Andy Raihan Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Putusan Hakim Dalam Perkara Perceraian Nomor: 214/Pdt. G/PA. Bgr.)
1
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan menurut Hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
1
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan nrumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Perkawinan juga ‘aqad yang menghalalkan
pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.
2
Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: “Maka bolehlah kamu menikahi perempuan yang kamu pandang baik untuk kamu, dua atau tiga atau empat, jika kiranya kamu takut tidak dapat
1
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Qalbun Salim, 2005.
2
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta: Attahiriyah, 1976, cet. Ke-17, h. 355.
berlaku adil diantara mereka itu, hendaklah kamu kawini seorang saja”. Q.S. An-nisa: 3
Tujuan dari sebuah perkawinan adalah terbentuknya keluarga yang bahagia, kekal dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini dapat
terwujud jika suami isteri saling memahami serta melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing sebagai upaya membangun sebuah keluarga.
Kewajiban antara suami dan isteri harus dimaknai secara timbal balik yang artinya bahwa kewajiban suami adalah merupakan hak isteri dan sebaliknya yang
menjadi kewajiban bagi isteri merupakan hak dari pada suami.
3
Keluarga harmonis dan tentram tidak akan terwujud jika terjadi kelalaian atau kesengajaan baik dari pihak suami maupun isteri, dengan tidak
menunaikan kewajiban ini akan berakibat terlantarnya salah satu pihak atau keduanya. Suami isteri harus saling bertanggung jawab untuk saling memenuhi
kebutuhan pasangannya untuk membangun keluarga harmonis dan tentram.
4
Kehidupan rumah tangga bertujuan menuju ridho Allah SWT. Suami dan isteri harus saling melengkapi dan bekerja sama dalam membangun rumah
tangga yang harmonis menuju derajat takwa. Allah SWT berfirman di dalam surat At-Taubah:
3
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 1986, cet. Ke-2, h. 96.
4
Muhammad Thalib, 20 Rahasia Ikatan Kejiwaan Suami Isteri, Bandung: Irsyad Baitus Sala, 2001, cet. Ke-1, h. 46.
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain”. Q.S. At-taubah:
71. Dan firman Allah SWT di dalam surat An-nisa ayat 19:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan
bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. Q.S. An-nisa: 19. Ayat di atas merupakan seruan kepada para suami agar mereka
mempergauli isteri-isteri mereka secara ma’ruf. Menurut At-Tabari, ma’ruf adalah bersikap adil dalam giliran dan nafkah; memperbagus ucapan dan
perbuatan. Ayat ini juga memerintahkan menjaga keutuhan keluarga. Jika ada
sesuatu yang tidak disukai pada diri isterinya, selain zina dan nusyuz, suami diminta bersabar dan tidak terburu-buru menceraikannya. Sebab, bisa jadi pada
perkara yang tidak disukai, terdapat sisi-sisi kebaikan.
5
Islam sebagai agama yang mengatur urusan vertikal dan horizontal telah mengatur urusan perkawinan dengan seksama. Urusan perkawinan ini
merupakan suatu urusan yang tentu secara ilmiah dibutuhkan oleh manusia. Sebagai agama yang memberi rahmat maka Islam harus responsif dengan
kebutuhan manusia. Allah Yang Maha Indah sengaja menciptakan manusia secara
berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan sebagai salah satu bagian dari romantika kehidupan. Supaya romantika kehidupan ini semakin indah dan agar
hubungan laki-laki dan perempuan mampu menyuburkan ketentraman, cinta dan kasih sayang serta kedamaian maka Allah menetapkan suatu ikatan suci yaitu
perkawinan.
6
Perkawinan adalah suatu ikatan yang suci, ia merupakan suatu persatuan jiwa dan hati, dan harus padu dan aman. Kata cerai harus dibuang jauh-
jauh dari kamus masyarakat. Seorang suami dan seorang isteri yang terikat dalam
5
Farid Ma’ruf. 2007, Pandangan Islam Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga. httpbaitijannati.wordpress.com, diakses 29 November 2014.
6
Didik Abdullah, Bila Hati Rindu Menikah, Yogyakarta: Pro U Media, 2005, h. 23.
suatu perkawinan harus meyakini bahwa mautlah yang akan memisahkan mereka.
7
Dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, merumuskan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan
perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang kekal dan berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Perkawinan
dalam hukum perdata diartikan sebagai pertalian yang dilakukan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang cukup lama.
8
Dari rumusan perkawinan tersebut di atas jelaslah bahwa perkawinan itu tidak hanya ikatan lahir atau ikatan batin saja akan tetapi kedua-duanya.
Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama-sama sebagai suami isteri. Ikatan
lahir ini merupakan hubungan formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengingatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sedangkan
perkawinan sebagai ikatan batin merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara laki-laki dan perempuan untuk
hidup bersama sebagai suami isteri, ikatan batin ini tercemin dari adanya kerukunan suami isteri yang bersangkutan. Terjalinnya ikatan lahir dan batin ini
merupakan dasar dalam membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal.
9
7
M. Muhyidin, Perceraian Yang Indah: Membongkar Fenomena Kawin Cerai Selebritis, Yogyakarta: Matahari, 2005, h. 42.
8
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Intermasa, 1983, cet. Ke-1, h. 23.
9
Riduan Syaharani, Perkawinan dan Perceraian, Jakarta: Media Sarana Putra, 1987, h. 12.
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk selamanya sampai wafatnya salah seorang suami isteri, inilah sebenarnya yang dikehendaki dalam
Islam. Salah satu azas perkawinan adalah monogami tawahhud al-zawj.
Perkawinan dilakukan atas prinsip kerelaan al-taraadli, kesetaraan al- musaawah, keadilan al-adaalah, kemaslahatan al-maslahat, pluralisme al-
ta’addudiyyah, dan demokratis al-diimuqrathiyyah.
10
Namun dalam keadaan tertentu terdapat hak-hak yang menghendaki putusnya perkawinan, dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan
akan menimbulkan ke mudharatan yang akan terjadi.
11
Dalam azas perkawinan yang ada juga ditekankan untuk mempersulit terjadinya perceraian artinya mempertahankan rumah tangga dengan cara yang
baik, apabila terpaksa melepaskannya dengan cara yang baik pula sebagaimana Firman Allah SWT:
Artinya: Jika mereka bercita-cita hendak menceraikannya maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Q.S. Al-Baqarah: 227.
10
Tim Pengarustamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaruan Hukum Islam, Jakarta, 2004, h. 36.
11
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003, cet. Ke-I, h. 124.
Meski diperbolehkan untuk bercerai, tetapi hal itu suatu perbuatan yang paling dibenci oleh Islam karena akan menghilangkan kemaslahatan antara
suami isteri.
12
Saat masalah yang sudah ada tidak dapat diselesaikan dengan upaya perdamaian maka Islam memberikan solusi dengan dibolehkannya perceraian.
Cerai atau putusnya perkawinan dapat terjadi atas kehendak suami ataupun kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik hukum Islam dalam perceraian
memang menghendaki demikian, sehingga proses perceraiannya pun berbeda.
13
Perceraian atas kehendak suami disebut cerai thalaq, dan perceraian atas kehendak isteri disebut cerai gugat.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang ada pada akhirnya dapat terjadi
kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga
tersebut.
14
Kekerasan adalah tindakan dan serangan terhadap seseorang yang kemungkinan dapat melukai fisik, psikis, dan mental, serta menyebabkan
penderitaan dan kesengsaraan.
15
12
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Beirut: Dar al-Kitab al-Farabi, 1973, cet. Ke-2, h. 9.
13
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, cet. Ke-I h. 206
14
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Visimedia, 2007,
cet. I, h. 68-69.
15
Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaharuan Dalam Islam, h. 35.
Salah satu masalah yang terjadi adalah masih berkembangnya budaya kekerasan yang terdapat dalam kehidupan rumah tangga KDRT kebanyakan
dilakukan oleh suami dan sebagai korbannya isteri. Allah SWT berfirman:
Artinya: “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka laki-laki atas sebahagian yang lain
wanita, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.Q.S. An-Nisa:34.
Dalam surat An-nisa ayat 34 diatas, Allah menjelaskan tentang kedudukan suami sebagai pemimpin keluarga dan juga menjelaskan tentang
kewajiban isteri untuk mentaati suami. Jika ternyata dalam relaita terjadi nusuz dari pihak isteri terhadap suami dengan tidak mengindahkan kewajiban-
kewajiban yang harus dipenuhinya, maka Islam mengajarkan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh suami sebagai pemimpin untuk mengarahkan isteri
kembali ke jalan yang benar. Kata dorb dalam surat An-Nisa ayat 34 tidak bisa dijadikan rujukan
dan diterjemahkan secara harfiah dengan memukul, tetapi harus diterjemahkan sesuai dengan penjelasan ayat dan hadist secara komprehensif sesuai norma
syariah. Karena dalam persepsi Islam, maksud dari institusi perkawinan dalam bentuk rumah tangga sangatlah mulia. Selain mengikuti Sunnah Nabi dan
mengembangbiakkan keturunan, juga untuk membina keluarga sakinah, mawaddah, rahmah, mahabbah, dan harmonis. Maka dari itu, menghina,
menganiaya atau memukul isteri bukan hanya kontraproduktif dengan tujuan perkawinan, tetapi juga melanggar prinsip dasar HAM.
16
UU 71998 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, UU No. 232002 tentang
perlindungan anak, UU No. 232004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 212007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang
16
Sofjan S Siregar, Fikih Mawaddah, Dosen Islamic University of Europe Rotterdam, Ketua ICMI orwil Eropa.
adalah bukti perubahan konstruktif bagi penghapusan KDRT. Penghapusan KDRT dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan pada umumnya selanjutnya
menuntut jaminan implementasi dan operasionalisasi yang lebih konkrit sehingga deretan pasal dalam berbagai perundang-undangan tersebut tidak menjadi pasal bisu
yang tidak mampu melimpahkan keadilan bagi perempuan. Tugas aparat penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, advokat, dan pendamping adalah memastikan bahwa
perundang-undangan itu bisa dijalankan.
17
Idealnya sebuah kehidupan berumah tangga adalah untuk hidup rukun bahagia dan tentram, namun sebuah perjalanan hidup tidak selamanya mulus sesuai
dengan apa yang diharapkan, terkadang aral datang lebih pagi untuk menghantam keyakinan diri dan goyahkan dinding baja nurani sehingga muncullah perbedaan
pandangan dalam memahami kehidupan dan pertengkaran diantara suami isteri yang merasa tidak nyamanan tentram lagi dengan perkawinan mereka. Pada hakikatnya,
seseorang yang melakukan akad pernikahan adalah saling berjanji serta berkomitmen untuk saling membantu, menghargai dan menghormati pasangannya,
sehingga tercapailah kebahagiaan dan cita-cita yang diinginkan. Tujuan pernikahan tertera pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
18
Kasus gugatan cerai yang diajukan ke Pengadilan Agama akibat pelaku melakukan KDRT terus menerus juga menjadi salah satu kasus yang
17
Faqihuddin Abdul Kodir, Ummu Azizah Mukarnawati, “Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, Jakarta, Komnas Perempuan, h. 2.
18
Amir Syarifuddin, “Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Serta Kompilasi Hukum Islam”, Jakarta: Departemen
Agama RI: Dirjen, Bimas dan Penyelenggara Haji.
didokumentasikan oleh Komnas Perempuan. Beberapa tahun belakangan ini, dorongan terhadap Pengadilan Agama agar lebih sensitif terhadap gugatan cerai
dengan alasan KDRT yang terus menerus terjadi semakin menguat Komnas Perempuan 2008. Adapun gugatan cerai yang diajukan oleh seorang perempuan
korban KDRT dalam kasus terdokumentasi, tidak cukup membuat majelis hakim tergugah untuk melihat lebih jauh gugatan tersebut. Persoalan tambah lainnya
adalah hak-hak perempuan atau mantan isteri dan hak-hak anak pasca perceraian tidak memiliki daya paksa untuk menekan mantan suami agar menunaikan
kewajiban hukum mereka.
19
Adapun alasan-alasan perceraian yang dibenarkan diatur pada pasal 19 PP No. 9 Tahun 1974 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam pasal 116.
20
Bila hubungan pernikahan itu tidak dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi
kemudaratan, maka Islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian. Dengan demikian, pada dasarnya perceraian atau thalaq itu adalah sesuatu yang tidak
disenangi yang dalam istilah Ushul Fiqh disebut makruh.
21
Ikatan perkawinan harus
19
http:www.komnasperempuan.or.id diakses pada tanggal 24 Januari 2012.
20
Amir Syarifuddin, “Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Serta Kompilasi Hukum Islam”, Jakarta: Departemen
Agama RI: Dirjen, Bimas dan Penyelenggara Haji.
21
Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”, Jakarta: Kencana 2006, h. 199.
dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, bisa bertahan dengan bahagia sampai ajal menjelang dan bisa juga putus di tengah jalan.
22
Pengadilan agama adalah salah satu institusi penegak hukum yang sangat berhubungan dengan penegak berbagai perundang-undangan di atas. Meskipun
untuk kategori kejahatan atau tindak pidana tetap menjadi kewenangan pengadilan negeri, tetapi laporan tahunan komnas perempuan yang salah satunya dihimpun dari
pengadilan agama, menunjukkan bahwa pengadilan agama pintu pertama terkuaknya berbagai kekerasan dalam rumah tangga yang sebelumnya tertutup rapi
di tengah rumah tangga. Karena itu, meskipun tidak langsung mengadili tindak pidananya, pengadilan agama memiliki peranan strategis dalam menguak peristiwa
kekerasan yang terjadi.
