31 A450 = Nilai absorbansi yang diperoleh pada µ 450 nm
Nilai X dikalikan dengan kemurnian standar β-karoten
yang diperoleh dari analisis HPLC.
2. Persiapan dan Ekstraksi Karotenoid
Persiapan dan ekstraksi sampel sama seperti persiapan dan ekstraksi sampel untuk analisis total karotenoid. Ekstrak yang
digunakan untuk analisis total karotenoid dievaporasi dengan rotavapor prosedur asli menggunakan gas nitrogen untuk
mengevaporasi, lalu dilarutkan dalam kloroform 5 dalam metanol, divorteks dan disimpan dalam freezer bersuhu -20°C
selama semalam 12 jam. Larutan kemudian disaring dengan membran 0.22 µm dan dievaporasi dengan rotavapor prosedur asli
menggunakan gas nitrogen untuk mengevaporasi. Residu kering kemudian dilarutkan dalam 2 ml fase gerak HPLC yaitu
metanol:asetonitril:kloroform 48.5:48.5:3.0. Sebanyak 20 µl ekstrak disuntikkan ke dalam kolom HPLC
Vydac C-18 dengan laju aliran rata-rata 0.8 mlmenit dan panjang gelombang 450 nm. Prosedur analisis dapat dilihat pada Gambar 8.
Konsentrasi β-karoten µgg di sampel dihitung dengan
rumus:
C= x [ ] std
β-karoten µgµL x
e. Analisis Antosianin
1. Ekstraksi Antosianin Raharja dan Dianawati, 2001
Sebanyak ±1 gram sampel diekstraksi dengan larutan HCl 5 dalam aquades. Ekstraksi dilakukan dengan merendam bahan
didalam wadah botol kaca yang berwarna gelap dengan larutan HCl 5 tersebut 1:10, kemudian campuran disimpan di dalam
lemari pendingin bersuhu 4°C selama semalam. Setelah itu, campuran tersebut disaring dengan kertas saring Whatman No.1
32 dengan menggunakan penyaring vakum dan filtrat yang diperoleh
dianalisa kandungan antosianinnya dengan metode Lees dan Francis 1972.
2. Penentuan Konsentrasi Total Antosianin Lees dan Francis,
1972
Sebanyak 5 ml filtrat hasil ekstraksi diencerkan menjadi 10 ml dengan larutan etanol 95:HCl 1.5N 85:15. Filtrat kemudian
diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 535 nm.
Total antosianin dihitung dengan rumus:
[ ] mg100g sampel = x 100
Faktor 98.2 adalah nilai ε serapan molar dari pigmen
antosianin dalam pelarut etanol 95:HCl 1.5N 85:15. Prosedur analisis dapat dilihat pada Gambar 9.
f. Analisis Asam Askorbat Jacobs, 1951
1. Ekstraksi Sampel
Sebanyak 25-50 gram sampel sayuran segar ditimbang dan ditambahkan dengan 50-100 ml aquades. Sampel kemudian
dihancurkan dalam waring blender sampai diperoleh slurry bubur. Slurry yang diperoleh sebanyak ±10 gram dimasukkan ke
dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan aquades sampai tera, kemudian disaring dengan penyaring vakum untuk memisahkan
filtrat.
2. Pembuatan Larutan Iodium
Larutan iodium 0.01 N dibuat dengan cara mencampurkan 2 gram KI dan 1.269 gram I
2,
kemudian dilarutkan sampai volume 1 liter dengan aquades. Larutan kemudian diaduk dengan magnetic
stirrer selama semalam untuk melarutkan iod secara sempurna.
33
3. Penentuan Konsentrasi Asam Askorbat
Sebanyak 10 ml filtrat dari hasil ekstraksi dimasukkan ke dalam erlenmeyer, lalu ditambahkan dengan 2 ml larutan amilum
soluble starch 1. Larutan kemudian dititrasi dengan 0.01 N iodium. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan
menjadi semburat biru. Konsentrasi asam askorbat dihitung dengan rumus:
[ ] vitamin C mg100 g sampel = x 100
1 ml 0.01 N Iodium setara dengan 0.88 mg asam askorbat. Prosedur analisis dapat dilihat pada Gambar 10.
3. Analisis Statistik
a. Analisis ragam Anova
Analisis ragam Anova dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan di dalam variabel-variabel yang diuji. Setelah itu,
bila ditemukan bahwa dalam variabel-variabel yang diuji ada perbedaan yang signifikan, maka dilanjutkan dengan analisis tahap
kedua, yakni uji lanjut yang mengkaji pada tingkat atau faktor-faktor di dalam variabel tersebut yang berbeda nyata dan seberapa besar
perbedaan tersebut terjadi. Anova dilakukan dengan menggunakan software SPSS 13.0. Bila nilai signifikansi yang dihasilkan dari output
Anova menun jukkan nilai yang kurang dari α sebesar 5 0.05, maka
ada perbedaan yang signifikan antar sampel yang diuji, dan sebaliknya. Alfa
α merupakan besarnya kesalahan error yang masih bisa diterima dalam pengujian.
b. Uji Lanjut Duncan
Uji lanjut Duncan merupakan kelanjutan dari Anova yang dilakukan setelah diketahui adanya perbedaan yang signifikan antar
sampel yang diuji dengan Anova. Uji Duncan ini membuat perhitungan perbedaan berdasarkan perbandingan pairwise dengan
cara menggunakan tingkatan perbandingan secara stepwise. Cara ini
34 mirip dengan pengurutan sebagaimana dilakukan Student-Newman-
Keuls test, tetapi dalam perbandingan ini Duncan membuat “pengamanan” derajat kesalahannya dengan cara membandingkan
tingkat kesalahan setiap pairwise dengan keseluruhan kesalahan setiap tingkat pasangan perlakuan yang diuji Sumardi, 2003. Uji ini juga
dilakukan dengan menggunakan software SPSS 13.00. Output yang dihasilkan berupa subset-subset dimana sampel-sampel yang berada
pada subset yang sama berarti memiliki perbedaan yang tidak signifikan, sedangkan sampel pada subset yang berbeda berarti
memiliki perbedaan yang signifikan pada nilai α 0.05.
