Adapun manfaat dari SPO adalah : -
SPO memberikan kejelasan kepada petugas apotek, untuk mengikuti langkah-langkah prosedur, sistematis dan seragam.
- SPO membantu petugas farmasi dalam melakukan tugas dan tanggung
jawab di apotek, sehingga menghindari kebingungan, dan fungsi tumpang tindih.
- SPO membantu untuk memastikan bahwa pelayanan kefarmasian yang
baik dapat diikuti dan dicapai setiap saat. -
SPO adalah alat yang berguna untuk pelatihan anggota baru staf. -
SPO membantu untuk menjamin kualitas dan konsistensi pelayanan, sehingga akan meminimalkan efek yang membahayakan pasien.
Apoteker harus membuat SPO yang mencangkup berbagai aspekfungsi yang dilakukan di apotek dan prosedur hukum dan etika yang harus selalu diingat
ketika menulis dan mengikuti SPO. Isi SPO harus jelas dan mudah dipahami oleh petugas farmasi.
2.7 Pelayanan Resep
Pelayanan resep adalah suatu proses pelayanan terhadap permintaan tertulis dokter, dokter gigi, dan dokter hewan kepada Apoteker untuk
menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Dalam PP No. 51 Pasal 21 ayat 2 berbunyi “Penyerahan obat berdasarkan
resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker” Peraturan Pemerintah, 2009. Peraturan ini jelas bahwa yang boleh melayani pemberian obat berdasarkan resep
13
Universitas Sumatera Utara
adalah apoteker. Secara tidak langsung tersirat bahwa apoteker harus selalu ada di apotek untuk melakukan asuhan kefarmasian.
Pelayanan obat non resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin melakukan pengobatan sendiri, dikenal dengan swamedikasi. Swamedikasi sendiri
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan secara tepat, aman, dan rasional. Oleh
sebab itu peran apoteker di apotek dalam pelayanan KIE komunikasi, informasi dan edukasi serta pelayanan obat kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam
rangka peningkatan pengobatan sendiri. Obat untuk swamedikasi meliputi obat- obat yang dapat digunakan tanpa resep yang meliputi obat wajib apotek OWA,
obat bebas terbatas OBT dan obat bebas OB. Dalam PP 51 tahun 2009 pasal 24, dalam melakukan pekerjaan
kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter
sesuai dengan ketentuan peraturan. Secara tidak langsung pada pasal ini dijelaskan seorang apoteker hanya bisa menyerahkan obat keras dengan resep dokter.
Swamedikasi obat keras non OWA di apotek dapat dikatakan sebagai bentuk pelanggaran hukum PP 51 tahun 2009.
Pelanggaran hukum yang dilakukan tidak hanya sebatas pada PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, tetapi juga terhadap Undang-Undang
No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Praktek swamedikasi obat keras akan bertetangan dengan hukum diatas, jika tidak dilakukan oleh apoteker di
apotek yang dibenarkan oleh peraturan hukum yang berlaku di Indonesia hanya swamedikasi obat keras yang termasuk Obat Wajib Apotek Wirasuta, 2010.
14
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian