BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tujuan reformasi yang digulirkan sejak tahun 1998 adalah pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme disingkat KKN. Korupsi telah
mengakibatkan krisis berkepanjangan pada semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dikarenakan prakteknya yang sistematis dan menggurita yang terjadi di
hampir semua lembaga negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif.Korupsi merupakan masalah serius ditengah-tengah masyarakat karena dapat mengancam
stabilitas keamanan dan menghambat proses pembangunan sosial, ekonomi serta politik.
Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial
masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana
yang dapat dikatakan cukup fenomenal adalah masalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
1
Menurut Undang –Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan mermperkaya diri
sendiri atau oranglain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
1
Evi Hartanti,
Tindak Pidana Korupsi,
Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 1.
negara atau perekonomian negara. Menurut kamus besar bahasa Indonesia pengertian korupsi sebagai berikut: penyelewengan atau penggelapaan uang
negara atau perusahaan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
2
Korupsi merupakan sebuah kejahatan luar biasa extra ordinary crime yang berkembang secara dinamis dari waktu ke waktu, dahulu korupsi hanya seputar
mengenai kerugian negara dan suap menyuap, namun saat ini sudah berkembang menjadi penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, pemerasan, benturan
kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan dengan melibatkan unsur-
unsur tipu daya muslihat, ketidakjujuran dan penyembunyian suatu kenyataan. Korupsi merupakan permasalahan besar yang terjadi di Negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Walaupun Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya
alamnya. Namun jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara kaya, tetapi termasuk negara yang miskin.Menurut data
dari 175 negara di dunia pada 2014 yang dirilis oleh Transparency Internasional, Indonesia menduduki peringkat 12 terkorup se-Asia dan peringkat 107 Negara
bebas korupsi dari 175 negara.
3
Korupsi sepertinya sudah menjadi budaya yang berkembang dikalangan masyarakat kelas atas sampai bawah. Korupsi dapat
dilihat dengan mata telanjang diberbagai institusi, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif yang dilakukan oleh sebagian besar para penguasa dan pejabat tinggi
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka. Jakarta,1989
3
http:www.tahupedia.comcontentshow58710-Negara-Terkorup-Di-Dunia. Diakses tanggal 2 mei 215.
negara. Hal ini menunjukkan bahwa nilai luhur atau moral suatu individu mengalami penurunan, tidak adanya kesadaran seorang individu tentang etika dan
aturan hukum yang berlaku membuat perilaku korupsi semakin meningkat, ditambah lagi dengan adanya penyalahgunaan kekuasaan.
Banyak para ahli yang merumuskan korupsi, yang jika dilihat dari struktur bahasa dan cara penyampainnya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya
mempunyai makna yang sama, diantaranya Kartini Kartono menyatakan korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna
mengeruk keuntungan, dan merugikan kepentingan umum, dan Huntington menjelaskan korupsi adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari
norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.
4
Jadi dapat disimpulkan korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaaan, demi
keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuata-kekuatan formal yang bertujuan untuk
memperkaya diri sendiri. Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan penyakit sosial yang
sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil
keuangan negara yang sangat besar. Sebagai pihak yang telah diberi kepercayaan oleh rakyat untuk menjalankan pemerintah dengan harapan untuk menciptakan
kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Dalam menjalankan amanah
4
http:makalainet.blogspot.com201310korupsi.html?m=1. Diakses tanggal 3 mei 2015.
rakyat tersebut sudah seharusnya penguasapejabat negara memegang teguh prinsip kejujuran serta profesionalisme. Namun sayangnya fenomena yang terjadi
dikalangan pejabat negara baik lembaga eksekutif, legislatif bahkan yudikatif justru sebaliknya.