c. Uji Korelasi Pearson
Uji korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar variabel yang tidak menunjukkan hubungan fungsional
berhubungan bukan berarti disebabkan. Korelasi antar dua variabel yang terjadi dapat berupa Hasan, 2003:
1 Korelasi +, yakni bila variabel yang satu x menaik atau menurun, maka variabel lainnya cenderung menaik atau menurun
pula. 2 Korelasi -, yakni bila variabel yang satu x menaik atau
menurun, maka variabel lainnya cenderung menurun atau menaik. 3 Tidak ada korelasi, yakni bila kedua variabel x dan y tidak
menunjukkan adanya hubungan. Output yang dihasilkan dari uji ini berupa nilai p p-value dan
koefisien korelasi. Bilai nilai p yang dihasilkan lebih kecil dari α 0.05,
maka kedua variabel berkorelasi, sedangkan bila nilai P yang dihasilkan
lebih besar dari α 0.05, maka kedua variabel tidak berkorelasi. Interpretasi data dengan uji ini digambarkan dengan
koefisien korelasi, yaitu indeks atau bilangan yang digunakan untuk mengukur keeratan hubungan antar variabel. Koefisien korelasi
memiliki nilai antara -1 dan +1 - 1≤KK≤+1. Jika KK bernilai positif
maka kedua variabel berkorelasi positif, sedangkan bila bernilai negatif maka kedua variabel berkorelasi negatif. Semakin dekat nilai
35 KK ke +1 dan -1, maka semakin kuat korelasinya. Jika KK bernilai 0
maka kedua variabel tidak menunjukkan adanya korelasi, sedangkan bila KK bernilai +1 atau -1 maka kedua variabel menunjukkan korelasi
yang sempurna. Untuk menentukan keeratan hubungan atau korelasi antar variabel tersebut, maka digunakan patokan sebagai berikut
Hasan, 2003: 1 KK=0 tidak ada korelasi
2 0KK≤0.20 korelasi sangat rendahlemah
3 0.20KK≤0.40 korelasi rendahlemah tapi pasti
4 0 .40KK≤0.70 korelasi yang cukup berarti
5 0.70KK≤0.90 korelasi yang tinggi dan kuat
6 0.90KK1.00 korelasi sangat tinggi, kuat sekali, dapat diandalkan
7 KK=1 korelasi sempurna Uji korelasi Pearson pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan software Minitab 15.0. Uji ini juga digunakan untuk mendapatkan kesimpulan hasil meta-analisis antar senyawa yang
diidentifikasi pada penelitian ini.
d. Analisis Komponen Utama PCA
Analisis komponen utama principal component analysis merupakan teknik statistik yang dapat digunakan untuk menjelaskan
struktur variansi-kovariansi dari sekumpulan variabel melalui beberapa variabel baru dimana variabel baru ini saling bebas, dan merupakan
kombinasi linier dari variabel asal. Selanjutnya variabel baru ini dinamakan komponen utama principal component.
Secara umum tujuan dari analisis komponen utama adalah mereduksi dimensi data dan untuk kebutuhan interpretasi. Komponen
utama dibentuk berdasarkan matriks korelasi. Hal ini dilakukan jika variabel-variabel bebas yang diamati mempunyai perbedaan range
yang sangat besar. Salah satu tujuan dari analisis komponen utama adalah mereduksi dimensi data asal yang semula terdapat p variabel
bebas menjadi k komponen utama dimana k p . Kriteria pemilihan k
36 yaitu: 1 Proporsi kumulatif keragaman data asal yang dijelaskan oleh
k komponen utama minimal 80 , dan proporsi total variansi populasi bernilai cukup besar; 2 Dengan menggunakan scree plot yaitu plot
antara i dengan i , pemilihan nilai k berdasarkan scree plot ditentukan dengan melihat letak terjadinya belokan dengan menghapus komponen
utama yang menghasilkan beberapa nilai eigen kecil membentuk pola garis lurus Rencher, 1998.
Output yang dihasilkan dari pengujian dengan PCA ini adalah data analisis eigen dari matriks korelasi yang berupa nilai akar cirri
eigen value, proporsi dan kumulatif. Dari nilai akar ciri dapat diidentifikasi komponen utama yang diperoleh, yakni variabel yang
memiliki dua nilai akar ciri terbesar nilai lebih dari 1, kemudian nilai proporsi menggambarkan persentase keragaman data yang dapat
diterangkan oleh masing-masing komponen utama, dan nilai kumulatif menggambarkan keseluruhan persentase keragaman data yang dapat
diterangkan oleh kedua komponen utama. Selain itu, dihasilkan pula grafik biplot untuk kebutuhan interpretasi data. Analisis komponen
utama ini dilakukan dengan menggunakan software Minitab 15.0.
4. Analisis Potensi
Analisis potensi pada sampel dilakukan dengan beberapa tahapan berikut: 1 pengumpulan data hasil keseluruhan analisis utama total
karotenoid, β-karoten, antosianin, dan asam askorbat; 2 studi literatur, yakni menelusuri literatur dari berbagai sumber tentang manfaat dan
potensi masing-masing senyawa yang diidentifikasi serta literatur tentang kandungan senyawa-senyawa yang diidentifikasi pada jenis komoditi
buahsayur lainnya untuk dapat dibandingkan dengan nilai kandungannya pada sampel sayuran indigenous pada penelitian ini; 3 justifikasi potensi
terhadap keseluruhan sampel terutama sampel yang mengandung senyawa yang diidentifikasi dengan nilai yang tinggi.
