Batalnya Resepsi Pernikahan Sebagai Alasan Perceraian (Analisis Yuridis Putusan Perkara Nomor 583/Pdt.G/2012/Pa.Bgr)

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

AHMAD FARHAN SUBHI NIM : 1 0 9 0 4 4 1 0 0 0 4 3

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

(5)

Agama, Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syari’ah dan Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H / 2014 M. vi + 94 halaman + 19 halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui hukum menyelenggarakan dan menghadiri resepsi pernikahan. Karena masyarakat masih kurang memahami tentang hukum menyelenggarakan dan menghadiri resepsi pernikahan. Hakim Pengadilan Agama Bogor menjadikan batalnya resepsi pernikahan sebagai salah satu alasan dalam memutuskan perceraian sebagaimana yang terdapat dalam putusan Pengadilan Agama Bogor nomor 583/Pdt.G/2012/PA.Bgr. Penulis memilih obyek penelitian di Pengadilan Agama Bogor. Penulis ingin mengetahui pertimbangan hukum dan majlis hakim dalam memutuskan perkara batalnya resepsi pernikahan sebagai alasan perceraian.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif. Data diperoleh melalui buku atau literatur kepustakaan dan wawancara. Wawancara dilakukan dengan hakim Pengadilan Agama Bogor yang memutuskan perkara nomor 583/Pdt.G/2012/PA.Bgr terkait pertimbangan hukum hakim mengenai batalnya resepsi pernikahan yang dijadikan sebagai salah satu alasan diputusnya perceraian pada perkara tersebut.

Hasil penelitian menunjukan bahwa batalnya resepsi pernikahan menjadi salah satu variable yang menyebabkan ketidak harmonisan hubungan rumah tangga atau dengan kata lain sebagai salah satu pemicu terjadinya perceraian.

Kata kunci : Resepsi Pernikahan, Perceraian, Pengadilan Agama Bogor. Pembimbing : Ali Mansur, M.A.


(6)

i

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, ungkapan rasa syukur senantiasa penulis panjatkan kepada

Allah Swt atas segala ni’mat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan penuh perjuangan dan usaha yang sebaik-baiknya. Untaian shalawat beriringkan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, seorang pemimpin ummat, penyelamat di dunia dan pemberi syafa’at di akhirat, serta teriring pula salam kepada keluarga-Nya, para sahabat dan pengikut-Nya yang senantiasa ta’at dan setia hingga hari kiamat.

Berbagai macam kesulitan dan hambatan turut menyertai langkah penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, namun langkah tersebut berakhir pada suatu jalan kemudahan yang lahir berkat bantuan dan dukungan serta bimbingan dan arahan yang berguna dari berbagai pihak, baik pihak luar maupun keluarga terdekat.

Dengan demikian, pada kesempatan yang baik ini penulis mengungkapkan rasa terima kasih disertai dengan rasa hormat dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

ii

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik, semoga beliau selalu dalam lindungan dan kasih sayang Allah Swt.

5. Narasumber dan staff lembaga Pengadilan Agama Bogor, yang telah memberikan izin serta membantu penulis dalam observasi dan wawancara terkait data yang penulis perlukan dalam penelitian skripsi, khususnya kepada Drs. H. Mohammad Yamin, S.H., M.H., selaku ketua Pengadilan Agama Bogor yang telah memberikan izin kepada penulis dan Drs. M. Anshori, S.H., M.H., selaku hakim yang telah bersedia menjadi narasumber dan memberikan informasi kepada penulis.

6. Seluruh dosen Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan selama penulis menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kepada para Pimpinan dan Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum yang telah menyediakan fasilitas belajar dan mengajar dengan baik. Serta Staff Perpustakaan, baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah menyediakan sarana perpustakaan dengan baik sehingga memudahkan penulis dalam mencari data kepustakaan.


(8)

iii

dan pengorbanan yang tak terhingga sehingga penulis bisa menjadi seperti sekarang ini, rasa hormat dan terimakasih yang tiada tara untukmu ayah dan ibuku. Juga untuk kedua adinda kembarku, Ahmad Syahrul Fadhil dan Ahmad Syahroni Fadhil, yang telah memberikan do’a dan dukungan kepada penulis serta menjadi motivasi bagi penulis agar bisa memberikan tauladan yang baik. Dan juga kepada keluarga besar Kong. H. Abdullah bin H. Muhajir dan keluarga besar Kong. H. Muhammad bin Manah yang senantiasa memberikan do’a dan dukungan kepada penulis disetiap perkumpulannya.

8. Para guru, asatidz dan keluarga besar Pondok Pesantren Al-Islamiy As-Salafiy Ar-Ridwan, khususnya kepada Abah K.H. Zainal Abidin, S.Ag, yang telah mendidik dan membekali penulis ilmu agama dan dasar kepribadian yang baik, mudah-mudahan ilmu yang telah diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan dapat penulis berikan manfaat pula untuk orang banyak.

9. Teman-teman seperguruan dan seperjuangan konsentrasi Peradilan Agama angkatan 2009. Khususnya kepada sahabat karib penulis, Helmi, Rouf, Fajar, Ihsan, Yusuf, Fauzan, Fikri, Duray, Asep, Ridwan, Nurdian, Mufti, Qosim, Ahdi, Jefri, Udin, Mamduh, Eni, Dewi, Nailul, dan yang lainnya. Juga kakak kelas penulis yang telah bersedia menjadi teman berdiskusi dan bertukar informasi penulis khususnya mengenai persoalan pada skripsi penulis, Mas Atho, Mas


(9)

iv

terjalin dengan baik walaupun terdapat jarak dan waktu diantara kita. Tak lupa pula teman-teman berkumpul dan berdiskusi pada forum PALAPA, PUKKANSI dan IBNU SINA 23, yang telah menjadi wadah bertukar fikiran dan informasi khususnya mengenai persoalan pada skripsi penulis.

Kepada semua pihak yang telah banyak memberikan do’a dan dukungan kepada penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung atau pun berupa moriil maupun materiil. Hanyalah ucapan terima kasih dan do’a yang dapat penulis ungkapkan, semoga semua itu dapat diterima sebagai amal baik disisi Allah Swt, serta memperoleh balasan berupa pahala yang berlipat ganda.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini, mengingat banyak sekali kekurangan di dalamnya. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 28 Januari 2014.


(10)

v

DAFTAR ISI ……… v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……….. 8

C. Tujuan dan ManfaatPenelitian ………. 9

D. Review Studi Terdahulu ……….. 9

E. Metode Penelitian ……… 15

F. Sistematika Penulisan ……….. 19

BAB II PERCERAIAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian ………. 21

B. Macam-Macam Perceraian ……….. 29

C. Alasan-Alasan Perceraian ……… 38

D. Prosedur Penyelesaian Perkara Perceraian ………... 40

BAB III RESEPSI PERNIKAHAN A. Pengertian Resepsi Pernikahan ………. 52

B. Dasar Hukum Resepsi Pernikahan ……… 54

C. Waktu Melaksanakan Resepsi Pernikahan ……… 56 D. Kedudukan Hukum dalam Memenuhi Undangan Resepsi


(11)

vi

NOMOR 583/Pdt.G/2012/PA.Bgr

A. Profil Pengadilan Agama Bogor ……… 63

B. Para Pihak dan Kedudukan Masalah ………. 72

C. Pertimbangan Hakim ………. 73

D. Amar Putusan Hakim ……… 78

E. Analisis Penulis ………. 79

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 86

B. Saran-saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 89 LAMPIRAN


(12)

1

BAB 1 PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa makhluk lain, dengan kata lain manusia secara individu mempunyai potensi untuk berhubungan atau berinteraksi dengan makhluk lain yang ada di muka bumi, khususnya dengan manusia lainnya. Di dalam proses ini terdapat beberapa aturan yang harus diperhatikan agar terciptanya keharmonisan dalam bermasyarakat serta keseimbangan antara satu dengan yang lain.

