Tanggapan Pemilik Modal Apotek Di Kota Medan Terhadap Peraturan Pemerintah RI NO. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian

(1)

SKRIPSI

TANGGAPAN PEMILIK MODAL APOTEK DI KOTA MEDAN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH RI NO. 51 TAHUN 2009

TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN

OLEH:

HASTRINA NOVA SARI NIM 091524088

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kepada Allah SWT yang hanya oleh karena berkat dan karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat menjalani masa perkuliahan dan penelitian hingga akhirnya menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda (Alm). Husaini dan Ibunda Hj. Asmah Lamsinar Tambunan serta abang, kakak, adik dan Jiwana Putra, atas do’a, dukungan, motivasi dan perhatian yang tiada hentinya kepada penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Drs. Wiryanto. M.S., Apt., dan Ibu Dra. Juanita Tanuwijaya M.Si.,

Apt., selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dengan kesabaran dan tanggung jawab dari awal penelitian hingga menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama perkuliahan di Fakultas Farmasi

3. Ibu Dra. Sudewi, Apt selaku Apoteker Pengelola Apotek (APA) di apotek Farma Nusantara.

4. Bapak dan Ibu penguji yang telah memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Dosen-dosen di Fakultas Farmasi yang telah membimbing penulis selama perkuliahan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.


(3)

6. Abang, kakak, adik-adik dan terutama buat teman-teman angkatan Ekstensi S1 angkatan 2009 Fakultas Farmasi atas dukungan yang telah diberikan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun pada skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi sumbangan yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan profesi apoteker pada khususnya.

Medan, Juli 2011 Penulis,


(4)

TANGGAPAN PEMILIK MODAL APOTEK DI KOTA MEDAN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH RI NO. 51 TAHUN 2009

TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN ABSTRAK

Terbitnya Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian membawa beberapa ketentuan baru. Implementasi ketentuan baru ini membawa 4 konsekuensi bagi apotek, meliputi pengembalian fungsi apotek sesuai peraturan, peningkatan peran apoteker, penambahan beban biaya dan penambahan beban kerja. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tanggapan pemilik modal apotek di kota Medan terhadap Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian ditinjau dari 4 konsekuensi tersebut di atas.

Penelitian menggunakan metode deskriptif dengan model penelitian survei dan bersifat cross-sectional di beberapa apotek di kota Medan. Data berupa tanggapan 26 Pemilik Modal Apotik (PMA) sebagai responden terhadap 10 kuesioner yang masing-masing terdiri atas 3 pilihan tanggapan, meliputi setuju, tidak berpendapat, dan tidak setuju

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanggapan mayoritas Pemilik Modal Apotek di kota Medan terhadap PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian adalah tidak setuju. Secara terperinci distribusi persentase tanggapan Pemilik Modal Apotik adalah 63% menyatakan tidak setuju, 3% tidak berpendapat, dan 34% menyatakan setuju. Ditinjau dari persentase ketidaksetujuan terhadap masing-masing konsekuensi adalah 67% terhadap pengembalian fungsi apotek sesuai peraturan, 89% terhadap peningkatan peran apoteker, 58% terhadap penambahan beban biaya apotek, dan 10% terhadap penambahan beban kerja di apotek.

Kata kunci: Tanggapan Pemilik Modal Apotek, PP No. 51 tahun 2009, fungsi apotek, peran apoteker, beban biaya, beban kerja.


(5)

RESPONSE OF THE INVESTORS OF DRUGSTORES IN MEDAN TO THE GOVERNMENTAL RULE NO. 51 OF 2009 REGARDING

PHARMACEUTICAL WORK ABSTRACT

The issuance of the Governmental Rule No. 51 of 2009 regarding pharmacy work lead some newer regulations. The implementation of these newer regulations result in 4 pharmaceutical consequences, including recovery of drugstore function according to the rule, increase in the role of pharmacists, increase in cost expense and workload. The objective of the study is to know how the response of the investors of drugstores in Medan to the Governmental Rule No. 51 of 2009 regarding the Pharmaceutical Work viewed in terms of the four consequences.

The study is a descriptive method using a cross-sectional survey in some drugstores in Medan. The data included the responses of 26 investors (Foreign Investment) to the questionnaire each of which consists of 3 options ; agree, abstain, and disagree.

The result of the study showed that majority of the investors of drugstores in Medan to the Governmental Rule No. 51 of 2009 regarding the pharmaceutical work included disagree. In detail, the distribution in percentage of their responses included 63% of disagree, 3% of abstain and 34% of agree. Viewed in terms of the disagreement percentage to each consequence is that 67% to the recovery of the drugstore function according to the rule, 89% to the improvement in role of pharmacists , 57% to the increase in workload of drugstore and 10% to the increase in workload in drugstore.

Keywords : Response of the Investors of Drugstores, the Governmental Rule

No.51 of 2009, Function of Drugstore, the role of drugstore, cost expense and workload


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Hipotesis ... 2

1.4 Tujuan Penelitian ... 2

1.5 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Perkembangan Profesi Kefarmasian ... 3

2.2 Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 ... 4

2.3 Apotek ... 7

2.4 Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) ... 9

2.5 Kompetensi Profesi ... 11

2.6 Standar Prosedur Operasional ... 12


(7)

BAB III METODE PENELITIAN... 15

3.1 Jenis Penelitian ... 15

3.2 Jenis Data ... 15

3.3 Waktu dan Tempat Pengambilan Data ... 15

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 15

3.5 Analisis Data ... 15

3.6 Definisi Operasional ... 16

3.7 Langkah Penelitian ... 16

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

4.1 Gambaran Umum Apotek di kota Medan ... 18

4.2 Karakteristik Responden Penelitian ... 18

4.3 Distribusi Tanggapan Responden terhadap Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian ... 19

4.3.1 Pengembalian Fungsi Apotek Sesuai Peraturan... 19

4.3.2 Peningkatan Peran Apoteker ... 22

4.3.3 Penambahan Beban Biaya Apotek ... 25

4.3.4 Penambahan Beban Kerja di Apotek ... 28

4.3.5 Distribusi Total Tanggapan Responden terhadap PP No. 51 tahun 2009 terkait 4 konsekuensi ... 30

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 32

4.1 Kesimpulan ... 32

4.2 Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 4.1 Karakteristik Responden Penelitian... 18 4.2 Distribusi tanggapan responden terhadap Peraturan Pemerintah RI

No. 51 tahun 2009 terkait pengembalian fungsi apotek sesuai

peraturan... 20 4.3 Distribusi tanggapan responden terhadap Peraturan Pemerintah RI

No. 51 tahun 2009 terkait peningkatan peran apoteker... 23 4.4 Distribusi tanggapan responden terhadap Peraturan Pemerintah RI

No. 51 tahun 2009 terkait penambahan beban biaya apotek... 26 4.5 Distribusi tanggapan responden terhadap Peraturan Pemerintah RI

No. 51 tahun 2009 terkait penambahan beban kerja di apotek... 28 4.6 Distribusi total tanggapan responden terhadap Peraturan

Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 terkait 4 konsekuensi... 30


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 4.1 Distribusi total tanggapan responden terhadap Peraturan

Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 terkait pengembalian fungsi

apotek sesuai peraturan... 20 4.2 Distribusi total tanggapan responden terhadap Peraturan

Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 terkait peningkatan peran

apoteker... 23 4.3 Distribusi total tanggapan responden terhadap Peraturan

Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 terkait penambahan beban biaya

apotek... 26 4.4 Distribusi total tanggapan responden terhadap Peraturan

Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 terkait penambahan beban

kerja... 29 4.5 Distribusi total tanggapan responden terhadap Peraturan

Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 terkait 4 konsekuensi... 30


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Kuisioner Penelitian... 35

2. Kisi-kisi Instrumen Penelitian... 39

3. Perhitungan Jumlah Apotek yang disurvei dari tiap Kecamatan... 40


(11)

TANGGAPAN PEMILIK MODAL APOTEK DI KOTA MEDAN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH RI NO. 51 TAHUN 2009

TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN ABSTRAK

Terbitnya Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian membawa beberapa ketentuan baru. Implementasi ketentuan baru ini membawa 4 konsekuensi bagi apotek, meliputi pengembalian fungsi apotek sesuai peraturan, peningkatan peran apoteker, penambahan beban biaya dan penambahan beban kerja. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tanggapan pemilik modal apotek di kota Medan terhadap Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian ditinjau dari 4 konsekuensi tersebut di atas.

