa mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi http:www.anak_nusantara_opini.com diunduh pada tanggal 18 Juli 2010. Eksploitasi terhadap anak timbul apabila jam kerja para pekerja anak sudah tidak diperhatikan lagi, karena melebihi peraturan yang telah ditetapkan pemerintah yaitu anak tidak boleh dipekerjakan lebih dari empat jam perhari. Banyak pihak yang mengeksploitasi anak dengan mempekerjakan anak untuk memperoleh penghasilan yang lebih dengan bekerja penuh waktu tanpa membedakan lama waktu bekerja antara pekerja dewasa dengan pekerja anak, sehingga menimbulkan rasa tanggung jawab yang terlalu banyak, menghambat akses pendidikan, dan tekanan fisik, psikologis, serta sosial. Konvensi ILO No. 138 diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU No. 1 tahun 2000 mengenai Usia Minimum untuk Diperoleh Bekerja dinyatakan bahwa Usia Minimum untuk Diperoleh Bekerja dinyatakan bahwa usia minimum bagi anak untuk diperolehkan bekerja adalah 15 tahun jika pekerjaan itu tidak mengganggu kesehatan, keselamatan, pertumbuhannya. Sementara usia minimum untuk diperbolehkan bekerja atau melakukan pekerjaan yang berbahaya tidak boleh kurang dari 18 tahun. Implikasinya, banyak penelitian dan studi yang dilakukan adalah tentang perlindungan hukum anak. Penelitian-penelitian tentang bagaimana anak menentukan pilihannya untuk bekerja dan meninggalkan sekolahnya demi membantu perekonomian keluarga. Bagaimana bisa mereka membuat keadaan 16 ekonomi ekonomi berubah lebih baik lagi kalau tanpa pendidikan yang dapat menambah pengetahuan bekal untuk masa depan. Kalau hanya mengandalkan tenaga tanpa pikiran, sampai kapan para pekerja anak akan merasakan menjadi seorang pemimpin. Sebenarnya ada hal yang penting yaitu bagaimana memahami permasalahan pekerja anak dari pengakuan mereka yang menyangkut bagaimana profil anak-anak yang bekerja? Apa faktor yang melatarbelakangi pekerja anak menjadi pekerja? Dampak apa yang dirasakan bagi anak-anak yang menjadi pekerja? Deretan pertanyaan tersebut belum dijawab dan dikaji secara mendalam melalui penelitian yang sudah ada. Penelitian ini merupakan usaha-usaha untuk menjawab dan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan yang belum dijawab pada penelitian-penelitian sebelumnya.

B. Landasan Teori