Penyelesaian perceraian dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga (analisis terhadap putusan perkara nomor.607/pdt. G/PA Depok Jawa Barat)
(Analisa terhadap Putusan Perkara Nomor. 607 / pdt. G / PA
Depok Jawa Barat)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
JAJANG SUDIAR NIM. 106044101409
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
(2)
(Analisa Putusan Perkara Nomor. 607 / pdt. G / PA
Depok Jawa Barat)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh
Jajang Sudiar NIM: 106044101409
Pembimbing I
Drs. H. Asep Syarifuddin. H, SH, MH NIP: 195505051982031012
Pembimbing II
Dra. Rosdiana, MA. NIP: 196906102003122001
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL ASYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 H
(3)
Tangga (Analisa terhadap Putusan Perkara Nomor. 607 / pdt. G / PA Depok Jawa Barat)” telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 September 2010 skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah (Peradilan Agama).
Jakarta, 6 September 2010 Disahkan oleh
Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH.,MA.,MM NIP. 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua : Drs. H. A Basiq Djalil, SH., MA (...)
NIP. 195003061976031001
Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag., MH (...)
NIP. 197202241998031
Pembimbing I : Drs. H. Asep Syarifudin Hidayat, SH., MH. (...)
NIP. 195505051982031012
Pembimbing II : Rosdiana, MA. (...)
NIP. 196906102003122001
Penguji I : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH.,MA.,MM (...)
NIP. 195505051982031012
Penguji II : Drs. H. A Basiq Djalil, SH., MA (...)
(4)
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
berbagai kenikmatan yang diberikan kepada penulis sehingga bisa tercapainya tujuan
penulis untuk menyelesaikan salah satu kewajiban penulis untuk memuntut ilmu
dengan menyelsaikan studi S1, mudah-mudahan ilmu yang didapatkan bisa
diamalkan dan bermanfaat bagi penulis khususnya dan masyarakat umumnya.
Shalawat dan salam senantiasa penulis haturkan kepada panutan kita penutup
para nabi yakni Nabi Muhammad SAW kepada keluarganya, sahabatnya, dan
mudah-mudahan kepada kita selaku umatnya yang taat pada ajarannya. Dalam
menyelesaikan tugas akhir kuliah ini penulis mengangkat temana tentang
”Penyelesaian Perkara Perceraian Yang Disebabkan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (Analisa Putusan Perkara Nomor 607 / pdt.G / PA Depok Jawa Barat)”
Dengan penuh kerendahan hati bahwa dalam menyelesaikan skipsi ini
terdapat pihak-pihak yang telah membantu, untuk itu penulis mengucapkan
terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi
ini yaitu kepada bapak/ibu:
1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH. MA. MM. Dekan Fakultas Syariah Dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. A. Basik Djalil, SH. MA. Ketua Prodi Akhwal Al Syahsiyyah, dan
Kamarusdiana, S.Ag. MH. Selaku skretaris Prodi Akhwal Al Syahsiyyah.
(5)
4. Segenap pengurus perpustakaan Fakultas Syariah Dan Hukum dan
Perpustakaan Utama yang telah memberiakn pelayanan dalam yang baik.
5. Kepada bapak Abas dan ibu Siti, selaku orang tua kami yang selalu
memotifasi dan memberikan curahan kasih sayang yang tiada henti-hentinya
kepada penulis agar tercapai cita-citanya.
6. Kepada kaka kami teh Yuyum, teh Entin, ka Jajat, ka Kamal, ka Dede,teh Fitri
dan sodara-sodara yang selalu memberikan dorongan motifasi baik materil
ataupun inmateril kepada penulis
7. Kepada teman-teman kesatuan aksi mahasiswa muslim indonesisa (KAMMI)
komsat UIN dan KAMMI TANGSEL, teman-teman angkatan Hasan Al Bana,
Galuh Jaya, teman-teman satuperjuangan di kelas yang selalu memberikan
masukan dan motifasinya kepada penulis.
8. Segenap pengurus dan pembina Rumah Cita Yayasan Irtiqo Kebajikan,
adik-adik binaan rumah cita, dan para dosen yang telah membimbing penulis dalam
menuntut ilmu di bangku kuliah ataupun di diluar trimakasih kepada
semuanya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk jadi
bagian dalam bimbingannya.
Akhirnya penulis dengan segala kerendahan hati, berharap semoga kebaikan
dan pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis akan mendapat balasan yang
(6)
iii
penulis lakukan mendapat ridho dari Allah SWT, amin.
Jakarta, 22 Agustus 2010 M 12 Ramadhan 1431 H
Penulis
(7)
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... iv
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah... 6
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Studi Revieu Terdahulu ... 7
E. Metode Penelitian ... 9
F. Sistematika Pembahasan ... 10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN ... 12
A. Pengertian Perceraian... 12
B. Pengertian Perceraian Menurut Hukum Islam ... 14
C. Pengertian Perceraian Menurut Hukum Positif... 20
D. Macam-Macam Perceraian... 23
BAB III KAJIAN TEORITIS TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA... 40
A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga... B. Kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 tahun 2004 .... 44
C. Faktor-faktor penyebab munculnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 48
(8)
v
E. Pandangan Hukum Positif Terhadap Kekerasan Dalam Rumah
Tangga... 61
BAB IV ANALISA PUTUSAN PERADILAN AGAMA DEPOK ... 66
A. Profil Peradilan Agama Depok ... 66
B. Prosedur Penyelesaian Perkara Cerai Di PA Depok ... 71
C. Putusan Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Analisis Putusan Nomor 607 / pdt. G / PA Depok Jawa Barat)... 74
D. Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara... 77
E. Analisa Penulis Hasil Penelitian ... 80
BAB V PENUTUP... 88
A. Kesimpulan ... 88
B. Saran... 90
DAFTAR PUSTAKA ... 92 LAMPIRAN
(9)
A. Latar Belakang Masalah
Keberagaman masalah dalam perkawinan yang terjadi pada masa kini
banyak menyentak perhatian dari berbagai kalangan. Implikasi-implikasi dari
persoalan dalam perkawinan bukan hanya tidak tercapainya tujuan perkawinan
tetapi sudah mencapai pada kondisi yang sudah sangat memprihatinkan, seperti
banyaknya kasus perceraian yang diakibatkan oleh tindakan kekerasan dalam
rumah tangga dengan dipicu oleh berbagai faktor baik faktor emosional
keharmonisan, faktor ekonomi dan lain sebagainya. Kenyataan ini seharusnya
dapat dijadikan sebagai masukan berharga yang dapat menggugah kesadaran
semua pihak. Padahal kalau kita lihat tujuan dari sebuah pernikahan sebagai mana
yang disebutkan dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 pasal 1 adalah: “
perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa”. 1
Dari isi pasal tersebut dapat kita tarik pemahaman bahwa tujuan dari suatu
pernikahan adalah:
1. Membentuk keluarga yang kekal dan bahagia.
1
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI), Departemen Agama RI, Direktur Jendral Kelembagaan Agama Islam Tahun 2001.
(10)
2. Berdasarkan ikatan-ikatan agama dalam perkawinan.
3. Kedua belah pihak harus menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
menjalankannya.
4. Bisa menjadi suri tauladan bagi keluarga dan masyarakat.
Tentu tujuan tersebut tidak bisa dicapai begitu saja tanpa ada satu
kemauan berarti yang dapat diwujudkan dalam sebuah aturan. Sebagai salah satu
syarat yang harus dipenuhi dalam memasuki perkawinan, perkawinan rumah
tangga adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan melalui akad nikah (ijab dan kobul) dengan tujuan untuk membentuk
rumah tangga bahagia dan sejahtera.2 Pernikahan atau perkawinan merupakan
sunnatullah yang artinya perintah Allah SWT dan Rasulnya, tidak hanya
semata-mata keinginan manusia sesemata-mata atau hawa nafsunya saja, karena seseorang yang
telah berumah tangga berarti ia telah menjalankan sebagian dari syari’at islam.3
Seperti yang difirmankan Allah SWT, dalam Al Quran surat An-Nur ayat 32 :
☺
)
رﻮﻨﻟا
:
32
(
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka
2
Sidi Nazar Bakry “Kunci Keutuhan Rumah Tangga, Keluarga yang Sakinah” (Pedoman Ilmu Jaya,2001) cet. I, h.2
3
(11)
miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S.An Nur :32). Selanjutnya juga diterangkan Dalam Al Qur’an Surat An–Nisa ayat 3:
☺
)
رﻮﻨﻟا
:
3
(
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S.An Nur: 3).
Pada hakikatnya, seseorang yang melakukan akad pernikahan adalah
saling berjanji serta berkomitmen untuk saling membantu, menghargai dan
menghormati satu dengan yang lainnya. Sehingga tercapailah kebahagian dan
cita-cita yang diinginkan. Tujuan perkawinan itu tertulis pada Kompilasi Hukum
Islam atau yang biasa kita sebut dengan KHI, pada pasal 3 yang berbunyi:
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rohmah.”4
Islam sendiri menghendaki dicapainya suatu makna yang di mulia dari
suatu perkawinan atau kehidupan berumah tangga.5
4
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Departemen Agama RI, Direktur Jendral Kelembagaan Agama Islam Tahun 2001, h.14.
(12)
Tujuan lain dari pernikahan adalah untuk memenuhi petunjuk agama
dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera
artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan
hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang
antara anggota keluarga. Selain itu untuk membangun suatu kehidupan (berumah
tangga) yang penuh kasih sayang, tenggang rasa, toleransi, solidaritas dan
kesederhanaan akhlak yang semuanya akan membawa seseorang pada keimanan
dan ketakwaan yang sempurna.6
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kenyataan hidup yang
terdapat di masyarakat roda kehidupan berjalan dengan dinamis, tidak lepas dari
perselisihan antara anggota keluarga tersebut terlebih antara suami dan isteri.
