Pemetaan Konflik Nelayan Tradisional Dengan Nelayan Pukat Tarik Menggunakan Model SIPABIO (Kajian pada konflik masyarakat nelayan di desa Bagan Asahan, Kec. Tanjung Balai, Kab. Asahan Tahun 2011-2013)

(1)

PEMETAAN KONFLIK NELAYAN TRADISIONAL

DENGAN NELAYAN PUKAT TRAWL ENGGUNAKAN

MODEL SIPABIO (Source, Issues, Parties, Attitude,

Behaviour, Intervention, Output)

(

Kajian pada konflik masyarakat nelayan di desa Bagan Asahan, Kec. Tanjung Balai, Kab. Asahan Tahun 2011-2013)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

DISUSUN OLEH

Rudyanto

080901059

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

ABSTRAK

Indonesia dikenal sebagai negara maritim karena memiliki SDA Kelautan yang luas yakni 5,8 juta km2 atau 70% dari luas territorial Indonesia. Selain kaya akan berbagai jenis ikan, masih banyak lagi sumber daya laut yang bisa dimanfaatkan seperti hutan mangrove, wilayah tambak udang, tambak garam, daerah wisata, dan lain-lain. Ketersediaan sumber daya laut yang tinggi seharusnya mampu mengimbangi kebutuhan hidup masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Namun saat ini sumber daya kelautan tersebut dirasakan semakin menurun oleh nelayan tradisional sehingga menyebabkan timbulnya konflik terbuka diantara sesama nelayan. Keberadaan nelayan pukat trawl di perairan Asahan menuai kontra dari masyarakat pesisir, mengingat sebahagian besar mata pencaharian masyarakatnya adalah nelayan dan tidak banyak berada di sektor bukan nelayan sehingga mengakibatkan kondisi nelayan tradisional semakin terjepit.

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian terletak di pesisir Kecamatan Tanjung Balai, Kabupaten Asahan. Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah nelayan tradisional dan pihak-pihak yang terkait dalam kejadian pembakaran kapal pukat trawl di laut Asahan dalam rentang tahun 2011-2013. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik wawancara, observasi, dan studi kepustakaan termasuk dokumentasi. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan catatan dari lapangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor utama penyebab konflik di antara nelayan tradisional dengan nelayan pukat trawl dikarenakan 1)berkurangnya hasil tangkapan nelayan tradisional, 2)pengrusakan lingkungan oleh nelayan trawl sehingga menyebabkan semakin berkurangnya hasil tangkapan nelayan tradisional, 3)kesenjangan antar nelayan sehingga menimbulkan rasa iri, 4)adanya oknum yang memprovokasi nelayan tradisional, 5)kurangnya fungsi pengawasan dan tindakan dari lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah dalam mengatasi penyebab konflik.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada ALLAH SWT karena sampai saat ini saya masih diberikan kesehatan dan keselamatan untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul ” Pemetaan Konflik Nelayan Tradisional Dengan Nelayan Pukat Tarik Menggunakan Model SIPABIO (Kajian pada konflik masyarakat nelayan di desa Bagan Asahan, Kec. Tanjung Balai, Kab. Asahan Tahun 2011-2013), disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Saya juga menyadari kalau penulisan skripsi ini memiliki banyak kekurangan, maka dari itu skripsi ini juga terbuka untuk dikoreksi ataupun dilanjutkan kembali untuk proses yang lebih baik lagi. Dalam penulisan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin Rangkuti, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Prof. Dr. Rizabuana Ismail, M.Phil, Ph.D, sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan waktu untuk memberikan masukan-masukan dalam penulisan skripsi ini.


(4)

4. Segenap dosen, staff, dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang banyak membantu penulis selama masa perkuliahan dan pengurusan administrasi.

5. Paling teristimewa penulis ucapkan salam sayang terhangat dan terima kasih kepada kedua orang tua penulis Bapak Abdul Muis dan Ibu Nur’ainun yang selalu memberikan doa dan nasihat serta dukungan moril kepada saya.

6. Terima kasih juga kepada kawan-kawan Sosiologi angkatan 2008 yang sudah memberikan dukungan dalam penulisan skripsi ini dan ketika bersama menuntut ilmu di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

7. Kepada para informan yang ada di Kecamatan Tanjung Balai Asahan serta pemerintahan Kabupaten Asahan dan Kecamatan Tanjung Balai yang telah banyak membantu dalam memberikan informasi penelitian ini.

Medan , Juli 2014

NIM: 080901059


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... 2

KATA PENGANTAR ... 5

DAFTAR ISI ... 6

DAFTAR TABEL ... 7

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Defenisi Konsep ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konflik Dalam Kehidupan Manusia ... 11

2.2 Teori Konflik Coser ... 13

2.3 Pemetaan Konflik SIPABIO ... 15

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 24

3.2 Lokasi Penelitian ... 24

3.3 Unit Analisis dan Informan ... 24

3.3.1 Unit Analisis ... 24

3.3.2 Informan ... 25

3.3.2.1 Informan Kunci ... 25

3.3.2.2 Informan Biasa ... 25


(6)

3.4.1 Teknik Pengumpulan Data Primer ... 25

3.4.1.1 Observasi ... 26

3.4.1.2 Wawancara Mendalam ... 26

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data Sekunder ... 26

3.5 Interpretasi Data ... 27

3.6 Jadwal Kegiatan ... 27

3.7 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 29

3.7.1 Gambaran Umum Kecamatan Tanjung Balai ... 29

3.7.2 Peta Kecamatan Tanjung Balai ... 30

3.8 Komposisi Penduduk ... 31

3.8.1 Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Tanjung Balai di tahun 2010, 2011 dan 2012 ... 31

3.8.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa ... 32

3.8.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 33

3.8.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ... 34

3.9 Sarana dan Prasarana ... 36

3.9.1 Sarana Kesehatan ... 36

3.9.2 Sarana Ibadah ... 37

3.10 Karakteristik Informan ... 38

3.10.1 Profil Informan ... 39

BAB IV SEJARAH DAN DESKRIPSI KONFLIK 4.1 Sejarah Konflik ... 54

4.2 Deskripsi Konflik di Tahun 2011-2013 ... 56 BAB V INTERPRETASI DATA PENELITIAN


(7)

5.1 Analisis Konflik Menggunakan Model SIPABIO ... 63

5.1.1 Sumber Konflik (Source)... 63

5.1.2 Isu (Issue) ... 69

5.1.3 Aktor-Aktor Konflik (Parties) ... 74

5.1.3.1 Nelayan Tradisional ... 75

5.1.3.2 Nelayan Pukat Tarik ... 79

5.1.4 Sikap (Attitude) ... 81

5.1.5 Perilaku/Tindakan (Behaviour) ... 82

5.1.6 Intervensi (Intervention) ... 83

5.1.7 Hasil Akhir (Output) ... 85

5.2 Hubungan Lembaga Swadaya Masyarakat Dengan Nelayan Tradisional dan Nelayan Trawl ... 93

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 99

6.2 Saran ... 100 DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1Luas Wilayah Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Tanjung Balai ... 37

Tabel 2 Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Tanjung Balai ... 38

Tabel 3 Perkiraan Penduduk Menurut Suku Bangsa di Kecamatan Tanjung Balai ... 40

Tabel 4 Banyaknya Penduduk Menurut Suku Bangsa di Kecamatan Tanjung Balai ... 41

Tabel 5 Perkiraan Penduduk Menurut Lapangan Usaha di Kecamatan Tanjung Balai ... 42

Tabel 6 Keadaan Sarana Kesehatan di Kecamatan Tanjung Balai ... 43

Tabel 7 Keadaan Sarana Peribadatan di Kecamatan Tanjung Balai ... 44

Tabel 8 Jadwal Kegiatan ... 60


(9)

ABSTRAK

Indonesia dikenal sebagai negara maritim karena memiliki SDA Kelautan yang luas yakni 5,8 juta km2 atau 70% dari luas territorial Indonesia. Selain kaya akan berbagai jenis ikan, masih banyak lagi sumber daya laut yang bisa dimanfaatkan seperti hutan mangrove, wilayah tambak udang, tambak garam, daerah wisata, dan lain-lain. Ketersediaan sumber daya laut yang tinggi seharusnya mampu mengimbangi kebutuhan hidup masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Namun saat ini sumber daya kelautan tersebut dirasakan semakin menurun oleh nelayan tradisional sehingga menyebabkan timbulnya konflik terbuka diantara sesama nelayan. Keberadaan nelayan pukat trawl di perairan Asahan menuai kontra dari masyarakat pesisir, mengingat sebahagian besar mata pencaharian masyarakatnya adalah nelayan dan tidak banyak berada di sektor bukan nelayan sehingga mengakibatkan kondisi nelayan tradisional semakin terjepit.

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian terletak di pesisir Kecamatan Tanjung Balai, Kabupaten Asahan. Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah nelayan tradisional dan pihak-pihak yang terkait dalam kejadian pembakaran kapal pukat trawl di laut Asahan dalam rentang tahun 2011-2013. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik wawancara, observasi, dan studi kepustakaan termasuk dokumentasi. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan catatan dari lapangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor utama penyebab konflik di antara nelayan tradisional dengan nelayan pukat trawl dikarenakan 1)berkurangnya hasil tangkapan nelayan tradisional, 2)pengrusakan lingkungan oleh nelayan trawl sehingga menyebabkan semakin berkurangnya hasil tangkapan nelayan tradisional, 3)kesenjangan antar nelayan sehingga menimbulkan rasa iri, 4)adanya oknum yang memprovokasi nelayan tradisional, 5)kurangnya fungsi pengawasan dan tindakan dari lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah dalam mengatasi penyebab konflik.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau, dengan garis pantai sekitar 81.000 km. Wilayah lautannya meliputi 5,8 juta km2 atau 70% dari luas total teritorial Indonesia (Dahuri, 2001: 1). Sumber daya

alam laut yang melimpah menjadi komoditi utama bagi masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Interaksi antara masyarakat dengan laut juga sangat tinggi mengingat sebahagian besar mata pencaharian masyarakatnya adalah nelayan dan tidak banyak yang berada di sektor bukan nelayan. Selain tangkapan berupa ikan dan sejenisnya, masih banyak lagi sumber daya laut yang bisa dimanfaatkan seperti hutan mangrove, wilayah tambak udang, tambak garam, daerah wisata, dan lain-lain.

Ketersediaan sumber daya laut yang tinggi seharusnya mampu mengimbangi kebutuhan hidup masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Namun pada saat ini ketersediaan sumber daya laut semakin menurun akibat kerusakan lingkungan yang terjadi. Kerusakan pada biota laut misalnya disebabkan karena alat tangkap, limbah pabrik, dan pencemaran laut lainnya mengakibatkan kerusakan pada hutan mangrove dan terumbu karang. Hutan mangrove dan terumbu karang merupakan tempat biota laut berkembang biak, yang pada dasarnya kedua hal ini sangat berpengaruh terhadap ketersediaan sumber daya laut.


(11)

Wilayah pesisir mayoritas dihuni oleh masyarakat pesisir yang bermatapencaharian sebagai nelayan. Nelayan pada masyarakat pesisir terdiri dari nelayan tradisional dan nelayan mesin (berteknologi tinggi). Nelayan tradisional merupakan nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional dan sederhana seperti jala, jaring, pancing, bubu, dan lainnya. Sedangkan nelayan mesin merupakan nelayan yang menggunakan alat tangkap yang berteknologi tinggi seperti pukat trawl, pukat cincin, pukat harimau, bahkan menggunakan dua kapal dengan satu jaring (trawl) untuk menangkap ikan. Nelayan ini disebut dengan nelayan trawl. Penggunaan pukat trawl inilah yang dapat merusak lingkungan laut atau sumber daya laut karena penangkapan ikan dilakukan dengan tidak memperhatikan aspek lingkungan.

