Kajian Kandungan Senyawa Karotenoid, Antosianin dan Asam Askorbat pada Sayuran Indigenous Jawa Barat

(1)

1 I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sayuran merupakan jenis makanan yang sangat dianjurkan untuk dikonsumsi dalam menu makan sehari-hari. Selain mudah diperoleh, murah harganya dan dapat diolah menjadi berbagai hidangan yang lezat, sayuran juga banyak mengandung vitamin, mineral, dan komponen antioksidan seperti asam askorbat, karotenoid, flavonoid, asam organik tertentu, peptida, tannin dan tokoferol. Antioksidan tersebut dapat berfungsi sebagai senyawa pereduksi, menangkap senyawa radikal, mengikat ion logam prooksidan dan penghambat terbentuknya singlet oksigen (Pratt, 1992). Menurut Karyadi (1996) mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung sayuran dapat mencegah timbulnya penyakit degeneratif, mengoreksi zat gizi tubuh yang kurang, memelihara kesehatan tubuh, memperlambat proses penuaan, memelihara sistem kekebalan tubuh, mengatasi stres dan membantu penyembuhan penyakit.

Hampir seluruh daerah di Indonesia memiliki beragam jenis sayuran lokal yang menjadi ciri khas daerah tersebut. Sayuran-sayuran lokal tersebut dikenal dengan istilah sayuran indigenous. Sayuran ini dapat digunakan sebagai obat-obatan maupun jamu-jamuan karena mengandung senyawa fitokimia yang berfungsi sebagai antioksidan yang sangat menguntungkan bagi kesehatan (Sandrasari, 2008). Namun sayangnya, beranekaragamnya jenis sayuran tersebut belum dimanfaatkan secara optimal sebagai bahan pangan, bahkan masyarakat setempat sendiri belum mengetahui bahwa tanaman lokal di daerahnya dapat dikonsumsi sebagai sayur-sayuran pelengkap menu. Padahal penganekaragaman sumber makanan termasuk dalam konsumsi sayur-sayuran merupakan salah satu pemecahan dalam rangka mengurangi ketergantungan pada salah satu jenis sumber makanan tertentu apalagi bila bersumber dari kekayaan lokal sendiri.

Jawa Barat sebagai salah satu wilayah sentra produksi sayuran menghasilkan beragam jenis sayuran lokal yang sangat besar potensinya untuk dimanfaatkan. Pada penelitian ini, digunakan 24 jenis sayuran indigenous


(2)

2 Jawa Barat yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat lokal sebagai lalapan atau pelengkap menu. Sayuran tersebut antara lain kenikir (Cosmos caudatus H.B.K), beluntas (Pluchea indica (L.) Less.), mangkokan putih (Nothopanax scutellarium (Burm.f.) Fosb.), mangkokan (Nothopanax scutellarius (Burm.f.) Merr.), daun kendondong cina (Polyscias pinnata), kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M.Sm.), kemangi (Ocimum americanum L.), katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.), antanan (Centelia asiatica (L.) Urb.), antanan beurit (Hydrocotyle sibthorpioides Lmk.), pohpohan (Pilea melastomoides (Poir.) Bl.), daun ginseng (Talinum triangulare (Jacq.) Willd.), krokot (Portulaca oleracea L.), bunga turi (Sesbania grandiflora (L.) Pers.), kucai (Allium schoenoprasum L.), takokak (Solanum torvum Swartz), daun kelor (Moringa pterygosperma Gaertn.), pucuk mengkudu (Morinda citrifolia L.), lembayung (Vigna unguiculata (L.) Walp.), terubuk (Saccharum edule Hassk.), daun labu (Sechium edule (Jacq.) Swartz.), bunga pepaya (Carica papaya L.), pucuk mete (Anacardium occidentale L.) dan daun pakis (Arcypteris irregularis (C.Presl) Ching.).

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Batari (2007) dan Rahmat (2009) menunjukkan bahwa sayuran indigenous sebagaimana disebutkan diatas mengandung senyawa flavonoid yang berupa flavonol (quercetin, miricetin dan kaempferol) dan flavon (luteolin dan apigenin). Flavonol dan flavon merupakan flavonoid penting yang terdapat dalam tanaman sebab senyawa tersebut merupakan jenis senyawa fenol yang diketahui mempunyai aktivitas antioksidan yang berfungsi sebagai radical scavenger, sebagai senyawa pereduksi, dan penghambat terjadinya oksidasi lipid lanjut sebagaimana yang dijelaskan dalam penelitian Sandrasari (2008) mengenai kapasitas antioksidan pada sayur-sayuran indigenous tersebut.

Penelitian yang dilakukan sebagai tindak lanjut dari penelitian sebelumnya ini diarahkan untuk mengungkap fakta ilmiah mengenai kandungan senyawa karotenoid khususnya β-karoten, senyawa antosianin dan asam askorbat pada 24 jenis sayuran indigenous dengan diagram alir desain penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 1. Pengetahuan akan komponen bioaktif yang terkandung dalam sayuran-sayuran lokal tersebut diharapkan


(3)

3 dapat mendorong optimalisasi pemanfaatan sayuran indigenous tersebut sehingga dapat tercipta peluang untuk meningkatkan nilai tambah dan memperluas penggunaan sayuran-sayuran tersebut dalam khasanah pangan Indonesia.

B. TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan senyawa karotenoid, antosianin dan asam askorbat pada 24 jenis sayuran indigenous Jawa Barat, mengetahui hubungan antar senyawa teridentifikasi dengan melakukan meta-analisis antara total fenol dengan total flavonoid, total fenol dengan total antosianin dan kadar protein dengan total karotenoid, serta mengidentifikasi potensi sayur-sayuran tersebut melalui studi literatur berdasarkan nilai kandungan senyawa yang diperoleh dari analisis.


(4)

4 Gambar 1. Diagram alir desain penelitian sayuran indigenous Jawa Barat Meta-analisis

Analisis Potensi

1. Pengumpulan data hasil analisis utama 2. Studi literatur

3. Justiifikasi potensi

1. Hubungan antara total karotenoid, β-karoten, antosianin, dan asam askorbat

2. Hubungan antara total fenol dan total karotenoid

3. Hubungan antara total fenol dan total antosianin

4. Hubungan antara total karotenoid dan protein

1. Analisis komponen utama (PCA)

2. Uji korelasi Pearson

1. Analisis Proksimat: -Kadar air

-Kadar protein

2. Analisis Utama:

-Kadar total karotenoid -Kadar β-karoten -Kadar antosianin -Kadar asam askorbat

3. Analisis statistik:

-Analisis ragam (Anova) - Uji lanjut Duncan Analisis Sampel

Persiapan Sampel

Perolehan Sampel 1. Pasar Bogor

2. Kebun Penduduk Freeze drying


(5)

5 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. SAYURAN INDIGENOUS

Indonesia memiliki keragaman sumber daya hayati yang sangat potensial untuk dikembangkan. Salah satu sumber daya hayati tersebut adalah sayur-sayuran yang memiliki kontribusi penting terhadap suplai pangan dan kesehatan masyarakat. Sejarah membuktikan bahwa nenek moyang kita telah banyak memanfaatkan sayuran indigenous sebagai bahan pangan karena rasa dan manfaat sayur-sayuran tersebut yang telah dikenal dengan baik berdasarkan pengetahuan secara turun temurun. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, sayuran indigenous adalah spesies sayuran asli Indonesia yang berasal dari daerah/wilayah/ekosistem tertentu, termasuk spesies pendatang dari wilayah geografis lain tetapi telah berevolusi dengan iklim dan geografis wilayah Indonesia. Sayuran indigenous biasanya tumbuh di pekarangan rumah maupun kebun secara alami dan dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga, baik sebagai sayuran yang dimasak, lalapan bahkan sebagai obat dari suatu penyakit.

Sayuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah sayur-sayuran yang banyak tumbuh di daerah Jawa Barat dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Bagian dari sayur-sayuran indigenous yang digunakan adalah bagian yang biasa dikonsumsi (dapat berupa batang, daun, bunga atau seluruh bagian tanaman). Sayuran tersebut antara lain, kenikir (Cosmos caudatus H.B.K), beluntas (Pluchea indica (L.) Less.), mangkokan putih (Nothopanax scutellarium (Burm.f.) Fosb.), mangkokan (Nothopanax scutellarius (Burm.f.) Merr.), daun kendondong cina (Polyscias pinnata), kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M.Sm.), kemangi (Ocimum americanum L.), katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.), antanan (Centelia asiatica (L.) Urb.), antanan beurit (Hydrocotyle sibthorpioides Lmk.), pohpohan (Pilea melastomoides (Poir.) Bl.), daun ginseng (Talinum triangulare (Jacq.) Willd.), krokot (Portulaca oleracea L.), bunga turi (Sesbania grandiflora (L.) Pers.), kucai (Allium schoenoprasum L.), takokak (Solanum torvum Swartz), daun kelor (Moringa pterygosperma Gaertn.),


(6)

6 pucuk mengkudu (Morinda citrifolia L.), lembayung (Vigna unguiculata L.) Walp.), terubuk (Saccharum edule Hassk.), daun labu (Sechium edule (Jacq.) Swartz.), bunga pepaya (Carica papaya L.), pucuk mete (Anacardium occidentale L.) dan daun pakis (Arcypteris irregularis (C.Presl) Ching.). Identifikasi/determinasi tanaman sayuran diatas telah dilakukan pada penelitian sebelumnya (Sandrasari, 2008; Rahmat, 2009) oleh pihak “Herbarium Bogoriense”, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor dengan Kepala Bidang Botani LIPI adalah Dr. Eko Baroto Walujo, APU. Deskripsi umum ke 24 jenis sampel tersebut yang meliputi nama suku, jenis, nama Inggris, bagian yang dapat dimakan, dan fungsi kesehatannya ditunjukan pada Tabel 1.

Batari (2007) dan Rahmat (2009) telah melakukan penelitian terhadap kandungan total fenol dan kandungan senyawa flavonoid yang terdapat dalam sayuran indigenous tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua sayuran indigenous yang diuji mengandung senyawa flavonoid, dengan komponen flavonoid yang diperoleh berupa senyawa flavonol dan flavon. Flavonol terdiri dari quercetin, miricetin dan kaempferol, sedangkan flavon terdiri dari apigenin dan luteolin. Akan tetapi, ternyata tidak semua sampel yang diuji mengandung kelima komponen flavonoid tersebut, namun diperoleh hasil bahwa semua sampel mengandung senyawa quercetin. Senyawa quercetin merupakan golongan flavonol yang paling banyak terdapat dalam tanaman dan merupakan senyawa paling aktif dibanding senyawa flavonol lainnya (Fuhrman dan Aviram, 2002). Berdasarkan hasil penelitian Batari (2007) dan Rahmat (2009) tersebut, diperoleh hasil bahwa kandungan total fenol terbesar terdapat pada pucuk mete (2809.5 mg/100 g dry basis) dan terkecil pada terubuk (204.4 mg/100 g dry basis). Total flavonol dan flavon yang diperoleh sangat bervariasi, dengan jumlah terbesar terdapat pada daun katuk (831.70 mg/100 g dry basis) dan terkecil terdapat pada terubuk (3.80 mg/100 g dry basis).