Penelitian menggunakan metode deskriptif dengan model penelitian survei dan bersifat cross-sectional di beberapa apotek di kota Medan. Data berupa tanggapan 26 Pemilik Modal Apotik (PMA) sebagai responden terhadap 10 kuesioner yang masing-masing terdiri atas 3 pilihan tanggapan, meliputi setuju, tidak berpendapat, dan tidak setuju

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanggapan mayoritas Pemilik Modal Apotek di kota Medan terhadap PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian adalah tidak setuju. Secara terperinci distribusi persentase tanggapan Pemilik Modal Apotik adalah 63% menyatakan tidak setuju, 3% tidak berpendapat, dan 34% menyatakan setuju. Ditinjau dari persentase ketidaksetujuan terhadap masing-masing konsekuensi adalah 67% terhadap pengembalian fungsi apotek sesuai peraturan, 89% terhadap peningkatan peran apoteker, 58% terhadap penambahan beban biaya apotek, dan 10% terhadap penambahan beban kerja di apotek.

Kata kunci: Tanggapan Pemilik Modal Apotek, PP No. 51 tahun 2009, fungsi apotek, peran apoteker, beban biaya, beban kerja.


(12)

RESPONSE OF THE INVESTORS OF DRUGSTORES IN MEDAN TO THE GOVERNMENTAL RULE NO. 51 OF 2009 REGARDING

PHARMACEUTICAL WORK ABSTRACT

The issuance of the Governmental Rule No. 51 of 2009 regarding pharmacy work lead some newer regulations. The implementation of these newer regulations result in 4 pharmaceutical consequences, including recovery of drugstore function according to the rule, increase in the role of pharmacists, increase in cost expense and workload. The objective of the study is to know how the response of the investors of drugstores in Medan to the Governmental Rule No. 51 of 2009 regarding the Pharmaceutical Work viewed in terms of the four consequences.

The study is a descriptive method using a cross-sectional survey in some drugstores in Medan. The data included the responses of 26 investors (Foreign Investment) to the questionnaire each of which consists of 3 options ; agree, abstain, and disagree.

The result of the study showed that majority of the investors of drugstores in Medan to the Governmental Rule No. 51 of 2009 regarding the pharmaceutical work included disagree. In detail, the distribution in percentage of their responses included 63% of disagree, 3% of abstain and 34% of agree. Viewed in terms of the disagreement percentage to each consequence is that 67% to the recovery of the drugstore function according to the rule, 89% to the improvement in role of pharmacists , 57% to the increase in workload of drugstore and 10% to the increase in workload in drugstore.

Keywords : Response of the Investors of Drugstores, the Governmental Rule

No.51 of 2009, Function of Drugstore, the role of drugstore, cost expense and workload


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pelayanan kefarmasian telah bergeser orientasinya dari pelayanan obat

(drug oriented) menjadi pelayanan pasien (patient oriented) dengan mengacu

kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi berubah menjadi pelayanan yang komprehensif dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Namun pelayanan kefarmasian di apotek saat ini masih belum optimal dikarenakan pada setiap jam buka apotek lebih sering tidak dijumpainya apoteker, melainkan tenaga teknis kefarmasian dan pemilik modal apotek (Febrianti, 2008). Segala aktivitas apotek lebih dikendalikan oleh pemilik modal apotek, akibatnya profil dan performa apotek tidak lebih dari tempat transaksi jual beli obat yang dikendalikan sepenuhnya pemilik modal apotek yang sering tidak memiliki latar belakang kefarmasian (Rubiyanto,2010). Apotek telah berubah menjadi semacam Toko yang berisi semua golongan obat baik obat bebas, obat keras, psikotropika dan narkotika dengan pelayanan yang tidak mengacu pada kaidah-kaidah profesi, karena tidak dilakukan oleh Apoteker tapi oleh siapa saja yang ada di apotek (Ahaditomo, 2002).

Terbitnya Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian membawa beberapa ketentuan baru yang menimbulkan empat konsekuensi bagi apotek, meliputi pengembalian fungsi apotek sesuai peraturan, peningkatan peran apoteker, penambahan beban biaya dan penambahan beban kerja yang cendrung memberatkan apotek.


(14)

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui Tanggapan Pemilik Modal Apotek di kota Medan terhadap Peratuan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana Tanggapan Pemilik Modal Apotek di kota Medan terhadap Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian ?

1.3 Hipotesis

Tanggapan Pemiliki Modal Apotek di kota Medan terhadap Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian adalah tidak setuju.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tanggapan Pemilik Modal Apotek di kota Medan terhadap Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai dasar pembinaan kepada Pemilik Modal Apotek untuk dapat ikut mendukung pelaksanaan PP No. 51 tahun 2009 dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kefarmasian di apotek di masa mendatang.


(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Profesi Kefarmasian

Secara historis perubahan mendasar dalam profesi kefarmasian dapat dibagi dalam beberapa periode.

1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia pada umumnya diawali dengan pendidikan asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

2. Periode Setelah Perang Kemerdekaan Sampai dengan Tahun 1958. Pada periode ini jumlah tenaga farmasi, terutama tenaga asisten apoteker mulai bertambah jumlah yang relatif lebih besar. Pada tahun 1950 di Jakarta dibuka sekolah asisten apoteker Negeri (Republik) yang pertama , dengan jangka waktu pendidikan selama dua tahun. Jumlah apoteker juga mengalami peningkatan, baik yang berasal dari pendidikan di luar negeri maupun lulusan dari dalam negeri.

3. Periode Tahun 1958 sampai dengan 1967 Pada periode ini meskipun untuk memproduksi obat telah banyak dirintis, dalam kenyataannya industri-industri farmasi menghadapi hambatan dan kesulitan yang cukup berat, antara lain kekurangan devisa dan terjadinya sistem penjatahan bahan baku obat sehingga industri yang dapat bertahan hanyalah industri yang memperoleh bagian jatah atau mereka yang mempunyai relasi dengan luar negeri. Sekitar tahun 1960-1965, beberapa peraturan perundang-undangan yang penting dan berkaitan dengan kefarmasian yang dikeluarkan oleh pemerintah antara lain :


(16)

• Undang-undang Nomor 9 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan

• Undang-undang Nomor 10 tahun 1961 tentang barang

• Undang-undang Nomor 7 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan,

• Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965 tentang Apotek. Pada periode ini pula ada hal penting yang patut dicatat dalam sejarah kefarmasian di Indonesia, yakni berakhirnya apotek dokter dan apotek darurat.

4. Periode tahun 1980 sampai sekarang

• Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1980 tentang perubahan atas PP No. 26 tentang apotek.

• Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.

2.2 Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009

Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (Pemerintah RI, 2009).

Tenaga Kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya Pelayanan Kefarmasian (Pemerintah RI, 2009).


(17)

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi Pelayanan Kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) (Pemerintah RI, 2009).

Perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian dirasakan belum memadai, selama ini masih didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan Pemerintah, dan belum memberdayakan Organisasi Profesi dan pemerintah daerah sejalan dengan era otonomi. Sementara itu berbagai upaya hukum yang dilakukan dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan, dan Tenaga Kefarmasian sebagai pemberi pelayanan telah banyak dilakukan, akan tetapi dirasakan masih belum memadai karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sangat cepat tidak seimbang dengan perkembangan hukum (Pemerintah RI, 2009).

Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi landasan hukum serta menata kembali berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian agar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perlu mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam suatu peraturan pemerintah (Pemerintah RI, 2009).


(18)

1. Asas dan Tujuan Pekerjaan Kefarmasian

2. Penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan, Produksi, Distribusi, atau Penyaluran dan Pelayanan Sediaan Farmasi

3. Tenaga Kefarmasian

4. Disiplin Tenaga Kefarmasian, serta 5. Pembinaan dan Pengawasan

Tujuan pengaturan ini sebagaimana ditegaskan pada pasal 4 adalah untuk: 1. Memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam

memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian. 2. Mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pekerjaan

kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peraturan perundangan-undangan; dan

3. Memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian.

Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (Pemerintah RI, 2009).

Pelaksanaan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian berupa (Pemerintah RI, 2009) :

a. Apotek

b. Instalasi farmasi rumah sakit c. Puskesmas


(19)

d. Klinik

e. Toko obat; atau f. Praktek bersama

2.3 Apotek

Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Menkes, 2004).

Beberapa pokok-pokok ketentuan terkait Apotek dalam PP 51 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:

• Pasal 1 Yang dimaksud dengan apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.

• Pasal 20, Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian.

• pasal 21

- Ayat 1 Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian.

- Ayat 2 Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker.


(20)

- Ayat 1 Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker sebagaimana dimaksud harus menetapkan Standar Prosedur Operasional.

Ayat 2 Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui secara terus menerus sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

• pasal 31

- Ayat 1 Setiap Tenaga Kefarmasian dalam melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian wajib menyelenggarakan program kendali mutu dan kendali biaya.

- Ayat 2 Pelaksanaan kegiatan kendali mutu dan kendali biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui audit kefarmasian.

• pasal 37 ayat 1 Apoteker yang menjalankan Pekerjaan Kefarmasian harus memiliki sertifikat kompetensi profesi.

• Berkaitan dengan kepemilikan apotek, pasal 25 menyatakan:

- Ayat 1 Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan.