Kenyataan hidup seperti itu menimbulkan bahwa memelihara kelestarian
kesinambungan hidup bersama suami isteri itu bukanlah perkara yang mudah
dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal kasih sayang dan kehidupan yang
harmonis antara suami isteri tidak dapat diwujudkan. Munculnya perubahan
pandangan hidup yang berbeda antara suami dan isteri, timbul perselisihan
pendapat antara keduanya, berubah kecenderungan hati pada masing-masing
memungkinkan timbulnya krisis rumah tangga yang merubah suasana harmonis
menjadi percekcokan, persesuaian menjadi pertikaian, kasih sayang menjadi
5
Abduttawab Haikal, Illyas Ismail Al Sendany, et. Al (pent) “Rahasia Rasulullah Saw, Poligami Dalam Islam Versus Monogamy Barat” (Jakarta: Pedoman Ilu Jaya, 1988), h.7
6
(13)
kebencian. Perselisihan yang terjadi adalah suatu hal yang sangat sering dijumpai
dalam kehidupan dalam rumah tangga, dimana hal tersebut adalah sesuatu yang
wajar selama tidak disertai dengan tindak kekerasan. Dalam masyarakat kita yang
mayoritas laki-laki memiliki peran yang lebih dominan dibandingkan dengan
perempuan dan posisi perempuan dianggap lemah dalam masyarakat (patriarki),
istri memiliki peluang untuk mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari
suaminya sehingga perselisihan yang terjadi antara suami dengan istri tidak jarang
disertai dengan kekerasan dalam pertikaian-pertikaian tersebut. Akan tetapi tidak
menutup kemungkinan suami yang menjadi korban kekerasan tersebut.
Kekerasan yang dialami dalam pertikaian tersebut bukan hanya sebatas
kekerasan fisik semata, kekerasan itu bisa berbentuk psikis, ekonomi, dan seksual.
Termasuk kekerasan seksual dalam relasi perkawinan, dengan cakupan bentuk
pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang wajar maupun yang tidak wajar.7
Perselisihan yang terjadi antara suami dengan isteri yang disertai
kekerasan baik fisik, psikis, ekonomi, bahkan seksual, secara langsung sangat
berpengaruh terhadap jalannya bahtera rumah tangga tersebut. Yang pada
puncaknya terjadilah perceraian. Dari permasalahan inilah peneliti melakukan
penelitian tentang “PENYELESAIAN PERCERAIAN DALAM PERKARA
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA”(Analisis terhadap Putusan
7
Suara Apik, lahirnya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT): Sebuah Bentuk Terobosan Hukum Dan Implikasinya Terhadap Hukum Nasional, (Jakarta: lbh Apik, 2005), Edisi 28, h.4
(14)
Peradilan Agama Depok Perkara Nomor 607 / Pdt. G / PA. Depok. Jawa Barat)
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan masalah
Agar dalam pembahasan ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini
peneliti terfokus pada kasus cerai gugat yang disebabkan oleh tindak
kekerasan dalam rumah tangga di Peradilan Agama Depok.
2. Perumusan masalah
Pada dasarnya undang-undang yang mengatur kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) telah mempunyai undang tersendiri, yakni
undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang “penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga” namun pada kenyataannya masih banyak orang yang melakukan
tindak kekerasan dalam rumah tangga tersebut khususnya kepada pihak isteri.
Agar dalam pembahasan skripsi ini terarah dan tersusun secara sistematis
pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis perjelas
tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan batasan dan perumusan
masalah sebagai berikut:
a. Faktor-faktor apa saja yang sering menyebabkan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga.
b. Bagai mana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap
(15)
c. Mengapa majelis hakim peradilan agama Depok dalam pertimbangan
hukumnya tidak menggunakan pasal dalam undang-undang penghapusan
KDRT.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian
a. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana SI yang di
berikan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian
yang diakibatkan oleh kekerasan dalam rumah tangga, khususnya yang
menyangkut dengan masalah percekcokan yang berakibat lebih lanjut
pada masalah perceraian di wilayah Pengadilan Agama Depok
c. Untuk memperoleh data secara rinci dan jelas tentang hal-hal yang terkait
mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian akibat kekerasan dalam
rumah tangga dan aspek lainnya yang terkait.
d. Dapat mengidentifikasi bentuk tindakan kekerasan dan kategori pada istri
dalam rumah tangga.
2. Manfaat penelitian
a. Memberikan informasi dari penelitian ini kepada masyarakat tentang latar
belakang kekerasan dalam rumah tangga dan bentuk-bentuknya.
b. Sebagai penelitian yang dapat dijadikan sumber untuk
(16)
c. Mampu memahami secara menyeluruh tentang tindak kekerasan pada istri
dalam rumah tangga.
D. Studi Riview Terdahulu
1. Judul skripsi, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Ditinjau Dari Hukum Islam
Dan Hukum Positif (Studi Analisis Putusan Perkara 1376/pid.b/2005/PA.
Jaksel)
Pengarang, Samsul Mu’min, Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif
Hidayatullah Jakarta, Jurusan Perbandingan Mazhab Dan Hukum 2006.
Fokus pembahasan
a. Bagaimana kekerasan dalam rumah tangga dalam pandangan Al Quran,
social cultural dan kajian jender
b. Sejauh mana peran putusan perkara No. 1376/pid.b/2005/PA. Jaksel
dalam mengatasi dan mencegah tindakan KDRT.
c. Sudahkah putusan perkara No.1376/pid.b/2005/PA. Jaksel. Dipengadilan
Jaksel sesuai dengan acuannya yaitu UU No. 23 tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Perbedaan pembahasan
1) Mengali faktor-faktor apasaja yang bisa menyebabkan terjadinya
(17)
2) Bagai mana pandangan hukum positif dan hukum islam terhadap kasus
kekerasan dalam rumah tangga
3) Dan mengapa dalam kasus ini dalam putusannya pengadilan tidak
mencantumkan undang-undang kekersan dalam rumah tangga dalam
putusannya.
2. Judul skripsi, Battered Women Syndrome Pada Perempuan Korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Pengarang, Qur’aniyah, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Fakultas Psikologi Tahun 2008.
Fokus pembahasan
a. Bagai mana gambaran isteri atau perempuan yang mengalami battered
womens syndrome.
b. Isteri yang mengalami tindak kekerasan oleh suaminya baik secara fisik,
ekonomi, atau pun seksual.
Perbedaan pembahasan
1) Pandangan islam dalam mendidik rumah tangga yang sakinah mawadah
dan rohmah
3. Judul skripsi, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sebagai Alasan Perceraian
(Di Pengadilan Agama Tagamus Lampung)
Pengarang, Dhiaul Fajri, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta,
fakultas syariah dan hukum konsentrasi peradilan agama, 2009.
(18)
a. Jenis dan pola kekerasan dalam rumah tangga yang bagai mana yang
sering muncul dalam kasus perceraian di pengadilan agama Tagamus
Lampung
b. Apa pertimbangan hakim dalam menentukan putusan perceraian yang
diakibatkan terjadinya KDRT di pengadilan agama Tagamus Lampung.
Perbedaan pembahasan
1) Kasus yang terjadi di Pengadilan Agama Depok Jawa Barat
2) Apa pertimbangan hakim dalam putusannya dengan tidak mencantumkan
undang-unadang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
E. Metode Penelitian
Metode pembahasan yang dipergunakan oleh penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini adalah metode-metode yang berlaku dalam penulisan
karya ilmiah, yaitu:
1. Library Research, yakni penelitian kepustakaan dengan cara mengumpulkan
sumber-sumber yang berkaitan dengan aspek-aspek permasalahan, mengambil
data, meneliti dan mengkaji literature, pendapat para ahli yang terdapat dalam
buku-buku, surat kabar, majalah dan lain sebagainya yang bisa menunjang
dan membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Field Research, yakni penelitian lapangan yang pelaksanaannya penulis terjun
langsung ke lokasi pengadilan, yaitu dipengadilan Agama Depok untuk
(19)
Teknik field research ini penulis bagi kedalam bidang-bidang sebagai berikut:
a. Interview (wawancara)
Penulis mempergunakan teknik ini karena teknik interview sebagai teknik
Tanya jawab secara lisan yang berpedoman pada daftar pertanyaan
terbuka. Dengan demikian dapat diperoleh jawaban langsung dari
responden sedalam-dalamnya tentang masalah yang dibahas dan tehnik ini
penulis tunjukan kepada para pihak yang mengetahui dan berproses
sebagai praktisi di peradilan agama maupun kepada masyarakat di wilayah
Depok yang mengalami secara langsung.
b. Observasi (pengamatan)
Yakni melihat dari dekat mekanisme dan operasional dilingkungan
pengadilan agama yang berhubungan dengan persoalan yang dibahas.
c. Dokumentasi
Teknik ini dipergunakan untuk kelengkapan data yang diperlukan, yaitu
dengan cara melihat dokumen dan arsip-arsip yang ada di pengadilan
Agama Depok yang dijadikan objek penelitian.
Adapun sebagai pedoman dalam penulisan skripsi ini, penulis
mempergunakan buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas
Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2005.
(20)
Untuk lebih memudahkan pembahasan dan penulisan skripsi ini lebih
fokus dan sistematis, maka penulis mengklasipikasikan permasalahan dalam
beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan yang memberikan gambaran secara umum dan
menyeluruh tentang skripsi ini dengan menguraikan tentang latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, metode
pembahasan serta sistematika penyusunan.
BAB II Merupakan bab yang membahas tentang Pengertian kekerasan dalam
rumah tangga menurut UU No 23 tahun 2004 tentang penghapusan
dalam rumah tangga, dan membahas tentang bagaimana Pandangan
islam terhadap kekerasan dalam rumah tangga, lalu bagaimana Dasar
hukum perkawinan dalam islam, dan bagai mana tujuan perkawinan
menurut hukum islam, dan tujuan perkawinan menurut UU No.
1/1974.