Kandungan total fenol pada sayuran indigenous yang diperoleh dari penelitian diatas kemudian dijadikan dasar penelitian oleh Sandrasari (2008) yang menguji kapasitas antioksidan senyawa fenol pada ekstrak sayuran


(7)

7 indigenous tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas antioksidan ekstrak beluntas (86.65%) dan kenikir (84.13%) adalah yang terbesar, sedangkan yang terkecil adalah ekstrak daun katuk (7.11%). Kapasitas antioksidan yang diuji dengan radikal bebas DPPH ini dinyatakan sebagai % inhibisi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diketahui pula bahwa nilai total fenol secara keseluruhan berpengaruh terhadap kapasitas antioksidan ekstrak sayuran indigenous. Semakin tinggi nilai total fenol ekstrak antioksidan, maka semakin tinggi kemampuannya sebagai radikal scavenger, semakin tinggi kemampuan mereduksinya, dan semakin tinggi pula kemampuannya dalam menghambat terjadinya oksidasi lipid lanjut.


(8)

8 Tabel 1. Deskripsi umum (suku, jenis, nama Inggris dan nama lokal), bagian yang dapat dimakan dan fungsi kesehatan dari 24 jenis

sayuran indigenous Jawa Barat

Family/suku Species/jenis Nama Inggris Nama Lokal BDD* Fungsi Kesehatan

Asteraceae

Cosmos caudatus H.B.K

Wild cosmos Kenikir Daun Antioksidan, penambah nafsu makan, obat lemah lambung, penguat tulang, dan untuk mengusir serangga (Widayanti et al., 2005).

Pluchea indica (L.) Less.

Indian

camphorweed

Beluntas Daun Meningkatkan nafsu makan (stomakik), membantu pencernaan, peluruh keringat (diaforetik), pereda demam (antipiretik), penyegar, memiliki kadar minyak atsiri 5% (v/v) yang dapat mengambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli (Erawati, 1992 di dalam pdpersi.co.id); Menghilangkan bau badan, obat turun panas, obat batuk, obat antidiare dan obat sakit kulit (Winarno dan Sundari, 1998).

Araliaceae

Polyscias scutellaria (Burm.f.) Fosb.

Shield aralia Mangkokan putih

Daun Menghilangkan bau badan, pelumas kepala terhadap kerontokan, diuretika, dan peluruh keringat.

Nothopanax scutellarius

(Burm.f.) Merr. -

Mangkokan Daun Mengandung alkaloida, saponin, flavonoida dan polifenol (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991); Mengandung tanin, polifenol, dan saponin (Triguspita et al., 2000).


(9)

9 Tabel 1. Deskripsi umum (suku, jenis, nama Inggris dan nama lokal), bagian yang dapat dimakan dan fungsi kesehatan dari 24 jenis sayuran indigenous Jawa Barat (lanjutan)

Family/suku Species/jenis Nama Inggris Nama Lokal BDD* Fungsi Kesehatan

Araliaceae Polyscias pinnata Balfour aralia Kedondong cina

Daun

- Zingiberaceae Etlingera elatior

(Jack) R.M.Sm.

Torch ginger Kecombrang Bunga Menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang pada makanan terutama bakteri patogen (Naufalin, 2005), penghilang bau badan (Anonim, 2003).

Lamiaceae Ocimum americanum L.

Basil Kemangi Daun Sebagai obat batuk, obat penyakit kulit, dan rematik (Siemonsma dan Piluek, 1994), antiseptik, menghilangkan bau badan, dan meningkatkan selera makan (Anonim, 2003). Phyllanthaceae Sauropus

androgynus (L.) Merr.

Chekkurmanis Katuk Daun Meningkatkan produksi ASI, sebagai antipiretik atau obat penurun demam (Soedibyo, 1998), sebagai pewarna hijau alami (Heyne, 1987).

Apiaceae Centelia asiatica (L.) Urb.

Indian pennywort

Antanan Seluruh bagian

Diuretik, hipotensif (Pramono, 1992); mempertajam ingatan, menyehatkan badan, membuat awet muda, obat pembersih darah, hermoroida, penyakit hati, batuk kering, radang cabang tenggorok, asma, radang usus, batu ginjal, dan sebagai obat kumur pada penyakit seperti sariawan (Heyne, 1987).


(10)

10 Tabel 1. Deskripsi umum (suku, jenis, nama Inggris dan nama lokal), bagian yang dapat dimakan dan fungsi kesehatan dari 24 jenis sayuran indigenous Jawa Barat (lanjutan)

Family/suku Species/jenis Nama Inggris Nama Lokal BDD* Fungsi Kesehatan

Apiaceae Hydrocotyle sibthorpioides Lmk.

Lawn

marshpennywort

Antanan beurit

Seluruh bagian

Pembersih darah, pelancar peredaran darah, peluruh kencing (diuretika), penurun panas, menghentikan pendarahan, meningkatkan memori, antibakteri, tonik, antiinflamasi, insektisida, antialergi, dan stimulan (Anonim, 2008).

Urticaceae Pilea

melastomoides

(Poir.) Bl. -

Pohpohan Daun Penapisan fitokimia simplisia daun pohpohan menunjukkan adanya golongan senyawa steroid/triterpenoid, alkaloid dan flavonoid (Amalia et al., 2006).

Portulacaceae

Talinum

triangulare (Jacq.) Willd.

Ceylon spinach Daun Ginseng

Daun Mengandung saponin yang dapat merangsang selaput lendir, memecah butir darah merah hingga merangsang penambahan jumlah darah dan memperbaiki sirkulasi darah dalam tubuh; Mengandung flavonoid yang dapat mengurangi pembengkakan, bakterisidal & antivirus; mengandung minyak atsiri sebagai penambah nafsu makan (Hidayat, 2005).

Portulaca oleracea L.

Little hogweed Krokot Daun&

batang Antioksidan dan antimutagenik (Anonim, 2007), obat diare, penurun panas, dan obat radang lambung (Anonim, 2005).


(11)

11 Tabel 1. Deskripsi umum (suku, jenis, nama Inggris dan nama lokal), bagian yang dapat dimakan dan fungsi kesehatan dari 24 jenis sayuran indigenous Jawa Barat (lanjutan)

Family/suku Species/jenis Nama Inggris Nama Lokal BDD* Fungsi Kesehatan

Leguminoceae Sesbania

grandiflora (L.) Pers.

Vegetable hummingbird

Turi Bunga Pelembut kulit, pencahar, dan penyejuk (IPTEKnet, 2007).

Alliaceae Allium

schoenoprasum L.

Wild chives Kucai Seluruh bagian

Mengatasi keputihan, darah tinggi, sembelit, sebagai antiseptik untuk membunuh kuman bakteri dalam usus dan menjadi perangsang dalam proses pengasaman usus, melancarkan aliran darah, menghindarkan pembekuan darah; Mengandung vitamin B, C, karoten dan komponen belerang (Anonim, 2008a).

Solanaceae Solanum torvum Swartz

Turkey berry Takokak Buah Melancarkan sirkulasi darah, menghilangkan sakit (analgetik), dan mengatasi batuk (antitusif) (Anonim, 2007a), antiradang (Anonim, 2007b), antioksidan (Vimala et al., 1999), mengobati sakit lambung, sakit gigi, katarak, tidak datang haid, wasir, radang payudara, influenza, panas dalam, pembengkakan, bisul, koreng, sakit pinggang, asam urat tinggi, keropos tulang, jantung berdebar-debar, dan menetralkan racun dalam tubuh (Wijayakusuma, 2006).


(12)

12 Tabel 1. Deskripsi umum (suku, jenis, nama Inggris dan nama lokal), bagian yang dapat dimakan dan fungsi kesehatan dari 24 jenis sayuran indigenous Jawa Barat (lanjutan)

Family/suku Species/jenis Nama Inggris Nama Lokal BDD* Fungsi Kesehatan

Moringaceae Moringa pterygosperma Gaertn.

Horseradishtree Kelor Daun Menurunkan tekanan darah tinggi, diare, diabetes melitus (kencing manis), dan penyakit jantung (Anonim, 2007c). Rubiaceae Morinda citrifolia

L.

Indian mulberry Mengkudu Daun Mempunyai aktivitas antihelmintik, cukup baik melawan cacing Ascaris lumbricoides yang ada pada usus

Fabaceae Vigna unguiculata (L.) Walp.

Blackeyed pea Lembayung Daun Mengandung zat-zat protein, kalsium, fosfor, besi, belerang, magnesium, mangan, niasin, vitamin B1, B2, dan C (Anonim, 2008b).

Poaceae Saccharum edule Hassk.

Vegetable cane Terubuk Bunga Mengandung 4.6-6% protein, kalsium, fosfor dan asam askorbat (Terra, 1966).

Cucurbitaceae Sechium edule (Jacq.) Swartz.

Chayote Daun labu Daun Menurunkan hipertensi, arterioscleosis, batu ginjal, dan melancarkan sistem pernafasan dan pencernaan, serta melancarkan peredaran darah yang tersumbat (Anonim, 2008c).

Caricaceae Carica papaya L. Papaya Pepaya Bunga Mengandung flavonoid, tanin, steroid-triterpenoid, dan karbohidrat (Anonim, 2007).


(13)

13 Tabel 1. Deskripsi umum (suku, jenis, nama Inggris dan nama lokal), bagian yang dapat dimakan dan fungsi kesehatan dari 24 jenis

sayuran indigenous Jawa Barat (lanjutan)

Family/suku Species/jenis Nama Inggris Nama Lokal BDD* Fungsi Kesehatan

Anacardiaceae Anacardium occidentale L.

Cashew Pucuk mete Daun Mengatasi pegal linu, daun dan kulitnya mengandung asam anakandat, kardol, zat samak, asam galat, gingkol, minyak lemak, protein, katekhin, dan sitosterin (Anonim, 2008d). Osmundaceae Arcypteris

irregularis (C.Presl) Ching.

Fern Pakis Daun

- * Bagian yang dapat dimakan (yang biasa dikonsumsi sebagai sayur)


(14)

14 B. KAROTENOID DAN β-KAROTEN

Karotenoid merupakan pigmen yang berwarna kuning, jingga, merah serta larut dalam minyak/lipida. Karotenoid terdapat dalam kloroplas (0.5%) bersama-sama dengan klorofil (9.3%), terutama pada bagian atas permukaan daun, dekat dengan dinding-dinding palisade (Winarno, 1992). Karotenoid membentuk suatu kelas hidrokarbon berikatan rangkap banyak yang memiliki jumlah atom C sebanyak 40, yang disebut karoten dan turunan teroksigenasinya, yaitu santofil (Goh et al., 1987).

Menurut Meyer (1966), karotenoid dibagi atas 4 golongan, yaitu: 1) karotenoid hidrokarbon, C40H56 seperti α-, β-, -karoten, dan likopen, 2)

santofil atau oksikarotenoid dan derivat karoten yang mengandung oksigen dan hidroksil, antara lain kriptosantin (C40H55OH) dan lutein (C40H54(OH)2),

santasantin, zeasantin, dan astasantin (Stahl, Sies dan Sundquist, 1994). Oksikarotenoid ini merupakan turunan dari hidrokarbon karotenoid yang lebih polar dan mengandung setidaknya satu atom oksigen (Stahl, Sies dan Sundquist, 1994), 3) asam karotenoid yang mengandung gugusan hidroksil, 4) ester santofil asam lemak.

Struktur dasar karoten terdiri dari ikatan hirokarbon tidak jenuh, terbentuk dari 40 atom C, 8 unit isoprenil, 11 ikatan rangkap, dan memiliki 2 buah gugus cincin ionon (Winarno, 1992). Perbedaan struktur antara berbagai karoten terletak pada letak dan jumlah ikatan rangkap, serta jenis gugus pada cincin yang mempengaruhi aktivitas biologisnya sebagai provitamin A (Bauernfeind, 1972).

