B. Zakat Profesi
1. Pengertian Zakat Profesi
Kata zakat semula bermakna: al-thaharah bersih, al-nama’ tumbuh, berkembang, al-barakah anugerah yang lestari, al-madh terpuji dan al-
shalah kesalehan. Kemudian kata zakat dipergunakan untuk menyebut nama hak Allah yang harus dikeluarkan oleh orang kaya dan disalurkan
kepada fakir miskin dengan harapan agar memperoleh keberkahan dan kebersihan jiwa serta dapat menunbuhkan kebaikan-kebaikan yang banyak.
Sedangkan kata profesi berasal dari bahasa Inggris “profession” yang artinya pekerjaan.
16
Dengan demikian yang dimaksud “zakat profesi” dalam tulisan ini ialah zakat hasil kerja dari pekerja-pekerja yang bergerak di bidang jasa
seperti pegawai negeri, pegawai perusahaan, dokter, pengacara dan sebagainya.
2. Aspek Fiqih Zakat Propesi
Ada tiga pendapat ulama kontenporer tentang nisab serta jumlah zakat propesi yang wajib di keluarkan :
a. Pendapat Dr. Yusuf Qardhawi yang menganalogikan zakat propesi dengan zakat uang. Sehingga persentase zakatnya disamakan dengan zakat uang; yaitu 2,5
dari sisa pendapatan bersih setahun.
b. Pendapat yang dinukil dari Syaikh Muhammad al-Ghazali yang
menganalogikan zakat profesi dengan zakat pertanian, baik dalam nisab
16
John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1997, h. 449
maupun persentase zakat yang wajib dikeluarkan. Yaitu 10 dari sisa pendapatan bersih.
c. Pendapat mazhab Imamiyah atau yang biasa juga disebut mazhab Ahlul- Bait yang menetapkan zakat profesi sebesar 20 dari hasil pendapatan
bersih.
17
Perbedaan pendapat ini dapat pula dijadikan acuan bagi penentuan besarnya persentase zakat bagi masing-masing karyawan:
Pertama, seorang karyawan atau lainnya yang penghasilannya hanya mencukupi kebutuhan hidupnya secara pas-pasan, dan kalaupun masih
memiliki sedikit kelebihan untuk ditabung, jumlahnya pada akhir tahun tidak mencapai nisab. Orang seperti ini, tidak wajib mengeluatrkan zakat atas
penghasilannya tersebut. Kedua, seorang karyawan yang penghasilannya sedikit melebihi
kebutuhan hidupnya bersama keluarganya, sehingga ia mampu, atau diperkirakan mampu menabung sejumlah tertentu yang pada akhir tahun
dapat mencapai nisab atau sedikit di atas itu. Orang seperti ini mengeluarkan zakat, paling sedikit 2,5 dari kelebihan penghasilannya itu.
Ketiga, seorang karyawan yang menempati posisi cukup tinggi dalam sebuah
perusahaan atau
departemen dan
sebagainya. Sehingga
penghasilannya melebihi apa yang diterima oleh karyawan dalam kedua contoh di atas, bahkan dapat digolongkan sebagai cukup kaya. Orang seperti
ini seyogianya mengeluarkan zakat sedikitnya 2,5 langsung dari seluruh
17
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Prektis, Bandung: Mizan, 1999, h. 301
penghasilannya sebelum dikurangi untuk keperluan hidupnya yang wajar. Atau 10 dari penghasilan bersihnya setelah dikurangi untuk keperluan
hidup. Keempat, seorang karyawan yang penghasilannya lebih tinggi lagi dari
contoh ketiga. Apalagi jika di samping penghasilan tetapnya, ia sewaktu- waktu masih menerima pula berbagai honorarium hasil seminar, wawancara,
tulisan dan sebagainya. Sehingga di samping zakat seperti tersebut di atas, sudah selayaknya pula ia mengeluarkan 20 dari penghasilannya yang tak
terduga itu.
18
18
Ibid, h. 302
BAB III GAMBARAN UMUM BADAN AMIL ZAKAT DAERAH KABUPATEN
SERANG BANTEN
A. Sejarah dan Profil Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten Serang 1.
Sejarah Pendirian BAZDA Kabupaten Serang
Keberhasilan pelaksanaan zakat, infaq dan sedekah baik dari segi penggalangan maupun pendayagunaannya banyak ditentukan oleh unsur
pengelolaannya, yang biasanya menjadi tanggung jawab amil zakat amilin. Pada konteks ke Indonesia-an, pengelola ZIS amil ini biasanya diperankan oleh
swasta atau unsur masyarakat non-pemerintah dan pemerintah. Dan hal ini terjadi sejak zaman pra-kemerdekaan hingga kini. Misalnya pada saat zaman
pemerintahan penjajah yang dipegang oleh non-Muslim. Meski non-Muslim, mereka turut mengambil peran dengan mengeluarkan peraturan yang berkaitan
dengan zakat seperti Bijblad Nomor 2 Tahun 1893 Tanggal 9 Agustus 1893 dan Bijblad Nomor 6200 Tanggal 28 Februri 1905.
Pasca kemerdekaan pun demikian, pemerintah Republik Indonesia yang sering disebut Orde Lama mengeluarkan berbagai peraturan yang berkaitan
dengan pengelolaan zakat. Untuk menyebut beberapa diantaranya, adalah: Surat Edaran Kementrian Agama Nomor AVIII71736 Tanggal 6 Desember 1951,
Peraturan Mentri Agama No. 4 Tahun 1968, Instruksi Mentri Agama Nomor 16 Tahun 1968, Instruksi Agama No. 16 Tahun 1989. Keputusan bersama Mentri
Agama dan Mentri Dalam Negri No. 29 Tahun 1991No. 47 Tahun1991 Tanggal
22