Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Yang Berhubungan Dengan Pengguguran Kandungan

(1)

TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP TINDAK PIDANA YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUGURAN KANDUNGAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

EVI SYAHRANI NIM: 090200264

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP TINDAK PIDANA YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUGURAN KANDUNGAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

EVI SYAHRANI NIM: 090200264

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

(Dr.M.Hamdan,SH,MH) NIP : 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Liza Erwina, SH, M.Hum) (Dr. M. Eka Putra,SH, M.Hum) NIP: 19610241989032002 NIP: 197110051998011001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan Puji dan Syukur kepada Allah SWT, atas kasih dan karunia-Nyalah, yang telah memberikan kesehatan, kekuatan, dan ketekunan kepada penulis, sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini adalah salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari terdapatnya kekurangan, namun demikian dengan berlapang dada penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.

Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah lulus dan ikhlas dalam memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum USU Medan.

2. Bapak Prof. Budiman Ginting, SH, M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU Medan.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.Hum, DFM sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU Medan.


(4)

4. Bapak O.K. Saidi, SH, M.Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU Medan.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan.

6. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan dan sebagai Dosen Pembimbing I penulis dalam pembuatan skripsi ini.

7. Bapak Dr. M.Eka Putra, SH, M.Hum, sebagai pembimbing II Fakultas Hukum USU Medan yang telah bersedia untuk meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan dalam pembuatan skripsi ini.

8. Bapak Hemat Tarigan SH,M.Hum sebagai penasehat akademik yang telah banyak membantu penulis selama dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

9. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi perpustakaan serta para pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11.Ungkapan yang tulus hormat serta cinta dan terima kasih kepada orang tua penulis Ayahanda H.Muhammad Busro dan Ibunda Hj. Yuhani Lubis, atas didikan, cinta dan kasih sayang yang tidak ternilai, dorongan, semangat dan pengorbanan serta doa yang tak henti-hentinya yang telah membangkitkan semangat dalam diri penulis untuk menyelesaikan skripsi


(5)

ini. Tanpa kalian sangatlah sulit bagi Penulis untuk mencapai cita-citanya. Semoga Allah SWT tetap memberikan limpahan rahmat dan karunia serta kesehatan kepada ayahanda dan Ibunda tercinta.

12.Special Thanks to My Husband (Apriandi Pohan) dan My Baby (Muhammad Adly Pohan), I love you soo

13.Penulis mengucapkan terima kasih kepada Abang dan Adik tersayang yang selalu memberikan candaan-candaan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

14.Sahabat seperjuangan penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum USU (Nur Ayu Ningtyas,Amd dan Ade Kumala Sari,SH) serta teman-teman seangkatan 09 Fakultas Hukum USU.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihakyang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, hanya Allah yang dapat membalas budi baik semuanya. Semoga ilmu yang penulis telah peroleh selama ini dapat bermakna dan berkah bagi penulis dalam menggapai cita-cita.

Medan, 23 Juni 2014 Penulis


(6)

ABSTRAKSI Liza Erwina SH, M.Hum* Dr.M.Eka Putra SH, M.Hum**

Evi Syahrani***

*

Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Skripsi ini berbicara tentang bagaimana tinjauan kriminologi terhadap tindak pidana yang berhubungan dengan pengguguran kandungan.Pengguguran kandungan selalu menjadi perbincangan, baik dalam forum resmi maupun tidak resmi yang menyangkut bidang kedokteran, hukum maupun disiplin ilmu lain. Pengguguran Kandungan merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin memprihatinkan. istilah Pengguguran Kandungan diartikan sebagai dikeluarkannya janin sebelum waktunya, baik itu secara sengaja maupun tidak. Persoalan Pengguguran Kandungan pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat adalah suatu tindak pidana, namun dalam hukum positif di Indonesia tindakan aborsi pada sebagian kasus tertentu terdapat pengecualian. Dalam KUHP Pengguguran Kandungan itu dilarang sama sekali seperti yang telah di cantumkan dalam Pasal 299, 346 sampai pada Pasal 349, dimana ditegaskan bahwa Pengguguran Kandungan dilarang untuk dilakukan dengan alasan apapun tanpa terkecuali.

Dari uraian diatas maka yang menjadi permasalahan adalah tentang bagaimana ketentuan tentang tindak pidana pengguguran kandungan dan juga turut membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi dilakukannya pengguguran kandungan serta bagaimana penanggulangan tindak pidana pengguguran kandungan.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yakni penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dengan berbagai literatur dan peraturan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

Tiap tahunnya, berjuta-juta perempuan Indonesia mengalami kehamilan yang tidak direncanakan, dan sebagian darinya memilih untuk mengakhiri kehamilan mereka dengan menggugurkan kandungan walaupun telah dengan tegas dalam undang-undang bahwa Pengguguran Kandunganadalah tindakan yang dengan sengaja mengakhiri kehidupan kandungan dalam rahim seseorang perempuan hamil. Sehingga Pengguguran kandungan dikategorikan sebagai tindak pidana atau kejahatan. Berbeda halnya ketika tindakan menggugurkan kandungan itu dilakukan tanpa ada alasan medis yang membenarkan, yakni alasan-alasan demi kepentingan harga diri manusia, seperti menutup rasa malu dan lain sebagainya.


