27
sumber daya sekaligus mengontrol sumber daya tersebut. Selain wewenang formal, faktor geografis, sejarah dan waktu juga seringkali digunakan sebagai alasan oleh
penguasa untuk memberi keputusan-keputusan yang menguntungkan pihaknya sendiri.
2.2 Pemetaan Konflik SIPABIO Source, Issues, Parties, Attitude, Behaviour, Intervention, Outcome
Pemetaan konflik dapat membantu menggambarkan konflik secara grafis yang berguna untuk melihat secara keseluruhan aktor-aktor konflik dan hubungan-
hubungannya. Pada dasarnya, dalam konflik skala besar, aktor yang terlibat jika dipetakan akan sangat banyak dan masing-masing memiliki peran terhadap konflik.
Aktor-aktor ini termasuk aktor di belakang layar. Namun, dalam suatu konflik yang menjadi “sorotan utama” adalah dua pihak yang bertindak sebagai aktor utama yang
saling berlawanan. Secara singkat, tujuan-tujuan pokok melakukan pemetaan konflik adalah untuk memahami situasi dengan lebih baik, untuk melihat hubungan di antara
berbagai pihak dengan jelas, untuk menjelaskan di mana letak kekuasaan, dan mengevaluasi tindakan-tindakan yang telah dilakukan masing-masing aktor konflik.
Menurut Fisher dalam Susan, pemetaan konflik meliputi pemetaan pihak berkonflik dan berbagai aspirasi dari pihak-pihak yang ada. Pemetaan merupakan
suatu teknik yang digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan masalah dan dengan pihak lainnya. Ketika
masyarakat yang memiliki berbagai sudut pandang berbeda memetakan situasi
Universitas Sumatera Utara
28
mereka secara bersama, mereka saling mempelajari pengalaman dan pandangan masing-masing.
Menurut Coser dalam Susan, setiap konteks masyarakat dengan berbagai tipe konflik yang ada, seperti realistis atau non realistis akan menghasilkan pemetaan
yang berbeda-beda. Pada masyarakat tertentu akan terhasilkan satu pemetaan yang sederhana, sedangkan pada masyarakat yang lain bisa saja tergambarkan peta konflik
yang bergitu kompleks. Satu model pemetaan konflik dikembangkan oleh sosiolog dari United
Nations-University for Peace, Amr Abdalla, dalam Novri Susan 2009 yaitu model SIPABIO 2002. SIPABIO adalah:
a. Source sumber konflik. Konflik ini disebabkan oleh sumber-sumber yang
berbeda sehingga melahirkan tipe-tipe konflik yang berbeda. Sumber-sumber konflik yang dimaksud pada bagian ini didasarkan kepada hubungan konflik,
nilai konflik, struktur konflik, konflik kepentingan, dan data konflik. Keseluruhan bagian-bagian ini akan di lihat dilapangan apakah kesemuanya
terdeteksi. Berdasarkan hasil observasi pertama, bahwa sumber konflik yang muncul di Desa Bagan Asahan terkait dengan banyaknya perbedaan-
perbedaan mulai dari pengelolaan sumber daya, model tangkapan, kewenangan otoritas, dan lain-lain. Perbedaan-perbedaan ini akan
menimbulkan konflik antar sesama pengguna dan pengelola sumber daya kelautan dan akan dilihat berdasarkan beberapa kriteria diatas.
Universitas Sumatera Utara
29
b. Issues isu-isu. Isu menunjuk pada saling keterkaitan tujuan-tujuan yang tidak
sejalan di antara pihak bertikai. Isu ini dikembangkan oleh semua pihak bertikai dan pihak lain yang teridentifikasi tentang sumber-sumber konflik.
Ketidakcocokan ini dapat dilihat dari pihak-pihak yang bertikai di Desa Bagan Asahan. Asumsi awal adalah munculnya konflik antar nelayan khususnya
dengan nelayan pukat trawl dikarenakan ketidakcocokan penggunaan alat tangkap. Asumsi ini akan terus dikembangkan seiring penelitian dilakukan
sehingga sumber konflik dikarenakan ketidakcocokan penggunaan alat tangkap.
c. Parties pihak. Pihak berkonflik adalah kelompok yang berpartisipasi dalam
konflik baik pihak konflik utama yang langsung berhubungan dengan kepentingan, pihak sekunder yang tidak secara langsung terkait dengan
kepentingan, dan pihak tersier yang tidak berhubungan dengan kepentingan konflik. Pihak tersier ini yang sering dijadikan sebagai pihak netral untuk
mengintervensi konflik. Adapun yang termasuk ke dalam pihak-pihak bertikai adalah individu-individu, kelompok, organisasi, komunitas, atau suatu bangsa.
