Faktor Budaya Faktor yang Melatarbelakangangi Anak Bekerja pada Industri Batik

75

3. Faktor Budaya

a. Tradisi Turun-Temurun

Sejak jaman dahulu, kota Pekalongan merupakan salah satu daerah penghasil batik terbesar di Indonesia. Oleh sebab itu banyak masyarakat Pekalongan yang bekerja pada sektor industri batik. Dengan adanya industri batik, banyak memberikan lapangan pekerja kepada masyarakat Pekalongan. Sebagian warga masyarakat di Kelurahan Buaran yang bekerja tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Pekerjaan yang tidak tetap, menyebabkan penghasilan yang diperoleh tidak menentu. Warga masyarakat berusaha melakukan apa saja untuk dapat memperoleh penghasilan dalam memenuhi kebutuhan keluarga, termasuk bekerja pada industri batik. Hal ini dilakukan karena mereka merasa kalau bekerja di industri batik tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi dan mayoritas pengusaha yang memiliki industri batik merupakan orang yang sudah saling mengenal sehingga memudahkan mereka untuk bekerja pada industri batik. Menurut penjelasan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Ini artinya seorang anak di bawah usia 18 tahun diwajibkan untuk mengenyam pendidikan karena masih dalam tanggungan orang tua. Namun kenyataannya, dalam masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan hal tersebut 76 sudah tidak berlaku lagi, karena para orang tua sangat terbantu apabila anaknya bekerja membantu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Seperti yang dikemukakan Wharton dalam Sairin 2002: 39 bahwa, pengertian subsisten ada dua, yaitu sebagai tingkat hidup dan sebagai suatu bentuk perekonomian. Pengertian pertama menggambarkan suatu kondisi ekonomi yang berfungsi sekedar untuk dapat bertahan hidup, sedangkan pengertian kedua merupakan suatu sistem produksi yang hasilnya untuk kebutuhan sendiri, tidak dipasarkan, sedangkan kalau ada produksi yang dipasarkan tidak dimaksudkan untuk mencapai keuntungan komersil. Menurut ibu Tila, mereka bekerja di industri batik secara turun temurun, dari orang tuanya sampai anaknya bekerja di industri batik semua. Berikut kutipan dengan ibu Tila: “Keluarga ku akehe kerjo neng batikkan mbak, awet simbahe bocah-bocah sampek saiki anak ku yo kerjo neng kono. Asale wong Buaran ki pancen akehe do kerjo neng kono, ibarate ki wes tradisi, nek ora neng batikan pak neng ndi maneh” Keluarga saya banyaknya bekerja di industri batik mbak, dari sejak neneknya anak-anak sampai sekarang anak saya juga bekerja di sana. Karena orang Buaran memang banyak bekerja di sana, ibaratnya itu sudah tradisi, kalau tidak di industri batik mau dimana lagi. hasil wawancara, 21 Agustus 2010 Bekerja pada industri batik sudah menjadi tradisi turun temurun dan keberadaan anak-anak dalam industri menjadi hal wajar yang telah berlangsung sejak jaman dahulu. Sehingga secara cultural, bagi 77 masyarakat Buaran pekerja anak bukanlah hal yang salah. Akan tetapi hal tersebut menjadi problematic ketika muncul KHA dan UUPA yang melarang anak usia di bawah 18 tahun melakukan pekerjaan selayaknya orang dewasa untuk mendapatkan upah. Hasil penelitian ini menunjukkan kesamaan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi 2008. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja anak di industri batik sudah lama ada, seorang anak yang ikut membantu orang tua mencari nafkah dan dianggap sebagai hal biasa, keadaan ini terus berkembang sampai sekarang.

F. Dampak yang Dirasakan bagi Anak-Anak yang Menjadi Pekerja pada