Perbedaan antara satu provitamin A dengan provitamin A lainnya terletak pada struktur cincin yang terdapat di kedua rantai alifatik tersebut (rantai yang mengandung 4 gugus metil). β-karoten mempunyai 2 struktur cincin yg sama pada kedua sisi rantai karbon alifatiknya yaitu berupa cincin β ionon, karenanya mempunyai provitamin A yang maksimal. α-karoten mempunyai satu struktur cincin β-ionon dan di sisi lainnya terdapat struktur cincin α-ionon (ikatan rangkap pada posisi 4 dan 5), sedangkan -karoten pada satu sisi memiliki struktur cincin, tetapi memiliki jumlah atom karbon yang sama dengan provitamin A lainnya.


(15)

15 Karotenoid memiliki aktivitas vitamin A yang mengandung cincin β -ionon, disebut juga sikloheksenil, pada salah satu atau kedua ujung rantai polienanya. Cincin β-ionon dan gugus akhir dari suatu rantai, yaitu struktur retinil, menentukan aktivitas retinoid. Menurut Klaui dan Bauernfeind (1981), β-karoten memiliki dua buah cincin β-ionon dan menghasilkan 2 molekul vitamin A. Komponen lain seperti α-karoten, dimana setengah dari strukturnya identik dengan β-karoten hanya menghasilkan 1 molekul vitamin A.

Aktivitas vitamin A dari karoten juga dipengaruhi oleh bentuk isomernya. Bentuk trans karoten memiliki derajat aktivitas vitamin A lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk cis. β-karoten memiliki 100% aktivitas vitamin A, α-karoten memiliki 50-54% aktivitas vitamin A, dan -karoten memiliki 42-50% aktivitas vitamin A.

Winarno (1992) menyatakan bahwa 1 µg retinol ekivalen atau sering disebut 1 RE setara dengan 1 µg retinol atau 6.0 µg β-karoten, juga setara dengan 12 µg provitamin A lainnya, atau 3.33 SI aktivitas retinol, serta 9.9 SI aktivitas vitamin A dari β-karoten. Di dalam tubuh, β-karoten yg berasal dari makanan akan mengalami absorpsi dan metabolisasi. Sepertiga dari molekul β-karoten yang diabsorpsi berbentuk utuh diangkut oleh kilomikron, sisanya dibuang melalui ekskresi. Setengah dari β-karoten yang di absorpsi ini diubah menjadi retinol dalam mukosa usus dengan bantuan enzim 15, 15’ β-karoten dioksigenase (E.C.1.13.11.21) (Gross, 1991).

Karotenoid stabil dalam pH netral dan basa, namun sensitif terhadap asam, oksigen, cahaya dan panas yang dapat menyebabkan perubahan (rearrangement) pada ikatan rangkap dan isomerisasi cis-trans. Di alam karotenoid bersifat stabil, namun isolatnya mudah mengalami perubahan molekul, isomerisasi cis-trans, degradasi oleh panas, cahaya, oksigen, trace element, dan asam. Oksidasi karotenoid akan lebih cepat dengan adanya cahaya dan katalis logam. Oksidasi terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda (Chichester dan Feeters, 1985). Adanya ikatan ganda menyebabkan karotenoid peka terhadap oksidasi.

Analisis karotenoid lebih rumit karena senyawa ini mudah mengalami streomutasi, sensitif terhadap cahaya dan panas, serta mudah rusak secara


(16)

16 enzimatis misalnya dengan enzim lipoksigenase (Gross, 1991). Selain itu, pada sayuran berdaun hijau, proses ekstraksi biasanya mengeluarkan klorofil yang diketahui sebagai photosensitizer yang dapat memicu oksidasi cahaya.

Menurut Ball (2000), metode penentuan karotenoid pada tanaman tergantung pada distribusi karotenoid pada jaringan tanaman. Penentuan ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu 1) penentuan berdasarkan β-karoten saja, dimana metode ini cocok untuk sayuran berdaun hijau, brokoli, ubi jalar, tomat, dan semangka; 2) penentuan α- dan β-karoten untuk wortel dan squash; 3) penentuan β-kriptosantin dan β-karoten untuk almond dan apel. Analisis karoten spesifik pada sayuran umumnya dibatasi hanya pada penentuan β -karoten saja (Gross, 1991) karena β-karoten adalah karotenoid provitamin A yang umum terdapat pada buah-buahan dan sayur-sayuran. Hampir dalam setiap sayuran dan buah segar, 85% total aktivitas vitamin A berasal dari β -karoten (Ball, 2000). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, karotenoid yang dominan dalam sayuran hijau adalah golongan β-karoten dan lutein (Puspitasari-Nienaber et al., 1996; Q Su et al., 2002). Kandungan karotenoid dan β-karoten berbagai jenis sayuran dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan karotenoid pada berbagai jenis sayuran

Jenis Sayuran Karotenoid (mg/100 g dry basis)

β-karoten (mg/100 g dry basis) Katuk

Sawi hijau Kangkung Daun singkong Daun melinjo Bayam Wortel Selada Daun pepaya Labu siam

43.42 13.13 15.62 52.39 45.08 24.73 13.84 4.06 36.23

0.17

6.72 3.25 3.14 7.58 6.46 6.92 8.57 1.74 10.27

0.03 Sumber: Subeki (1998)


(17)

17 Penyebab utama hilangnya karotenoid pada sayuran adalah oksidasi sebagai akibat tingginya struktur ikatan tak jenuh pada karotenoid. Degradasi karotenoid dapat terjadi karena: 1) autooksidasi yang berlangsung secara spontan dan menyebabkan reaksi berantai radikal bebas dengan adanya oksigen; 2) fotooksidasi yang dihasilkan oleh oksigen dengan adanya cahaya; 3) coupled oxidation dalam sistem yang mengandung lemak (Kidmose et al., 2002). Kerusakan karena reaksi enzimatis terutama karena enzim lipoksigenase. Enzim ini terdapat secara luas pada sayuran yang mengandung klorofil dan telah dilaporkan bahwa kehilangan karotenoid berhubungan dengan aktivitas enzim ini (Hutching, 1999).

Beberapa jenis karotenoid telah diketahui dapat menurunkan resiko terkena kanker, seperti likopen dapat mencegah kanker prostat. Lutein, zeasantin, dan α karoten dapat mencegah kanker paru-paru, kriptosantin dapat mencegah kanker leher rahim, β-karoten dapat mencegah kanker paru-paru dan kanker mulut (Toma et al., 1995). Adapun karotenoid yang banyak terdapat dalam sayuran hijau adalah β-karoten dan lutein (Puspitasari-Nienaber et al., 1996; Q Su et al., 2002) yang strukturnya dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.

Gambar 2. Struktur kimia β-karoten


(18)

18 C. ANTOSIANIN

Antosianin merupakan salah satu dari kelompok pigmen utama pada tanaman (Harborne dan Grayer, 1988). Pigmen ini berada pada sebagian besar tanaman tingkat tinggi dan terdapat pada seluruh bagian tanaman (Brouillard, 1982). Antosianin dapat memberikan warna merah, violet, ungu, dan biru pada daun, bunga, buah dan sayur (Bridle dan Timberlake (1997); Elbe dan Schwartz (1996); Francis (1989). Secara kimia, semua antosianin merupakan turunan dari kation flavilium (3,5,7,4’ tetrahidroksiflavilium) yang merupakan struktur dasar dari antosianidin (Bridle dan Timberlake, 1997) seperti terlihat pada Gambar 4. Pada molekul flavilium ini terjadi subtitusi dengan molekul OH dan OMe untuk membentuk antosianindin (Tranggono, 1990). Menurut Harborne dan Grayer (1988), semua antosianin merupakan turunan suatu struktur aromatik tunggal yaitu sianidin yang dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil, metilasi, atau glikosilasi maka jenis antosianin lain terbentuk.

Gambar 4. Struktur dasar kation flavilium

Antosianin selalu terdapat sebagai glikosida di dalam tumbuhan. Sebagai glikosida, antosianin larut dalam air, tetapi setelah mengalami hidrolisis maka bentuk non glikosidanya (antosianidin) kurang larut dalam air (Wijaya et al., 2001). Terdapat 18 jenis antosianidin yang telah ditemukan, namun hanya enam yang memegang peranan penting dalam bahan pangan dan sering ditemukan, yaitu pelargonidin, sianidin, delpinidin, peonidin, petunidin, dan malvidin. Tabel 3 menunjukkan sejumlah gugus pengganti yang paling umum ditemui pada antosianin (Tranggono, 1990).


(19)

19 Tabel 3. Gugus pengganti pada struktur kation flavilium untuk membentuk

antosianin Struktur Antosianidin

Gugus pada Karbon nomor

3’ 4’ 5’

Pelargonidin H OH H

Sianidin OH OH H

Delpinidin OH OH OH

Peonidin OMe OH H

Petunidin OMe OH OH

Malvidin OMe OH OMe

Jenis pigmen yang terdapat dalam bunga dan buah sebagian besar tidak berada dalam bentuk antosianidin, melainkan dalam bentuk glikosilasi. Glikosilasi diasumsikan dapat meningkatkan kestabilan dan kelarutan pigmen antosianin dalam air sebab antosianidin kurang stabil dan kurang larut dalam air dibandingkan dengan antosianin (Jackman dan Smith, 1996).

Menurut Markakis (1982), molekul antosianin disusun dari sebuah aglikon (antosianidin) yang teresterifikasi dengan satu atau lebih gula (glikon). Gula yang paling banyak dijumpai adalah monosakarida seperti glukosa, galaktosa, ramnosa, xilosa dan arabinosa. Dalam tanaman, antosianin dalam bentuk glikosida yaitu ester dengan satu molekul monosakarida disebut monoglukosida dan biosida atau diglukosida jika memiliki dua molekul gula (Winarno, 1992).

Keragaman antosianin dapat terjadi karena perbedaan sifat gula, jumlah satuan gula dan letak ikatan gulanya. Molekul gula ini dapat memberikan dampak kestabilan pada molekul antosianin. Pada molekul gulanya sering terjadi asilasi sehingga terdapat molekul ketiga yang biasanya berupa asam ferulat, koumarat, kafeat, malonik, atau asetat (Tranggono, 1990). Antosianin yang terasilasi ditemukan pada kubis ungu, wortel ungu, lobak dan ubi jalar ungu dimana gugus asil ini dapat memperbaiki stabilitas pigmen antosianin (Bassa dan Francis, 1987). Kandungan antosianin pada beberapa komoditi buah dapat dilihat pada Tabel 4.


(20)

20 Stabilitas antosianin terutama dipengaruhi oleh pH, suhu, cahaya, oksigen, asam askorbat, enzim, ion logam, gula, dan kopigmentasi. Umumnya antosianin lebih stabil dalam kondisi asam, media bebas oksigen, Di dalam kondisi suhu dingin dan gelap (Nollet, 1996; Francis, 1989; Elbe dan Schwartz, 1996). Antosianin terdapat dalam empat bentuk struktur keseimbangan yaitu quinonodial base, katin flavilium berwarna merah, karbinol pseudobase, dan kalkon yang tidak berwarna. Bentuk keseimbangan ini sangat dipengaruhi pH. Pada pH rendah, struktur kation flavilium dominan, sedangkan pada pH 4-6 bentuk karbinol yang dominan (Elbe dan Schwartz, 1996). Semakin tinggi nilai pH maka warna dari antosianin menjadi semakin pucat dan akhirnya tidak berwarna. Antosianin lebih stabil pada larutan yang bersifat asam daripada larutan yang bersifat netral atau basa.