37
Gambar 7. Diagram alir analisis total karotenoid dengan spektrofotometer
Sentrifuse 2000 rpm, 5 menit Fase organik total
Pengambilan fase organik Sentrifuse 2000 rpm, 5 menit
Vorteks 4 ml air deion,
8 ml heksana Pendinginan pada T ruang
Pemanasan dalam waterbath 70°C, 30 menit Vorteks
Saponifikasi dengan 4 ml KOH 5 dalam metanol Pengeringan dgn rotavapor
Filtrat jernih Pengulangan ekstraksi beberapa kali
Penyaringan vakum dengan Whatman 42 0.25 g sampel
Pengekstrakkan dengan 5 ml heksan:aseton 1:1 3x
Sonifikasi 30 detik
Fase air Vorteks dengan 6 ml heksan
Pengambilan fase organik
38
Gambar 7. Diagram alir analisis total karotenoid lanjutan
Gambar 8. Diagram alir analisis
β-karoten dengan HPLC Pengeringan dengan rotavapor
Sentrifuse 2000 rpm, 5 menit Pengambilan fase organik
Vorteks 3 ml CH
3
COOH 5
Pelarutan dengan 4 ml heksan Pengukuran absorbansi 450 nm
Pelarutan dengan 2 ml metanol:asetonitril:kloroform 48.5:48.5:3.0
Penyaringan dengan membran 0.22 µm Penyimpanan dalam freezer -20°C, 12 jam
Vorteks Pelarutan dalam 5 kloroform dalam metanol
Pengeringan dengan rotavapor Ekstrak sampel dari analisis tot. karotenoid
Pengeringan dengan rotavapor
Penyuntikkan 20 µl ekstrak ke dalam kolom HPLC
39
Gambar 9. Diagram alir analisis total antosianin dengan spektrofotometer
Pengukuran absorbansi 535 nm Vorteks
Diencerkan sampai 10 ml dengan etanol
95:HCl 1.5N 85:15
Diambil sebanyak 5 ml filtrat
Penyaringan dengan pompa vakum ±1 gram sampel
Maserasi selama 1 malam dalam botol gelap pada suhu 4°C
10 ml HCl 5 dalam aquades
40
Gambar 10. Diagram alir analisis asam askorbat dengan cara titrasi
2 ml larutan amilum 1
Titrasi dengan 0.01 N Iodium Pencampuran dalam erlenmeyer
Pengambilan 10 ml filtrat
Penyaringan dengan vakum Penempatan dalam labu takar 100 ml
sampai tera dengan aquades Pengambilan ±10 g slurry
25-50 g sayuran segar
Penghancuran dengan waring blender
50-100 ml aquades
41
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
TOTAL KAROTENOID
Karotenoid merupakan pigmen berwarna jingga atau merah yang terdapat di berbagai macam plastida berwarna kromoplas di akar, batang,
daun, bunga, dan buah berbagai tumbuhan. Karotenoid yang terkandung dalam sayur-sayuran dan buah-buahan mengandung 80-85 aktivitas vitamin
A De Pee, 1996. Secara umum, proses analisis karotenoid pada penelitian ini terdiri dari
ekstraksi, saponifikasi, pemisahan fase, dan pengukuran. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan campuran aseton dan heksana 1:1 yang merupakan
pelarut non polar karena karoten sebagai senyawa non polar hanya dapat larut dalam pelarut non polar like dissolves like. Saponifikasi dilakukan dengan
menggunakan KOH dalam metanol. Proses ini merupakan prosedur pemurnian untuk membuang lipid dan klorofil yang tidak diinginkan, namun
tidak merusak karotenoid yang umumnya stabil terhadap alkali. Selanjutnya adalah proses pemisahan antara fase organik lapisan atas dengan fase air
lapisan bawah dalam ekstrak bahan dengan cara pemusingan sentrifuse menggunakan heksan. Terakhir, dilakukan proses pengukuran dengan
spektrofotometer UV menggunakan panjang gelombang 450 nm. Menurut Gross 1991, karotenoid menyerap terutama pada daerah biru 430-470 nm,
dengan absorbansi maksimum pada panjang gelombang 451 nm. Kandungan total karotenoid pada 24 sampel sayuran indigenous yang
diperoleh dari penelitian ini dapat dilhat pada Tabel 11, dan untuk perhitungan total karoten pada sampel selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari
hasil tersebut diketahui bahwa daun kemangi memiliki kandungan total karotenoid tertinggi, yakni sebesar 58.41 mg100 g dry basis, kemudian
diikuti oleh daun pakis 57.33 mg100 g dry basis dan daun kelor 56.43 mg100 g dry basis. Sebaliknya, bunga turi memiliki kandungan total
karotenoid terendah, yaitu sebesar 3.65 mg100 g dry basis. Kandungan rata- rata total karotenoid pada ke-24 sampel adalah sebesar 29.01 mg100 g dry
basis. Bila dibandingkan dengan kandungan total karotenoid pada jenis
42 sayuran lainnya Tabel 2, maka kandungan total karotenoid pada sayuran
indigenous ini masih diatas nilai kandungan total karotenoid jenis sayuran lainnya. Lebih jelasnya, diagram batang kandungan total karotenoid pada 24
sayuran indigenous dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Diagram batang kandungan total karotenoid pada 24 sayuran
indigenous Jawa Barat Philip 1975 menyatakan bahwa adanya ikatan rangkap terkonjugasi
dalam molekul karotenoid menandakan adanya gugus kromofor yang menyebabkan terbentuknya warna pada karotenoid, semakin banyak ikatan
rangkap terkonjugasi maka semakin pekat warna karotenoid tersebut, yaitu semakin mengarah ke warna merah atau oranye. Akan tetapi, hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa tidak hanya sayuran berwarna kemerahan saja yang memiliki kandungan karotenoid, namun juga sayuran berwarna hijau memiliki
total karotenoid yang bahkan lebih besar dibandingkan sayuran berwarna kemerahan. Menurut Winarno 1992, ada hubungan langsung antara derajat
kehijauan sayuran dengan kadar karoten, semakin hijau daun tersebut semakin
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00
B u
n g
a tu
ri T
ak o
k ak
B u
n g
a p
ep ay
a
Kec o
m b
ran g
Ku ca
i T
er u
b u
k
Ma n
g k
o k
an
A n
tan an
b eu
rit L
em b
ay u
n g
Dau n
lab u
P u
cu k
m en
g k
u d
u Dau
n …
Katu k
P u
cu k
m ete
A n
tan an
P o
h p
o h
an
Man g
k o
k an
p u
ti h
B elu
n tas
Kr o
k o
t Ken
ik ir
Dau n
Gin sen
g Dau
n k
elo r
P ak
is Kem
an g
i
a
3.65 0.25
j
45.52 1.77
i
43.19 3.24
d
15.17 0.08
f
22.59 1.83
b
8.061 0.48
m
58.41 5.56
f
23.61 0.32
h
32.54 2.10
e
17.51 2.00
i
41.58 1.68
l
51.66 1.72
j
45.96 1.84
a
48.48 1.39
b
8.374 0.71
a
4.105 0.13
m
56.43 0.76
f
22.57 1.45
f
21.18 0.57
c
11.13 0.68
f
21.23 0.18
b
7.60 0.50
g
28.25 1.87
m
57.33 0.77
43 tinggi kadar karotennya, sedangkan daun-daunan yang pucat miskin akan
karoten. Sampel sayuran yang berwarna hijau pada penelitian ini cenderung
memiliki total karotenoid yang lebih besar dibandingkan dengan total karotenoid yang dimiliki oleh sampel sayur yang berwarna lebih terang
kuning muda sampai merah, seperti bunga turi, kecombrang, dan bunga papaya. Menurut Sediaoetama 1976, karoten berwarna kuning, namun tidak
semua warna kuning pada buah-buahan ataupun sayur-sayuran disebabkan oleh warna ini, masih terdapat pigmen lain seperti zeaxanthin dan flavoxantin
yang tidak aktif, artinya tidak dapat diubah menjadi vitamin A. Kandungan karoten dan
β-karoten yang terkandung dalam sayur-sayuran dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti cara budidaya, varietas, dan umur
tanaman Howard et al., 1994. Dengan demikian, dapat dimungkinkan bahwa hasil karotenoid dan
β-karoten yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat lebih rendah atau lebih tinggi dari hasil yang diperoleh dari penelitian lainnya
Portocarrero et al., 1992. Namun demikian, sampel-sampel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sampel dengan varietas dan umur penen yang
biasa dikonsumsi dibuat sayurlalapan oleh masyarakat yang diperoleh dari pasar-pasar setempat.
