Analisis Sosiologis Legenda Tao Sipinggan Dohot Tao Silosung
ANALISIS SOSIOLOGI S LEGENDA TAO SIPINGGAN DOHOT TAO SILOSUNG
SKRIPSI SARJANA Dikerjakan
O L E H
NAMA : LIJEN PASARIBU NIM : 030703019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA DAERAH
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK MEDAN
(2)
Lembaran Pengeasahan
ANALISIS SOSIOLOGIS LEGENDA TAO SIPINGGAN DOHOT TAO SILOSUNG
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O
L E H
LIJEN PASARIBU 030703019
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S Drs. Baharuddin, M.Hum Nip : 131674465 Nip : 131785647
KETUA DEPARTEMEN
(3)
PENGESAHAN
Diterima Oleh :
Panitia Ujian Sarjana Fakuktas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian untuk meraih gelar Sarjana Sastra dalam bidang Bahasa dan Sastra Batak di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan
Hari / Tanggal : ...
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Dekan,
Drs. Syaifuddin, M.A. P.hD Nip : 1312098531
Panitia Ujian :
No Nama Tanda Tangan
1. ... ... 2. ... ... 3. ... ... 4. ... ...
(4)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ……….. i
PENGESAHAN………. ii
ABSTRAK………. iii
DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ………. 1
1.2 Rumusan Masalah ……….. 3
1.3 Tujuan Penelitian………. 4
1.4Manfaat Penelitian……… 4
1.5 Kepustakaan Yang Relevan………... 5
1.5.1 Pengertian Sastra………. 5
1.5.2 Pengertian Sosiologi………. 8
1.5.3 Hubungan Sastra dengan Sosiologi……… 12
1.6 Teori Yang Digunakan……… 16
1.7 Metodologi……… 22
1.7.1 Metode Dasar………... 22
1.7.2 Lokasi Penelitian………. 23
1.7.3 Instrumen Penelitian……… 23
1.7.4 Metode Pengumpulan Data………. 23
(5)
2.1 Letak Geografis ……….. 27
2.2 Penduduk dan Adat Istiadat ………. 28
2.3 Kosmologi Masyarakat ……….. 30
BAB III PEMBAHASAN 3.1 Unsur-Unsur Intrinsik Legenda Tao Sipinggan dan Tao Silosung ….. 32
3.1.1 Tema ……… 32
3.1.2 Alur/Plot ………. 34
3.1.3 Latar/setting ………. 39
3.1.4 Perwatakan ……….. 42
3.2 Analisis Sosiologis Legenda Tao Sipinggan dan Tao Silosung…. 47 3.2.1 Tanggung Jawab……….. 48
3.2.2 Pertentangan………. 49
3.2.3 Kasih Sayang ……… 50
3.2.4 Adat istiadat……… 51
3.3 Agama dan Kepercayaan ………... 56
3.4 Pandangan Masyarakat terhadap Legenda ……….. 58
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ………... 60
4.2 Saran ………. 62 DAFTAR PUSTAKA
(6)
ABSTRAK
Dalam penelitian ini, membahas tentang Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung yang terdapat di Kabupaten Humbang Hasundutan di Desa Pargaulan dan Hariara Silaban, sebagai objek penelitian yang penulis laukan untuk memenuhi persayaratan memperoleh gelar Sarjana Sastra di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Skripsi ini di tujukan untuk mencari dan membahas tentang nilai-nilai sosiologi berdasarkan unsur-unsur pembentuk cerita walaupun objek ceritanya belum banyak diketahui masyarakat banyak, maka oleh karena itu penulis mengangkat legenda tersebut menjadi sebuah skripsi agar lebih mengetahui sejauh mana objek tersebut diketahui oleh masyarakat luar.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah membagi menjadi lima bagian yaitu Pendahuluan, yang mencakup latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, manfaat penelitian, anggapan dasar, metodologi penelitian yang dijabarkan atas metode dasar, lokasi penelitian, sumber data penelitian, instrumen penelitian, kepustakaan yang relevan. Kepustakaan yang relevan ini dijabarkan menjadi pengertian sastra , pengertian sosiologi, hubungan sosiologi dengan sastra, dan sosiologi sebagai pendekatan sastra dan yang terakhir adalah teori yang digunakan. Unsur-unsur pembentuk cerita, yang mencakup tema/plot, latar belakang dan perwatakan. Nilai-nilai sosiologis terhadap cerita, yang didasarkan pada unsur-unsur intrinsik yang terdapat pada cerita. Kesimpilan
(7)
dan saran, yang mencakup kesimpulan dari permasalahan yang terdapat pada certia dan saran dari pembaca.
(8)
ABSTRAK
Dalam penelitian ini, membahas tentang Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung yang terdapat di Kabupaten Humbang Hasundutan di Desa Pargaulan dan Hariara Silaban, sebagai objek penelitian yang penulis laukan untuk memenuhi persayaratan memperoleh gelar Sarjana Sastra di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Skripsi ini di tujukan untuk mencari dan membahas tentang nilai-nilai sosiologi berdasarkan unsur-unsur pembentuk cerita walaupun objek ceritanya belum banyak diketahui masyarakat banyak, maka oleh karena itu penulis mengangkat legenda tersebut menjadi sebuah skripsi agar lebih mengetahui sejauh mana objek tersebut diketahui oleh masyarakat luar.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah membagi menjadi lima bagian yaitu Pendahuluan, yang mencakup latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, manfaat penelitian, anggapan dasar, metodologi penelitian yang dijabarkan atas metode dasar, lokasi penelitian, sumber data penelitian, instrumen penelitian, kepustakaan yang relevan. Kepustakaan yang relevan ini dijabarkan menjadi pengertian sastra , pengertian sosiologi, hubungan sosiologi dengan sastra, dan sosiologi sebagai pendekatan sastra dan yang terakhir adalah teori yang digunakan. Unsur-unsur pembentuk cerita, yang mencakup tema/plot, latar belakang dan perwatakan. Nilai-nilai sosiologis terhadap cerita, yang didasarkan pada unsur-unsur intrinsik yang terdapat pada cerita. Kesimpilan
(9)
dan saran, yang mencakup kesimpulan dari permasalahan yang terdapat pada certia dan saran dari pembaca.
(10)
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Sebenarnya sastra adalah pengucapan atau ekspresi jiwa yang paling individual oleh seorang pengarang serta tinggi dan mulia sifatnya. Karya sastra adalah bersifat khusus menggambarkan individu-individu atau wakil-wakil tertentu dalam suatu daerah tertentu pula.
Karya sastra bukan hanya mengungkapkan kenyataan saja melainkan juga nilai yang lebih tinggi dan lebih agung dari sekedar kenyataan-kenyataan hidup misalnya, menceritakan tentang Tuhan. Karya sastra itu sendiri bukan hanya semata tiruan hidup, tetapi merupakan penafsiran tentang alam dan kehidupan. Sastra bagian dari kebudayaan. Artinya sastra dapat digunakan sebagai tempat penuangan ekspresi jiwa. Disamping itu pula sastra mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan oleh pengarang mengenai kehidupan manusia. Berarti sastra itu dapat menampilkan gambaran kehidupan sosial masyarakat. Dengan demikian karya sastra bukanlah suatu uraian-uraian kosong atau khayalan yang sifatnya hanya sekedar penghibur pembaca akan
(11)
lebih arif dan bijak dalam bertindak dan berbuat karena karya selalu berisi masalah kehidupan manusia nyata untuk dijadikan sebagai pedoman bagi diri pembaca.
Etnis Batak Toba adalah salah satu etnis Batak yang ada di Indonesia, etnis ini sudah memiliki kebudayaan dan karya sastra tersendiri. Karya sastra itu umumnya dibagi atas dua bagian yaitu sastra lisan dan sastra non lisan. Sastra lisan merupakan salah satu kekayaan budaya, terkhusus kekayaan sastra karena sastra lisan bisa dijadikan sebagai modal apresiasi sastra, sebab sastra lisan telah membimbing pembaca untuk melakukan apresiasi dan pemahaman gagasan berdasarkan praktik ke lapangan selama berabad-abad. Sastra lisan juga merupakan dasar komuniakasi antara pencipta dan peminat karya sastra. Sebagai salah satu contoh karya sastra lisan Batak Toba ialah legenda. Legenda merupakan cerita yang mengisahkan terjadinya sesuatu yang dapat dilihat kebenarannya dan masih bisa di lihat bukti peninggalannya dan kebenaranya. Dan kebenaran itu diyakini memiliki magic oleh masyarakat penganutnya.
Banyak hal dan nilai-nilai yang di dapatkan dari sebuah legenda, dan nilai-nilai itu dilakukan oleh masyarakat dan di ajarkan secara turun temurun. Misalnya Ledenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung yang mengisahkan dua orang berabang adik yang berselisih karena mamperebutkan sebuah benda
(12)
pusaka titipan orang tuanya, yang akhirnya mereka saling beradu kesaktian sehingga menjadi dua buah Tao (danau) yang diberi nama Tao Sipinggan dohot Tao Silosung. Legenda ini masih dapat di jumpai sampai sekarang dan masyarakat di sekitarnya mempercayai kedua Tao (danau) tersebut memiliki magic dan dianggap keramat. Apabila melakukan aktivitas yang berkenaan dengan kedua Tao tersebut, harus melakukan ritual dan memohon izin kepada guru kunci kedua Tao tersebut.
Melihat dari sedikit penjelasan diatas maka penulis mengangkat judul “Analisis Sosiologis Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung”. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis cerita tersebut biar dapat di ketahui bagaimana unsur intrinsik pembentuk cerita dan nilai-nilai sosial yang terdapat dalam legenda tersebut terhadap masyarakat pemilikya. Hal ini di pandang perlu untuk melakukan penganalisisan dan pengkajian, karena belum pernah di teliti. Berdasarkan latar belakang diataslah yang mendorong penulis memilih judul seperti yang di jelaskan di atas.
1.2.Rumusan Masalah
Menghindari pembicaraan atau pembahasan yang menyimpang dari permasalahan, penulis membatasi masalah agar dapat membahas secara terarah dan terperinci, masalah yang dibahas adalah :
(13)
1. Bagaimana unsur pembentuk Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung yang dilihat dari unsur instrinsiknya ?
2. Nilai-nilai sosiologis apa saja yang terkandung dalam legenda tersebut
1.3.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Memaparkan dan mengetahui unsur – unsur pembentuk legenda dari unsur intrinsiknya.
2. Menguraikan nilai-nilai sosiologis yang terkandung dalam Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung
1.4.Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini daiharapkan bermanfaat bagi semua pembaca terkhusus kepada penulis untuk di jadikan sebagai :
1. Menambah khasanah kajian dan penganalisisan terhadap legenda, cerita rakyat terkhusus pada Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung
(14)
3. Melestarikan dan mendokumentasikan cerita rakyat Batak Toba sehingga tidak terlatar belakangi atau punah.
1.5Kepustakaan Yang Relevan
1.5.1 Pengertian Sastra
Sastra merupakan pengucapan ekpresi jiwa yang paling individual oleh seorang pengarang serta tinggi nilainya. Karya sastra adalah bersifat khusus yang menggambarkan individu atau wakil yang tertentu pula. Dengan kata lain sastra merupakan ungakapan pemikiran seseorang tentang sesuatu hal yang dituang dalam bentuk karya sastra. Sastra tidak dapat didenefisikan secara mendeteil atau secara definitif. ( Luxemburg :1986 : 9 ) mengatakan :
“Sastra bukanlah benda yang bisa kita jumpai, sastra adalah sebuah identitas atau nama dengan alasan tertentu yang diberikan kepada sejumlah hasil dalam suatu lingkungan kebudayaan “.