Keterkaitan dengan topik penelitian, maka asumsi awal ada beberapa pihak- pihak yang saling berkonflik. Pihak-pihak ini saling terkait dalam pengelolaan
sumber daya laut mulai dari nelayan tradisional yang sifatnya lebih individual, nelayan dengan kapal bermotor mulai dari tonase rendah hingga tonase
tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah daerah, dan lain-lain. Pihak-pihak inilah yang menjadi actor utama dan pembantu dalam konflik
yang sedang bertikai.
Universitas Sumatera Utara
30
d. Attitudesfeelings sikap. Sikap adalah perasaan dan persepsi yang
mempengaruhi pola perilaku konflik. Sikap yang dimaksud adalah adanya perasaan positif dan negative antara pihak-pihak yang saling berkonflik.
Pihak-pihak yang sudah disebutkan diatas memiliki pola-pola umum dari pengharapan, orientasi emosional, dan persepsi yang menyertai
keterlibatannya di dalam situasi konflik. Adanya persepsi-persepsi dari pihak- pihak diatas tentang konflik akan dilihat sebagai pemetaaan konflik nelayan.
e. Behaviour perilakutindakan. Perilaku adalah aspek tindak sosial dari pihak
berkonflik, baik muncul dalam bentuk coercive action dan noncoercive action. Perilaku dari pihak yang berkonflik akan mempengaruhi pihak
lainnya, misalnya perilaku nelayan pukat trawl dalam mengeksplore sumber daya laut dilihat tidak sesuai dengan paham kelestarian sumber daya laut
sehingga memunculkan perilaku dari nelayan tradisional untuk melakukan suatu aksi. Aksi tersebut bisa saja bersifat negative seperti pembakaran kapal
dan tindakan repressif lainnya. f.
Intervention campur tangan pihak lain. Intervensi adalah tindakan sosial dari pihak netral yang ditujukan untuk membantu hubungan konflik menemukan
penyelesaian. Adapun yang menjadi pendekatan dalam intervensi konflik adalah manajemen konflik, resolusi konflik, dan transformasi konflik.
Pendekatan ini akan dilihat dilapangan dengan mengelompokkannya ke dalam pihak-pihak yang berkonflik. Adanya pendekatan ini diharapkan pihak-pihak
yang berkonflik mampu merubah perilaku mereka terhadap situasi konflik yang terjadi selama ini sehingga mampu meminimalisir konflik sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
31
g. Outcome hasil akhir. Outcome adalah dampak dari berbagai tindakan pihak-
pihak berkonflik dalam bentuk situasi. Dari beberapa pemaparan diatas, bagian ini adalah hasil akhirnya dari pemetaan konflik. Hasil akhir dari
pemetaan konflik tidak selalu berbuah manis dalam artian meredam konflik. Hasil akhir yang negative juga menjadi outcome of conlict dari pemetaan
diatas. Pemetaan konflik yang dilakukan di Desa Bagan Asahan juga bernasib yang sama. Tujuan untuk meredam konflik antar nelayan khususnya dengan
nelayan pukat trawl menjadi outcome of conflict pemetaan di Desa Bagan Asahan. Walaupun begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa pemetaan ini
menghasilkan negative outcome of conflict Salah satu pemetaan konflik etnis di Rwanda dengan berdasar pada poin-poin
dalam metode SIPABIO ialah: Poin yang pertama yakni Source yang berarti sumber, dalam hal ini adalah sumber konflik. Sesuai penjelasannya bahwa sumber konflik
yang berbeda akan melahirkan konflik yang berbeda pula. Sumber-sumber konflik itu salah satunya meliputi nilai-nilai seperti identitas, dalam kaitannya dengan konflik
yang terjadi di Rwanda ini perbedaan identitas antara pelaku konflik dalam hal ini adalah etnis, dimana konflik terjadi antara sekelompok manusia yang
mengatasnamakan etnis Hutu dan etnis Tutsi. Suku Hutu merupakan penduduk mayoritas yang tinggal di negara Rwanda dengan jumlah penduduk mencapai
presentase 85 dari 7,4 juta jiwa penduduk negara Rwanda, sedangkan Etnis Tutsi sendiri merupakan masyarakat dusun yang sudah menetap di negara Rwanda sejak
Universitas Sumatera Utara
32
awal abad 15 dengan Jumlah penduduk hanya 14 dari jumlah keseluruhan jumlah penduduk
Sumber konflik lainnya adalah model hubungan sosial analisis konstruksi sosial dimana dalam kasus Rwanda ini kostruksi sosial yang terjadi adalah adanya
