xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pasar modal syariah telah lahir, hadirnya pasar modal syariah akan menjadi tonggak sejarah baru seperti saat Bank Muamalat Indonesia pertama
kali dibuka lebih dari satu dasawarsa lalu. Instrumen dan perangkat untuk menjaring datangnya para investorpun telah dilengkapi. Salah satunya kini
muncul perdagangan obligasi syariah atau terkadang orang menyebutnya sukuk
, yang semakin marak dan banyak digemari orang. Perdagangan serta penerbitan sukuk juga mulai menampakkan
peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini bisa dilihat dengan semakin meningkatnya perdagangan sukuk dipasar sekunder. Jumlah dana yang
berhasil dihimpun melalui penerbitan sukuk dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan. Menurut informasi dari Danareksa terakhir, paling
tidak sudah ada 21 perusahaan yang telah melakukan emisi sukuk. Ada beberapa aspek yang sangat berpengaruh sehingga perdagangan
dan penerbitan obligasi syariah mengalami lonjakan yang cukup berarti. Menurut M. Hanif Direktur PT Danareksa dalam presentasi seminar sharia
expo ke II di JCC, berdasarkan studi yang pernah dilakukannya diluar negeri, terdapat beberapa motivasi dalam berinvestasi pada obligasi syariah yaitu:
1. Keinginan untuk mematuhi syariah diperkirakan sekitar 20-30.
xvii 2.
Keinginan untuk memperoleh manfaat ekonomi diperkirakan sekitar 40- 60.
3. Tidak mempertimbangkan syariah dan ekonomi sekitar 20-30.
Agar pasar obligasi dapat berkembang cepat, maka pengembangan harus diarahkan untuk memenuhi keinginan investor dalam memperoleh manfaat
ekonomi. Obligasi adalah surat utang yang dikeluarkan oleh emiten dapat
berupa badan hukumperusahaan atau pemerintah yang memerlukan dana untuk kebutuhan operasi maupun ekspansi mereka. Investasi pada obligasi
memiliki potensial keuntungan lebih besar dari produk perbankan. Keuntungan berinvestasi di obligasi adalah memperoleh bunga dan
kemungkinan adanya capital gain Nurul Huda, 2007:81. Perusahaan swasta maupun BUMN mengeluarkan obligasi memiliki
dua alasan. Pertama, perusahaan membutuhkan dana yang cukup besar untuk pengembangan usahanya. Kedua, perusahaan itu memiliki hutang yang telah
jatuh tempo, sehingga perlu mencari dana segar untuk membayarnya. Dalam kondisi ekonomi seperti sekarang, penerbitan obligasi dari perusahaan negara
bertujuan tidak lain untuk melakukan refinancing hutang-hutangnya. Tentunya, perusahaan itu akan bernafas lega saat mereka telah menerima dana
segar. Tapi, itu tidak dapat bertahan lama karena kesulitan akan muncul pada saat perusahaan itu harus membayar bunga yang cukup tinggi Chandra Yusuf,
2006.
xviii Bila diterapkan sistem bunga, pada awal perjanjian pihak pemilik uang
telah menetapkan seberapa besar pihak pinjaman harus mengembalikan uang telah menetapkan seberapa besar pihak meminjam harus mengembalikan
uangnya dengan nilai yang lebih tinggi dari jumlah uang yang ia pinjamkan, disinilah letak kezaliman yang terjadi. Berbeda dengan sistem bagi hasil,
antara pihak pemilik dana dengan pihak yang akan mengelola uangnya terdapat adanya kesepakatan berupa bagi hasil yang akan diperoleh masing-
masing setelah usaha tersebut dijalankan dan diperoleh keuntungan. Sehingga semua pihak yang melakukan kerja sama akan memperoleh haknya untuk
mendapatkan bagian masing-masing sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Fungsi uang dalam transaksi keuangan syariah hanyalah sebagai sarana untuk pertukaran, atau sarana untuk menyatakan nilai dari suatu aset.