Nelayan tradisional yang menggunakan alat-alat tradisional akan mendapatkan sedikit hasil laut dibandingkan dengan para nelayan yang menggunakan alat-alat berteknologi. Nelayan tradisional menganggap bahwa dengan penggunaan kapal gandeng dan pukat trawl akan merusak keberadaan potensi laut dalam jangka pendek dan panjang. Untuk jangka pendek sebagai contoh, pukat trawl dapat menangkap berbagai jenis ikan. Tangkapan ikan-ikan berukuran kecil juga dapat tertangkap sehingga untuk jangka panjang, hasil laut (food security) akan habis karena regenerasi ikan terputus akibat penangkapan secara besar-besaran. Hal-hal seperti inilah yang mampu menciptakan konflik di masyarakat pesisir.

Penguasaan terhadap sumber daya laut tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan, seperti kepentingan negara, kepentingan pemilik modal, kepentingan


(12)

rakyat, maupun kepentingan lingkungan itu sendiri. Perebutan kepentingan ini selalu menempatkan pihak masyarakat sebagai pihak yang dikalahkan. Terbatasnya akses masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, dan tidak seimbangnya posisi tawar masyarakat merupakan contoh klasik dalam kasus-kasus kepentingan tersebut (Arimbi, 2001: 37). Hal ini terjadi pada masyarakat tradisional yang tidak memiliki posisi tawar yang baik sehingga mereka mengalami keterbatasan akses sumber daya alam dibandingkan dengan nelayan trawl yang memiliki modal besar serta alat tangkap yang canggih sehingga dari hasil penangkapan juga mengalami perbedaan.

Walaupun persaingan ini telah diatur dalam melalui perundang-undangan seperti UU no 22/1999 dan UU no. 45/2009, namun bukan berarti pertikaian antara nelayan tradisional dan nelayan trawl dapat tereduksi, tetapi malah semakin meruncing. Pada Undang-Undang No.22 Tahun. 1999 telah menetapkan batasan pemberian wewenang di wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai terluar kepada Daerah Propinsi. Wewenang Daerah Kabupaten di wilayah laut ditetapkan sejauh sepertiga wewenang Daerah Propinsi, yakni sejauh 4 mil. Dengan batasan hanya sejauh 4 mil, maka sumber daya perikanan Indonesia hanya menjadi lahan pengusaha perikanan besar yaitu di luar wilayah 12 mil hingga Zona Ekonomi Ekslusif sejauh 200 mil. Sementara nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap seadanya bersaing ketat di wilayah tangkap yang padat. Masyarakat adat yang telah turun temurun mengembangkan sistem pengelolaan kelautannya sendiri di beberapa wilayah pesisir Indonesia, juga tidak terakomodir dengan adanya batasan 12 mil ini.


(13)

Padahal pengelolaan laut di Indonesia sejak dahulu dilakukan oleh komunitas masyarakat, yang umumnya berdomisili di daerah Kabupaten.

Disebutkan lagi bahwa alat tangkap jaring trawl telah dilarang penggunaannya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Undang – Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang – Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, menyatakan larangan bagi setiap orang untuk memiliki, menguasai, membawa dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.(Waspada, 2011)

Desa Bagan Asahan adalah salah satu desa pesisir yang terletak di Kecamatan Tanjung Balai, Kabupaten Asahan. Hampir keseluruhan masyarakatnya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan tradisional. Sebahagian nelayan tradisional di desa ini mengeluh karena hasil laut yang mereka dapatkan semakin berkurang. Salah satu penyebabnya dikarenakan keberadaan nelayan yang menggunakan kapal pukat trawl dengan jenis tarik II. Kapal pukat trawl ini juga sengaja memasuki zona perairan nelayan tradisional yang merupakan wilayah tangkapan nelayan-nelayan tradisional. Keberadaan kapal pukat trawl yang berasal dari kota ini akhirnya menjadi pemicu konflik dengan nelayan tradisional yang ada di Desa Bagan Asahan.

Kejadian terakhir terjadi pada hari Minggu tanggal 18 Desember 2011, dimana nelayan tradisional membakar 6 unit kapal pukat trawl di sekitar perairan Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.. Kejadian itu tidak sempat mengakibatkan


(14)

korban jiwa, baik di pihak nelayan maupun anak buah kapal pukat tersebut. Nelayan tradisional resah dengan leluasanya kapal pukat trawl beroperasi di wilayah tangkapan nelayan tradisional sehingga sulit untuk mendapatkan ikan di zona tangkapan nelayan tradisional ditambah lagi dengan rusaknya jaring nelayan tradisional. Minimnya pengawasan dari badan penegak hukum dan Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri membuat nelayan tradisional bertindak main hakim sendiri dengan membakar enam kapal pukat trawl tersebut. Seharusnya kapal pukat

trawl yang terbukti memasuki zona tangkapan nelayan tradisional harus dikenakan

sanksi bahkan izinnya harus dicabut (Analisa, Desember 2011).

Peristiwa konflik ini tidak saja terjadi di Bagan Asahan, Sumatera Utara, tetapi peristiwa konflik sosial nelayan banyak terjadi di berbagai wilayah Indonesia antara lain di Langkat, Balikpapan, Teluk Palu, dan kasus Lamongan. Konflik antar nelayan di Lamongan, sumber konfliknya berawal dari ketidakpuasan nelayan kepada aparat keamanan yang menjadikan regulasi sebagai alat legitimasi untuk mendapatkan ‘proyekan’ dari nelayan-nelayan yang menggunakan mini trawl. Nelayan yang tertangkap menggunakan mini trawl kemudian akan dilepaskan kembali setelah menyetor sejumlah uang. Pada akhirnya akumulasi dari rasa frustasi kepada pejabat pemerintahan setempat berubah menjadi konflik realistis antara nelayan tradisional dengan nelayan mini trawl. (Susan, 2010).

Nelayan tradisional Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang, Langkat, juga sering menyandera alat tangkap pukat trawl mini milik nelayan luar daerah yang beroperasi di perairan Jaring Halus. Penyanderaan dikarenakan nelayan pukat trawl


(15)

memasuki zona larangan. Warga nelayan tradisional asal Jaring Halus itu melakukan aksinya, setelah sebelumnya ada kesepakatan para nelayan Jaring Halus dengan pihak berwajib untuk menahan nelayan dengan alat tangkap pukat trawl yang beroperasi di zona larangan. Dan selanjutnya kapal yang ditahan tersebut diserahkan kepada pihak berwajib yaitu Diskanla.

Di Balikpapan terjadi konflik antara nelayan perengge dengan pedogol. Mini

trawl dan dogol seringkali dibakar oleh nelayan perengge. Para perengge bekerjasama

dengan aparat keamanan (polisi) untuk menangkap nelayan yang menggunakan mini

trawl. Jumlah keseluruhan dogol/mini trawl yang dibakar waktu itu mencapai sekitar

50 buah. Konflik antara nelayan dogol/mini trawl dengan nelayan perengge itu juga disebabkan adanya semacam rasa tidak senang dari pihak nelayan perengge. Pedogol hasilnya lebih banyak dan bersifat terus-terusan. Kalau rengge sewaktu-waktu memang hasilnya bisa banyak. Jadi ada rasa iri pada pihak perengge terhadap para nelayan pedogol. Ini yang menjadi salah satu pemicu konflik”. Menurut para informan, konflik-konflik yang terjadi pada masa itu diselesaikan dengan melibatkan pihak aparat keamanan. Meskipun konflik terbuka dan brutal antara para pedogol dengan para perengge belakangan ini sudah tidak pernah terjadi, namun sebenarnya potensi konflik antara kedua faksi ini masih cukup besar karena para pedogol beroperasi di wilayah pinggir yang merupakan wilayah operasi para perengge. (Kinseng, 2007).

Sedangkan penyebab konflik berkepanjangan di perairan Teluk Palu terdiri atas tiga aspek, yaitu:


(16)

(a) Perebutan lokasi penangkapan ikan. Sumber daya laut Teluk Palu yang besar menyebabkan jumlah nelayan yang berdatangan untuk menangkap ikan di Teluk Palu meningkat. Kondisi perairan Teluk Palu yang sempit membuat para nelayan bersaing memperebutkan lokasi yang populasi ikannya banyak. Kondisi yang berlarut-larut seperti ini akhirnya memicu konflik antar nelayan.

(b) Penggunaan alat tangkap bagang. Banyaknya jumlah nelayan menangkap ikan di Teluk Palu otomatis menggunakan alat tangkap modern seperti perahu bagang listrik yang memiliki kemampuan menangkap ikan dalam jumlah besar dan dalam waktu yang lama populasi ikan akan terkuras habis. Kondisi ini mempengaruhi hasil tangkapan nelayan lokal yang menggunakan pancing, jala atau pukat yang jumlahnya relatif kecil, menyebabkan mereka mencari lokasi lain yang populasi ikannya banyak.

(c) Pemerintah tidak konsisten menegakkan aturan perda. Pemerintah seringkali membuat aturan yang saling bertentangan mengenai pengelolaan sumberdaya laut Teluk Palu dan peraturan tersebut selalu menguntungkan pihak pemilik modal atau pengusaha dan merugikan nelayan lokal. Contoh kasus: pemerintah kota Palu sudah mengeluarkan Perda tentang larangan penggunaan bagang listrik di Teluk Palu, tetapi beberapa waktu kemudian pemerintah kembali membuat aturan yang mengizinkan operasional bagang listrik di Teluk Palu. Kondisi ini kembali menguntungkan pihak pemilik bagang dan merugikan nelayan lokal, sehingga memicu lagi konflik kekerasan (Andriani, 2012).


(17)

Dari beberapa kasus yang terjadi, maka tampaknya pemicu terjadinya konflik tersebut secara umum adalah di samping keterbatasan sumber daya laut adalah karena dioperasikannya pukat trawl tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, walaupun antara kasus satu dengan yang lainnya tidak sepenuhnya bisa digeneralisir. Untuk mengetahui secara mendalam maka haruslah melalui penelitian dari masing-masing kasus secara saksama.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana memetakan konflik nelayan tradisional dan nelayan trawl dalam pengelolaan sumber daya laut yang terjadi di Bagan Asahan, Provinsi Sumatera Utara ?.

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dan memetakan konflik yang terjadi antara nelayan tradisional dengan nelayan pukat trawl dalam pengelolaan Sumber Daya Alam Kelautan dengan menggunakan metode SIPABIO (Source, Issues, Parties, Attitude, Behaviour,

Intervention, Output).

1.4 Manfaat Penelitian


(18)

1. Secara teoritis, sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

2. Secara praktis, data-data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pengambil kebijakan sebagai gagasan mengenai intervensi apa yang perlu diciptakan.

1.5 Defenisi konsep

1. Nelayan tradisional adalah nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal usaha yang kecil, dan organisasi penangkapan yang relatif sederhana. Dalam kehidupan sehari-hari, nelayan tradisional lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri. 2. Nelayan pemilik perahu tanpa motor adalah nelayan yang hanya memiliki

kesempatan berlayar lebih dekat dengan tempat tinggalnya. Mereka berlayar sejauh 1-3 mil laut atau hanya sampai batas kecamatan yang telah ditentukan. Jenis ikan yang diperoleh sebagian besar adalah teri dan ikan-ikan kecil lainnya.

3. Nelayan pemilik pengguna perahu motor (berukuran 9-10 m) adalah nelayan yang memiliki kesempatan berlayar sejauh 4-6 mil laut, hampir menempati wilayah kekuasaan kapal motor. Jenis ikan yang ditangkap juga bervariasi. Seperti tongkol, tuna, bawal dengan harga yang bervariasi juga.

4. Nelayan pemilik pengguna kapal motor (berukuran 0-5 GT/12m) adalah nelayan yang memiliki kesempatan untuk berlayar lebih jauh. Sejauh 6 mil laut yaitu sampai ke pulau-pulau. Bahkan sampai ke perbatasan yang telah


(19)

ditentukan. Jenis ikan yang mereka peroleh juga bervariasi. Seperti, ikan karang, tongkol, kepiting, udang dan ikan-ikan besar lainnya.

5. Nelayan pemilik yakni nelayan yang memiliki perahu/kapal penangkap ikan dan dia sendiri ikut serta ke laut untuk menangkap ikan.