- Ayat 2 Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerja sama dengan pemilik modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan.


(21)

Dalam Permenkes RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004, pengolahan suatu apotek meliputi:

1. Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, pengubahan bentuk dan penyerahan obat atau bahan obat.

2. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya.

3. Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi:

a. Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi diberikan baik kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat.

b. Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan atau suatu obat dan perbekalan farmasi lainnya.

2.4 Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)

Pelayanan Kefarmasian merupakan suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Pemerintah RI, 2009).

Asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah suatu bentuk layanan langsung seorang apoteker kepada konsumen obat (pasien) dalam menetapkan, menerapkan dan memantau pemanfaatan obat agar menghasilkan Therapeutic

outcome yang spesifik antara lain tepat pasien, tepat dosis, tepat khasiat

(Dhanutirto, 2008).

Therapeutic outcome yang efektif dari suatu obat berkorelasi dengan


(22)

pengembangan penyakit dan pencegahan penyakit. Selain itu therapeutic outcome yang efektif juga menjamin tidak adanya komplikasi atau gangguan lain yang dimunculkan oleh penyakit, menghindarkan atau meminimalkan efek samping obat, biaya yang efisien dan mampu memelihara kualitas hidup pasien. Bila seorang apoteker ingin melaksanakan asuhan kefarmasian, ia harus memiliki 3C,

Competency, Commitment, dan Care (Dhanutirto, 2008). 2.4.1 Standar Pelayanan Kefarmasian

Pelayanan Kefarmasian di apotek saat ini telah mempunyai standar dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Tujuan diterbitkannya Surat Keputusan ini adalah sebagai pedoman praktik apoteker dalam menjalankan profesi, melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, dan melindungi profesi dalam praktek kefarmasian di apotek sehingga diharapkan pelayanan kefarmasian yang diselenggarakan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien (Menkes RI, 2004).

2.4.2 Sumber Daya Manusia 1. Pemilik Modal Apotek

Pemilik Modal Apotek adalah Orang yang menyandang dana/modal berupa uang untuk mendirikan apotek dengan harapan mendapatkan keuntungan. Kewajiban Pemilik Modal adalah menyediakan bangunan perlengkapan Apotik dan perbekalan kesehatan di bidang farmasi, dan kewajiban Apoteker adalah menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin.


(23)

2. Apoteker

Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (Pemerintah RI, 2009).

Apoteker harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, mampu berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pemimpin dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola sumber daya (manusia, fisik dan anggaran) secara efektif, selalu belajar sepanjang karir dan membantu member pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Menkes RI, 2004).

3. Asisten Apoteker

Asisten apoteker memiliki tugas dan fungsi dalam pengelolaan apotek, yaitu (Umar, 2005) :

1. Fungsi pengembalian meliputi : mendata kebutuhan barang, mendata pemasok, merncanakan dan melakukan pembelian sesuai dengan yang dibutuhkan, kecuali ketentuan lain dari APA dan memeriksa harga.

2. Fungsi gudang meliputi : menerima dan mengeluarkan berdasarkan fisik barang, menata, merawat dan menjaga keamanan barang.

3. Fungsi pelayanan meliputi : melakukan penjualan dengan harga yang telah ditetapkan, menjaga kenyamanan ruang tunggu, melayani konsumen dengan ramah dan membina hubungan baik dengan pelanggan.

2.5 Kompetensi Profesi

Seorang apoteker diharuskan untuk mengikuti perkembangan dalam praktik farmasi dan ilmu-ilmu farmasi, persyaratan standar kompetensi apoteker, hukum yang mengatur tentang pekerjaan kefarmasian dan kemajuan dalam ilmu


(24)

pengetahuan dan teknologi yang berhubungan dengan penggunaan obat-obatan yang cukup pesat. Ini hanya dapat dicapai dengan komitmen seorang apoteker dalam mempertahankan profesionalismenya sehingga informasi dan ilmu pengetahuan yang diterima berkembang sesuai dengan tantangan dan masalah yang dihadapi dan diharapkan mampu meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian pada masa yang akan datang. Secara mendasar kompetensi apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian harus meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Asuhan Kefarmasian b. Regulasi Kefarmasian c. Manajemen Praktik Farmasi d. Akuntabilitas Praktik Farmasi e. Komunikasi Kefarmasian

f. Pendidikan dan Pelatihan Kefarmasian g. Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian

2.6 Standar Prosedur Operasional

Standar Prosedur Operasional adalah prosedur langkah-demi-langkah yang ditulis untuk kegiatan yang dilakukan di suatu organisasi (komunitas farmasi). Apoteker di apotek yang memiliki wewenang dalam pembuatan SPO dan dapat di periksa dan disetujui oleh apoteker senior/berpengalaman di apotek.

Standar Prosedur Operasional (SPO) merupakan prosedur tertulis berupa petunjuk operasional tentang pekerjaan kefarmasian. Keharusan membuat dan memperbaharui Standar Prosedur Operasional dimaksudkan agar dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatkan mutu pelayanan yang lebih baik (Pemerintah RI, 2009).


(25)

Adapun manfaat dari SPO adalah :

- SPO memberikan kejelasan kepada petugas apotek, untuk mengikuti langkah-langkah / prosedur, sistematis dan seragam.

- SPO membantu petugas farmasi dalam melakukan tugas dan tanggung jawab di apotek, sehingga menghindari kebingungan, dan fungsi tumpang tindih.

- SPO membantu untuk memastikan bahwa pelayanan kefarmasian yang baik dapat diikuti dan dicapai setiap saat.

- SPO adalah alat yang berguna untuk pelatihan anggota baru staf.

- SPO membantu untuk menjamin kualitas dan konsistensi pelayanan, sehingga akan meminimalkan efek yang membahayakan pasien.

Apoteker harus membuat SPO yang mencangkup berbagai aspek/fungsi yang dilakukan di apotek dan prosedur hukum dan etika yang harus selalu diingat ketika menulis dan mengikuti SPO. Isi SPO harus jelas dan mudah dipahami oleh petugas farmasi.

2.7 Pelayanan Resep

Pelayanan resep adalah suatu proses pelayanan terhadap permintaan tertulis dokter, dokter gigi, dan dokter hewan kepada Apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Dalam PP No. 51 Pasal 21 ayat 2 berbunyi “Penyerahan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker” (Peraturan Pemerintah, 2009). Peraturan ini jelas bahwa yang boleh melayani pemberian obat berdasarkan resep


(26)

adalah apoteker. Secara tidak langsung tersirat bahwa apoteker harus selalu ada di apotek untuk melakukan asuhan kefarmasian.

Pelayanan obat non resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin melakukan pengobatan sendiri, dikenal dengan swamedikasi. Swamedikasi sendiri bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan secara tepat, aman, dan rasional. Oleh sebab itu peran apoteker di apotek dalam pelayanan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) serta pelayanan obat kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka peningkatan pengobatan sendiri. Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat yang dapat digunakan tanpa resep yang meliputi obat-obat wajib apotek (OWA), obat bebas terbatas (OBT) dan obat bebas (OB).

Dalam PP 51 tahun 2009 pasal 24, dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan. Secara tidak langsung pada pasal ini dijelaskan seorang apoteker hanya bisa menyerahkan obat keras dengan resep dokter. Swamedikasi obat keras non OWA di apotek dapat dikatakan sebagai bentuk pelanggaran hukum PP 51 tahun 2009.

Pelanggaran hukum yang dilakukan tidak hanya sebatas pada PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, tetapi juga terhadap Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Praktek swamedikasi obat keras akan bertetangan dengan hukum diatas, jika tidak dilakukan oleh apoteker di apotek yang dibenarkan oleh peraturan hukum yang berlaku di Indonesia hanya swamedikasi obat keras yang termasuk Obat Wajib Apotek (Wirasuta, 2010).


(27)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian menggunakan metode deskriptif dengan model penelitian survei dan bersifat cross-sectional di beberapa apotek di kota Medan (Singarimbun, 1989).

3.2 Jenis Data

Data dalam penelitian ini adalah data primer yaitu tanggapan yang dipilih langsung melalui pengisian angket (kuisioner) oleh responden (Riduwan, 2009).

3.3 Waktu dan Tempat Pengambilan Data Penelitian

Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2011 bertempat di beberapa apotek di kota Medan.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan secara manual, kuisioner yang dibagikan terdiri atas 10 buah pertanyaan terkait 4 konsekuensi Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian kepada pemilik modal apotek di kota Medan. Jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus berikut (Lwanga, 1997):

n =

(N – 1) + P(1 – P) Keterangan


(28)

N merupakan jumlah populasi yang diketahui dan mencerminkan jumlah unit sampel yang memiliki kemungkinan untuk terpilih sebagai sampel (Lwanga, 1997).

