Tinjauan Kepustakaan Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

mengangkat kasus ini karena ingin mengetahui lebih dalam tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Pejabat Negara serta menganalisa Pertimbangan Hukum Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Pejabat Negara yang melakukan penyalahgunaan kewenangan Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 01Pid.Sus.K2011PN.Mdn. Berdasarkan penelusuran penulis, judul dan permasalahan ini belum pernah ditulis dan diangkat menjadi karya ilmiah oleh siapapun sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan Karya Ilmiah ini diperoleh berdsarkan literatur yang ada, baik dari perpustakaan, media massa cetak maupun eletronik dan ditambah pemikiran penulis, oleh karena itu penulisan skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana Pengertian Tindak Pidana menurut istilah adalah terjemahan paling umum untuk istilah “strafbaar feit” dalam bahasa belanda walaupun secara resmi tidak ada terjemahan resmi strafbaar feit. Dalam bahasa Belanda strafbaar feit terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu strafbaar dan feit . Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian dari kenyataan, sedang strafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum. 10 Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit di dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum 10 Evi Hartanti, Op, Cit, hal. 5. berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung didalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau tidak. 11 Pendapat beberapa ahli tentang Pengertian Tindak Pidana : 12 a. Menurut Simons, ialah tindakan melanggar hukum pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannnya dan oleh undang-undang hukum pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. b. Menurut Pompe, adalah suatu pelanggaran norma gangguan terhadap tata tertib hukum yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum. c. Menurut Van Hamel, ialah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain. d. Menurut E. Utrecht, ialah istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen -positif atau suatu melalaikan natalen -negatif, maupun akibatnya keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu. 11 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2013, hal. 77. 12 http:www.hukumsumberhukum.com201406apa-itu-pengertian-tindak- pidana.html?m=1. Diakses tanggal 8 mei 2015. e. Menurut Moeljatno, yaitu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap siapa saja yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan tersebut harus juga dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat. f. Kanter dan Sianturi, mendefenisikan sebagai suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana, bersifat melawan hukum , serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Pengertian tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang hukum pidana yang diberi sanksi berupa sanksi pidana, untuk membedakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan tindak pidana ialah apakah prbuatan tersebut diberi sanksi pidana atau tidak diberi sanksi pidana. Hal ini sesuai dengan Pendapat Bambang Poernomo, semakin jelas bahwa pengertian strafbaar feit mempunyai dua arti yaitu menunjuk kepada perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang- undang, dan menunjuk kepada perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. 13 13 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, hal. 91 2.Pengertian Korupsi Korupsi merupakan suatu tindakan yang sangat tidak terpuji yang dapat merugikan suatu bangsa dan negara. Korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah kasus korupsi yang terbilang cukup banyak. Korupsi dalam Bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam Bahasa Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption dan dalam Bahasa Sansekerta yang tertuang dalam Naskah Kuno Negara Kertagama arti harfiah corrupt menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan. 14 Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya. 15 Menurut Syed Hussein Alatas, secara tipologis, korupsi dapat dibagi dalam 7 tujuh jenis yang berlainan. Masing-masing adalah : 16 a. Korupsi transaktif transactive corruption, yaitu adanya kesepakatan timbal-balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan 14 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, cetakan Keempat, 1996, hal. 115. 15 Evi Hartanti, Op, Cit, hal. 9. 