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.………. i

ABSTRAKSI.……… iv

DAFTAR ISI………. v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………. 1

B. Permasalahan……… 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………. 8

D. Keaslian Penulisan……… 9

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Kriminologi………... 10

2. Pengertian Tindak Pidana…………..……… 15

3. Pengertian Pengguguran Kandungan.………... 22

4. Teori Sebab-sebab Kejahatan ………... 24

F. Metode Penelitian……… 31

BAB II KETENTUAN TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN A. Ketentuan dalam Undang-undang Nomor 36Tahun 2009 tentang Kesehatan ……….……….… 33

B. Ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana…...…… 36

BAB III FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DILAKUKAN PENGGUGURAN KANDUNGAN A. Kondisi Usia Masih Muda atau masih sekolah ………...…….. 53

B. Malu Diketahui oleh Orang Tua atau Keluarga dan Masyarakat...……… 53

C. Pria yang Menghamilinya Tidak Bertanggung Jawab………… 54

D. Kondisi Ekonomi yang Tidak Mencukupi……….. 55

E. Janin yang Dikandung dari Kasus Perkosaan………. 56


(8)

BAB IV UPAYA-UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN

A.Upaya Preventif……….. 62

B.Upaya Represif……… 63

C.Upaya Rehabilitatif………. 64

D.Penerapan Hukuman……… 65

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan……….. 67

B. Saran………... 68


(9)

ABSTRAKSI Liza Erwina SH, M.Hum* Dr.M.Eka Putra SH, M.Hum**

Evi Syahrani***

*

Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Skripsi ini berbicara tentang bagaimana tinjauan kriminologi terhadap tindak pidana yang berhubungan dengan pengguguran kandungan.Pengguguran kandungan selalu menjadi perbincangan, baik dalam forum resmi maupun tidak resmi yang menyangkut bidang kedokteran, hukum maupun disiplin ilmu lain. Pengguguran Kandungan merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin memprihatinkan. istilah Pengguguran Kandungan diartikan sebagai dikeluarkannya janin sebelum waktunya, baik itu secara sengaja maupun tidak. Persoalan Pengguguran Kandungan pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat adalah suatu tindak pidana, namun dalam hukum positif di Indonesia tindakan aborsi pada sebagian kasus tertentu terdapat pengecualian. Dalam KUHP Pengguguran Kandungan itu dilarang sama sekali seperti yang telah di cantumkan dalam Pasal 299, 346 sampai pada Pasal 349, dimana ditegaskan bahwa Pengguguran Kandungan dilarang untuk dilakukan dengan alasan apapun tanpa terkecuali.

Dari uraian diatas maka yang menjadi permasalahan adalah tentang bagaimana ketentuan tentang tindak pidana pengguguran kandungan dan juga turut membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi dilakukannya pengguguran kandungan serta bagaimana penanggulangan tindak pidana pengguguran kandungan.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yakni penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dengan berbagai literatur dan peraturan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

Tiap tahunnya, berjuta-juta perempuan Indonesia mengalami kehamilan yang tidak direncanakan, dan sebagian darinya memilih untuk mengakhiri kehamilan mereka dengan menggugurkan kandungan walaupun telah dengan tegas dalam undang-undang bahwa Pengguguran Kandunganadalah tindakan yang dengan sengaja mengakhiri kehidupan kandungan dalam rahim seseorang perempuan hamil. Sehingga Pengguguran kandungan dikategorikan sebagai tindak pidana atau kejahatan. Berbeda halnya ketika tindakan menggugurkan kandungan itu dilakukan tanpa ada alasan medis yang membenarkan, yakni alasan-alasan demi kepentingan harga diri manusia, seperti menutup rasa malu dan lain sebagainya.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini banyak perempuan hamil di luar nikah dan melakukan tindakan pengguguran kandungan sebagai pertanda degradasi moral. Akan tetapi kehamilan tersebut bukan alasan untuk membunuh janin, janin (bayi) adalah Makhluk Tuhan, lalu mengapa harus dibunuh. Janin juga punya hak untuk hidup. Melegalkan tindakan pengguguran kandungan bukan solusi untuk menekankan AKI (Angka Kematian Ibu). Jumlahnya malah akan bertambah, sebab ada kemungkinan pemilik janin (bayi) tersebut mengaku diperkosa agar dapat dilakukan pengguguran pada kandungannya.

Seorang wanita mungkin tidak menyukai kandungannya karena alasan tertentu. Untuk itu ia membujuk orang lain agar bersedia melakukan pengguguran kandungan. Apabila pengguguran kandungan itu dilaksanakan, ada kemungkinan wanita tadi akan menderita dan menjadi korban orang yang menggugurkan kandungan atau pelaku kejahatan abortus. Kalaupun kandungan berhasil digugurkan dan wanita tersebut selamat, pada hakikatnya wanita korban tadi turut menjadi pelaku bersama dengan pelaku yang telah melaksanakan abortus kriminalis.


(11)

Kondisi aborsi di dunia menyebutkan bahwa1

1. Sebanyak 19 juta perempuan di seluruh dunia melakukan tindakan pengguguran pada kandungannya secara tidak aman setiap tahunnya. 18,5 juta

:

terjadidi Negara-negara berkembang. Negara-negara Afrika sebanyak 4,2 juta, di Negara-negara Asia sebanyak 10,5 juta, di Negara-negara Amerika Latin dan Karabia sebanyak 3,8 juta.

2. Sebanyak 68.000 perempuan di Negara berkembang meninggal akibat komplikasi terhadap pengguguran kandungan yang tidak aman setiap tahunnya. Di Negara-negra Afrika sebanyak 30.000, di Negara-negara Asia sebanyak 34.000, di Negara-negara Amerika Latin dan Karibia sebanyak 4.000.

3. Di Afrika 59% dari seluruh kasus tindakan pengguguran kandungan tidak aman dilakukan oleh perempuan berusia 15-24 Tahun.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana dibuat pada zaman Belanda untuk menyelamatkan ibu dari kematian akibat tindakan pengguguran kandungan yang tidak aman oleh tenaga yang tidak terlatih misalnya dukun. Akibat tindakan itu dilarang, angka kematian dan kesakitan ibu di Indonesia menjadi tinggi karena ibu mencari pelayanan pada tenaga tidak terlatih padahal pengguguran kandungan bisa dilakukan secara aman. Pengguguran kandungan yang aman seharusnya2

1

Dadang Hawari, Aborsi Dimensi Psikoreligi,(Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2006), hal 56.

2

ibid, hal 60


(12)

1. Dilakukan oleh dokter ahli kandungan atau dokter umum yang ditunjuk dan terlatih (bersertifikat).

2. Diajukan di rumah sakit atau klinik yang ditunjuk.

3. Fasilitas kesehatan yang tidak ditunjuk pemerintah dilarang melakukan pelayanan pengguguran kandungan.

4. Rumah sakit dan klinik yang ditunjuk hanya diisinkan memberikan pelayanan pengguguran kandungan pada perempuan dengan usia kehamilan tidak lebih dari usia kehamilan yang ditentukan.