Hal itu di dasari oleh alasan – alasan sebagai berikut :
1. Sulitnya seseorang menentukan karya sastra untuk mengkategorikan apakah karya sastra tersebut termasuk sastra atau tidak.
2. Sastra didenefisikan di dalam situasi pembaca sedangkan bagi orang lain tidak
(15)
3. Adanya anggapan bahwa sastra terlalu beorientasi kepada sastra luar, sehingga sulit didenefisikan untuk zaman tertentu ataupun lingkungan yang tertentu pula.
4. Kebanyakan defenisi sastra, sedikitnya kurang relevan bila diterapkan pada sastra.
Rene Wellek dan Austin Warren ( 1986 :3 ) mengatakan :
“ Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni “. Maksudnya adalah dari keseluruhan defenisi diatas berdasarkan presepsi masing-masing dan sifat deskriptif, pendapat itu berbeda satu sama lain. Manusia menggunakan seni sebagai pengungkapan segi-segi kehidupan. Ini merupakan suatu kreatifitas bagi manusia yang mampu menyajikan pemikiran dan pengalaman hidup dengan bentuk karya sastra.
Ada yang menyatakan sastra adalah ungkapan eksperesi jiwa yang dimuat dalam bentuk buku yang didalamnya mengungkapkan tentang perasaan manusia yang mendalam dan kebenaran moral dengan sentuhan kesucian, keluasan pandangan yang mempesona. Eksperesi atau ungkapan manusia adalah upaya untuk mengeluarkan sesuatu bakat yang tertanam di dalam dirinya. Bentuk dari diri manusia dapat diekspresikan dalam bentuk karena tanpa bentuk tidak akan mungkin isi dari ungkapan tersebut disampaikan
(16)
utama untuk mengungkapkan karya yang indah. Jadi dengan melihat beberapa pandangan di atas batasan sastra dapat disimpulkan bahwa ungkapan pribadi manusia baik berupa pengalaman, pemikiran, ide keyakinan dan lain sebagainya dapat dilakukan karena menggunakan bahasa sebagai alat.
Berarti batasan yang dimaksud adalah batasan yang bersifat deskriptif yang mencakup semua karya sastra yang bermutu atau tidak dalam suatu zaman.
Sumarjo ( 1991 : 3 ) menyatakan :
Dalam mengungkapkan batasan sastra tersebut ada beberapa unsur batasan yang selau disebut yaitu :
1. Isi sastra yang berupa pikiran, perasaan, pengalaman, semangat, keyakinan, kepercayaan dan lain sebagainya.
2. Ekspresi atau ungkapan. Ekspresi merupakan upaya mengeluarkan sesuatu dari dalam diri manusia. Dapat saja seseorang memiliki pengalaman yang luas, pikiran yang cemerlang, perasaan yang mendalam tetapi selama ia tidak mampu mengekspresiaknya, selama itu pula orang lain tidak dapat mengetahui dan merasakanya.
3. Bentuk. Bentuk sastra dapat diekspresikan kedalam bentuk seni tertentu seperti seni tari, sastra, musik dan lain sebasgainya.
(17)
Berdasarkan batasan tersebut Sumarjo ( 1991:3 ) mendefinisikan sastra sebagai berikut :
“Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, ide, keyakinan dalam bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa”
Defenisi sastra yang diberikan hanyalah bersifat deskripsi saja dan dapat mencakup semua karya sastra yang disebut bermutu atau tidak bermutu dalam suatu zaman. Telah disebutkan bahwa bahan untuk mewujudkan sastra adalah bahasa. Bahasa dalam sastra dapat berwujud lisan dan melahirkan sastra lisan. Tetapi dapat juga berwujud tulisan yang melahirkan sastra lisan.
1.5.2 Pengertian Sosiologi Sastra
Secara etimologi, sosiologi berasal dari dua kata yaitu Socius dan Logos. Socius berarti kawan, dan logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi jika dilihat dari asal katanya, maka sosiologi itu berarti berbicara tentang masyarakat, atau dengan perkataan lain ilmu yang membicarakan tentang masyarakat.
Seorang filosof Prancis yang dikenal juga sebagai ahli sosiologis bernama Aguste Comte telah banyak menulis buku-buku yang merupakan pendekatan dalam meneliti masyarakat. Sehingga demikian penelitian terhadap soal-soal
(18)
Untuk lebih jelasnya tentu tentang apa yang dimaksudkan dengan sosiologi itu, maka di bawah ini beberapa pendapat para ahli. Menurut Van Doorn dan Hammers ( dalam Soekamto, 1990:15) menyatakan, sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur stabil. Selanjutnya menurut Soelo Soemardjan dan Solaeman Soemardi ( 1974:29 ) menyatakan :
“Sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.” Struktur sosial adalah keseluruhan, jalinan antara unsur-unsur sosial ( norma-norma), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial.”
Berdasarkan batasan sosiologi yang telah diutarakan di atas, dalam mengungkapkan memang berbeda, namun suatu hal yang harus dipegang bahwa batasan yang di kemukakan oleh para ahli tersebut tertumpu pada suatu kajian yakni membicarakan masalah-masalah atau gejala-gejala sosial masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai objek penelitian.
Sosiologi disebut sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri karena telah memenuhi persyaratan suatu ilmu pengetahuan yakni :
1. Sosiologi bersifat empiris yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan kepada observasi dengan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif
(19)
2. Sosiologi bersifat teoritis, ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun abstrak dari hasil-hasil observasi tersebut sehingga merupakan kerangka pada unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan untuk menjelaskan hubungan sebab akibat
3. Sosiologi bersifat kumulatif, yang berarti bahwa teori-teori yang sudah ada diperbaiki dan diperluaskan
4. Sosiologi bersifat non-etnis, karena tidak mempersoalkan baik buruk fakta melainkan hanya memperjelaskan fakta
Sosiologi sastra berdasarkan proyeksi bahwa karya sastra merupakan refleksi masyarakat pada zaman karya sastra itu ditulis, yaitu masyarakat yang melingkupi penulis sebab sebagai anggota sehingga penulis tidak terlepas darinya.
Menurut Laurenson (1972) dalam Fananie (2000:133) terdapat tiga perspektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra perspektif yang dimaksud ialah:
1. Perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan.
2. Perspektip yang mencerminkan situasi sosial penulisnya.
(20)
Dalam ilmu sosial tidak ada yang kurang mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan beberapa jumlah manusia yang harus ada, akan tetapi paling sedikit dua orang yang hidup bersama.
Jika manusia berkumpul maka manusia yang baru akan lahir pula. Manusia muncul dapat juga berkomunikasi, membantu, dan berhubungan dalam konteks sosial untuk mencapai keinginan dalam kehidupannya.
Sosiologi dalam kehidupan masyarakat dapat diartikan sebagai ilmu atau kelompok pengetahuan yang sistematis tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya serta peroses pembudayaannya. Ilmu sosiologi dapat dipergunakan masyarakat untuk mencari tentang nilai-nilai sosiologi dalam sebuah cerita maupun legenda dapat diwujudkan untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Seperti yang diuraikan di atas bahwa dalam mencari nilai-nilai sosial dalam sebuah cerita ataupun legenda, dapat dipergunakan sebuah perspektif dari teori sosiologi sastra yaitu perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya .
Persperktif sebagai cerminan status sosial dapat digambarkan bagaimana status sosial penulis dalam situasi legenda itu terjadi, sehingga dapat menyampaikan nilai-nilai sosial yang harus dipahami oleh pembaca terlebih
(21)
mengkisahkan sebuah peristiwa yang terjadi dalam lingkungan masyarakat yang terjadi akibat berbagai macam persoalan misalnya perselisihan adu kekuasaan, akibat melanggar sumpah atau janji (padan), kesalah pahaman dan lain sebagainya.
1.5.3 Hubungan Sastra dengan Sosiologi
Dari penjelasan di atas telah dinyatakan bahwa sosiologi berbicara tentang masyarakat. Sosiologi adalah telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dalam suatu masyarakat. Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan berusaha untuk menyelidiki bagaimana masyarakat tersebut, kelangsungan, dan kelanjutanya. Hal ini juga berhubungan dengan sastra yang juga berurusan dengan manusia sebagai anggota masyarakat.
Menurut Damono (1984:6) mengatakan :
“Sosiologi adalah telaah objkektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimugkinkan, bagaimana ia tetap ada, bagaimana ia berlangsung”
Tentang sastra Damono (1984:6) mengatakan :
“Sastra adalah lembaga sosial yang mempergunakan bahasa sebagai medium, bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam
(22)
paengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang seorang, antara manusia, antarperistiwa yang terjadi dalam bathin seseorang”.
Berdasarkan apa yang dikutip di atas mengenai sosiologi dan sastra maka dapat dikatakan bahwa sosiologi dan sastra memiliki objek yang sama yakni sama-sama berurusan dengan masyarakat. Dalam hubungan inilah terjadi suatu disiplin ilmu yang baru yaitu sosiologi sastra.
Sosiologi sastra bertolak dari pandangan bahwa sastra adalah pencerminan masyarakat.
Atar Semi ( 1984:46) menyatakan :
Sosiologi sastra adalah analisis sosiologi sastra adalah analisis sosiologi terhadap karya sastra. Wellek dan Warren ( dalam Melani Budianta, 1989:11-12) mengemukakan analisis sosiologi sastra mempunyai tiga klasifikasi yaitu : Pertama,adalah sosiologi pengarang, profesi pengarang dan institusi sastra. Yang kedua, adalah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Yang terakhir adalah permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra.sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial, adalah pertanyaan yang termasuk dalam ketiga jenis permasalahan di atas.
(23)
diketahui seluk beluk kehidupan masyarakat. Hal ini sehubungan dengan pendapat Abrams ( dalam Warren, 1988:36), cenderung untuk membicarakan kesusastraan dalam hubunganya dengan masalah-masalah sebenarnya di luar kesusastraan itu sendiri. Ia berpendapat bahwa kesusatraan sebagai satu dengan kehidupan dan melihat kesusastraan sebagai satu cara untuk mengekspresikan atau menciptakan semula pengalaman hidup dalam bentuk kata-kata.
Walaupun sosiologi dan sastra mempunyai hubungan yang erat karena persamaan objek yang dibahas, namun hakekatnya keduanya juga mempunyai perbedaan. Perbedaan tersebut terdapat pada cara meneliti objek yang dibahas.
Damono ( 1984:7) mengatakan :
“Perbedaan antara keduanya ( sosiologi dan sastra ) adalah bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan sastra (novel) menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaanya”.
Adanya analisis ilmiah objektif ini menyebabkan seandainya ada dua orang ahli sosiologi mengadakan paenelitian atas satu masyarakat yang sama, hasil penelitian itu besar kemungkinan menunjukkan persamaan juga. Seandainya dua orang novelis menulis tentang suatu masyarakat yang sama hasilnya cenderung berbeda sebab cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaan itu berbeda-beda menurut pandangan orang-orang.
(24)
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat kita pahami, pendekatan sosiologi lebih bersesuaian untuk dijadikan acuan dalam mempelajari masyarakat. Ini karena sosiologi mengungkapkan masyarakat berdasarkan kenyataan dan sesuai dengan disiplin ilmu yang akan dapat kita pertanggungjawabkan kebenaranya. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa antara sosiologi dan sastra jelas mempunyai persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaanya. Walau sastra sebagai cerminan masyarakat namun sastra tidak dapat berdiri sendiri sebagai fakta yang ilmiah karena membutuhkan pendakatan sosiologi.
1.6Teori Yang digunakan
Teori merupakan hal yang sangat perlu dalam penganalisisan suatu karya sastra yang diajukan sebagai objek penelitian, karena teori adalah landasan berpijak untuk melihat aspek-aspek atau unsur-unsur yang terdapat didalamnya. Dalam menganalisis cerita ini maka penulis menerapkan teori struktural yaitu berupa nilai-nilai sosiologis cerita untuk nilai-nilai sosiologis yang opatimal dari karya sastra yang akan dianalisis.