6. Nelayan juragan adalah nelayan yang membawa kapal orang lain (juragan) tetapi ia tidak memiliki kapal.

7. Juragan/toke adalah orang yang mempunyai beberapa buah kapal dan memperkerjakan orang lain untuk membawa kapalnya tanpa ia sendiri ikut melaut.

8. Nelayan buruh yakni nelayan yang hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja tanpa memiliki perahu penangkap ikan.

9. Luas wilayah tangkap adalah lokasi yang boleh dilalui berdasarkan jalur-jalur yang sudah ditetapkan: a) Untuk jalur penangkapan 0-3 mil dikuasai oleh nelayan tradisional (nelayan pengguna perahu tanpa motor). b) Untuk jalur penangkapan 3-6 mil dikuasai oleh nelayan umum (nelayan pengguna perahu motor). c) Untuk jalur penangkapan 6 mil ke atas dikuasai oleh nelayan modern (nelayan pengguna kapal motor)

10.Nelayan trawl adalah nelayan modern yang menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional yaitu trawl. Menggunakan satu buah kapal berbobot >60- 100 GT berkekuatan 1500 PK yang dilengkapi dengan fish fender, besi panel sebagai pembuka mulut jaring dan pengaman dari rintangan-rintangan karang dan


(20)

Sesuai dengan tujuannya menangkap semua jenis ikan tanpa terkecuali karena ukuran mata jaring terkecil 2 mm.

11.Sumber daya alam kelautan adalah sumber daya yang meliputi, ruang lingkup yang luas yang mencakup kehidupan laut (tumbuhan, hewan dan mikro organisme) dan energi non hayati yang terkandung didalamnya (arus, gelombang laut, air laut).

1.6 Kerangka Teori 1.6.1 Teori Konflik Coser

Pembedaan antara berbagai bentuk konflik menjadi pembahasan pula dalam teori konflik Lewis Coser. Namun Coser menggunakan terminologi yang lain, yaitu konflik realistis dan konflik tidak realistis. Konflik realistis adalah konflik yang terjadi karena tuntutan yang tidak terpenuhi, sedangkan konflik tidak realistis adalah konflik yang tidak mampu dimunculkan secara antagonisme, sehingga tampil dalam bentuk prasangka dan sentimen-sentimen (Poloma, 1979: 111). Karena objeknya jelas, konflik realistis bisa terjadi tanpa kerusakan-kerusakan destruktif karena ditampilkan tanpa sikap permusuhan. Pembedaan Coser tentang bentuk konflik realistis dan non-realistis, bisa digunakan dalam menganalisa konflik yang terjadi karena perbedaan identitas, etnis atau agama seperti yang terjadi di lokasi penelitian. Penjelasan tersebut berguna untuk menganalisa apakah konflik yang terjadi di lokasi tersebut fungsional bagi struktur masyarakat atau tidak.

Coser memberi perhatian pada fungsi konflik terhadap kohesi kelompok. Dalam hal ini Coser mengaitkan antara konflik eksternal dan internal kelompok


(21)

terhadap keeratan hubungan di antara anggota kelompok. Istilah kohesi kelompok sebagaimana yang disebutkan Coser dapat dilihat pada solidaritas kelompok, atau dalam istilah sehari-hari disebut kekompakan atau kesetiakawanan kelompok.

Coser mengungkapkan proposisi intensitas konflik sebagai berikut (Soekanto, 1988:94):

1. Semakin disadarinya kondisi yang menyebabkan pecahnya konflik maka konflik semakin intens.

2. Semakin besar keterlibatan emosional pihak-pihak dalam konflik maka konflik semakin intens.

3. Semakin ketat struktur sosial maka tidak tersedianya alat yang melembaga untuk menyerap konflik dan ketegangan, konflik semakin intens.

4. Semakin besar perlawanan kelompok-kelompok dalam konflik terhadap kepentingan objektif mereka maka konflik semakin intens.

Secara rinci, Coser juga membuat preposisi mengenai fungsi konflik berkaitan dengan kekerasan/kebrutalan yaitu: (1) semakin brutal atau intens konflik, semakin menyebabkan jelasnya batasan kelompok, sentralisasi struktur pengambilan keputusan, solidaritas anggota, penekanan terhadap pembangkang dan yang menyimpang, serta menguatkan konformitas terhadap norma. (2) semakin suatu konflik menyebabkan pusat kekuasaan menekan konformitas dalam kelompok, semkin besar akumulasi permusuhan, dan semakin besar kemungkinan konflik internal muncul dalam jangka panjang.


(22)

Dalam preposisi tersebut, Coser menekankan bahwa fungsi konflik bagi kohesivitas kelompok akan lebih terlihat nyata pada saat konflik semakin keras/brutal dengan kelompok luar. Preposisi Coser yang lain mengenai kebrutalan konflik dan isu konflik adalah sebagai berikut: (1) jika konflik menyangkut isu yang realistik, kemungkinan terjadi kompromi untuk mencari jalan bagi pencapaian tujuan, dan karena itu kurang brutal. (2) Jika konflik menyangkut isu yang tidak realistik, maka akan semakin besar tingkat keterlibatan dan emosi dalam konflik, sehingga semakin brutal konflik yang terjadi, khususnya jika: a) menyangkut nilai pokok/ dasar, b) konflik yang berlarut- larut.

Pada umumnya, istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi maupun kelompok. Coser, mulai mendefenisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai-nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan. Apabila distribusi sumber daya langka dalam sebuah sistem dan semakin tidak seimbang, maka konflik kepentingan di antara kelompok dominan dan subordinat dalam sebuah sistem akan semakin meningkat. Coser (1957:198) menyebutkan juga bahwa perebutan sumber ekonomi dan masuknya teknologi merupakan pemicu secara langsung timbulnya konflik.

Lewis Coser (Poloma, 1992: 189 -111) menyatakan bahwa katub penyelamat (safety-valve) adalah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katub penyelamat berfungsi sebagai jalan keluar untuk meredakan permusuhan, yang tanpa itu


(23)

hubungan pihak-pihak yang bertentangan akan semakin tajam. Dengan demikian praktek-prektek atau institusi katup penyelamat memungkinkan pengungkapan rasa tidak puas terhadap struktur. Lewat katup penyelamat (safety-valve) itu permusuhan dihambat agar tidak berpaling melawan obyek aslinya. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu, mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri-individu, menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif.


(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konflik dalam kehidupan manusia

Kornblurn dalam Susan, mengatakan bahwa konflik menjadi fenomena yang paling sering muncul karena konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta menjadi pendorong dalam dinamika dan perubahan sosial-politik. Konflik bisa muncul pada skala yang berbeda seperti konflik antar-orang (interpersonal conflict), konflik antar kelompok (intergroup conflict), konflik antara kelompok dengan Negara (vertical conflict), konflik antarnegara (interstate

conflict). Setiap skala memiliki latar belakang dan arah perkembangannya.

Masyarakat di dunia pada dasarnya memiliki sejarah konflik dalam skala antara perorangan sampai antarnegara. Konflik yang bisa dikelola secara arif dan bijaksana akan mendinamisasi proses sosial dan bersifat konstruktif bagi perubahan sosial masyarakat dan tidak menghadirkan kekerasan (Susan, 2010:9).

Teori-teori mengenai berbagai penyebab konflik menurut Fisher et al. (2001)

terbagi ke dalam enam teori:

1. Teori Hubungan Masyarakat

Teori yang menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.


(25)

2. Teori Negosiasi Prinsip

Teori yang menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.

3.Teori Kebutuhan Manusia

Teori yang berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan.

4. Teori Identitas

Berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan.

5. Teori Kesalahpahaman Antar Budaya

Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda.


(26)

Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.

Sama seperti karakteristik konflik secara umum, konflik-konflik atas sumber daya alam juga umumnya dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu antara lain

1. Masalah hubungan antarmanusia

Konflik yang terjadi dari adanya masalah dalam hubungan antarmanusia biasanya dipicu oleh emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi atau stereotipe adalah komunikasi dan tingkah laku negatif yang berulang. Komponen-komponen itu sering memunculkan konflik yang tidak realistis dan tidak perlu. Konflik jenis ini dapat terjadi di mana dan kapan saja. Bahkan tidak dalam kondisi objektif untuk munculnya suatu konflik, misalnya jenis ini cenderung memicu pertikaian dan menjurus pada lingkaran spiral dari suatu konflik destruktif yang tidak perlu.

2.Masalah kepentingan

Konflik kepentingan merupakan konflik yang terjadi karena adanya persaingan kepentingan yang dirasakan ataupun yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik ini terjadi karena suatu pihak lebih yakin bahwa untuk memenuhi kebutuhannya pihak lain harus berkorban. Umumnya, konflik jenis ini dipicu oleh (1) masalah-masalah mendasar seperti uang, sumber daya fisik dan waktu, (2) masalah tata cara, seperti sikap dalam menanggapi suatu masalah, (3) masalah psikologis, seperti persepsi, kepercayaan, kehormatan dan keadilan. Dalam hal ini


(27)

bisa saja yang mau dilihat adalah adanya sumber daya laut yang pada dasarnya diperuntukkan bagi masyarakat sekitar sumber daya. Masyarakat yang ada juga memiliki kepentingan-kepentingan dalam mengelola sumber daya, bahkan ada beberapa pihak yang memanfaatkan kepentingan tersebut untuk kepentingan pribadi saja.

3.Masalah nilai

Konflik nilai merupakan konflik yang disebabkan oleh ketidaksesuaian sistem-sistem kepercayaan yang hanya dirasakan ataupun yang benar-benar ada. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya. Sebab, nilai menjelaskan yang baik dan yang buruk, benar atau salah, maupun adil atau tak adil. Pada dasarnya, perbedaan nilai tidak harus memicu konflik. Manusia dapat hidup berdampingan secara harmonis walaupun nilai-nilai yang dianut berbeda. Karena itu, konflik baru muncul jika seseorang atau kelompok memaksakan suatu sistem nilai kepada seseorang atau kelompok lain. Selain itu, konflik ini juga akan muncul jika seseorang atau suatu kelompok mengklaim dan mengekslusifkan suatu sistem nilai sekaligus tidak bersikap toleran terhadap nilai lain.

4. Masalah struktural

Konflik struktural merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketimpangan akses dan kontrol terhadap sumber daya. Posisi para pihak dalam konflik jenis ini dipicu oleh pihak penguasa. Sebab, pihak penguasa memiliki wewenang untuk menetapkan kebijakan umum, sehingga pihak ini lebih berpeluang dalam mengakses


(28)

sumber daya sekaligus mengontrol sumber daya tersebut. Selain wewenang formal, faktor geografis, sejarah dan waktu juga seringkali digunakan sebagai alasan oleh penguasa untuk memberi keputusan-keputusan yang menguntungkan pihaknya sendiri.

2.2 Pemetaan Konflik SIPABIO (Source, Issues, Parties, Attitude, Behaviour,

Intervention, Outcome)

Pemetaan konflik dapat membantu menggambarkan konflik secara grafis yang berguna untuk melihat secara keseluruhan aktor-aktor konflik dan hubungan-hubungannya. Pada dasarnya, dalam konflik skala besar, aktor yang terlibat jika dipetakan akan sangat banyak dan masing-masing memiliki peran terhadap konflik. Aktor-aktor ini termasuk aktor di belakang layar. Namun, dalam suatu konflik yang menjadi “sorotan utama” adalah dua pihak yang bertindak sebagai aktor utama yang saling berlawanan. Secara singkat, tujuan-tujuan pokok melakukan pemetaan konflik adalah untuk memahami situasi dengan lebih baik, untuk melihat hubungan di antara berbagai pihak dengan jelas, untuk menjelaskan di mana letak kekuasaan, dan mengevaluasi tindakan-tindakan yang telah dilakukan masing-masing aktor konflik.

Menurut Fisher dalam Susan, pemetaan konflik meliputi pemetaan pihak berkonflik dan berbagai aspirasi dari pihak-pihak yang ada. Pemetaan merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan masalah dan dengan pihak lainnya. Ketika masyarakat yang memiliki berbagai sudut pandang berbeda memetakan situasi


(29)

mereka secara bersama, mereka saling mempelajari pengalaman dan pandangan masing-masing.