P merupakan proporsi yang sesungguhnya dari suatu populasi tetapi tidak diketahui besarnya. Nilai P antara 0,5 sampai dengan 0,1 (Lwanga, 1997).

d merupakan besar penyimpangan (absolut) yang dapat diterima dan nilai d yang bervariasi antara 0.01 sampai dengan 0,25 (Lwanga, 1997).

merupakan nilai sebaran normal baku yang besarnya tergantung α

(derajat kemaknaan/tingkat kepercayaan) (Isgiyanto, 2009), dimana nilai Z = 1,645 ( tingkat kepercayaan 90%), 1,960 (tingkat kepercayaan 95%) dan 2,576 (tingkat kepercayaan 99%) (Lwanga, 1997).

(567)(1,645)2(0,3)(1-0,3) Jadi jumlah sampel adalah: n =

(0,15)2(567-1)+(1,645)2(0,3)(1-0,3)

= 25

3.5 Analisis Data

Data dianalisis dan diolah dengan program Microsoft Excel yang disajikan dalam bentuk tabel dan diagram batang.

3.6 Defenisi Operasional

1. Pemilik Modal Apotek adalah Orang yang menyediakan modal untuk mendirikan apotek dengan harapan mendapatkan keuntungan.

2. Tanggapan pemilik modal apotek terhadap PP No. 51 tahun 2009 adalah proses saat pemilik modal menginterpretasikan kesan – kesan terhadap PP No.51 tentang pekerjaan kefarmasian.


(29)

3.7 Langkah penelitian

a. Menyiapkan kuesioner yang akan diisi oleh responden.

b. Meminta izin Dekan Fakultas Farmasi USU untuk melakukan penelitian di beberapa apotek di kota Medan.

c. Meminta izin Dinas Kesehatan Kota Medan melakukan penelitian di beberapa apotek di kota Medan.

d. Mengumpulkan data tanggapan pemilik modal apotek dari beberapa apotek di kota Medan.


(30)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Apotek di kota Medan

Menurut data dari Dinas Kesehatan Kota Medan, jumlah apotek di kota Medan sebanyak 567 apotek yang tersebar di 21 kecamatan.

4.2 Karakteristik Responden Penelitian

Karakteristik responden penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1 dimana responden laki – laki (73,1%) lebih banyak dibanding responden wanita (26,9%).

Tabel 4.1 Karakteristik Responden Penelitian

No Variabel Jumlah %

1

JENIS KELAMIN

Laki-laki 19 73,1

Perempuan 7 26,9

Total 26 100

2

PENDIDIKAN

S-1 22 84,6

Diploma III 4 15,4

Total 26 100

3

LAMA MEMILIKI SARANA

< 2 tahun 3 11,5

2 – 5 tahun 17 65,3

> 5 tahun 4 15,3

Total 26 26

4

MODAL

Sendiri 26 100

Pinjaman 0 0


(31)

4.3 Distribusi tanggapan responden terhadap PP No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 yang di dalamnya diatur beberapa ketentuan baru tentang penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian, tenaga kefarmasian, disiplin tenaga kefarmasian, pembinaan dan pengawasan, serta ketentuan peralihan. Beberapa ketentuan baru ini membawa konsekuensi terhadap apotek meliputi : pengembalian fungsi apotek sesuai peraturan, peningkatan peran apoteker, penambahan beban biaya dan beban kerja apotek.

4.3.1 Pengembalian Fungsi Apotek sesuai Peraturan

Pengembalian fungsi apotek sesuai Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 13 berbunyi “Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker”, dan pasal 24 ayat 3 berbunyi “Menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan”.

Hasil distribusi total tanggapan responden terhadap PP No. 51 tahun 2009 terkait pengembalian fungsi apotek sesuai peraturan dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini.


(32)

Tabel 4.2 Distribusi tanggapan responden terhadap PP No. 51 tahun 2009 terkait

pengembalian fungsi apotek sesuai peraturan.

Kuesioner

Jumlah Setuju Tidak

berpendapat

Tidak Setuju Apotek bukan lagi usaha dagang

melainkan sebagai sarana pelayanan kesehatan dengan aktifitas utama praktek kefarmasian oleh apoteker (Pasal 1 ayat 13).

7 0 19

Penyerahan obat keras, narkotika dan psikotropika atas resep dokter (Pasal 24 ayat 3).

4 6 16

Total 11 6 35

Berikut ini ditampilkan distribusi total tanggapan responden terhadap PP No. 51 tahun 2009 terkait pengembalian fungsi apotek sesuai peraturan dalam bentuk diagram batang.

Diagram 4.1 Distribusi total tanggapan responden terhadap PP No. 51 tahun

2009 terkait pengembalian fungsi apotek sesuai peraturan

Berdasarkan diagram 4.1, total tanggapan responden terhadap PP No. 51 tahun 2009 terkait pengembalian fungsi apotek sesuai peraturan yakni 11 setuju, 6 tidak berpendapat dan 35 tidak setuju.

Ketidaksetujuan responden terkait pengembalian fungsi apotek sesuai dengan peraturan karena bagi responden, apotek merupakan lahan bisnis/usaha

0 5 10 15 20 25 30 35 Setuju Tidak berpendapat Tidak setuju Kuesioner 1 Kuesioner 2 Total 7 4 11 0 6 6

19 16


(33)

yang mereka bangun dengan harapan memperoleh keuntungan, akibatnya profil dan perfoma apotek bukan sebagai sarana pelayanan kefarmasian oleh apoteker melainkan lebih sebagai tempat transaksi jual beli obat. Penjualan obat di apotek juga harus sesuai dengan peraturan yakni penjualan obat keras, narkotika, psikotropika harus dengan resep dokter, akan tetapi kenyataan penjualan obat keras banyak dijual bebas di apotek dengan ada atau tidak resep dokter misalnya obat antibiotik dan obat penyakit degeneratif (Samano, 2009 ). Obat cenderung tidak lagi dipandang sebagai barang yang mempunyai resiko dalam penggunaan, sementara justru hal ini yang memberikan pembenaran bagi keberadaan profesi apoteker di masyarakat. Pelayanan kefarmasian cenderung dilakukan oleh siapa saja yang ada di apotek tanpa memperhatikan ketentuan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi yang berlaku (Wiryanto, 2009)

Pergeseran fungsi apotek ini mengakibatkan peran sosial Apoteker sebagai pemberi informasi obat kepada pasien tidak menjadi penting sepanjang usaha apotek yang dikelola tetap bertahan. Pelayanan cepat dan harga obat yang murah menjadi taktik yang strategis sehingga kegiatan bisnis apotek hampir sama dengan usaha lainnya (Rubiyanto, 2010).

Dalam PP No. 51 tahun 2009, kedudukan pemilik modal tetap diakomodir namun kedudukannya tidak lagi berada di institusi apotek yang tadinya disebut sebagai pemilik sarana apotek sekarang sebagai pemilik modal apotek yang konotasinya berada di luar apotek, sehingga di hadapan hukum dan birokrasi di apotek hanya ada apoteker dan itu yang dikenal secara universal sebagai praktek profesi. Pemilik modal tidak diperbolehkan melakukan intervensi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pelaksanaan pekerjaan kefarmasian


(34)

yang dilakukan oleh apoteker sebagaimana diatur dalam pasal 25 ayat 2 PP No. 51 tahun 2009 (Rubiyanto1, 2010). Kebijakan PP No. 51 pasal 25 ayat 2 bertujuan untuk menghindari pekerjaan kefarmasian dilakukan oleh seseorang yang tidak memiliki kompetensi dan wewenang (Pemerintah RI, 2009).

Apotek sebagai tempat pengabdian profesi apoteker semestinya adalah sarana yang sangat tepat bagi apoteker untuk memberikan asuhan kefarmasian kepada masyarakat. Secara filosofis, konsumen yang datang ke apotek sejatinya bukan semata-mata akan membeli obat. Mereka membutuhkan saran atas masalah yang berkaitan dengan kesehatan mereka. Bahwa bila diakhir kunjungannya mereka membeli obat, dapat dipastikan hal itu terjadi setelah melalui tahap pemberian asuhan kefarmasian. Paradigma tersebut memperjelas sekaligus mempertegas bahwa apotek tidak lain adalah pusat asuhan kefarmasian dan profesi yang memiliki kompetensi untuk menjalankannya adalah apoteker (Anonima, 2008).

4.3.2 Peningkatan Peran Apoteker

Peningkatan peran apoteker sesuai PP No 51 tahun 2009 meliputi pasal 25 ayat 2 yang berbunyi ”Dalam hal Apoteker yang mendirikan apotek bekerja sama dengan pemilik modal apotek maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh apoteker yang bersangkutan”. Pasal 51 ayat 1 yang berbunyi “pelayanan kefarmasian di apotek hanya dapat dilakukan oleh Apoteker”. Pasal 21 ayat 2 yang berbunyi “Penyerahan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker”.