Teori struktural atau pendekatan struktural sering juga dinamakan pendekatan objektif, pendekatan formal, atau pendekatan analitik. ( Semi : 1989 :67), pendekatan struktur beranggapan bahwa karya sastra terbagi karya
(25)
kreatif memiliki otonomi penuh yang harus di lihat sebagai suatu sosok yang berdiri sendiri terlepas dari hal-hal lain diluar dirinya.
Menurut Semi ( 1989:90 ), pendekatan struktural memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan pendekatan lain karena selain tertumpu pada karya sastra tersebut juga memiliki kriteria sebagai berikut :
1. Karya sastra dipandang dan diperlukan dengan sosok yang berdiri sendiri
2. Memiliki penilaian terhadap keserasian semua komponen dalam membentuk seluruh struktur
3. Kajian struktural adalah mengkaji persoalan, pemikiran, falsafah, cerita pengesahan dan tema.
Dengan demikian pendekatan struktural merupakan titik tolak bagi pendekatan lain dalam usaha memahami karya sastra secara keseluruhan. Dalam pendekatan struktural dibicarakan unsur-unsur pembentuk cerita yang berkaitan erat dengan pendekatan diluar karya sastra.
Unsur-unsur intrinsik yang dimasksud adalah tema, alur/plot, latar/setting dan perwatakan.
1. Tema
Staton (1965:88) tema adalah makna yang dikandung sebuah cerita. Tema juga merupakan gagasan umum yang menopang sebuah karya sastra
(26)
yang terkandung dalamnya yang menyangkut persamaan dan perbedaan. Tema disaraing dalam motif-motif yang terdapat dalam karya sastra.
Dalam sebuah karya sastra baik prosa maupun puisi pasti mempunyai pokok persoalan yang ingin dikemukakan oleh pengarang.
Menurut pendapat Saad ( dalam Zainal, 1979: 23) :
“Tema adalah sesuatu yang menjadi pokok pikiran atau persoalan bagi pengarang, di dalamnya terbayang pandangan hidup atau cita-cita pengarang. Bagaimana ia melihat persoalan yang kadang-kadang disertai dengan pemecahan persoalan itu sekaligus”
Lebih lanjut Sudjiman ( 19784: 74 ) mengatakan:
“ Tema adalah gagasan, ide atau pemikiran utama di dalam karya sastra yang terungkap ataupun yang tak terungkap. Dickinson ( dalam Hasyim, 1990:268 ) secara ringkas menegaskan lagi bahwa tema adalah dasar utama yang ingin di sampaikan dalam sebuah cerita”.
Dari ketiga pendapat di atas, jelas mengungkapkan tema adalah suatu hal yang penting dalam sebuah karya sastra. Tema adalah apa yang ingin diungkapkan oleh pengarang.
2. Alur/Plot
Nama lain dari alur adalah plot. Dalam sebuah cerita alur merupakan satu bagian yang penting. Alur adalah jalinan sebab akibat kejadian dalam
(27)
mengembangkan sebuah cerita. Foster ( dalam Zainal, 1979 ) mengemukakan bahwa :
“Plot merupakan elemen yang menarik dan penting dalam sebuah karya sastra karena untuk mempelajari penyatuan antara tema dan plot”.
Alur atau plot terbentuk dari rangkaian kisah tentang peristiwa-peristiwa yang disebabkan sesuatu dengan tahapan-tahapan yang melibatkan konflik atau masalah.
Dalam kaitan ini, Hassain ( 1988 :255) menjelaskan :
“Plot adalah sesutau yang menghubungkan antara peristiwa dalam sebuah cerita yang rapat pertalianya dengan gerak laku lahiriah dan batiniah watak-watak dalam cerita. Setiap peristiwa dan gerak laku itu dari awal hingga akhir adalah didasarkan kepada hukum sebab akibat. Plot tidak hanya maengemukakan apa yang terjadi tetapi ialah mengapa hal itu terjadi dan dalam hal ini setiap peristiwa adalah berhubungan dan hubungan itu diadakan oleh faktor-faktor sebab akibat”
Menurut S. Tasrif dalam Mochtar Lubis ( 1983 : 17 ) pada kesimpulanya elemen-elemen plot dapat dibagi menjadi beberapa unsur diantaranya :
1. Situation ( situasi )
2. Rising Action ( keadaan mulai memuncak ) 3. Climax ( puncak cerita )
(28)
5. Ending
3. Latar / Setting
Dalam sebuah karya sastra latar memainkan peranan yang sangat penting untuk memberikan suasana kepada peristiwa-peristiwa dan manusia-manusia yang terdapat dalam cerita. Menurut Sumarjo dan Saini, K.M ( 1991:76) menyatakan :
Pemilihan latar (setting) dapat membentuk tema tertentu dan plot tertentu pula.. Setting biasa berarti banyak yaitu tempat tertentu, daerah tertentu, orang tertentu, watak-watak tertentu, akibat situasi lingkungan atau zamanya, cara hidup tertentu dan cara berpikir tertentu”.
Lebih lanjut Sumarjo dan Saini ( 1991:76) juga menjelaskan bahwa setting bukan hanya berfungsi sebagai latar yang bersifat fisikal untuk memuat suatau cerita menjadi logis. Latar juga memiliki unsur psikologis sehingga latar mampu menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasana tertentu yang meggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pembacanya.
Kedua pendapat di atas dapat disimpulkan, latar menjadikan suatu peristiwa dan manusia menjadi konkrit. Penyesuaian antara latar dan watak-watak serta masyarakat ini dipaparkan menjadi suatu karya sastra yang bermutu, dan kelihatan kekreatifitasan dan pengalaman pengarang.
(29)
Dalam Legenda Tao Sipinggan dan Tao Silosung ini, dapat dibagi menjadi dua latar yaitu :
1. Latar tempat
2 Latar waktu atau zaman 3 Latar sosial
4. Perwatakan / Penokohan
Perwatakan atau karakter kadang-kadang disebut juga penokohan. Dalam sebuah karya sastra, alur dan perwatakan tidak dapat dipisahkan. Hal ini adalah disebabkan karena alur meyakinkan watak-watak atau tokoh-tokoh beraksi dan bereaksi.
Pelukisan perwatakan dapat digambarkan secara langsung atau tidak langsung dari tokoh dalam ceriata tersebut. Perwatakan penting karena merupakan puncak atau konflik adalah watak-watak itu sendiri. Hubungan perwatakan dan alur menjadi penting karena perwatakan adalah sifat menyeluruh manusia yang disorot, termasuk perasaan, keinginan, cara bearpikir, cara bertindak, dan sebagainya.
Poerwadarminta ( 1976:1149) menyatakan, perwatakan adalah sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran, tabiat,dan budi pekerti.
(30)
Watak adalah sifat dan ciri yang ada pada seseorang tokoh, dimana kualitas nalar dan jiwanya yang membedakanya dengan tokoh-tokoh lain. Sebagai salah satu unsur sastra perwatakan termasuk unsur yang penting dalam membangun konflik dalam sebuah cerita”
Setiap analisis pengkajian ataupun penelitian memerlukan satu landasan teori. Dalam analisis Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung ini dipergukan landasan teori yang di kemukakan oleh Hartoko (1984; 24) yang mengatakan:
“Yang di teliti ialah hubungan, antara aspek-aspek teks sastra dan susunan masyarakat sejauh mana sistem masyarakat serta perubahanya tercermin di dalam sastra. Sastrapun dipergunkan sebagai sumber untuk menganalisis sistem masyarakat”.
Pendekatan sosiologi sastra bertolak dari pembuatan sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Pendapat di atas memperlihatkan kaitan sosiologi dengan sastra, dan sastra sebagi acuan bagi menelaah masyarakat. Sastra sebagai cerminan masyarakat dapat di buktikan dengan pengkajian yang dilakukan. Damono (1984;45) menegaskan bahwa sosiologi sastra sebagai pendekatan sosio kultural, yaitu karya sastra tidak dapat di pahami secara lengkap apabila dipisahkan dari cakupanya atau kebudayaannya yang menghasilkannya. Hal ini bertepatan seperti yang diungkapkan oleh Awang (1990: 5) yang mengungkapkan:
(31)
“Dari kesusastraan akan terpancar gambaran, keadaan atau corak kebudayaan maksudnya, dari kesusastraan kita dapat melihat cara hidup, pikiran, sikap, dan peradaban masyarakat Batak
Bertitik tolak dari pandangan para ahli di atas, analisis sosiologis sastra dilakukan terfokus dalam memperhatikan tata kehidupan masyarakat yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Namun, unsur-unsur yang membangun karya sastra tidak dapat di pisahkan.
1.7 Motodologi
1.7.1 Metode Dasar
Metode yang dipergunakan dalam penganalisisan ini adalah metode analisis deskriptif dengan teknik penelitian lapangan. Metode ini dilakukan agar dapat menyajikan dan menganalisis data secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat – sifat populasi daerahnya.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini metode yang dipergunakan adalah metode deskriptif. Tujuan metode deskriptif ialah membuat pembahasan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.
(32)
(danau) tersebut kepada masyarakat dan nilai-nilai sosial yang terkandung di dalamnya terkhusus kepada golongna masyarakat yang bermarga Pasaribu dan marga Lubis secara objektif. Penulis melakukan penelitian ini dengan menggunakan pendekatan kualitatif studi kasus yang disesuaikan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang telah di uraikan sebelumnya.
1.7.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dimana sipenulis mengadakan penelitian dan mengumpulkan data. Lokasi penelitian ini adalah di kecamatan Humbang Hasundutan desa Pargaulan dan Desa Hariara Silaban Provinsi Sumatera Utara. Alasan penulis untuk memilih lokasi penelitian tersebut adalah karena penduduknya asli etnis Batak Toba dan juga dikarenakan kedua Tao (danau) tersebut berada di desa Pergaulan terdapat Tao Sipinggan, dan di Desa Hariara Silaban terdapat Tao Silosung, di kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara.
1.7.3 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaan lebih mudah dan hasil yang lebih baik.
(33)
untuk mengumpulkan data yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dikaji.
1.7.4 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data ialah sebuah cara penelitian dalam penyajian, data baik dari tinjauan pustaka maupun penelitian lapangan.
Data dikumpulkan dengan metode:
1. Metode Pustaka, yaitu melakukan penelitian atau pengamatan yang sering di terapkan dengan teknik kepustakan dengan mencari data dari informan.
2. Metode Lapangan ( observasi ) yanga mencakup pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis dengan menggunakan observasi partisipasi, dan wawancara kepada penatua-penatua yang mengetahui sejarah legenda tersebut.
Ditinjau dari pelaksanaannya, wawancara ( interview ) dapat dibedakan atas:
- Interview bebas, artinya bebas melakukan wawancara dan tanya jawab.
- Interview terpimpin, artinya penulis melakukan penyusunan sederetan pertanyaan secara lengkap dan terperinci.
(34)
1.7.5 Metode Analisis Data
Metode analisis data adalah metode atau cara sipeneliti dalam mengolah data yang mentah sehingga menjadi data yang cermat atau akurat dan ilmiah.
Pada dasarnya dalam menganalisis data diperlukan imajinasi dan kreatifitas sehingga diuji kemampuan peneliti dalam menalar sesuatu. Untuk menganalisis data penelitian ini, penulis menganalisis dengan mempergunakan metode struktural, metode analisis taksonomik. Dalam metode struktural penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Data-data yang diperoleh akan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
2. Mengidentifikasi data-data yang diperoleh dari setiap terjemahan 3. Mengambil kesimpulan, sedangkan metode taksonomik, penulis
mempunyai tujuan bahwa hasil analisis yang digunakan sudah terfokus pada satu domain yang akan menghasilkan analisis yang terbatas pada satu domain tertentu.
(35)
BAB II
SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BATAK DESA PARGAULAN DAN HARIARA SILABAN
2.1 Letak Geografis
Daerah kabupaten Humbang Hasundutan terletak di Provinsi Sumatera Utara yang beribukotakan Dolok Sanggul. Kecamatan Lintong Ni Huta adalah salah satu bagian dari Kabupaten Humbang Hasundutan yang memiliki beberapa desa diantaranya adalah Desa Pargaulan, Hariara Silaban, Parulohan, Simanampang, Huta Baris, Huta Bagasan, Pearung, Simarompuompu, Sibatubatu dan lain sebagainya. Jarak Lintong Ni Huta ke Dolok Sanggul kira-kira 52 km dan sensus penduduk diperkira-kirakan 46.750 jiwa.
Desa Pargaulan dari Hariara Silaban diperkirakan berjarak 6 km. Desa Pargaulan memiliki 76 kepala keluarga, dan Hariara Silaban kira-kira 87 kepala keluarga yang menetap.
Kecamatan Lintong Ni Huta terletak dengan batas wilayah : Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Muara
Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Nagasaribu Sebelah Timur berbatasan dengan Dolok Sanggul
(36)
Sumber data yang diperoleh sesuai dengan informasi dari Kantor Camat Lintong Ni Huta.
2.1.2 Penduduk dan Adat Istiadat
Penduduk asli di Desa Pargaulan dan Hariara Silaban kecamatan Lintong Ni Huta adalah suku Batak Toba yang merupakan cabang dari suku Batak seperti Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Angkola/Mandailing, Batak Pakpak/Dairi, Batak Toba.
Suku Batak dewasa ini dalam kehidupan sehari-hari sudah dapat hidup rukun dan saling berdampingan karena mereka sebagai penduduk Batak Toba yang hidup mandiri dan sudah memiliki adat istiadat sebagai satu etnik. Adat istiadat itu dilestarikan dan diturunkan kepada generasi penerus karena dipercayai adat istiadat dapat memberi kebahagiaan.
Mengingat perkembangan zaman dan angka pertumbuhan penduduk di sekitar kecamatan Lintong Ni Huta sudah banyak dijumpai suku di luar suku Batak Toba, tetapi kedatangan suku tersebut tidak saling mengorbankan adat istiadat yang dimilikinya. Dalam masyarakat Batak Toba yang menjadi struktur masyarakatnya adalah pihak-pihak dalam gabungan yang disebut dengan Dalihan Na Tolu dengan ungkapan Somba Marhula-hula, Manat Mardongan Tubu dan Elek Marboru. Dengan falsafah Dalihan Na Tolu inilah
(37)
walaupun di luar upacara adat. Di samping itu juga kesatuan yang dimiliki masyarakat sangat erat dalam berbagai bentuk kegiatan organisasi, seperti dalam pelaksanaan upacara adat masyarakat dari golongan Dalihan Na Tolu mengambil peranya masing-masing. Jadi dari falsafah Dalihan Na Tolu dapat disimpulkan bahwa masyarakat Batak Toba di Kabupaten Humbang Hasundutan adalah masyarakat yang beradat istiadat dan memiliki sifat kebersamaan yang kuat.
Bahasa dan adat istiadat adalah bagian dari kebudayaan dan kebudayaan inilah yang dimiliki oleh penduduk masyarakat Batak Toba. Penduduk di Desa Pargaulan dan Hariara Silaban secara khusus dalam kehidupan sehari-hari adalah memakai bahasa Batak Toba karena bahasa Batak Toba adalah bahasa ibu yang mudah dipahami masyarakat pemakainya. Bahasa ibu yang dimaksudkan adalah salah satu sarana untuk komunikasi yang dapat mengungkapkan perasaan dan pikiran orang terhadap orang lain, terutama untuk mematuhi seluruh peraturan tata hidup masyarakat yang telah dituangkan dalam bentuk budaya. Oleh karena itu, bahasa bagi penduduk daerah setempat merupakan pencerminan hidup. Hal ini terlihat dengan istilah panggilan dalam rangka partuturan yang menjalin rasa persaudaraan demi kelangsungan pergaulan secara tertib.
(38)
upacara adat, kebaktian gereja, rapat penatua adat, dengan kata lain bahasa daerah dipakai dalam membicarakan hal-hal yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama, dalam percakapan sehari-hari termasuk dalam sastra lisan dan tulisan.
2.1.3 Kosmologi Masyarakat
Masyarakat di Humbang Hasundutan, seperti Desa Pargaulan dan Desa Hariara Silaban adalah suku Batak Toba, walaupun suku yang tinggal disekitarnya di luar suku Batak Toba tetapi sudah mengakui dirinya suku Batak Toba, hal itu dikarenakan suku-suku yang ada saling mendukung dan saling menjaga nilai-nilai adat istiadat yang di milikinya. Masyarakat ini juga mempunyai bentuk adat istiadat yang dijaga dan dilestarikan secara turun temurun misalnya upacara pernikahan, kematian, ritual, Horja Bolon dan lain sebagainya. Upacara ritual misalnya sampai sekarang masih dilakukan dengan waktu yang tidak ditentukan. Upacara ritual dilakukan pada tahun 2004 di tempat Tao Sipinggan dohot Tao Silosung untuk meminta izin kepada roh leluhur Sahangmaima dan Datu Dalu untuk membangun tugu sebagai tanda perkampungan dan sebagai tanda bahwa kedua Tao tersebut milik dari Sahangmaima dan Datu Dalu. Segala sesuatu dalam upacara adat istiadat dilakukan tanpa menambah dan mengurangi proses jalanya upacara ritual yang dihadiri oleh seluruh keturunan Sahangmaima dan Datu Dalu yang kebanyakan
(39)
Sebagai pertanyaan yang muncul dalam masyarakat di luar marga Pasaribu dan marga Lubis adalah kenapa disekitar kedua Tao tersebut tidak ada dihuni oleh marga Pasaribu di sekitar Tao Sipinggan dan marga Lubis disekitar Tao Silosung. Namun menurut data yang diperoleh penulis mendapatkan jawaban bahwa setelah Datu Dalu dan Sahangmaima beradu kesaktian sebelumnya keturunanya sudah meninggalkan tempat tinggalnya sehingga marga Pasaribu dan marga Lubis bersebar ke seluruh Tapanuli Utara. Marga Pasaribu bersebar disekitar kabupaten Tobasa di desa Hau Na Atas, Sipultak dan Dolok Sanggul, sedangkan marga Lubis bersebar ke Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Tetapi kedua Tao tersebut tidak bisa diambil oleh marga lain, mereka masih mengakui bahwa Tao tersebut adalah milik marga Pasaribu dan marga Lubis walaupun yang bermukim disekitar Tao Sipinggan dohot Tao Silosung bukan marga Pasaribu tetapi kebanyakan marga Silaban, dan Sihombing.
(40)
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Unsur – Unsur Intrinsik Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung
3.1.1 Tema
Tema yang dipaparkan dalam Legenda Tao sipinggan dohot Tao Silosung ini adalah tema keegoisan mendatangkan perselisihan. Yaitu perselisihan antara Sahangmaima dan Datu Dalu. Keduanya saling menaruh dendam dan benci dikarenakan Tombak Jambar Baho yang dipinjam oleh Sahangmaima dari Datu Dalu. Kebencian yang ada dalam diri Sahangmaima ketika menunjukkan rasa tanggung jawab dan menawarkan ingin menggantikan Tombak Jambar Baho dengan menempa menyerupai aslinya, tetapi Datu Dalu tidak mengizinkanya. Sebaliknya Datu Dalu menaruh dendam dan benci kepada Sahangmaima dikarenakan Sahangmaima menuntut kepada isteri Datu Dalu tentang daun pisang yang diambil ketika mengambil air untuk persiapan pesta Datu Dalu.
Ini jelas terlihat dalam kutipan di bawah ini :
‘Molo tung songoni do pandokmu, ahu pe gantionhu doi tumiru rupana naso jadi manambai dohot mangorui songon dia rumangni Hujur Jambar Baho i na sasintongna’.
(41)
“ Aku akan mengganti Tombak Jambar Baho dengan menempa kembali seperti wujud aslinya. Itu tidak boleh, harus Tombak Jambar Baho kembali, karena apa yang dipinjam harus itu pula yang dikembalikan” kata Dalu”
Kebencian yang ada pada diri Datu Dalu, terlihat dalam kutipan sebagai berikut :
‘Sude na i diboto si Datu Dalu do angka napinangido ni roha ni Si Sahangmaima di tingki manopot ripeni si Datu Dalu na mangidohon asa di paulak bulung ni pisang na binuat ni suruan ni si Datu Dalu ditikki ro udan laho mangalului aek jala na so jadi malos dohot ingkon songon na parjolo i do baenonna’.
‘Hal itu diketahui oleh Sahangmaima dan pergi menemui isteri Datu Dalu untuk meminta pertanggung jawaban agar daun pisang yang diambil dari ladangya dikembalikan dengan bentuk semula, dan tidak boleh layu’.
Berdasarkan kutipan di atas memperjelas tentang tema keegoisan yang mendatangkan perselisihan antara Sahangmaima dan Datu Dalu di ikuti dengan keteguhan janji yang diungkapkan sebelum melakukan kegiatan yang berhubungan dengan Tombak Jambar Baho.
(42)
3.1.2 Alur / Plot
1. Situasion
Setiap pada permulaan cerita, pembaca akan diperkenalkan terlebih dahulu tentang permulaan terjadinya sebuah kisah atau dapat dikatakan pengantar kepada cerita. Pada latar aksi dipaparkan tentang terjadinya cerita, perkenalan watak-watak dalam cerita itu.
Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung pada latar aksi memulakan kisah mengenai niat Sahangmaima untuk meminjam Tombak Jambar Baho dari Datu Dalu.
Ceritanya tombak yang dipakai Sahangmaima tidak berhasil mengusir babi hutan yang merusak tanamanya, Sahangmaima berpikir dan berniat untuk meminjam Tombak Jambar Baho dari saudaranya Datu Dalu. Hal itu didukung oleh kutipan berikut :
‘Sahangmaima na maringan di Sipultak parngoluonna partani na utusan do alani ringgas ni rohana mula-ulaon. Disuani ma angka gadong dohot angka na asing mansai godang jala tung denggan do antong suansuanani di pature-ture ibana. Alai nagabe mangarsak rohana ala sai habis do sude di pangan aili dohot disegai porlaknai. Nungga dibahen angka angkal naing mamburu aili I alai jotjot do dang adong lapatanna alana aili I dang boi mate
(43)
pikkiranna laho mamakke Hujur Jambar Baho na tiniop ni hahana Si Datu Dalu’.
‘Sahangmaima yang bertempat tinggal di Sipultak, kehidupanya adalah bertani. Karena semakin rajinya ladangnya banyak ditanami berbagai macam tanaman seperti ubi kayu, pisang dan lain-lain. Hal yang menjadikan perasaanya menjadi kecewa adalah ladangnya habis dimakan dan dirusak oleh babi hutan. Sahangmaima sudah berusaha untuk mengusir babi hutan tersebut dengan berbagai macam cara tetapi hasilnya sia-sia karena babi hutan yang ditombaknya tidak berhasil dipergunakan untuk berburu, sehingga dia berniat untuk meminjamkan Tombak Jambar Baho dari saudaranya Datu Dalu’.
Latar aksi ini juga memperkenalkan kepada watak utama yaitu Sahangmaima dan Datu Dalu dan bagimana akhirnya mereka beradu kesaktian.