Menurut Coser dalam Susan, setiap konteks masyarakat dengan berbagai tipe konflik yang ada, seperti realistis atau non realistis akan menghasilkan pemetaan yang berbeda-beda. Pada masyarakat tertentu akan terhasilkan satu pemetaan yang sederhana, sedangkan pada masyarakat yang lain bisa saja tergambarkan peta konflik yang bergitu kompleks.

Satu model pemetaan konflik dikembangkan oleh sosiolog dari United Nations-University for Peace, Amr Abdalla, dalam Novri Susan (2009) yaitu model SIPABIO (2002). SIPABIO adalah:

a. Source (sumber konflik). Konflik ini disebabkan oleh sumber-sumber yang

berbeda sehingga melahirkan tipe-tipe konflik yang berbeda. Sumber-sumber konflik yang dimaksud pada bagian ini didasarkan kepada hubungan konflik, nilai konflik, struktur konflik, konflik kepentingan, dan data konflik. Keseluruhan bagian-bagian ini akan di lihat dilapangan apakah kesemuanya terdeteksi. Berdasarkan hasil observasi pertama, bahwa sumber konflik yang muncul di Desa Bagan Asahan terkait dengan banyaknya perbedaan-perbedaan mulai dari pengelolaan sumber daya, model tangkapan, kewenangan otoritas, dan lain-lain. Perbedaan-perbedaan ini akan menimbulkan konflik antar sesama pengguna dan pengelola sumber daya kelautan dan akan dilihat berdasarkan beberapa kriteria diatas.


(30)

b. Issues (isu-isu). Isu menunjuk pada saling keterkaitan tujuan-tujuan yang tidak

sejalan di antara pihak bertikai. Isu ini dikembangkan oleh semua pihak bertikai dan pihak lain yang teridentifikasi tentang sumber-sumber konflik. Ketidakcocokan ini dapat dilihat dari pihak-pihak yang bertikai di Desa Bagan Asahan. Asumsi awal adalah munculnya konflik antar nelayan khususnya dengan nelayan pukat trawl dikarenakan ketidakcocokan penggunaan alat tangkap. Asumsi ini akan terus dikembangkan seiring penelitian dilakukan sehingga sumber konflik dikarenakan ketidakcocokan penggunaan alat tangkap.

c. Parties (pihak). Pihak berkonflik adalah kelompok yang berpartisipasi dalam

konflik baik pihak konflik utama yang langsung berhubungan dengan kepentingan, pihak sekunder yang tidak secara langsung terkait dengan kepentingan, dan pihak tersier yang tidak berhubungan dengan kepentingan konflik. Pihak tersier ini yang sering dijadikan sebagai pihak netral untuk mengintervensi konflik. Adapun yang termasuk ke dalam pihak-pihak bertikai adalah individu-individu, kelompok, organisasi, komunitas, atau suatu bangsa. Keterkaitan dengan topik penelitian, maka asumsi awal ada beberapa pihak-pihak yang saling berkonflik. Pihak-pihak-pihak ini saling terkait dalam pengelolaan sumber daya laut mulai dari nelayan tradisional yang sifatnya lebih individual, nelayan dengan kapal bermotor (mulai dari tonase rendah hingga tonase tinggi), lembaga swadaya masyarakat, pemerintah daerah, dan lain-lain. Pihak-pihak inilah yang menjadi actor utama dan pembantu dalam konflik yang sedang bertikai.


(31)

d. Attitudes/feelings (sikap). Sikap adalah perasaan dan persepsi yang

mempengaruhi pola perilaku konflik. Sikap yang dimaksud adalah adanya perasaan positif dan negative antara pihak-pihak yang saling berkonflik. Pihak-pihak yang sudah disebutkan diatas memiliki pola-pola umum dari pengharapan, orientasi emosional, dan persepsi yang menyertai keterlibatannya di dalam situasi konflik. Adanya persepsi-persepsi dari pihak-pihak diatas tentang konflik akan dilihat sebagai pemetaaan konflik nelayan. e. Behaviour (perilaku/tindakan). Perilaku adalah aspek tindak sosial dari pihak

berkonflik, baik muncul dalam bentuk coercive action dan noncoercive

action. Perilaku dari pihak yang berkonflik akan mempengaruhi pihak

lainnya, misalnya perilaku nelayan pukat trawl dalam mengeksplore sumber daya laut dilihat tidak sesuai dengan paham kelestarian sumber daya laut sehingga memunculkan perilaku dari nelayan tradisional untuk melakukan suatu aksi. Aksi tersebut bisa saja bersifat negative seperti pembakaran kapal dan tindakan repressif lainnya.

f. Intervention (campur tangan pihak lain). Intervensi adalah tindakan sosial dari

pihak netral yang ditujukan untuk membantu hubungan konflik menemukan penyelesaian. Adapun yang menjadi pendekatan dalam intervensi konflik adalah manajemen konflik, resolusi konflik, dan transformasi konflik. Pendekatan ini akan dilihat dilapangan dengan mengelompokkannya ke dalam pihak-pihak yang berkonflik. Adanya pendekatan ini diharapkan pihak-pihak yang berkonflik mampu merubah perilaku mereka terhadap situasi konflik


(32)

g. Outcome (hasil akhir). Outcome adalah dampak dari berbagai tindakan

pihak-pihak berkonflik dalam bentuk situasi. Dari beberapa pemaparan diatas, bagian ini adalah hasil akhirnya dari pemetaan konflik. Hasil akhir dari pemetaan konflik tidak selalu berbuah manis dalam artian meredam konflik. Hasil akhir yang negative juga menjadi outcome of conlict dari pemetaan diatas. Pemetaan konflik yang dilakukan di Desa Bagan Asahan juga bernasib yang sama. Tujuan untuk meredam konflik antar nelayan khususnya dengan nelayan pukat trawl menjadi outcome of conflict pemetaan di Desa Bagan Asahan. Walaupun begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa pemetaan ini menghasilkan negative outcome of conflict

Salah satu pemetaan konflik etnis di Rwanda dengan berdasar pada poin-poin dalam metode SIPABIO ialah: Poin yang pertama yakni Source yang berarti sumber, dalam hal ini adalah sumber konflik. Sesuai penjelasannya bahwa sumber konflik yang berbeda akan melahirkan konflik yang berbeda pula. Sumber-sumber konflik itu salah satunya meliputi nilai-nilai seperti identitas, dalam kaitannya dengan konflik yang terjadi di Rwanda ini perbedaan identitas antara pelaku konflik dalam hal ini adalah etnis, dimana konflik terjadi antara sekelompok manusia yang mengatasnamakan etnis Hutu dan etnis Tutsi. Suku Hutu merupakan penduduk mayoritas yang tinggal di negara Rwanda dengan jumlah penduduk mencapai presentase 85% dari 7,4 juta jiwa penduduk negara Rwanda, sedangkan Etnis Tutsi sendiri merupakan masyarakat dusun yang sudah menetap di negara Rwanda sejak


(33)

awal abad 15 dengan Jumlah penduduk hanya 14% dari jumlah keseluruhan jumlah penduduk

Sumber konflik lainnya adalah model hubungan sosial (analisis konstruksi sosial) dimana dalam kasus Rwanda ini kostruksi sosial yang terjadi adalah adanya stratifikasi etnis. Walaupun sebagai penduduk yang jumlahnya minoritas namun pada masa masuknya kolonial Eropa yakni datangnya negara kolonial Belgia, Belgia lebih memihak pada etnis Tutsi karena etnis Tutsi sebagai penduduk minoritas dinilai memiliki keadaan fisik yang lebih baik daripada etnis Hutu dan memberikan kekuasaan kepada suku Tutsi.

Poin yang kedua yakni Issues (isu-isu). Berdasarkan penjelasannya, isu menunjuk pada saling keterkaitan tujuan-tujuan yang tidak sejalan di antara pihak bertikai dan isu ini dikembangkan oleh semua pihak bertikai dan pihak lain yang tidak teridentifikasi. Dalam kasus Rwanda ini, isu yang muncul dan juga merupakan salah satu penyebab terjadinya konflik adalah isu kematian presiden Habyarimana selaku presiden dari etnis Hutu setelah pemerintahan Rwanda dipegang oleh etnis Hutu pasca dekolonisasi Belgia. Isu tersebut menyebutkan bahwa pelaku pembunuhan presiden Habyarimana dilakukan oleh orang suruhan dari etnis Tutsi.

Isu tersebut dibuat oleh suku Hutu sendiri terutama dari kaum ekstrimis Hutu karena menolak misi presidennya. Bahkan kemungkinan sebenarnya peristiwa pembunuhan presiden Habyarimana itu sengaja dilakukan oleh para Hutu ekstrimis demi melancarkan rencana mereka membantai suku Tutsi. Misi presiden untuk


(34)

menciptakan negara multietnis di Rwanda, yang memungkinkan memberikan kesempatan kembali pada etnis Tutsi untuk masuk dalam pemerintahan inilah yang tidak disetujui atau tidak sejalan dengan tujuan kalangan ekstrimis Hutu yang ingin tetap mempertahankan pemerintahan satu suku.

Poin yang ketiga adalah Parties yang berarti pihak berkonflik. Dalam hal ini adalah kelompok yang berpartisipasi dalam konflik baik pihak konflik utama yang langsung berhubungan dengan kepentingan, pihak sekunder yang tidak secara langsung berhubungan dengan kepentingan, dan pihak tersier yang tidak berhubungan dengan kepentingan konflik yang sering dijadikan sebagai pihak netral untuk mengintervensi konflik. Dalam konflik di Rwanda pihak utama yang berkonflik adalah etnis Hutu dan etnis Tutsi. Pihak sekunder yang tidak secara langsung berhubungan dengan kepentingan adalah negara-negara tetangga dari Rwanda dimana menjadi tempat pengungsian etnis Tutsi, salah satunya negara Uganda yang bahkan menjadi pusat Rwandan Patriotic Front (RPF) yang merupakan gerakan pemberontak bentukan etnis Tutsi Pihak tersier dalam konflik Rwanda ini adalah PBB yang mengirim beberapa pasukan demi membantu meredam konflik Rwanda.

Poin yang keempat adalah Attitudes / felling dalam hal ini adalah sikap, yakni perasaan dan persepsi yang mempengaruhi pola perilaku konflik. Sikap bisa muncul dalam bentuk yang positif dan negatif bagi konflik. Dalam kasus konflik di Rwanda, attitudes dijelaskan dengan adanya perasaan dendam serta persepsi buruk dari suku Hutu terhadap suku Tutsi. Perasaan tersebut muncul sebagai bentuk dendam setelah hal yang dialami etnis Hutu pada masa Rwanda diduduki Belgia. Etnis Hutu


(35)

termarjinalisasikan sehingga muncul kecemburuan sosial pada etnis Tutsi. Perasaan dendam dan persepsi yang buruk terhadap etnis Tutsi inilah yang menjadi salah satu penyebab utama terjadinya konflik etnis di Rwanda, bahkan berujung pada terjadinya genosida.

Poin yang kelima adalah Behaviour (perilaku / tindakan). Perilaku adalah aspek tindak sosial dari pihak berkonflik, baik muncul dalam bentuk coercive action dan noncoercive action. Dalam konflik Rwanda ini terdapat tindakan koersif yakni terjadinya genosida yang memakan ratusan ribu korban jiwa. Pembantaian besar-besaran terhadap etnis Tutsi oleh etnis Hutu pada saat momentum terbunuhnya presiden Habyarimana. Hal tersebut dijadikan alasan oleh ekstrimis Hutu untuk membantai etnis Tutsi. Sedangkan tindakan non koersif ditandai dengan adanya upaya perundingan dan perjanjian yang dilakukan etnis Tutsi melalui gerakan RPF (Rwanda Patriotic Front) dengan presiden Habyarimana yang memang bercita-cita menciptakan negara multietnis di Rwanda.

Etnis Tutsi meminta dibentuknya Arusha Accords, yaitu perjanjian di mana Presiden akan memberikan kesempatan dan juga tempat untuk orang Tutsi memiliki posisi dalam pemerintahan. Namun perjanjian tersebut tidak terimplementasi dengan baik karena adanya pertentangan keras dari ekstrimis etnis Hutu yang menolak kebijakan tersebut.