Hasil distribusi total tanggapan responden terhadap PP No. 51 tahun 2009 terkait peningkatan peran apoteker dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut ini.


(35)

Tabel 4.3 Distribusi tanggapan responden terhadap PP No. 51 tahun 2009 terkait

peningkatan peran apoteker.

Berikut ini ditampilkan distribusi total tanggapan responden terhadap PP No. 51 tahun 2009 terkait peningkatan Peran Apoteker dalam bentuk diagram batang.

Diagram 4.2 Distribusi total tanggapan responden terhadap PP No. 51 tahun

2009 terkait peningkatan Peran Apoteker.

0 20 40 60 80 100 Setuju Tidak berpendapat Tidak Setuju Kuesioner 3 Kuesioner 4 Kuesioner 5 Kuesioner 6 Total Kuesioner Jumlah Setuju Tidak

berpendapat

Tidak Setuju Apoteker yang mendirikan apotek

bekerja sama dengan pemilik modal apotek maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh apoteker (Pasal 25 ayat 2).

5 0 21

pelayanan kefarmasian di apotek hanya dapat dilakukan oleh Apoteker (Pasal 51 ayat 1).

3 0 23

Keharusan Apoteker hadir selama

jam buka apotek 1 0 25

Penyerahan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker (Pasal 21 ayat 2)

2 0 24

Total 11 0 93

5 3 1 2 11 0 0 0 0 0

21 23 25

24 93


(36)

Berdasarkan diagram 4.2, total tanggapan responden terhadap PP No. 51 tahun 2009 terkait peningkatan peran apoteker di apotek yakni 11 setuju, tidak ada yang tidak berpendapat dan 93 tidak setuju.

Berdasarkan hasil survei yang pernah dilakukan terhadap kinerja apoteker di apotek yakni secara umum apoteker tidak hadir di apotek setiap hari, sehingga pelayanan kefarmasian di apotek lebih banyak dilakukan oleh tenaga teknis kefarmasian mulai dari pelayanan penyiapan obat, pelayanan resep, dan pemberian informasi kepada pasien (Ginting, 2009). Pemilik modal tidak yakin terhadap kinerja apoteker apabila semua yang dikerjakannya selama ini diserahkan kepada apoteker, sementara pemilik modal sudah mempertaruhkan modal yang cukup besar serta upaya membangun usahanya selama bertahun – tahun. Apotek dapat berjalan dengan bantuan tenaga teknis kefarmasian. Sehingga tenaga teknis kefarmasian mendapatkan simpatik di kalangan masyarakat khususnya lagi bagi pemilik modal apotek.

Pasal 51 ayat 1 PP No. 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian menyatakan bahwa kefarmasian di apotek hanya dapat dilaksanakan oleh Apoteker. Sedangkan tenaga teknis kefarmasian (sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker) adalah tenaga yang membantu apoteker dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian (Pemerintah RI, 2009).

Salah satu pelayanan kefarmasian yang penting didapat oleh seorang pasien adalah pelayanan informasi obat. Apoteker harus memberi informasi yang benar, jelas, mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat,


(37)

cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi (Menteri Kesehatan RI, 2004)

Pelayanan kefarmasian yang komprehensif meliputi dua kegiatan yaitu memberikan rasa aman karena kesehatannya menjadi lebih baik dan menghindarkan masyarakat dari sakit dan penyakit. Asuhan atau pelayanan kefarmasian merupakan pelayanan yang dibutuhkan dan diterima oleh pasien untuk mencapai tujuan terapi yang optimal karena pharmaceutical care dapat meningkatkan kesehatan dan bahkan menyelamatkan nyawa pasien. Peran apoteker diharapkan tidak hanya menjual obat, tetapi lebih menjamin tersedianya obat yang berkualitas, mempunyai efikasi, jumlah yang cukup aman, harga yang wajar, informasi yang cukup memadai, serta diikuti pemantauan pada saat penggunaan obat dan akhirnya dilakukan evaluasi untuk mencapai tujuan terapi yang optimal bagi pasien (Cipolle, 1998).

4.3.3 Penambahan Beban Biaya Apotek

Ketentuan PP No 51 tahun 2009 membawa konsekuensi bertambahnya beban biaya. Penambahan beban biaya tetap yakni pada pasal 24 ayat 1 yang berbunyi “Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat mengangkat apoteker pendamping yang memiliki SIPA”.

Hasil distribusi total tanggapan responden terhadap kebijakan PP No 51 tahun 2009 terkait Penambahan beban biaya apotek dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini.


(38)

Tabel 4.4 Distribusi tanggapan responden terhadap kebijakan PP No 51 tahun

2009 terkait Penambahan beban biaya apotek.

Kuesioner

Jumlah Setuju Tidak

berpendapat

Tidak Setuju Keharusan adanya Apoteker

Pendamping di apotek 0 0 26

Dukungan secara finansial kepada Apoteker dan Asisten Apoteker untuk menambah pengetahuan dan keahlian melalui seminar atau diklat

22 0 4

Total 22 0 30

Berikut ini ditampilkan distribusi total tanggapan responden terhadap kebijakan PP No 51 tahun 2009 terkait penambahan beban biaya apotek dalam bentuk diagram batang.

Diagram 4.3 Distribusi total tanggapan responden terhadap kebijakan PP No 51

tahun 2009 terkait penambahan beban biaya apotek

Berdasarkan diagram 4.3, total tanggapan responden terhadap PP No. 51 tahun 2009 terkait penambahan beban biaya apotek yakni 22 setuju, tidak ada yang tidak berpendapat dan 30 tidak setuju.

Pemilik modal apotek secara umum tidak keberatan mengeluarkan biaya tambahan dengan harapan tenaga kefarmasian yang bekerja di apoteknya menjadi

0 5 10 15 20 25 30 Setuju Tidak berpendapat Tidak Setuju Kuesioner 7 Kuesioner 8 Total 0

22 22

0 0 0

26

4 30


(39)

pendamping, 100% responden tidak setuju. Pada umumnya apotek harus mengeluarkan biaya tetap dua kali lipat lebih besar dari biaya tetap sebelum penerapan PP No. 51 tahun 2009 (Azizah, 2011). Apotek mengalami kesulitan untuk dapat meningkatkan omset, kemungkinan kesulitan tersebut disebabkan oleh jumlah apotek yang terus berkembang, jumlah item obat yang semakin banyak dan semakin sedikit jumlah resep yang masuk (Wiryanto, 2005).

Untuk mencapai pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang tinggi, semua tenaga farmasi harus meningkatkan pengetahuan dan keahlian di bidang farmasi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Rubiyanto, 2009). Peningkatan pengetahuan dan keahlian tenaga kefarmasian harus didukung oleh apotek secara finansial yang merupakan beban biaya tetap. Sedangkan penambahan beban biaya yang lain adalah adanya apoteker pendamping di apotek, tujuannya adalah untuk menjaga kualitas pelayanan kefarmasian di apotek.

Seorang apoteker diharuskan untuk mengikuti perkembangan dalam praktik farmasi dan ilmu-ilmu farmasi, persyaratan standar kompetensi apoteker, hukum yang mengatur tentang pekerjaan kefarmasian dan kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang berhubungan dengan penggunaan obat-obatan yang cukup pesat. Ini hanya dapat dicapai dengan komitmen seorang apoteker dalam mempertahankan profesionalismenya sehingga informasi dan ilmu pengetahuan yang diterima berkembang sesuai dengan tantangan dan masalah yang dihadapi dan diharapkan mampu meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian pada masa yang akan datang. Standar kompetensi apoteker mengharuskan seorang


(40)

apoteker harus ikut berperan aktif dalam pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas diri dan kualitas pelayanan kefarmasian (IAI, 2004).

4.3.4 Penambahan Beban Kerja di Apotek

Peraturan Pemerintah No. 51 pasal 31 ayat 1 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian berbunyi “Setiap Tenaga Kefarmasian dalam melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian wajib menyelenggarakan program kendali mutu dan kendali biaya” dan Pasal 23 ayat 1 berbunyi : “Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian Apoteker harus menetapkan Standar Prosedur Operasional (SPO)”.

Hasil distribusi total tanggapan responden terhadap PP No 51 tahun 2009 terkait penambahan beban kerja apotek dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut ini.

Tabel 4.5 Distribusi tanggapan responden terhadap PP No 51 tahun 2009 terkait

penambahan beban kerja apotek

Kuesioner

Jumlah Setuju Tidak

berpendapat

Tidak Setuju Tenaga Kefarmasian wajib

menyelenggarakan program kendali mutu & kendali biaya(Pasal 31 ayat1)

24 2 0

Apoteker harus menetapkan SPO

(Pasal 23 ayat 1) 21 0 5

Total 45 2 5

Berikut ini ditampilkan distribusi total tanggapan responden terhadap PP No 51 tahun 2009 terkait penambahan beban kerja apotek dalam bentuk diagram batang.