BAB III Bab ini membahas dan menguraikan tentang Pengertian dan latar
belakang KDRT dan Bentuk- bentuk kekerasan dalam rumah tangga,
dan Dampak kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimana upaya
pencegahan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, gambaran umum
PA Depok, dan Prosedur penyelesaian perkara KDRT di PA Depok
BAB IV Bab ini berisi pokok bahasan dalam skripsi ini, dengan menampilkan
profil pengadilan agama Depok dengan disertai putusan perceraian
(21)
pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara, dan disertai dengan
analisa penulis mengenai penelitian putusan pengadilan agama Depok
nomor 607 / pdt. G / PA. DEPOK
BAB V Merupakan bagian akhir dari pembahasan skripsi ini. Yang terdiri dari
(22)
A. Pengertian Perceraian
Perceraian merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada perceraian
tanpa diawali pernikahan terlebih dahulu. Pernikahan merupakan awal dari hidup
bersama antara seorang pria dengan seorang wanita yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam semua tradisi hokum, baik civil law,
common law, maupun Islamic law, perkawinan adalah sebuah kontrak
berdasarkan persetujuan sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dengan
seorang wanita untuk menjadi suami isteri. Dalam hal ini, perkawinan selalu
dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga yang mempunyai arti penting bagi
penjagaan moral atau akhlak masyarakat dan pembentukan peradaban1
Akad perkawinan dalam hukum islam bukanlah perkara perdata semata,
melainkan ikatan suci (mitsaqon galidza) yang terkait dengan keyakinan dan
keimanan kepada Allah SAW. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam
sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga
bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam islam yakni
terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat terwujud.2
1
Rifyal Ka’bah, permasalahan perkawinan, dalam Majalah Varia Peradilan, no 271 juni 2008, IKAHI, Jakarta, hal 7
2
Amiur Nuruddin, Azahri Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No. 1/1974 Sampai KHI (Jakarta, Kencana, 2006) cet, ke-3. h. 206.
(23)
Namun sering kali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas di
perjalanan. Perkawinan harus putus di tengah jalan. Sebenarnya putusnya
perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena makna dasar sebuah akad
nikah adalah ikatan atau dapat juga dikatakan perkawinan pada dasarnya adalah
kontrak.3 Konsekuensinya ia dapat lepas yang kemudian dapat disebut dengan
talak. Makna dasar dari talak itu adalah melepaskan ikatan atau melepaskan
perjanjian.
Talak terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “
melepaskan atau meninggalkan”. Menurut istilah syara, “talak yaitu:
ﺣ
ر
ﺑ
ﺔ
ﺰﻟا
و
جا
و
اْ
ﻬ
ءﺎ
ْﻟا
ﺔ
ﻟا
ﺰ
ْو
ﻴﺔ
4Artinya “melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”.
Sedangkan perceraian dalam istilah fiqih disebut “talak” atau
furqoh”talak berarti membuka ikatan” membatalkan perjanjian, “furqoh berarti
bercerai” lawan dari berkumpul kemudian kedua perkataan ini dijadikan istilah
oleh ahli-ahli fikih yang berarti perceraian antara suami dan istri5. Ta’rif talak
menurut bahasa arab mempunyai arti bercerainya perempuan dari suaminya atau
melepaskan ikatan.6 Yang dimaksud di sini adalah melepaskan ikatan
3
Ahamad Kuzairi, Perkawinan Sebagai Sebuah Perikatan (Jakarta: Rajawali Pres, 1995).
4
Sayyid Sabiq “Fiqih Sunnah”(Beirut Dar Al Fikr, 1983),cet. Ke-4, jilid 2.
5
Kamal Muktar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan (Jakarta. Bulan bintang. 1974)cet. Ke 2 hal 156.
6
(24)
perkawinan, sedangkan menurut istilah talak adalah melepaskan tali perkawinan
dan mengakhiri hubungan suami istri
Sayyid Sabiq mendefinisikan talak adalah sebuah upaya untuk
melepaskan ikatan perkawinan dan selajutnya mengakhiri hubungan perkawinan
itu sendiri.7 Sedangkan dalam kitab Kifayat Al Akhyar yang menjelaskan talak
sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan talak adalah lafad
jahiliah yang setelah islam datang menetapkan lafaz itu sebagai kata untuk
melepaskan nikah. Dan dalil-dalil tentang talak itu berdasarkan al kitab, hadis,
ijma’ ahli agama dan ahli sunnah.8
B. Perceraian Menurut Hukum Islam
Pada prinsipnya, kehidupan rumah tangga harus disadari oleh mawaddah,
rahmah dan cinta kasih. Yaitu bahwa suami istri harus memerankan peran
masing-masing yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Disamping itu
harus juga diwujudkan keseragaman, keeratan, kelembutan saling pengertian satu
dengan yang lain sehingga rumah tangga menjadi hal yang sangat menyenangkan,
penuh kebahagiaan kenikmatan dan melahirkan generasi yang baik yang
merasakan kebahagian yang dirasakan oleh orang tua mereka.9
7
Sayyid Sabiq, Fiqih Al Sunnah, Juz II, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1983), h. 206.
8
Taqiyuddin, Kifayaut Al Akhyar, Juz II, (Bandung: Al Ma’arif, t.t)h. 84.
9
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Dar At Tauji Wa An Nashr Al Islamiyyah, 1419/1999m), cet ke 1, h. 205.
(25)
Jika mata air cinta dan kasih sayang sudah kering dan tidak lagi
memancarkan airnya, sehingga hati salah satu pihak atau keduanya (suami dan
istri) sudah tidak lagi merasa cinta kasih, lalu kedua-duanya sudah tidak saling
memperdulikan satu dengan yang lain serta sudah tidak menjalankan tugas dan
kewajiban masing-masing, sehingga yang tinggal hanyalah pertengkaran dan tipu
daya. Kemudian keduanya berusaha memperbaiki, namun tidak berhasil, begitu
juga keluarganya telah berusaha melakukan perbaikan, namun tidak kunjung
berhasil pula, maka pada saat itu, talak adalah kata yang paling tepat seakan-akan
ia merupakan setrika yang didalamnya terdapat obat penumbuh, namun ia
merupakan obat yang paling pahit diminum.10
Seandainya islam tidak memberikan jalan menuju talak bagi suami istri
dan tidak memperbolehkan mereka untuk bercerai pada saat yang sangat kritis,
niscaya hal itu akan membahayakan bagi pasangan tersebut. Mereka akan
merasakan kehidupan rumah tangga mereka seperti neraka dan penjara yang
berisi siksaan dan penderitaan. Dan hal itu pasti akan berakibat buruk terhadap
anak-anak dan bahkan mempengaruhi kehidupan mereka, karena jika pasangan
suami istri mengalami kegoncangan, maka anak-anak mereka pun pasti menderita
dan menjadi korban. Dari mereka itu akan lahir masyarakat yang dipenuhi dengan
kedengkian, irihati, kezhaliman, hidup berfoya-foya dan berbuat hal yang negatif
sebagai bentuk pelampiasan dan pelarian diri dari kenyatan hidup yang mereka
alami. Bagi mereka, rumah itu tidak lain hanyalah seperti penjara yang
10
(26)
menjengkelkan dan menyebalkan, yang menyebabkan seluruh penghuninya lari
menjauh agar tidak terperangkap kedalam kebencian, adu domba, keserakahan
dan kesedihan.11
Yang dimaksud dengan talak adalah memutuskan tali perkawinan. Talak
ini merupakan sesuatu yang disyariatkan. Dan yang menjadi dasarnya Al Quran
dan hadis serta ijma para ulama. Di dalam Al Quran talak secara tegas dinyatakan
dalam surat Al Baqarah: 229.
☺
☺
☺
)
ةﺮﻘ ﻟا
:
229
(
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu
adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.(Q.S. Al Baqoroh:229)
Imamiyah mengatakan: talak dianggap tidak jatuh (sah) kecuali dengan
menggunakan redaksi khusus, yaitu anti thaliq ﻖ ﺎ ﺖ ا (engkau adalah orang
yang diceraikan), fulanah thaliq (menyebut nama istrinya ), ﻖ ﺎ ﺔ ﻼﻓ fulanah
11
(27)
Penyusun kitab Al Jawahir, mengutip Al Kafi, mengatakan bahwa, talak
dipandang tidak ada kecuali seperti terdapat pada riwayat Bakir Bin A’yan, yaitu
seorang suami mengatakan kepada istrinya yang berada dalam keadaan suci dan
tidak dia campuri menjelang talak, anti thaliq, dan ucapannya itu disaksikan dua
orang saksi laki-laki yang adil. Apa yang tidak seperti itu dianggap kosong
belaka. Kemudian, dengan menukil Al Inthisar, penyusun kitab Al Jawahir
menyatakan adanya kesepakatan para ulama mazhab imamiyah tentang hal itu.13
Dengan demikian, maka Imamiyah amat membatasi ruang lingkup talak
dalam batas yang amat sempit, dan secara ketat memberlakukan
12
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007), cet, ke. 20, h. 446.
13
(28)
ketentuan yang sulit, baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan yang dicerai,
terhadap redaksi dan saksi-saksinya. Semuanya itu dilakukan lantaran perkawinan
merupakan ikatan, kasih sayang, dan perjanjian kuat yang datang dari Allah SWT.
Allah berfirman dalam surat An Nisa: 21.