5. Disetujui oleh sekurang-kurangnya seorang konselor dan seorang dokter yang ditunjuk, atau oleh seorang dokter bila dalam keadaan darurat (emergency)

Dalam menentuka resiko terhadap tindakan pengguguran kandungan maka dokter harus mempertimbangkan keadaan si ibu terlebih dahulu. Melakukan tindakan pengguguran kandungan diperbolehkan dalam kondisi perempuan sebagai berikut3

1. Usia kandungan tidak lebih dari 12 minggu dan hasil diagnosis menunjukkan munculnya resiko lebih besar pada si ibu bila kehamilan itu dilanjutkan, seperti gangguan mental, fisik dan psikososial.

:

2. Ancaman gangguan/cacat mental permanen pada si ibu. 3. Membahayakan jiwa si ibu jika kehamilan dilanjutkan.

4. Resiko yang sangat jelas bahwa anak yang akan dilahirkan menderita cacat fisik/mental yang serius.

3


(13)

Masih dalam garis yang sama, bisa dikatakan juga bahwa dalam kehamilan yang membahayakan hidup si ibu, kita dihadapkan pada persaingan antara dua persona yang sama-sama bernilai, tetapi berada dalam jalan buntu.

Dalam hal ini, kemungkinan untuk hidup diantara salah satu dari dua orang itu ikut menentukan siapa yang harus diselamatkan. Pada prinsipnya, kalau dua-duanya diselamatkan, maka keduanya harus diselamatkan. Akan tetapi, kalau sampai harus memilih, maka hidup yang bisa diselamatkan harus lebih diutamakan daripada yang tidak bisa diselamatkan. Oleh karena itu, kalau indikasinya disini menjelaskan bahwa melangsungkan kehamilan itu akan mematikan baik ibu maupun anaknya, maka menyelamatkan ibunya tentu saja bisa dibenarkan secara moral. Demikian pula, apabila melanjutkan kehamilan berarti kehamilan ibunya dan penghentian kehamilan (aborsi) bisa menyelamatkan ibunya, maka menyelamatkan ibunya tentu bisa dibenarkan secara moral. Bagaimana kalau secara medis yang terancam hanya hidup ibunya sedangkan anaknya tidak? Apakah lebih baik menyelamatkan anaknya? Dalam kasus-kasus tertentu, bisa saja dibenarkan kita memilih menyelamatkan bayinya. Misalnya, wanita hamil yang entah karena kecelakaan lalu lintas, atau sebab lain berada dalam tahap PVS (Persistent Vegetativ State), yakni suatu keadaan seseorang hidup dalam fase tumnuh-tumbuhan, kehilangan kesadarannya secara permanen karena kerusakan otak, sehingga otaknya sudah tidak berfungsi lagi. Dalam situasi semacam ini, bisa dibenarkan melanjutkan kehamilan dan mengadakan intervensi medis untuk menyelamatkan bayinya, meskipun dapat mengakibatkan kematian ibunya.


(14)

Lepas dari analogi diatas, orang sering membuat pembenaran untuk melakukan tindakan pengguguran kandungan, dengan berpandangan bahwa aborsi adalah pelaksanaan otonomi pribadi seorang wanita untuk mengatur tubuhnya sendiri, menentukan sendirinya apa yang baik dan buruk untuk tubuhnya, apa yang boleh dan tidak boleh bagi tubuhnya. Argumen ini sangat lemah berdasarkan beberapa prinsip, sebagai berikut ini4

4

Kusmaryanto, Kontroversi Aborsi,(Jakarta:PT.Grasindo,2002),hal164.

:

PERTAMA, memang benar bahwa semua orang berhak mengatur tubuhnya sesuai dengan apa yang dipandang baik oleh sang empunya tubuh. Bahkan seorang dokter pun tidak berhak melakukan intervensi medis pada tubuh seorang pasien tanpa izin dari empunya tubuh. Akan tetapi, harus diingat bahwa janin bukanlah bagian dari tubuh wanita, karena itu sang ibu tidak berhak untuk mengaturnya. Memang benar bahwa sel telur itu keluar dari tubuhnya dan selama belum keluar dari indung telurnya maka dia merupakan bagian dari tubuhnya. Akan tetapi, begitu sel telur itu dibuahi, ia menjadi entitas yang lain sama sekali, dan bukan bagian dari ibunya. Sebagaimana sudah kita liat dan kita ketahui, bahwa sejak pembuahan, si janin sudah mempunyai kode genetik yang lain. Ia sama sekali lain dengan bapaknya atau ibunya. Percampuran kromosom dari bapak dan ibunya yang sama-sama menyumbangkan separuh untuk anaknya tersebut, ternyata membentuk seorang manusia yang unik, yang tidak duanya. Ia adalah seorang persona yang tidak ada duanya. Ia mempunyai keunikan golongan darah, struktur tulang, wajah, kepribadian dan sebagainya.


(15)

Kalau benar bahwa janin adalah bagian dari tubuh ibunya maka harus dikatakan bahwa si ibu mempunyai empat kaki, empat tangan, dua wajah, dan bila janinya laki-laki maka dia mempunyai alat kelamin ganda, pria dan wanita. Benarkah demikian? Program pembuahan artivisial, khususnya surrogate mother

(ibu yang dititipin janin orang lain), akan lebih menggaris bawahi keterpisahan ini. Kalau ovum orang berkulit putih dibuahi oleh sperma orang kulit putih, meskipun sesudah pembuahan dimasukkan kedalam rahim orang yang berkulit hitam, si bayi akan tetap lahir berkulit putih. Secara genetis si ibu kulit hitam itu tidak mempengaruhi apa-apa terhadap si bayi tersebut, meskipun si bayi berada selama sembilan bulan didalam kandungannya, dan makan dari gizi yang dimakan oleh si ibu hitam itu. Jadi bagaimanapun juga, sesudah sel telur itu dibuahi, ia menjadi entitas yang berbeda dari ibunya. Ia bukan dari bagian ibunya lagi, karena itu si ibu tidak berhak untuk mengaturnya sebagaimana dia mengatur tubuhnya sendiri.