(41)

Diagram 4.4 Distribusi total tanggapan responden terhadap PP No 51 tahun 2009

terkait penambahan beban kerja apotek.

Berdasarkan diagram 4.4, total tanggapan responden terhadap PP No. 51 tahun 2009 terkait penambahan beban kerja apotek yakni 45 setuju, 2 tidak berpendapat dan 5 tidak setuju. Pemilik modal apotek tidak keberatan terkait penambahan beban kerja di apotek karena hal ini akan menunjang pelayanan apotek menjadi lebih baik.

Apoteker harus membuat Standar Prosedur Operasional. SPO merupakan prosedur tertulis berupa petunjuk operasional tentang pekerjaan kefarmasian. Keharusan membuat dan memperbaharui Standar Prosedur Operasional dimaksudkan agar dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatkan mutu pelayanan yang lebih baik (Pemerintah RI , 2009).

Kendali mutu yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah suatu sistem pemberian pelayanan kefarmasian yang efektif, efisien dan berkualitas dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kefarmasian. Kendali biaya adalah pelayanan kefarmasian yang harus sesuai dengan kebutuhan dan didasarkan pada harga yang sesuai dengan ketentuan peraturan (Pemerintah RI, 2009). Apotek harus dapat mendukung dan membantu terlaksananya usaha Pemerintah untuk menyediakan

0 10 20 30 40 50

Setuju Tidak berpendapat

Tidak Setuju

Kuesioner 9

Kuesioner 10

Total 24 21

45


(42)

obat-obat secara merata dengan harga yang dapat terjangkau oleh masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah.

4.3.5 Distribusi total tanggapan responden terhadap PP No 51 tahun 2009 terkait empat konsekuensi.

Hasil distribusi total tanggapan responden terhadap kebijakan PP No 51 tahun 2009 terkait empat konsekuensi dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut ini.

Tabel 4.6 Distribusi total tanggapan responden terhadap kebijakan PP No 51

tahun 2009 terkait 4 konsekuensi.

Kuesioner

Jumlah Setuju Tidak

berpendapat

Tidak Setuju Pengembalian fungsi apotek sesuai

peraturan 11 6 35

Peningkatan peran apoteker 11 0 93

Penambahan beban biaya 22 0 30

Penambahan beban kerja 45 2 5

Total 89 8 163

Berikut ini ditampilkan distribusi total tanggapan responden terhadap PP No. 51 tahun 2009 terkait 4 konsekuensi dalam bentuk diagram batang.

Digram 4.5 Distribusi total tanggapan responden terhadap PP No 51 tahun 2009

terkait keempat konsekuensi.

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 Setuju Tidak berpendapat Tidak Setuju Konsekuensi 1 Konsekuensi 2 Konsekuensi 3 Konsekuensi 4 Total 11 11

22 45 89

6 0 0 2 8 35

93

30 5


(43)

Berdasarkan diagram 4.5, diperoleh total tanggapan responden terhadap PP No. 51 tahun 2009 terkait keempat konsekuensi di atas yakni 89 setuju, 8 tidak berpendapat dan 163 tidak setuju. Secara umum pemilik modal apotek tidak setuju dengan kebijakan PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, hal ini disebabkan banyaknya konsekuensi yang diangkat peraturan ini sehingga menambah beban biaya apotek dan ketidakyakinan pemilik modal apotek terhadap kinerja apoteker.


(44)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tanggapan mayoritas Pemilik Modal Apotek di kota Medan terhadap PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian adalah tidak setuju. Secara terperinci distribusi persentase tanggapan Pemilik Modal Apotik adalah 63% menyatakan tidak setuju, 3% tidak berpendapat, dan 34% menyatakan setuju. Ditinjau dari persentase ketidaksetujuan terhadap masing-masing konsekuensi adalah 67% terhadap pengembalian fungsi apotek sesuai peraturan, 89% terhadap peningkatan peran apoteker, 58% terhadap penambahan beban biaya apotek, dan 10% terhadap penambahan beban kerja di apotek.

5.2 Saran

• Dibutuhkan kerjasama dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan yang lebih baik antara pemerintah pusat hingga kabupaten/kota dengan organisasi profesi IAI pusat hingga cabang untuk mewujudkan pelayanan kefarmasian sesuai PP No. 51 tahun 2009.


(45)

DAFTAR PUSTAKA

Ahaditomo, (2002), Standard Kompetensi Apoteker Indonesia. Makalah pada Peringatan 55 Tahun Pendidikan Farmasi Institut Teknologi Bandung. Anonima, (2008). Pusat Asuhan Kefarmasian [On-line]. Diakses 20 Mei 2011.

Azizah, Hilma. (2010). Peluang Penerapan PP 51 tahun 2009 terkait Titik Impas: Studi kasus di Apotek Farma Nusantara dan Kimia Farma 27 Medan. Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Medan.

Cipole, RJ., Strand, LM., Morley, PC, (1998), Pharmaceutical Care Practice. The McGraw-Hill Companies, Inc., The United States of America.

Dhanutirto, Haryanto. (2008). Asuhan Kefarmasian Nilai Tambah. [On-line]. Diakses 20 Mei 2011.

Febrianti, Indah. (2008). Tinjauan Sosiologis Pengaturan terhadap Pekerjaan

Kefarmasian di Apotek [On-line]. Diakses 20 Mei 2011

Ginting, Adelina. (2008). Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek di kota Medan tahun 2008. Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Medan.

Hamzah, Amir. (2010). Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang pekerjaan

kefarmasian dan kaitannya dengan peraturan perundang-undang

[On-line]. Diakses 20 Mei 2011. http//implementasi PP 51 Biro tahun2009-HukumDanOrganisasiKementerianKesehatanRI.htm

Lwanga, S.K., dan Lemeshow, S. (1997). Besar Sampel Dalam Penelitian

Kesehatan. Ygyakarta: gajah mada university press. Hal. 54.

Menteri Kesehatan RI. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

1027/Menkes/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Peraturan Pemerintah RI. (2009). PP 51 Tahun 2009 [On-line]. Diakses 19 Januari 2011.

Riduwan. (2009). Skala pengukuran variable-variabel penelitian. Cetakan keenam. Bandung: Alfabeta. Hal 24-31.

Rubiyanto1, Nunut, (2009). Rekonstruksi Profesi Apoteker [On-line]. Diakses 20 Mei 2011. articles/1365-rekonstruks-profesi-apoteker-htm..


(46)

Samano, Y. ( 2009 ). Standard Pelayanan Farmasi [On-line]. Diakses 19 Mei 2011.

Singarimbun, M., dan Effendi, S. (1989). Metode Penelitian Survei. Edisi Revisi. Yogyakarta: LP3ES. Hal 155.

Wiryanto. (2009). Kompetensi dan Profil Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Pasca PUKA di kota Medan. Fakultas Farmasi Universitas Sumatera.


(47)

Lampiran 1.

Kuesioner

Isilah daftar berikut pada tempat yang telah disediakan.

 Jenis kelamin : Laki-laki / Perempuan *)

 Pendidikan :

 Lama memiliki sarana : Tahun

 Modal : Sendiri / Pinjaman *) *) coret yang tidak perlu

Berbicara masalah perapotekan tidak mungkin lepas dari peran Pemilik Modal Apotek (PMA), oleh karena memang mereka yang dengan susah payah mencari modal bagi pengadaan sarana sebagai syarat berdirinya apotek. Bahkan dalam keseharian, mereka juga yang menjadi tulang punggung keseluruhan kegiatan melaksanaan pekerjaan kefarmasian yang seharusnya menjadi tugas, tanggung jawab dan wewenang apoteker. Tidak berlebihan kiranya apabila dikatakan bahwa tanpa PMA, perapotikan tidak akan berkembang seperti sekarang ini, dimana masyarakat dapat dengan mudah memperoleh obat yang dibutuhkan kapan saja dan di mana saja.

Terbitnya Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian membawa banyak ketentuan baru terutama berkaitan dengan kewenangan melakukan Pekerjaan Kefarmasian. Eksistensi dan peran PMA harus dikurangi, bahkan larangan untuk melakukan segala sesuatu terkait dengan pekerjaan kefarmasian yang sebelumnya menjadi pekerjaan PMA sehari-hari. Sebagai konsekuensi Apoteker harus hadir pada setiap jam buka apotek yang pada akhirnya akan menambah beban finansial bagi apotek.

Menyikapi begitu banyak perubahan, terutama menyangkut eksistensi dan peran PMA di apotek yang menjadi milik Bapak/Ibu PMA, saya mohon kepada Bapak/Ibu untuk berkenan memberikan pendapat terhadap 10 kuesioner terkait dengan pelaksanaan PP No. 51 tahun 2009 berikut ini.