⌧
⌧
)
ءﺎﺴﻨﻟا
:
21
(
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian
kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.” (Q.S. An Nisa :21)
Kendati demikian, mazhab-mazhab lain membolehkan talak dengan
menggunakan redaksi apapun, asal terkandung maksud talak, dalam bentuk
tulisan atau pun lisan. Secara tegas atau hanya berupa kiyasan, misalnya
mengucapkan, sekarang engkau menjadi haram bagi ku, engkau putus dan tidak
ada hubungan lagi dengan ku, pergilah dan kawinlah dengan laki-laki lain,
sekarang ikatan dirimu berada pada orang lain, pulanglah kerumah orang tuamu,
dan lainsebagainya. Mereka juga menperbolehkan adanya talak mutlak dan
mukhayad (terkait oleh sesuatu), misalnya dengan mengatakan: kalau engkau
keluar rumah, berarti engkau cerai. Bila aku berbuat demikian, maka engkau
(29)
kukawini, cerai, yang dengan sendirinya setelah ia melangsungkan akad nikah,
maka jatuhlah talak, dan lain sebagainya, yang tidak dapat dikemukakan disini.14
Mazhab-mazhab tersebut juga menyatakan sahnya talak yang dilimpahkan
kepada si istri atau orang lain, seperti halnya pula mereka membolehkan
penjatuhan talak tiga dengan satu kali ucapan (engkau ku talak tiga). Para ulama
mazhab-mazhab tersebut mengemukakan pembahasan panjang lebar dalam
lembaran-lembaran kitab mereka yang isinya tak lebih hanyalah penghancuran
terhadap esensi rumah tangga, serta menyerahkannya ketangan iblis.15
Para Ulama Mazhab Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariyah dan Ismailiyah
mengatakan bahwa, talak tidak dianggap jatuh bila tidak disertai saksi laki-laki
yang adil, berdasarkan firman Allah tentang masalah talak dalam surat Al Talak 16
Seperti halnya dengan ketetapan yang diberikan oleh imamiyah dalam
persoalan suami istri yang terlibat dalam talak dan redaksinya, mazhab ini pun
bersikap amat ketat dalam persoalan persaksian talak. Para ulama mazhab
imamiyah menetapkan bahwa, kalau semua persyaratan itu telah terpenuhi, tapi
ketika talak tersebut dijatuhkan tidak ada dua orang saksi laki-laki yang adil yang
mendengarnya, maka talak tersebut diyatakan tidak jatuh. Tidak dipandang cukup
14
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, op. cit., h.448.
15
Penulis kitab ta’sis al najhar mengutip pendapat imam malik yang mengatakan bahwa, kalau seandainya seorang laki-laki telah bermaksud (“azam”)menalak istrinya, maka talak tersebut dinyatakan telah jatuh dengan semata-mata maksud tersebut, sekalipun ia tidak mengucapkannya (lihat ta’sis al nazhar, h. 49).
16
(30)
ada nya satu orang saksi saja, sungguhpun saksi tersebut seorang yang sangat
dipercayai atau bahkan ma’sum.
C. Perceraian Menurut Hukum Positif
Sebagai mana yang disebutkan dalam pasal 1 Undang-Undang No.1/1974
dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia,
kekal berdasarkan ketuhanan yang masa esa atau dalam bahasa KHI disebut
dengan mistsaqan ghaliza (ikatan yang kuat),17 namun dalam realitasnya
seringkali perkawinan tersebut kandas ditengah jalan yang mengakibatkan
putusnya perkawinan baik karena sebab kematian, perceraian ataupun karena
putusnya pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh
undang-undang. Dalam pasal 38 undang-ungang perkawinan dikatakan
“perkawinan dapat putus karena, a. kematian, b. perceraian dan c, atas keputusan
pengadilan”.18
Kematian sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan, adalah salah satu
pihak baik suami atau istri meninggal dunia. Sedangkan untuk sebab perceraian,
undang-undang pernikahan memberikan aturan-aturan yang telah baku, terperinci,
dan sangat jelas. Adapun putusnya perkawinan dengan putusan pengadilan adalah
17
Kompilasi Hukum Islam ( KHI)
18
Amir Nuruddin, Azahri Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No. 1/1974 Sampai, po.cit, h. 216.
(31)
jika kepergian salah satu pihak tanpa kabar berita untuk waktu yang lama.
Undang-undang perkawinan tidak menyebutkan berapa lama jangka waktu untuk
menetapkan hilangnya atau dianggap meninggalnya seseorang itu.19
Bahkan di dalam penjelasan undang-undang perkawinan dalam pasal 38
tersebut dipandang cukup jelas, dan jika kita merujuk kepada hukum perdata pada
pasal 493 dinyatakan “ apabila, selain terjadinya meninggalkan tempat tinggal
dengan sengaja, seseorang antara suami istri selama genap sepuluh tahun telah
tak hadir di tempat tinggalnya, sedangkan kabar tentang hidup atau matinya pun
tak pernah diperolehnya, maka si istri atau suami yang ditinggalkannya, atas izin
dari pengadilan negeri tempat tinggal suami istri bersama berhak memanggil
pihak yang tak hadir tadi dengan tiga kali panggilan umum berturut-turut
dengan cara seperti teratur dalam pasal 467 dan 468.”
Didalam PP No. 9 tahun 1975 tentang pasal 19 diyatakan hal-hal yang
menyebabkan terjadinya perceraian, perceraian dapat terjadi karena alasan atau
alasan-alasan seperti:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar untuk disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal yang lain
diluar kemampuannya.
19
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan Perderaian Di Malayasia Dan Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), h.291.
(32)
3. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
4. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
5. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Selanjutnya pada pasal 39 tentang Undang-Undang Perkawinan diyatakan:
1. Perceraian hannya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu
tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
3. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan sendiri.
Alasan perceraian ini adalah sama seperti yang tersebut dalam pasal 116
kompilasi hukum islam dengan penambahan dua ayat yaitu : (a) suami melanggar
taklik talak dan (b) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga, maka dapat diketahui bahwa hokum positif
di indonesia tidak mengenal lembanga hidup terpisah yaitu perceraian pisah meja
dan pisah tempat tidur sebagai mana diatur dalam pasal 424 kitab undang-undang
hokum perdata atau dalam lembaga hukum keluarga Eropa yang dikenal dengan
(33)
Dalam pasal 41 tentang Undang-Undang Perkawinan juga membicarakan
akibat yang ditimbulkan oleh perceraian, adapun bunyi pasalnya yang diakibatkan
putusnya perkawinan karena perceraian adalah:20
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan
memberi keputusannya.
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bila mana bapak dalam kenyataan tidak
dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Berbeda dengan keputusan perkawinan dengan sebab kematian yang
merupakan ketentuan Allah yang tidak biasa ditolak, sebab-sebab lain seperti
perceraian pada dasarnya kesalahan yang bersumber dari manusia itu sendiri.
Terjadinya perceraian misalnya, lebih disebabkan ketidak mampuan pasangan
suami istri tersebut merealisasikan tujuan perkawinan itu sendiri.
D. Macam- Macam Perceraian
Kalau kita lihat dari kemaslahatan atau kemudharatannya, maka hukum
talak ada lima:
20
(34)
1. Wajib
Apabila ada perselisihan antara suami istri lalu tidak ada jalan yang
dapat ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua hakim yang mengurus
perkara keduanya. Jika kedua hakim memandang bahwa perceraian lebih baik
bagi mereka, maka saat itulah talak menjadi wajib. Jadi, jika sebuah rumah
tangga tidak mendatangkan apa-apa selain keburukan, perselisihan,
pertengkaran dan bahkan menjerumuskan keduanya dalam kemaksiatan.
Maka pada saat itu talak adalah wajib baginya.21
2. Makruh
Yaitu talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan
sebagian ulama ada yang mengatakan mengenai talak yang makruh ini
terdapat dua pendapat:
a. Bahwa talak tersebut haram untuk dilakukan, karena dapat menimbulkan
madharat bagi dirinya juga istrinya, serta mendatangkan manfaat apa pun.
Talak ini haram sama seperti tindakan merusak atau menghamburkan
harta kekayaan tampa guna, hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah
SAW yang berbunyi:
ﺮ
ر
و
ﺮ
را
22
)
ﺔ
ﺎ
ﻦﺑا
اور
(
“tidak boleh memberikan mudharat kepada orang lain dan tidak boleh membalas kemudharatan dengan kemudharatan lagi”
21
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, op. cit., h.208.
22
(35)
b. menyatakan bahwa talak seperti itu dibolehkan, hal itu didasarkan pada
sabda rasulullah SAW yang berbunyi:
اْﺑ
ْﻟا
ل
ا
ﻟ
ﷲا
ﻰ
ﻟا
ق
23)
دواد
ﻮﺑأ
اور
(
“sesuatu hal yang halal yang paling dibeci Allah adalah talak”
Dan dalam lafazh yang lain di sebutkan:
ا
ﺎ
ﺣ
ا
ﷲ
ﺷ
ْﻴًﺄ
ا
ْﺑ
ا
ﻟْﻴ
ﻦ
ﻟا
ق
)
دواد
ﻮﺑا
اور
(
“Allah tidak membolehkan sesuatu yang lebih dia benci selain talak”(HR. abu daud dengan sanad ma’lul).
Talak itu dibenci karena dilakukan tanpa adanya tuntutan dan sebab
yang menbolehkan. Dan karena talak semacam itu dapat membatalkan
pernikahan yang menghasilkan kebaikan yang memang disunnahkan,
sehingga talak itu menjadi makruh hukumnya.24
3. Mubah
Mubah yaitu talak yang dilakukan karena ada kebutuhan, misalnya
karena buruknya akhlak istri dan kurang baiknya pergaulannya yang hanya
mendatangkan mudharat dan menjauhkan mereka dari tujuan pernikahan.
4. Sunnah.
Sunnah yaitu talak yang dilakukan pada saat istri mengabaikan
hak-hak Allah yang telah diwajibkan kepadanya. Misalnya shalat, puasa dan
kewajiban lainnya. Sedangkan suami sudah tidak sanggup lagi memaksanya.
Atau istrinya sudah tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya. Hal
23
Ilmu Fiqih Jilid II. Cet.ke-2.
24
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007),cet, ke-2, h, 200.