23
Institusi Peradilan Agama sebagai bagian dari sistem hukum nasional memiliki kontribusi penting dalam mempengaruhi dan membentuk praktik dan
kebiasaan yang terjadi dalam hubungan antar laki-laki dan perempuan. Hal ini karena hampir semua kompleksitas persoalan relasi antar laki-laki dan perempuan
sebagai pasangan suami isteri adalah bagian pokok dari kompetensi Peradilan Agama.
24
Peradilan Agama menyelenggarakan guna menegakkan tugas pokok
22
Aiumur Naruddin, Azhari Akmal Tarigan, “Hukum Perdata Islam di Indonesia”, Jakarta, Kencana 2004, h. 208.
23
Faqihuddin Abdul Kodir, Ummu Azizah Mukarnawati, “Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, Jakarta, Komnas Perempuan, h. 2.
24
Arskal Salim, Euis Nurlaelawati, Lies Marcoes Natsir, Wahdi Sayuti, “Demi Keadilan Dan Kesetaraan”, Jakarta: PUSKUMHAM, h. 5.
untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya berdasarkan peraturan perundangan.
25
Hal utama yang juga menjadi kewajiban hakim adalah mandat legalnya sebagai pihak yang bertugas memutus perkara. Hakim tidak bisa semata-mata
mengacu secara rigid perundang-undangan yang memiliki keterbatasan dalam menangkap setiap spektrum peristiwa KDRT yang kompleks, tapi juga dituntut
untuk berkreasi, menelaah, dan terampil membangun argumen yang holistik menyeluruh dan meluas dari berbagai perundang-undangan nasional yang tersedia.
Meskipun kasus yang disidangkannya merupakan kasus perdata, perceraian misalnya, dalam rangka memenuhi keadilan perempuan, hakim semestinya
menelisik setiap kemungkinan tindak pidana, selanjutnya proses pidana dapat dimulai dari sini. Dengan demikian, kualitas putusan hakim tidak hanya memenuhi
standar penyelesaian perdatanya saja tapi juga mendorong dan membuka keadilan baru bagi perempuan korban KDRT.
26
Data badilag Mahkamah Agung RI menyebutkan tentang prosentase cerai gugat dan cerai talak pada tahun 2009
menunjukkan bahwa secara nasional, perkara yang masuk untuk cerai gugat 143, 747 65, berbanding perkara untuk cerai talak 77, 773 35.
27
25
Basiq Djalil, “Peradilan Agama Di Indonesia”, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h. 14.
26
Faqihuddin Abdul Kodir, Ummu Azizah Mukarnawati, “Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, Jakarta: Komnas Perempuan, h. 3.
27
www.badilag.net Statistik Perkara, diakses pada tanggal 24 Januari 2012.
Perceraian merupakan perkara yang mendominasi ruang sidang pengadilan agama di Indonesia. Peraturan perundang-undangan menyebutkan bahwa perceraian
hanya dilakukan melalui pengadilan agama.
28
Sebenarnya yang menarik dari perkembangan hukum perceraian adalah, di mana undang-undang dalam kasus
perceraian apakah melalui talak maupun cerai gugat telah menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang setara sama-sama dapat mengajukan permohonan
cerai, dan pengadilan adalah pihak yang menentukan dapat atau tidaknya sebuah perceraian itu terjadi.
29
Dari uraian diatas, maka penulis bermaksud untuk melakukan pengkajian dan melakukan penelitian lebih mendalam dalam permasalahan ini yaitu mengenai
gugatan cerai yang diakibatkan oleh Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT, maka dalam hal ini penulis memilih Pengadilan Agama Bogor yang untuk
ditelusuri, maka penulis akan memberi judul: “PERCERAIAN AKIBAT
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA” Studi Analisis Putusan Hakim Dalam Perkara Gugat Cerai No. 214Pdt.GPA. Bgr.
28
Arskal Salim, Euis Nurlaelawati, Lies Marcoes Natsir, Wahdi Sayuti, “Demi Keadilan Dan Kesetaraan”, Jakarta: PUSKUMHAM, h. 59.
29
Aiumur Naruddin, Azhari Akmal Tarigan, “Hukum Perdata Islam di Indonesia”, Jakarta, Kencana 2004, h. 238.