(48)

I. Berilah tanda (x) pada jawaban yang telah disediakan

1. Pada pasal 1 PP No. 51 tahun 2009 menegaskan kembali bahwa apotek bukan lagi sekedar sebuah unit usaha dagang, melainkan sebagai sarana pelayanan kesehatan dengan aktifitas utama praktek kefarmasian oleh Apoteker, bagaimana pendapat Bapak/Ibu?

a. Setuju

b. Tidak berpendapat c. Tidak setuju

2. Menurut data penelitian, sekarang ini peyerahan obat keras banyak dilakukan tanpa resep dokter. Pada pasal 24 ayat 3 PP No. 51 tahun 2009 ditegaskan kembali bahwa penyerahan obat keras, narkotik dan psikotropik kepada masyarakat harus melalui resep dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, bagaimana menurut anda ?

a. Setuju

b. Tidak berpendapat c. Tidak setuju

3. Pada pasal 25 ayat 2 PP No. 51 tahun 2009 berbunyi “Dalam hal Apoteker yang mendirikan apotek bekerja sama dengan pemilik modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan”, bagaimana menurut pendapat anda?

a. Setuju

b. Tidak berpendapat c. Tidak setuju


(49)

4. Pada pasal 51 ayat 1 PP No. 51 tahun 2009 berbunyi “Pelayanan kefarmasian

(pharmaceutical care) di apotek hanya dapat dilakukan oleh Apoteker”,

bagaimana menurut pendapat anda ? a. Setuju

b. Tidak berpendapat c. Tidak setuju

5. Kebijakan PP No. 51 tahun 2009 mengharuskan Apoteker hadir selama jam buka apotek, bagaimana menurut pendapat anda ?

a. Setuju

b. Tidak berpendapat c. Tidak setuju

6. Pada pasal 21 ayat 2 PP No. 51 tahun 2009 berbunyi “Pelayanan dan penyerahan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker”, bagaimana menurut pendapat anda?

a. Setuju

b. Tidak berpendapat c. Tidak setuju

7. Dalam hal keharusan Apoteker hadir selama jam buka apotek membawa konsekuensi keharusan adanya Apoteker Pendamping, bagaimana menurut pendapat anda ?

a. Setuju

b. Tidak berpendapat c. Tidak setuju


(50)

8. Untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian, apotek harus mendukung secara finansial kepada Apoteker dan Asisten Apoteker untuk menambah pengetahuan dan keahlian melalui seminar atau diklat, bagaimana menurut pendapat anda?

a. Setuju

b. Tidak berpendapat c. Tidak setuju

9. Pada PP No. 51 pasal 31 berbunyi “Setiap Tenaga Kefarmasian dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian wajib menyelenggarakan program kendali mutu dan kendali biaya”, bagaimana menurut pendapat anda ?

a. Setuju

b. Tidak berpendapat c. Tidak setuju

10.Kebijakan PP No. 51 tahun 2009 pasal 23 ayat 1 mengharuskan adanya Standar Prosedur Operasional yang dibuat oleh Apoteker dan diperbaharui secara terus menerus sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi, bagaimana menurut pendapat anda ?

a. Setuju

b. Tidak berpendapat c. Tidak setuju


(51)

Lampiran 2.

Tabel 1. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian

Variabel Dimensi Indikator kuesioner

PP No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Pengembalian fungsi apotek sesuai peraturan

1. PP No 51 pasal 1 tahun 2009

2. PP No 51 pasal 24 ayat 3 tahun 2009

1 2

Peningkatan peran apoteker

1. PP No 51 pasal 25 ayat 25 tahun 2009

2. PP No 51 pasal 51 ayat 1 tahun 2009

3. Apoteker hadir selama jam apotek buka 4. PP No 51 pasal 21 ayat

2 tahun 2009

3 4 5 6 Penambahan beban biaya apotek

1. Keharusan adanya apoteker pendamping 2. Apotek mendukung

secara finansial kepada tenaga kefarmasian untuk meningkatkan pengetahuan & kehalian 7 8 Penambahan beban kerja

1. PP No 51 pasal 31 tahun 2009

2. PP No 51 pasal 23 ayat 1 tahun 2009

9 10


(52)

Lampiran 3.

Tabel 2. Perhitungan Jumlah Apotek yang disurvei dari tiap Kecamatan

No Kecamatan di Kota Medan Populasi Sampel 1. Kecamatan Medan Kota 62 62/ 567 x 25 = 3 2. Kecamatan Medan barat 36 36/567 x 25 = 2 3. Kecamatan Medan Polonia 19 19/567 x 25 = 1 4. Kecamatan Medan Deli 9 9/567 x 25 = 1 5. Kecamatan Medan Labuhan 7 7/567 x 25 = 1 6. Kecamatan Medan Tembung 29 29/567 x 25 = 1 7. Kecamatan Medan Petisah 39 39/567 x 25 = 1 8. Kecamatan Medan Timur 48 48/567 x 25 = 2 9. Kecamatan Medan Johor 25 25/567 x 25 = 1 10 Kecamatan Medan Sunggal 44 44/567 x 25 = 1 11. Kecamatan Medan Denai 26 26/567 x 25 = 1 12. Kecamatan Medan Perjuangan 41 41/567 x 25 = 1 13. Kecamatan Medan Baru 53 53/567 x 25 = 2 14. Kecamatan Medan Helvetia 28 28/567 x 25 = 1 15. Kecamatan Medan Tuntungan 18 18/567 x 25 = 1 16. Kecamatan Medan Selayang 16 16/567 x 25 = 1 17. Kecamatan Medan Area 26 26/567 x 25 = 1 18. Kecamatan Medan Marelan 10 10/567 x 25 = 1 19. Kecamatan Medan Amplas 13 13/567 x 25 = 1 20. Kecamatan Medan Belawan 5 5/567 x 25 = 1 21. Kecamatan Medan Maimun 13 13/567 x 25 = 1


(53)

Lampiran 4.

Tabel 3. Daftar Nama Apotek yang disurvei

NO. NAMA APOTEK ALAMAT APOTEK KECAMATAN

1 Apt. Buana Jl. Asia No 95 L Medan Kota

2 Apt. Bakti Farma Jl. HM. Joni Medan Kota 3 Apt. Makmur Jl. Madong Lubis Medan Kota

4 Apt. Raya Jl. Juanda No.71 Medan Polonia

5 Apt. Fauzan Jl. Letda sujono No. 63 Medan Tembung 6 Apt. Madani Jl. Bilal Ujung No. 238 Medan Timur 7 Apt. Safira Jl. G. Krakatau No.1925 B Medan Timur 8 Apt. Suka Farma Jl. B.Z. Hamid No.28 B T.

Kuning

Medan Johor

9 Apt. Sehat Jl. Amal No.5 Medan Sunggal

10 Apt. Mama Jl. Denai No 85 Medan Denai

11 Apt. San Prima Jl. Rakyat No.175 Medan Perjuangan 12 Apt. Chyntia Jl. S Parman No.14 Medan Baru 13 Apt. Alda Jl. Zainal Arifin No.179 Medan Baru 14 Apt. Bekala Jl. Djamin ginting Medan Tuntungan 15 Apt. Fita Farma Jl. Rawa No 34 Medan Selayang 16 Apt. Nesa Jl. Sutrisno No.732 Medan Area 17 Apt. Fitri Jl. Marelan Raya No 32 A Medan Marelan 18 Apt. Putra Farma Jl. SM raja No 440 A Medan Amplas

19 Apt. Era Jl. Veteran N0 93 Medan Belawan

20 Apt. Teratai Jl. Brigjen Katamso No 585 Medan Maimun 21 Apt. Segar Jl. Platina No. 12 Medan Deli 22 Apt. Kencana Jl. Medan Belawan Medan Labuhan 23 Apt. Sentosa Jl. Gatot Subroto No 103 Medan Petisah 24 Apt. Nusa Indah Jl. Nusa Indah raya No 68 A Medan Helvetia 25 Apt. Kita Jl. Pertempuran No 14 Medan Barat 26 Apt. Celindo

farma


(1)

I. Berilah tanda (x) pada jawaban yang telah disediakan

1. Pada pasal 1 PP No. 51 tahun 2009 menegaskan kembali bahwa apotek bukan lagi sekedar sebuah unit usaha dagang, melainkan sebagai sarana pelayanan kesehatan dengan aktifitas utama praktek kefarmasian oleh Apoteker, bagaimana pendapat Bapak/Ibu?

a. Setuju

b. Tidak berpendapat c. Tidak setuju

2. Menurut data penelitian, sekarang ini peyerahan obat keras banyak dilakukan tanpa resep dokter. Pada pasal 24 ayat 3 PP No. 51 tahun 2009 ditegaskan kembali bahwa penyerahan obat keras, narkotik dan psikotropik kepada masyarakat harus melalui resep dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, bagaimana menurut anda ?