(36)
itu mungkin saja terjadi, karena wanita itu mempunyai kekurangan dalam hal
agama, sehingga mungkin saja ia berbuat selingkuh dan melahirkan anak hasil
perselingkuhan dengan laki-laki lain. Dalam kondisi seperti itu dibolehkan
bagi suaminya untuk mempersempit ruang dan geraknya. Sebagai mana yang
difirmankan Allah SWT.25
5. Mahzhuz (terlarang)
Mahzhur yaitu talak yang dilakukan ketika istri sedang haid, para
ulama di Mesir telah sepakat untuk mengharamkannya. Talak ini juga disebut
talak bid’ah. Disebut bid’ah karena suami yang menceraikan itu menyalahi
sunnah rasul dan mengabaikan perintah Allah SWT dan rasulnya. Dimana
Allah telah berfirman. Dalam Al Quran surat Ath Thalaq ayat:1, yang
berbunyi:
⌦
⌧
)
ق ﻟا
:
1
(
Artinya: ”Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan
bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(Q.S.At Thalak:1)
Dalam menjatuhkan talak kepada istri islam sangat berhati-hati
terhadap orang yang ingin memberikan atau menjatuhkan talaknya terhadap
istrinya, ada ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan oleh suami dalam
menjatuh kan talak, ini terbukti bahwa sanya Allah sangat membenci
25
(37)
terjadinya perceraian dalam rumah tangga, walaupun itu diperbolehkan dalam
islam, diantara ketentuan-ketentuannya seseorang harus memiliki kriteria
sebagai berikut:
a. Baligh, talak yang dijatuhkan anak kecil diyatakan tidak sah, sekalipun ia telah pandai, demikian kesepakatan ulama mazhab, terkecuali imam
Hambali. Para ulama mazhab Hambali mengatakan bahwa, talak yang
dijatuhkan anak kecil yang mengerti dinyatakan sah, meskipun usia nya
belum mencapai sepuluh tahun.
b. Berakal sehat, dengan demikian talak yang dijatuhkan oleh seorang gila,
baik penyakitnya itu akut maupun jadi-jadian, pada saat dia gila, tidak sah,
begitu pula hal dengan talak yang dijatuhkan oleh orang yang tidak sadar,
dan orang yang hilang kesadarannya lantaran sakit panas yang sangat amat
tingi sehingga ia merancau. Akan tetapi para ulama mazhab berbeda
pendapat tentang talak yang dijatuhkan orang mabuk, Imamiyah
mengatakan bahwa, talak orang mabuk sama sekali tidak sah, akan tetapi
beda halnya dengan mazhab enam26, berpendapat bahwa talak orang
mabuk itu sah, manakala ia mabuk dengan minuman yang ia haramkan
atas dasar keinginan sendiri. 27
26
Hanafi dan maliki secara jelas mengatakan sahnya talak yang dijatuhkan orang mabuk, sedangkan imam Syafi’i mempunyai dua pendapat. Yang lebih kuat talak itu jatuh.
27
(38)
c. Atas kemauan sendiri. Dengan demikian, talak yang dijatuhkan oleh seorang yang dipaksa (menceraikan istrinya) menurut kesepakatan para
ulama mazhab, tidak dinyatakan sah, ini berdasarkan hadis yang berbunyi:
ر
ﻓ
ْﻦ
ا
ﺘ
ْﻲ
ا
ْﻟ
ءﺎ
و
ﻨﻟا
ْﺴ
ﻴﺎ
ن
و
ا
ﺎ
ْﺘ
ﻜ
ﺮ
ه
ﻮ
ا
ْﻴﺔ
“ketentuan hukum dicabut dari umatku yang melakukan perbuatannya karena keliru, lupa dan dipaksa.”
Hal itu merupakan kesepakatan para ulama mazhab kecuali hanafi,
mazhab yang disebut terakhir ini mengatakan bahwa, talak yang
dijatuhkan oleh orang yang dipaksa dinyatakan sah.
d. Betul-betul bermaksud menjatuhkan talak. Dengan demikian, kalau
seorang laki-laki mengucapkan talak karena lupa, keliru atau main-main,
maka menurut imamiyah talak tidak jatuh. Sementara imamiyah menukil
hadis dari ahlilbait yang mengatakan:
ق
ا
ﻟ
ﻤ
ْﻦ
ا
ر
دا
ا
ﻟ
ق
ق
ا
ﺑ
ﻨﻴ
ﺔ
“Tidak dianggap jatuh suatu talak kecuali bagi orang yang memang bermaksud menjatuhkan talak, dan tidak ada talak kecuali disertai niat”
Sementara pengarang kitab Al Jawahir mengatakan, “kalau seseorang
telah menjatuhkan talak, dan sesudah mengucapkan talaknya itu dia
mengatakan, “saya tidak bermaksud menjatuhkan talak, maka pernyataannya
diterima sepanjang istri masih dalam masa ‘iddah sebab, yang demikian itu
merupakan informasi tentang niatnya yang tidak bias diketahui siapa pun
kecuali melalui pemberitahuannya sendiri.”28
28
(39)
Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak, maka talak dibagi
menjadi tiga macam.29 Sebagai berikut:
a. Talak Sunni.
Talak sunni yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan
sunnah,30dikatakan juga pada kitab fiqih lima mazhab bahwasanya talak sunni adalah talak yang didasarkan pada sunnah nabi, yaitu apabila
seorang suami mentalak istrinya yang telah disetubuhi dengan talak satu
pada saat suci, sebelum disetubuhi. Allah SWT berfirman: “thalak yang
dapat dirujuk adalah dua kali, setelah itu, boleh rujuk kembali dengan cara
yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Q.S. al
baqoroh:229). Pada surat lain Allah juga berfirman: “Wahai Nabi, jika
kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat menghadapi ‘‘iddahnya yang wajar.” (Al Thalaq:1) dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat:
1) Istri yang ditalak sudah pernah digauli, bila talak dijatuhkan terhadap
istri yang belum pernah digauli, tidak termasuk talak sunni.
2) Istri dapat segera melakukan ‘iddah suci sesudah ditalak, yaitu dalam
keadaan suci dari haid. Menurut ulama Syafi’iyah, perhitungan ‘iddah
bagi wanita berhaid ialah tiga kali suci, bukan tiga kali haid. Talak
terhadap istri yang telah lepas haid (menopause) atau belum pernah
29
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor, Kencana, 2003)cet. Ke-1, h. 193.
30
(40)
haid, atau sedang hamil, atau talak karena suami meminta tebusan
(khulu’), atau ketika istri dalam haid, semuanya tidak termasuk talak
sunni.
3) Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik dipermulaan,
dipertengahan maupun di akhir suci, kendati beberapa saat lalu datang
haid.
4) Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dari haid tetapi
pernah digauli, tidak termasuk talak sunni.
Para ulama dari kalangan sahabat rasulullah dan ulama lainnya
juga menjalankan hadis ini sedangkan ulama yang lain berpendapat” jika
si suami mentalak tiga, sedang istrinya dalam keadaan suci, maka yang
demikian itu juga termasuk talak sunni”pendapat ini dikemukakan oleh
imam Syafi’ dan Ahmad bin Hambal.
b. Talak Bid’i.
Yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan
tuntunan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni31, dikatakan
dalam kitab yang ditulis oleh syaikh kamil Muhammad ‘Uwaidah bahwa
sanya yang disebut dengan talak bid’I (thalak bid’ah) ada beberapa
keadaan yang mana seluruh ulama telah sepakat menyatakan, bahwa talak
31
(41)
semacam ini tidak berlaku, talak bid’I (talak bid’ah) ini jelas bertentangan
dengan syari’at yang termasuk talak bid’i ialah:32
1) Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid (menstruasi),
baik di permulaan haid maupun dipertengahannya.
2) Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi pernah
digauli oleh suaminya dalam keadaan suci dimaksud.
3) Seorang suami mentalak tiga istrinya dengan satu kalimat dengan tiga
kalimat dalam satu waktu. Seperti dengan mengatakan “ia telah aku
talak, lalu aku talak dan selanjutnya aku talak” dalil yang
melandasinya adalah sabda rasulullah, sebagai mana diceritakan;
bahwasannya ada seorang laki-laki yang mentalak istrinya dengan satu
kalimat, lalu beliau mengatakan kepadanya: “apakah kitab Allah
hendak dipermainkan, sedang aku masih berada ditengah-tengah kalian” (H.R. An Nasa’i dan Ibnu Katsir mengatakan bahwa isnad hadis ini jayyid).33
c. Talak La Sunni Wala Bid’i
Talak la sunni wal bid’I yaitu talak yang tidak termasuk ke dalam
kategori talak sunni dan tidak pula termasuk talak bid’i, yaitu:
1) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli.
32
Drs. H. Abd. Rahman Ghazaly, MA. “Fiqih Munakahat” (Jakarta. Prenada Media. 2003).cet. ke-1.h.
33
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita (Jakatra, Pustaka Al Kautsar, 2004), cet. Ke-1.h. 438.
(42)
2) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid, atau istri
yang telah lepas haid.
3) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.
Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan
sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macan, sebagai berikut:
a. Talak Sharih,
Yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas,
dapat dipahami sebagi pernyataan talak atau cerai seketika diucapkan,
tidak mungkin dipahami lagi, seperti dengan mengucapkan: “aku cerai”
atau “kamu telah aku cerai”34
Imam syafi’I mengatakan bahwa kata-kata yang dipergunakan
untuk talak sharih ada tiga, yaitu talak, firaq dan sarah, ketiga ayat itu
disebut dalam al quran dan hadits. Ahl al zahiriyah berkata bahwa talak
tidak jatuh kecuali dengan mempergunakan salah satu dari tiga kata
tersebut, karena syara telah mempergunakan kata-kata ini, padahal talak
merupakan perbuatan ibadah, karenanya diisaratkan mempergunakan
kata-kata yang telah ditetapkan oleh syara. Beberapa contoh talak sharih ialah
seperti, suami berkata kepada istrinya;35
1) Engakau saya talak sekarang juga. Engkau saya cerai sekarang juga.
34
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita (Jakatra, Pustaka Al Kautsar, 2004), cet. Ke-1.h. 440.
35
(43)
2) Engkau saya firoq sekarang juga. Engkau saya pisahkan sekarang juga.
3) Engkau saya sarah sekarang juga. Engkau saya lepas sekarang juga.