KEDUA, hak untuk mengatur tubuhnya sendiri tersebut tentu saja berlaku bagi semua orang. Ia mempunyai hak itu bukan hanya ibu yang mengandung tapi semua orang. Pelaksanaan hak itu tentu saja bisa dibenarkan sejauh tidak menganggu pelaksanaan hak yang sama dari orang lain. Dengan kata lain, pelaksanaan hak itu tidak pernah bisa dibenarkan kalau pelaksanaannya menganggu pelaksanaan orang lain. Lebih tidak bisa dibenarkan lagi kalau yang diganggu itu adalah hak dasar setiap manusia, yakni hak untuk hidup. Kebebasan anda berhenti pada saat pelaksanaannya membentur pelaksanaan kebebasan orang lain. Untuk memahami hal ini, bisa diambil contoh sederhana, masalah


(16)

merokok.Dibanyak negara, merokok ditempat umum itu dilarang sebab sudah terbukti bahwa orang yang tidak merokok terkena juga akibat racun rokok (nikotin). Ada indikasi kuat bahwa nikotin lebih berbahaya bagi yang tidak merokok daripada yang merokok. Yang tidak merokok yang sering disebut sebagai perokok pasif berada dalam bahaya karena perbuatan orang lain. Oleh karena itu, pemerintah membuat Undang-undang yang membatasi tempat-tempat boleh merokok atau tidak boleh merokok. Jadi dalam hal ini, pelaksanaan hak untuk merokok harus dibatasi, karena asap rokok mengganggu kesehatan orang lain.

KETIGA,tidak sebanding. Memang harus diakui bahwa kehadiran janin di dalam kandungan bagi ibu yang tidak menginginkannya bisa menjadi beban mental dan menyebabkan penderitaan bagi ibunya. Meskipun demikian, penderitaan si ibu itu tidak bisa menjadi alasan yang cukup untuk membalas dendam, menimbulkan penderitaan yang lebih besar lagi kepada penyebabnya, yakni kepada janinnya sendiri, apalagi kalau balasan itu sampai menghilangkan hidup si bayi tersebut. Tentu saja hal ini merupakan suatu ketidakadailan. Lebih-lebih kalau balas dendam itu dialamatkan kepada yang Lebih-lebih lemah dan tidak berdaya, jelas tidak bisa dibenarkan. Disini berlaku ialah prinsip hukum

vulnerability yang berlaku dimana-mana, yakni yang kuat harus melindungi yang lemah. Hanya dengancara inilah maka kita terhindar dari hukum rimba.

Masalah ini menimbulkan isu baru terutama oleh karena adanya anjuran untuk membatasi kelahiran (keluarga berencana)status pengguguran kandungan menjadi disamarkan,bahkan sudah ada pendapat yang menyatakan bahwa untuk


(17)

kepentingan keluarga berencana pengguguran kandungan sudah diperkenankan yang dengan demikian delik pengguguran kandungan sudah hampir tidak menjadi delik lagi.Dalam keadaan demikian disamping kurangnya pelapuran terhadap kejahatan ini juga petugas aparat hukum yang berkewajiban melacak terjadinya delik-delik akan bersikap lebih “dingin”.

Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan diatas membuat penulis selaku Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tertarik

mengangkat judul skripsi “TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP

TINDAK PIDANA YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUGURAN KANDUNGAN”

B. Permasalahan

Berdasarkan pembahasan di atas maka permasalahan yang akan diangkat oleh penulis, yaitu :

1. Bagaimana ketentuan tentang tindak pidana pengguguran kandungan?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi dilakukannya pengguguran kandungan?

3. Bagaimana penanggulangan tindak pidana pengguguran kandungan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana ketentuan tentang tindak pidana pengguguran kandungan


(18)

2. Untuk mengetahui bagaimanafaktor-faktoryang mempengaruhi dilakukannya pengguguran kandungan

3.Untuk mengetahui bagaimana penanggulangan tindak pidana pengguguran kandungan

Sedangkan yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis

penulisan ini dapat menjadi kajian untuk memberikan informasi-informasi dalam bidang pengetahuan hukum umumnya dan hukum pidana umumnya khususnya.

2. Manfaat Secara Praktis

Dapat menjadi sumbangsih dan bahan masukan serta untuk memberikan kontribusi pemikiran dari aparat penegak hukum dan memberikan informasi kepada masyarakat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan batasan-batasan terhadap tindak pidana pengguguran kandungan yang menimbulkan perdebatan dimasyarakat saat ini.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP

TINDAK PIDANA YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUGURAN KANDUNGAN”sehubungan dengan keaslian penulisan,penulis telah pengecekan pada kepustakaan Departemen Hukum Pidana dan dapat dinyatakan bahwa isi tulisan ini tidak sama dengan tulisan yang lain. Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan skripsi ini,


(19)

maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri yang asli yang disusun melalui refrensi buku-buku dan informasi dari media cetak maupun media elekronik sehingga hasil penulisan ini dapat dipertanggungjawabkan terutama secara ilmiah atau secara akademik.Apabila nantinya ada penulisan yangsama atau menyerupai tulisan skripsi ini,maka akan menjadi tanggung jawab saya sendiri.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Kriminologi

Secara etimologis kriminologi berasal dari kata Crimen yang berarti kejahatan dan Logos berarti ilmu atau pengetahuan. Jadi kriminologi adalah ilmu/pengetahuan tentang kejahatan.

