52
Kompetensi Berbahasa Indonesia SMPMT s VII
c. Mengetahui faktor yang dapat menghambat kecepatan membaca. d. Mampu mengukur tingkat pemahaman terhadap bacaan.
e. Mengetahui cara mengukur kecepat an membaca. f. Memahami hakikat membaca.
Membaca cepat merupakan ragam kegiatan membaca dalam hati yang dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat dan cepat untuk memahami
isi bacaan secara benar menurut garis besarnya saja. Membaca cepat ini dilakukan untuk memilih unsur-unsur tertentu dalam sebuah teks. Pada
kegiatan membaca cepat, pandangan mata langsung meluncur dan menyapu halaman-halaman teks. Gerak mata pada saat proses membaca
berlangsung dibagi atas tiga jenis. a. Pembaca yang baik, ya itu ditandai oleh tindakan melihat kelompok kata
demi kelompok kata melihat per satuan pikiran yang ada dalam kalimat. b. Pembaca y ang j elek, d itandai o leh t indakan m elihat k ata d emi k ata
memahami setiap kata yang, lalu dikelompokkan. c. Pembaca yang paling jelek, ditandai oleh tinda kan melihat huruf demi
huruf atau suku kata demi suku kata.
Setelah mempelajari teori tentang membaca cepat dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membaca cepat, lakukan membaca cepat dan hitunglah
waktu yang kamu perlukan
2. Membaca dengan Kecepatan 200 Kata Per Menit
1. Cobalah melakukan kegiatan berbahasa dalam bentuk membaca cepat teks berikut ini Siapkan alat pengukur waktu yang kamu miliki jam
tangan, HP, stopwatch, atau alat penunjuk waktu lainnya 2. Mintalah temanmu menghitung lama waktu yang kamu perlukan untuk
membaca, lalu catatlah 3. Selanjutnya, hitunglah catatan waktu yang kamu perlukan untuk
membaca dengan mengg unakan rumus yang telah kamu pelajari
Rumus untuk menghitung kecepatan membaca. Jumlah KPM =
membaca untuk
detik Jumlah
dibaca yang
kata Jumlah
x 60 Satuan pengukuran kemampuan membaca seseorang dinyatakan dalam
satuan kpm kata per menit. Peserta didik di tingkat SMPMTs kelas VII dituntut memiliki kecepatan membaca minimal 200 kpm.
53
Menjalin Persahabatan
Mulai
Kerupuk Satukan Dua Etnis di Kalimantan
Kerupuk lilit sama dengan kerupuk yang ada di Pulai Jawa. Perbedaannya hanya pada beberapa pola lilitan. Bagi sebagian orang Jawa, kerupuk
merupakan teman setia makan. Namun, bagi etnis Banjar di Kalimantan tidaklah demikian. Orang Banjar menganggapnya aneh. Mereka mengatakan
bahwa kerupuk hanya makanan orang Jawa.
Ternyata kerupuk tak sekadar menjadi selera lidah, tetapi sudah merambah persoalan “budaya” sebuah etnis. Kerupuk di Kalimantan Selatan
tiba-tiba menjadi identitas etnis. Hingga tahun 1980-an, masyarakat Banjar belum tertarik dengan makanan kerupuk. Baru pada tahun 1989, seorang
transmigran swakarsa dari Tasikmalaya, Jawa Barat, yang tinggal di Kota Banjar Baru, Kalimantan Selatan mencoba memperkenalkannya. Orang
tersebut bernama Aendi Amban 50. Ia mengatakan, bahwa melalui makanan kerupuk ini mampu mendobrak kebekuan dialog Jawa-Banjar.
Aendi tetap bersemangat memasarkan kerupuk. Aendi yang akhirnya beristri wanita Banjar ini, Mashitah, belajar banyak soal budaya Banjar dan
strategi mendekatinya. Aendi menjajakan kerupuknya ke warung-warung sekitar rumahnya. Ia pun mengampanyekan makan kerupuk itu sebagai lauk
yang mengasyikkan. Lama-kelamaan orang Banjar terbiasa melihat kerupuk dan mencoba menjadikan sebagai lauk makan. Akulturasi budaya makan
kerupuk itu dirasakan Aendi berjalan lambat dalam perkembangan pasar. Meskipun demikian, Aendi tetap yakin dan pasti. Akhirnya, permintaan makin
bertambah mengingat Aendi tidak memiliki pesaing di Kalimantan Selatan. Usaha d uet Tasik-Banj ar ini akhirnya m akin berkembang dan dinamai
produksi kerupuk sebagai kerupuk lilit Pada Suka. Sumber: www. kompas.com, 20 Desember 2004
Gambar 3.1 Kerupuk sebagai teman dalam makan.