Poin yang keenam adalah Intervention (campur tangan pihak lain). Intervensi adalah tindakan sosial dari pihak netral yang ditujukan untuk membantu hubungan


(36)

konflik menemukan penyelesaian. Dalam kasus ini adalah pihak tersier yakni PBB sebagai organisasi internasional telah mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke Rwanda. PBB membentuk pasukan dengan misi menjaga perdamaian di Rwanda. Misi ini bernama United Nations Assistance Mission for Rwanda, atau biasa disebut UNAMIR. UNAMIR dibentuk berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB 872 (1993) pada 5 Oktober 1993 untuk membantu mengimplementasikan perjanjian Arusha. Namun upaya intervensi PBB guna menciptakan perdamaian di Rwanda ini gagal dengan tetap terjadinya genosida di Rwanda. Hal ini disebabkan karena kurangnya personil pasukan dari pihak PBB dan tidak adanya bantuan tambahan pasukan dari negara-negara anggota DK PBB.

Poin yang ketujuh atau yang terakhir adalah Outcome (hasil akhir). Outcome adalah dampak dari berbagai tindakan pihak - pihak berkonflik dalam bentuk situasi akhir dari konflik yang berlangsung. Dalam kasus konflik etnis di Rwanda situasi akhir terutama setelah ada campur tangan PBB sebagai upaya perdamaian, dimana awalnya dianggap gagal karena tidak dapat mencegah terjadinya genosida. Setelah terjadi genosida tersebut memicu tindak balasan dari etnis Tutsi dalam bentuk pemberontakan yang juga memakan banyak korban. Hingga akhirnya kemudian terjadi kudeta pada tahun 2007 sehingga pemerintahan dapat direbut kembali oleh suku Tutsi. Saat ini Rwanda adalah salah satu negara termiskin di dunia dengan penghasilan per kapita, menurut perkiraan Bank Dunia, sebesar 270 dolar AS pada tahun 1991 Perdana Menteri Rwanda Faustin Twagiramungu, yang memangku jabatan setelah kudeta berharap pemerintahnya akan dapat menerima bantuan dana


(37)

dari dunia Internasional untuk membangun pemerintahan serta negaranya. Namun bantuan dana dari dunia Internasional tidak kunjung datang karena dipersulit dengan adanya birokrasi yang berbelit-belit.

Sehingga dalam konflik etnis di Rwanda ini dapat dilihat bahwa peran dunia Internasional melalui PBB ini sebenarnya kurang maksimal dalam upayanya menyelesaikan konflik. Terlihat dari keengganan negara-negara Anggota DK PBB untuk memberikan bantuan pasukan ke Rwanda sebelum terjadinya genosida, justru mereka hanya membantu upaya evakuasi warga negara asing yang ada di Rwanda agar tidak menjadi korban konflik juga. Di sisi pendanaan komunitas Internasional juga tidak kunjung mengucurkan dana bantuan pembangunan justru hanya menekankan pada penduduk Rwanda agar menghindari tindak kekerasan, padahal secara logika manusia keadaan dimana perut lapar dan kondisi miskin maka manusia cenderung akan bertindak agresif mengarah kekerasan untuk mendapatkan apa saja yang mereka inginkan


(38)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2006: 4). Dengan menggunakan metodologi kualitatif, peneliti akan memperoleh informasi atau data yang lebih mendalam mengenai analisa sumber konflik di antara nelayan tradisional dengan nelayan pukat trawl.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Desa Bagan Asahan, Kecamatan Tanjung Balai, kabupaten Asahan. Desa ini dijadikan lokasi penelitian karena di desa ini merupakan lokasi yang pernah mengalami konflik terbuka antara nelayan tradisional dan nelayan trawl tahun 2011 berupa pembakaran dan penjarahan kapal pukat trawl oleh masyarakat di desa ini. Kasus ini dapat dipelajari oleh peneliti untuk memetakan dan mempelajari konflik di Desa Bagan Asahan

3.3 Deskripsi Lokasi Penelitian

3.3.1 Gambaran Umum Kecamatan Tanjung Balai

Kecamatan Tanjung Balai adalah salah satu wilayah yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Asahan dan terletak di pesisir Asahan. Kecamatan Tanjung Balai, saat ini dipimpin oleh Bapak Riduan, SH. Kecamatan


(39)

Tanjung Balai merupakan salah satu kecamatan dari 25 kecamatan yang berada di Kabupaten Asahan. Dengan luas wilayah 60,20 Km2 (6.020 Ha), Kecamatan Tanjung

Balai memiliki 8 Desa/Kelurahan. Berikut batas-batas wilayah dari Kecamatan Tanjung Balai:

Sebelah Utara : Selat Malaka

Sebelah Selatan : Kecamatan Sei Kepayang Sebelah Timur : Selat Malaka

Sebelah Barat :Kecamatan Air Joman dan Kotamadya

Tanjung Balai

Dengan letaknya yang setinggi 4 meter dari permukaan laut membuat Kecamatan Tanjung Balai memiliki beberapa sungai yaitu Sungai Asahan, Sei Apung, Sei Pematang, Sei Kapias dan lainnya.

Tabel 4.1

Luas Wilayah Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Tanjung Balai Tahun 2012

No Desa Luas

(Km2) Persentase

Jumlah Penduduk (orang) 2012

Kepadatan Penduduk per Km2

01 Kapias Batu VIII 18,20 30,23 3.560 195,60

02 Pematang Sei Baru 16,00 26,58 3.919 244,94

03 Sei Apung Jaya 4,00 6,64 4.959 1239,75

04 Sei Apung 10,00 16,61 4.133 413,30

05 Asahan Mati 9,00 14,95 2.366 262,89

06 Bagan Asahan Baru 0,81 1,34 4.709 5813,58

07 Bagan Asahan Pekan 0,85 1,42 4.763 5603,53

08 Bagan Asahan 1,34 2,23 6.992 5217,91

Jumlah 60,20 100 35.401 18991,5

(Sumber : Kecamatan Tanjung Balai Dalam Angka, 2012 dan 2013)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa Desa Kapias Batu VIII merupakan desa terluas yaitu 18,20 km2 atau 30,23 % dari luas keseluruhan wilayah kecamatan


(40)

oleh tiga desa yang letaknya paling dekat dengan laut Asahan yaitu Desa Bagan Asahan, Desa Bagan Asahan Baru, dan Desa Bagan Asahan Pekan.


(41)

3.4 Komposisi Penduduk

3.4.1 Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Tanjung Balai Tahun 2010, 2011 dan 2012

Tabel 4.2

Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Tanjung Balai Tahun 2010, 2011 dan 2012

No Desa

Jumlah Penduduk (orang)

2010 2011 2012

1 Kapias Batu VIII 3.510 3.543 3.560

2 Pematang Sei Baru 3.864 3.900 3.919

3 Sei Apung Jaya 4.889 4.935 4.959

4 Sei Apung 4.075 4.113 4.133

5 Asahan Mati 2.332 2.354 2.366

6 Bagan Asahan Baru 4.643 4.686 4.709

7 Bagan Asahan Pekan 4.695 4.739 4.763

8 Bagan Asahan 6.893 6.957 6.992

Jumlah 34.901 35.227 35.401

(Sumber : Kecamatan Tanjung Balai Dalam Angka, 2012 dan 2013)

Jadi, berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa walaupun luas wilayah Desa Bagan Asahan adalah yang terkecil di Kecamatan Tanjung Balai namun jumlah penduduk yang berada di Desa Bagan Asahan adalah yang terpadat di antara desa lainnya yaitu sebanyak 6.992 orang. Berarti, kepadatan penduduk setiap km2 di desa

Bagan Asahan ini adalah 5217 orang atau setiap meter persegi didiami oleh ± 5 orang.

3.4.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa

Tabel 4.3

Perkiraan Penduduk Menurut Suku Bangsa di Kecamatan Tanjung Balai Tahun 2012


(42)

2 Pematang Sei Baru 1.555 1.456 682 20 84 122

3 Sei Apung Jaya 2.161 1.087 1.455 - 37 219

4 Sei Apung 1.932 1.331 736 43 34 57

5 Asahan Mati 1.419 708 215 - - 24

6 Bagan Asahan

Baru 2.049 914 1.189 109 160 268

7 Bagan Asahan

Pekan 1.594 626 1.962 112 112 243

8 Bagan Asahan 3.452 1.186 1.713 86 86 57

Jumlah 15.584 8.380 8.986 374 618 1.460

(Sumber : Kecamatan Tanjung Balai Dalam Angka, 2012 dan 2013)

Jadi, berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kecamatan Tanjung Balai ini adalah bersuku Batak yaitu 15.584 orang, kemudian diikuti oleh Melayu 8.986 orang, Jawa 8.380 orang dan lainnya. Kemudian jumlah suku Aceh merupakan yang paling sedikit di Kecamatan Tanjung Balai yaitu 374 orang. Walaupun Kecamatan Tanjung Balai dihuni oleh berbagai suku, namun di dalam masyarakatnya tidak terdapat sentimen-sentimen yang dikhususkan pada suatu suku. Semua etnis melebur menjadi satu tanpa menonjolkan identitas sukunya, ini terlihat dari tidak adanya pemukiman yang didominasi oleh suatu suku tertentu.

3.4.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

Tabel 4.4

Banyaknya Penduduk Dirinci Menurut Agama Per Desa di Kecamatan Tanjung Balai Tahun 2012

No Desa Islam Kristen Katolik Hindu Buddha Jumlah

1 Kapias Batu VIII 3.559 1 - - - 3.560

2 Pematang Sei

Baru 3.917 1 - 1 - 3.919

3 Sei Apung Jaya 4.958 1 - - - 4.959

4 Sei Apung 4.133 - - - - 4.133

5 Asahan Mati 2.352 5 - - 9 2.366

6 Bagan Asahan


(43)

7 Bagan Asahan

Pekan 4.720 10 - - 33 4.763

8 Bagan Asahan 6.975 7 - - 10 6.992

Jumlah 35.292 29 2 1 77 3.5401

(Sumber : Kecamatan Tanjung Balai Dalam Angka, 2012 dan 2013)

Jadi, berdasarkan tabel 4.4 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kecamatan Tanjung Balai ini adalah beragama Islam yaitu 35.292 orang, kemudian diikuti oleh agama Buddha 77 orang, Kristen 29 orang dan lainnya. Dan yang paling sedikit adalah agama Hindu yaitu satu orang.

3.4.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

Tabel 4.5

Perkiraan Penduduk Menurut Lapangan Usaha dan Desa/Kelurahan di Kecamatan Tanjung Balai Tahun 2012

No Desa Pertanian Industri

Pengolahan Nelayan

Angkutan/ Komunikasi

PNS/T NI/ POLRI 1 Kapias Batu

VIII 968 482 367 12 8

2 Pematang Sei

Baru 1.000 273 545 17 12

3 Sei Apung Jaya 649 582 831 36 23

4 Sei Apung 364 208 161 45 27

5 Asahan Mati 626 168 662 29 -

6 Bagan Asahan

Baru 15 284 897 32 15

7 Bagan Asahan

Pekan 19 347 825 37 9

8 Bagan Asahan 67 1.032 955 67 21

Jumlah 2.708 2.344 5.243 275 115

(Sumber : Kecamatan Tanjung Balai Dalam Angka, 2012 dan 2013)

Jadi, berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk di Kecamatan Tanjung Balai ini adalah bermatapencaharian nelayan yaitu 5.243 orang, kemudian diikuti oleh industri pengolahan yaitu 2.344 orang.


