Andy Raihan Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Putusan Hakim Dalam Perkara Perceraian Nomor: 214/Pdt. G/PA. Bgr.)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan menurut Hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 1 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan nrumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Perkawinan juga ‘aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. 2 Sebagaimana firman Allah SWT:                                Artinya: “Maka bolehlah kamu menikahi perempuan yang kamu pandang baik untuk kamu, dua atau tiga atau empat, jika kiranya kamu takut tidak dapat 1 A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Qalbun Salim, 2005. 2 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta: Attahiriyah, 1976, cet. Ke-17, h. 355. berlaku adil diantara mereka itu, hendaklah kamu kawini seorang saja”. Q.S. An-nisa: 3 Tujuan dari sebuah perkawinan adalah terbentuknya keluarga yang bahagia, kekal dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini dapat terwujud jika suami isteri saling memahami serta melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing sebagai upaya membangun sebuah keluarga. Kewajiban antara suami dan isteri harus dimaknai secara timbal balik yang artinya bahwa kewajiban suami adalah merupakan hak isteri dan sebaliknya yang menjadi kewajiban bagi isteri merupakan hak dari pada suami. 3 Keluarga harmonis dan tentram tidak akan terwujud jika terjadi kelalaian atau kesengajaan baik dari pihak suami maupun isteri, dengan tidak menunaikan kewajiban ini akan berakibat terlantarnya salah satu pihak atau keduanya. Suami isteri harus saling bertanggung jawab untuk saling memenuhi kebutuhan pasangannya untuk membangun keluarga harmonis dan tentram. 4 Kehidupan rumah tangga bertujuan menuju ridho Allah SWT. Suami dan isteri harus saling melengkapi dan bekerja sama dalam membangun rumah tangga yang harmonis menuju derajat takwa. Allah SWT berfirman di dalam surat At-Taubah:       3 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 1986, cet. Ke-2, h. 96. 4 Muhammad Thalib, 20 Rahasia Ikatan Kejiwaan Suami Isteri, Bandung: Irsyad Baitus Sala, 2001, cet. Ke-1, h. 46. Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain”. Q.S. At-taubah: 71. Dan firman Allah SWT di dalam surat An-nisa ayat 19:                                       Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. Q.S. An-nisa: 19. Ayat di atas merupakan seruan kepada para suami agar mereka mempergauli isteri-isteri mereka secara ma’ruf. Menurut At-Tabari, ma’ruf adalah bersikap adil dalam giliran dan nafkah; memperbagus ucapan dan perbuatan. Ayat ini juga memerintahkan menjaga keutuhan keluarga. Jika ada sesuatu yang tidak disukai pada diri isterinya, selain zina dan nusyuz, suami diminta bersabar dan tidak terburu-buru menceraikannya. Sebab, bisa jadi pada perkara yang tidak disukai, terdapat sisi-sisi kebaikan. 5 Islam sebagai agama yang mengatur urusan vertikal dan horizontal telah mengatur urusan perkawinan dengan seksama. Urusan perkawinan ini merupakan suatu urusan yang tentu secara ilmiah dibutuhkan oleh manusia. Sebagai agama yang memberi rahmat maka Islam harus responsif dengan kebutuhan manusia. Allah Yang Maha Indah sengaja menciptakan manusia secara berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan sebagai salah satu bagian dari romantika kehidupan. Supaya romantika kehidupan ini semakin indah dan agar hubungan laki-laki dan perempuan mampu menyuburkan ketentraman, cinta dan kasih sayang serta kedamaian maka Allah menetapkan suatu ikatan suci yaitu perkawinan. 6 Perkawinan adalah suatu ikatan yang suci, ia merupakan suatu persatuan jiwa dan hati, dan harus padu dan aman. Kata cerai harus dibuang jauh- jauh dari kamus masyarakat. Seorang suami dan seorang isteri yang terikat dalam 5 Farid Ma’ruf. 2007, Pandangan Islam Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga. httpbaitijannati.wordpress.com, diakses 29 November 2014. 6 Didik Abdullah, Bila Hati Rindu Menikah, Yogyakarta: Pro U Media, 2005, h. 23. suatu perkawinan harus meyakini bahwa mautlah yang akan memisahkan mereka. 