Disamping itu, warna dari pigmen antosianin juga dipengaruhi oleh pH. Kondisi yang sedikit asam akan meningkatkan intensitas warna dari pigmen tersebut. Selain itu, dengan terikatnya beberapa jenis gula juga dapat meningkatkan intensitas warna dari pigmen antosianin (Lewis et al., 1997). Warna pigmen juga dipengaruhi oleh pelarut. Warna antosianin akan menjadi lebih biru pada pelarut alkohol dibandingkan dengan pelarut air (Swain, 1976).

Tabel 4. Kandungan antosianin pada berbagai komoditi buah*

Jenis Buah Antosianin (mg/g dry basis) Blueberries

Capulin Strawberry Plum Apel

Elderberries Kulit anggur Kubis Ungu Rosella

Kulit buah duwet**

1.10-1.90 0.32 0.07-0.75

0.05 0.01-0.1

2-10 0.51 0.82 15 3.89 Sumber: *Briddle dan Timberlake (1997); **Satyatama (2008)


(21)

21 D. ASAM ASKORBAT

Asam askorbat atau vitamin C pertama kali diisolasi oleh Szent Gyorgi pada tahun 1928. Vitamin ini merupakan vitamin yang mudah larut dalam air dan sedikit dalam alkohol, tidak larut dalam benzene, eter, kloroform, minyak, dan sejenisnya. Vitamin ini mempunyai sifat asam dan pereduksi yang sangat kuat, sifat-sifat tersebut disebabkan oleh adanya struktur enediol yang berkonjugasi dengan gugus karbonil dalam cincin lakton (Andarwulan dan Koswara, 1992).

Vitamin C umumnya terdapat pada sayur-sayuran dan buah-buahan segar. Buah mentah umumnya lebih banyak mengandung vitamin C, karena semakin tua buah atau sayur semakin berkurang kandungan vitaminnya. Kandungan asam askorbat berbagai jenis sayuran dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kandungan asam askorbat pada berbagai jenis sayuran

Jenis Sayuran Asam Askorbat

(mg/100 g dry basis) Katuk

Sawi hijau Kangkung Daun singkong Daun melinjo Bayam Bunga kol Selada Daun pepaya Labu siam

1240 1091 322 1431

290 728 1222

180 675 264 Sumber: Subeki (1998)

Vitamin C merupakan vitamin yang mudah rusak dibandingkan vitamin lainnya. Mudah sekali teroksidasi dan proses tersebut dipercepat dengan adanya panas, sinar, alkali, enzim, oksidator, serta katalis tembaga dan besi. Oksidasi dapat diperlambat bila asam askorbat terdapat dalam kondisi asam atau pada suhu rendah (Winarno, 1992). Kerusakan asam askorbat juga dapat


(22)

22 terjadi karena aktivitas enzim seperti peroksidase, asam askorbat oksidase, sitokrom oksidase dan fenolase.

Asam askorbat dapat berbentuk sebagai asam askorbat dan asam L-dehidroaskorbat, keduanya mempunyai kemampuan sebagai vitamin C. Asam askorbat mudah teroksidasi menjadi asam dehidroaskorbat dan mudah tereduksi kembali menjadi bentuk semula. Oksidasi lebih lajut dari dehidroaskorbat akan membentuk asam diketogulonat yang tidak reversible dan tidak mempunyai aktivitas sebagai vitamin C (Pike dan Brown, 1975). Struktur kimia asam askorbat dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Struktur kimia asam askorbat

E. META-ANALISIS

Meta-analisis merupakan studi evaluasi secara statistik berdasarkan suatu seri percobaan yang telah dilakukan. Di dalam ilmu statistik, meta-analisis mengkombinasikan dan mengaitkan hasil dari beberapa studi dengan merujuk pada suatu hipotesis penelitian yang berhubungan dengan studi tersebut. Meta-analisis menghasilkan gambaran secara keseluruhan terhadap beberapa studi sekaligus yang dapat menghasilkan perkiraan yang lebih kuat dibandingkan dengan perkiraan dari satu macam studi yang hanya dilakukan dengan satu asumsi dan satu kondisi saja.

Pada penelitian ini dilakukan meta-analisis dari senyawa-senyawa yang terkandung dalam 24 jenis sayuran indigenous, diantaranya meta-analisis antara total fenol dengan total flavonoid, total fenol dengan total antosianin, dan kadar protein dengan total karotenoid. Flavonoid merupakan salah satu


(23)

23 golongan senyawa fenol alam yang terbesar yang berada dalam bentuk ester atau glikosida terkonjugasi dengan senyawa lain (Pratt dan Hudson, 1990). Berdasarkan hal ini, maka dilakukan metaanalisis untuk mengetahui apakah ada korelasi antara kandungan total fenol yang terkandung dalam sayuran indigenous dengan total flavonoidnya. Disamping itu, oleh karena antosianin merupakan salah satu senyawa golongan flavonoid, maka ingin diketahui pula apakah total fenol berkorelasi dengan total antosianin yang terkandung dalam sayuran indigenous tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian Hermawati (1997) mengenai pemuliaan ubi jalar berdaging umbi jingga untuk meningkatkan kandungan karoten dan protein umbi, diperoleh hasil bahwa kadar karoten ubi jalar berkorelasi positif dengan kadar proteinnya. Dengan demikian, hasil penelitian tersebut dapat dijadikan dasar untuk membuktikan apakah kadar karoten pada sayuran indigenous yang diteliti juga berkorelasi positif dengan kadar proteinnya. Meta-analisis antar senyawa yang berhubungan tersebut dilakukan dengan menggunakan analisis komponen utama dan uji korelasi Pearson pada program Minitab 15.0.


(24)

24 III. BAHAN DAN METODE

A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan untuk membuat ekstrak sayuran dan bahan untuk analisis. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan ekstrak sayuran adalah daun kenikir, bunga kecombrang, daun kemangi, daun katuk, daun pohpohan, daun ginseng, kucai, takokak, daun lembayung, terubuk, daun labu, bunga pepaya, pucuk mete dan daun pakis yang diperoleh dari Pasar Bogor. Daun beluntas, daun mangkokan putih, daun mangkokan, daun kendondong cina, antanan, antanan beurit, krokot, bunga turi, daun kelor dan pucuk mengkudu yang diperoleh dari kebun penduduk di daerah Dramaga, Bogor.

Bahan untuk analisis total karotenoid adalah heksana dan aseton (Brataco Chemica), KOH (BDH), metanol (Merck) dan asam asetat

(Merck). Bahan untuk analisis β-karoten adalah metanol (Merck), kloroform (Merck) dan asetonitril (Merck), serta standar β-karoten (C4582-5MG, Sigma-Aldrich). Bahan yang digunakan untuk analisis antosianin adalah etanol (Merck) dan HCl (Merck). Bahan untuk analisis asam askorbat adalah soluble starch (Merck), KI (Merck) dan Iodium (Merck).

2. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat untuk membuat ekstrak sayuran dan alat untuk analisis. Alat-alat yang digunakan untuk membuat ekstrak sayuran adalah freezer, freeze dryer, blender kering, dan baskom. Analisis total karotenoid menggunakan alat-alat, antara lain neraca analitik, sudip, pipet mohr, labu takar, corong, gelas ukur, pompa vakum, kertas saring Whatman 42, tabung reaksi bertutup, vortex, alat sonifikasi, sentrifuse, tabung sentrifuse, kuvet dan spektrofotometer. Untuk analisis β-karoten alat-alat yang digunakan


(25)

25 adalah pipet mohr, tabung reaksi bertutup, vortex, freezer, membran 0.22 µm, dan sistem HPLC dengan spesifikasi seperti pada Tabel 6.

Alat-alat yang digunakan untuk analisis antosianin adalah neraca analitik, sudip, gelas piala, gelas ukur, labu takar, corong, kertas saring Whatman No.1, penyaring vakum, pipet mohr, tabung reaksi, kuvet dan spektrofotometer. Alat-alat yang digunakan untuk analisis asam askorbat adalah neraca analitik, mortar/waring blender, sudip, gelas piala, magnetic stirrer, labu takar, corong, erlenmeyer, pipet mohr, pompa vakum, kertas saring Whatman No.1, dan buret mikro.

Tabel 6. Spesifikasi HPLC untuk analisis β-karoten

Komponen HPLC Tipe

Solvent cabinet Shimadzu LC-20AD

Degasser Shimadzu DGU-20A5

Pump Shimadzu LC 20-AD

Detector UV-Vis Shimadzu SPD-20A, λ= 450 nm Manual injector Hewlett Packard Series 1100

Injector Rheodyne 20 µL

Syringe Agilent Technologies, LC 50 µL

Column C-18; 4.6x150 mm; Develosil

ODS-UG-3 (Mfg. No. 2510689), Nomura Chemical

Mobile phase Metanol:asetonitril:kloroform (48.5:48.5:3.0)

Flow rate 0.8ml/min (isocratic)

B. METODE

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap. Tahapan yang akan dilakukan adalah 1) persiapan sampel; 2) analisis sampel; 3) analisis statistik data; 4) analisis potensi. Analisis utama pada sampel dilakukan secara duplo untuk dua ulangan.


(26)

26 1. Persiapan Sampel

Bagian tanaman kenikir, beluntas, mangkokan, kemangi, katuk, kedondong cina, pohpohan, daun ginseng, kelor, labu, lembayung, mangkokan, jambu mete, mengkudu, pakis, yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian daun yang masih muda. Daun muda atau pucuk ini dapat dilihat dari warna daun yang lebih muda dibandingkan dengan daun pada bagian lainnya pada tanaman tersebut. Bagian tanaman antanan, antanan beurit dan kucai yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh bagiannya, sedangkan untuk tanaman kecombrang, turi, terubuk, dan pepaya, bagian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bunganya. Bagian tanaman takokak yang digunakan dalam penelitian ini adalah buahnya dan bagian tanaman krokot yang digunakan adalah daun dan batangnya. Pemilihan bagian-bagian tanaman ini didasarkan pada bagian-bagian yang biasa dikonsumsi masyarakat.

Mula-mula sayuran dicuci bersih dan ditiriskan, kemudian dilakukan pengecilan ukuran sayuran (pemotongan). Setelah itu, sayuran dikemas dalam kantung plastik dan dibekukan dalam freezer selama satu malam untuk memudahkan proses pengeringan vakum. Selanjutnya sayuran dikeringkan dengan freeze dryer selama satu sampai dua hari tergantung dari banyaknya sampel. Setelah sampel menjadi kering, dilakukan penghancuran sampel menggunakan blender kering sampai dihasilkan sampel kering bubuk yang lolos ayakan 32 mesh. Sampel tersebut kemudian dikemas dalam plastik ber-seal dan disimpan dalam freezer. Sampel ini telah siap untuk digunakan dalam analisis selanjutnya. Tahap persiapan sampel dapat dilihat pada Gambar 6.


(27)

27 Gambar 6. Diagram alir persiapan sampel sayuran untuk analisis

Pengemasan dalam plastik ber-seal Penghancuran dengan blender kering

Dry basis beku (bubuk) lolos ayakan 32 mesh Freeze drying selama 48 jam

Dry basis beku Sampel

Pencucian dan Penirisan

Pembekuan selama 24 jam Pemotongan


(28)

28 2. Analisis Sampel

a. Analisis Kadar Air (AOAC, 1984)

Penetapan kadar air merupakan cara untuk mengukur banyaknya air yang terdapat di dalam suatu bahan pangan. Analisis kadar air dilakukan pada sampel sayuran segar (awal) dan pada sampel sayuran setelah freeze drying. Penentuan kadar air ini dilakukan dengan metode pengeringan dengan oven biasa.