Apabila suami menjatuhkan talak terhadap istrinya dengan talak
sharih maka menjadi jatuhlah dengan talak itu dengan sendirinya,
sepanjang ucapannya itu dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas
kemauannya sendiri.
b. Talak Kinayah (Talak Sindiran)
Talak kinayah, yaitu talak dengan menpergunakan kata-kata
sindiran, atau samar-samar, dalam kitab fiqih wanita dikatakan
bahwasannya yang dimaksud dengan talak kinayah adalah talak yang
memerlukan adanya niat pada diri suami. Karena, kata-kata yang
diucapkan tidak menunjukan pengertian talak. Hal ini didasarkan pada
hadis yang diriwayatkan dari Aisyah r.a.
ا
ن
ْﺑا
ﻨﺔ
ْﻟا
ﺠ
ﻮ
نا
ﻟ
ﻤ
ا
ﺎ
ْد
ْﺖ
ر
ْﻮ
ل
ﷲا
ﺻ
ﻰ
ﷲا
ْﻴ
و
ﻢ
و
ذ
ﺎ
ْﻨﻬ
ﺎ
ﻟﺎ
ْﺖ
ا
ْﻮ
ذ
ﺑ
ﷲﺎ
ْﻨ
ﻚ
ﻓ
ﻘ
لﺎ
ﻟ
ﻬ
ﻟ
ﺎ
ﻘْﺪ
ْﺪ
ت
ﺑ
ﻈ
ْﻴﻢ
ْﻟا
ﻘ
ﻲ
ﺑﺎ
ْه
ﻚ
)
ﺮﻴ و
يرﺎ ﻟا
اور
(
Artinya: “bahwa ketika putri Jaun dihadapkan kepada rasulullah dan beliau mendekatkan diri padanya, maka ia (putri Jaun) pun berkata: aku berlindung kepada Allah darimu. Lalu beliau bersabda: sesungguhnya engkau telah berlindung kepada dzat yang Maha Agung, maka kembalilah kekeluargamu”(HR. bukhari dan lainnya).
(44)
Dalam kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan kitab-kitab
lainnya disebutkan hadis tentang Ka’ab bin malik yang tidak mau
bergabung dalam perang, yaitu ketika ada orang yang berkata kepadanya:
“bahwa rasulullah menyuruh kamu menjauhi istrimu, Ka’ab bertanya: aku
ceraikan atau apa yang harus aku lakukan ?, orang itu menjawab: jauhi
saja dan jangan sekali-kali kamu dekati. Maka Ka’ab melanjutkan
ceritanya: lalu kukatakan kepada istriku: pulanglah kepada keluargamu
“(mutafakun’alaih). Kedua hadis diatas menunjukan, bahwa kata-kata
yang diucapkan berarti talak, seiring niat yang ada pada diri suami dan
tidak berarti talak jika tidak diikuti dengan adanya niat. 36
Tentang kedudukan talak dengan kata-kata kinayah atau sindiran
ini sebagai mana dikemukakan oleh Taqiyuddin Al Husaini, bergantung
kepada niat suami. Artinya, jika suami dengan kata-kata tersebut
menjatuhkan talak, maka jadi jatuhlah talak itu, dan jika suami dengan
kata-kata tersebut tidak bermaksud menjatuhkan talak maka talak tidak
jatuh talaknya.
Kalau kita tinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan
bekas suami merujuk kembali bekas istri, maka talak dibagi menjadi dua
macam, yakni talak Raj’i Dan talak Ba’in. d. Talak Raj’i.
36
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita (Jakatra, Pustaka Al Kautsar, 2004). op. cit. 441.
(45)
Para ulama mazhab sepakat bahwa yang dinamakan dengan talak
raj’i ialah talak yang suami masih memiliki hak untuk kembali kepada
istrinya (rujuk) sepanjang istrinya tersebut masih dalam masa ‘iddah, baik
istri tersebut bersedia dirujuk maupun tidak.37 Salah satu diantara
syaratnya adalah bahwa si istri sudah dicampuri, sebab istri yang dicerai
sebelum dicampuri, tidak mempunyai masa ‘iddah berdasarkan firman
Allah dalam Al Quran surat Al Ahzab ayat 49 yang berbunyi:
☺
☺
☺
☺
☺
☯
⌧
)
باﺰﺣﻷا
:
49
(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka '‘addah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.(Q.S. Al Ahzab:49)
Yang juga termasuk syarat talak raj’i adalah bahwa talak tersebut
tidak dengan menggunakan uang (pengganti) dan tidak pula dimaksudkan
untuk melengkapi talak tiga38. Wanita yang ditalak raj’i hukum nya
37
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007), cet, ke. 20, h. 451.
38
(46)
seperti istri, mereka masih memiliki hak-hak suami-istri, seperti hak waris
mewarisi antara suami-istri manakala diantara keduanya ada yang
meninggal sebelum masa ‘iddah. Sementara itu, mahar yang dijanjikan
untuk dibayar, kecuali sesudah masa ‘iddah dan si suami tidak mengambil
kembali si istri kedalam pengakuannya. Singkatnya, talak raj’i tidak
menimbulkan ketentuan-ketentuan apapun kecuali sekadar ‘iddah dalam
tiga talak.
Talak raj’i hanya terjadi pada talak pertama dan kedua saja,
berdasarkan kedalam firman Allah dalam surat Al Baqoroh ayat: 229
⌧
)
ﺮﻘ ﻟا
ة
:
229
(
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”(Q.S. Al Baqoroh:229)
Ayat ini memberi makna bahwa talak yang disyariatkan Allah
ialah talak yang dijatuhkan oleh suami satu demi satu, tidak sekaligus, dan
bahwa suami boleh memelihara kembali istrinya setelah talak pertama
dengan cara yang baik, demikian pula setelah talak kedua. Arti
memelihara kembali ialah dengan merujuknya dan mengembalikannya
kedalam ikatan perkawinan dan berhak mengumpuli dan mempergaulinya
dengan baik. Dan hak merujuk hanya terdapat pada talak raj’i saja.
(47)
Sedangkan talak ba’in adalah talak yang suami tidak memiliki hak
untuk ruju’ kepada wanita yang ditalak nya, untuk mengembalikan bekas
istri kedalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus melalui akad
nikah baru, lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya. Adapun yang
termasuk kedalam talak ba’in diantaranya adalah:39
1) Wanita yang ditalak sebelum dicampuri (jenis ini disepakati oleh
semua pihak).
2) Wanita yang dicerai tiga (juga ada kesepakatan pendapat).
3) Talak khulu; sebagian ulama mazhab mengatakan bahwa khulu’
adalah fasakh nikah, bukan talak.
4) Wanita yang telah memasuki masa menopause khususnya pendapat
imamiyah, karena mereka mengatakan bahwa wanita menopause yang
ditalak tidak mempunyai ‘iddah. Hukumnya sama dengan hukum
wanita yang belum dicampuri.40
Didalam Al Quran surat Al Thalaq ayat 4 disebutkan:
☺
⌧
39
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007), cet, ke. 20, h. 452.
40
(48)
)
ق ﻟا
:
4
(
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause)
di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Q.S. At Thalaq:4)
Tidaklah dimaksudkannya sebagai wanita-wanita yang betul-betul
diketahui keterputusan haidnya, tetapi dimaksudkan untuk menunjukan
wanita-wanita yang telah berhenti haidnya tanpa diketahui apakah
berhentinya itu disebabkan oleh penyakit atau usia tua. Wanita-wanita
seperti ini ‘iddahnya adalah tiga bulan, keragu-raguan yang dimaksud
pada ayat diatas bukan mengenai hukum tentang orang yang telah
diketahui keterputusan haidh mereka, melainkan mengenai wanita-wanita
yang diragukan putus haidnya.
Didalam talak ba’in terbagi menjadi dua macam yaitu, talak ba’in
shugro dan talak ba’in kubro.
1) Talak ba’in shugro ialah talak ba’in yang menghilangkan pemilikan
bekas suami terhadap istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas
suami untuk kawin kembali dengan bekas istri. Artinya bekas suami
(49)
masa iddahnya maupun sesudah berakhir masa iddahnya yang
termasuk kedalam talak ba’in shugro ialah:41
a) Talak sebelum berkumpul.
b) Talak dengan penggantian harta atau yang disebut khulu’
c) Talak karena aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara,
talak karena penganiayaan dan lain sebagainya.
2) Talak ba’in kubro ialah talak yang menghilangkan pemilikan bekas
suami terhadap bekas istri serta menghilangkan kehalalan bekas
istrinya, kecuali bekas istrinya itu kawin dengan laki-laki lain, dan
telah berkumpul dengan suami yang kedua dan telah bercerai secara
wajar dan telah selesai menjalankan iddahnya, dan talak ba’in kubro
terjadi pada talak yang ketiga. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam Al Quran surat Al Baqoroh ayat 230 yang berbunyi:42
⌧
⌧
⌧
)
ةﺮﻘ ﻟا
:
230
(
"Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. (Q.S Al Baqoroh; 230)
41
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat,op. cit. h. 198.
42
(50)
Kalau kita tinjau dari segi suami menyampaikan talak terhadap
istrinya, talak ada beberapa macam diantaranya sebagai berikut:43
a. Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan
ucapan dihadapan istri dan istri mendengar secara langsung ucapan
suaminya itu.
b. Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami secara
tertulis lalu disampaikan kepada istrinya, kemudian istri membaca dan
memahami dan isi maksudnya, talak yang dinyatakan secara tertulis dapat
dipandang jatuh (sah, meski yang bersangkutan dapat mengucapkannya.
c. Talak dengan isyarat, yaitu talak yang dilakukan dalam bentuk isyarat
oleh suami yang tuna wicara (bisu) dapat dipandang sebagai alat
komunikasi untuk memberikan pengertian dan menyampaikan maksud
dan isi hati. Oleh karena itu isyarat baginya sama dengan ucapan bagi
yang dapat berbicara dalam menjatuhkan talak. Sepanjang isyarat itu jelas
dan menyakinkan bermaksud talak atau mengakhiri perkawinan, dan
isyarat itu satu-satunya jalan untuk menyampaikan maksud yang
terkandung dalam hati.44
d. Talak dengan utusan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada
istrinya melalui perantara orang lain sebagai utusan untuk menyampaikan
maksud suami itu kepada istrinya yang tidak ada dihadapan suami bahwa
43
Ibid.