a. Setuju

b. Tidak berpendapat c. Tidak setuju

3. Pada pasal 25 ayat 2 PP No. 51 tahun 2009 berbunyi “Dalam hal Apoteker yang mendirikan apotek bekerja sama dengan pemilik modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan”, bagaimana menurut pendapat anda?

a. Setuju

b. Tidak berpendapat c. Tidak setuju


(2)

4. Pada pasal 51 ayat 1 PP No. 51 tahun 2009 berbunyi “Pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) di apotek hanya dapat dilakukan oleh Apoteker”, bagaimana menurut pendapat anda ?

a. Setuju

b. Tidak berpendapat c. Tidak setuju

5. Kebijakan PP No. 51 tahun 2009 mengharuskan Apoteker hadir selama jam buka apotek, bagaimana menurut pendapat anda ?

a. Setuju

b. Tidak berpendapat c. Tidak setuju

6. Pada pasal 21 ayat 2 PP No. 51 tahun 2009 berbunyi “Pelayanan dan penyerahan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker”, bagaimana menurut pendapat anda?

a. Setuju

b. Tidak berpendapat c. Tidak setuju

7. Dalam hal keharusan Apoteker hadir selama jam buka apotek membawa konsekuensi keharusan adanya Apoteker Pendamping, bagaimana menurut pendapat anda ?

a. Setuju

b. Tidak berpendapat c. Tidak setuju


(3)

8. Untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian, apotek harus mendukung secara finansial kepada Apoteker dan Asisten Apoteker untuk menambah pengetahuan dan keahlian melalui seminar atau diklat, bagaimana menurut pendapat anda?

a. Setuju

b. Tidak berpendapat c. Tidak setuju

9. Pada PP No. 51 pasal 31 berbunyi “Setiap Tenaga Kefarmasian dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian wajib menyelenggarakan program kendali mutu dan kendali biaya”, bagaimana menurut pendapat anda ?

a. Setuju

b. Tidak berpendapat c. Tidak setuju

10.Kebijakan PP No. 51 tahun 2009 pasal 23 ayat 1 mengharuskan adanya Standar Prosedur Operasional yang dibuat oleh Apoteker dan diperbaharui secara terus menerus sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi, bagaimana menurut pendapat anda ?

a. Setuju

b. Tidak berpendapat c. Tidak setuju


(4)

Lampiran 2.

Tabel 1. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian

Variabel Dimensi Indikator kuesioner

PP No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Pengembalian fungsi apotek sesuai peraturan

1. PP No 51 pasal 1 tahun 2009

2. PP No 51 pasal 24 ayat 3 tahun 2009

1 2

Peningkatan peran apoteker

1. PP No 51 pasal 25 ayat 25 tahun 2009

2. PP No 51 pasal 51 ayat 1 tahun 2009

3. Apoteker hadir selama jam apotek buka 4. PP No 51 pasal 21 ayat

2 tahun 2009

3 4 5 6 Penambahan beban biaya apotek

1. Keharusan adanya apoteker pendamping 2. Apotek mendukung

secara finansial kepada tenaga kefarmasian untuk meningkatkan pengetahuan & kehalian 7 8 Penambahan beban kerja

1. PP No 51 pasal 31 tahun 2009

2. PP No 51 pasal 23 ayat 1 tahun 2009

9 10


(5)

Lampiran 3.

Tabel 2. Perhitungan Jumlah Apotek yang disurvei dari tiap Kecamatan No Kecamatan di Kota Medan Populasi Sampel 1. Kecamatan Medan Kota 62 62/ 567 x 25 = 3 2. Kecamatan Medan barat 36 36/567 x 25 = 2 3. Kecamatan Medan Polonia 19 19/567 x 25 = 1 4. Kecamatan Medan Deli 9 9/567 x 25 = 1 5. Kecamatan Medan Labuhan 7 7/567 x 25 = 1 6. Kecamatan Medan Tembung 29 29/567 x 25 = 1 7. Kecamatan Medan Petisah 39 39/567 x 25 = 1 8. Kecamatan Medan Timur 48 48/567 x 25 = 2 9. Kecamatan Medan Johor 25 25/567 x 25 = 1 10 Kecamatan Medan Sunggal 44 44/567 x 25 = 1 11. Kecamatan Medan Denai 26 26/567 x 25 = 1 12. Kecamatan Medan Perjuangan 41 41/567 x 25 = 1 13. Kecamatan Medan Baru 53 53/567 x 25 = 2 14. Kecamatan Medan Helvetia 28 28/567 x 25 = 1 15. Kecamatan Medan Tuntungan 18 18/567 x 25 = 1 16. Kecamatan Medan Selayang 16 16/567 x 25 = 1 17. Kecamatan Medan Area 26 26/567 x 25 = 1 18. Kecamatan Medan Marelan 10 10/567 x 25 = 1 19. Kecamatan Medan Amplas 13 13/567 x 25 = 1 20. Kecamatan Medan Belawan 5 5/567 x 25 = 1 21. Kecamatan Medan Maimun 13 13/567 x 25 = 1


(6)

Lampiran 4.

Tabel 3. Daftar Nama Apotek yang disurvei

NO. NAMA APOTEK ALAMAT APOTEK KECAMATAN

1 Apt. Buana Jl. Asia No 95 L Medan Kota 2 Apt. Bakti Farma Jl. HM. Joni Medan Kota 3 Apt. Makmur Jl. Madong Lubis Medan Kota 4 Apt. Raya Jl. Juanda No.71 Medan Polonia 5 Apt. Fauzan Jl. Letda sujono No. 63 Medan Tembung 6 Apt. Madani Jl. Bilal Ujung No. 238 Medan Timur 7 Apt. Safira Jl. G. Krakatau No.1925 B Medan Timur 8 Apt. Suka Farma Jl. B.Z. Hamid No.28 B T.

Kuning

Medan Johor

9 Apt. Sehat Jl. Amal No.5 Medan Sunggal

10 Apt. Mama Jl. Denai No 85 Medan Denai

11 Apt. San Prima Jl. Rakyat No.175 Medan Perjuangan 12 Apt. Chyntia Jl. S Parman No.14 Medan Baru 13 Apt. Alda Jl. Zainal Arifin No.179 Medan Baru 14 Apt. Bekala Jl. Djamin ginting Medan Tuntungan 15 Apt. Fita Farma Jl. Rawa No 34 Medan Selayang 16 Apt. Nesa Jl. Sutrisno No.732 Medan Area 17 Apt. Fitri Jl. Marelan Raya No 32 A Medan Marelan 18 Apt. Putra Farma Jl. SM raja No 440 A Medan Amplas 19 Apt. Era Jl. Veteran N0 93 Medan Belawan 20 Apt. Teratai Jl. Brigjen Katamso No 585 Medan Maimun 21 Apt. Segar Jl. Platina No. 12 Medan Deli 22 Apt. Kencana Jl. Medan Belawan Medan Labuhan 23 Apt. Sentosa Jl. Gatot Subroto No 103 Medan Petisah 24 Apt. Nusa Indah Jl. Nusa Indah raya No 68 A Medan Helvetia 25 Apt. Kita Jl. Pertempuran No 14 Medan Barat 26 Apt. Celindo

farma


Dokumen yang terkait

Implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri NO. 27 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan Di Daerah Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara

1 66 78

Persepsi Apoteker Penanggungjawab Apotek Di Kota Medan Terhadap Penerapan Peraturan Pemerintah RI No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaankefarmasian

0 59 60

Implementasi Program Keluarga Berencana Menurut Undang - Undang No 52 Tahun 2009 Ditinjau Dari Prespektif Hokum Administrasi Negara

0 58 85

Implementasi Peraturan Daerah Kota Medan No.11 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Reklame Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Kasus Dinas Pendapatan Kota Medan)

0 53 81

Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian

1 6 35

Tanggapan Konsumen Terhadap Kualitas Pekerjaan Kefarmasian Pada Beberapa Apotek di Palangkaraya - Ubaya Repository

0 0 1

Profil Tanggapan Konsumen Apotek Terhadap Pekerjaan Kefarmasian dan Tanggapan Petugas Apotek Terhadap Peranan Apoteker di Apotek K-24 Surabaya - Ubaya Repository

0 0 1

Profil Tanggapan Konsumen Apotek Terhadap Pekerjaan Kefarmasian untuk Obat Generik di Apotek Wilayah Rungkut Surabaya - Ubaya Repository

0 0 1

KEWENANGAN APOTEKER MELAKUKAN TINDAKAN KEFARMASIAN DALAM PELAYANAN OBAT KERAS GOLONGAN OBAT WAJIB APOTEK (OWA) SETELAH BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk

0 0 15

PENGAWASAN TERHADAP PELAKSANAAN PEKERJAAN KEFARMASIAN DI APOTEK SETELAH BERLAKUNYA PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG APOTEK - Unika Repository

0 0 18