BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari pembahasan, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut :
1. Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku di Indonesia saat ini telah
mengalami perluasan makna, selain orang perseorangan korporasi juga termasuk sebagai sujbek dalam tindak pidana korupsi. Bentuk-bentuk
perbuatan yang tergolong dalam tindak pidana korupsi juga mengalami perluasan yaitu diantaranya pengaturan mengenai gratifikasi. Terhadap
masalah pertanggungjawaban pidana dibedakan antara subjek sebagai orang perorangan dengan subjek sebagai korporasi, subjek sebagai orang
perseorangan maka pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan langsung kepada orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut. Sedangkan pada
korporasi pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada korporasi maupun kepada pengurus korporasi itu. Untuk sanksi yang diberikan kepada
orang perseorangan dapat dijatuhi hukuman mati, hukuman penjara dan hukuman tambahan. Sedangkan untuk sanksi yang diberikan kepada korporasi
itu dapat berupa sanksi pidana pokok seperti pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 13 sepertiga, untuk sanksi tambahan dapat berupa
pembekuan izin sementara dan penyitaan aset.
2. Pertimbangan Hukum Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Pejabat
Negara yang melakukan penyalahgunaan Kewenangan Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 01Pid.Sus.K2011PN. Mdn Atas Nama
Terdakwa Binahati Benedictus Baeha oleh Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan, Hakim Pengadilan Tinggi Medan, dan
Hakim Mahkamah Agung yaitu pada putusan Pengadilan Negeri Medan dan Pengadilan Tinggi Medan sama halnya yaitu membebaskan Terdakwa dari
Dakwaan Primair yaitu melanggar Pasal 2 ayat 1 dan menjatuhkan Dakwaan Subsidair melanggar Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 dengan pertimbangan fakta yang terungkap dalam persidangan sehingga majelis hakim berpendapat terhadap Terdakwa lebih
tepat diterapkan Pasal 3 karena untuk memenuhi unsur penyalahgunaan wewenang adalah diisyaratkan bahwa pelakunya harus pegawai negeri atau
penyelenggara negara, sehingga terpenuhilah unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan”, karena pada saat terjadinya tindak pidana tersebut, Terdakwa bertindak sebagai Bupati Nias dan terbukti di persidangan menyalahgunakan
kewenangannya sebagai Bupati. Putusan Hakim Mahkamah Agung yaitu membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 15 Pid.Sus2011PT-Mdn.
Tanggal 27 Oktober 2011 yang merubah putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan No. 01Pid.Sus.K2011PN.Mdn.
tanggal 10 Agusutus 2011, dan menyatakan seluruh unsur dalam Dakwaan Primair telah terbukti dan karenanya Terdakwa terbukti melangar Dakwaan
Primair, dengan pertimbangan Judex Facti telah salah menerapkan hukum yang menyatakan Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak dapat
dikenakan pada Pegawai Negeri. Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dapat dikenakan kepada siapa saja, sehingga pembuktian dari dakwaan
Primair dengan alasan tersebut merupakan kesalahan penerapan hukum
pembuktian yang dilakukan oleh Judex Facti.
B. Saran