Korupsi bukan hanya terjadi pada pemerintahan Orde Baru, tetapi di era reformasi ini malah semakin besar intensitasnya, sementara hukum masih
tertinggal menghadapi kelihaian pembuat pelaku korupsi. Salah satu penyebabnya karena kaidah atau norma hukum yang berlaku tidak ditafsirkan
secara yuridis tetapi berdasarkan kepentingan politis para pembuat korupsi. Pelbagai pemberitaan media massa sebenarnya telah mengingatkan tentang
prediksi para pengamat hukum bahwa apabila hukum tidak diterapkan secara konsisten, apalagi terdakwa korupsi diputus bebas atau dihukum ringan oleh
hakim dengan pertimbangan hukum yang tidak rasional, maka di tahun-tahun mendatang korupsi sebagai salah satu bentuk kejahatan kerah putih
white collar crime
, seperti dinyatakan oleh Sutherland akan semakin bertambah dan semakin sulit menghentikannya. Prediksi pengamat hukum dapat dipahami, karena para
koruptor umumnya dari golongan cerdik-pandai, berkuasa dan memiliki kewenangan, serta rata-rata memiliki tingkat kehidupan ekonomi yang kuat.
Teknik dan modus operandinya juga diperkirakan akan semakin maju seiring dengan perkembangan teknologi, serta gerakannya jauh lebih sistematis dan lebih
cepat dari antisipasi penegak hukum.
5
5
Marwan Mas,
Pemberanta san Tindak Pidana Korupsi,
Ghalia Indonesia, Bogor, 2014, hal. 2.
Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan negara.
Kualitas tindak pidana korupsi juga semakin sistematis dengan lingkup yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Berdasarkan data yang dirilis
Indonesia Corruption Watch ICW, jumlah kasus korupsi selama 2010-2012 yang menurun kembali meningkat signifikan pada 2013-2014. Pada tahun 2010, jumlah
kasus yang diselidiki KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian mencapai 448 kasus. Pada tahun 2011 berjumlah 436 kasus dan tahun 2012 berjumlah 402 kasus, dan pada
tahun 2013 meningkat signifikan menjadi 560 kasus. Pada tahun 2014 , tercatat sebanyak 629 kasus korupsi dengan berbagai jenis seperti suap, penyalahgunaan
wewenang, penyalahgunaan dana serta pemalsuan data. Dari kasus-kasus korupsi yang terjadi selama tahun 2014, sebagian besar
tersangka adalah pejabatpegawai pemerintah daerah pemda dan kementerian yakni 42,6 persen. Tersangka lain merupakan direkturkomisaris perusahaan
swasta, anggota DPRDPRD, kepada dinas, dan kepala daerah. Apabila dibandingkan dengan semester I-2013, peningkatan jumlah tersangka yang paling
signifikan terjadi pada jabatan kepala daerah. Pada semester I-2013 jumlah kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi sebanyak 11 orang, namun pada semester
I-2014 jumlahnya naik lebih dari dua kali lipat menjadi 25 orang.
6
Korupsi di negara Indonesia sudah dalam tingkat kejahatan korupsi politik. Kondisi Indonesia yang terserang kanker politik dan ekonomi sudah dalam
stadium kritis. Kanker ganas korupsi terus menggerogoti saraf vital dalam tubuh
6
http:intisari-online.commobilereadkasus-korupsi-di-indonesia-meningkat-di-2013- 2014. Diakses tanggal 3 mei 2015.
negara Indonesia, sehingga terjadi krisis institusional. Korupsi politik dilakukan oleh orang atau institusi yang memiliki kekuasaan politik, atau oleh konglomerat
yang melakukan
hubungan transaksional
kolutif dengan
pemegang kekuasaan.Dengan demikian praktik kejahatan luar biasa berupa kejahatan
kekuasaan ini berlangsung secara sistematis.
7
Romli Atmasasmita, Guru Besar Emiritus Universitas Padjajaran menyatakan: “Jika dulu korupsi terjadi dalam hubungan kerja antara pihak swasta
dan lembaga pemerintah, maka saat ini korupsi sudah merambah ke lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif
”. Sinyalemen Romli Atmasasmita ini menunjukkan, bahwa korupsi di Indonesia saat ini bukan hanya jadi persoalan
hukum semata-mata, melainkan juga sudah merambah masuk pada persoalan politik, sosial, dan ekonomi. Dapat dilihat pada sejumlah kebocoran Anggaran
Pendapatan Belanja Negara APBN dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD setiap tahun yang diduga dilakukan oleh eksekutif, legislatif dan
yudikatif sehingga wajar apabila korupsi sudah begitu membahayakan kelangsungan pembangunan nasional.