(44)

3.5 Sarana dan Prasarana

Di dalam suatu sistem kenegaraan, sarana dan prasarana sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan-kegiatan kepemerintahan. Sarana dan prasarana menjadi faktor pendorong dalam proses perencanaan bagi kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dalam pemerintahan. Kantor Kecamatan Tanjung Balai didirikan di wilayah kotamadya Tanjung Balai yang jauh dari desa-desanya. Desa terdekat yaitu Desa Kapias VIII yang berjarak 8 km dan Desa terjauh adalah Desa Bagan Asahan Pekan yaitu sekitar 20 km dari kantor Kecamatan Tanjung Balai .Kantor Kecamatan ini dipimpin oleh seorang Camat yang dibantu dengan beberapa pegawai negeri sipil lainnya. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut seperti pengurusan e-KTP (Kartu Tanda Penduduk elektronik), KK (Kartu Keluarga), SKTM (Surat Keterangan Miskin), dan surat-surat keterangan lainnya seperti surat keterangan bagi mahasiswa yang ingin menyusun skripsi. Adapun sarana dan prasarana antara lain:

3.5.1 Sarana Kesehatan

Tabel 4.9

Keadaan Sarana Kesehatan di Kecamatan Tanjung Balai

No Desa Rumah Sakit

Umum Puskesmas Pustu

Rumah Bersalin

01 Kapias Batu VIII - - 1 1

02 Pematang Sei Baru - - 2 -

03 Sei Apung Jaya - 1- - -

04 Sei Apung - - 1 -

05 Asahan Mati - - 1 2

06 Bagan Asahan Baru - - 1 2

07 Bagan Asahan Pekan - 1 - 3

08 Bagan Asahan - - - -

Jumlah - 2 6 8


(45)

Pada tabel 4.9 terdapat beberapa jenis sarana kesehatan yang terdapat di Kecamatan Tanjung Balai yaitu Puskesmas sebanyak 2 unit, Pustu (Puskesmas Pembantu) , dan Rumah Bersalin 8 unit dan semuanya berjumlah 16 unit. Sarana kesehatan yang ada dikategorikan baik walaupun di kecamatan ini belum ada Rumah Sakit Umum (RSU). Dengan keberadaan sarana-sarana kesehatan tersebut, membantu masyarakat menangani masalah kesehatan antara lain pemeriksaan bayi-bayi yang baru lahir, masyarakat yang terkena penyakit, dan pemeriksaan bagi ibu-ibu hamil.

3.5.2 Sarana Ibadah

Tabel 5.0

Keadaan Sarana Peribadatan di Kecamatan Tanjung Balai

No Desa Mesjid Mushalla Gereja

Protestan

Gereja

Katolik Vihara

01 Kapias Batu VIII 3 10 - - -

02 Pematang Sei Baru 6 10 - - -

03 Sei Apung Jaya 2 4 - - -

04 Sei Apung 3 7 - - -

05 Asahan Mati 2 4 - - -

06 Bagan Asahan Baru 1 3 - - -

07 Bagan Asahan Pekan 1 3 - - 1

08 Bagan Asahan 1 5 - - -

Jumlah 19 46 - - 1

(Sumber : Kecamatan Tanjung Balai Dalam Angka, 2012 dan 2013)

Pada tabel 5.0 diatas dapat dilihat bahwa jumlah sarana keagamaan yang ada di Kecamatan Tanjung Balai terdiri dari 19 mesjid, 46 mushalla, dan 1 vihara. Untuk tempat ibadah Gereja dan Pura tidak terdapat di wilayah Kecamatan Tanjung Balai walaupun masyarakat yang beragama Kristen sudah bertempat tinggal kecamatan ini.

3.6 Unit Analisis dan Informan 3.6.1 Unit Analisis


(46)

Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian. Salah satu ciri atau karakteristik dari penelitian sosial adalah menggunakan apa yang disebut dengan “unit of analysis”. Ada dua sejumlah unit analisis yang lazim digunakan pada kebanyakan penelitian sosial yaitu individu, kelompok dan sosial. Adapun yang menjadi unit analisis dan objek kajian dalam penelitian ini adalah nelayan trawl dan nelayan tradisional di Bagan Asahan yang terlibat konflik.

3.6.2 Informan

Informan adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi dalam penelitian yang aktual selama menjelaskan tentang masalah penelitian. Adapun informan yang menjadi subjek penelitian adalah:

3.6.2.1 Informan Kunci

1. Nelayan yang pernah terlibat dalam konflik yaitu nelayan tradisional dan nelayan pukat trawl.

2. LSM yang bersangkutan, seperti Persatuan Nelayan Tradisional Indonesia (PNTI) dan Forum Komunikasi Nelayan Indonesia (FKNI)

3.6.2.2 Informan Biasa

Adapun yang menjadi informan biasa adalah nelayan dan masyarakat yang bukan berprofesi sebagai nelayan yang tinggal di desa Bagan Asahan.


(47)

Informan menjadi variabel penting dalam sebuah penelitian kualitatif. Informan mampu memberikan informasi yang akurat dan valid bagi permasalahan penelitian. Penentuan informan di masyarakat juga tidak sembarangan dan harus dilakukan secara tepat. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil jumlah informan sebanyak 10 orang yang terdiri dari 2 orang dari LSM, 1 orang nakhoda pukat tarik II, 1 orang dari satuan polair, 1 orang aparat desa dan 5 orang nelayan.

3.6.4 Profil Informan

3.6.4.1 Nama : Sangkot alias (Abdul Latief Sitorus) Umur : 51 tahun

Pekerjaan : Nelayan Pendidikan : SD

Untuk menuju ke rumah Bapak Sangkot, peneliti harus melewati dua jembatan setelah melewati Teluk Nibung dan menuju ke Bagan Asahan. Pertama kalinya peneliti mendatangi rumah Bapak Sangkot, ketika itu Beliau sedang menikmati tidur siangnya, namun dengan segera Bapak Sangkot bangun dari tidurnya dan langsung mempersilahkan peneliti untuk duduk. Bapak Sangkot mempunyai keluarga besar yakni sembilan orang anak yang terdiri dari tujuh anak laki-laki dan dua anak perempuan. Anak pertama dan keempat berprofesi sebagai TKI di Malaysia sedangkan dua anak perempuan merupakan anak yang paling bungsu. Beliau menikah pada umur 21 tahun dan saat ini berusia 51 tahun. Anak pertama berumur 29 tahun sedang merantau ke Malaysia dikarenakan semakin sulitnya berpenghasilan sebagai seorang nelayan. Bapak Sangkot yang sejak berumur delapan tahun sudah ikut dengan orang tuanya ke laut, mengaku mudah untuk mendapatkan kepiting. Karena di masa itu kita bisa dengan mudah memperoleh 100 kg kepiting dalam sehari. Namun


(48)

saat ini yang terjadi adalah sebaliknya, penghasilan dirasakan semakin berkurang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Beliau sudah tidak pergi melaut selama dua tahun, dikarenakan anak Bapak Sangkot yang khawatir dengan perangai beliau yang mudah emosi jika melihat trawl nantinya di tengah laut. Sehingga anak beliau yang lainlah yang sekarang menjadi tulang punggung keluarga besar Bapak Sangkot.

Beliau kini lebih aktif dalam kegiatan FKNI (Forum Komunikasi Nelayan Indonesia) yang diketuai oleh Dahli Sirait. Bapak Sangkot selaku sekretaris FKNI sering mengisi acara yang berkaitan dengan nelayan seperti seminar, rapat, pelatihan dan berbagai macam undangan lainnya. Selain berbagi pengetahuan mengenai kondisi masyarakat, beliau juga sambil mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan hukum. Beliau juga pernah diundang oleh kumpulan mahasiswa Asahan yang kuliah di Jogja untuk mengisi diskusi mengenai posisi nelayan yang lemah di zaman ini. Oleh mahasiswa tersebut, beliau dan kawan-kawan disebut sebagai pejuang nelayan, namun Bapak Sangkot menyangkal bahwa dia belum mencapai titik itu.

Hingga 14 tahun lamanya Bapak Sangkot sudah memperjuangkan nasib nelayan, terhitung dari tahun 1999 dan belum sampai pada titik akhir perjuangan. Saat ini beliau berstatus tersangka dalam kasus yang terjadi tanggal 18 november 2011 yaitu pembakaran kapal nelayan yang menjadi isu nasional di beberapa media cetak, online dsb. Walaupun kejadian tersebut tidak memakan korban namun tetap saja secara materi merugikan salah satu pihak yaitu pemilik kapal pukat trawl. Beliau secara “sengaja” dikorbankan demi menyelamatkan kawan-kawan nelayan yang lain. Kejadian yang sama pada tahun 2004 tepatnya di Gambus laut, 11 kapal yang


(49)

dibakar, tiga orang tewas, syahrizal yang merupakan sekjen SNSU juga mengorbankan diri sendiri dengan mendekam di penjara selama sembilan tahun demi nelayan-nelayan lain. Sebelum mengajukan kasasi Bapak Sangkot sempat mendekam di penjara selama 40 hari, dengan hukuman pidana tertulis selama satu tahun di Pengadilan Tinggi Medan, sedangkan di Pengadilan Negeri Tanjung Balai diputuskan tiga bulan hukuman penjara. Oleh pihak lawan dilakukan banding di Pengadilan Tinggi Medan sementara Bapak Sangkot juga mengajukan banding lagi dan hingga saat ini belum ada keputusan akhir.

3.6.4.2 Nama : Safri Sitorus Umur : 41 tahun

Pekerjaan : Tokoh Masyarakat Pendidikan : SMP

Untuk menuju ke rumah Bapak Safri, peneliti harus melewati sebuah jembatan panjang yang mengarah ke Desa Sei Kepayang. Rumah beliau berada di Desa Patembo, kira-kira 20 meter setelah jembatan kemudian belok ke kanan menelusuri sisi jembatan tersebut hingga terlihat sebuah spanduk PNTI di sebuah rumah yang ditempati Bapak Safri. Sampainya di rumah Bapak Safri, ternyata beliau sedang mengikuti rapat di luar sehingga peneliti ditemani oleh abang laki-laki Beliau. Tidak terasa 20 menit saya menunggu sambil berbincang-bincang, kemudian pulanglah Bapak Safri ke rumah dan kemudian mempersilakan peneliti untuk membuka sesi wawancara. Bapak Safri mengenalkan diri sebagai ketua DPD PNTI Kabupaten Asahan. Selama 20 tahun Beliau bermatapencaharian sebagai seorang nelayan sehingga dia sangat mengenal sekali bagaimana suka duka menjadi seorang


(50)

melabuhkan jaringnya masing-masing. Seperti yang diceritakan Bapak Safri bahwa suatu hari ketika dia melaut, saat itu kapalnya mengalami kerusakan mesin sehingga membuat dia dan teman-temannya terombang-ambing di lautan pada malam hari. Kemudian dia melihat polisi Airud sedang menuju Kuala, dia lalu berteriak minta tolong sambil dengan menunjukkan arah senter namun airud tersebut tidak merespon sama sekali.

Tetapi kini Beliau tidak pergi melaut lagi karena baginya memperjuangkan hidup nelayan lebih penting daripada harus berpangku tangan dan hanya memenuhi kebutuhannya sendiri. Beliau mengatakan bahwa dia merasa terpanggil untuk membantu nelayan dalam bentuk apapun itu hingga ia rela mengorbankan uangnya. Bapak Safri dan Bapak Sangkot merupakan teman seperjuangan dalam hal menyejahterakan nelayan. Sebelumnya Beliau merupakan Ketua ranting HNSI Asahan (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), namun karena bedanya pemikiran beliau dengan tujuan HNSI membuatnya mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Bapak Safri memiliki dua orang anak, satu anak perempuan masih duduk di bangku SMA, dan satu lagi masih duduk di bangku SMP.