Persiapan yang dilakukan adalah cawan alumunium yang akan digunakan terlebih dahulu dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Selanjutnya cawan ditimbang dengan menggunakan neraca analitik. Sampel ditimbang sebanyak 3-4 gram kemudian dikeringkan dalam oven bersuhu 100-105°C selama kurang lebih 6 jam. Setelah itu, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Contoh kembali dikeringkan dalam oven selama 30 menit lalu ditimbang kembali. Perlakuan terakhir ini diulangi terus hingga diperoleh berat kering yang relatif konstan (berat dianggap konstan jika selisih berat sampel kering yang ditimbang ≤ 0,0003 gram).

Kadar air (%) = x 100%

Keterangan:

W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g)

W1 = bobot (contoh + cawan) sesudah dikeringkan (g) W2 = bobot cawan kosong (g)

b. Analisis Kadar Protein, Metode Mikro Kjehldal (AOAC, 1995) Sebanyak ±0.1 gram contoh ditimbang kemudian dimasukan ke dalam labu kjeldahl, lalu ditambahkan 1.0 + 0.1 gram K2SO4, 40 + 10

ml HgO, dan 2.0 + 0.1 ml H2SO4, kemudian contoh didihkan selama

1-1.5 jam sampai cairan jernih. Larutan jernih ini kemudian didinginkan, lalu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu Kjehldahl dicuci dengan

W – (W1 – W2) W


(29)

29 air 5-6 kali dengan 1-2 ml air. Air cuciannnya dimasukan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan dengan 8-10 ml larutan NaOH – Na2S2O3.

Di bawah kondensor diletakan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 3% dan 3 tetes indikator (campuran 2 bagian merah

metil 0.2% dalam alkohol). Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3 kemudian isi erlemeyer diencerkan sampai 50 ml

lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Dilakukan pula terhadap blanko.

% 100 007 . 14 )

(

% X

Contoh mg

X HCl N X blanko HCL

ml contoh HCl

ml N

% Protein= %N X 6.25

c. Analisis Total Karotenoid (Zakaria et al., 2000)

Sebanyak 0.25 gram sampel diekstrak dengan 5 ml heksan:aseton (1:1) tiga kali dan disaring vakum dengan kertas Whatman 42. Ekstraksi diulang beberapa kali hingga kertas saring dan residu menjadi jernih. Filtrat dimasukkan ke dalam tabung bertutup dan dievaporasi dengan rotavapor. Residu yang telah kering kemudian disaponifikasi dengan menambahkan 4 ml KOH 5% dalam metanol, divorteks dan dilakukan sonifikasi selama 30 detik. Ekstrak dipanaskan dalam waterbath dengan suhu 70°C selama 30 menit, kemudian didinginkan dan ditambahkan 4 ml air bebas ion dan 8 ml heksan. Setelah itu, ekstrak divorteks dan disentrifus pada 2000 rpm selama 5 menit hingga terbentuk fase organik dan fase air. Fase air ditambahkan 6 ml heksan, divorteks, dan disentrifus kembali pada 2000 rpm selama 5 menit. Fase organik yang terbentuk selanjutnya dikumpulkan.

Fase organik yang diperoleh kemudian kemudian ditambahkan dengan 3 ml asam asetat 5%, divorteks dan disentrifus pada 2000 rpm selama 5 menit. Lapisan atas (fase organik) diambil, dipindahkan dalam tabung bertutup dan dievaporasi dengan rotavapor (prosedur asli


(30)

30 menggunakan gas nitrogen untuk mengevaporasi). Untuk menghitung total karotenoid, residu kering dilarutkan dalam 4 ml heksan dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 450 nm. Sebagai blanko digunakan heksan. Prosedur analisis dapat dilihat pada Gambar 7.

Total karotenoid dihitung dengan rumus:

C= A450 x x x FP

Keterangan:

E1% = Nilai koefisien ekstingsi dari 1% larutan β-karoten (10 µg/µl) pada λ 450 nm= 2600

C = Konsentrasi total karotenoid (µg/g)

A450 = Nilai absorbansi yang diperoleh pada λ=450 nm FP = Faktor pengenceran

d. Analisis β-karoten (Zakaria et al., 2000) 1. Pembuatan Larutan Standar Β-karoten

Sebanyak 1 mg standar β-karoten dilarutkan dalam 2 ml kloroform, divorteks, ditambahkan 6 ml metanol dan divorteks kembali. Sebanyak 0.5 ml larutan diambil dan diencerkan sebanyak sepuluh kali dengan fase gerak HPLC. Selanjutnya diukur absorbansi pada panjang gelombang 450 nm dengan spektrofotometer dan sebagai blanko digunakan larutan fase gerak HPLC. Larutan standar β-karoten kemudian disuntikkan ke dalam kolom HPLC.

Konsentrasi standar β-karoten dihitung dengan rumus: (10 mg/mL)/E1% = (X 1µg/1µL)/A450 Keterangan:

E1% = Nilai koefisien ekstingsi dari 1% larutan β-karoten (10 mg/ml) pada λ 450 nm= 2600


(31)

31 A450 = Nilai absorbansi yang diperoleh pada µ 450 nm

Nilai X dikalikan dengan % kemurnian standar β-karoten yang diperoleh dari analisis HPLC.

2. Persiapan dan Ekstraksi Karotenoid

Persiapan dan ekstraksi sampel sama seperti persiapan dan ekstraksi sampel untuk analisis total karotenoid. Ekstrak yang digunakan untuk analisis total karotenoid dievaporasi dengan rotavapor (prosedur asli menggunakan gas nitrogen untuk mengevaporasi), lalu dilarutkan dalam kloroform 5% dalam metanol, divorteks dan disimpan dalam freezer bersuhu -20°C selama semalam (12 jam). Larutan kemudian disaring dengan membran 0.22 µm dan dievaporasi dengan rotavapor (prosedur asli menggunakan gas nitrogen untuk mengevaporasi). Residu kering kemudian dilarutkan dalam 2 ml fase gerak HPLC yaitu metanol:asetonitril:kloroform (48.5:48.5:3.0).

Sebanyak 20 µl ekstrak disuntikkan ke dalam kolom HPLC (Vydac C-18) dengan laju aliran rata-rata 0.8 ml/menit dan panjang gelombang 450 nm. Prosedur analisis dapat dilihat pada Gambar 8. Konsentrasi β-karoten (µg/g) di sampel dihitung dengan rumus:

C= x [ ] std β-karoten (µg/µL) x

e. Analisis Antosianin

1. Ekstraksi Antosianin (Raharja dan Dianawati, 2001)

Sebanyak ±1 gram sampel diekstraksi dengan larutan HCl 5% dalam aquades. Ekstraksi dilakukan dengan merendam bahan didalam wadah botol kaca yang berwarna gelap dengan larutan HCl 5% tersebut (1:10), kemudian campuran disimpan di dalam lemari pendingin bersuhu 4°C selama semalam. Setelah itu, campuran tersebut disaring dengan kertas saring Whatman No.1


(32)

32 dengan menggunakan penyaring vakum dan filtrat yang diperoleh dianalisa kandungan antosianinnya dengan metode Lees dan Francis (1972).

2. Penentuan Konsentrasi Total Antosianin (Lees dan Francis, 1972)

Sebanyak 5 ml filtrat hasil ekstraksi diencerkan menjadi 10 ml dengan larutan etanol 95%:HCl 1.5N (85:15). Filtrat kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 535 nm.

Total antosianin dihitung dengan rumus:

[ ] (mg/100g sampel) = x 100

Faktor 98.2 adalah nilai ε (serapan molar) dari pigmen antosianin dalam pelarut etanol 95%:HCl 1.5N (85:15). Prosedur analisis dapat dilihat pada Gambar 9.

f. Analisis Asam Askorbat (Jacobs, 1951) 1. Ekstraksi Sampel

Sebanyak 25-50 gram sampel sayuran segar ditimbang dan ditambahkan dengan 50-100 ml aquades. Sampel kemudian dihancurkan dalam waring blender sampai diperoleh slurry (bubur). Slurry yang diperoleh sebanyak ±10 gram dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan aquades sampai tera, kemudian disaring dengan penyaring vakum untuk memisahkan filtrat.

2. Pembuatan Larutan Iodium

Larutan iodium 0.01 N dibuat dengan cara mencampurkan 2 gram KI dan 1.269 gram I2, kemudian dilarutkan sampai volume 1

liter dengan aquades. Larutan kemudian diaduk dengan magnetic stirrer selama semalam untuk melarutkan iod secara sempurna.


(33)

33 3. Penentuan Konsentrasi Asam Askorbat

Sebanyak 10 ml filtrat dari hasil ekstraksi dimasukkan ke dalam erlenmeyer, lalu ditambahkan dengan 2 ml larutan amilum (soluble starch) 1%. Larutan kemudian dititrasi dengan 0.01 N iodium. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan menjadi semburat biru.

Konsentrasi asam askorbat dihitung dengan rumus:

[ ] vitamin C (mg/100 g sampel) = x 100

1 ml 0.01 N Iodium setara dengan 0.88 mg asam askorbat. Prosedur analisis dapat dilihat pada Gambar 10.

3. Analisis Statistik

a. Analisis ragam (Anova)

Analisis ragam (Anova) dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan di dalam variabel-variabel yang diuji. Setelah itu, bila ditemukan bahwa dalam variabel-variabel yang diuji ada perbedaan yang signifikan, maka dilanjutkan dengan analisis tahap kedua, yakni uji lanjut yang mengkaji pada tingkat atau faktor-faktor di dalam variabel tersebut yang berbeda nyata dan seberapa besar perbedaan tersebut terjadi. Anova dilakukan dengan menggunakan software SPSS 13.0. Bila nilai signifikansi yang dihasilkan dari output Anova menunjukkan nilai yang kurang dari α sebesar 5% (0.05), maka ada perbedaan yang signifikan antar sampel yang diuji, dan sebaliknya. Alfa (α) merupakan besarnya kesalahan (error) yang masih bisa diterima dalam pengujian.

b. Uji Lanjut Duncan

Uji lanjut Duncan merupakan kelanjutan dari Anova yang dilakukan setelah diketahui adanya perbedaan yang signifikan antar sampel yang diuji dengan Anova. Uji Duncan ini membuat perhitungan perbedaan berdasarkan perbandingan pairwise dengan cara menggunakan tingkatan perbandingan secara stepwise. Cara ini


(34)

34 mirip dengan pengurutan sebagaimana dilakukan Student-Newman-Keuls test, tetapi dalam perbandingan ini Duncan membuat “pengamanan” derajat kesalahannya dengan cara membandingkan tingkat kesalahan setiap pairwise dengan keseluruhan kesalahan setiap tingkat pasangan perlakuan yang diuji (Sumardi, 2003). Uji ini juga dilakukan dengan menggunakan software SPSS 13.00. Output yang dihasilkan berupa subset-subset dimana sampel-sampel yang berada pada subset yang sama berarti memiliki perbedaan yang tidak signifikan, sedangkan sampel pada subset yang berbeda berarti memiliki perbedaan yang signifikan pada nilai α 0.05.

c. Uji Korelasi Pearson

Uji korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar variabel yang tidak menunjukkan hubungan fungsional (berhubungan bukan berarti disebabkan). Korelasi antar dua variabel yang terjadi dapat berupa (Hasan, 2003):

1) Korelasi (+), yakni bila variabel yang satu (x) menaik atau menurun, maka variabel lainnya cenderung menaik atau menurun pula.

2) Korelasi (-), yakni bila variabel yang satu (x) menaik atau menurun, maka variabel lainnya cenderung menurun atau menaik. 3) Tidak ada korelasi, yakni bila kedua variabel (x dan y) tidak

menunjukkan adanya hubungan.