44
(51)
mentalak istrinya. Dalam hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil suami
untuk menjatuhkan talak suami dan melaksanakan talak itu.45
45
(52)
DALAM RUMAH TANGGA
A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1. Pengertian kekerasan
Kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang
atau sejumlah orang yang berposisi kuat (merasa kuat) kepada seseorang atau
sejumlah orang yang berposisi lemah (dipandang lemah atau dilemahkan)
yang dengan sarana kekuatannya, baik secara fisik atau pun non fisik dengan
segaja dilakukan untuk menimbulkan penderitaan kepada obyek kekerasan.1
Secara etimologi kekerasan berasal dari kata “keras” yang berarti
padat dan tidak mudah berubah bentuknya atau tidak mudah pecah.
Sedangkan kata :kekerasan” itu sendiri adalah perihal (yang bersifat, berciri)
keras, perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedar
atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang
lain.2
Secara terminologi yang dimaksud dengan kekerasan atau violence pada
dasarnya merupakan suatu konsep yang makna isinya sangat bergantung kepada
1
Mufidah. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang, UIN Malang:2008),cet-ke1,h. 267.
2
Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa . kamus besar edisi ke-2 cet VII Jakarta: balai pustaka, 1996, h. 484-485.
(53)
masyarakat sendiri.3 Kekerasan identik dengan bentuk penyiksaan seperti yang
terungkap dalam Al Quran Surat Al Fajr ayat 25 yang berbunyi:
⌧
)
ﺮﺠﻔﻟا
:
25
(
Artinya: “Maka pada hari itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksa-Nya” (Q.S. Al Fajr: 25)
Yang dimaksud dalam kalimat dari ayat ini “menyiksa” adalah kekerasan
akibat Allah. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia kekerasan adalah
perihal atau sifat keras atau padat, perbuatan seseorang atau sekelompok orang
yang menyebabkan cedera atau artinya orang lain.4
Dalam laporannya di Jawa Tengah, fatayat NU menyimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan kekerasan adalah melakukan tindakan atau serangan pada
seseorang baik secara fisik atau non fisik dan berakibat penderitaan pada korban.5
Sedangkan Damik mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah
perwujudan historis dari hubungan-hubungan kekuasaan antara laki-laki dan
perempuan yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap kaum
perempuan oleh kaum laki-laki dan hambatan kemajuan bagi mereka.6
3
Fathul Djannah, dkk. Kekerasan terhadap istri(Jogyakarta: LKiS, 2003), h. 11.
4
Dekdibud, kamus bahasa Indonesia (kamus besar bahsa Indonesia) (Jakarta: balai pustaka, 1988), h. 758
5
Fatayat NU Kekerasan Pada Perempuan Di Banjar Negara (Jawa Tegah: laporan penelitian NU dan the asian development bank, Jakarta: 2001), h. 5
6
DKI Jakarta. Penetapan Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT laporan penelitian),h.29
(54)
2. PengertianRumah Tangga
Menurut Ensiklopedia Nasional jilid ke-1, yang dimaksud dengan
“rumah” adalah tempat tinggal atau bangunan untuk tinggal manusia.
Sementara rumah tangga memiliki pengertian tempat tinggal beserta
penghuninya dan apa-apa yang ada di dalamnya.7
Secara bahasa, kata rumah (al bait) dalam Al Qamus Al Muhith
bermakna kemuliaan; istan; keluarga seseorang; kasur untuk tidur, bisa pula
bermakna menikahkan, atau bermakna orang yang mulia.8 Dari makna bahasa
tersebut, rumah memiliki konotasi tempat kemuliaan, sebuah istana, adanya
suasana kekeluargaan, kasur untuk tidur, dan aktivitas pernikahan. Sehingga
rumah tidak hanya bermakna tempat tinggal, tetapi juga bermakna penghuni
dan suasana.Rumah tangga islami bukan sekedar berdiri di atas kenyataan
kemusliman seluruh anggota keluarga. Bukan juga karena seringnya terdengar
lantunan ayat-ayat Al Qur’an dari rumah itu, bukan pula sekedar karena
anak-anaknya disekolahkan ke masjid waktu sore hari. Rumah tangga islami adalah
rumah tangga yang di dalamnya ditegakkan adab-adab islami, baik yang
menyangkut individu maupun keseluruhan anggota rumah tangga. Rumah
tangga islami adalah sebuah rumah tangga yang didirkan di atas landasan
ibadah. Mereka bertemu dan berkumpul karena Allah, saling menasehati
dalam kebenaran dan kesabaran, serta saling menyuruh kepada yang ma’ruf
7
Ensiklopedia nasional Indonesia jilid ke 1
8
(55)
dan mencegah dari yang mungkar, karena kecintaan mereka kepada
Allah.Rumah tangga islami adaah rumah tangga teladan yang menjadi teladan
yang menjadi panutan dan dambaan umat. Mereka betah tinggal di dalamnya
karena kesejukan iman dan kekayaan ruhani. Mereka berkhimat kepada Allah
SWT. Dalam suka maupun duka, dalam keadaan senggang maupun
sempit.Rumah tangga islami adalah rumah yang di dalamnya terdapat sakinah,
mawadah dan rahmah (perasaan tenang, cinta dan kasih sayang). Perasaan itu
senantiasa melingkupi suasana rumah setiap harinya. Seluruh anggota
keluarga merasakan suasana “surga” di dalamnya. Baiti jannati, demikian
slogan mereka sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw. Subhanalah!“dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ruum:21) Hal itu terjadi karena Islam telah mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik yang berskala individu
maupun kelompok, hubungan antar individu, antar kelompok masyarakat,
bahkan antar negara. Demikian pula, dalam keluarga terdapat
peraturan-peraturan, baik yang rinci maupun global, yang mengatur hubungan individu
maupun keseluruhannya sebagai satu kesatuan. Iniah ciri khas rumah tangga
(56)
aturan Allah swt. Mereka bergaul dan bekerja sama di dalamnya untuk saling
menguatkan dalam beribadah kepada-Nya.9
B. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut UU No. 23 Tahun 2004
Tanggal 22 September 2004 bisa jadi merupakan tanggal bersejarah bagi
kalangan feminis di Indonesia. Setidaknya satu dari sekian banyak agenda
perjuangan mereka yang terkait dengan isu perempuan/yakni upaya pencegahan
dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga akhirnya membuahkan hasil.
Pemerintahan dan DPR RI akhirnya sepakat untuk mengesahkan undang-undang
No 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga atau
dikenal dengan UU KDRT.10
Hanya saja, seperti yang sudah diduga sebelumnya, pengesahan
undang-undang ini akhirnya memang banyak menuai kontroversi. Selain banyak kalangan
yang merasa kecolongan, mereka juga menilai keberadaan undang-undang yang
disponsori penuh oleh the Asia Foundation ini dibangun diatas paradigma yang
salah. Wajar jika materi hukumnya pun syarat dengan pasal-pasal bermasalah.11
Kekerasan apapun yang terjadi dalam masyarakat, sesungguhnya
berangkat dari satu idiologi tertentu yang mengesahkan penindasan disatu
pihak-pihak perseorangan maupun kelompok terhadap pihak-pihak lain yang disebabkan oleh
9
http://embuntarbiyah.wordpress.com/2007/07/24/rumah-tangga-islami/
10
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwekerto, Fajar Pustaka, 2006), cet. Ke-1, h. 1.
11
(57)
anggapan ketidak setaraan yang ada dalam masyarakat. Pihak yang tertindas
disudutkan pada posisi yang membuat mereka berada dalam ketakutan melalui
cara penampakan kekuatan secara periodik.
Kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) adalah bentuk
penganiayaan (abuse) oleh suami terhadap istri atau sebaliknya baik secara fisik
(patah tulang, memar, kulit tersayat), maupun emosional atau psikologis (rasa
cemas, depresi dan perasaan rendah diri). Dalam rumusan yang lain, kekerasan
dalam rumah tangga didefinisikan setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
secara sendiri atau bersama-sama terhadap seorang perempuan atau terhadap
pihak yang tersubordinasi lainnya dalam rumah tangga, yang mengakibatkan
kesengsaraan secara fisik, seksual, ekonomi, ancaman psikologis termasuk
rampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Dalam perkembangannya,
kekerasan dalam rumah tangga sesungguhnya tidak hanya terjadi antara suami
dengan istrinya saja, tetapi juga bisa terjadi antara orang tua dengan anak
(kekerasan terhadap anak) atau antara majikan dengan pembantunya yang terjadi
di dalam lingkup keluarga.12
Bentuk kekerasan yang palang sering terjadi adalah kekerasan terhadap
istri atau yang lebih tepat kekerasan terhadap perempuan oleh pasangan intim.
Kekerasan terhadap perempuan menyebabkan dan melestarikan subordinasi.
Subordinasi terhadap perempuan sudah berlangsung cukup lama dan bersifat
universal, hanya bentuk subordinasinya yang beragam dengan intensitas yang
12
(58)
berbeda-beda. Subordinasi tidak sekedar perbedaan seksual dalam arti biologis,
tetapi kemudian berkembang pada perbedaan fungsi-fungsi reproduksi dan
produksi, baik dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi, ideologi kelas,
maupun stratifikasi sosial melalui serangkaian sosialisasi untuk melanggengkan
posisi perempuan yang subordinat.13
Terjadinya kekerasan dalam rumah tangga bermula dari adanya pola relasi
kekuasaan yang timpang antara laki-laki (suami) dengan perempuan (istri).