Salah satu aturan tersebut ialah perkawinan. Perkawinan sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat guna melangsungkan kehidupan umat manusia serta untuk menjadikan manusia senantiasa mengingat kepada Allah. Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Dzariyat (51) : 49



















(

تايراذلا

(49: 51/

Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.

Allah sebagai Yang Maha Pencipta menjadikan manusia laki-laki dan perempuan supaya manusia itu hidup sebagai suami istri, hidup berkeluarga, serta membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu mesti adanya suatu ikatan dan pertalian yang kokoh dalam bentuk perkawinan.


(13)

Selanjutnya al-Qur‟an menjelaskan di dalam QS. Al-Ra‟d (13) : 38







































(

لا

دعر

(38: 13

/

Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu)”.

Berdasarkan ayat di atas, dapat difahami bahwa berkeluarga itu termasuk ajaran rasul-rasul sejak dahulu sampai rasul terakhir Nabi Muhammad Saw. Allah Swt mengutus beberapa rasul sebelum Nabi Muhammad Saw dan memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.1

Adapun di dalam sabda Nabi Muhammad Saw dijelaskan :

ي َــ

َم ا

ْع َش

َر

َشلا

بـ َـــ

َبا

َم

ِن

ا ْست

َــ َط

ــــ ا

َع

ِم ْـــ

ُك

ُم

ْلابـ

ــــــَـ

َءا َة

َـف ْل

َيت َـ َز

َو

ْج

َفـ ِإن

َـ ُ

َأ َغ

ض

ِلـ ْل

َب َص

ِر

َو َأ

ْحــ

َصـ

ُن

ِلـ ْل

َفــ ْر

ِج

(

)ملسمو ىراخبلا اور

2

Artinya: “ Hai para pemuda, barang siapa yang telah sanggup diantara kamu untuk melaksanakan perkawinan, maka hendaklah kawin, karena sesungguhnya dengan perkawinan itu dapat meredam pandangan (yang liar) dan lebih menjaga kehormatan”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadis di atas, dapat difahami bahwa bagi para pemuda yang telah mampu menikah hendaknya melaksanakan pernikahan agar dapat menjaga pandangan dari hal-hal yang tidak baik dan agar lebih menjaga kehormatan.

1

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, cet. III, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 14.

2

Imam al-Bukhari, Saẖîẖ al-Bukhari, Juz V, (t.t : Dâr al-Fikr, 1994 M/1414 H), h. 143. Dan Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, Penerjemah Elly Lathifah, cet. I, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 374.


(14)

Dengan demikian, perkawinan adalah perintah Allah Swt yang diciptakan bertujuan untuk melanjutkan keturunan dalam bentuk mewujudkan keluarga yang sejahtera, di samping itu perkawinan juga bertujuan untuk menyalurkan rasa cinta dan kasih sayang yang sah.3 Allah Swt juga mensyari‟atkan perkawinan agar supaya hidup manusia didunia ini menjadi tentram.4

Menurut Prof. Abdul Rahman Ghazali, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh,5 kebersamaan, berkumpul, dan menjalin ikatan antara suami istri.6

Kata perkawinan dalam ilmu fiqh yakni nikâh atau zuwâj. Nikah secara etimologis mempunyai dua makna, yakni makna sebenarnya (haqiqat) dan makna kiasan (majaz). Makna yang sebenarnya dari nikah, ialah al-ḏammu, yang berarti menghimpit, menindih atau berkumpul, sedangkan makna kiasannya ialah al-waṯ‟u

yang berarti setubuh atau aqad mengadakan suatu perjanjian perkawinan.7 Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, diantaranya:

َالـ َز

عْرَش ُجاَو

ـــــ

ْقَعَوُا

ــــ

َعَضَو ٌد

ــــــ

َشلا ُ

ـــــــ

ِل ُعِرا

ــــ ُي

ْيِفــ

َتْمِتْسِا ُكْلِم َد

ــــــــــ

ِعا

ُجَرلا

ـــ

ِب ِل

ــ

َحَو ِةَأْرَمْلا

ـــ ل

3

Haya binti Mubarok, Ensiklopedi Wanita Muslimah, Penerjemah Amir Hamzah Fachrudin, dkk, (Jakarta: Darul Falah, 2002), h. 97.

4

M. Hasan Ali, Berumah Tangga Dalam Islam, cet.I, (Jakarta: Siraja, 2003), h. 1-2.

5

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 7.

6Musfin As‟ad

dan H. Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 1993), h. 17.

7

Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tetang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 1.


(15)

ْمِتْسِا

َرلاِب ِةَأْرَمْلا ِعاَت

ِلُج

Artinya: “Perkawinan menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟ untuk

membolehkan bersenang senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki”.8

Di Indonesia perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang mengatur segala sesuatu berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan memberikan pengertian tentang perkawinan yaitu: “Ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.9

Kompilasi Hukum Islam juga memberikan pengertian perkawinan yang dinyatakan dalam Pasal 2 sebagai berikut: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.10

Dalam perkawinan dikenal suatu prosesi yang dinamakan walîmatul „ursi atau resepsi pernikahan. Prosesi ini dilakukan untuk memberitahu khalayak ramai bahwa kedua mempelai telah menjadi suami istri, sekaligus sebagai rasa syukur keluarga kedua belah pihak atas berlangsungnya pernikahan tersebut.11

8

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 8.

9

CST. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jilid. II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 58.

10

Anggota IKAPI, kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2010), h. 7.

11

Abdul Azis Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, cet. III, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), h. 1917.


(16)

Dalam kaitannya dengan resepsi pernikahan, terdapat sebuah contoh kasus yang terjadi di wilayah Pengadilan Agama Bogor, bahwasanya persoalan resepsi pernikahan (dalam perkara ini yakni batalnya suatu resepsi pernikahan), menjadi salah satu alasan diputusnya suatu perceraian.

Bagi umat muslim perceraian dikenal dengan istilah talak. Menurut Sayyid Sabiq, talak adalah:

ِةــــَي ِجْوَزــلا ِةــــَق َََعْلا ُءاــَهْـنِإ َو ِجاَوَزــلا ِةـَطــــِباَر ٌلَح

Artinya: “Melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”.12 Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa perceraian itu ialah terlepasnya ikatan perkawinan, dan terputusnya hubungan diantara suami istri akibat salah satu dari beberapa sebab.13

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagai wujud kodifikasi hukum Islam, telah mengklasifikasikan penyebab terjadinya suatu perceraian. Didalam pasal 38 UU Perkawinan disebutkan yakni perceraian terjadi dengan sebab:

1. Kematian salah satu pihak,

2. Perceraian karena talak dan perceraian karena gugat,

12

Sayyid Sabiq, Fiqẖ al-Sunnah, Jilid II, (Beirut: Darul Fikri), h. 206.

13

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah Abdul Hayyie al-kattani, dkk, cet. I, Jilid IX, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 311.


(17)

3. keputusan Pengadilan.14

Kemudian dalam pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.15 Dan di pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan pula bahwa untuk melaksanakan perceraian harus cukup alasan yaitu antara suami isteri tidak akan hidup sebagai suami isteri.

Ketentuan ini dijelaskan kembali didalam penjelasan pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dengan menyebutkan bahwasanya alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perceraian adalah:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan pihak lain.

14

H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. III, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 74.

15


(18)

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.

6. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.16

Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam menambahkan alasan-alasan dalam perceraian ini dengan penambahan dua alasan yaitu:

1. Suami melanggar taklik talak dan

2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan.17 Dengan demikian, terlihat jelas bahwa batalnya resepsi pernikahan sebagaimana yang tertera di dalam putusan Pengadilan Agama Bogor dalam perkara Nomor 583/Pdt.G/2012/PA.Bgr tidaklah termasuk salah satu dari alasan perceraian dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Berdasarkan uraian di atas, penulis akan memfokuskan bahasan skripsi ini pada kasus tersebut dengan judul skripsi: Batalnya Resepsi Pernikahan Sebagai

Alasan Perceraian (Analisis Yuridis Putusan Perkara Nomor

583/Pdt.G/2012/PA.Bgr)”.