Menurut E.H. Sutherland kriminologi adalah seperangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial, termasuk didalamnya proses pembuatan Undang-undang, Pelanggaran Undang-undang bahkan aliran modren yang diorganisasikan oleh Von List menghendaki kriminologi bergabung dengan hukum pidana sebagai ilmu bantuannya, agar bersama-sama menangani hasil penelitian “kebijakan kriminal”, sehingga memungkinkan memberikan pertunjuk terpat terhadap penanganan hukum pidana dan pelaksanaannya yang semuanya ditujukan untuk melindungi “warga Negara yang baik” dari penjahat. George C. Vold mengatakan bahwa dalam mempelajari kriminologi terdapat masalah rangkap artinya kriminologi selalu menunjukkan pada perbuatan manusia dan juga batasan-batasan atau pandangan pada perbuatan manusia dan juga


(20)

batasan atau pandangan terhadap perbuatan manusia dan juga batasan-batasan atau pandangan masyarakat tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang, apa yang baik dan apa yang buruk, yang semua itu terdapat di dalam Undang-undang kebiasaan dan adat istiadat. Dan menurut Paul Moedigdo Moeliono, kriminologi bahwa pelaku kejahatan mempunyai andil atas terjadinya suatu kejahatan, karena terjadinya kejahatan bukan semata-mata perbuatan yang ditentang oleh masyarakat, akan tetapi adanya dorongan dari si pelaku untukmelakukan perbuatan yang ditentang oleh masyarakat5

Kriminologi juga merupakan pengertian hukum yaitu perbuatan manusia yang dapat dipidana oleh hukum pidana. Tetapi kriminologi bukan semata-mata merupakan batasan Undang-undang artinya ada perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat dipandang sebagai jahat, tetapi Undang-undang tidak menyatakan sebagai kejahatan atau tidak dinyatakan sebagai tindak pidana, begitu pla sebaliknya. Dalam hukum pidana orang seringkali membedakan antara delik hukum (Rechts Delicten atau Mala Per se) khususnya tindak pidana yang disebut kejahatan (Buku II KUHP) dan delik Undang-undang (Wetsdelicten atau Mala Prohibita) yang berupa pelanggaran (Buku II KUHP). Mengenai perbedaan antara Mala per se dengan Mala prohibita dewasa ini banyak dipertanyakan orang yaitu apakah semua tindak pidana itu sebenarnya merupakan kejahatan. Oleh karena itu perbuatan tersebut oleh Undang-undang ditunjuk atau dijadikan kejahatan (tindak pidana). Dalam RKUHP sudah tidak ada perbedaan istilah kejahatan (Mal per se)

.

5


(21)

dan istilah pelanggaran (mal Prohibita) hanya mengenal satu istilah yaitu tindak pidana.

Oleh karena itu dalam ilmu pengetahuan, kriminologi masuk dan terletak dalam kelompok ilmu pengetahuan sosial. Dalam realita, kejahatan tidak hanya berkaitan dengan hukum pidana tapi juga terdapat hubungan baik dengan norma- norma yang berlaku dalam masyarakat, ada masyarakat yang menerapkan norma-norma agama, ada juga yang menerapkan norma-norma-norma-norma hukum, dan ada masyarakat yang menerapkan norma norma adat kebiasaan tang telah ditentukan oleh nenek moyangnya.

Kriminologi dalam arti sempit adalah mempelajari kejahatan. Sedangkan dalam arti luas, kriminologi ini mempelajari tentang penologi dan metode-metode yang berkaitan dengan kejahatan dan masalah prevensi kejahatan dengan tindakan-tindakan yang bersifat non-punitif. Secara tegas dapat dikatakan bahwa batasa kejahatan dalam arti yuridis adalah tingkah laku manusia yang dapat dihukum berdasarkan Hukum Pidana6

Dalam hal memberikan pengertian kriminologi belum ada suatu definisi yang sama antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lainnya. Namun demikian penulis mencoba untuk meninjau dari dua segi antara lain

.

7

a. Segi Etimologi

:

6

Romli Atmasasmita, Kriminologi,(Bandung:Mandar Maju,1997), hal 26

7


(22)

Bila diartikan dari segi Etimologi, Kriminologi berasal dari dua suku kata yakni, Crime = Kejahatan, Logos = Ilmu pengetahuan. Kalau diartikan secara lengkap kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang seluk beluk kejahatan.

b. Menurut Pendapat Sarjana 1. Mr. W.A. Bonger

Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan, menyelidiki gejala- gejala kejahatan seluas luasnya.

2. Mr. Paul Moedikdo Moeliono

Menyatakan Kriminilogi adalah ilmu pengetahuan dari berbagai ilmu yang membahas kejahatan sebagai masalah manusia.

3. Edwin H Sutherland

Kriminologi adalah keseluruhan ilmu pengetahuan mengenai kejahatan sebagai gejala sosial. Jadi kalau kita perhatikan definisi tersebut meyakinkan kita bahwa kejahatan hanya terdapat dalam masyarakat. Oleh karena itu perlu memperhatikan kondisi masyarakat bila mempelajari masalah kejahatan, sebab tidak dipungkiri bahwa ada saling pengaruh antara individu dengan masyarakat. Dari uraian diatas Sutherland meletakkan pendapatnya bahwa Crime berakar pada organisasi masyarakat, dimana kejahatan kejahatan yang tinggi di sebabkan kekacauan masyarakat.


(23)

Kriminologi adalah keselurahan keterangan tentang perbuatan lingkungan mereka dan bagaimana mereka diperlakukan oleh godaan-godaan masyarakat dan oleh anggota masyarakat.

5. Wood

Kriminologi mengikuti keseluruhan pengetahuan yang didasarkan pada teori pengalaman yang berhubungan dengan kejahatan dan penjahat, termasuk reaksi reaksi masyarakat atas kejahatan dan penjahat.

6. Noach

Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang membahas kejahatan dan penyelewengan tingkah laku manusia baik gejala sosial maupun gejala psikologis.

7. Prof. Vrij

Kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kejahatan sebagai gejala maupun sebagai faktor penyebab dari kejahatan itu sendiri.

8. Sutherland

Kriminologi adalah keseluruhan ilmu mengenai kejahatan sebagai gejala masyarakat.

9. Van Bemelen

Kriminolohi adalah ilmu yang mempelajari kejahatan, yaitu perbuatan yang merugikan dan kelakuan yang tidak sopan yang menyebabkan adanya teguran dan tantangan.


(24)

Dari pendapat sarjana diatas dapat kita ketahui bahwa yang menjadi penyelidikan kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari serta menyelidiki maupun membahas masalah kejahatan, baik mengenai pengertiannya, bentuknya, sebab-sebabnya, akibat-akibatnya, dan penyelidikan terhadap suatu kejahatan maupun hal-hal lain yang ada hubungannya dengan kejahatan itu8

Jika dikaji secara keseluruhan, perkembangan kriminologi untuk menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, penulis menarik kesimpulan bahwa

.

9

1. Kriminologi merupakan studi tentang tingkah laku manusia tidaklah berbeda dengan studi tentang tingkah laku lainnya yang bersifat nonkriminil

:

2. Kriminologi merupakan ilmu yang bersifat inter dan multidisiplin, bukan ilmu yang bersifat monodisiplin

3. Kriminologi berkembang sejalan dnegan perkembangan ilmu pengetahuannya lainnya

4. Perkembangan studi kejahatan telah membedakan antara kejahatan sebagai suatu tingkah laku dan pelaku kejahatan sebagai subjek perlakuan sarana peradilan pidana

2. Pengertian Tindak pidana

Berbicara tentang hukum pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok yang menjadi titik perhatiannya, masalah pokok dalam hukum pidana tersebut

8

Ridwan,Azas-azas Kriminologi,(Medan:USU Press,1994),hal 2

9

Romli Atmasasmita,Teori & Kapita Selekta Kriminologi,(Bandung:PT.Refika Aditama,2007),hal 13


(25)

meliputi masalah tindak pidana (perbuatan jahat), kesalahan dan pidana serta korban. Sebagai obyek dalam ilmu hukum pidana masalah perbuatan jahat perlu dibedakan dalam :

a. Perbuatan jahat sebagai gejala masyarakat dipandang secara concrete

sebagaimana terwujud dalam masyarakat, yaitu perbuatan manusia yang memperkosa/menyalahi norma-norma dasar masyarakat secara konkret. Ini adalah pengertian “perbuatan jahat” dalam arti kriminologis.

b. Perbuatan jahat dalam arti hukum pidana. Perbuatan jahat disini adalah perbuatan jahat sebagaimana terwujud in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana.10

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “Strafbaar feit”.11 Tindak pidana atau Strafbaar feit pada dasarnya adalah suatu pelanggaran dan terganggunya ketertiban umum, terhadap para pelakunya mempunyai kesalahan dimana pemidanaan yang diberikan adalah wajar untuk menyelanggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum.12

Pembentuk Undang-undang kita menggunakan istilah strafbaar feit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai strafbaar feit tersebut.13

10

A. Fuad Usfa dan Tongat,Pengantar Hukum Pidana,(Malang:Universitas Muhammadiyah Malang Press,2004), hal 32.

11

Adhami Chazawi, Pelajaran hukum Pidana(Jakarta:Raja Grafindo, 2002),hal 67

12

SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana,( Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal 203

13

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi,(Jakarta: Sinar Grafika,2005), hal 5

Selain itu istilah tindak pidana muncul karena tumbuhnya dari pihak kementerian kehakiman, sering dipakai dalam


(26)

perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek daripada “perbuatan” tapi “tindak” lebih pendek daripada “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkret.14

1. Berdasarkan pandangan ( aliran ) dualistis yaitu pandangan yang memisahkan antara perbuatan dengan dan orang yang melakukannya.

Selain itu dalam hal untuk memberikan pengertian mengenai pengertian tindak pidana dapat dibagi menjadi dua aliran mengenai pengertian tindak pidana yaitu pengertian tindak pidana dalam pandangan dualisme dan pengertian tindak pidana dalam pandangan monisme yaitu, sebagai berikut :

15

Menurut para ahli hukum yang dapat digolongkan menganut pandangan (aliran) dualistis yaitu :

a. Menurut W.P.J Pompe, suatu strafbaar feit, (definisi menurut hukum positif) itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Pompe mengatakan, bahwa menurut teori (definisi menurut teori) strafbaar feit itu adalah perbuatan, yang bersifat melawan hukum, yang dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Dalam hukum positif, sifat melawan hukum dan kesalahan bukanlah sifat yang mutlak untuk adanya tindak pidana (strafbaar feit). Untuk penjatuhan pidana tidak cukup, dengan adanya tindak pidana, akan tetapi selain itu harus ada orang yang dapat dipidana.16

14

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana,(Jakarta: Rineka Cipta,2008), hal 60

15

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana,( Medan:USU Press,2010), hal 81

16

Sudarto, Hukum Pidana I,(Semarang:Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum UNDIP , 1990),hal 9


(27)

b. Menurut H.B Vos, strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.17

c. Menurut R. Tresna, peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.18

Tidak ada persamaan pendapat dikalangan para ahli tentang syarat-syarat yang menjadikan perbuatan manusia itu sebagai peristiwa pidana, oleh karena itu R.Tresna menyatakan, dapat diambil sebagai patokan bahwa peristiwa pidana itu harus memenuhi syarat-syarat berikut ini :

1. Harus ada suatu perbuatan manusia.

2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan didalam ketentuan hukum.

3. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan.

4. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum.

5. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam Undang-undang.

d. Moeljatno, dalam pidato dies natalis UGM tahun 1995, memberi arti “perbuatan pidana” sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana,

17

Adhami Chazawi, op.cit, hal 72

18 Ibid


(28)

barang siapa melanggar larangan tersebut. Menurut Moeljatno, untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur:19

Perbuatan (manusia)

a. Yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang (merupakan syarat formil)

b. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil)

Syarat formil harus ada, oleh karena tuntutan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Sedangkan keharusan adanya syarat materiil, oleh karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan, oleh karena bertentangan dengan tata pergaulan masyarakat yang dicita-citakan. Menurut Moeljatno, kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal-hal tersebut melekat pada orang yang berbuat.

2. Berdasarkan pandangan (aliran) monistis yaitu pandangan yang tidak memisahkan antara perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya (pertanggungjawaban).20

Menurut para ahli hukum yang digolongkan menganut pandangan monistis, yaitu:21

1. Simons dalam P.A.F Lamintang, merumuskan strafbaar feit sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang

19

A. Fuad Usfa dan Tongat, op.cit, hal. 35

20

Mohammad Eka, op.cit, hal.83

21 Ibid


(29)

oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum

Alasan dari simons apa sebabnya “strafbaar feit” itu harus dirumuskan seperti di atas adalah karena :

a. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa disitu harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakekatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum.

2. Wirjono Prodjodikoro, mengatakan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.22

22

Wirjono Prodjodikoro,Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia,(Bandung:PT. Eresco, 1986), hal 45

Berdasarkan berbagai pendapat diatas mengenai istilahstrafbaar feit, dalam hal ini penulis menggunakan istilah strafbaar feit mengartikannya sebagai tindak pidana yang bersifat konkret merupakan perbuatan pidana (perbuatan yang dilarang) yang dilakukan dengan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.


(30)

Keragaman pendapat diantara para sarjana hukum mengenai definisi

strafbaar feit diatas, telah melahirkan beberapa rumusan atau terjemahan mengenai strafbaar feit itu sendiri, yaitu:23

1. Perbuatan Pidana

Prof. Mulyatno, S.H menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan pidana. Menurut pendapat beliauistilah “perbuatan pidana” menunjuk kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dapat diartikan demikian karena kata “perbuatan” tidak mungkin berupa kelakuan alam, karena yang dapat berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya manusia

Selain itu kata “perbuatan” lebih menunjuk pada arti sikap yang diperlihatkan seseorang yang bersifat aktif (yaitu melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang hukum), tetapi dapat juga bersifat pasif (yaitu tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).

2. Peristiwa Pidana

Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Prof. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam perundang-undangan formal Indonesia, istilah “peristiwa pidana” pernah digunakan secara resmi dalam UUD Sementara 1950, yaitu dalam Pasal 14 ayat (1). Secara substansif, pengertian dari istilah “peristiwa pidana” lebih menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik olehperbuatan manusia maupun oleh gejala alam. Oleh karena itu, dalam

23


(31)

percakapan sehari-hari sering didengar suatu ungkapan bahwa kejadian itu merupakan peristiwa alam.

3. Tindak Pidana

Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaar feit adalah diperkenalkan oleh pihak pemerintah cq Departemen Kehakiman. Istilah banyak dipergunakan dalam undang-undang tindak pidana khusus, misalnya Undang-undang Tentang Kesehatan.

3. Pengertian pengguguran Kandungan

Abortus provocatus24

Sangatlah aneh jika abortus yang disengaja dengan abortus yang spontan disetarakan. Padahal dua cara ini sangat berbeda, karena kematian alami merupakan akibat tidak terhindarkan dari proses-proses alami, sedangkan pembunuhan merupakan akibat kekerasan yang dipakai manusia. Demikian juga

adalah istilah latin yang secara resmi dipakai dalam kalangan kedokteran dan hukum, maksudnya adalah dengan sengaja mengakhiri kehidupan kandungan dalam rahim seseorang perempuan hamil (Pengguguran Kandungan). Karena itu abortus provocatus harus dibedakan dengan abortus spontaneus, dimana kandungan seorang perempuan hamil dengan spontan gugur, jadi perlu dibedakan antara ábortus yang disengaja dan abortus spontan. Dalam bahasa Indonesia, yang pertama kita sebut adalah Pengguguran kandungan. Sedangkan yang kedua dinamai keguguan. Tindakan pengguguran kandungan ini diatur pada Pasal 75, 76, 77 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentanh Kesehatan

24

K.Bertens,Aborsi Sebagai Masalah Etika,(Jakarta:PT.Gramedia Widiasarana Indonesia,2002), hal 1


(32)

pada abortus spontan adalah suatu kejadian alami dan karena itu tidak menimbulkan masalah etika, sedangkan abortus yang disengaja adalah akibat dari ulah manusia dan karena itu menimbulkan masalah etika yang benar. Kadang-kadang abortus spontan disebabkan oleh penyakit, sehingga setelah diobati memungkinkan lagi kehamilan baru. Tetapi, sering kali abortus spontan tidak mempunyai sebab yang jelas. Sebaliknya abortus yang di sengaja adalah pembunuhan terhadap makhluk insani yang dilakukan oleh manusia.25

Secara medis aborsi dimengerti sebagai penghentian kehamilan semana janin belum lahir, belum dapat hidup mandiri di luar rahim, artinya sampai kira-kira 24 minggu atau sampai awal. Tetapi dalam hal ini usia janin tidak merupakan kriteria palin menentukan karena yang tidak kalah penting adalah berat dan panjang janin. Dan yang lebih penting lagi adalah tersedia tidaknya teknologi modren seperti yang dipakai dalam Unit Rawat Intensif Neonatal. Dengan memakai teknologi canggih kini janin dapat diselamatkan beberapa minggu sebelum usia 24 minggu.26

Pengguguran kandungan adalah penghentian kandungan yang kurang masanya atau kurang kejadiannya, tidak ada perbedaan antara kehamilan anak perempuan atau laki-laki, baik pengguguran ini dilakukan dengan sengaja atau tidak.Sebab-sebab dilakukannya tindakan pengguguran kandungan ini sangat beragam, bisa saja si ibu meminum obat atau mengangkat bebat berat atau

25

Dadang Hawari,Op.cit, hal 62

26


(33)

mencium bau tidak sedap yang mengakibatkan gugurnya janin. Tetapi sebab yang paling penting adalah:27

1. Tujuan menggugurkan kandungan karena takut miskin atau penghasilan yang tidak memadai.

2. Tujuan menggugurkan kandungan karena ibu khawatir anak yang tengah disusuinya terhenti mendapatkan ASI

3. Takut janin tertular penyakit yang diderita ibu atau ayahnya

4. Kekhawatiran akan kelangsungan hidup ibu apabila kehamilan membahayakan kesehatannya

5. Niat menggugurkan janin pada kandungan kehamilan yang tidak disyariatkan akibat perzinahan

4. Teori Sebab-sebab Kejahatan28 A. Mazhab Antropologi

Lambroso berpendapat, bahwa kejahatan adalah bawaan sejak lahir. Namun pada suatu masa tertentu pandangan terhadap orang-orang buas, jahatbukanlah suatu pengecualian, tetapi suatu aturan hukum karena itu pula tidak ada yang memandangnya sebagai kejahatan dan perbuatan demikian disamakan dengan tindakan-tindakan yang sama sekali tidak dapat dicegah. Lambroso mencoba membuktikan rumus ini tanpa kritikan, dan sering dicari dari sumber

27

Abbas Syauman,Hukum Aborsi dalam Islam,(Jakarta:Cendekia Sentra Muslim,2004), hal 60

28


(34)

yang paling buruk, bahan-bahan untuk membuktikan, bahwa orang lelaki yangperadabannya penjahat dari sejak lahirnya (pencuri, suka memperkosa dan membunuh) dan kalau perempuan adalah pelacur.