Kondisi ini tidak jarang mengakibatkan tindakan kekerasan oleh suami pada
istrinya justru dilakukan sebagai bagian dari penggunaan otoritas yang
dimilikinya sebagai kepala keluarga. Justifikasi atas otoritas itu bisa lahir
didukung oleh perangkat undang-undang Negara atau oleh persepsi-persepsi
sosial dalam bentuk mitos-mitos superioritas seorang laki-laki yang dipercayai
oleh masyarakat tertentu. 14
Dalam konsideran undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dijelaskan bahwa kebanyakan
korban KDRT adalah perempuan yang harus mendapatkan perlindungan Negara
atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman
kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat
13
Ibid
14
(59)
kemanusiaan.15 Di samping itu, perlunya undang-undang ini disahkan karena
system hukum yang ada belum dinilai bisa menjadi perlindungan terhadap korban
kekerasan dalam rumah tangga.
Pengertian kekerasan dalam rumah tangga sebagai mana yang dijelaskan
dalam bab 1 ketentuan umum pasal 1, yang menyatakan bahwa:
1. Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan. Yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.16
2. Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan
oleh Negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan melindungi korban
kekerasan dalam rumah tangga.
3. Korban adalah yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam
lingkup rumah tangga.17
Didalam BAB III Undang-Undang PKDRT tentang larangan kekerasan dalam
rumah tangga disebutkan bahwa:
15
Undang-undang republic Indonesia no 23 tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga
16
Undang-Undang RI Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004
17
Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Undang-undang RI No 23 tahun 2004 ,(Jakarta: Undang-undang RI No 23 tahun 2004 ,), h. 10.
(60)
Dalam Pasal 5 setiap orang dilarang kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang lingkup rumah tangganya dengan cara:
a. Kekerasan fisik
b. Kekerasan psikis
c. Kekerasan seksual
d. Penelantaran rumah tangga.
Dan dalam Pasal 6 disebutkan “kekerasan fisik sebagai mana dimaksud
dalam pasal 5 huruf (a) adalah perubahan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat”.
Sedangkan dalam Pasal 7 dijelaskan “kekerasan psikis sebagai mana yang
dimaksudkan dalam pasal 5 huruf (b) adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,
rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang”. Dan dalam
Pasal 8 menguraikan kekerasan seksual yang dimaksudkan dalam pasal 5 huruf
(c) meliputi:
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang menetapkan
dalam lingkup rumah tangga tersebut.
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau untuk tujuan
tertentu.
Dan dalam Pasal 9 ayat (2) menyebutkan “penelantaran sebagai mana
dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
(1)
PROFIL PENGADILAN AGAMA DEPOK
1. Peta Yuridiksi Pengadilan Agama Depok
Secara geografis kota Depok terletak pada kordinat 6o 19’00”- 6o 28’ 00” lintang selatan dan 106o 43’-106o 55’-30” bujur timur, secara geografis kota Depok berbatasan langsung dengan kota Jakarta atau berada dalam lingkungan jadebotabek. Bentangan alam kota Depok dari selatan ke utara merupakan daerah rendah perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50-140 meter diatas permukaan air laut kemiringan lerengnya kurang dari 15%. Kota Depok sebagai wilayah termuda di Jawa Barat mempunyai luas wilayah sekitar 200,29 km2. Kondisi geografisnya dialiri sugai-sugai besar yaitu oleh sugai Ciliwung dan Cimareme serta 13 sub satuan wilayah aliran sugai. Disamping itu terdapat pula 25 situ, dan luas situ pada tahun 2005 sebesar 169,68 Ha, dengan kualitas air buruk akibat tercemar.1
Pengadilan agama Depok kelas IB beralamat dijalan boulevard sector anggerk komplek perkantoran kota kembang Grand Depok City Depok dan beroperasi pada alamat tersebut setelah diresmikannya gedung pengadilan Agama Depok bersamaan dengan diresmikannya gedung pengadilan tinggi Agama Bandung pada tanggal 20 Februari tahun 2007 oleh Prof.Dr.H.Bagir Manan,SH,M.CL.,di jalan Soekarno Hatta 714 Bandung. Pengadilan agama Depok dibentuk berdasarkan keputusan presiden republic Indonesia nomor 62
1
http/www.pa-depok.go.id/portal/yuridiksi-pa (ambil pada tanggal 25 mei 2010 jam 13.15 WIB)
(2)
tahun 2002 tanggal 28 agustus 2002 yang peresmian oprasionalnya dilakukan oleh wali kota Depok di gedung balai Depok pada tanggal 25 juni 2003 dan mulai menjalankan pungsi peradilan sejak tanggal 1 juli 2003, dijalan bahagia raya No.11 Depok dengan menyewa rumah penduduk sebagai gedung oprasionalnya.2
Daerah hukum peradilan agama Depok meliputi pemerintahan kota Depok sesuai dengan pasal 4 ayat (1) UU nomor 7 tahun 1989 tentang batas wilayah, yang dalam keputusan presiden republik Indonesia nomor 62 tahun 2002 pasal 2 ayat (5) tersebut bahwa “daerah hukum pengadilan agama Depok meliputi wilayah pemerintahan kota Depok Propinsi Jawa Barat”. Pengadilan Agama Depok yang daerah hukumnya meliputi wilayah pemerintahan kota Depok yang terdiri dari ( sebelum pemekaran adalah 6 kecamatan dengan 60 kelurahan) 11 kecamatan 64 kelurahan dengan mayoritas penduduk beragam Islam, dengan beban kerja rata-rata tiap bulan 162 perkara, dalam melaksanakan tugasnya Pengadilan Agama Depok didukung dengan kekuatan pengawai sebayak 38 orang dan secara formal pelaksanaan tugas Pengadilan Agama Depok harus dipertanggung jawabkan dalam bentuk laporan kepengadilan tinggi agama Bandung selaku atasan. 3
Pengadilan Agama Depok sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan amanat undang-undang No 4 tahun 2004 tentang ketentuan pokok kekeuasaan kehakiman, dalam melaksanaakn tugasnya guna menegakan hukum dan keadilan harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang selau menghendaki
2
Op, cit.
3
(3)
peradilan yang sederhana , cepat, tepat, dan biaya ringan. Hal mana pengadilan agama Depok sebagai pelaksana visi dan misi mahkamah agung RI yang menjabarkan oleh direktorat jenderal badan peradilan agama, yaitu: visi “terwujudnya ptusunan yang adail dan berwibawa, sehingga kehidupan bermasyarakat menjadi tenang, tertib dan damai dibawah lindungan Allah SWT “ dan misi: “menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam Indonesia di bidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodakoh dan ekonomi syari’ah, secara cepat, sederhana, dan biaya ringan”.
2. Visi Dan Misi Pengadilan Agama Depok
a. Visi adalah suatu gambaran yang menantang tentang suatu keadaan masa depan, berisikan cita dan citra yang ingin diwujudkan oleh suatu institusi b. Misi adalah sesuatu yang harus di emban atau dilaksanakan oleh suatu
institusi sesuai visi yang ditetapkan agar tujuan lembaga dapat terlaksana dan berhasil dengan baik.
Pengadilan agama Depok sebagai underbow mahkamah agung RI memiliki komitmen dan kewajiban yang sama untuk mengusung terwujudnya peradilan yang baik dan benar serta dicintai masyarakat. Atas dasar itu maka pengadilan agama Depok menjabarkan visi dan misinya yaitu :
Visi pengadilan agama Depok adalah mewujudkan peradilan yang berwibawa dan bermartabat serta terhormat dalam menegakan hukum untuk
(4)
menjamin keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat.
Hal ini mengandung makna bahwa peradilan agama Depok siap bersama-sama peradilan lainnya meningkatkan kinerja yang lebih baik demi menjaga kehormatan dan martabat serta wibawa peradilan yang didediksikan dalam bentuk
Misi pengadilan agama Depok yaitu:4
a. Meningkatakan pelayanan penerimaan perkara b. Membuka akses publik seluas luasnya
c. Mewujudkan proses pemeriksaaan perkara yang dermawan, cepat dan dengan biaya ringan.
d. Menjadikan putusan/penetapan yang memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum dan dapat dikasanakan.
e. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
f. Melaksanakan pelaksanaan pengawasan terhadap kinerja dan perilaku aparat pengadilan agar berlaku jujur dan berwibawa serta agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.
3. Struktur Kepengurusan Peradilan Agama Depok
Ketua : Dra. Nia Nurhamidah R, M.H. Wakil Ketua : Drs. H. Toha Mansyur, S.H.M.H. Panitra Skretaris : Drs. H. Asop Ridwan. M.H.
4
http/www.pa-depok.go.id/portal/yuridiksi-pa (ambil pada tanggal 25 mei 2010 jam 13.15 WIB)
(5)
Hakim : Drs. Agus Abdullah. M.H. Drs. Hj. Siti Nadirah
Drs. H.A. Baiodhowi, M.H. Dra. Nurmiwati
Drs. Azid Izuddin, M.H. Dra. Taslimah, M.H. Drs. Sarnoto, M.H.
Drs. Sulkh Harwiayanti. S.H. Wakil Panitra : Ending Ridwan, S.Ag. Panitra Muda Gugatan : M. Ali Afriddy. S.H. Panitra Muda Permohonan : Mumu, S.H. M.H. Panitra Muda Hukum : Drs. E.Arifudin Panitra Pengganti : Hj. Inti Khobijati
Defrialdi. S.H. M. Thamrin, S.Ag. Wakil Sekretaris : H. Supjadin, S.Ag. Kaur Keuangan : Siti Aisah, S.H. Kaur Kepegawaian : Indraari Stiwan, S.H. Kaur Umum : Mataris, S.H.
Juru Sita : Pepen, S. Ag.
Didin Jamaluddin, S.H. M.H. Samsudin, S.Ag.
(6)
Jurusita Pengganti : Bahrun Kustiawan Totih Ramahana, S.H. Arifin, S.H. M. Ag. M. Tasdik
Wiji Piningit Novia Husen5
5
http/www.pa-depok.go.id/portal/struktur-pa (di akses pada tanggal 25 Mei 2010, jam 13.15 WIB)