Output yang dihasilkan dari uji ini berupa nilai p (p-value) dan koefisien korelasi. Bilai nilai p yang dihasilkan lebih kecil dari α 0.05, maka kedua variabel berkorelasi, sedangkan bila nilai P yang dihasilkan lebih besar dari α 0.05, maka kedua variabel tidak berkorelasi. Interpretasi data dengan uji ini digambarkan dengan koefisien korelasi, yaitu indeks atau bilangan yang digunakan untuk mengukur keeratan hubungan antar variabel. Koefisien korelasi memiliki nilai antara -1 dan +1 (-1≤KK≤+1). Jika KK bernilai positif maka kedua variabel berkorelasi positif, sedangkan bila bernilai negatif maka kedua variabel berkorelasi negatif. Semakin dekat nilai


(35)

35 KK ke +1 dan -1, maka semakin kuat korelasinya. Jika KK bernilai 0 maka kedua variabel tidak menunjukkan adanya korelasi, sedangkan bila KK bernilai +1 atau -1 maka kedua variabel menunjukkan korelasi yang sempurna. Untuk menentukan keeratan hubungan atau korelasi antar variabel tersebut, maka digunakan patokan sebagai berikut (Hasan, 2003):

1) KK=0 (tidak ada korelasi)

2) 0<KK≤0.20 (korelasi sangat rendah/lemah) 3) 0.20<KK≤0.40 (korelasi rendah/lemah tapi pasti) 4) 0.40<KK≤0.70 (korelasi yang cukup berarti) 5) 0.70<KK≤0.90 (korelasi yang tinggi dan kuat)

6) 0.90<KK<1.00 (korelasi sangat tinggi, kuat sekali, dapat diandalkan)

7) KK=1 (korelasi sempurna)

Uji korelasi Pearson pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan software Minitab 15.0. Uji ini juga digunakan untuk mendapatkan kesimpulan hasil meta-analisis antar senyawa yang diidentifikasi pada penelitian ini.

d. Analisis Komponen Utama (PCA)

Analisis komponen utama (principal component analysis) merupakan teknik statistik yang dapat digunakan untuk menjelaskan struktur variansi-kovariansi dari sekumpulan variabel melalui beberapa variabel baru dimana variabel baru ini saling bebas, dan merupakan kombinasi linier dari variabel asal. Selanjutnya variabel baru ini dinamakan komponen utama (principal component).

Secara umum tujuan dari analisis komponen utama adalah mereduksi dimensi data dan untuk kebutuhan interpretasi. Komponen utama dibentuk berdasarkan matriks korelasi. Hal ini dilakukan jika variabel-variabel bebas yang diamati mempunyai perbedaan range yang sangat besar. Salah satu tujuan dari analisis komponen utama adalah mereduksi dimensi data asal yang semula terdapat p variabel bebas menjadi k komponen utama (dimana k < p ). Kriteria pemilihan k


(36)

36 yaitu: 1) Proporsi kumulatif keragaman data asal yang dijelaskan oleh k komponen utama minimal 80% , dan proporsi total variansi populasi bernilai cukup besar; 2) Dengan menggunakan scree plot yaitu plot antara i dengan i , pemilihan nilai k berdasarkan scree plot ditentukan dengan melihat letak terjadinya belokan dengan menghapus komponen utama yang menghasilkan beberapa nilai eigen kecil membentuk pola garis lurus (Rencher, 1998).

Output yang dihasilkan dari pengujian dengan PCA ini adalah data analisis eigen dari matriks korelasi yang berupa nilai akar cirri (eigen value), proporsi dan kumulatif. Dari nilai akar ciri dapat diidentifikasi komponen utama yang diperoleh, yakni variabel yang memiliki dua nilai akar ciri terbesar (nilai lebih dari 1), kemudian nilai proporsi menggambarkan persentase keragaman data yang dapat diterangkan oleh masing-masing komponen utama, dan nilai kumulatif menggambarkan keseluruhan persentase keragaman data yang dapat diterangkan oleh kedua komponen utama. Selain itu, dihasilkan pula grafik biplot untuk kebutuhan interpretasi data. Analisis komponen utama ini dilakukan dengan menggunakan software Minitab 15.0.

4. Analisis Potensi

Analisis potensi pada sampel dilakukan dengan beberapa tahapan berikut: 1) pengumpulan data hasil keseluruhan analisis utama (total karotenoid, β-karoten, antosianin, dan asam askorbat); 2) studi literatur, yakni menelusuri literatur dari berbagai sumber tentang manfaat dan potensi masing-masing senyawa yang diidentifikasi serta literatur tentang kandungan senyawa-senyawa yang diidentifikasi pada jenis komoditi buah/sayur lainnya untuk dapat dibandingkan dengan nilai kandungannya pada sampel sayuran indigenous pada penelitian ini; 3) justifikasi potensi terhadap keseluruhan sampel terutama sampel yang mengandung senyawa yang diidentifikasi dengan nilai yang tinggi.


(37)

37

@

Gambar 7. Diagram alir analisis total karotenoid dengan spektrofotometer Sentrifuse 2000 rpm, 5 menit Fase organik total

Pengambilan fase organik Sentrifuse 2000 rpm, 5 menit

Vorteks 4 ml air deion,

8 ml heksana

Pendinginan pada T ruang

Pemanasan dalam waterbath 70°C, 30 menit Vorteks

Saponifikasi dengan 4 ml KOH 5% dalam metanol Pengeringan dgn rotavapor

Filtrat jernih

Pengulangan ekstraksi (beberapa kali) Penyaringan vakum dengan Whatman 42

0.25 g sampel

Pengekstrakkan dengan 5 ml heksan:aseton (1:1) 3x

Sonifikasi 30 detik

Fase air

Vorteks dengan 6 ml heksan


(38)

38 @

Gambar 7. Diagram alir analisis total karotenoid (lanjutan)

Gambar 8. Diagram alir analisis β-karoten dengan HPLC Pengeringan dengan rotavapor

Sentrifuse 2000 rpm, 5 menit Pengambilan fase organik

Vorteks 3 ml CH3COOH 5%

Pelarutan dengan 4 ml heksan Pengukuran absorbansi (450 nm)

Pelarutan dengan 2 ml

metanol:asetonitril:kloroform (48.5:48.5:3.0) Penyaringan dengan membran 0.22 µm Penyimpanan dalam freezer -20°C, 12 jam

Vorteks

Pelarutan dalam 5% kloroform dalam metanol Pengeringan dengan rotavapor

Ekstrak sampel (dari analisis tot. karotenoid)

Pengeringan dengan rotavapor


(39)

39 Gambar 9. Diagram alir analisis total antosianin dengan spektrofotometer

Pengukuran absorbansi (535 nm) Vorteks

Diencerkan sampai 10 ml dengan etanol

95%:HCl 1.5N (85:15)

Diambil sebanyak 5 ml filtrat

Penyaringan dengan pompa vakum ±1 gram sampel

Maserasi selama 1 malam dalam botol gelap pada suhu 4°C 10 ml HCl 5%


(40)

40 Gambar 10. Diagram alir analisis asam askorbat dengan cara titrasi

2 ml larutan amilum 1%

Titrasi dengan 0.01 N Iodium Pencampuran dalam erlenmeyer

Pengambilan 10 ml filtrat

Penyaringan dengan vakum Penempatan dalam labu takar 100 ml

sampai tera dengan aquades Pengambilan ±10 g slurry

25-50 g sayuran segar

Penghancuran dengan waring blender 50-100 ml


(41)

41 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. TOTAL KAROTENOID

Karotenoid merupakan pigmen berwarna jingga atau merah yang terdapat di berbagai macam plastida berwarna (kromoplas) di akar, batang, daun, bunga, dan buah berbagai tumbuhan. Karotenoid yang terkandung dalam sayur-sayuran dan buah-buahan mengandung 80-85% aktivitas vitamin A (De Pee, 1996).

Secara umum, proses analisis karotenoid pada penelitian ini terdiri dari ekstraksi, saponifikasi, pemisahan fase, dan pengukuran. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan campuran aseton dan heksana (1:1) yang merupakan pelarut non polar karena karoten sebagai senyawa non polar hanya dapat larut dalam pelarut non polar (like dissolves like). Saponifikasi dilakukan dengan menggunakan KOH dalam metanol. Proses ini merupakan prosedur pemurnian untuk membuang lipid dan klorofil yang tidak diinginkan, namun tidak merusak karotenoid yang umumnya stabil terhadap alkali. Selanjutnya adalah proses pemisahan antara fase organik (lapisan atas) dengan fase air (lapisan bawah) dalam ekstrak bahan dengan cara pemusingan (sentrifuse) menggunakan heksan. Terakhir, dilakukan proses pengukuran dengan spektrofotometer UV menggunakan panjang gelombang 450 nm. Menurut Gross (1991), karotenoid menyerap terutama pada daerah biru (430-470 nm), dengan absorbansi maksimum pada panjang gelombang 451 nm.

Kandungan total karotenoid pada 24 sampel sayuran indigenous yang diperoleh dari penelitian ini dapat dilhat pada Tabel 11, dan untuk perhitungan total karoten pada sampel selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari hasil tersebut diketahui bahwa daun kemangi memiliki kandungan total karotenoid tertinggi, yakni sebesar 58.41 mg/100 g dry basis, kemudian diikuti oleh daun pakis (57.33 mg/100 g dry basis) dan daun kelor (56.43 mg/100 g dry basis). Sebaliknya, bunga turi memiliki kandungan total karotenoid terendah, yaitu sebesar 3.65 mg/100 g dry basis. Kandungan rata-rata total karotenoid pada ke-24 sampel adalah sebesar 29.01 mg/100 g dry basis. Bila dibandingkan dengan kandungan total karotenoid pada jenis


(42)

42 sayuran lainnya (Tabel 2), maka kandungan total karotenoid pada sayuran indigenous ini masih diatas nilai kandungan total karotenoid jenis sayuran lainnya. Lebih jelasnya, diagram batang kandungan total karotenoid pada 24 sayuran indigenous dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Diagram batang kandungan total karotenoid pada 24 sayuran indigenous Jawa Barat

Philip (1975) menyatakan bahwa adanya ikatan rangkap terkonjugasi dalam molekul karotenoid menandakan adanya gugus kromofor yang menyebabkan terbentuknya warna pada karotenoid, semakin banyak ikatan rangkap terkonjugasi maka semakin pekat warna karotenoid tersebut, yaitu semakin mengarah ke warna merah atau oranye. Akan tetapi, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak hanya sayuran berwarna kemerahan saja yang memiliki kandungan karotenoid, namun juga sayuran berwarna hijau memiliki total karotenoid yang bahkan lebih besar dibandingkan sayuran berwarna kemerahan. Menurut Winarno (1992), ada hubungan langsung antara derajat kehijauan sayuran dengan kadar karoten, semakin hijau daun tersebut semakin

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 B u n g a tu ri T ak o k ak B u n g a p ep ay a Kec o m b ran g Ku ca i T er u b u k Ma n g k o k an A n tan an b eu rit L em b ay u n g Dau n lab u P u cu k m en g k u d u Dau n … Katu k P u cu k m ete A n tan an P o h p o h an Man g k o k an p u ti h B elu n tas Kr o k o t Ken ik ir Dau n Gin sen g Dau n k elo r P ak is Kem an g i

a3.65 0.25

j45.52 1.77 i43.19 3.24

d15.17 0.08 f

22.59 1.83 b8.061 0.48

m58.41 5.56

f23.61 0.32 h32.54 2.10

e17.51 2.00

i41.58 1.68

l51.66 1.72

j45.96 1.84 a48.48 1.39

b8.374 0.71 a4.105 0.13

m56.43 0.76

f22.57 1.45 f21.18 0.57

c11.13 0.68

f21.23 0.18

b7.60 0.50

g28.25 1.87


(43)

43 tinggi kadar karotennya, sedangkan daun-daunan yang pucat miskin akan karoten.