7 Dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, merumuskan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang kekal dan berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Perkawinan dalam hukum perdata diartikan sebagai pertalian yang dilakukan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang cukup lama. 8 Dari rumusan perkawinan tersebut di atas jelaslah bahwa perkawinan itu tidak hanya ikatan lahir atau ikatan batin saja akan tetapi kedua-duanya. Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama-sama sebagai suami isteri. Ikatan lahir ini merupakan hubungan formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengingatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sedangkan perkawinan sebagai ikatan batin merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama sebagai suami isteri, ikatan batin ini tercemin dari adanya kerukunan suami isteri yang bersangkutan. Terjalinnya ikatan lahir dan batin ini merupakan dasar dalam membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal. 9 7 M. Muhyidin, Perceraian Yang Indah: Membongkar Fenomena Kawin Cerai Selebritis, Yogyakarta: Matahari, 2005, h. 42. 8 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Intermasa, 1983, cet. Ke-1, h. 23. 9 Riduan Syaharani, Perkawinan dan Perceraian, Jakarta: Media Sarana Putra, 1987, h. 12. Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk selamanya sampai wafatnya salah seorang suami isteri, inilah sebenarnya yang dikehendaki dalam Islam. Salah satu azas perkawinan adalah monogami tawahhud al-zawj. Perkawinan dilakukan atas prinsip kerelaan al-taraadli, kesetaraan al- musaawah, keadilan al-adaalah, kemaslahatan al-maslahat, pluralisme al- ta’addudiyyah, dan demokratis al-diimuqrathiyyah. 10 Namun dalam keadaan tertentu terdapat hak-hak yang menghendaki putusnya perkawinan, dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan akan menimbulkan ke mudharatan yang akan terjadi. 11 Dalam azas perkawinan yang ada juga ditekankan untuk mempersulit terjadinya perceraian artinya mempertahankan rumah tangga dengan cara yang baik, apabila terpaksa melepaskannya dengan cara yang baik pula sebagaimana Firman Allah SWT:         Artinya: Jika mereka bercita-cita hendak menceraikannya maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Q.S. Al-Baqarah: 227. 10 Tim Pengarustamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaruan Hukum Islam, Jakarta, 2004, h. 36. 11 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003, cet. Ke-I, h. 124. Meski diperbolehkan untuk bercerai, tetapi hal itu suatu perbuatan yang paling dibenci oleh Islam karena akan menghilangkan kemaslahatan antara suami isteri. 12 Saat masalah yang sudah ada tidak dapat diselesaikan dengan upaya perdamaian maka Islam memberikan solusi dengan dibolehkannya perceraian. Cerai atau putusnya perkawinan dapat terjadi atas kehendak suami ataupun kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian, sehingga proses perceraiannya pun berbeda. 13 Perceraian atas kehendak suami disebut cerai thalaq, dan perceraian atas kehendak isteri disebut cerai gugat. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang ada pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. 14 Kekerasan adalah tindakan dan serangan terhadap seseorang yang kemungkinan dapat melukai fisik, psikis, dan mental, serta menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan. 15 12 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Beirut: Dar al-Kitab al-Farabi, 1973, cet. Ke-2, h. 9. 13 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, cet. Ke-I h. 206 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Visimedia, 2007, cet. I, h. 68-69. 15 Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaharuan Dalam Islam, h. 35. Salah satu masalah yang terjadi adalah masih berkembangnya budaya kekerasan yang terdapat dalam kehidupan rumah tangga KDRT kebanyakan dilakukan oleh suami dan sebagai korbannya isteri. Allah SWT berfirman:                                              Artinya: “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka laki-laki atas sebahagian yang lain wanita, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.Q.S. An-Nisa:34. Dalam surat An-nisa ayat 34 diatas, Allah menjelaskan tentang kedudukan suami sebagai pemimpin keluarga dan juga menjelaskan tentang kewajiban isteri untuk mentaati suami. Jika ternyata dalam relaita terjadi nusuz dari pihak isteri terhadap suami dengan tidak mengindahkan kewajiban- kewajiban yang harus dipenuhinya, maka Islam