3.6.4.3 Nama : Ihwan Umur : 56 tahun

Pekerjaan : Pengawas Gudang Terasi Pendidikan : SD

Untuk menuju ke rumah Bapak Ihwan, peneliti harus pergi ke Desa Bagan Asahan, kemudian pergi ke arah pasar yang berada di tengah desa. Nama Bapak Ihwan tidak asing lagi di telinga masyarakat desa ini karena Beliau menjabat sebagai Kepala Dusun I Desa Bagan Asahan. Nama panggilan beliau adalah Bapak Ihwan


(51)

Matak. Ketika peneliti mendatangi rumahnya, istri Bapak Ihwan mengatakan bahwa beliau sedang bekerja di gudang terasi milik Ahok yang berjarak 200 meter dari rumah Beliau. Bergegaslah peneliti mendatangi tempat kerja Bapak Ihwan, kemudian dengan ditemani angin laut di atas gudang terasi, Bapak Ihwan dengan celana pendeknya mempersilahkan saya untuk duduk dan membuka sesi wawancara. Bapak Ihwan memiliki lima orang anak yang masing-masing bernama Salifah, Mayasari, Mukhlis, Suliyani, dan Yolandita. Tiga diantaranya sudah menikah dan hidup masing-masing dengan keluarga barunya. Walaupun Bapak Ihwan hanya lulusan SD tapi dia sanggup menyekolahkan anak keduanya yang bernama Mayasari hingga jenjang Sarjana Kebidanan. Mayasari pernah tinggal di pulau Jawa untuk mencoba peruntungan di sana dengan tinggal bersama kakaknya namun ternyata Mayasari tidak betah hidup di sana dan lebih memilih tinggal bersama orang tuanya di Desa Bagan Asahan. Hal yang sama berlaku dengan Mukhlis anak ketiga Bapak Ikhwan, Beliau berencana untuk mendaftarkan Mukhlis ke tes masuk Polisi namun Mukhlis menolak dan lebih memilih untuk mengikuti tes masuk TNI. Namun takdir berkata lain ketika hasil tes yang didapat mengumumkan bahwa Mukhlis tidak lolos. Hal itu yang menjadikan Mukhlis pada akhirnya tetap memilih tinggal di Desa Bagan Asahan dan bekerja sebagai pengumpul ikan (pemborong).

Bapak Ihwan merupakan korban pembakaran kapal pukat tarik II yang baru terjadi pada tanggal 25 Oktober 2013. Beliau sebagai nakhoda membawa kapal pukat tarik II yang dimiliki oleh pemilik gudang terasi dimana dia bekerja setiap harinya. Beliau bersyukur masih diberi keselamatan pada saat kejadian kemarin, karena Beliau


(52)

memberi perlawanan terhadap mereka. Kondisi rahang beliau sekarang kaku dan tidak bisa dibuka lebar-lebar sehingga menyulitkannya untuk makan. Untuk pengobatan beliau ditanggung seluruhnya oleh pemilik kapal yang katanya mengeluarkan biaya hingga jutaan rupiah.

3.6.4.4 Nama : Sugodo Umur : 53 tahun Pekerjaan : Nelayan Pendidikan : SD

Untuk menuju ke rumah Bapak Sugodo, peneliti harus memasuki Desa Bagan Asahan tepatnya di area dimana banyak bersusun gudang terasi di desa ini. Di depan rumah Beliau banyak tersusun tempat jemuran ikan asin yang terdiri dari berbagai ikan seperti ikan gulamo (kepala batu), ikan lidah (sebelah), dan ikan perak. Waktu menunjukkan pukul enam petang, yang berarti air pasang naik tanda Bapak Sugodo akhirnya pulang dari laut. Belakang rumah Beliau yang dilewati arus ke salah satu dusun, memudahkan beliau untuk langsung naik ke rumah dari sampan (kapal kecil) yang digunakannya ke laut. Bapak Sugodo memiliki enam orang anak yang mana empat diantaranya sudah menikah. Dengan usia yang gaek sekarang ini, Beliau masih sanggup menafkahi keluarganya dengan pergi melaut dan mengolah ikan asin. Alat tangkap yang dipakai Beliau adalah jaring ikan.

Bapak Sugodo hampir dikenal semua nelayan di Desa Bagan sebagai salah satu tokoh masyarakat yang gencar melakukan aksi pembelaan nelayan. Beliau lah yang sering memanggil massa dari kalangan nelayan di desa ini jika ada aksi demonstrasi. Beliau mengaku hingga saat ini masih sering didatangi berbagai wartawan, anggota LSM dari luar kota, orang akademisi dan sebagainya hanya untuk


(53)

berbagi pengetahuan situasi kondisi masyarakat nelayan di desa ini. Hingga kini Bapak Sugodo sering dikirimi berbagai hasil berita dari beberapa majalah seperti Majalah Jala. Dahulu juga Beliau pernah memegang kantor yang didirikan oleh ILO di Desa Bagan Asahan ini untuk memberdayakan anak pesisir tetapi sekarang sudah tutup karena masa kontrak kantornya telah habis.

3.6.4.5 Nama : Iptu Mawardi Umur : 57 tahun

Pekerjaan : Polisi Airud Pendidikan : SMA

Pertama kali menghubungi Bapak Mawardi, beliau mengarahkan peneliti untuk menemui beliau di GOR (Gedung Olahraga) Kota Tanjung Balai Asahan yang terletak di Jalan Sudirman. Setelah sampai di tempat pukul lima sore, ternyata Beliau bersama temannya sedang berolahraga lari mengelilingi GOR. Beliau memberitahu peneliti untuk menunggu sebentar sembari ia menyelesaikan beberapa putaran lagi. Bapak Mawardi adalah seorang polisi yang menjabat sebagai Kasat (Kepala Satuan) Airud dan bertugas mengawasi perairan laut kabupaten Asahan. Beliau sebenarnya berasal dari Kota Medan, tepatnya di daerah Medan Marelan tetapi di sini Beliau menyewa rumah di kota Tanjung Balai sedangkan pos penjagaan dimana Beliau bertugas adalah di Desa Bagan Asahan. Istri Bapak Mawardi terkadang harus pulang ke Medan untuk melihat anak-anak di sana. Bapak Mawardi memiliki empat orang anak dan sudah memiliki tujuh orang cucu. Sudah empat Tahun Beliau bertugas di Desa Bagan Asahan dan dalam waktu dekat sekitar satu tahun dua bulan lagi Beliau berencana untuk pensiun dari pekerjaannya. Beliau memiliki tiga orang anggota yang


(54)

menempati pos sedangkan Beliau hanya sesekali datang ke pos hanya untuk mengontrol anggotanya.

3.6.4.6 Nama : Ibrahim Sinaga Umur : 36 tahun

Pekerjaan : Nelayan Pendidikan : SMP

Ketika peneliti mendatangi Bapak Ibrahim, Beliau bersama satu orang temannya sedang memperbaiki jaring karena saat itu merupakan pasang mati dimana rata-rata nelayan menggunakan waktu tersebut untuk memperbaiki segala sesuatunya seperti kapal, mesin dan jaring yang mesti diperbaiki. Sekira pukul dua siang, hanya di bawah selembar tenda di dekat pelabuhan teluk nibung saya dan Beliau membuka sesi wawancara. Rintis merupakan daerah yang bersebelahan dengan pelabuhan Teluk Nibung. Bapak Ibrahim bukanlah masyarakat asli berasal dari daerah rintis tetapi merupakan perantauan dari Sei Berombang. Beliau kemudian menikahi seorang wanita daerah rintis sehingga memilih menetap dan membangun keluarga di sini. Bapak Ibrahim memiliki empat orang anak yang terdiri dari dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Beliau juga bermatapencaharian sebagai seorang nelayan. Beliau bersama lima orang temannya yang juga orang rintis pergi melaut menggunakan jaring ikan. Beliau mengaku bahwa dia merupakan salah satu tokoh masyarakat di Desa Sei Berombang.

3.6.4.7 Nama : Tutur Sunardi Umur : 23 tahun Pekerjaan : Nelayan Pendidikan : SMP

Untuk menuju ke rumah Tutur, peneliti harus masuk ke Desa Bagan Asahan, tepatnya di daerah yang disebut Dane oleh masyarakat desa ini. Menyusuri jalan yang


(55)

masih dibangun dengan papan-papan yang disusun sedemikian rupa khas wilayah pesisir. Ketika peneliti datang ke rumahnya, Beliau sedang menikmati tidur siangnya karena kelelahan setelah pulang dari melaut. Walaupun dalam kondisi lelah, Saudara Tutur tetap ramah menerima kedatangan peneliti. Saudara Tutur merupakan orang asli Desa Bagan Asahan. Setelah tamat dari bangku SMP, beliau lebih memilih mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang nelayan. Itu dikarenakan masih banyak lagi adiknya yang mesti ditanggung oleh orang tuanya. Saudara Tutur merupakan anak ke delapan dari dua belas bersaudara. Tapi kini setelah menikah, Beliau telah memiliki rumah sendiri walaupun rumah tersebut belum sepenuhnya selesai pembangunannya. Masih terlihat batu bata di beberapa sisi dinding bagian luar rumah Beliau yang belum di plester dengan semen. Beliau kini sudah dikarunia dua orang anak berjenis kelamin perempuan yang masih berusia balita. Tidak terasa sudah delapan tahun beliau bekerja sebagai seorang nelayan. Saudara Tutur dengan tidak keberatan menunjukkan telapak tangannya yang tebal dikarenakan pekerjaannya ini. Beliau hanya pergi berdua melaut dengan adiknya yang juga sudah berkeluarga dengan menggunakan jaring kotam (kepiting).

3.6.4.8 Nama : Agus Umur : 38 tahun Pekerjaan : Nelayan Pendidikan : SMP

Rumah Bapak Agus terletak di Desa Bagan Asahan, kira-kira berjarak 300 meter dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan di desa itu). Bapak Agus merupakan nelayan yang sudah melaut sejak remaja. Beliau memiliki tiga orang anak perempuan dimana satu diantaranya baru saja menikah. Beliau pergi ke laut bersama 4 orang temannya


(56)

dan menggunakan jaring ikan. Beliau merupakan warga perantauan yang berasal dari salah satu desa di Kab. Batubara. Pada saat berusia remaja kedua orangtua Bapak Agus meninggalkan tanah kelahirannya dan memilih menetap di Desa Bagan Asahan. Bapak Agus dengan ramah mempersilakan peneliti untuk memakan hidangan makanan yang disediakan oleh istri Beliau yang bernama Bu Dawo. Beliau tinggal di rumah papan yang sederhana, namun di balik kesederhanaan itu beliau mengaku selalu bahagia dan senantiasa bersyukur kepada Allah SWT karena segala sesuatunya telah mencukupi bagi Beliau. Setelah pulang dari laut, Beliau juga sering ngumpul bareng di kedai kopi bersama nelayan lainnya berbagi semua cerita sambil memainkan catur yang disediakan oleh pemilik kedai.

3.6.4.9 Nama : Andi Sinaga Umur : 23 tahun Pekerjaan : Nelayan Pendidikan : SMA

Rumah Bapak Andi terletak di desa Bagan Asahan, tepatnya di daerah yang disebut gang kolam. Beliau merupakan anak asli Bagan Asahan dan berprofesi sebagai nelayan sambilan. Selain melaut, Bapak Andi bersama ayahnya mempunyai usaha sampingan, yaitu membuat alat tangkap kepitng yang disebut tangkul (bubu). Beliau mengerjakan tangkul tersebut jika ada orderan dari nelayan setempat. Ayah Bapak Andi yang bernama Bapak Mail saat ini bekerja di Malaysia sebagai agen bagi TKI yang mau pulang ke Tanah Air tanpa menggunakan paspor atau dengan kata lain menggunakan jalur gelap (illegal). Ayah Beliau hanya mencari penumpang yang hendak pulang dan kemudian mengarahkannya kepada pemilik kapal tongkang yang berlabuh di pelabuhan gelap di sekitar Port Klang Malaysia. Dengan begitu, maka


(57)

setiap satu hingga dua minggu ayah Bapak Andi akan pulang ke desa ini. Saudara Andi setelah menamatkan pendidikan SMA, beliau sempat pergi merantau ke beberapa tempat seperti ke Jakarta dan Medan namun beliau tidak betah dan memilih kembali ke kampong halamannya. Beliau mengaku tertarik dengan cerita konflik nelayan pukat ini dan mengikuti berita dan isu yang terus berkembang. Beliau juga bercerita mengenai oknum-oknum serakah yang memanfaatkan peluang dalam program yang diberikan pemerintah dalam rangka menyejahterakan nelayan.