‘Nungga dibahen ho sada uhum na denggan di ho, molo sogoni roham i patolhas ma tu ahu ai ndang ripekku dongan mu marsingir , alai nang pe songon I pandokmu molo sintong do i di roham ahu dohot sude pomparanhu talu ma hami disi, alai molo ho do na sala hamu sude pomparanmu ingkon mate ditumpahi sahal ni ompunta na parjolo i’.
‘ Engkau telah membuat hukum tersendiri, rasa dendam dan sakit hatimu adalah kepadaku, bukan kepada isteriku. Jika hukum itu benar kami akan
(44)
kalah tetapi jika hukum itu salah berarti engkau dan seluruh keturunanmu akan mati disaksikan oleh roh leluhur kita’.
2. Rising Acation
Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung ini terus berjalan dari persoalan yang dibentangkan kepada perkembangan selanjutnya.
Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut :
‘Dung sadia leleng so dipaulak Sahangmaima Hujur Jambar Baho, roma Datu Dalu mangido, di dokma : “ Boasa songon i lelengna tioponmu hujur i, ai ugasan hatopan do i.
Olo tutu do i, ai holan hauna nama dison !, tarihut do anggo matana ni hujur I tu aili nahupantom i,hupatopahon pe singkat ni mata ni hujur i, ninna Sahangmaima.
Alai didok Datu Dalu ma : Ah, ndang boi songon i, ingkon matani hujur i do mulak. Adat ni paminjamon, ingkon barang na ni injamidopaulakonmu’.
‘Setelah sekian lama tidak dikembalikan Sahangmaima Tombak Jambar Baho, datanglah Datu Dalu meminta kembali dan berkata : Mengapa begitu lama engkau memegang Tombak Jambar Baho itu adalah barang pusaka kita’.
(45)
‘Ya, itu memang benar, tetapi tinggal hanya kayu gagang tombak itu yang ada, mata tombak ikut terbawa babi hutan yang kutombak tersebut, tetapi aku akan menggantikanya dengan menempa kembali seperti tombak Jambar Baho yang asli “ jawab Sahangmaima’.
Datu Dalu menjawab : “ Itu tidak boleh, harus mata tombak itu yang kembali,. Adat meminjam jika barang yang dipinjam harus itu pula yang dikembalikan”.
3. Klimaks
Klimaks disini dimaksudkan tahapan-tahapan peristiwa-peristiwa yang mulai mencapai puncaknya. Klimaks dalam Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung ini adalah Sahangmaima yang menuntut haknya kepada siteri Datu Dalu agar daun pisang yang diambil dari ladang Sahangmaima dikembalikan dengan wujud semula tanpa layu. Dari tuntutan itu Datu Dalu menjadi marah dan menawarkan untuk beradu kekuatan karena hukum tersendiri yang dibuat oleh Sahangmaima.
Klimaks terus memuncak dengan terjadinya perkelahian antara Sahangmaima dan Datu Dalu. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut :
‘Dungi masa ma parbadaan ni Si Datu Dalu dohot Si Sahangmaima rap patuduhon parbinotoan ni nasida, alai ndang sdong na talu dohot na monang
(46)
Si Datu dalu ma Losung dompak huta ni Si Sahangmaima, jala Si Sahangmaima pahabangkon
Pinggan martomu ma diginjang jala martada huhut madabu ma tu tano gabe manjadi ma dua tao’.
‘ Setelah itu mereka beradu kesaktian. Perkelahian itu seimbang tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang selama tujuh hari tujuh malam. Sehingga Datu Dalu menerbangkan lesung ke perkampungan Sahangmaima dan Sahangmaima mealemparkan piring ke perkampungan Datu Dalu keduanya saling membentur dan jatuh ke tanah maka terjadilah kedua perkampungan tersebut menjadi dua Tao’.
4. Ending ( penyelesaian )
Ending adalah penutupan pada akhir kisah Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung. Penyelesaian pada kisah legenda ini diakhiri dengan terjadinya dua Tao yang menjadikan perkampungan Sahangmaima menjadi Tao Silosung dan perkampungan Datu Dalu menjadi Tao Sipinggan.
Hal ini tergambar dalam kutipan sebagai berikut :
‘Alana parbinotoan ni Si Datu Dalu dohot Si Sahangmaima sarupa gogona, tubu tu rohana naing pahabang sada alat na boi manghancurhon huta nasida be ima Losung dohot Pinggan na jumadihon dua tao ima Tao
(47)
‘Karena ilmu yang dimiliki Sahangmaima dan Datu Dalu sama-sama sakti, Sahangmaima melemparkan piring dan Datu Dalu melemparkan lesung, lesung dan piring saling membentur dan jatuh ke tanah maka terjadilah dua buah Tao’.
Kisah perselisihan ini juga berkahir dengan terjadinya dua buah Tao dan sampai sekarang ini kedua Tao tersebut tidak dapat disatukan. Hal itulah yang menyebabkan semua keturunan Datu Dalu dan Sahangmaima tidak ada bertempat tinggal disekitar kedua Tao tersebut, semua keturunanya bersebar keseluruh penjuru tanah Batak
3.1.4 Latar ( Setting )
Pemilihan latar (setting) dapat membentuk tema tertentu dan plot tertentu pula. Setting biasa mencakup tempat tertentu, daerah tertentu, orang tertentu, watak-watak tertentu, akibat situasi lingkungan atau zamanya, cara hidup tertentu dan cara berpikir tertentu
Dalam Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung ini, dapat dibagi menjadi tiga latar yaitu :
- Latar tempat
- Latar waktu atau zaman - Latar Sosial
(48)
1. Latar Tempat
Latar tempat dipandang dari sudut geografis, dimana kejadian itu berlaku menyangkut nama-nama tempat. Legenda Tao Sipinggan dohot Tao silosung ini berlatarkan tiga tempat yaitu Perkampungan Pulungan Tua Lobutala Hariara Silaban, Perkampungan Datu Dalu di Lobisipinggan Pargaulan dan perkampungan penghuni Banua Tonga di Parhorboan. Ketiga perkampungan ini adalah tempat watak-watak dari Sahangmaima, Datu Dalu, Si Boru Jau dan Penghuni Banua Tonga.
Hal ini di dukung kutipan berikut :
‘Datu Dalu dohot hahana Sahangmaima ima tubu ni Datu Pompang Balasaribu anak ni Rimbang Saudara. Datu Dalu maringan di parhutaan Lobutala Humbang, jala Sahangmaima maringan di parhutaan Lobisipinggan Humbang. Alai anggo Si Boru Jau maringanan di banua toru di parhutaan Parhorboan Sipultak’.
‘Datu Dalu dan Sahangmaima adalah keturunan Datu Pompang Balasaribu anak pertama dari Rimbang Saudara. Datu Dalu bertempat tinggal di perkampungan Labutala Humbang, dan Sahangmaima bertempat tinggal di perkampungan Lobisipinggan Humbang. Sedangkan penghuni Banua Tonga
(49)
2. Latar Waktu dan Zaman
Uraian tentang Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung jelas merupakan nama-nama tempat, dan zaman terjadinya suatu peristiwa. Latar yang terdapat dalam legenda ini menghidupkan kembali suatu peristiwa pada zaman itu.
3. Latar Sosial
Latar Sosial menyaran kepada hal-hal yang berkaitan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, spritual, dan lain sebagainya. Latar sosial juga baerhubungan dengan status sosial tokoh yangbersangkutan misalnya, rendah, menengah, atau golongan atas.
Latar sosial yang menyebabkan terjadinya cerita ini adalah kehidupan masyarakat Batak toba yang bermarga Pasaribu dan bermarga Lubis yang sudah mempunyai aturan, ciri khas dan karakter masing-masing. Maka dapat dibayangkan bagaimana kehidupan di kedua perkampungan Lobisipinggan dan Lobutala ini. Karena kedua perkampungan tersebut tidak jauh berbeda dengan kebudayaan Batak Toba.
(50)
3.1.5 Perwatakan
Perwatakan atau karakter kadang-kadang disebut juga penokohan. Dalam sebuah karya sastra, alur dan perwatakan tidak dapat dipisahkan. Hal ini adalah disebabkan karena alur meyakinkan watak-watak atau tokoh-tokoh beraksi dan bereaksi.
Pelukisan perwatakan dapat digambarkan secara langsung atau tidak langsung dari tokoh dalam cerita tersebut. Perwatakan penting karena merupakan puncak atau konflik adalah watak-watak itu sendiri. Hubungan perwatakan dan alur menjadi penting karena perwatakan adalah sifat menyeluruh manusia yang disorot, termasuk perasaan, keinginan, cara berpikir, cara bertindak, dan sebagainya.
Perwatakan dalam Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung ini digolongkan kedalam beberapa kelompok yaitu :
1. Sahangmaima 2. Datu Dalu
3. Penghuni Banua Toru
Walaupun di dalam Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung ini merangkumi watak-watak tersebut tetapi hanya watak-watak penting yang akan dibicarakan dalam skripsi ini.
(51)
1. Watak Sahangmaima
Sahangmaima adalah anak tertua dari Datu Dalu keturunan Tuan Balasaribu yang mempunyai watak yang rendah hati, cerdik, mau mengakui kesalahan dan berani bertanggung jawab.
Watak dari Sahangmaima dapat dilihat dalam beberapa kutipan berikut : ‘Di tikki na di Banua Toru si Sahangmaiama, dipangoluma sada manuk na mate na binahen ni Si Boru Jau i. Didokma, hupangolupe manukon alai paboa ma tu ahu adong do madabu tuson aili na hona tullang jala mata ni hujur ido na hulului’.
‘Waktu Sahangmaima di Banua Tongah, dihidupkanlah seekor ayam yang mati karena perbuatan Si Boru Jau, dan meminta agar Si Boru Jau menunjukkan dan memberitahukan apabila ada seekor babi hutan yang jatuh dari Banua Tongah karena yang melukainya adalah Tombak Jambar Baho dan itulah yang aku cari disisni’.
Selanjutnya :
‘Dung dipatudu Si Boru Jau i boru-boru na marsahit i didokma: “Boi do ubatanhuon, alai ndang boi berengon ni manang ise hami tingki namarubat on. Alai lehon ma jolo tikki tu ahu laho mangubatai dohot sada bilut na holip sian angka pamerengan ni jolma’.
(52)
‘Setelah ditunjukkan Si Boru Jau manusia seperti yang dicarinya tersebut, saat itu juga dia menawarkan jasanya untuk mengobati wanita itu dengan syarat agar diberi waktu, kamar selama masa pengobatanya dan tidak bisa dilihat orang lain’.
2. Watak Datu Dalu
Datu Dalu adalah anak paling bungsu keturunan Tuan Balasaribu yang memiliki watak mau menang sendiri dan tidak mengenal belas kasih terhadap saudaranya Sahangmaima.
Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut :
‘Ditikki di pangidohon Si Sahangmaima laho mangganti Hujur Jambar Baho tu haha na i dang dilehon angka na pinangido na i, jala didokma tu si Sahangmaiama na so jadi gantionmu Hujur i alai ingkon i do mulak muse, aha na pininjam laos i do paulakon . Sikkat ni i molo ndang paulakonmu sude angka arta ingkon di ahu dohot sude angka pomparanmu na gabe suru-suruanhu dohot ripem gabe tangga ni jabukku’.