mengajarkan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh suami sebagai pemimpin untuk mengarahkan isteri kembali ke jalan yang benar. Kata dorb dalam surat An-Nisa ayat 34 tidak bisa dijadikan rujukan dan diterjemahkan secara harfiah dengan memukul, tetapi harus diterjemahkan sesuai dengan penjelasan ayat dan hadist secara komprehensif sesuai norma syariah. Karena dalam persepsi Islam, maksud dari institusi perkawinan dalam bentuk rumah tangga sangatlah mulia. Selain mengikuti Sunnah Nabi dan mengembangbiakkan keturunan, juga untuk membina keluarga sakinah, mawaddah, rahmah, mahabbah, dan harmonis. Maka dari itu, menghina, menganiaya atau memukul isteri bukan hanya kontraproduktif dengan tujuan perkawinan, tetapi juga melanggar prinsip dasar HAM. 16 UU 71998 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, UU No. 232002 tentang perlindungan anak, UU No. 232004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 212007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang 16 Sofjan S Siregar, Fikih Mawaddah, Dosen Islamic University of Europe Rotterdam, Ketua ICMI orwil Eropa. adalah bukti perubahan konstruktif bagi penghapusan KDRT. Penghapusan KDRT dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan pada umumnya selanjutnya menuntut jaminan implementasi dan operasionalisasi yang lebih konkrit sehingga deretan pasal dalam berbagai perundang-undangan tersebut tidak menjadi pasal bisu yang tidak mampu melimpahkan keadilan bagi perempuan. Tugas aparat penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, advokat, dan pendamping adalah memastikan bahwa perundang-undangan itu bisa dijalankan. 17 Idealnya sebuah kehidupan berumah tangga adalah untuk hidup rukun bahagia dan tentram, namun sebuah perjalanan hidup tidak selamanya mulus sesuai dengan apa yang diharapkan, terkadang aral datang lebih pagi untuk menghantam keyakinan diri dan goyahkan dinding baja nurani sehingga muncullah perbedaan pandangan dalam memahami kehidupan dan pertengkaran diantara suami isteri yang merasa tidak nyamanan tentram lagi dengan perkawinan mereka. Pada hakikatnya, seseorang yang melakukan akad pernikahan adalah saling berjanji serta berkomitmen untuk saling membantu, menghargai dan menghormati pasangannya, sehingga tercapailah kebahagiaan dan cita-cita yang diinginkan. Tujuan pernikahan tertera pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. 18 Kasus gugatan cerai yang diajukan ke Pengadilan Agama akibat pelaku melakukan KDRT terus menerus juga menjadi salah satu kasus yang 17 Faqihuddin Abdul Kodir, Ummu Azizah Mukarnawati, “Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, Jakarta, Komnas Perempuan, h. 2. 18 Amir Syarifuddin, “Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Serta Kompilasi Hukum Islam”, Jakarta: Departemen Agama RI: Dirjen, Bimas dan Penyelenggara Haji. didokumentasikan oleh Komnas Perempuan. Beberapa tahun belakangan ini, dorongan terhadap Pengadilan Agama agar lebih sensitif terhadap gugatan cerai dengan alasan KDRT yang terus menerus terjadi semakin menguat Komnas Perempuan 2008. Adapun gugatan cerai yang diajukan oleh seorang perempuan korban KDRT dalam kasus terdokumentasi, tidak cukup membuat majelis hakim tergugah untuk melihat lebih jauh gugatan tersebut. Persoalan tambah lainnya adalah hak-hak perempuan atau mantan isteri dan hak-hak anak pasca perceraian tidak memiliki daya paksa untuk menekan mantan suami agar menunaikan kewajiban hukum mereka. 19 Adapun alasan-alasan perceraian yang dibenarkan diatur pada pasal 19 PP No. 9 Tahun 1974 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam pasal 116. 20 Bila hubungan pernikahan itu tidak dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi kemudaratan, maka Islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian. Dengan demikian, pada dasarnya perceraian atau thalaq itu adalah sesuatu yang tidak disenangi yang dalam istilah Ushul Fiqh disebut makruh. 21 Ikatan perkawinan harus 19 http:www.komnasperempuan.or.id diakses pada tanggal 24 Januari 2012. 20 Amir Syarifuddin, “Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Serta Kompilasi Hukum Islam”, Jakarta: Departemen Agama RI: Dirjen, Bimas dan Penyelenggara Haji. 21 Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”, Jakarta: Kencana 2006, h. 199. dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, bisa bertahan dengan bahagia sampai ajal menjelang dan bisa juga putus di tengah jalan. 