Pengolahan data nilai total karoten terhadap 24 sampel dengan ANOVA menghasilkan output seperti pada Lampiran 4. Hasil uji statistik tersebut
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap nilai kandungan total karotenoid antar sampel. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi sampel
yang dihasilkan, yakni lebih kecil dari taraf α 0.05. Oleh karena adanya
perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil uji Duncan Lampiran 5 memberikan informasi bahwa terdapat 13
subset yang dihasilkan. Sampel yang berada pada subset yang sama berarti tidak memiliki kandungan total karotenoid yang berbeda nyata pada taraf
signifikansi 5, sedangkan sampel yang berada pada subset yang berbeda berarti memiliki kandungan total karotenoid yang berbeda nyata pada taraf
signifikansi 5 terhadap sampel yang berada pada subset lainnya. Dengan demikian, sebagai contoh dapat dikatakan bahwa kemangi, pakis, dan kelor
44 sebenarnya tidak memiliki kandungan total karotenoid yang berbeda nyata
karena berada pada subset yang sama. Akan tetapi, ketiga sampel tersebut memiliki kandungan total karotenoid yang berbeda secara nyata terhadap
sampel bunga pepaya, kecombrang, dan kucai, serta sampel lainnya yang berada pada subset berbeda.
B.
β-KAROTEN
Salah satu senyawa metabolit sekunder yang bermanfaat bagi tubuh adalah senyawa yang merupakan turunan isoprenoid. Termasuk didalamnya
adalah karotenoid, dimana β-karoten sebagai prekursor vitamin A merupakan
karotenoid yang paling banyak dijumpai pada tumbuhan tingkat tinggi. Identifikasi karotenoid spesifik pada penelitian ini hanya dilakukan pada
β-karoten. Hal ini dikarenakan β-karoten memiliki nilai gizi yang penting dan merupakan sumber provitamin A. Selain itu, hampir dalam setiap sayuran dan
buah segar, 85 dari total aktivitas vitamin A berasal dari β-karoten. Seperti
pada bayam, komponen utama karotenoidnya adalah β-karoten disusul lutein,
neosantin, zeasantin, dan violasantin Ball, 2000. Hasil ekstrak yang diperoleh dari pengukuran total karotenoid digunakan
pula dalam pengukuran β-karoten dengan melarutkan ekstrak kering hasil
penguapan dengan fase gerak, yakni campuran metanol, asetonitril, dan kloroform. Pengukuran
β-karoten dilakukan dengan menggunakan metode HPLC High Performance Liquid Chromatography. Menurut Macrae 1988,
keutamaan dari HPLC adalah kemampuannya untuk menangkap komponen dengan stabilitas panas yang terbatas ataupun yang bersifat volatil. HPLC
merupakan metode yang sangat sensitif, tepat, selektif, dan memiliki tingkat otomatisasi yang tinggi sehingga lebih sederhana dalam pengoperasiannya.
Hasil analisis β-karoten terhadap 24 sampel sayuran indigenous dengan
menggunakan HPLC diperoleh hasil seperti terlihat pada Tabel 11, dan untuk perhitungan
β-karoten pada sampel selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan hasil analisis tersebut, diketahui bahwa daun labu memiliki
kadar β-karoten tertinggi, yaitu sebesar 13.27 mg100 g dry basis, kemudian
diikuti oleh daun kemangi 12.43 mg100 g sampel dry basis dan daun
45 pohpohan 12.03 mg100 g sampel dry basis, sedangkan bunga kecombrang
memiliki kandungan β-karoten terendah, yakni sebesar 0.01 mg100 g dry
basis. Meskipun bunga kecombrang memiliki warna kemerahan akan tetapi ternyata tanaman ini memiliki kandungan
β-karoten yang rendah seperti halnya kandungan total karotennya yang rendah pula. Hal ini dapat
disebabkan adanya kandungan pigmen lainnya yang jauh lebih besar yang berperan dalam menghasilkan warna kemerahan sampai keunguan pada
tanaman ini, seperti pigmen antosianin. Kadar
β-karoten pada 24 sayuran indigenous yang dianalisis berkisar antara 0.01 sampai 13.27 mg100 g dry basis, sedangkan kadar rata-rata
β- karoten pada 24 sayuran tersebut adalah sebesar 5.30 mg100 g dry basis. Bila
dibandingkan dengan kadar β-karoten jenis sayuran lainnya seperti yang
tertera pada Tabel 2, maka kadar β-karoten yang dimiliki oleh sayuran
indigenous ini pun masih tergolong lebih tinggi. Lebih jelasnya, diagram batang kandungan
β-karoten pada 24 sayuran indigenous dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12.
Diagram batang kandungan β-karoten pada 24 sayuran indigenous Jawa Barat
2 4
6 8
10 12
14
Kec o
m b
ran g
B u
n g
a tu
ri T
er u
b u
k T
ak o
k ak
Ku ca
i
M an
g k
o k
an
B u
n g
a p
ep ay
a
A n
tan an
b eu
rit
P u
cu k
m en
g k
u d
u
L em
b ay
u n
g
Dau n
k ed
o n
d o
n g
cin a
P u
cu k
m ete
Ma n
g k
o k
an p
u tih
A n
tan an
Ken ik
ir Katu
k Kr
o k
o t
P ak
is B
elu n
tas Dau
n k
elo r
Dau n
Gin sen
g P
o h
p o
h an
Kem an
g i
Dau n
lab u
gh
6.87 0.15
j
8.87 0.28
f
4.80 0.62
c
1.17 0.08
e
3.53 0.66
a
0.01 0.00
kl
12.40 1.56
hi
7.49 0.08
g
6.35 0.66
cd
1.53 0.05
k
12.03 1.28
k
11.9 0.10
i
7.84 0.70
ab
0.15 0.02
bc
1.04 0.02
abc
0.66 0.05
j
9.09 0.19
d
2.28 0.02
d
2.40 0.43
ab
0.16 0.00
m
13.30 1.74
c
1.19 0.12
e
3.82 0.29
ij
8.27 0.60
46 Kromatogram
β-karoten yang diperoleh dari hasil analisis menunjukkan bahwa puncak
β-karoten muncul disekitar menit ke-16 sampai menit ke-18. Namun umumnya puncak
β-karoten muncul pada menit ke-17 sesuai dengan kromatogram standar
β-karoten yang diperoleh Gambar 13 , yakni muncul pada menit ke-17.584.
Gambar 13. Hasil kromatogram HPLC analisis
β-karoten dari standar β-karoten dengan kemunculan puncak β-karoten pada
menit ke-17.584
Sebagai contoh, kromatogram HPLC β-karoten dari daun kedondong
cina dapat dilihat pada Gambar 14. Berdasarkan hasil kromatogram tersebut, dapat dilihat bahwa puncak
β-karoten muncul pada menit ke-17.741. Hasil kromatogram tersebut menunjukkan pula adanya puncak sebelum puncak
β- karoten, yakni diantara menit ke-16 sampai ke-17, puncak ini dimungkinkan
adalah α-karoten, salah satu jenis karoten lain selain β- dan -karoten Zakaria
et al., 2000. Puncak ini juga muncul disebagian besar hasil kromatogram sampel sayur lainnya.
Cis β-karoten sebagai isomer dari β-karoten yang banyak di sayuran terutama setelah perlakuan dengan panas Zakaria, 2000 pun sering muncul
setelah puncak β-karoten, biasanya terlihat sebagai ekor puncak dari β-
47 karoten. Akan tetapi, karena penggunaan kolom yang tidak terlalu panjang
digunakan kolom 15 cm dalam penelitian ini, maka pemisahan puncak menjadi kurang jelas sehingga cis β-karoten tidak tampak dalam
kromatogram.
Gambar 14
. Hasil kromatogram HPLC analisis β-karoten dari ekstrak
daun kedondong cina dengan kemunculan puncak β-
karoten pada menit ke-17.741 Hasil kromatogram ekstrak sayuran indigenous lainnya tidak jauh
berbeda dengan hasil kromatogram ekstrak daun kedondong cina. Puncak β-
karoten dari ekstrak sayuran pada kromatogram yang dihasilkan umumnya muncul pada menit ke-16 sampai dengan menit ke-18.
Pengolahan data nilai β-karoten terhadap 24 sampel dengan ANOVA
menghasilkan output seperti pada Lampiran 4. Hasil uji statistik tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap nilai kandungan
β-karoten antar sampel. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi sampel yang dihasilkan, yakni lebih kecil
dari taraf α 0.05. Oleh karena adanya perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan.
48 Hasil uji Duncan Lampiran 5 memberikan informasi bahwa terdapat 12
subset yang dihasilkan. Sampel yang berada pada subset yang sama berarti tidak memiliki kandungan
β-karoten yang berbeda nyata pada taraf signifikansi 5, sedangkan sampel yang berada pada subset yang berbeda
berarti memiliki kandungan β-karotenoid yang berbeda nyata pada taraf
signifikansi 5 terhadap sampel yang berada pada subset lainnya. Dengan demikian, sebagai contoh dapat dikatakan bahwa daun kedondong cina dan
pucuk mete tidak memiliki kandungan β-karoten yang berbeda nyata karena
berada pada subset yang sama. Akan tetapi, kedua sampel tersebut memiliki kandungan
β-karoten yang berbeda nyata terhadap sampel daun mangkokan putih serta sampel lainnya yang berada pada subset berbeda.
C. ANTOSIANIN
Antosianin merupakan salah satu pigmen utama dalam tumbuhan yang terdapat dalam vakuola sel bagian tanaman, yaitu organel sitoplasmik yang
berisikan air, serta dibatasi oleh membran yang identik dengan membran tanaman Kimbal, 1993. Pigmen ini berada pada sebagian besar tanaman
tingkat tinggi dan terdapat pada seluruh bagian tanaman Brouillard, 1982. Menurut Jackman dan Smith 1996, antosianin ini tidak stabil dalam
suasana netral atau basa. Dengan demikian, prosedur ekstraksi biasanya dilakukan dengan menggunakan pelarut asam yang dapat merusak jaringan
tanaman. Cara yang paling sering digunakan adalah dengan maserasi yaitu merendam bahan yang akan diekstrak dalam alkohol, pada suhu rendah, dan
dengan penambahan sedikit asam seperti HCl. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Raharja dan Dianawati 2001 yakni mempelajari
ekstraksi antosianin pada daun erpa dengan menggunakan tiga jenis larutan pengekstrak yaitu aquades, etanol, dan metanol yang masing-masing
mengandung HCl, ditemukan bahwa aquades yang mengandung HCL HCl 5 dalam aquades cukup asam untuk memecah dinding sel vakuola dimana
pigmen antosianin terdapat namun tidak terlalu asam untuk mengakibatkan kerusakan pigmen. Berdasarkan hasil penelitian tersebut yang menggunakan
sampel tanaman daun, maka pelarut yang digunakan untuk mengektrak
49 antosianin dalam penelitian ini adalah HCl 5 dalam aquades. Sesuai dengan
pernyataan Bridle dan Timberlake 1997, bahwa antosianin merupakan pewarna alami yang berasal dari famili flavonoid yang larut dalam air water
soluble. Antosianin memiliki cincin aromatik yang mengandung gugus polar
hidroksil, karboksil, metoksil dan residu glikosil yang menghasilkan molekul polar dengan keadaannya yang polar, antosianin lebih mudah larut dalam
pelarut polar seperti etanol, metanol, dan air Jackman dan Smith, 1996, sedangkan asam klorida dalam pelarut akan mendenaturasi membran sel
kemudian melarutkan pigmen antosianin keluar dari sel. Kandungan antosianin dapat diketahui melalui beberapa metode, yaitu
metode yang menggunakan larutan yang memiliki satu nilai pH dan metode yang menggunakan dua larutan yang memiliki dua nilai pH yang berlainan.
Salah satu metode yang menggunakan satu nilai pH yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode yang digunakan oleh Lees dan Francis 1972.
Total antosianin dihitung dari absorbansi ekstrak yang dilarutkan dalam etanol 95:HCl 1.5 N 85:15 pada panjang gelombang 535 nm. Nilai serapan molar
yang digunakan adalah 98.2 yaitu nilai E 1, 1 cm, 535 nm untuk pelarut etanol yang diasamkan. Nilai ini merujuk pada absorpsi campuran antosianin
buah cranberry di dalam etanol asam yang diukur didalam celah selebar 1 cm pada panjang gelombang 535 nm dalam konsentrasi 1 wv.