‘ Apa bila engkau tidak mengembalikan Tombak Jambar Baho dengan bentuk semula dan tidak bisa diganti, maka seluruh hartamu akan saya ambil dan seluruh keturunanmu kujadikan sebagai pembantu isterimu
(53)
3. Watak Siboru Jau
Siboru Jau adalah salah satu penghuni Banua Tongah yang memiliki karakter yang berani dan rendah hati. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut :
‘ Dung di urupi Si Sahangmaima Si Boru Jau laho pangoluhon manuk na mate dibahen na i , di paboa ma tu Sisahangmaima ala adong do di luatna i sada boru-boru natarbasir na madabu sian banua tonga, jala laos dipabotohon mai tu sude jolma na mangingani banua toru. Alai pinabotohon ma tu ho, ianggo di luaton adong do sada boru-boru namabugang sian banua tonga, ia boru-boru i dang songon jolma na somal alai boi do ibana paganti-ganti dirina laho mangulahon si ulaonna tarlumobi manangko ugasan ni halak’.
‘Setelah Sahangmaima bersedia membantu Si Boru Jau dengan menghidupkan kembali ayam tersebut, maka si Boru Jau memberitahukan kepada sahangmaiama seorang wanita yang luka parah akibat duri yang menempel di tubuhnya, dan wanita itu bukan seperti manusia biasa karena mampu menyerupai apapun jika melakukan pekerjaanya terutama untuk mencuri barang orang lain, aku yakin bahwa tombak yang engkau cari adalah duri yang melekat ditubuhnya dan babi hutan itu adalah wanita tersebut’.
(54)
4. Penghuni Banua Toru
Penghuni Banua Toru, dalam kisah ini tidak menyebutkan tentang gambaran kehidupan serta asal usul masyarakatya yang bertempat tinggal di Banua Toru, tetapi menurut ceritanya bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Batak Toba dan kehidupan masyarakatya adalah sama seperti manusia yang bertempat tinggal di Benua Tongah. Penghuni Banua Toru mempunyai karakter yang berbeda pula. Seperti seorang perempuan yang menolong Sahangmaima yang bernama Siboru Jau ketika mencari tombak Jambar Baho. Demikian juga tentang watak pihak keluarga wanita yang sakit akibat tombak Jambar Baho yang awalnya menawarkan ketulusan hati kepada Sahangmaima tetapi dibalik itu ada maksud lain untuk membunuh Sahangmaima agar mendapatkan taoar dan ilmu yang di milikinya.
Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut :
‘Hape tubu ma dipingkiran ni parboru i songon on ; “ Pinagan ma Sahangmaima on asa binuat taoarna I’.
‘Tetapi tumbuhlah niat dalam pikiran ayah dari perempuan yang sakit tersebut : Aku akan memakan Sahangmaima agar mendapatkan ilmu yang dimilikinya’.
(55)
piak-pihak yang terkait di dalamnya, seperti dalam Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung yang melibatkan dua marga yaitu marga Lubis dan marga Pasaribu yang sampai sekarang ini tidak dapat bersatu.
3.2 Analisis Sosiologis Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung
Berdasarkan tinjauan dari unsur-unsur intrinsik pada bab tiga, dapatlah dianalisis nilai-nilai sosiologis Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung dengan menggunakan pendekatan sosiologis tanpa menghilangkan konteks sastra karena tidak terlepas dari unsur-unsur karya sastra tersebut.
Dalam karya sastra ini lebih menekankan kepada pembahasan nilai-nilai sosiologis maka objek bahasanya adalah intraksi ( aksi ) dari para tokoh-tokoh cerita tersebut sehingga menghasilkan nilai-nilai sosiologis yang terdapat dalam karya sastra itu sendiri. Awang ( 1990: 5 ) .
Nilai-nilai sosiologi dalam legenda ini antara lain :
3.2.1 Tanggung Jawab
Pertangungjawaban merupakan kesediaan melakukan sesuatu kewajiban yang harus dilakukan, hal tersebut adalah sesuatu yang bersumber dari situasi yang dihadapi walaupun hal tersebut bukan direncanakan sebelumnya.
(56)
1. Tanggung Jawab kepada kepercayaan untuk penitipan sesuatu. Hal itu terlihat ketika Sahangmaima meminjam Tombak Jambar Baho untuk dipakai berburu babi hutan yang merusak tanamanya. Datu Dalu memberikan Tongkat Jambar Baho kepada Sahangmaima dengan sebuah perjanjian agar Tombak Jambar Baho dikembalikan dengan baik sesuai dengan batas waktu yang ditentukan. Apa bila Tombak Jambar Baho hilang maka semua keturunan Sahangmaima dijadikan sebagai pembantu di perkampungan Datu Dalu. Tanggung jawab akan kepercayaan yang dimaksudkan adalah agar Sahangmaima hati-hati mempergunakanya dan menjaganya sesuai pesan yang disampaiakan Datu Dalu.
2. Tanggung jawab Sahangmaima dengan keterlambatan pengembalian Tombak Jambar Baho dengan rendah hati memohon kepada Datu Dalu agar Tombak Jambar Baho digantinya dengan semua harta bendanya. 3. Tanggung Jawab Sahangmaima dengan usaha dan kerja keras mencari
Tombak Jambar Baho ke Banua Toru tempat jatuhnya babi hutan yang ditombaknya dengan Tombak Jambar Baho.
Pertentangan
(57)
paham, dendam dan lain sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari pertikaian dapat merugikan dari pihak yang berselisih, walaupun terkadang salah satu pihak yang bertikai mendapat sedikit keuntungan, tetapi secara umum pertikaian itu adalah luapan emosional dari satu orang dengan orang lain karena kesalahan ataupun batasan emosional melebihi dari kesabaran yang dimilikinya.
Dalam legenda ini ada beberapa sebab dan akibat dari pertentangan antara lain :
1. Permohonan Sahangmaima kepada Datu Dalu ketika Tombak Jambar Baho hilang dibawa babi hutan yang jatuh ke Banua Tongah dengan menggantikanya menempa kembali sebuah tombak yang menyerupai Tombak Jambar Baho.
2. Sebagai ganti dari Tombak Jambar Baho, Sahangmaima
memberikan segala harta bendanya untuk mengantikan Tombak Jambar Baho
3. Kekerasan hati Datu Dalu yang tidak mengabulkan permohonan dari Sahangmaima untuk mengganti Tombak Jambar Baho
4. Sahangmaima menuntut kepada isteri Datu Dalu daun pisang yang di ambil dari ladang Sahangmaima tanpa memberitahukanya dengan bentuk semula tanpa daun pisang
(58)
5. Rasa tersinggung yang dimiliki Datu Dalu ketika mengetahui Sahangmaima menuntut sesuatu kepada isterinya karena menurut Datu Dalu, hal itu bukan berurasan kepada isteri tetapi kepada dirinya.
Kasih Sayang
Kasih sayang adalah perasaan senang dan suka kepada seseorang baik kepada lawan jenis ataupun sesama jenis. Kata sayang juga dapat diartiakan sebagai kasihan, merasa rugi menyerah atau tidak ikhlas. Sayang dapat diartikan sesuai dengan situasi yang dialami seseorang. Misalnya, kasih sayang seseorang kepada kekasihnya dengan tulus ikhlas rela berkorban untuk kebahagiaan pasanganya. Demikin juga dengan kasih sayang orang tua kepada anaknya.
Dari pendapat itu dapat disimpulkan bahwa perasaan sayang, kasih kepada seseorang terhadap orang di sekitar lingkunganya atau kasih terhadap sesama, saudara dan lain sebagainya.
Dari awal cerita tentang kasih sayang belum memperlihatkan dari para tokoh-tokoh secara terperinci. Tetapi dalam legenda ini ada kasih sayang yang dimiliki oleh para tokoh-tokoh yaitu kasih sayang Sahangmaima kepada keluarga dan seluruh keturunanya. Sahangmaima mencari Tombak Jambar
(59)
Baho ke Banua Tongah agar keluarga dan keturunanya tidak menjadi buruh Datu Dalu.
Adat istiadat
Dalam Legenda Tao Silosung dohot Tao Sipinggan ini hanya menyebutkan beberapa adat istiadat yan dimiliki masyarakat pada masa peristiwa itu terjadi. Adat istiadat itu adalah :
1. Adat Berbicara
Adat berbicara dalam Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung ini didapati dari setiap pembicaraan para tokoh. Setiap tokoh lebih banyak mempergunakan bahasa perumpamaan seperti pada saat Sahangmaima di datangangi Datu Dalu untuk meminta kembali Tombak Jambar Baho. Dalam Hal itu terdapat dalam kutipan :
‘Adat ni paminjamon, ia barang na niinjam ba laos ido paulahon. Adat ni ompunta ro di amanta : Aek na litok tingkiron tu julu, hori na rundut tingkiron tu rompean. Ndada sisik nilangkophon, imbulu sinuanhon”. Hudokpe songon i, manang dia pandokmu singkat silehononhu, olo do ahu, asal unang marbadai hita’.
(60)
‘Adat dalam hal meminjam adalah jika sesuatu barang dipinjam, maka barang yang seperti itu pula yang dikembalikan. Adat itu sudah diwariskan sampai kepada orang tua kita : Air yang keruh, kita melihat ke hulu,benang yang berbalut dilihat tempat gulunganya. Bukan kulit ditutupkan, bulu ditanamkan”. Kukatakanpun demikian, apapun yang engkau katakan, ganti rugipun pasti aku berikan, asal diantara kita tidak terjadi perselisiahan’.
Adat berbicara dapat juga menunjukkan nilai kesopanan kepada seseorang antara laki-laki dengan perempuan, antara yang tua dengan yang muda bagi masyarakata Batak Toba. Misalnya, inang yaitu sebutan atau panggilan kepada perempuan yang sudah dewasa ataupun yang sudah tua oleh laki-laki maupun perempuan dengan melihat konteks status sosialnya.
Dalam legenda ini dapat dilihat dalam kutipan berikut :
‘Jadi didok Sahangmaima ma tu panduda i : ‘ Ale inang, molo dipatuduhon hamu na hulului on, tarpangolu ahu do manuk na binunumuna i!’.
‘Jadi Sahangmaima pun berkata : “O Ibu, jikalau engkau menunjukkan apa yang aku cari ini, akan kuhidupkan kembali ayam yang terbunuh ini’.
(61)
‘O ale amang, tung na jahat do i, tarbahen ido rupana mimbarimbar laho manangko suansuanan ni halak, i pe disi do hujurmi”, ninna boruboru i’.
‘O Bapak, itu sangat jahat, dia dapat melakukan apapun merubah wujudnya supaya dapat mencuri tanaman orang lain, mungkin tombak yang engkau cari ada disana’.
2. Pardongan Sabutuhaon ( kerabat semarga )
Adat Dongan Sabutuha adalah bagian dari adat istiadat Dalihan Na Tolu bagi kehidupan masyarakat Batak Toba. Dalihan Na Tolu tersebut memiliki tiga kelompok besar yang mempunyai peranan masing-masing dalam adat istiadat masyarakat Batak umumnya dan Batak Toba khususnya. Ketiga kelompok yang dimaksud adalah Hulahula, Dongantubu ( dongan sabutuha ) dan Boru.
Dalam Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung ini adat dalam dongan parsabutuhaon diharapkan saling tolong menolong, saling pengertian dan tidak saling merugikan satu sama lain. Tetapi pertikaian dan perselisihan tidak dapat terpikirkan oleh masyarakat penganutnya kapan terjadi dan apa yang menyebakan perselisihan itu terjadi, akibatnya hubungan antara kaum semarga dapat terputus dan saling menyimpan unsur dendam dan saling membenci . Hal
(62)
Sahangmaima dengan rendah hati mengharapkan Datu Dalu dapat mengabulkan permintaanya dengan maksud menggantikan Tombak Jambar Baho dengan cara menempa kembali seperti Tombak Jambar Baho yang hilang terbawa babi hutan ke Banua Toru. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut :
‘Aut sura pe i, boi do singkatan na so disi. Hudok pe songon , manang dia pe pandokmu singkat silehononhu olo do ahu, asal ma unang marbada hita. Adat ni pardongan sabutuhaon : “ Ijur tarbirsak, pat tardege, tongka masipaihutihutian”, ninna Sahangmaima’.