16

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 248-249. Lihat pula Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

17


(19)

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Perceraian yang diajukan kepada Pengadilan Agama antaralain karena alasan ekonomi dan nafkah, zina atau mabuk, kekejaman atau penganiyaan, selingkuh dengan pihak ketiga, dan berbagai macam bentuk alasan lainnya. Dengan berbagai macam alasan perceraian tersebut, maka penulis akan membatasi penulisan skripsi ini pada kasus perceraian yang disebabkan batalnya resepsi pernikahan dan kasus batalnya resepsi pernikahan ini adalah yang terdata di Pengadilan Agama Bogor. 2. PerumusanMasalah

Batalnya resepsi pernikahan sebagai alasan terjadinya perceraian, tidak diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, akan tetapi pada kenyataanya hakim Pengadilan Agama Bogor menjadikan batalnya resepsi pernikahan sebagai salah satu alasan dalam memutuskan perceraian sebagaimana yang terdapat dalam putusan Pengadilan Agama Bogor nomor 583/Pdt.G/2012/PA.Bgr.

Rumusan masalah tersebut penulis rangkum dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah hukum menyelenggarakan dan menghadiri resepsi pernikahan? 2. Bagaimanakah pertimbangan hukum dan majlis hakim dalam memutuskan


(20)

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui hukum menyelenggarakan dan menghadiri resepsi pernikahan.

2. Mengetahui pertimbangan hukum dan majlis hakim dalam memutuskan perkara batalnya resepsi pernikahan sebagai alasan perceraian.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini antara lain :

1. Memberikan masukan kepada pihak yang terkait, dalam hal ini yang dimaksud adalah para pihak yang berkompetensi untuk mengkaji serta melegitimasi hukum terkait resepsi pernikahan dan perceraian.

2. Membuka wawasan kepada masyarakat mengenai resepsi pernikahan.

3. Pengembangan kualitas diri dan pengetahuan di bidang hukum bagi penulis terutama dibidang hukum perdata Islam.

4. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian yang serupa di masa mendatang.

5. Menambah literatur kepustakaan.

D.Review Studi Terdahulu

Penulis melakukan review studi terdahulu untuk memastikan perbedaan serta menampakan posisi akademis dari penelitian yang dijalankan agar tidak mengulang kembali kajian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelum penelitian ini:


(21)

No Judul Skripsi Isi Pembeda

1.

“KDRT Sebagai

Alasan Perceraian di Pengadilan Agama Tanggamus

Lampung”,Dhiaul Fajri, 2009.

1. Menjadikan KDRT sebagai topik utama kajian.

2. Penelitian mengenai kedudukan hukum KDRT sebagai alasan perceraian.

3. Penelitan terhadap perkara yang terdapat di Pengadilan Agama Tanggamus Lampung.

1.Menjadikan batalnya resepsi pernikahan sebagai topik utama kajian.

2.Penelitian mengenai kedudukan hukum batalnya resepsi pernikahan sebagai alasan perceraian. 3.Penelitan terhadap

perkara yang terdapat di Pengadilan Agama Bogor.


(22)

2.

Intervensi Orang Tua Sebagai Faktor Pemicu Perceraian (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat). Eva Muslimah, 2009.

1. Menjadikan intervensi orang tua sebagai topik utama kajian. 2. Penelitian mengenai

intervensi orang tua sebagai faktor pemicu perceraian.

3. Penelitan terhadap perkara yang terdapat di Pengadilan Agama Jakarta Barat.

1.Menjadikan batalnya resepsi pernikahan sebagai topik utama kajian.

2.Penelitian mengenai kedudukan hukum batalnya resepsi pernikahan sebagai alasan perceraian. 3.Penelitan terhadap

perkara yang terdapat di Pengadilan Agama Bogor.


(23)

3.

“Kekerasan Seksual

Sebagai Alasan Perceraian (Analisis Putusan No.

322/Pdt.G/2007/PA.JT) .” Rahmat Hidayat, 2010.

1. Menjadikan kekerasan seksual sebagai topik utama kajian.

2. Penelitian mengenai kedudukan hukum kekerasan seksual sebagai alasan perceraian.

3. Penelitan terhadap perkara yang terdapat di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

1. Menjadikan batalnya resepsi pernikahan sebagai topik utama kajian. 2. Penelitian mengenai

kedudukan hukum batalnya resepsi pernikahan sebagai alasan perceraian. 3. Penelitan terhadap

perkara yang terdapat di

Pengadilan Agama Bogor.


(24)

4.

Homoseksual Sebagai Alasan Perceraian (Analisis Putusan Nomor:

838/Pdt.G/2009/PA.Dp k dan Nomor:

211/Pdt.G/2009/PA.JT) . Imam Hanafi, 2010.

1. Menjadikan homoseksual sebagai topik utama kajian.

2. Penelitian mengenai kedudukan hukum homoseksual sebagai alasan perceraian. 3. Penelitan terhadap

perkara yang terdapat di Pengadilan Agama Depok dan Pengadilan Agama Jakarta Timur.

1. Menjadikan batalnya resepsi pernikahan sebagai topik utama kajian.

2. Penelitian mengenai kedudukan hukum batalnya resepsi pernikahan sebagai alasan perceraian. 3. Penelitan terhadap

perkara yang terdapat di Pengadilan Agama Bogor.


(25)

5.

Perselisihan Terus Menerus Antara Suami Isteri Akibat Turut Campur Orang Tua Sebagai Dasar Alasan Perceraian (Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1164/Pdt.G/2008/PA.J T). Ahmad Sauqi, 2010.

1. Menjadikan perselisihan terus menerus antara suami isteri sebagai topik utama kajian.

2. Penelitian mengenai kedudukan hukum perselisihan terus menerus antara suami isteri akibat turut campur orang tua sebagai alasan perceraian.

3. Penelitan terhadap perkara yang terdapat di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

1. Menjadikan batalnya resepsi pernikahan sebagai topik utama kajian.

2. Penelitian mengenai kedudukan hukum batalnya resepsi pernikahan sebagai alasan perceraian. 3. Penelitan terhadap

perkara yang terdapat di Pengadilan Agama Bogor.


(26)

E.Metode Penelitian.

Untuk memperoleh bahan yang diperlukan didalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Penelitian dan Pendekatan

Penelitian memiliki arti dan tujuan sebagai “suatu upaya pencarian” dan tidak hanya merupakan sekedar pengamatan dengan teliti terhadap suatu obyek yang terlihat kasat mata.18

Suatu penelitian ilmiah yang dilakukan oleh manusia bertujuan untuk menyalurkan hasrat ingin tahunya yang telah mencapai taraf ilmiah, disertai dengan suatu keyakinan bahwa setiap gejala akan dapat ditelaah dan dicari hubungan sebab akibatnya, atau kecenderungan yang timbul, oleh karena itu, menurut H.L. Manheim, bahwa suatu penelitian pada dasarnya usaha secara cermat dan teliti untuk menyelidiki berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu subjek ke dalam cara berfikir ilmiah.19

Jenis penelitian yang diterapkan pada penyusunan skripsi ini adalah Penelitian

kualitatif, yaitu suatu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa argumentasi tertulis maupun lisan yang berasal dari orang atau pelaku yang diteliti. Kemudian sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian

18

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 27-28.

19


(27)

yang dilakukan untuk menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kejadian nyata dilapangan dari suatu obyek.20

Selanjutnya penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.21

2. Sumber Data 1. Data Primer

Data primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki peraturan undang-undang (sesuai dengan Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan),22 catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.23 Dalam penelitian ini yakni:

a. Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan alasan-alasan perceraian, yaitu:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

20

Sudarwan Damin, Menjadi Peneliti Kualitatif: Ancaman Metodologi, Presentasi dan Publikasi Hasil Penelitian, cet.I, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 51.