Sampel sayuran yang berwarna hijau pada penelitian ini cenderung memiliki total karotenoid yang lebih besar dibandingkan dengan total karotenoid yang dimiliki oleh sampel sayur yang berwarna lebih terang (kuning muda sampai merah), seperti bunga turi, kecombrang, dan bunga papaya. Menurut Sediaoetama (1976), karoten berwarna kuning, namun tidak semua warna kuning pada buah-buahan ataupun sayur-sayuran disebabkan oleh warna ini, masih terdapat pigmen lain seperti zeaxanthin dan flavoxantin yang tidak aktif, artinya tidak dapat diubah menjadi vitamin A.

Kandungan karoten dan β-karoten yang terkandung dalam sayur-sayuran dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti cara budidaya, varietas, dan umur tanaman (Howard et al., 1994). Dengan demikian, dapat dimungkinkan bahwa hasil karotenoid dan β-karoten yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat lebih rendah atau lebih tinggi dari hasil yang diperoleh dari penelitian lainnya (Portocarrero et al., 1992). Namun demikian, sampel-sampel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sampel dengan varietas dan umur penen yang biasa dikonsumsi (dibuat sayur/lalapan) oleh masyarakat yang diperoleh dari pasar-pasar setempat.

Pengolahan data nilai total karoten terhadap 24 sampel dengan ANOVA menghasilkan output seperti pada Lampiran 4. Hasil uji statistik tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap nilai kandungan total karotenoid antar sampel. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi sampel yang dihasilkan, yakni lebih kecil dari taraf α (0.05). Oleh karena adanya perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan.

Hasil uji Duncan (Lampiran 5) memberikan informasi bahwa terdapat 13 subset yang dihasilkan. Sampel yang berada pada subset yang sama berarti tidak memiliki kandungan total karotenoid yang berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%, sedangkan sampel yang berada pada subset yang berbeda berarti memiliki kandungan total karotenoid yang berbeda nyata pada taraf signifikansi 5% terhadap sampel yang berada pada subset lainnya. Dengan demikian, sebagai contoh dapat dikatakan bahwa kemangi, pakis, dan kelor


(44)

44 sebenarnya tidak memiliki kandungan total karotenoid yang berbeda nyata karena berada pada subset yang sama. Akan tetapi, ketiga sampel tersebut memiliki kandungan total karotenoid yang berbeda secara nyata terhadap sampel bunga pepaya, kecombrang, dan kucai, serta sampel lainnya yang berada pada subset berbeda.

B. β-KAROTEN

Salah satu senyawa metabolit sekunder yang bermanfaat bagi tubuh adalah senyawa yang merupakan turunan isoprenoid. Termasuk didalamnya adalah karotenoid, dimana β-karoten sebagai prekursor vitamin A merupakan karotenoid yang paling banyak dijumpai pada tumbuhan tingkat tinggi.

Identifikasi karotenoid spesifik pada penelitian ini hanya dilakukan pada β-karoten. Hal ini dikarenakan β-karoten memiliki nilai gizi yang penting dan merupakan sumber provitamin A. Selain itu, hampir dalam setiap sayuran dan buah segar, 85% dari total aktivitas vitamin A berasal dari β-karoten. Seperti pada bayam, komponen utama karotenoidnya adalah β-karoten disusul lutein, neosantin, zeasantin, dan violasantin (Ball, 2000).

Hasil ekstrak yang diperoleh dari pengukuran total karotenoid digunakan pula dalam pengukuran β-karoten dengan melarutkan ekstrak kering hasil penguapan dengan fase gerak, yakni campuran metanol, asetonitril, dan kloroform. Pengukuran β-karoten dilakukan dengan menggunakan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Menurut Macrae (1988), keutamaan dari HPLC adalah kemampuannya untuk menangkap komponen dengan stabilitas panas yang terbatas ataupun yang bersifat volatil. HPLC merupakan metode yang sangat sensitif, tepat, selektif, dan memiliki tingkat otomatisasi yang tinggi sehingga lebih sederhana dalam pengoperasiannya.

Hasil analisis β-karoten terhadap 24 sampel sayuran indigenous dengan menggunakan HPLC diperoleh hasil seperti terlihat pada Tabel 11, dan untuk perhitungan β-karoten pada sampel selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan hasil analisis tersebut, diketahui bahwa daun labu memiliki kadar β-karoten tertinggi, yaitu sebesar 13.27 mg/100 g dry basis, kemudian diikuti oleh daun kemangi (12.43 mg/100 g sampel dry basis) dan daun


(45)

45 pohpohan (12.03 mg/100 g sampel dry basis), sedangkan bunga kecombrang memiliki kandungan β-karoten terendah, yakni sebesar 0.01 mg/100 g dry basis. Meskipun bunga kecombrang memiliki warna kemerahan akan tetapi ternyata tanaman ini memiliki kandungan β-karoten yang rendah seperti halnya kandungan total karotennya yang rendah pula. Hal ini dapat disebabkan adanya kandungan pigmen lainnya yang jauh lebih besar yang berperan dalam menghasilkan warna kemerahan sampai keunguan pada tanaman ini, seperti pigmen antosianin.

Kadar β-karoten pada 24 sayuran indigenous yang dianalisis berkisar antara 0.01 sampai 13.27 mg/100 g dry basis, sedangkan kadar rata-rata β -karoten pada 24 sayuran tersebut adalah sebesar 5.30 mg/100 g dry basis. Bila dibandingkan dengan kadar β-karoten jenis sayuran lainnya seperti yang tertera pada Tabel 2, maka kadar β-karoten yang dimiliki oleh sayuran indigenous ini pun masih tergolong lebih tinggi. Lebih jelasnya, diagram batang kandungan β-karoten pada 24 sayuran indigenous dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Diagram batang kandungan β-karoten pada 24 sayuran indigenous Jawa Barat

0 2 4 6 8 10 12 14 Kec o m b ran g B u n g a tu ri T er u b u k T ak o k ak Ku ca i M an g k o k an B u n g a p ep ay a A n tan an b eu rit P u cu k m en g k u d u L em b ay u n g Dau n k ed o n d o n g cin a P u cu k m ete Ma n g k o k an p u tih A n tan an Ken ik ir Katu k Kr o k o t P ak is B elu n tas Dau n k elo r Dau n Gin sen g P o h p o h an Kem an g i Dau n lab u

gh6.87 0.15

j8.87 0.28

f4.80 0.62

c1.17 0.08

e3.53 0.66

a0.01 0.00

kl12.40 1.56

hi7.49 0.08 g6.35 0.66

cd1.53 0.05

k12.03 1.28 k11.9 0.10

i7.84 0.70

ab0.15 0.02

bc1.04 0.02 abc0.66 0.05

j9.09 0.19

d2.28 0.02 d2.40 0.43 ab0.16 0.00

m13.30 1.74

c1.19 0.12 e

3.82 0.29


(46)

46 Kromatogram β-karoten yang diperoleh dari hasil analisis menunjukkan bahwa puncak β-karoten muncul disekitar menit ke-16 sampai menit ke-18. Namun umumnya puncak β-karoten muncul pada menit ke-17 sesuai dengan kromatogram standar β-karoten yang diperoleh (Gambar 13) , yakni muncul pada menit ke-17.584.

Gambar 13. Hasil kromatogram HPLC analisis β-karoten dari standar β-karoten dengan kemunculan puncak β-karoten pada menit ke-17.584

Sebagai contoh, kromatogram HPLC β-karoten dari daun kedondong cina dapat dilihat pada Gambar 14. Berdasarkan hasil kromatogram tersebut, dapat dilihat bahwa puncak β-karoten muncul pada menit ke-17.741. Hasil kromatogram tersebut menunjukkan pula adanya puncak sebelum puncak β -karoten, yakni diantara menit ke-16 sampai ke-17, puncak ini dimungkinkan adalah α-karoten, salah satu jenis karoten lain selain β- dan -karoten (Zakaria et al., 2000). Puncak ini juga muncul disebagian besar hasil kromatogram sampel sayur lainnya.

Cis β-karoten sebagai isomer dari β-karoten yang banyak di sayuran terutama setelah perlakuan dengan panas (Zakaria, 2000) pun sering muncul setelah puncak β-karoten, biasanya terlihat sebagai ekor puncak dari β


(47)

-47 karoten. Akan tetapi, karena penggunaan kolom yang tidak terlalu panjang (digunakan kolom 15 cm) dalam penelitian ini, maka pemisahan puncak menjadi kurang jelas sehingga cis β-karoten tidak tampak dalam kromatogram.

Gambar 14. Hasil kromatogram HPLC analisis β-karoten dari ekstrak daun kedondong cina dengan kemunculan puncak β -karoten pada menit ke-17.741

Hasil kromatogram ekstrak sayuran indigenous lainnya tidak jauh berbeda dengan hasil kromatogram ekstrak daun kedondong cina. Puncak β -karoten dari ekstrak sayuran pada kromatogram yang dihasilkan umumnya muncul pada menit ke-16 sampai dengan menit ke-18.

Pengolahan data nilai β-karoten terhadap 24 sampel dengan ANOVA menghasilkan output seperti pada Lampiran 4. Hasil uji statistik tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap nilai kandungan β-karoten antar sampel. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi sampel yang dihasilkan, yakni lebih kecil dari taraf α (0.05). Oleh karena adanya perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan.


(48)

48 Hasil uji Duncan (Lampiran 5) memberikan informasi bahwa terdapat 12 subset yang dihasilkan. Sampel yang berada pada subset yang sama berarti tidak memiliki kandungan β-karoten yang berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%, sedangkan sampel yang berada pada subset yang berbeda berarti memiliki kandungan β-karotenoid yang berbeda nyata pada taraf signifikansi 5% terhadap sampel yang berada pada subset lainnya. Dengan demikian, sebagai contoh dapat dikatakan bahwa daun kedondong cina dan pucuk mete tidak memiliki kandungan β-karoten yang berbeda nyata karena berada pada subset yang sama. Akan tetapi, kedua sampel tersebut memiliki kandungan β-karoten yang berbeda nyata terhadap sampel daun mangkokan putih serta sampel lainnya yang berada pada subset berbeda.

C. ANTOSIANIN

Antosianin merupakan salah satu pigmen utama dalam tumbuhan yang terdapat dalam vakuola sel bagian tanaman, yaitu organel sitoplasmik yang berisikan air, serta dibatasi oleh membran yang identik dengan membran tanaman (Kimbal, 1993). Pigmen ini berada pada sebagian besar tanaman tingkat tinggi dan terdapat pada seluruh bagian tanaman (Brouillard, 1982).