16 Marwan Effendy, Korupsi Strategi Nasional , Press Group, Jakarta, 2013, hal. 14-15. kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan itu oleh kedua-duanya. b. Korupsi yang memeras extortive corruption, adalah jenis korupsi dengan keadaan pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang, dan hal-hal yang dihargainya. c. Korupsi investif investive corruption, adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang. d. Korupsi perkerabatan nepotistic corruption, adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang membrikan perlakuan yang mengutamakan, dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain kepada mereka, secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku. e. Korupsi defensif defensive corruption, adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan, sebagai bentuk mempertahankan diri. f. Korupsi otogenik autogenic corruption, yaitu korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang. g. Korupsi dukungan supportive corruption, adalah korupsi yang tidak secara langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk lain. Berbeda dengan Alatas, menurut Benveniste mendefenisikan korupsi ke dalam 4 empat jenis, antara lain : 17 a. Discretionary corruption, yaitu korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun nampaknya sah, namun bukan praktek-praktek yang dapat diterima oleh anggota organisasi; b. Illegal corruption, yaitu jenis korupsi yang dimaksudkan untuk mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu; c. Mercenary corruption, yaitu jenis korupsi yang dimaksudkan untuk memperoleh kepentingan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan; d. Ideological corruption, yaitu jenis korupsi ilegal maupun diskresif yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. Secara sosiolgis, ada tiga jenis korupsi, yaitu sebagai berikut : 18 a. Korupsi karena kebutuhan ; Bagi karyawan dan pegawai rendahan pada umunmya korupsi yang mereka lakukan karena kebutuhan, mulai dari mencuri peralatan kantor, memeras pelanggan, menerima suap sampai dengan mengkorupsi waktu kerja. b. Korupsi untuk memperkaya diri ; Biasanya dilakukan oleh golongan pejabat eselon, didorong oleh sikap serakah, melakukan mark up terhadap pengadaan barang kantor dan melakukan pelbagai pungli. Penyebabnya 17 Marwan Effendy, Ibid, hal. 15-16. 18 Marwan Mas, Op, Cit, hal. 12. karena gengsi, haus pujian dan kehormatan, serta tidak memiliki sense of crisis. c. Korupsi karena ada peluang ; Pejabat atau sebagian anggota masyarakat ketika mereka diberi peluang akan memanfaatkan keadaan tersebut, karena penyelenggara negara, khususnya pelayanan publik yang terlalu birokratis, manajemen yang amburadul dan pejabat atau petugas yang tidak bermoral. Pengertian korupsi menurut hukum Indonesia, tidak dijelaskan dalam pasal pertama UU Korupsi seperti undang-undang lainnya. Maka dari itu, untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan korupsi, harus dilihat dalam rumusan pasal-pasal UU Korupsi, yaitu sekitar 13 pasal yang mengaturnya serta terdapat tiga puluh jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. 19 Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah : “Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ”. Menurut Mugiharjo, bahwa korupsi yang terjadi di negara-negara berkembang, karena ada penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan oleh petugas atau pejabat negara. 20 Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang dapat terjadi di negara-negara berkembang, sebab pengertian 19 Ibid., hal. 7. 20 Mugiharjo, Korupsi Dalam Menyongsong Era Liberisasi, Suara Pembaruan Online, 1997. demokrasi lebih banyak ditafsirkan dan ditentukan oleh penguasa daripada ditafsirkan dan ditentukan oleh pemikir di negara-negara berkembang tersebut. Berdasarkan rumusan pengertian mengenai korupsi tersebut di atas terlihat bahwa korupsi pada umumnya merupakan kejahatan yang dilakukan oleh kalangan menengah ke atas, atau yang dinamakan dengan White Collar Crime yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkelebihan kekayaan dan dipandang “terhormat”, karena mempunyai kedudukan penting baik dalam pemerintahan atau di dunia perekonomian. 21 Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Indriyanto Seno Adji, bahwa tak dapat dipungkiri korupsi merupakan White Collar Crime dengan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga dikatakan sebagai Invisible Crime yang penanganannya memerlukan kebijakan hukum pidana. 22 Mengacu pada berbagai pengertian dari korupsi yang telah diuraikan diatas, secara umum korupsi tidak lain adalah tindakan yang tidak sah atau gelap terkait dengan keuangan atau lainnya yang dapat dinilai dengan uang yang dilakukan oleh seseorang atau suatu kelompok untuk kepentingan diri sendiri, oranglain atau kelompok yang tidak saja merugikan negara tetapi juga seseorang atau publik karena kekuasaanyang dimilikinya. hal ini tentu sangat dekat dengan pejabat publik dimana pejabat publik dikenal dekat dengan kekuasaan. Korupsi tentunya bukan hal sulit untuk dilakukan oleh mereka yang ingin memamfaatkan jabatannya untuk melakukan korupsi. Pejabat publik yang seharusnya menjadi 21 Sudarto, Op, Cit, hal.102 22 Indryanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta, 2006, hal. 374. panutan bagi warga tidak seharusnya melakukan perbuatan korupsi, karena disamping korupsi adalah perbuatan menyimpang dan melanggar hukum juga dapat merugikan keuangan Negara. Kalau negara sudah mengalami kerugian tentu akan berdampak pada stabilitas Negara, bukan hanya ekonomi tapi juga social, budaya dan politik. 