‘Walaupun demikian, itu dapat aku buktikan bahwa yang aku katakan itu benar. Aku mengatakan demikian, apapun yang engkau katakan untuk menggantikanya, akupun bersedia asalkan kita tidak bertengkar dan ada perselisihan. Adat bagi kaum semarga : “ Air ludah terburai, kaki terpijak, tidak baik untuk saling menuduh dan saling beradu kesakatian”, kata Sahangmaima’.
3. Adat Beperang ( adu kesaktian )
Dalam Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung ini apabila terjadi peperangan atau adu kesaktian dimulai, tahap awalnya dilakukan tawar menawar dan saling menantang ilmu yang dimiliki sebelum bertanding. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut :
(63)
mago, ba laos songon na binahenmi do na hubaen tu ho, gabe sogo roham. Uhum sintong do I pandok mi, juap ( ndang talu ndang monang ) hita manguji. Alai anggo geduk nabinahenmu talu maho jala tullangon ni hujur buaton ni bodil. Tangi ma pangkuling ni ompunta sisada pinggol on, na tangis so apuloan na maila so dapotaon on!’.
‘Yang engkau katakan itu tidak baik, sudah disampaikan oleh leluhur kita : Jika kita menanm duri, duri yang kita dapatkan. Tidak bisa diganti yang hilang dengan apapun, itulah yang yang kulakukan kepadamu, engkau jadi sakit hati. Hukum yang benarkah yang engkau buat itu, kita lihat ( tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang ) mari kita beradu kesaktian. Jikalau hukum yang engkau buat itu salah, engakau akan ditkam tombak dan ditembak dengan senjata.mudah-mudahan leluhur kita mendengarkan yaitu dengan telinga satu tak berhenti menangis dan tidak mempunyai rasa malu’.
Agama dan Kepercayaan
Agama atau Religion, yang disebut juga religi dalam bahasa Indonesia-Belanda merupakan suatu yang menjadi pegangan bagi umat manusia. Religi berasal dari kata latin “ relogo “ yang berarti memeriksa kembali, menimbang-nimbang, merenungkan keberatan hati nurani.
(64)
1. Kepercayaan kepada Tuhan Yang Esa dan sifat-sifat serta kekuasaan Tuhan dan pemerimaan ajaran dan perintahnya yang disebut dengan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Kepercayaan kepada sesuatu dewa dan lain-lain ( yang dipuja dan sebagainya dan dianggap sebagai sesuatu yang amat berkuasa).
Dari pendapat di atas, yang menguraikan tentang agama yang menjadi panutan setiap manusisa bahwa tidak dapat dinafikan bahwa manusia itu mempunyai naluri beragama dan suka memikirkan hal-hal ketuhanan.
Nilai ini akan tumbuh dan berkembang apabila akal pikiran manusisa telah maju serta wawasan berpikirnya semakin luas. Sampai pada kondidi ini, manusia dapat berpikir tentang dirinya, tentang kejadian alam dan tentang keindahan yang ada disekelilingnya.
Melalui pembahasan ini, akan dapat dilihat tentang keagamaan dan kepercayaan masyarakat waktu itu. Agama dan kepercayaan dalam Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung ini jelas memperlihatkan pengaruh agama Hindu yang sifatnya menyembah dengan bentuk ritual. Realitas ini akan mencoba mengungkapkan dengan cara menghubungkan sumber sejarah dan karya sastra yang dihasilkan khususnya Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung ini yaitu menyangkut keadaan masyarakat Batak Toba sebelum
(65)
Melihat dari penganalisisan Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung ini lebih menekankan bentuk kepercayaan animisme yang mengungkapkan tentang kepercayaan kepada roh leluhur dan masih mengenal Ompu Mulajadi Na Bolon sebagai Tuhan mereka. Mengenal tentang benda-benda gaib atau bertuah juga merupakan sebuah fakta nyata bagi masyarakat disekitar lokasi legenda ini seperti Tombak Jambar Baho misalnya menurut keturunan dari Datu Dalu dan Sahangmaima adalah benda pusaka titipan orang tuanya yang memiliki ilmu magic dan hidup dan mampu digunakan untuk memberikan kehidupan bagi masyarakat penganutnya. Disamping itu juga Tombak Jambar Baho dapat digunakan sebagai pagar kampung untuk menangkal penyakit dan ajian dari sekitarnya.
Tao Sipinggan dohot Tao Silosung menurut ceritanya tidak dapat disatukan walaupun dengan berbagai cara, apabila itu dilakukan maka pihak yang menyatukan itu akan mati. Dan sampai sekarang ini masyarakat di luar marga Pasaribu dan Lubis juga mempercayaai nilai magic dari kedua Tao tersebut.
Pandangan Masyarakat Terhadap Legenda
Setiap manusia atau msyarakat mempunyai sistem lapisan masyarakat. Lapisan ini wujud dari suatu organisasi yang di miliki masyarakat itu sendiri
(66)
Na tolu sebagai pengontrol sosial masyarakat khususnya masyarakat Batak. Setiap suku atau etnis yang mempunyai kebudayaan tertentu adalah hasil ciptaan masyarakat itu sendiri. Kebudayaan yang ada dalam masyarakat misalnya, adat istiadat, karya sastra yang terdiri dari cerita, legenda, pantun dan lain sebagainya. Misalnya legenda yang dimiliki oleh masyarakat penganutnya adalah salah satu kisah yang harus diketahi dan di jaga serta diajarkan secara turun temurun kepada generasi berikutnya.
Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung adalah legenda yang dipercayai dari dua marga yaitu Lubis dan Pasaribu. Dari legenda tersebut dapat digambarkan karakteristik secara psikologi sikap dan laku kedua marga. Sampai sekarang kepercayaan bahwa kedua Tao tersebut tidak dapat disatukan dan kisah ini sudah diketahui mulai dari awal sampai selesai dan sudah mendapatkan amanah atau nilai-nilai sosial yang dijadikan sebagai pedoman dan tantangan dalam khidupan.
(67)
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung secara khusus memaparkan tentang kisah perselisihan antara Sahangmaima dengan Datu Dalu yang diawali dengan niat Sahangmaima meminjamkan Tombak Jambar Baho dari Datu Dalu untuk berburu babi hutan. Kemudian di ikuti dengan babak berikutnya tentang Datu Dalu meminta kembali Tombak Jambar Baho yang sudah lama tidak dikembalikan oleh Sahangmaima, petualangan, adu pendapat dengan tuntutan, perselisihan, perkelahian yang menjdikan dua buah Tao. Dari kisah ini ada beberapa nilai-nilai sosiologis yang turut dipaparkan dalam Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung. Berikut beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil analisis :
1. Sebagai sebuah hasil dari sastra Batak, legenda ini menjadi salah satu kebanggaan dan pembelajaran dari marga Lubis dan Pasaribu tentang perselisihan Sahangmaima dengan Datu Dalu yang menjadikan Tao Sipinggan menjadi Tao dari marga Pasaribu dan Tao Silosung untuk
(68)
2. Latar tempat atau geografi setting yang terdiri dari perkampungan Silobi Sipinggan, Lobutala Humbang Hasundutan membuktikan antara realitas dan imajinatif yang dihubungkan.
3. Kepercayaan tentang penganut animisme tentang mistik, mantra sebelum menerima agama Kristen dan Islam menguatkan realitas pemikiran masyarakat Batak yang dipaparkan dalam Legenda Tao Sipinggan dohot Tao Silosung terkhusus kepada masyarakat yang bermarga Pasaribu dan marga Lubis
4. Penyesuaian yang dicoba melakukan sesuatu dengan menggunakan Ompu Mulajadi Na Bolon dalam pembacaan mantra terlihat penyesuaianya dalam melakukan adat istiadat Batak
5. Nilai-nilai sosiologi yang ada dalam legenda ini secara garis besar dapat terdiri dari :
a. Tanggung jawab b. Pertentangan c. Kasih Sayang d. Adat istiadat e. Kepercayaan
6. Perwatakan dari tokoh-tokoh dalam Legenda Tao Sipingan dohot Tao Silosung yaitu :
(69)
a. Datu Dalu :Tidak mengenal belas kasih, mau menang sendiri b. Sahangmaima : Rendah hati, bertanggung jawab, tidak ingkar
janji
c. Siboru Jau : Berani, rendah hati d. Penghuni Banua Toru : Jahat
4.2 SARAN
Karya sastra merupakan hasil karya seseorang yang dibuat dalam bentuk buku dengan mempergunakan kata-kata yang indah. Tetapi sebenarnya dapat dikatakan bahwa terlalu sedikit diantara kita yang benar-benar meminati tentang cerita, naskah, dan lain-lain karena ada tanggapan negatif seperti mengatakan karya sastra lama mengandung mitos, dongeng, legenda dan tidak memanfaatkan dengan baik untuk membaca apa sebenarnya tujuan dan nilai-nilai yang diungkapkan di dalamnya.
Pembahasan terhdap karya sastra lama ini agak rumit karena bidang ini menuntut ketabahan dan kesabaran dari kita. Untuk hal-hal itu tersebutlah penulis menyarankan :
1. Usaha-usaha untuk mengkaji karya sastra dan meneliti untuk menjaga agar tidak terbelakangi
(70)
2. Pengakajian perlu dilakukan mengingat hal ini akan memungkinkan dapat dijadikan bahan perbandingan serta mendapat gambaran tentang karya sastra untuk mengembangkan pemikiran dan pemahaman tentang penulisan skripsi ini.
3. Sebagai manusia yang berbipikir, kepekaan terhadap perkembangan dan perubahan yang berlaku adalah tanggung jawab kita, karena itu kita harus peka pada perkembangan hasil kesusastraan Batak.
(71)
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syah 1993 Dasar-Dasar Penelitian. Medan USU Pers Awang. 1990 : 5 Sosiologi Sastra
Damono. S. Djoko. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta Danandjaya. 1994 Folklor Indonesia. Jakarta grafiti Pers
Faluk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta. Gramedia Hartoko, Dick.1984 Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta. Gramedia
Hutagalung. WM Pustaha Batak. Tulus Jaya 1991
Janus Umar. 1986. Sosiologi Sastra Pedoman dan Metode. Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan Sastra
Lubis, Mochtar 1981. Teknik Mengarang, Jakarta : PT. Kurnia Esa Luxemburg Van Jan, 1992. Pengantar Ilmu Sastra.
PT. Garamedia Pustaka Utama Poerwadarminta. 1976. Teori Struktural
Sudaryanto 1982 Metode Penelitian. Jakarta. Gratina Sumarjo, 1991 Sosiologi Sastra
Sinaga, Richard. Silsilah Marga-Marga Batak. Jakarta. Dian Utama Sinaga, Richard. Kamus Batak Toba-Indonesia. Jakarta. Dian Utama Soemardjo. Saini. 1991. Teori Struktural
(72)
Staton.1965. Sosiologi Sastra
Teew. A. 1988 Sastra dan Ilmu Sastra ; PT. Dunia Pustaka Jaya Semi. 1989. Pengantar Sosiologi. Gramedia. Jakarta
Wellek, Rene dan Warren Austin, 1986. Teori Kesusasteraan. Jakarta. PT: Gramedia
(73)
Lampiran I
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Op. Sanggam Pasaribu
Umur : 82 tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Sipultak – Parhorboan
2. Nama : R. Br. Nababan Umur : 60 tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Sipultak – Parhorboan
3. Nama : G. Pasaribu Umur : 87 tahun Pekerjaan : Petani Alamat : Pohan Jae
4. Nama : Peter Pasaribu Umur : 72 tahun Pekerjaan : Petani
Alamat : Sipultak - Parhorboan
5. Nama : A. Br. Sihombing
Umur : 71 tahun
Pekerjaan : Petani
(74)
Lampiran II
HAJAJADI NI TAO SIPINGGAN DOHOT TAO SILOSUNG
Datu Dalu dohot Sahangmaima
Ianggo Datu Dalu maringanan do di huta Lobutala Humbang, huta Lobisipinggan Humbang do inganan ni Sahangmaima.