21

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h. 294.

22

Dalam Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat 1 Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan presiden

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

23


(28)

2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

3) Kompilasi Hukum Islam.

b. Putusan Pengadilan Agama Bogor Nomor 583/Pdt.G/2012/PA.Bgr (telah BHT).

2. Data sekunder

Data sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi.24 Bahan hukum tersebut terdiri dari atas buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, komentar-komentar atas putusan pengadilan, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan tema skripsi ini.25

3. Data Tersier

Data tersier adalah data yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap data primer dan data sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.26 3. Proses Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode:

24

Ibid., h. 141.

25

Soejono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992), h. 51.

26


(29)

1. Studi dokumentasi yaitu dengan melihat dan mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.27

2. Wawancara, yakni suatu proses komunikasi interpersonal28 berupa tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih dengan cara bertatap muka langsung antara

pewawancara dengan orang yang diwawancarai.29

4. Analisis Data

Selanjutnya dalam analisis data pada skripsi ini penulis akan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut:

1.Mengumpulkan data, yakni data-data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini berupa data primer, sekunder maupun tersier.

2.Mengolah, menganalisis dan memberikan interpretasi terhadap data-data yang telah dikumpulkan tersebut untuk dapat menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini dengan didukung oleh pandangan hakim berdasarkan hasil wawancara penulis dengan hakim atau majlis hakim yang memutuskan perkara Nomor 583/Pdt.G/2012/PA.Bgr tersebut.

27

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 201.

28“Komunikasi Interpersonal

menunjuk kepada suatu makna berupa komunikasi dengan orang lain”. Agus M. Hardjana, Komunikasi Interpersonal dan Intrapersonal, (Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI), 2003), h. 110.

29

Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Praktis, cet.III, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), h. 23.


(30)

5. Tekhnik Penulisan.

Adapun dalam tekhnik penulisan pada skripsi ini penulis menggunakan tekhnik dasar dalam penulisan karya ilmiah yang dalam hal ini berpedoman kepada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan.

Adapun sistematika penulisan dalam penyusunan skripsi ini terdiri dari lima bab, yang perinciannya sebagai berikut:

Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua menjelaskan tentang pengertian, dasar hukum dan alasan-alasan perceraian, perbedaan antara cerai talak dengan cerai gugat serta menjelaskan prosedur penyelesaian perkara perceraian.

Bab ketiga menjelaskan tentang pengertian dan dasar hukum resepsi pernikahan, waktu melaksanakan resepsi pernikahan, serta kedudukan hukum dalam memenuhi undanganresepsi pernikahan.

Bab keempat menjelaskan tentang profil Pengadilan Agama Bogor dan menjelaskan pula mengenai para pihak, kedudukan masalah, pertimbangan hakim dan amar putusan hakim dalam putusan Pengadilan Agama Bogor nomor 583/Pdt.G/2012/PA.Bgr dan diakhiri oleh analisis penulis.


(31)

Bab kelima berisi tentang bagian akhir dari pembahasan skripsi ini yaitu penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.


(32)

21 1. Pengertian Perceraian

Secara harfiyah perceraian berasal dari istilah bahasa arab yaitu berasal dari kata ṯalaq atau iṯlâq yang artinya ialah lepas dari ikatannya, berpisah, bercerai,1 atau melepas tali dan membebaskannya.2 Yakni yang dimaksud ialah lepasnya suatu ikatan perkawinan,3 berakhirnya hubungan perkawinan,4 atau bubarnya hubungan suami istri.5

Wahbah Az-Zuhaili menerangkan bahwa istilah perceraian menurut bahasa yaitu furqah, yakni memiliki makna al-iftirâq (berpisah), jamak‟nya adalah furaq,

sedangkan menurut istilah ialah terlepasnya ikatan perkawinan, dan terputusnya hubungan diantara suami istri akibat salah satu dari beberapa sebab.6

Termasuk diantara kalimat talak adalah kalimat nâqatun ṯâliqun, maksudnya, dilepaskan dengan tanpa kekangan. Juga kalimat asîrun muṯṯaliqun, yang artinya terlepas ikatannya dan terbebas darinya. Akan tetapi, tradisi mengkhususkan talak

1

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, cet. XIV, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 861.

2

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, Penerjemah H. Abdul Majid Khon, (Jakarta: AMZAH, 2009), h. 255.

3

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. VI, (Jakarta: At-tahiriyyah, 1976), hal. 376.

4

H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Cet. III, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 229. Lihat pula H.S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 202.

5

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 185.

6

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah Abdul Hayyie al-kattani, dkk, cet. I, Jilid IX, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 311.


(33)

dengan pengertian bebas pada terlepasnya ikatan secara indrawi pada orang yang selain perempuan.7

Lafal talak telah ada sejak zaman jahiliah. Penduduk jahiliah menggunakannya ketika melepas tanggungan, tetapi dibatasi tiga kali. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Urwah bin Zubair RA, beliau berkata: “Dulunya

manusia mentalak istrinya tanpa batas dan bilangan.” Seseorang yang mentalak istrinya, ketika mendekati habis masa menunggu, ia kembali kemudian mentalak lagi begitu seterusnya, kemudian kembali lagi dengan maksud menyakiti wanita, maka turunlah ayat dalam QS. Al-Baqarah (2) : 229 8

(229: 2/

ةرقبلا

)

ِناـَتَرَم ُقٰـلَطلا

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) hanya dua kali.”

Dalam riwayat lain, bahwasanya terdapat seorang laki-laki pada zaman jahiliah mentalak istrinya kemudian kembali sebelum habis masa menunggu. Andaikan wanita ditalak seribu kali, kekuasaan suami untuk kembali masih tetap ada. Maka datanglah seorang wanita kepada Aisyah r.a., mengadu bahwa suaminya telah mentalaknya dan kembali tetapi kemudian menyakitinya, kemudian Aisyah r.a., melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah Saw, maka turunlah firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah (2) : 229 9

7

Ibid, h. 318.

8

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, Penerjemah H. Abdul Majid Khon, h. 255.

9

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, Penerjemah H. Abdul Majid Khon, h. 255-256.


(34)

(229: 2/

ةرقبلا

)

ِناـَتَرَم ُقٰـلَطلا

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) hanya dua kali.”

Adapun menurut istilah syara‟, talak adalah :

ِةــــَي ِجْوَزــلا ِةــــَق َََعْلا ُءاــَهْـنِإ َو ِجاَوَزــلا ِةـَطــــِباَر ٌلَح

Artinya: “Melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”.10 Imam Nawawi dalam bukunya Tahdzib sebagaimana dikutip oleh Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul wahhab Sayyed Hawwas, memberikan definisi talak yakni tindakan orang terkuasai terhadap suami yang terjadi tanpa sebab kemudian memutus nikah.11

Menurut Abu Zakaria al-Anshari, talak ialah:

َح

ل

َع ْقـ

ِد

لاـ

َك

ِحا

ِب َل

ْف

ِظ

َطلا

ــ ََ

ِق

َو َنـ

ْح ِ

و ِ

Artinya: “Melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya”. Sedangkan menurut al-Jaziri, talak ialah:

ِإ َز َلا

ُة

لا

َك

ِحا

َأ

ْو ُـن

ْق

َص

ُنا

َح ل

ِ

ِب َل ْف

ظ

َْم

ُص

ْو

ص

Artinya: “Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan lafadz atau kata tertentu.”

10

H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 229. Lihat pula Sayyid Sabiq, Fiqhusunnah, Jilid II, (Beirut: Darul Fikri), h. 206.

11

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, Penerjemah H. Abdul Majid Khon, h. 255.