stratifikasi etnis. Walaupun sebagai penduduk yang jumlahnya minoritas namun pada masa masuknya kolonial Eropa yakni datangnya negara kolonial Belgia, Belgia lebih
memihak pada etnis Tutsi karena etnis Tutsi sebagai penduduk minoritas dinilai memiliki keadaan fisik yang lebih baik daripada etnis Hutu dan memberikan
kekuasaan kepada suku Tutsi. Poin yang kedua yakni Issues isu-isu. Berdasarkan penjelasannya, isu
menunjuk pada saling keterkaitan tujuan-tujuan yang tidak sejalan di antara pihak bertikai dan isu ini dikembangkan oleh semua pihak bertikai dan pihak lain yang
tidak teridentifikasi. Dalam kasus Rwanda ini, isu yang muncul dan juga merupakan salah satu penyebab terjadinya konflik adalah isu kematian presiden Habyarimana
selaku presiden dari etnis Hutu setelah pemerintahan Rwanda dipegang oleh etnis Hutu pasca dekolonisasi Belgia. Isu tersebut menyebutkan bahwa pelaku
pembunuhan presiden Habyarimana dilakukan oleh orang suruhan dari etnis Tutsi. Isu tersebut dibuat oleh suku Hutu sendiri terutama dari kaum ekstrimis Hutu
karena menolak misi presidennya. Bahkan kemungkinan sebenarnya peristiwa pembunuhan presiden Habyarimana itu sengaja dilakukan oleh para Hutu ekstrimis
demi melancarkan rencana mereka membantai suku Tutsi. Misi presiden untuk
Universitas Sumatera Utara
33
menciptakan negara multietnis di Rwanda, yang memungkinkan memberikan kesempatan kembali pada etnis Tutsi untuk masuk dalam pemerintahan inilah yang
tidak disetujui atau tidak sejalan dengan tujuan kalangan ekstrimis Hutu yang ingin tetap mempertahankan pemerintahan satu suku.
Poin yang ketiga adalah Parties yang berarti pihak berkonflik. Dalam hal ini adalah kelompok yang berpartisipasi dalam konflik baik pihak konflik utama yang
langsung berhubungan dengan kepentingan, pihak sekunder yang tidak secara langsung berhubungan dengan kepentingan, dan pihak tersier yang tidak berhubungan
dengan kepentingan konflik yang sering dijadikan sebagai pihak netral untuk mengintervensi konflik. Dalam konflik di Rwanda pihak utama yang berkonflik
adalah etnis Hutu dan etnis Tutsi. Pihak sekunder yang tidak secara langsung berhubungan dengan kepentingan adalah negara-negara tetangga dari Rwanda dimana
menjadi tempat pengungsian etnis Tutsi, salah satunya negara Uganda yang bahkan menjadi pusat Rwandan Patriotic Front RPF yang merupakan gerakan pemberontak
bentukan etnis Tutsi Pihak tersier dalam konflik Rwanda ini adalah PBB yang mengirim beberapa pasukan demi membantu meredam konflik Rwanda.
Poin yang keempat adalah Attitudes felling dalam hal ini adalah sikap, yakni perasaan dan persepsi yang mempengaruhi pola perilaku konflik. Sikap bisa muncul
dalam bentuk yang positif dan negatif bagi konflik. Dalam kasus konflik di Rwanda, attitudes dijelaskan dengan adanya perasaan dendam serta persepsi buruk dari suku
Hutu terhadap suku Tutsi. Perasaan tersebut muncul sebagai bentuk dendam setelah hal yang dialami etnis Hutu pada masa Rwanda diduduki Belgia. Etnis Hutu
Universitas Sumatera Utara
34
termarjinalisasikan sehingga muncul kecemburuan sosial pada etnis Tutsi. Perasaan dendam dan persepsi yang buruk terhadap etnis Tutsi inilah yang menjadi salah satu
penyebab utama terjadinya konflik etnis di Rwanda, bahkan berujung pada terjadinya genosida.
Poin yang kelima adalah Behaviour perilaku tindakan. Perilaku adalah aspek tindak sosial dari pihak berkonflik, baik muncul dalam bentuk coercive action
dan noncoercive action. Dalam konflik Rwanda ini terdapat tindakan koersif yakni terjadinya genosida yang memakan ratusan ribu korban jiwa. Pembantaian besar-
besaran terhadap etnis Tutsi oleh etnis Hutu pada saat momentum terbunuhnya presiden Habyarimana. Hal tersebut dijadikan alasan oleh ekstrimis Hutu untuk
membantai etnis Tutsi. Sedangkan tindakan non koersif ditandai dengan adanya upaya perundingan dan perjanjian yang dilakukan etnis Tutsi melalui gerakan RPF
Rwanda Patriotic Front dengan presiden Habyarimana yang memang bercita-cita menciptakan negara multietnis di Rwanda.