8
Ini merupakan hal yang sangat ironis, mengingat tujuan reformasi yang dicita-citakan oleh para reformis adalah memberantas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme KKN. Pemerintahan yang berkuasa pasca reformasi dapat dikatakan tidak serius dan gagal dalam hal pecegahan dan pemberantasan korupsi, padahal
dari segi peraturan perundang-undangan yang merupakan landasan hukumnya
7
Evi Hartanti,
Op, Cit,
hal. 3.
8
Marwan Mas,
Op, Cit,
hal 4.
pemerintah telah beberapa kali melakukan revisi karena dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat.
Hal ini
diawali dengan
dikeluarkannya Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonseia Nomor XIMPR1998 Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN, kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN, selanjutnya dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai penyempurnaan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi
karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, dan pada tahun 2001, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Tindak Pidana Korupsi disempurnakan kembali dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, penyempurnaan ini dimaksudkan untuk
lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta
perlakuan yang adil dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dan yang terakhir dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPK. Peraturan perundang-undangan yang dijadikan alat untuk memberantas
tindak pidana korupsi disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, namun demikian korupsi makin merajalela, kerugian negara tidak hanya jutaan rupiah
akan tetapi milyaran rupiah bahkan sampai triliunan rupiah. Kasus korupsi di
Indonesia merupakan tugas penting yang sangat sulit diselesaikan oleh pemerintah, karena hal ini sangat berkaitan dengan penyelenggara negara baik di tingkat pusat
maupun provinsi, serta kabupatenkota yang mengakibatkan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara serta menghambat jalannya pembangunan yang
berakibat fatal bagi bangsa Indonesia yaitu suatu kerusakan sosial yang sulit diperbaiki.
Gejala korupsi itu muncul kata Soerjono Soekanto ditandai dengan adanya penggunaan kekuasaan dan wewenang publik, untuk kepentingan pribadi atau
golongan tertentu, yang sifatnya melanggar hukum dan norma-norma lainnya, sehingga dari perbuatannya tersebut dapat menimbulkan kerugian negara atau
perekonomian negara serta orang perorangan atau masyarakat.
9
Seperti halnya tindak pidana korupsi yang merambat ke daerah Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten Nias
tersebut disebabkan penyalahgunaan dana bantuan darurat kemanusiaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau yang ditetapkan, sehingga bertentangan
dengan Keputusan Ketua Badan Koordinasi Nasional penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Nomor : 25 tahun 2002, tanggal 11 Desember 2002
tentang Pedoman Umum Pengelolaan Dana Bantuan Darurat Kemanusiaan untuk Penanggulangan Bencana dan Pengungsi. Dimana dalam pengadaan barang untuk
mendukung kegiatan program pemberdayaan masyarakat akibat bencana alam dan gelombang tsunami Nias bertentangan atau tidak sesuai pelaksanannya dengan
9
Soerjono Soekanto, Mustafa Abdullah,
Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat,
Rajawali, Jakarta, 1980, hal. 281.
Keputusan Presiden RI Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor : 131. 12-233 tanggal 2 mei tahun 2006 tentang Pengesahan Pengangkatan
Bupati Nias Provinsi Sumatera Utara, sebagai Bupati Kabupaten Nias mempunyai tugas dan tanggungjawab dalam merumuskan kebijakan daerah mengenai tugas-
tugas pemerintahan daerah, melakukan koordinasi kepada para pimpinan SKPD dan
kepada pimpinan
instansi vertikal,
menyampaikan laporan
pertanggungjawaban tahunan dan lima tahunan kepada lembaga legislatif dan menyampaikan laporan pemerintahan setiap satu tahun sekali kepada Menteri
Dalam Negeri melalui Gubernur Sumatera Utara, Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi tertanggal 9 Januari 2001 jo Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 111 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi tertanggal 12 Oktober 2001,
bahwa Bupati Nias secara
ex officio
juga menjabat sebagai Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi SATLAK PBP
Kabupaten Nias yang bertugas melaksanakan kegiatan Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang terjadi di daerahnya dengan memperhatikan
kebijakan dan arahan teknis yang diberikan BAKORNAS PBP, yaitu antara lain melakukan evakuasi, mencari solusi dan melakukan koordinasi dengan instansi
terkait mengenai penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi.
Dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagai Bupati Nias dan Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
SATLAK PBP Kabupaten Nias, telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
sebagai Bupati Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi SATLAK PBP memiliki kewenangan untuk mengelola
dana bantuan pemberdayaann masyarakat pasca bencana gempa bumi dan tsunami Kabupaten Nias dari Bakornas sesuai dengan ketentuan sebagaimana mestinya,
tetapi ternyata pelaksanaan pengelolaan dana bantuan tersebut dengan cara yang bertentangan atau tidak sesuai dengan tujuan dari maksud diberikannya
kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukan sebagai sebagai Bupati Nias Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan
Pengungsi SATLAK PBP Kabupaten Nias. Kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten Nias berawal dari adanya bantuan
dana pemberdayaan masyarakat pasca bencana alam gempa bumi dan tsunami Kabupaten Nias yang disetujui oleh Pelaksana Harian Badan Koordinasi Nasional
Penanganan Bencana BAKORNAS PBP sebesar Rp. 9.480.000.000 ,-sembilan miliar empat ratus delapan puluh juta rupiah, atas permohonan Bupati Nias
Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi SATLAK PBP Kabupaten Nias sebelumnya pada tanggal 12 Januari
2007mengajukan permintaan dana untuk pemberdayaan masyarakat pasca bencana alam gempa bumi dan tsunami Propinsi NAD dan Nias sebesar Rp. 12.
280.000.000 ,- dua belas miliar dua ratus delapan puluh juta rupiah kepada
Pelaksana harian Bakornas PBP dengan Surat Nomor : 900 0301 Keu dan Surat Penyempurnaan Proposal kegiatan Nomor : 900 0332 Keu tanggal 17 Januari
2007. Dalam pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan dana bantuan dari Bakornas
PBP yang bersumber dari sumbangan masyarakat dan diadministrasikan melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran DIPA Tahun Anggaran 2006 terdapat
berbagai macam pelanggaran antara lain adanya pemindahan dana bantuan pemberdayaan masyarakat pasca bencana gempa bumi dan tsunami Kabupaten
Nias dari rekening Bencana Alam dan Tsunami Kabupaten Nias ke dalam rekening pribadi salah satu oknum pegawai negeri sipil Kabupaten Nias,
pembelian barang-barang secara langsung ke toko penyedia barang tanpa melalui proses pelelangan, membagikan menyerahkan dana kepada beberapa orang yang
tidak berhak menerimanya serta membuat laporan pertanggungjawaban yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya yang dibuat melebihi batas waktu yang telah
ditentukan, dimana semuanya merupakan tugas dan tanggungjawab dari Bupati Nias Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan
Pengungsi SATLAK PBP Kabupaten Nias atas jabatan atau kedudukannya. Akibat perbuatan Bupati Nias Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan
Bencana dan Penanganan Pengungsi SATLAK PBP Kabupaten Nias tersebut berdasarkan Laporan Hasil Audit Dalam Rangka Penghitungan Kerugian
Keuangan Atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Dana Penanggulangan Bencana Alam Nias Tahun 2007 yang dibuat oleh Tim dari
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan BPKP tertanggal 11 Maret
2011 telah merugikan keuangan negara sebesar Rp. 3.764.798.238 ,- tiga miliar tujuh ratus enam puluh empat juta tujuh ratus sembilan puluh delapan ribu dua
ratus tiga puluh delapan rupiah. Bedasarkan hal-hal tersebut diatas, maka penulis mencoba mengangkat
kasus ini ke dalam sebuah bentuk skripsi dengan judul tentang
“Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat
Negara Studi
Putusan Pengadilan
Negeri Medan
Nomor :
01Pid.Sus.K2011PN.Mdn”.
B. Perumusan Masalah