(35)

Adapun arti yang dimaksud adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, hal ini terjadi dalam talak ba’in, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan adalah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak dalam talak raj’i.12

Menurut hukum perdata, perceraian berasal dari bahasa Belanda yakni berasal dari kata gescheiden yang berarti pemutusan hubungan suami istri dengan segala konsekuensi hukumnya.13 Prof. Subekti, S.H., dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata, memberikan sebuah definisi perceraian yakni ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.14

Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagaimana tercantum dalam

Pasal 117 mendefinisikan talak sebagai ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu penyebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.15 KHI mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak) harus disampaikan di hadapan sidang Pengadilan Agama, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 115 yakni: “Perceraian

12

H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 230.

13

Charlie Rudyat, Kamus Hukum, (T.tp, Tim Pustaka Mahardika, t.th), h. 122.

14

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. XXXIV, (Jakarta: Intermasa, 2010), h. 42.

15


(36)

hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.16

Senada dengan pasal 115 KHI diatas, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama juga menyatakan hal yang sama, sebagaimana yang terdapat pada pasal 66 ayat (1) yakni: ”Seseorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.”

Dari penjelasan perundangan di atas, dapat difahami bahwa undang-undang telah mengatur bagi siapa saja yang ingin melangsungkan perceraian maka dapat mengajukan permohonannya ke Pengadilan Agama berdasarkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh undang-undang.

Adapun demikian, kita harus meyakini bahwa perceraian adalah sesuatu yang harus dihindari dalam suatu perkawinan meskipun perceraian merupakan bagian dari hukum adanya perkawinan itu sendiri. Semakin kuat usaha manusia membangun rumah tangganya, semakin mudah menghindarkan diri dari perceraian. Perceraian mendatangkan kemudharatan, sedangkan sesuatu yang memudharatkan harus ditinggalkan.17

Perceraian dilakukan karena mengandung unsur kemaslahatan. Perceraian setidaknya merupakan alternatif yang lebih mendidik kedua belah pihak. Setelah pernikahan seharusnya tidak ada perceraian, dan hanya kematian satu-satunya sebab

16

Ibid, h. 38.

17


(37)

dan alasan bagi terjadinya perceraian suami istri.18 Walaupun demikian kenyataan menunjukan bahwa hubungan suami istri tidak selamanya dapat dipelihara secara harmonis karena berbagai faktor atau sebab-sebab tertentu seperti konflik, ketidak sepahaman, kecemburuan dan lain sebagainya.

Suatu konflik dapat lahir karena didasari atau didorong oleh emosi dan konflik tidak akan ada dengan ketidakadaan emosi dalam hidup. Dalam hal perkawinan, menghindari konflik dalam perkawinan dengan cara mengabaikannya dapat menyebabkan retaknya hubungan suami istri dan bahkan perceraian.19

Menyelesaikan konflik antara suami dan istri dengan menempuh jalur perceraian dapat memberikan waktu bagi masing-masing pihak untuk merenungkan dan mempertimbangkan kembali kehidupan rumah tangganya. Mereka bebas untuk meneruskan perceraian dan bebas pula untuk rukun kembali.20

Dengan demikian, perceraian harus dianggap sebagai suatu bencana. Akan tetapi pada waktu-waktu tertentu ia adalah suatu bencana yang diperlukan.21

2. Dasar Hukum Perceraian

Al-Qur‟an memberikan penjelasan mengenai pertalian perkawinan dengan

istilah mitsaqan ghalî an (janji kokoh). Sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Nisa (4): 21

18

Ibid, h. 186.

19

M. Thobroni dan Aliyah A. Munir, Meraih Berkah Dengan Menikah, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010), h. 147.

20

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, h. 186.

21


(38)

(21: 4/

: ءاس لا

)

ظا

ِل ْي

َغ

اـ قا

ِم ْي َث

ْمُكِْم

َن

ْذ

َخ

َو َأ

Artinya: “Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu janji yang kuat”.

Berdasarkan ayat di atas, maka syari‟at Islam menjadikan pertalian suami istri

dalam ikatan perkawinan sebagai pertalian yang suci dan kokoh. 22

Adapun dasar hukum disyariatkannya talak dalam al-Qur‟an, yakni berdasarkan firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah (2) : 229

























)

ةرقبلا

/

(229 : 2

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) hanya dua kali. Sesudah itu boleh rujuk lagi

dengan cara yang patut atau menceraikan (istrinya) dengan baik”.

Ayat tersebut dijadikan sebagai dasar hukum disyari‟atkannya talak berdasarkan pendapat Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitabnya Fiqih Islam Wa Adillatuhu.23

Pada dasarnya, talak terhukumi makruh sesuai sabda Rasulullah Saw: 24

َعــ

ْبا ِنـ

ــــ

َع َرَمُع ِن

ـ

ِبَلا ِنـ

ـــ

َص ي

ـــ

ّللا ىّل

ـ

ْيَلَع ُ

ــــ

َلَس َو ِ

ــ

َق َمـ

ــــــ

:لا

َغْـبَأـ

َْلا ُض

ـــــ

ََ

ٰلِإ ِل

ــــ

ّللا ى

ـ ِ

ُق َََطلَا

)مكالاو دواد وبا اور(

25

Artinya: “Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw bersabda: Perbuatan halal yang paling dibenci Allah Swt adalah talak” (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim).

22

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, cet. III, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 211-212.

23

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah Abdul Hayyie al-kattani, dkk, h. 318.

24

H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 249.

25


(39)

Hal demikian menurut Wahbah az-Zuhaili merupakan dasar hukum disyariatkannya talak berdasarkan sunnah yang berasal dari sabda Rasulullah Saw, dan beliau menjelaskan bahwa terdapat sabda Rasulullah Saw lainnya yang juga merupakan dasar hukum disyariatkannya talak, yakni :26

َخَأ ْنَمِل ُق َََطلا اَََِإ

ِقاَسلاِب َذ

)

نطقرادلاو جام نبا اور

(

27

Artinya: “Sesungguhnya talak dimiliki oleh orang yang memiliki hak untuk

menyetubuhi”. (HR. Ibnu Majah dan ad-Daruquthni).

Ulama Syafi‟iyah (penganut madzhab Syafi‟i) dan Hanabilah (penganut madzhab Hambali) berpendapat tentang hukum talak secara rinci. Menurut mereka talak terkadang wajib dan terkadang haram dan sunah.28

Ulama Hanabilah memperinci hukum talak sebagai berikut :29

1. Talak wajib, misalnya talak dari hakam perkara syiqâq, yakni perselisihan suami istri yang sudah tidak dapat didamaikan lagi, dan kedua pihak memandang perceraian sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan persengketaan mereka. Termasuk pula talak dari orang yang melakukan ila’, terhadap istrinya setelah lewat waktu empat bulan.

2. Talak haram, yaitu talak yang tidak diperlukan atau yang bukan karena hajat, karena akan merugikan diri suami dan istri serta melenyapkan maslahat yang dapat

26

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah Abdul Hayyie al-kattani, dkk, h. 318.

27

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Jilid I, (Kairo: Daar Ihya al-Kutub al-„Arabiyyah, t.th), h. 672.

28

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, Penerjemah H. Abdul Majid Khon, h. 258.

29

H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 249-250.


(40)

diperoleh sepasang suami istri tanpa ada hajat, keharamannya seperti merusak harta.

Dalam hal ini ulama Syafi‟iyah berbeda pendapat, menurut mereka hal demikian

termasuk sebagai talak makruh dengan alasan bahwa talak dibenci tanpa ada hajat, namun Rasulullah Saw menyebutnya sebagai barang halal. Dikarenakan talak menghilangkan nikah yang mengandung banyak kemaslahatan yang dianjurkan, maka talak ini termasuk talak makruh.30

3. Talak mubah, yaitu talak yang terjadi hanya apabila diperlukan, misalnya karena istri sangat buruk pergaulannya atau tidak dapat diharapkan adanya kebaikan dari pihak istri.