Hasil penelitian pada 24 sampel sayur menunjukkan bahwa konsentrasi antosianin tertinggi terdapat pada bunga kecombrang yaitu sebesar 43.19
mg100 g dry basis, diikuti oleh takokak 22.09 mg100 g dry basis dan terubuk 20.50 mg100 g dry basis. Sebaliknya, konsentrasi antosianin
terendah terdapat pada daun pakis dengan konsentrasi sebesar 0.67 mg100 g dry basis. Konsentrasi antosianin pada 24 sampel sayuran indigenous dapat
dilihat pada Tabel 11 dan untuk perhitungan antosianin pada sampel selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
Dibandingkan dengan tanaman buah ataupun sayur lainnya Tabel 4, 24 tanaman sayur diatas tergolong memiliki kandungan total antosianin yang
rendah, yakni berkisar antara 0.0067 mgg dry basis sampai 0.4319 mgg dry
50 basis dengan rata-rata sebesar 0.082 mgg dry basis. Hal ini dapat disebabkan
karena pigmen antosianin sebagian besar terdapat pada tanaman yang berbunga dan menghasilkan warna dari merah tua sampai biru pada bunga,
buah, dan daun Harborne dan Grayer, 1988, sedangkan 24 sampel yang diteliti sebagian besar merupakan tanaman daun yang berwarna hijau, hanya
kecombrang memiliki warna merah sampai keunguan dan terbukti bahwa sampel tersebut memiliki kandungan antosianin terbesar diantara sampel
lainnya. Lebih jelasnya, diagram batang kandungan total antosianin pada 24 sayuran indigenous dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Diagram batang kandungan total antosianin pada 24 sayuran
indigenous Jawa Barat Pengolahan data nilai antosianin terhadap 24 sampel dengan ANOVA
menghasilkan output seperti pada Lampiran 4. Hasil uji statistik tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap nilai kandungan
antosianin antar sampel. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi sampel yang dihasilkan, yakni lebih kecil
dari taraf α 0.05. Oleh karena adanya perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan.
5 10
15 20
25 30
35 40
45
P ak
is Kem
an g
i B
elu n
tas P
u cu
k m
ete Kr
o k
o t
B u
n g
a tu
ri
Dau n
Gin sen
g
Dau n
k ed
o n
d o
n g
cin a
Ken ik
ir
A n
tan an
b eu
rit D
au n
la b
u A
n tan
an Ku
ca i
P o
h p
o h
an K
atuk
P u
cu k
m en
g k
u d
u
L em
b ay
u n
g
Ma n
g k
o k
an
Man g
k o
k an
p u
ti h
B u
n g
a p
ep ay
a Dau
n k
elo r
T er
u b
u k
T ak
o k
ak
Kec o
m b
ran g
f
3.97 0.27
bc
1.41 0.07
k
9.25 0.46
j
7.99 0.42
e
2.80 0.06
p
43.19 1.12
ab
0.84 0.05
i
7.00 0.49
h
5.92 0.27
g
4.88 0.18
h
6.08 0.10
e
2.75 0.11
cd
2.00 0.08
de
2.21 0.12
h
5.95 0.14
l
22.09 0.70
m
13.14 0.05
j
7.67 0.24
j
7.86 0.49
n
20.50 1.07
h
5.88 0.26
o
11.98 0.73
cd
1.92 0.10
a
0.67 0.04
51 Hasil uji Duncan Lampiran 5 memberikan informasi bahwa terdapat 16
subset yang dihasilkan. Sampel yang berada pada subset yang sama berarti tidak memiliki kandungan antosianin yang berbeda nyata pada taraf
signifikansi 5, sedangkan sampel yang berada pada subset yang berbeda berarti memiliki kandungan antosianin yang berbeda nyata pada taraf
signifikansi 5 terhadap sampel yang berada pada subset lainnya. Dengan demikian, sebagai contoh dapat dikatakan bahwa daun pakis dan kemangi
tidak memiliki kandungan antosianin yang berbeda nyata karena berada pada subset yang sama. Akan tetapi, kedua sampel tersebut memiliki kandungan
antosianin yang berbeda nyata terhadap sampel beluntas, pucuk mete, dan krokot serta sampel lainnya yang berada pada subset berbeda.
D. ASAM ASKORBAT
Asam askorbat atau vitamin C merupakan vitamin yang mudah larut dalam air. Vitamin ini sering disebut sebagai fresh food vitamin karena banyak
terdapat pada sayur dan buah-buahan segar Winarno, 1992. Analisis vitamin C dalam sayur-sayuran yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan metode titrasi dengan iodium. Sampel sayur- sayuran diekstrak dengan cara menghancurkannya dan digunakan air untuk
membantu melarutkan vitamin C yang terdapat dalam sampel. Ekstrak sampel yang diperoleh direaksikan dengan larutan amilum 1 sebagai indikator
perubahan warna ekstrak setelah dititrasi dengan 0.01 N iodium, yakni menjadi berwarna semburat biru. Sebanyak 1 ml 0.01 N iodium ini setara
dengan 0.88 mg asam askorbat, sehingga dari hasil titrasi dapat dikalkulasikan berapa banyak asam askorbat dalam sampel.
Berdasarkan hasil analisis asam askorbat pada 24 sampel, diketahui bahwa kandungan asam askorbat terbesar pada sampel pucuk mete 5607.78 mg100
g dry basis, diikuti oleh daun kemangi 3835.86 mg100 g dry basis dan bunga pepaya 2326.38 mg100 g dry basis, sedangkan kandungan asam
askorbat terendah dimiliki oleh mangkokan putih, yaitu sebesar 236.54 mg100 g dry basis. Nilai asam askorbat dari 24 sampel yang dianalisa dapat
dilihat pada Tabel 11 dan untuk perhitungan asam askorbat pada sampel
52 selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Perbedaan nilai kandungan
vitamin C beberapa jenis sayur yang dianalisa dalam penelitian ini dengan sumber lainnya dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor dari masing-
masing sampel seperti suhu, intensitas sinar, umur tanaman, jumlah kandungan air, faktor genetik, varietas, dan kesuburan tanah Fennema, 1985,
maupun dari cara analisis yang digunakan. Lebih jelasnya, diagram batang kandungan asam askorbat dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Diagram batang kandungan asam askorbat pada 24 sayuran
indigenous Jawa Barat Hasil analisis asam askorbat yang diperoleh menunjukkan bahwa sampel
sayuran segar yang dianalisis memiliki kandungan asam askorbat yang cukup tinggi, yakni berkisar antara 236.54 mg100 g dry basis sampai 5607.78
mg100 g dry basis, dengan rata-rata kandungan vitamin C sebesar 1194.70 mg100 g dry basis. Hasil ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan
kandungan asam askorbat pada berbagai jenis sayuran lainnya seperti tertera pada Tabel 5.