Menurut Jackman dan Smith (1996), antosianin ini tidak stabil dalam suasana netral atau basa. Dengan demikian, prosedur ekstraksi biasanya dilakukan dengan menggunakan pelarut asam yang dapat merusak jaringan tanaman. Cara yang paling sering digunakan adalah dengan maserasi yaitu merendam bahan yang akan diekstrak dalam alkohol, pada suhu rendah, dan dengan penambahan sedikit asam seperti HCl. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Raharja dan Dianawati (2001) yakni mempelajari ekstraksi antosianin pada daun erpa dengan menggunakan tiga jenis larutan pengekstrak yaitu aquades, etanol, dan metanol yang masing-masing mengandung HCl, ditemukan bahwa aquades yang mengandung HCL (HCl 5% dalam aquades) cukup asam untuk memecah dinding sel vakuola dimana pigmen antosianin terdapat namun tidak terlalu asam untuk mengakibatkan kerusakan pigmen. Berdasarkan hasil penelitian tersebut yang menggunakan sampel tanaman daun, maka pelarut yang digunakan untuk mengektrak


(1)

120

LAMPIRAN 5. Hasil uji lanjut Duncan senyawa teridentifikasi pada 24 jenis sayuran indigenous Jawa Barat

a. Total karoten

Total

Duncana,b

4 3.649725 4 4.104600

4 7.597650

4 8.061400

4 8.374250

4 11.131700

4 15.169575

4 17.512375

4 21.183200

4 21.231450

4 22.572125

4 22.585375

4 23.607075

4 28.254525

4 32.539175

4 41.579175

4 43.189900

4 45.519700

4 45.957650

4 48.477375

4 51.661675

4 56.432500

4 57.331900

4 58.406925

.680 .511 1.000 1.000 1.000 .051 1.000 1.000 .147 .692 1.000 1.000 .093

Sampel Turi Takokak Pepaya Kecombrang Kucai Terubuk Mangkokan AntBeurit Lembayung LabuSiam Mengkudu KdondongCi Katuk PucukMete Antanan Popohan Mputih Beluntas Krokot Kenikir DaunGinseng Kelor Pakis Kemangi Sig.

N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 2.417. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. a.

Alpha = .05. b.


(2)

121

b. Β-karoten

Be taKaroten

Duncana,b

4 .012340

4 .145973 .145973

4 .157630 .157630

4 .657318 .657318 .657318

4 1.035848 1.035848

4 1.171788

4 1.194720

4 1.525113 1.525113

4 2.281210

4 2.397145

4 3.527335

4 3.815348

4 4.800200

4 6.347930

4 6.868118 6.868118

4 7.485233 7.485233

4 7.838208

4 8.268873 8.268873

4 8.871938

4 9.091225

4 11.893323

4 12.031108

4 12.434110 12.434110

4 13.265763

.196 .073 .088 .069 .523 1.000 .250 .173 .103 .087 .261 .068

Sampel Kecombrang Turi Terubuk Takokak Kucai Mangkokan Pepaya AntBeurit Mengkudu Lembayung KdondongCina PucukMete Mputih Antanan Kenikir Katuk Krokot Pakis Beluntas Kelor DaunGinseng Popohan Kemangi LabuSiam Sig.

N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = .402. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. a.

Alpha = .05. b.


(3)

122

c. Antosianin

Antosianin

Duncana, b

4 .671475

4 .835550 .835550

4 1.415325 1.415325

4 1.915475 1.915475

4 2.003650 2.003650

4 2.211500 2.211500

4 2.753025

4 2.802500

4 3.966650

4 4.884675

4 5.883025

4 5.925325

4 5.947625

4 6.076775

4 6.995925

4 7.668050

4 7.860850

4 7.992350

4 9.248000

4 11.982425

4 13.135975

4 20.501725

4 22.087450

4 43.192075

.601 .067 .078 .377 .077 1.000 1.000 .579 1.000 .333 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000

Sampel Pakis Kemangi Beluntas PucukMete Krokot Turi DaunGinseng KdondongCina Kenikir AntBeurit LabuSiam Antanan Kucai Popohan Katuk Mengkudu Lembayung Mangkokan Mputih Pepaya Kelor Terubuk Takokak Kecombrang Sig.

N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Subs et

Means for groups in homogeneous subsets are dis played. Bas ed on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = .195. Us es Harmonic Mean Sample Size = 4.000. a.

Alpha = .05. b.


(4)

123

d. Asam askorbat

Askorbat

Duncana,b

4 236.5373 4 245.4245

4 295.4613

4 336.1452

4 336.8378

4 467.1306

4 542.0479

4 574.9942

4 602.8723

4 632.9759

4 639.9772

4 732.4785

4 734.3984

4 825.4208

4 836.4141

4 933.7420

4 1033.886

4 1422.026

4 1571.847

4 1654.017

4 2248.275

4 2326.379

4 3835.856

4 5607.780

.386 1.000 .946 1.000 1.000 1.000 1.000 .494 .851 .284 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 Sampel

Mputih KdondongCina Beluntas Antanan Kecombrang Krokot AntBeurit Terubuk LabuSiam DaunGinseng Takokak Popohan Turi Kucai Mangkokan Lembayung Mengkudu Pakis Kelor Kenikir Katuk Pepaya Kemangi PucukMete Sig.

N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 207.661. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. a.

Alpha = .05. b.


(5)

Dewi Kurniasih. F24053170. Kajian Kandungan Senyawa Karotenoid, Antosianin dan Asam Askorbat pada Sayuran Indigenous Jawa Barat. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si.

RINGKASAN

Sayur-sayuran merupakan jenis makanan yang sangat dianjurkan untuk dikonsumsi dalam menu makanan. Selain mudah diperoleh dan murah harganya, sayuran juga banyak mengandung vitamin, mineral, dan komponen antioksidan seperti asam askorbat, karotenoid, flavonoid, asam-asam organik tertentu dan sebagainya.

Sayuran indigenous merupakan spesies sayuran asli yang berasal dari daerah/wilayah/ekosistem tertentu, termasuk spesies pendatang dari wilayah geografis lain tetapi telah berevolusi dengan iklim dan geografis wilayah Indonesia. Sayuran indigenous di berbagai wilayah Indonesia belum banyak dimanfaatkan karena belum banyak diketahui nilai dan manfaat komponen-komponen aktif yang terkandung didalamnya.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa karotenoid, antosianin dan asam askorbat pada 24 jenis sayuran indigenous Jawa Barat, mengetahui hubungan antar senyawa teridentifikasi melalui meta-analisis, serta mengidentifikasi potensi sayur-sayuran tersebut melalui studi literatur berdasarkan nilai kandungan senyawa yang diperoleh dari analisis. Sayuran indigenous yang digunakan, yaitu kenikir (Cosmos caudatus H.B.K), beluntas (Pluchea indica (L.) Less.), mangkokan putih (Polyscias scutellaria (Burm.f.) Fosb.), mangkokan (Nothopanax scutellarius (Burm.f.) Merr.), daun kendondong cina (Polyscias pinnata), kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M.Sm.), kemangi (Ocimum americanum L.), katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.), antanan (Centelia asiatica (L.) Urb.), antanan beurit (Hydrocotyle sibthorpioides Lmk.), pohpohan (Pilea melastomoides (Poir.) Bl.), daun ginseng (Talinum triangulare (Jacq.) Willd.), krokot (Portulaca oleracea L.), bunga turi (Sesbania grandiflora (L.) Pers.), kucai (Allium schoenoprasum L.), takokak (Solanum torvum Swartz), daun kelor (Moringa pterygosperma Gaertn.), daun mengkudu (Morinda citrifolia L.), lembayung (Vigna unguiculata (L.) Walp.), terubuk (Saccharum edule Hassk.), daun labu (Sechium edule (Jacq.) Swartz.), bunga pepaya (Carica papaya L.), pucuk mete (Anacardium occidentale L.) dan daun pakis (Arcypteris irregularis (C.Presl) Ching.).

Analisis β-karoten dilakukan dengan menggunakan metode kromatografi (Zakaria et al., 2000), analisis asam askorbat dengan metode titrasi (Jacobs, 1951), sedangkan analisis total karotenoid dan antosianin dilakukan dengan metode spektrofotometri (Zakaria et al., 2000; Lees dan Francis, 1972). Data hasil analisis kemudian diuji statistik dengan menggunakan program Minitab 15 untuk uji PCA (Principal Component Analysis) dan program SPSS 13.0 untuk uji ANOVA (analisis ragam).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 24 sampel sayuran indigenous Jawa Barat yang dianalisis dalam penelitian ini mengandung kadar air antara 75.27-92.30% dengan kadar air tertinggi terdapat pada kucai dan terendah pada daun kelor. Kadar protein antara 3.93-34.74% dengan kadar protein


(6)

tertinggi dimiliki oleh lembayung dan terendah pada antanan. Total karotenoid terbesar dimiliki oleh kemangi dengan nilai sebesar 58.41 mg/100 g dry basis, sedangkan terendah dimiliki oleh bunga turi sebesar 3.65 mg/100 g dry basis. Nilai rata-rata kandungan karotenoid dari ke-24 sampel adalah sebesar 29.01 mg/100 g dry basis. Kandungan β-karoten terbesar dimiliki oleh daun labu, yakni sebesar 13.27 mg/100g dry basis, sedangkan kandungan terendah dimiliki oleh bunga kecombrang, yaitu sebesar 0.01 mg/100 g dry basis. Nilai rata-rata kandungan β-karoten dari ke-24 sampel adalah sebesar 5.30 mg/100 g dry basis.

Senyawa antosianin ditemukan diseluruh sampel dengan kandungan tertinggi terdapat pada bunga kecombrang dengan nilai sebesar 43.19 mg/100 g dry basis, sedangkan kandungan antosianin terendah terdapat pada daun pakis dengan nilai sebesar 0.67 mg/100 g dry basis. Nilai rata-rata kandungan antosianin dari ke-24 sampel adalah sebesar 8.24 mg/100 g dry basis. Kandungan asam askorbat terbesar ditemukan pada pucuk mete, yakni sebesar 5607.78 mg/100 g dry basis, sedangkan kandungan terendah terdapat pada mangkokan putih, yaitu sebesar 236.54 mg/100 g dry basis. Nilai rata-rata kandungan asam askorbat dari ke-24 sampel adalah sebesar 1194.70 mg/100 g dry basis.

Grafik biplot PCA dan hasil uji korelasi menunjukkan bahwa kandungan total karotenoid berkorelasi positif dengan kandungan β-karoten pada sampel (pvalue 0.000< α 0.05) dengan nilai korelasi 0.792. Nilai korelasi positif mengindikasikan bahwa bila nilai total karotenoid naik, maka nilai β-karoten pun akan naik, dan sebaliknya. Selain itu, hubungan antara antosianin dengan total karotenoid (pvalue 0.023< α 0.05) dan antosianin dengan β-karoten (pvalue 0.025< α 0.05) memiliki nilai korelasi masing-masing sebesar -0.462 dan -0.457. Nilai korelasi negatif tersebut memberikan informasi bahwa bila nilai antosianin naik, maka nilai total karotenoid akan turun, dan bila nilai antosianin turun maka nilai total karotenoid akan naik. Uji korelasi juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kandungan asam askorbat dengan kandungan total karotenoid, β-karoten, maupun antosianin. Hal ini dikarenakan nilai p yang dihasilkan lebih besar dari nilai α (0.05). Analisis sidik ragam menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat perbedaan nyata kandungan keempat senyawa pada satu sampel dengan sampel lainnya.

Hasil uji korelasi terhadap hubungan total fenol dengan total flavonoid menunjukkan bahwa ada korelasi positif (pvalue 0.023<0.05) antara keduanya dengan nilai korelasi sebesar 0.461, sedangkan antara total fenol dengan antosianin tidak menunjukkan adanya korelasi (pvalue 0.648>0.05). Terakhir, analisis hubungan antara kadar protein dengan total karotenoid menunjukkan bahwa tidak ada korelasi diantara keduanya (pvalue 0.156>0.05).

Hampir keseluruhan sampel memiliki potensinya masing-masing sebagai sumber senyawa tertentu yang diketahui memiliki efek farmakologis bagi kesehatan. Kandungan asam askorbat pada ke 24 sampel sayuran indigenous memiliki nilai yang cukup signifikan dan dapat diunggulkan dibandingkan dengan kandungan ketiga senyawa lainnya (karotenoid, β-karoten, dan antosianin) pada sampel.