3. Pengertian Pejabat Negara Pengertian Pejabat Negara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu terdiri dari dua suku kata yaitu “pejabat” yang berarti pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting unsur pimpinan dan “negara” yaitu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat atau kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya. 23 Pada kamus besar bahasa Indonesia W.J.S. Poerwadarminta pejabat negara dapat diartikan sebagai orang yang bekerja pada bagian pemerintahan, pegawai pemerintahan. Pada beberapa pengertian lain dari KPK dan Hoge Raad pejabat negara diartikan luas salah satunya yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara. Menurut Hoge Raad pejabat negara atau pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah barangsiapa yang oleh kekuasaan umum diangkat 23 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta,1989 untuk menjabat pekerjaan umum untuk melakukan sebagian tugas dari tugas pemerintahan atau alat perlengkapannya. 24 Pada pasal 92 KUHP juga mengatur yang disebut pejabat termasuk juga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan- aturan umum, begitu pula orang-orang yang bukan karena pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk Undang-undang, Badan Pemerintahan, atau Badan Perwakilan Rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah atas nama pemerintah, begitu juga semua anggota dewan subak waterschap , dan semua kepala rakyat Indonesia asli dan kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan yang sah. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, yang termasuk dalam Pejabat Negara pasal 122 yaitu : a. Presiden dan Wakil Presiden; b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; d. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc; f. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; g. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; h. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial; i. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; j. Menteri dan jabatan setingkat menteri; k. Kepala perwakilan Republik Indonesia diluar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; l. Gubernur dan wakil gubernur; m. Bupatiwalikota dan wakil bupatiwakil walikota; dan n. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang. 24 http:avirista.blogspot.com201211pengertian-pejabat-negara.html?m=1.Diakses pada tanggal 22 Mei 2015. Pengertian Pejabat Negara juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pasal 1 angka 4 : “Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggitinggi negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang ”. Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pejabat Negara terdiri dari atas pasal 11 : a. Presiden dan Wakil Presiden; b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan; d. Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan; e. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung; f. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan; g. Menteri dan jabatan yang setingkat Menteri; h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; i. Gubernur dan Wakil Gubernur; j. BupatiWalikota dan Wakil BupatiWakil Walikota; dan k. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 1 ayat 1 : “Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku ”. Yang termasuk dalam kategori Penyelenggara Negara Dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 2 yaitu : a. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; b. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; c. Menteri; d. Gubernur; e. Hakim; f. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku; dan g. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan “Pejabat Negara yang lain” dalam ketentuan ini misalnya Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur, dan BupatiWalikotamadya. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa “para pejabat negara merupakan “political appointee”sedangkan pejabat negeri merupakan “administrative appointee ”. Artinya para pejabat negara itu diangkat atau dipilih karena pertimbangan yang bersifat politik, sedangkan para pejabat negeri dipilih murni karena alasan administratif. Semua pejabat yang diangkat karena pertimbangan politik political appointement haruslah bersumber dan dalam rangka pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat. Karena rakyatlah yang pada pokoknya memegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam bidang politik kenegaraan. Pejabat yang diangkat atas pertimbangan yang demikian itulah yang biasa disebut sebagai pejabat negara yang dipilih atau “elected official”. 25 25 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal. 373.

F. Metode Penelitian

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

1 140 155

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

2 50 101

Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor 51/Pid. Sus.K/2013/Pn.Mdn)

5 112 126

Tindak Pidana Kelalaian Berlalu Lintas Yang Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS)

2 67 120

Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Bebas (vrijspraak) terhadap Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan No.51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn)

2 101 101

Tinjauan Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan (Studi Putusan No.465/PID.SUS/2010/PN.Psp)

0 68 154

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Studi Putusan No. 622/PID/B(A)/2011/PN.TK)

2 17 70

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

0 0 34

Tindak Pidana Kelalaian Berlalu Lintas Yang Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS)

0 2 11