22 Pengadilan agama adalah salah satu institusi penegak hukum yang sangat berhubungan dengan penegak berbagai perundang-undangan di atas. Meskipun untuk kategori kejahatan atau tindak pidana tetap menjadi kewenangan pengadilan negeri, tetapi laporan tahunan komnas perempuan yang salah satunya dihimpun dari pengadilan agama, menunjukkan bahwa pengadilan agama pintu pertama terkuaknya berbagai kekerasan dalam rumah tangga yang sebelumnya tertutup rapi di tengah rumah tangga. Karena itu, meskipun tidak langsung mengadili tindak pidananya, pengadilan agama memiliki peranan strategis dalam menguak peristiwa kekerasan yang terjadi. 23 Institusi Peradilan Agama sebagai bagian dari sistem hukum nasional memiliki kontribusi penting dalam mempengaruhi dan membentuk praktik dan kebiasaan yang terjadi dalam hubungan antar laki-laki dan perempuan. Hal ini karena hampir semua kompleksitas persoalan relasi antar laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami isteri adalah bagian pokok dari kompetensi Peradilan Agama. 24 Peradilan Agama menyelenggarakan guna menegakkan tugas pokok 22 Aiumur Naruddin, Azhari Akmal Tarigan, “Hukum Perdata Islam di Indonesia”, Jakarta, Kencana 2004, h. 208. 23 Faqihuddin Abdul Kodir, Ummu Azizah Mukarnawati, “Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, Jakarta, Komnas Perempuan, h. 2. 24 Arskal Salim, Euis Nurlaelawati, Lies Marcoes Natsir, Wahdi Sayuti, “Demi Keadilan Dan Kesetaraan”, Jakarta: PUSKUMHAM, h. 5. untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya berdasarkan peraturan perundangan. 25 Hal utama yang juga menjadi kewajiban hakim adalah mandat legalnya sebagai pihak yang bertugas memutus perkara. Hakim tidak bisa semata-mata mengacu secara rigid perundang-undangan yang memiliki keterbatasan dalam menangkap setiap spektrum peristiwa KDRT yang kompleks, tapi juga dituntut untuk berkreasi, menelaah, dan terampil membangun argumen yang holistik menyeluruh dan meluas dari berbagai perundang-undangan nasional yang tersedia. Meskipun kasus yang disidangkannya merupakan kasus perdata, perceraian misalnya, dalam rangka memenuhi keadilan perempuan, hakim semestinya menelisik setiap kemungkinan tindak pidana, selanjutnya proses pidana dapat dimulai dari sini. Dengan demikian, kualitas putusan hakim tidak hanya memenuhi standar penyelesaian perdatanya saja tapi juga mendorong dan membuka keadilan baru bagi perempuan korban KDRT. 26 Data badilag Mahkamah Agung RI menyebutkan tentang prosentase cerai gugat dan cerai talak pada tahun 2009 menunjukkan bahwa secara nasional, perkara yang masuk untuk cerai gugat 143, 747 65, berbanding perkara untuk cerai talak 77, 773 35. 27 25 Basiq Djalil, “Peradilan Agama Di Indonesia”, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h. 14. 26 Faqihuddin Abdul Kodir, Ummu Azizah Mukarnawati, “Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, Jakarta: Komnas Perempuan, h. 3. 27 www.badilag.net Statistik Perkara, diakses pada tanggal 24 Januari 2012. Perceraian merupakan perkara yang mendominasi ruang sidang pengadilan agama di Indonesia. Peraturan perundang-undangan menyebutkan bahwa perceraian hanya dilakukan melalui pengadilan agama. 28 Sebenarnya yang menarik dari perkembangan hukum perceraian adalah, di mana undang-undang dalam kasus perceraian apakah melalui talak maupun cerai gugat telah menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang setara sama-sama dapat mengajukan permohonan cerai, dan pengadilan adalah pihak yang menentukan dapat atau tidaknya sebuah perceraian itu terjadi. 29 Dari uraian diatas, maka penulis bermaksud untuk melakukan pengkajian dan melakukan penelitian lebih mendalam dalam permasalahan ini yaitu mengenai gugatan cerai yang diakibatkan oleh Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT, maka dalam hal ini penulis memilih Pengadilan Agama Bogor yang untuk ditelusuri, maka penulis akan memberi judul: “PERCERAIAN AKIBAT KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA” Studi Analisis Putusan Hakim Dalam Perkara Gugat Cerai No. 214Pdt.GPA. Bgr. 28 Arskal Salim, Euis Nurlaelawati, Lies Marcoes Natsir, Wahdi Sayuti, “Demi Keadilan Dan Kesetaraan”, Jakarta: PUSKUMHAM, h. 59. 29 Aiumur Naruddin, Azhari Akmal Tarigan, “Hukum Perdata Islam di Indonesia”, Jakarta, Kencana 2004, h. 238.

B. PERUMUSAN DAN PEMBATASAN MASALAH

1. Rumusan Masalah Ada 2 dua hal pokok sebagai dasar pemikiran yang digunakan dalam penyusunan rumusan masalah tentang kesetaraan gender yang selanjutnya akan menjadi ukuran atau standar dalam menemukan kesetaraan gender, yang diharapkan bahwa suatu peraturan dan pelaksanaannya pun akan menjadi adil baik terhadap perempuan, yakni 30 : a. Penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia, dan untuk hal itu perlu dikaji secara mendalam sumber hukum hak asasi manusia, yang terkandung dalam: 1. Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Republik Indonesia; 2. Ketetapan Majelis Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVIIMPR1998 tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan tanggal 13 November 1998; 3. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang didalamnya terkandung dalam 14 empat belas Rumpun Hak, dan dijabarkan dalam 40 empat puluh Hak Konstitusional setiap warga Negara Indonesia; 30 Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Kementrian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, “Parameter Kesetaraan Gender Dalam Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan”, h. 6 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Dikriminatif Terhadap Wanita Convention on the Elimination of All Discrimination Against Women; 5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia; b. Pengintegrasian perspektif gender melalui pendekatan tentang Akses, Paartisipasi, Kontrol dan Manfaat yang setara dan adil dengan menggunakan analisis gender: 31 1. Dasar pemikiran yang terkandung dalam prinsip-prinsip CEDAW, yakni: prinsip non diskriminatif, prinsip persamaan subtantif kesetaraan yang adil, dan prinsip kewajiban negara; 2. Memperhitungkan dan mempertimbangkan aspek-aspek sosial budaya, khususnya masih kentalnya budaya patriakhi, yang selama ini merupakan faktor penghambat terkuat, terutama terhadapa perempuan, dalam pemenuhan dan penikmatan yang adil dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 31 Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Kementrian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, “Parameter Kesetaraan Gender Dalam Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan”, h. 7 Agar penelitian ini berjalan dengan sistematis, maka perlu dibuat perumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana dasar pertimbangan Hakim dalam memberikan putusan perkara No. 214Pdt.GPA.Bgr ? b. Faktor apa saja yang mempengaruhi dasar keputusan Hakim terkait atau terhadap putusan tersebut ? 2. Pembatasan Masalah Berdasarkan uraian permasalahan diatas, penulis memfokuskan penelitian ini pada Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Putusan Hakim Pengadilan Agama Bogor Dalam Kasus Cerai Gugat Khususnya pada Putusan Perkara Perceraian Nomor: 214Pdt.G2007PA.Bgr. Terkait dengan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian Berkenaan dengan pokok permasalahan ini, maka tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Mengetahui dan mempelajari dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Bogor dalam memberikan Putusan Perkara cerai gugat. b. Mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dasar keputusan Hakim Pengadilan Agama Bogor terkait Kekerasan Dalam rumah Tangga. 2. Manfaat Akademik Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu peradilan agama dalam memahami putusan hakim pengadilan agama terhadap kesetaraan dan keadilan perempuan di pengadilan agama dalam kasus perceraian dan dapat memberikan manfaat dari segi akademisi dan praktisi, yaitu: a. Secara Akademik yaitu: Untuk pengembangan hukum acara perdata, diharapkan penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi, dan peningkatan akademisi dalam bidang hukum kelembagaan peradilan agama. Dan untuk memperluas ilmu pengetahuan di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama Fakultas Syariah dan Hukum, khususnya untuk menambah referensi bagi kajian hukum perdata, di mana penulis sangat berharap agar penelitian skipsi ini memberikan gambaran dengan jelas mengenai peran kewenangan hakim pengadilan agama dalam menjatuhkan putusan perceraian cerai gugat tanpa adanya mendiskriminatifkan perempuan atas hak-haknya pasca jatuhnya putusan hakim di seluruh pengadilan agama di Indonesia.