Etnis Tutsi meminta dibentuknya Arusha Accords, yaitu perjanjian di mana Presiden akan memberikan kesempatan dan juga tempat untuk orang Tutsi memiliki
posisi dalam pemerintahan. Namun perjanjian tersebut tidak terimplementasi dengan baik karena adanya pertentangan keras dari ekstrimis etnis Hutu yang menolak
kebijakan tersebut. Poin yang keenam adalah Intervention campur tangan pihak lain. Intervensi
adalah tindakan sosial dari pihak netral yang ditujukan untuk membantu hubungan
Universitas Sumatera Utara
35
konflik menemukan penyelesaian. Dalam kasus ini adalah pihak tersier yakni PBB sebagai organisasi internasional telah mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke
Rwanda. PBB membentuk pasukan dengan misi menjaga perdamaian di Rwanda. Misi ini bernama United Nations Assistance Mission for Rwanda, atau biasa disebut
UNAMIR. UNAMIR dibentuk berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB 872 1993 pada 5 Oktober 1993 untuk membantu mengimplementasikan perjanjian
Arusha. Namun upaya intervensi PBB guna menciptakan perdamaian di Rwanda ini gagal dengan tetap terjadinya genosida di Rwanda. Hal ini disebabkan karena
kurangnya personil pasukan dari pihak PBB dan tidak adanya bantuan tambahan pasukan dari negara-negara anggota DK PBB.
Poin yang ketujuh atau yang terakhir adalah Outcome hasil akhir. Outcome adalah dampak dari berbagai tindakan pihak - pihak berkonflik dalam bentuk situasi
akhir dari konflik yang berlangsung. Dalam kasus konflik etnis di Rwanda situasi akhir terutama setelah ada campur tangan PBB sebagai upaya perdamaian, dimana
awalnya dianggap gagal karena tidak dapat mencegah terjadinya genosida. Setelah terjadi genosida tersebut memicu tindak balasan dari etnis Tutsi dalam bentuk
pemberontakan yang juga memakan banyak korban. Hingga akhirnya kemudian terjadi kudeta pada tahun 2007 sehingga pemerintahan dapat direbut kembali oleh
suku Tutsi. Saat ini Rwanda adalah salah satu negara termiskin di dunia dengan penghasilan per kapita, menurut perkiraan Bank Dunia, sebesar 270 dolar AS pada
tahun 1991 Perdana Menteri Rwanda Faustin Twagiramungu, yang memangku jabatan setelah kudeta berharap pemerintahnya akan dapat menerima bantuan dana
Universitas Sumatera Utara
36
dari dunia Internasional untuk membangun pemerintahan serta negaranya. Namun bantuan dana dari dunia Internasional tidak kunjung datang karena dipersulit dengan
adanya birokrasi yang berbelit-belit. Sehingga dalam konflik etnis di Rwanda ini dapat dilihat bahwa peran dunia
Internasional melalui PBB ini sebenarnya kurang maksimal dalam upayanya menyelesaikan konflik. Terlihat dari keengganan negara-negara Anggota DK PBB
untuk memberikan bantuan pasukan ke Rwanda sebelum terjadinya genosida, justru mereka hanya membantu upaya evakuasi warga negara asing yang ada di Rwanda
agar tidak menjadi korban konflik juga. Di sisi pendanaan komunitas Internasional juga tidak kunjung mengucurkan dana bantuan pembangunan justru hanya
menekankan pada penduduk Rwanda agar menghindari tindak kekerasan, padahal secara logika manusia keadaan dimana perut lapar dan kondisi miskin maka manusia
cenderung akan bertindak agresif mengarah kekerasan untuk mendapatkan apa saja yang mereka inginkan http:ayiephfrastia.blogspot.com201302metode-pemetaan-
konflik-sipabio.html
Universitas Sumatera Utara
37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati Moleong, 2006: 4. Dengan menggunakan metodologi kualitatif,
peneliti akan memperoleh informasi atau data yang lebih mendalam mengenai analisa sumber konflik di antara nelayan tradisional dengan nelayan pukat trawl.
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Desa Bagan Asahan, Kecamatan Tanjung Balai, kabupaten Asahan. Desa ini dijadikan lokasi penelitian karena di desa ini
merupakan lokasi yang pernah mengalami konflik terbuka antara nelayan tradisional dan nelayan trawl tahun 2011 berupa pembakaran dan penjarahan kapal pukat trawl
oleh masyarakat di desa ini. Kasus ini dapat dipelajari oleh peneliti untuk memetakan dan mempelajari konflik di Desa Bagan Asahan
3.3 Deskripsi Lokasi Penelitian 3.3.1 Gambaran Umum Kecamatan Tanjung Balai
Kecamatan Tanjung Balai adalah salah satu wilayah yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Asahan dan terletak di pesisir Asahan.
Kecamatan Tanjung Balai, saat ini dipimpin oleh Bapak Riduan, SH. Kecamatan
Universitas Sumatera Utara