3.6.4.10 Nama : Ahyar Panjaitan Umur : 38 tahun

Pekerjaan : Sekretaris Desa Bagan Asahan Baru Pendidikan : SMA

Saat bertemu dengan Bapak Ahyar di Pelabuhan Panton yang terletak di desa Bagan Asahan, ternyata Beliau sedang bersama tiga orang temannya yang merupakan tokoh masyarakat di desa ini. Dua diantaranya merupakan anggota POKMASWAS (Kelompok Pengawas Masyarakat). POKMASWAS ini merupakan lembaga yang dibawahi PSDKP (Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) dan PSDKP sendiri dibawahi oleh KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan). Pertemuan ini sekaligus menjadikan wawancara ini menarik dan menjadi lebih hidup dengan beberapa narasumber. Bapak Ahyar mengaku sebagai pribadi yang senang bergaul dengan siapa saja karena itu sudah menjadi pekerjaannya sebagai sekretaris desa yang mengemban tanggung jawab kebutuhan masyarakat desa.


(58)

Teknik pengumpulan data dilakukan berdasarkan dengan jenis data yang diperlukan untuk mendapatkan informasi. Adapun data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah :

3.7.1 Teknik Pengumpulan Data Primer

Data primer yaitu data yang diambil dari sumber data lapangan. Pengumpulan data dengan langsung terjun ke lokasi penelitian yang di dapat digunakan melalui:

`3.7.1.1 Observasi

Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan (Bungin, 2007: 115). Dalam penelitian ini, peneliti mengobservasi bagaimana keseharian hidup informan dalam pekerjaan dan kegiatannya sehari-hari. Adapun yang menjadi sasaran observasi adalah kehidupan sehari-hari nelayan tradisional, keberadaan kapal-kapal nelayan baik modern maupun tradisional, dan beberapa lembaga-lembaga masyarakat yang konsen terhadap perlindungan nelayan.

Hasil observasi yang didapat adalah sumber daya laut khususnya ikan, kerang, udang dan kepiting semakin lama semakin sedikit jumlahnya. Hal itu ditunjukkan dengan menurunnya hasil tangkapan nelayan dari tahun-tahun sebelumnya khususnya nelayan tradisional. Kapal-kapal pukat trawl masih terlihat bersandar di pelabuhan-pelabuhan sepanjang bibir pantai Desa Bagan, Pelabuhan Teluk Nibung, hingga Tanjung Balai. Kapal pukat tarik satu lebih banyak populasinya dibandingkan pukat


(59)

tarik dua. Bersandarnya kapal pukat ini juga diwarnai dengan hadirnya kapal-kapal nelayan tradisional.

Selain keberadaan kapal-kapal nelayan, lembaga-lembaga masyarakat juga terlihat keberadaanya. Hasil observasi menunjukkan bahwa ada puluhan lembaga-lembaga masyarakat yang bergerak dibidang nelayan tradisional. Tetapi, ada beberapa lembaga yang masuk dalam kualifikasi peneliti yaitu HNSI, PNTI, ANPATI, dan FKNI.

3.7.1.2 Wawancara Mendalam

Metode pengumpulan data dengan wawancara yang dilakukan berkali-kali dan membutuhkan waktu yang cukup lama bersama informan di lokasi penelitian (Bungin, 2007: 108). Dengan demikian kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatan dalam kehidupan informan. Dalam penelitian ini yang diwawancarai adalah nelayan yang terlibat ataupun tidak terlibat secara langsung dalam aksi pembakaran dan penjarahan kapal pukat trawl dan para tokoh lembaga-lembaga masyarakat yang konsen terhadap perlindungan nelayan. Wawancara dilakukan tidak tertuju pada satu lokasi yang sudah ditentukan sebelumnya melainkan dengan secara acak. Artinya peneliti menyesuaikan sendiri dengan waktu yang dimiliki oleh para nelayan dan hal ini juga berlaku kepada para tokoh LSM.

Adapun informan sebagai nelayan tradisional sebanyak 5 orang diwawancarai secara terpisah dikarenakan memiliki aktivitas keseharian yang berbeda. Tetapi, kelima nelayan diwawancarai pada saat memperbaiki jaring karena pada saat itu


(1)

mengenai permasalahan nelayan seperti penggunaan alat tangkap, diversifikasi alat tangkap, penggunaan GPS pencari ikan, hingga pelatihan keorganisasian bagi nelayan. Hal ini juga ditujukan agar nelayan-nelayan tradisional tidak kalah saing dengan nelayan-nelayan yang memiliki modal besar, mengingat mereka memiliki kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk mengeksplorasi sumber daya laut lebih maksimal.


(2)

BAB VI

6.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa penyebab terjadinya konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan trawl di Kecamatan Tanjung Balai adalah sebagai berikut:

Masuknya kapal pukat trawl di zona nelayan tradisional

Pengrusakan lingkungan oleh nelayan trawl sehingga menyebabkan semakin berkurangnya hasil tangkapan nelayan tradisional

• Kesenjangan antar nelayan sehingga menimbulkan rasa iri • Adanya oknum yang memprovokasi nelayan tradisional

• Kurangnya fungsi pengawasan dan tindakan dari lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah dalam mengatasi penyebab konflik

Penyebab terjadinya konflik antara sesama nelayan dia atas, pada dasarnya disebabkan karena semakin berkurangnya hasil tangkapan bagi nelayan tradisional. Berawal dari kesulitan tersebut sehingga menyebabkan nelayan tradisional berada pada kondisi frustasi dan segera mencari cara agar bisa meningkatkan kembali kondisi hasil tangkapan dengan mencegah kapal pukat trawl beroperasi di zona nelayan tradisional yaitu berjarak 1-3 mil dari pesisir.


(3)

6.2 Saran

• Untuk mencegah timbulnya konflik antar nelayan maka sosialisasi regulasi-regulasi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi di laut dan membudayakan operasi penangkapan yang bertanggung jawab harus dilaksanakan seluruh nelayan.

• Diperlukan sinergi dari lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah agar mengembangkan SDM dalam hal pengetahuan teknologi alat tangkap, diversifikasi alat tangkap yang ramah lingkungan, penggunaan GPS pencari ikan, hingga pelatihan keorganisasian bagi nelayan.

• Bantuan yang diberikan ada baiknya tidak bersifat filantropi (kedermawanan) tetapi hendaknya bersifat sustainable (keberlanjutan) seperti pada kasus di lapangan yaitu tidak tepatnya sasaran pembagian kapal oleh pemerintah dan menunjukkan bahwa tidak adanya survei pemerintah di lapangan. Sosialiasi dengan cara pendekatan langsung terhadap masyarakat disini sangat diperlukan disini agar masyarakat mengetahui bahwa aspirasi mereka sampai pada wadahnya yaitu pemerintah.

• Alternatif lainnya adalah menciptakan peluang kerja lain bagi masyarakat agar pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat tidak hanya terkonsentrasi terhadap laut.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, H.M.Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Coser , Lewis A. 1956. The Functions Of Social Conflict. Newyork: The Free Press Dahuri, 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara

Terpadu. Bogor: Pradnya Paramitha

Fisher, et.al. 2001. Mengelola Konflik. Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak. Jakarta : The British Council

Hardjamulia, Dkk. 2001. Analisis Kebijaksanaan Pembangunan Perikanan. Jakarta: Pusat Riset Perikanan Budidaya

Heroepoetri, Arimbi, 2001. Tiada Tempat Bagi Rakyat: Wewenang Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam UU Otonomi Daerah. Jakarta

Horton, Paul. B. dan Chester L. Hunt. 1996. Sosiologi. Terjemahan oleh Aminuddin dan Tita. Jakarta: Erlangga

Kusnadi. 2004. Polemik Kemiskinan Nelayan. Bantul: Pondok Edukasi dan Pokja Malik, Ichsan, Dkk. Menyeimbangkan Kekuatan : Pilihan Strategi Menyelesaikan

Konflik Atas Sumber Daya Alam. Jakarta: Yayasan Kemala

Moleong, Lexi.J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Nasution, Arif, Dkk. 2005. Isu-Isu Kelautan : Dari Kemiskinan Hingga Bajak Laut.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar


(5)

Poloma, Margaret M. 2004. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada Sartyka, Yessi E. 2008. Pengaruh Panglima Laot Terhadap Peningkatan Pendapatan

Nelayan. Skripsi, tidak diterbitkan. Medan: Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Sumatera Utara

Utsman, Sabian. 2007. Anatomi Konflik & Solidaritas Masyarakat Nelayan: Sebuah Penelitian Sosiologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Soekanto, Soerjono. 1988. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Susan, Novri. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik Dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana

Wijardjo, Boedhi. 2001. Konflik, Bahaya Atau Peluang: Panduan Latihan Menghadapi Dan Menangani Konflik Sumber Daya Alam. Bandung : KPA Sumber Internet :

april 2013

Andriani, Haslinda B. 2012. Konflik Nelayan Dan Sumber Daya Laut Di Teluk Palu Kota Palu Sulawesi Tengah. Palu: PPS Universitas Negeri Makassar, (Online),


(6)

DJPT, 2010. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2010. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap,(Online),http://statistik.kkp.go.id/Index.php/arsip /file/29/statistik_pt_2010_pub.pdf/, diakses 5 April 2013

Fairuza, 2009. Studi Tentang Kekerasan dan Fungsi Konflik. Bogor: Institut Pertanian Bogor, (Online) 56789/12245/I09fai.pdf?sequence=13, diakses 25 November 2013

Kinseng, R.A. 2007. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1 2007,(Online), http://jurnalsodality.ipb. ac.id/jurnalpdf/P4_Konflik_KonflikSumber daya_Alam.pdf, 13 April 2013 KKP, 2013. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No 18/

PERMEN-KP/2013. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan, (Online), diakses pada 27 Desember 2013

Nurdin, Rizal.T. 2004. Keputusan Gubernur mengenai Rencana Strategis Sumatera Utara. Medan :Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Online), 2013


Dokumen yang terkait

Perilaku Hidup Sehat Pada Masyarakat Nelayan Di Tanjung Balai (Studi Etnografi Mengenai Kesehatan Masyarakat Nelayan Kelurahan Keramat Kubah, Kec. Sei Tualang Raso, Tanjung Balai)

7 92 169

PERANAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN DALAM MENGATASI KONFLIK ANTAR NELAYAN (Studi Kasus Nelayan Di Kec. Paciran Kab. Lamongan)

0 15 2

KONFLIK NELAYAN TRADISIONAL DAN NELAYAN MODERN DI SIBOLGA.

0 2 37

Perilaku Hidup Sehat Pada Masyarakat Nelayan Di Tanjung Balai (Studi Etnografi Mengenai Kesehatan Masyarakat Nelayan Kelurahan Keramat Kubah, Kec. Sei Tualang Raso, Tanjung Balai)

0 0 14

Perilaku Hidup Sehat Pada Masyarakat Nelayan Di Tanjung Balai (Studi Etnografi Mengenai Kesehatan Masyarakat Nelayan Kelurahan Keramat Kubah, Kec. Sei Tualang Raso, Tanjung Balai)

0 0 1

Perilaku Hidup Sehat Pada Masyarakat Nelayan Di Tanjung Balai (Studi Etnografi Mengenai Kesehatan Masyarakat Nelayan Kelurahan Keramat Kubah, Kec. Sei Tualang Raso, Tanjung Balai)

0 0 30

Perilaku Hidup Sehat Pada Masyarakat Nelayan Di Tanjung Balai (Studi Etnografi Mengenai Kesehatan Masyarakat Nelayan Kelurahan Keramat Kubah, Kec. Sei Tualang Raso, Tanjung Balai)

0 0 24

Perilaku Hidup Sehat Pada Masyarakat Nelayan Di Tanjung Balai (Studi Etnografi Mengenai Kesehatan Masyarakat Nelayan Kelurahan Keramat Kubah, Kec. Sei Tualang Raso, Tanjung Balai)

0 0 3

Perilaku Hidup Sehat Pada Masyarakat Nelayan Di Tanjung Balai (Studi Etnografi Mengenai Kesehatan Masyarakat Nelayan Kelurahan Keramat Kubah, Kec. Sei Tualang Raso, Tanjung Balai)

0 0 19

Konflik Nelayan Di Jawa Timur

0 0 12