Uang sendiri tidak memiliki nilai, sehingga tidak patut menghasilkan uang lebih banyak berupa bunga yang diberikan melalui penempatan di bank atau
dipinjamkan kepada orang lain. Pembiayaan melalui utang secara konvensional seperti dalam obligasi dengan imbalan bunga tidak
diperbolehkan dalam sistem keuangan syariah, karena digunakanya bunga yang merupakan salah satu unsur larangan berdasarkan syariah. Namun
demikian, pembiayaan melalui utang secara syariah dapat dilakukan dengan berdasarkan kontrak penjualan atau leasingsewa, yang menghasilkan
instrumen keuangan berpendapatan tetap fixed income sebagai alternatif terhadap utang konvensional Anonim, 2007:7.
xix Obligasi syariah berbeda dengan obligasi konvensional. Menurut
Sofiniyah Gufron 2005:14, perbedaan antara obligasi syariah dan konvensional, dapat dilihat dari beberapa sisi. Pertama, dari sisi emiten.
Emiten yang akan menerbitkan obigasi syariah harus berasal dari emiten yang
aktivitas bisnisnya tidak bertentangan dengan ketentuan syariah, seperti perjudian, memproduksi alkohol, dan makanan yang dilarang, tidak
memproduksi dan mendistribusikan produk yang sifatnya merusak moral dan sebagainya. Kedua, dari sisi peringkat invesment grade. Obligasi syariah
mempunyai fundmental yang kuat, dan memiliki citra yang baik di mata masyarakat. Ketiga, dari struktur obligasi. Obligasi sudah menjadi kata yang
tak lepas dari bunga sehingga tidak dimungkinkan untuk disyariahkan. Semenjak ada pendapat fatwa ulama bahwa bunga adalah riba, maka
instrumen-instrumen yang punya komponen bunga ini keluar dari daftar investasi halal. Oleh karena itu, dimunculkan alternatif yang dinamakan
obligasi syariah sukuk. Menurut Peraturan BAPEPAM No.IX. A.13 tentang penerbitan efek
syariah , sukuk adalah efek syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan
yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas: kepemilikan aset berwujud tertentu, nilai manfaat dan
jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu, kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tetentu. Sedangkan menurut
pengertian dari fatwa Dewan Syariah Nasional DSN MUI, obligasi syariah sukuk adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip
xx syariah
yang dikeluarkan perusahaan emiten kepada pemegang obligasi syariah
yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasilmarginfee serta membayar
kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Obligasi syariah sukuk ijarah pertama kali diterbitkan di Indonesia
pada tahun 2004 setelah dikeluarkannya fatwa tentang obligasi syariah ijarah Fatwa DSN-MUI No.41DSN-MUI 2003. Obligasi syariah sukuk ijarah
akan memberikan investor pendapatan, berupa imbal hasil sewa fee ijarah
dengan tingkat return yang tetap dan telah ditentukan sebelumnya. Sebagai instrumen berbasis syariah, sukuk jelas memiliki tipikal dan
aturan yang berbeda dengan obligasi konvensional. Obligasi yang merupakan
bagian dari ekonomi konvensional dimana bunga merupakan unsur terpentingnya, sementara sukuk berlandaskan ekonomi syariah yang
dikembangkan dengan menggunakan akad jual beli dan sewa ijarah. Penggunaan transaksi jual beli dan sewa menyewa dalam penyaluran dana
tersebut pada giliranya membawa dampak kurang kompetitifnya sukuk dibandingkan obligasi, hal ini karena sukuk dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai PPN. Apabila dalam kasus Sukuk ijarah diterapkan ketentuan PPN seperti yang berlaku pada usaha dagang, maka akan terjadi pengenaan pajak
dua kali masih double taxation. Pertama, saat perusahaan menerbitkan sukuk ijarah
. Pungutan pajak yang kedua, adalah sewaktu sukuk ijarah jatuh tempo. Merespon kondisi yang demikian itu, kalangan praktisi investasi
umumnya menyatakan keberatan atas double tax yang dikenakan terhadap
xxi sukuk ijarah. Hal ini karena berdasakan ketentuan undang-undang PPN No.18
tahun 2000 pasal 4 ayat 2 sukuk merupakan surat-surat berharga atau jenis barang yang tidak dikenakan pajak pertambahan nilai. Ini berarti ada
perlakuan yang berbeda antara obligasi konvensional dengan sukuk. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk
mengambil judul “Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Obligasi Syariah Sukuk Ijarah”.
B. Perumusan Penelitian