4. Talak mandub atau sunah, yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang sudah keterlaluan dalam melanggar perintah-perintah Allah Swt, misalnya meninggalkan sholat atau kelakuannya sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

B. Macam-Macam Perceraian

1. Perceraian Ditinjau dari Segi Ada atau Tidaknya Kemungkinan Mantan Suami Merujuk Kembali Mantan Istri.31

Menurut tinjauan ini, perceraian atau talak terbagi menjadi dua macam, yaitu: 1) Talak ẖaj’i, yaitu talak dimana suami masih mempunyai hak untuk merujuk

kembali istrinya, setelah talak itu dijatuhkan dengan lafal-lafal tertentu, dan istri benar-benar sudah digauli.32

30

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, Penerjemah H. Abdul Majid Khon, h. 258.

31


(41)

Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam QS. Al-Thalaq (65) : 1









































































(

قَطلا

/

56

:

1

(

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang

baru”.

Yang dimaksud dengan “menghadapi iddah yang wajar” dalam ayat tersebut adalah hendaklah istri-istri itu ditalak ketika suci dan belum dicampuri.

Adapun yang dimaksud “perbuatan keji” adalah apabila istri melakukan

perbuatan-perbuatan pidana, berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, ipar dan sebagainya. Dan adapun yang dimaksud dengan “sesuatu yang baru” adalah keinginan dari suami untuk rujuk kembali apabila talaknya baru dijatuhkan sekali atau dua kali.33

32

H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 231.

33


(42)

Hal tersebut sebagaimana yang telah Allah Swt jelaskan di dalam QS. Al-Baqarah (2) : 229

























































































)

ةرقبلا

/

(229 : 2

Artinya: ”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi

dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang

yang zalim”.

Dengan demikian jelaslah bahwa suami boleh merujuk istrinya kembali yang telah ditalak sekali atau dua kali selama mantan istrinya itu masih dalam masa iddah, atau dengan kata lain terjadi hanya pada talak pertama dan kedua saja.34 2) Talak Ba’in, adalah talak yang memisahkan sama sekali hubungan suami

istri.35 Dapat diartikan pula sebagai talak yang tidak dapat dirujuk oleh suami

34

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 197.

35


(43)

kecuali dengan pernikahan baru walaupun dalam masa iddah,36 dan pernikahan tersebut lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya.37

Talak ba‟in, ada dua macam:

a) Talak Ba’in Sughra, yaitu talak yang berakibat hilangnya kepemilikan hak mantan suami untuk merujuki mantan istrinya baik dalam masa

„iddah atau setelah habis masa „iddah, akan tetapi tidak menghilangkan

kehalalan mantan suami untuk kawin kembali dengan mantan istri melalui akad nikah baru (rukun dan syarat pernikahan baru). Yang termasuk dalam kategori talak ba’in sughra adalah:

a. Talak sebelum berkumpul, yakni yang dijatuhkan oleh suami terhadap istri yang antara keduanya belum pernah terjadi dukhul (persetubuhan).

b. Talak khulu’, yaitu talak dengan pergantian harta.

c. Talak karena „aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara, talak

karena penganiayaan atau semacamnya.38

b) Talak Ba’in Kubra, yaitu talak yang mengakibatkan hilangnya kepemilikan hak rujuk kepada mantan suami untuk merujuki mantan istrinya baik dalam masa „iddah atau setelah habis masa „iddah, serta menghilangkan kehalalan mantan suami untuk kawin kembali dengan mantan istri, kecuali setelah mantan istri kawin dengan laki-laki lain dan

36

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, h. 193.

37

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 198.

38


(44)

berkumpul (bersetubuh) dengan suami baru tersebut serta telah bercerai secara wajar dan telah selesai menjalankan iddahnya.39 Prosedur tersebut tidak boleh dilakukan dengan rekayasa sebagaimana dalam nikah

muẖallil.40

Dalam hal ini, al-Qur‟an menjelaskan di dalam QS. Al-Baqarah (2) : 230



























































)

ةرقبلا

/

(230 : 2

Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang

kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,

diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”.

Berdasarkan ayat tersebut, dapat difahami bahwa yang termasuk ke dalam kategori talak ba’in kubra ialah talak yang terjadi pada talak yang ketiga dari talak-talak yang telah dijatuhkan oleh suami kepada istri.41

2. Perceraian Ditinjau dari Segi Waktu Dijatuhkannya Talak.42 Dalam hal ini, perceraian atau talak terbagi menjadi tiga macam:

39

Ibid, h. 199.

40

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, h. 194.

41

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 199.

42


(45)

1) Talak Sunni, yakni talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya sesuai dengan tuntunan sunnah, atau dengan kata lain talak yang berjalan sesuai dengan ketentuan agama.43 yaitu yang memenuhi empat syarat:

a. Istri sudah pernah digauli. Jika talak dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digaui, maka tidak termasuk talak sunni.

b. Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak, yakni suci dari haid,

menurut „ulama Syafi‟iyah, perhitungan iddah bagi wanita berhaid ialah tiga

kali suci, bukan tiga kali haid.

Adapun Talak terhadap istri yang telah lepas haid (menopause), atau belum pernah haid atau sedang hamil atau talak karena suami meminta tebusan

(khulu‟) atau ketika istri sedang dalam keadaan haid, maka itu semua tidak

termasuk talak sunni.

c. Talak dijatuhkan oleh suami kepada istri ketika si istri dalam keadaan suci, baik di permulaan, pertengahan maupun di akhir masa suci, walaupun beberapa saat lalu datang haid.

d. Suami tidak pernah menggauli istrinya selama masa suci tepat di mana suami menjatuhkan talak. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika istri dalam keadaan suci dari haid tetapi pernah digauli, maka tidak termasuk

talak sunni.

2) Talak Bid’i, yakni talak yang menyalahi ketentuan agama.44 dapat diartikan pula sebagai talak yang tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan sunnah

43


(46)

atau tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni.45 Beberapa contoh talak yang termasuk talak bid’i antara lain :

a. Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid (menstruasi), baik di permulaan, di pertengahan, maupun di akhir.

b. Talak yang dijatuhkan istri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli pada masa suci tersebut.

3) Talak Lâ Sunni Wa Lâ Bid’i, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istri yang tidak termasuk kategori talaksunni dan talakbid’i, seperti:

a. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli.

b. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid atau telah lepas dari haidnya (menopause).

c. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil dalam akad nikah yang sah.

3. Perceraian Ditinjau dari Tegas atau Tidaknya Kata-Kata yang Digunakan Dalam Menjatuhkan Talak.46

Dalam hal ini, perceraian atau talak terbagi dua :

1) Talak Sarih, yaitu talak yang dijatuhkan dengan kata-kata yang jelas dan tegas, dapat difahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika diucapkan. Imam

Syafi‟i mengatakan bahwa kata-kata yang dipergunakan untuk talak sharih ada

44

Ibid, h. 193.

45

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 194.

46


(47)

tiga macam, yaitu talak, cerai dan sarah, karena ketiga kata itu disebut dalam

Al-Qur‟an dan Hadits.

Adz-Zahiriyah berpendapat bahwa talak tidak jatuh kecuali dengan mempergunakan salah satu dari tiga kata tersebut di atas, karena syara‟ telah mempergunakan kata-kata tersebut dan karena talak adalah perbuatan ibadah maka diisyaratkan dengan kata-kata yang telah ditetapkan oleh syara‟.

Beberapa contoh talak sharih ialah seperti suami berkata kepada istrinya : a. “Engkau saya talak sekarang juga, atau engkau saya cerai sekarang juga”.

b. “Engkau saya firaq sekarang juga, atau engkau saya pisahkan sekarang juga”.

c. “Engkau saya sarah sekarang juga, atau engkau saya lepas sekarang juga”.

Apabila suami menjatuhkan talak terhadap istrinya dengan talak sharih, maka menjadi jatuhlah talak itu dengan sendirinya, sepanjang ucapannya itu dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas kemauannya sendiri.

2) Talak Kinâyah, yaitu talak yang dijatuhkan dengan kata-kata yang bersifat sindiran atau samar-samar, seperti suami berkata kepada istrinya :

a. “Selesaikan sendiri segala urusanmu”.

b. “Keluarlah engkau dari rumah ini sekarang juga”.

c. “Pergilah engkau dari tempat ini sekarang juga”.

d. “Pulanglah ke rumah orang tuamu sekarang”.

e. “Beriddahlah engkau dan bersihkanah kandunganmu itu”.


(48)

g. “Engkau sekarang telah bebas merdeka, hidup sendirian”. Dan sebagainya.

Taqiyuddin Al-Husaini mengatakan bahwa apabila dengan kata-kata tersebut bermaksud menjatuhkan talak maka menjadi jatuhlah talak, sedangkan apabila dengan kata-kata tersebut suami tidak bermaksud menjatuhkan talak maka tidak terjatuh talak.

4. Perceraian Ditinjau dari Segi Cara Suami Menyampaikan Talak Terhadap Istrinya.47

Dalam hal ini, perceraian atau talak terbagi menjadi beberapa bentuk, diantaranya: 1) Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan ucapan

lisan di hadapan istrinya dan istri mendengarkan secara langsung ucapan suaminya itu.

2) Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami secara tertulis lalu disampaikan kepada istrinya dan istri memahami isi dan maksudnya. Talak yang dinyatakan secara tertulis dapat dipandang sah, meski yang bersangkutan dapat mengucapkannya, talak dengan tulisan ini sebagaimana talak kinayah, yakni tergantung niat suami.

3) Talak dengan isyarat, yaitu talak yang dilakukan oleh suami yang berstatus tuna wicara dalam bentuk isyarat. Isyarat tersebut baginya merupakan alat komunikasi untuk memberikan pengertian dan menyampaikan maksud serta isi hatinya, oleh karena itu isyarat olehnya sama dengan ucapan yang dapat

47


(49)

menjatuhkan talak, sepanjang isyarat itu jelas dan meyakinkan dalam maksud talaknya tersebut.

4) Talak dengan utusan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada istrinya melalui perantara orang lain sebagai utusan untuk menyampaikan maksud suami kepada istrinya bahwa si suami mentalak istrinya yang sedang tidak berada di hadapan suami. Dalam hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil suami yang menjatuhkan talak suami dan melaksanakan talak tersebut.

5. Perceraian Ditinjau dari Segi Praktiknya di Pengadilan Agama. Dalam hal ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:

1) Cerai gugat, adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat gugatan yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama, yang kemudian tergugat (suami) menyetujuinya, sehingga Pengadilan Agama mengabulkan gugatan dimaksud.48 2) Cerai talak, adalah perceraian atas kehendak suami. Dalam cerai talak ini suami

berkedudukan sebagai pemohon yang mengajukan permohonan ikrar talak.49

C. Alasan – Alasan Perceraian

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagai wujud kodifikasi hukum Islam, telah mengklasifikasikan penyebab atau alasan terjadinya

48

H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. III, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 81.

49

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet. III, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 207.


(50)

suatu perceraian. Di dalam pasal 38 UU Perkawinan disebutkan yakni perceraian terjadi dengan sebab:

1. Kematian salah satu pihak,

2. Perceraian karena talak dan perceraian karena gugat, 3. keputusan Pengadilan.50

Kemudian dalam pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.51 Dan di pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan pula bahwa untuk melaksanakan perceraian harus cukup alasan yaitu antara suami isteri tidak akan hidup sebagai suami istri.52

Ketentuan ini dijelaskan kembali di dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dengan menyebutkan bahwasanya alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perceraian adalah:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.

50

H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 74.

51

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 248.

52

H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 74. Lihat pula selengkapnya pada ketentuan Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


(51)

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.

6. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.53

Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam menambahkan mengenai alasan-alasan terjadinya perceraian yang berlaku khusus kepada suami istri (pasangan perkawinan) beragama Islam54 dengan penambahan dua alasan yaitu :

1. Suami melanggar taklik talak dan

2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan.55

D. Prosedur Penyelesaian Perkara Perceraian

Sebuah perceraian hanya dapat dilakukan di Pengadilan sesuai dengan ketentuan pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah

53

H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 74-75.

54

Ibid, h. 75.

55

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 251-252. Lihat pula Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, h. 38-39.


(52)

Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.56

Bagi orang yang beragama Islam, perceraian diajukan ke Pengadilan Agama yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta wakaf, dan shadaqah.57 Kemudian ditambah kewenangannya untuk memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara zakat, infaq, dan ekonomi syari'ah.58 Hal ini sesuai dengan kekuasaan absolut yang dimiliki oleh Pengadilan Agama. Kekuasaan absolut yakni kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya.59

Prosedur penyelesaian perkara perceraian bila dilihat dari aspek subyek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek, yaitu cerai talak (suami yang bermohon untuk bercerai) dan cerai gugat (istri yang bermohon untuk bercerai).60

56

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 248.

57

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. I, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000), h. 8.

58

Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

59

H. A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: t.p., 2007), h. 114.

60


(53)

Adapun mengenai cerai talak dan cerai gugat, terdapat dua istilah yang berbeda yakni gugatan dan permohonan. Sebagaimana diketahui bahwa perbedaan antara gugatan dan permohonan adalah sebagai berikut :

a. Dalam perkara gugatan ada suatu sengketa, suatu konflik yang harus diselesaikan dan harus diputus oleh pengadilan, sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa atau perselisihan.

b. Dalam suatu gugatan ada dua atau lebih pihak yaitu pihak penggugat dan tergugat yang merasa haknya atau hak mereka dilanggar sedangkan dalam permohonan hanya ada satu pihak yaitu pihak pemohon.

c. Suatu gugatan dikenal sebagai pengadilan contentiosa atau pengadilan sungguh-sungguh, sedangkan suatu permohonan dikenal sebagai pengadilan voluntair atau pengadilan pura-pura.

d. Hasil suatu gugatan adalah putusan (vonis) sedangkan hasil suatu permohonan adalah penetapan (beschikking).61

Akan tetapi jika dikaitkan dengan UU. No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengenal adanya gugatan dan permohonan perceraian, maka perbedaan istilah antara gugatan dan permohonan yang telah disebutkan di atas menjadi tidak relevan lagi.62

61

Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, cet. II, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 16-17.

62


(1)

dengan Termohon adalah masalah pembayaran biaya pestaperkawinan;

.

Bahwa,

berawal

dtri

peteelisihan

tentans

biry,

pesta pernikahan, k{,}l:1{i.dian berbuntut pada sikap Termohon dan orang tuanya

yang

tidak

rrrenghadirinya

resepsi

perknwinan

Pemohon

dengan Termohon, pad*hal Pernohon sudah berusaha menjemput Termohon ke

rumah orang

tuanya

agar dapat

menghadiri

acara tersebut karena nantinya yang akan duduk bersanding di pelaminan adalah Pemohon dan TermohorL sementara

itu

Termohon

tidak hadir

dan tamu

undangan

sudahberdatangan;

'

-

Bahwa, akibatnya sejak tanggal L9 Maret 2012hngga sekarang

ini

antara Pemohon dengan Termohon pisah tempat tinggal;

-

Bahwa Pemohon bersikeras ingin menceraikan Termohon;

-

Bahwa, permohonan Pemohon tidak melawan hukum;

Menimbang bahwa dengan

kondisi

rumah tangga Pemohon dan Termohon sebagaimana tersebut

di

atas, maka Majelis berpendapat bahwa

secara faktual dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah terjadi

konflik

dan

tidak

harmonis

lagi

serta perkawinan

telah

pecah (maniage breakdown) dan adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus

di

antara keduanya. dan telah pisah rumah sejak 3 bulan yang lalu. Dengan kondisi tersebut rumah tangga antara Pemohon dengan Termohon sudah tidak ada rasa saling mengasihi dan menyayangl terutama saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak terhadap yang lainnya, sehingga

tujuan

perkawinan

untuk

membentuk keluarga yang bahagia

dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan kehendak Pasal L

Undang-Undang

Nomor

1

Tahun

1974 tentang Perkawinan

dan

tujuan perkawinan

untuk

membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah sesuai dengan petunjuk