Dipauli Sahangmaima ma sada porlak, disuan ma di porlakna i gadong. Alai ro ma aili mangugei gadong i, ala ni i diinjam ma sada hujur sian Datu Dalu ima Hujur Jambar Baho, ia hujur i hujur hamitan ni ompu nasida do i. Dinalaho mangalehon hujur i Datu Dalu, didokma : “ Tung naso jadi mago hujur i, molo ma go do i, singkat na angka artam gabe di ahu, pomparanmu na gabe surusuruanhu, ripem na gabe tangga ni jabukku”.
Dungi dipantomhon Sahangmaima ma hujur i tu na mangugei gadong i, hona ma pargisihan ni aili i, laos lohot ma mata ni hujur i disi, alai tinggal do anggo totoranna
( hauna).
Mangihuthon baritana ianggo aili i maporus do tu banua toru jala laos lohot do mata ni hujur i di daging ni aili i.
Dung leleng sodipaulak Sahangmaima hujur , ro ma Datui Dalu mangido, didokma : boasa songon i lelengna ioponmu hujur i ? ai ugasan hatopan do i !
‘ Olo tutu do i, alai holan hauna nama dison !, tarihut do anggo matana tu aili na hupantom i. hupatopahon nama singkat ni mata ni hujur i ‘ ninna
(1)
Alai didok Datu Dalu ma : “ Ah, ndang boi songon i, ingkon mata ni hujur i do mulak. Adat ni paminjamon, ia i barang na pininjam, ingkon barang i do paulakon !. Asa ingkon hujur na pininjammi do paulahonmu”.
“ Adat ni ompunta rodi amanta : Aek na litok tingkiron tu julu, hori na rundut tingkiron tu rompean “, ba ndada toishu mangagohon humjur i, na hurang momos hian do. Ba aut sura pe i, boi do singkatan na so disi !. Ndada sisik nilangkophon, imbulu sinuanhon ho tu hau. Hudokpe songon i, manang dia pandokmu singkat selehononhu, olo do ahu asal unang marbada hita. Adat ni pardongan sabutuhaon ; Ijur tarbirsak, pat tardege, tongka masipaihutihutan”,ninna Sahangmaima. “ Ndang boi singkat, ingkon hujur i do paulakonmu”, ninna Datu Dalu.
Dung i sai marsak ma roha ni Sahangmaima ala so boi jumpang mata ni hujur i di rohana, ai nungga diboan aili i tu toru.
Alai dihara ma angka donganna mambuat hotang tu tombak. Dung godang hotang i, i ma dibahen nasida tali tantan ni Sahangmaima tu banua toru. Dung sahat ibana rodi banu atoru, ditopot ma sada huta na adong disi laho ma ibana hundul tu sopo na adong duhuta i.
Adong ma boruboru pangisini huta i namargoar si Boru Jau manduda di jolo ni sopo i. alai roma manuk mamarguti eme ni boruboru i, gabe ditullanghon boruboru i ma andaluna tu manuk i, hona ma jala pola magotap rungkung ni manuk i.
(2)
“ Denggan ! Alai manukkon ma singkat na tu ho, ai namangolu do singkat ni namangolu, “ ninna panduda i. “ Ndang ale, ingkon manuki do mulak mangolu tu ahu “ ninna nampuna manuk i.
umbege i marsak ma roha ni panduda i gabe mangalualu ma ibana tu Sahangmaima. Ala ni i asi ma roha ni Sahangmaima. “ Songon arsak ni rohangku do arsak ni rohana,” ninna rohana di bagasan.
Jadi do dok si Sahangmaima tu panduda i : “ Ale inang, molo dipatuduhon hanu na hulului on, tarpangolu ahu do manuk na binunumuna i !”
“ Ba aha mahroha ?” ninna boruboru i.
Jadi disok Sahangmaima ma : “ Hupantom aili di banua tonga laos tarihut mata ni hujur tu aili i, on pe molo diida hamu i paboa hamu ma!”
“ Adong do amang boruboru mabugang di jabu an, na ro sian banua tonga, sai peak do ibana jala laos lohot dope disi basir di bugangna i nuaeng.” Ninna boruboru i.
“ Ndang jolma da inang na hutullang i, alai aili do,” ninna Sahangmaima. “ O, ale amang, tung na jahat do i. tung tabahen i do rupana mimbarimbar laho manangko suansuanan ni halak, i pe disi do hujurmi,” ninna boruboru i.
“ Ba beha ma bahenonta inang, mambuat i ?” ninna Sahangmaima.
“ Ba pangolu ma jolo manuk na mate on, idaon ni amani na mabugang i ma gabe donghononna ma hamuna mangubati boruna i”.
tongon tahe ninna roha ni Sahangmaima, gabe dibahen ma taoarna taoar pangabangabang taoar pangubungubung, sipangolu naung mate siparata naung
(3)
busuk tu manuk i, jadi mulak mangolu ma manuk i. dipaulak boru pandud i ma manuk i tu nampunasa.
Dung tarbarita ma hadatuon ni Sahangmaima di sandok banua toru, gabe di bege amani na mabugangi ma i. dijou ma Sahangmaima mangubati boruna na mabugang i.
Jadi dipareso Sahangmaima ma na mabugang i, nungga polpol mata ni hujur i di bugangna i. bornginna i ditogihon ma na mabugang i tu lambung ni lubanglkubang, asa enetonna mata ni hujur i di rohana. Dipaula dipadekdekhon pulungpulungan ni ubat ni namabugang i, jala sai disuru ma isi ni jabu i mangalap tu bara , asa unang adong marnida enetonna mata ni hujur di rohana. Andorang di toru pangisi ni jabu i, dienet ma matani hujur i jala laos disolothon tu gontingna. Dipatuduhon ma tandiang nasuman tu mata ni hujur i tu parbotu i, huhut ma didok ; “ ah, na torbang do ganjang ni suga on, leak do songon i hansit dihilala !”. jala las ma roha ni parboru i, ai malum ma di rohana bugang ni boru na i.
Hape tubu ma tupikkiran ni parboru i songon on : “ Pinangan ma Sisahangmaima on asa binuat taoar na i.”
Alai mamoto do rohani sahangmaima di tahi ni roha ni parboru i. jadi andorang nok matana, hehe ma Sahangmaima jala mijur tu toru, alai diboan ma sipusipu jala dipaula ma mangalului pulunpulumgan. Dung i dirahuthon ma sipusipu i tu ihur ni babi na modom di bara ni jabu i.laho muse ma Sahangmaima tu alaman, dipajongjong am disi gaol suman ni jolma. Ditali ma borongborong jala ditambathon tu harbangan ni huta i, dipambahen ma dohot rambangrambang.
(4)
Dung tarsunggul amani boruboru i, dipareso ma jabu i, hape ndang didibe Sahangmaima. Mijur ma ibana tu toru mangalului, diida ma adong api di bara jadi didapothon ma tusi, ai dirimpu do disi sahangmaima. Ditampulhon ma podangna, hape babi do hona laos mate. Dibereng tu alaman diida jonjong disi, jadi dilojong ma i jala ditampulhon podangna, pintor peak ma na tinampulna i, jala manigor diharat ala ni murukna, alai ngalingali do ai batang ni gaol do i antong.
Dibegema parngungung ni borongborong dingkan harbasngan jadi didapothon ma tusi, ai dirimpu ma i Sahangmaima ; gabe maralitan ma ibana tu rambangrambang i. asa angkal ni sahangmaima do na binahenna i, unang sanga eahan ni parboru i ibana di rohana.
Sian jut ni roha ni parboru i, diboan ma pitu asuna mangeahi sahangmaima, alai nungga dao ibasna manjangkit, jado dijou parboru i ma ibana, didok ma : “ Ale Sahangmaima, paima ahu, adopng do saotik sidohononku tu ho !”
Umbege i, dipagogo Sahangmaima ma manjangkit. Dung lam jonok panheahi i, digotap Sahangmaima ma hotang panjakitanna i dingkan toruna, jadi matosma jala gabe madabu ma pangeahi i rap dohot asuna na onom i. alai adong do sada sian asuna i na margoar Sampagatua sanga do na manaek tu ginjang. Mangihuthon ni parturiturian, asu i do mangutahon sahit sampusampu di banua tonga on. i do alanan umbahen tardipainumhon halak mudar ni biang nabarui sineat tu halak na sampusampuon.
Ia dung sahat Sahangmaima ro di hutana, dipaulak ma mata ni hujur i tu datu Dalu. Alai sai gotos do rohana di pambahenan ni Datu Dalu.
(5)
Dipusian ni ari, dibahen Sahangmaima ma porlakna di lambung dalan ni Datu Dalu, disuani ibana ma gaol di porlak i.
Di na sadari, marhorja ma Datu Dalu, jadi dihara niolina donganna mangalap aek, tar holang do mual i sian huta i. alai dinamulak nasida sian pangalapan ni aek i, pintor roma udan, ditinggang ma na sida. Jadi dibuat nasida ma bulung gaol ni Sahangmaima, bahen saong ni nasida.
Diboto Sahangmaima do , gabe ditopotma niolini Datu Dalu, didokma : “ Paulak bulung ni gaolhi tu pambuatanna, alai ndang jadi malos, ingkon sumuang do songon partubuanna hian !” Didok Sahangmaima ma huhut : “ ndang boi singkat aili ni na mago, ia mas binuat ingkon mas do paulahon”.
Jadi didok Datu Dalu ma ; “ Ba, ia da ba, sumuan bulu do ho dilapanglapang ni babi, umpungka na so uhum mangulahon na so jadi. Ia i parsingiran, i do nian partungguan! Ahu do alom, alai tu ina do naing sudolhononmu. Molo uhum na sintong do i juap ma hita manguji ( masibodilan ), alai molo na gurgur do i ( malobihu ) sian uhum, lompo sian patik, ho na ripe talu ai ripe monang hami tumpahon ni ompu parsadaanta i”.
“ Ba na so patut do ba pandokmi, ai didok ompuna sijolojolo tubu do : Ia duri sinuan, duri do topoton. Ho do na mandok, ndang boi singkat ni ali ni na mago, laos songon na binahenmido na hubahen tu ho, gabe sogo roham. Uhum na sintong do i pandok mi, juap ( ndang talu ndang monang ) hita manguji. Alai anggo geduk na nabinahenmu talu ma ho jala tullangon ni hujur buaton ni bodil. Tangi ma pangkuling ni ompunta sisada pinggol on, na tangis so apuloan maila so
(6)
Dungi masibodilan ma nasida pitu ari pitu borngin , juap do ndang adong na talu. Dipahabang Datu Dalu ma Losung tu huta ni Sahangmaima, jala Sahangmaima dipahabang ma aek ni Tabutabu dibagasan pinggan dompak huta ni Datu Dalu. Martaha ma i diginjang andorang so sahat tu tano. Dung madabu tu tano i gabe manjadi ma dua tao. Ima na ginoaran Tao Sipinggan tao ni Datu Dalu na mampomparhon marga Pasaribu dohot Tao Silosung ima tao ni Sahangmaima na umpomparhon marga Lubis.
Di dok barita : Rasirasa nuaeng, molo biniat aek i sian ambar na dua i, jala binahen tu sada hudon, gunsang do ala maralo jasla na padomuhon i gabe mate. Asa marbingkas sian parsalisian ni nasida i ma gabe marserak pinomparna na sahat tu Desa Na Ualu di saluhut Tapanuli Utara.