1000 2000
3000 4000
5000 6000
Ma n
g k
o k
an p
u tih
Dau n
k ed
o n
d o
n g
cin a
B elu
n tas
A n
tan an
Kec o
m b
ran g
Kr o
k o
t
A n
tan an
b eu
rit T
er u
b u
k D
au n
la b
u
Dau n
Gin sen
g T
ak o
k ak
P o
h p
o h
an B
u n
g a
tu ri
Ku ca
i
Ma n
g k
o k
an L
em b
ay u
n g
P u
cu k
m en
g k
u d
u P
ak is
Dau n
k elo
r Ken
ik ir
K atuk
B u
n g
a p
ep ay
a Kem
an g
i
P u
cu k
m ete
g
1654.02 7.27
b
295.46 0.69
a
236.54 0.29
f
836.41 3.16
a
245.42 3.82
c
336.84 0.30
h
3835.86 8.62
i
2248.27 10.96
c
336.14 0.51
r
524.05 0.59
e
732.48 0.06
d
632.98 0.26
s
467.13 8.95
e
734.40 2.71
f
825.42 4.06
d
639.98 0.03
j
1571.85 14.74
k
1033.89 49.6
l
933.74 11.75
m
574.99 1.50
n
602.87 10.23
o
2326.38 3.24
p
5607.78 7.91
q
1422.03 40.1
53 FDA menetapkan standar klaim untuk vitamin C yaitu minimal
mengandung 20 RDA vitamin C. RDA Recommended Dietary Allowance atau AKG Angka Kecukupan Gizi vitamin C untuk wanita dan pria dewasa
menurut National Academy of Science 2000 adalah sebesar 75-90 mg, sehingga suatu produk dapat diklaim mengandung vitamin C yang tinggi jika
mengandung vitamin C minimal 15-18 mgsajian. Untuk sayuran, sajian rumah tangga yang biasa digunakan adalah dalam ukuran mangkuk, bila
dikonversi adalah sebanyak 50-100 gram per mangkuk. Dengan demikian, bila konsumsi terhadap sayur-sayuran indigenous tersebut dilakukan sesuai
takaran, maka akan memenuhi angka kecukupan gizi vitamin C yang disarankan dengan memperhatikan kehilangan vitamin C saat pengolahan.
Menurut penelitian Subeki 1998 mengenai pengaruh cara pemasakan terhadap kandungan antioksidan di sayuran, besarnya persentase penurunan
vitamin C saat pengolahan pangan adalah sebesar 22-58 perebusan dan 35- 73 penumisan. Lusivera 2001 dalam penelitian yang sejenis menyatakan
bahwa proses pemasakan sayuran secara rumah tangga dapat menurunkan kandungan asam askorbat sebesar 16-91. Tingginya penurunan tersebut
karena sifat asam askorbat yang sangat mudah teroksidasi, baik secara enzimatik maupun secara kimiawi, serta kerusakan karena degradasi oleh
panas. Namun demikian, penurunan vitamin C pada sayuran ini tergantung dari cara pemasakan, suhu dan lama pemasakan, serta jenis dan ukuran
sayuran. Pengolahan data nilai asam askorbat terhadap 24 sampel dengan
ANOVA menghasilkan output seperti pada Lampiran 4. Hasil uji statistik tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap nilai
kandungan asam askorbat antar sampel. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi sampel yang dihasilkan, yakni lebih kecil
dari taraf α 0.05. Oleh karena adanya perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan.
Hasil uji Duncan Lampiran 5 memberikan informasi bahwa terdapat 19 subset yang dihasilkan. Hal ini menarik karena subset yang dihasilkan lebih
banyak dibandingkan dengan subset yang dihasilkan dari uji Duncan pada senyawa karotenoid,
β-karoten, dan antosianin. Artinya, asam askorbat
54 memiliki keragaman data yang lebih besar dibandingkan dengan keragaman
data senyawa-senyawa lainnya pada ke 24 sampel. Sampel yang berada pada subset yang sama berarti tidak memiliki
kandungan asam askorbat yang berbeda nyata pada taraf signifikansi 5, sedangkan sampel yang berada pada subset yang berbeda berarti memiliki
kandungan asam askorbat yang berbeda nyata pada taraf signifikansi 5 terhadap sampel yang berada pada subset lainnya. Dengan demikian, sebagai
contoh dapat dikatakan bahwa beluntas dan mangkokan putih tidak memiliki kandungan asam askorbat yang berbeda nyata karena berada pada subset yang
sama. Akan tetapi, kedua sampel tersebut memiliki kandungan asam askorbat yang berbeda nyata terhadap sampel bunga kecombrang dan sampel-sampel
lainnya yang berada pada subset berbeda.
E. META-ANALISIS ANTAR SENYAWA TERIDENTIFIKASI
1. Analisis Hubungan Antara Karotenoid, β-Karoten, Antosianin dan
Asam Askorbat
Data hasil
analisis keempat
senyawa selanjutnya
diolah menggunakan Principal Component Analysis PCA atau analisis
komponen utama. PCA digunakan untuk memproyeksikan suatu data yang berukuran atribut besar menjadi bentuk representasi data yang lebih kecil.
PCA juga mampu menyajikan keterkaitan data awal menjadi data yang tidak saling berkorelasi. Analisis statistik ini dapat menjelaskan 75-90
dari total keragaman dalam data yang memiliki 25 sampai 30 peubah hanya dengan dua sampai tiga komponen utama Meilgaard et al., 1999.
Hasil olahan data analisis keempat senyawa dengan menggunakan metode PCA memperlihatkan bahwa dari empat nilai akar ciri eigen
value, terdapat dua komponen yang memiliki akar ciri lebih besar dibandingkan dua komponen lainnya. Komponen utama pertama PC1
adalah total karotenoid yang memiliki akar ciri sebesar 2.2338, sedangkan komponen utama kedua PC2 adalah
β-karoten yang memiliki akar ciri sebesar 0.9518. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa komponen
55 utama pembeda ke-24 sampel yang dianalisis adalah total karotenoid dan
β-karoten. Data akar ciri dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Akar ciri eigen value dengan proporsi dan kumulatif keragaman
dari 4 peubah
Komponen Peubah
Akar ciri Proporsi
Kumulatif
1 Total karotenoid
2.2338 0.558
0.558 2
β-karoten 0.9518
0.238 0.796
3 Antosianin
0.6076 0.152
0.948 4
Asam askorbat 0.2068
0.052 1.000
Berdasarkan dua komponen utama tersebut, maka dari Tabel 7 diambil nilai mutlak absolut tertinggi dari nilai-nilai vektor ciri yang
dicetak tebal pada Tabel 8. Komponen pertama PC1 dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang memiliki hubungan positif total
karotenoid dan kelompok yang memiliki hubungan negatif antosianin. Komponen utama kedua PC2 pun dibagi dalam dua kelompok, yaitu
kelompok yang memiliki hubungan positif β-karoten dan kelompok yang
memiliki hubungan negatif asam askorbat.
Tabel 8. Nilai vektor dari hubungan antar peubah dengan komponen
utama
Peubah PC 1 55.8
PC 2 23.8
Total karotenoid 0.596
0.213 β-karoten
0.589 0.275
Antosianin
-0.488
0.130 Asam askorbat
0.244
-0.928
Seperti diperlihatkan pada tabel diatas, komponen utama satu PC1 dan komponen utama dua PC2 memiliki persentase keragaman yang
lebih besar dari komponen lainnya. Komponen utama pertama PC1 mampu menerangkan keragaman data sebesar 55.8, sedangkan
komponen utama kedua PC2 mampu menerangkan keragaman data sebesar 23.8, sehingga keseluruhan keragaman yang dapat diterangkan
56 oleh kedua komponen utama tersebut pada grafik biplot adalah sebesar
79.6.