AlQur'an

surat al-Rum ayat21, sulit tercapai dan tidak ada harapan untuk dapat rukun kembali;

Menimbang,

bahwa

terhadap

keinginan

Pemohon

untuk menceraikan TermohorL Majelis mengutip

firman Allah

SWT dalam surat al-Baqarah ayat 227 yang berbunYi:

rl,

Cf

iirr

o!

ri:llalr

tYf

ab


(2)

maka sesungguhnya Allah Mahn Mendengar lagi Maha Mengetahui,,;

Mnimbang, bahwa selanjutnya

dalil

syar'i

tersebut

diambil

oleh Majelis sebagai bahan pertimbangan hukum dalam putusan ini;

Menimbang bahwa permohonan Pemohon telah sesuai dan telah memenuhi ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor

7Tahunl974

tentang Perkawinan

jo

Pasal 19

huruf (f)

Peraturan Pemerintah

Nomor

9

Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan

jo

Pasal 116

huruf (f) Kompilasi Hukum Islam;

Menimbang bahwa

Pemohon

dan

Termohon selama

dalam perkawinannya telah berhubungan sebagaimana layaknya suami isteri @a'dn

duldtul) dan belum pernah bercerai, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1L8

Kompilasi

Hukum

Islam,

talak

yang dijatuhkan oleh Pemohon terhadap Termohon adalah talak satu raj'i;

Menimbang, bahwa berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tersebut

di

atas, maka Majelis berkesimpulan bahwa sudah terdapat cukup alasan

unfuk

memberikan

izin

kepada Pemohon

untuk

menjatuhkan talak satu

raj'i

terhadap Termohon. Oleh karenanya permohonan Pemohon pada petitum angka Q) a quo dapat dikabulkan;

Menimbang, bahwa perkara ini termasuk bidang perkawinan, maka sesuai dengan ketentuan pada Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah ditambah dengan undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006

biaya perkara dibebankan kepada Pemohon;

Mengingat,

hukum Islam

dan

segala ketentuan

perundang-undangan yang berlaku, yang berhubungan dengan perkara ini;

MENGADITI

1.

Menyatakan Termohon

yang telah

dipanggrl secara

patut

dan

resmi untuk menghadap di persidangan/ tidak hadir;

2.

Mengabulkan permohonan Pemohon dengan verstek;

3.

Memberi

ijin

kepada Pemohon

untuk'menjatuhkan tatak satu

raj'i

terhadap

Termohon

di

depan sidang Pengadilan Agama Bogor;


(3)

Rp 271.000,- (fua ratus htjuhpuluh satu ribu rupinh);

Demikian putusan

ini

dijatuhkan

di

Bogor dalam

musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Agama Bogor pada hari Senin tanggal A9 Jali2012

Masehi bertepatan dengan tanggal 19 Sa'ban 1433

Hijriah

yang

terdiri

dari

Drs.

M.

ANSHORI, S.H.,

M.H.,

sebagai

Ketua Majelis

dan Dra.

EUIS NURJANAH., serta Dra. YUMIDAH, M.H., masing-masing sebagai Hakim Anggota. Putusan mana pada

hari

itu

juga diucapkan oleh Ketua Majelis tersebut dalam sidang yang terbuka

untuk

umum,

dengan

dihadiri

oleh

Hakim-Hakim

Anggota serta

dibantu oleh SU$ARNI.,

sebagai Panitera Pengganti dan dihadiri oleh Pemohon tanpa hadirnya Termohon.

Kehra Majelis, ffd.

Dre. M. ANSHORI, S.H.,

MH

Hakim Anggota I,

ftd.

DTa. EUIS

NURIANAH

Perincian Biava Perkara :

1.

Biaya Pendaftaran Perkara

2.

Biaya Proses

3.

Panggilan Pemohon

4.

Panggilan Termohon

5.

Redaksi

Hakim Anggota II, ttd.

Dra. YUMIDAH,

M.H

Panitera Pengganti,

nd.

SUMARNI

UTtuk

ylititq

ynn g sama bunyiny a

:Rp

30.000,-:Rp

50.000-:Rp

60.000,-:Rp

L20.000,-:Rp

5.000,-6.

Materai

:Rp

6.000.-Jumlah

10


(4)

271.000,-PENETAPAN

Nomor: 5 83/Pdt.G/20 1 2/PA.Bgr.

B I SMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG I\{AHA ESA

Majelis Pengadilan Agama Bogor di Bogor telah menjatuhkan penetapan sebagai tersebut di bawah ini, dalam perkara antara;

umur 24, agama

Islam, pekerjaan Kdryawan Swasta, tempat tinggal Desa Cibeuteung

Udik,

Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, selanjutnya disebut sebagai'oPemohon";

Melawan:

umur

2l

tahun, agama Islam, , Pekejaan Swasta, tempat tinggal, di

II

Kelurahan

Cibadak, Kecamatan Tanah Sareal, selanjutnya disebut sebagai "Termohon";

Kota

Bogor,

Pengadilan Agama tersebut di atas ;

Telah membaca berkas perkara beserta surat-surat yang berhubungan dengan perkara

uu;

Menimbang, Baltwa Pemohon telah menikah dengan Termohon pada tanggal 17

Maret 2012,

di

Kantor Urusan Agama Kecamatan'Tanatr Sareal, Kota Bogor, sebagaimana dalam Duplikat Akta Nikah

-

tanggdlll

Menimbang bahwa berdasarkan putusan Pengadilan Agama Bogor tanggal 09

Juli 2012, Nomor

:

563/Pdt.Gl20l2lPA.Bgr yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yang amamya berbunyi sebagai berikut;

MENGADILI

1

Menyatakan Termohon yang telah dipanggil secra patut dan resmi untuk menghadap dipersidangan ,tidak hadir ;


(5)

)

J

Mengabulkan permohonan Pemohon dengan verstek ;

Memberi

izin

kepada Pemohon

At

untuk menjahrhkan talak satu roj'ie terhadap Termohon

-didepan Pengadilan Agama Bogor ;

4.

Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp.271.000,-(dua ratus tujuh puluh satu ribu rupiah) ;

Menimbang, bahwa berdasar|<an pertimbangan tersebut

di

atas, maka Majelis

berpendapat perlu menetapkan telah terjadinya cer?i talak antara Pemohon dengan

Termohon;

Memperhatikan pasal

7l

ayat (2) Undang-undang nomor 7 tahun 1989 serta ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan perkara ini;

MENETAPKAN

1.

Menetapkan perkawinan

antara

Pemohon

dengan Termohon

JllI

putus karena cerai talak satu roj'i;

2.

Menghukum Pemohon untuk membayar biaya penetapan ini sebesar Rp 160.000,-(seratus enam puluh ribu rupiah ) ;

Demikianlah ditetapkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Bogor pada hari Senin, tanggal 15 Oktober 2A12, oleh Drs. M.Anshori. SH.

MH,

sebagai Hakim Ketua,

Dra. Euis Nurjanah dan Dra. Yumidah.MH, masing-masing sebagai Hakim Anggota. serta diucapkan oleh iietua Majelis pada hari itu

juga

dalam sidang terbuka untuk umum dengan

r1:'

::ri psffi Hakim Anggota serta Sumarni. sebagai Panitera Pengganti serta clihrdiri

:

ir Pemohon tanpa hadimya Termohon ;

Hakim Ketua

Ttd.


(6)

Ilakim Anggota

ttd.

DraEuis Nurjanah

Hakim Anggotq

ttd.

Dra. Yurridah. MH

Panit€ra Fengganti, I

Ttd.

Sumarni

rerincian biaya pe+kqfa;

Pernanggilan...

...Rp.

160.000.-Jumlah...

...Rp.