Tabel 9. Matriks korelasi dari empat peubah yang merupakan senyawa-
senyawa yang dianalisis pada 24 jenis sayuran indigenous
Peubah Total
karotenoid β-karoten Antosianin
Asam askorbat
Total karotenoid 1
β-karoten 0.792
1 Antosianin
-0.462 -0.457
1 Asam askorbat
0.181 0.132
-0.235 1
Matriks korelasi pada Tabel 9 diatas menunjukkan hubungan antar peubah, apakah memiliki hubungan yang positif atau negatif. Semakin
tinggi nilai korelasi antar peubah semakin mendekati angka 1 atau -1, maka semakin erat hubungan kedua peubah tersebut. Peubah yang
berkorelasi paling kuat adalah total karotenoid dengan β-karoten,
keduanya memiliki nilai korelasi sebesar 0.792 dan berkorelasi positif. Korelasi positif artinya, semakin tinggi nilai
β-karoten maka akan semakin tinggi pula nilai total karotenoidnya, dan sebaliknya.
Grafik biplot PC1 dan PC2 pada Gambar 12 membagi empat jenis senyawa yang diidentifikasi ke dalam empat kelompok kuadran. Masing-
masing kelompok terdiri dari objek-objek yang digambarkan sebagai titik- titik. Objek-objek dengan karakteristik yang sama digambarkan sebagai
titik-titik yang posisinya berdekatan Sartono et al., 2003. Kelompok pertama terdiri dari kecombrang, takokak, terubuk, antanan beurit, dan
daun kedondong cina. Kelompok kedua terdiri dari mangkokan putih, antanan, daun labu, daun kelor, krokot, beluntas, pohpohan, daun ginseng,
dan pakis. Selanjutnya, kelompok ketiga terdiri dari katuk, kemangi, kenikir, dan pucuk mete. Terakhir, kelompok empat terdiri dari kucai,
lembayung, bunga turi, bunga pepaya, mangkokan, dan pucuk mengkudu. Karakteristik suatu objek dapat disimpulkan dari posisi relatifnya
yang paling dekat dengan peubah digambarkan sebagai garis berarahvektor Sartono et al., 2003. Dengan demikian, berdasarkan
grafik biplot tersebut, sampel-sampel di kelompok pertama dicirikan dengan dominansi kandungan antosianin. Selanjutnya, sampel-sampel di
57 kelompok kedua dicirikan dengan dominansi kandungan total karotenoid
dan β-karoten, sedangkan sampel-sampel di kelompok ketiga dicirikan
dengan dominansi kandungan asam askorbat. Sedangkan kelompok terakhir tidak dicirikan oleh peubah apapun, artinya tidak ada dominansi
senyawa tertentu pada sampel-sampel di kelompok empat ini.
3 2
1 -1
-2 -3
-4 1
-1
-2
-3
-4
PC 1 55.8
P C
2 2
3 .8
Asam askorbat Antosianin
Beta karoten Total karotenoid
Kecombrang Takokak
Terubuk
Bunga pepaya Bunga turi
Kucai Katuk
mengkudu Pucuk
Lembayung An.Beurit
Daun kedondong cina
Pucuk mete Kemangi
Mangkokan Kenikir
Pakis Daun kelor
Mangkokan putih Antanan
Daun labu Krokot
Beluntas Pohpohan
Daun ginseng
Gambar 17. Grafik biplot hasil pengujian dengan PCA Principal Component
Analysis dari nilai hasil analisis total karotenoid, β-karoten,
antosianin, dan asam askorbat pada 24 jenis sampel sayuran Grafik biplot diatas juga dapat menginterpretasikan hubungan antara
dua atribut. Grafik biplot akan menggambarkan peubah sebagai garis berarah. Dua peubah yang memiliki korelasi positif akan digambarkan
sebagai dua buah garis dengan arah yang sama atau membentuk sudut sempit 90°, sedangkan dua peubah yang memiliki korelasi negatif akan
digambarkan dalam bentuk dua garis dengan arah berlawanan atau membentuk sudut tumpul 90° Sartono et al., 2003. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa total karotenoid dan β-karoten yang memiliki
58 vektor searah dan membentuk sudut sempit 90° antara dua vektor,
bahkan berhimpit diartikan memiliki hubungan positif, artinya jika kandungan total karotenoid pada sampel tinggi, maka kandungan
β- karoten pada sampel pun akan tinggi, dan sebaliknya. Akan tetapi,
antosianin dengan total karoten, β-karoten, dan asam askorbat memiliki
vektor yang berlawanan arah dan membentuk sudut tumpul 90°, artinya kedua senyawa ini berkorelasi negatif, sehingga jika kandungan antosianin
pada sampel tinggi maka dimungkinkan kandungan ketiga senyawa lainnya pada sampel akan rendah.
Selain menggunakan uji analisis komponen utama PCA, hubungan antar senyawa teridentifikasi dapat diketahui dengan menggunakan uji
korelasi. Uji ini menghasilkan output yang dapat dilihat pada Lampiran 3. Ouput tersebut memberikan informasi bahwa terdapat hubungan antara
nilai total karotenoid dengan β-karoten, karena memiliki nilai p 0.000
yang lebih kecil dari nilai α 0.05, dengan nilai korelasi sebesar 0.792 dan memiliki korelasi positif. Nilai ini menunjukkan korelasi yang kuat karena
semakin mendekati nilai 1 atau -1, maka kolerasi dianggap semakin kuat. Korelasi positif artinya, bila nilai total karotenoid naik, maka nilai
β- karoten pun akan naik, dan sebaliknya.
Disamping itu, terdapat pula hubungan antara antosianin dengan total karotenoid pvalue
0.023 α 0.05 dan antosianin dengan β-karoten pvalue
0.025 α 0.05, dengan nilai korelasi masing-masing sebesar - 0.462 dan -0.457. Nilai korelasi negatif tersebut memberikan informasi
bahwa bila nilai antosianin naik, maka nilai total karotenoid akan turun, dan bila nilai antosianin turun maka nilai total karotenoid akan naik. Nilai
korelasi ini dianggap cukup berarti meskipun tidak tergolong tinggi. Selain itu, ouput uji korelasi menunjukkan pula bahwa tidak ada hubungan antara
kandungan asam askorbat dengan kandungan total karotenoid, β-karoten,
maupun antosianin. Hal ini dikarenakan nilai p yang dihasilkan lebih besar dari nilai α 0.05.
59
2. Analisis Hubungan Antara Total Fenol dan Total Flavonoid