Sebagai contoh: Pembunuhan anak (Pengguguran Kandungan atau pembunuhan terhadap anak yang baru lahir) banyak sekali terjadi dikalangan orang yang masih sederhana peradabannya (yang hidupnya masih menggembara) dan oleh mereka sendiri tidak dipandang sebagai perbuatan jahat. Keterangan mengapa mereka berbuat demikian adalah berhubungan dengan sulitnya penghidupan, yang memaksa mereka berbuat demikian, jika tidak berbuat demikian, seluruh kelompok akan musnah. Ini semua bukan karena kebengisan atau kurang cinta terhadap anaknya.

Berdasarkan pandangan ini, Lambroso mengadakan penyelidikan secara antropologi mengenai penjahat-penjahat yang terdapat di dalam rumah penjara dan terutama mengenai tengkoraknya. Kesimpulan dari penyelidikan tersebut adalah bahwa para penjahat dipandang dari sudut antropologi mempunyai tanda-tanda tertentu umpamanya pencuri isi tengkoraknya kurang dari pada yang lain, terdapt kelainan dari pada tengkoraknya. Juga dalam otaknya terdapat keganjilan yang seakan-akan memperingatkan pada otak hewan, biarpun tidak dapat ditunjukkan adanya kelainan-kelainan penjahat yang khusus. Roman mukanya juga lain dari pada orang biasa, seperti tulang rahang lebar, muka menceng, tulang dahi melengkung ke belakang, dan lain-lain.

Kesimpulannya adalah penjahat umumnya dipandang dari sudut antropologi merupakan suatu jenis manusia tersendiri, seperti halnya dengan


(35)

bangsa Negro yang dilahirkan sedemikan rupa tidak mempunyai predisposisi untuk kejahatan, tetapi suatu predistinansi, dan tidak ada pengaruh lingkungan yang dapat merubah bentuk rupa. Sifat sejak lahir ini juga dikenal dari adanya stigma-stigma lahir, jadi terdapat suatu Negro yang dapat dikenal, demikian juga halnya dengan penjahat.

Selama beberapa waktu Lambroso dengan penganut-penganutnya menyatakn bahwa penjahat adalah seorang penderita penyakit epilepsi. Winkler

dalam pernyataannya lebih berhati-hati dari pada Lmbroso dan tidak menyebutkan adanya type penjahat, tetapi menyatakan bahwa dengan tidak insyaf hakim memilih orang-orang yang dahinya sempit dan tulang rahangnya lebar, dikategorikan sebagai penjahat.

Bahwa ajaran Lambroso pada umumnya tidak dapat hasil yang baik, baik teorinya mengenai penjahat sejak lahir maupun type penjahat tidak dipertahankan

B. Mazhab Perancis atau Mazhab Lingkungan

Ketika Lambroso dengan penganutnya memajukan ajarannya tetang kejahatan yang bercorak antropologi pada tahun 70-an dari abad ke-19, sejak permulaan dunia kedokteran, Perancis sudah menentangnya.Tokoh yang terkemuka ialah A.Lacassagne (1843-1924) sesudah menolak hypotesa atavisme, ia merumuskan ajarannya mazhab lingkungan sebagai berikut: “Yang penting adalah keadaan sosial sekelilingnya kita. Keadaan sekeliling kita adalah suatu pembenihan untuk kejahatan.


(36)

C. Mazhab Bio-Sosiologi

Bila ditekankan pada perkataan : “tiap-tiap”, maka suatu kejahatan tertentu adalah hasil dari dua unsur tadi dan rumus tersebut berlaku untuk semua perbuatan manusia, jahat ataupun baik. Pada dasarnya manusia itu tidak ada yang sama, dalam hal apa saja. Sebelum memulai mengupas bagaimana pengertian rumus tersebut untuk ilmu kriminologi, maka perlu diterangkan lebih dahulu unsur individu itu pada saat sesuatu perbuatan dilakukan yaitu :

a. Keadaaan lingkungan individu dari lahir sampai saat dia melakukan perbuatan

b. Bakat yang terdapat dalam individu.

Sebagai contoh : dua orang yang betul-betul hidup dalam keadaan yang sama, dan mempunyai kesempatan yang lain untuk melakukan kejahatan, dan dua-duanya sama sekali tidak terhalang menurut rasa budi pekertinya.

Pada saat harus berbuat sesuatu yang satu berani bertindak, sedangkan yang lain takut dan tidak bertindak. Jadi apakah dapat dikatakan bahwa keberanian adalah sutu unsur kejahatan dan ketakutan adalah suatu unsur kebaikan,.

Dan sebaliknya yang satu demikian cerdiknya, dapat mengetahui kemungkinan yang terjadi lalu tidak berbuat; dan satu bodoh lalu berniat. Apakah juga dapat dikatakan bahwa kecerdikan adalah unsur kebaikan dan kebodohan adalah unsur kejahatan? Kedua hal ini sering terjadi ditengah tengah masyarakat


(37)

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa semua sifat dapat mendorong manusia untuk berbuat jahat ataupun mencegahnya.

Tentu saja seperti laki-laki lebih berbakat untuk berbuat jahat daripada seorang perempuan, sepertiorang yang kuat dan berani lebih berbakat untuk melakukan kejahatan dengan kekerasan daripada orang yang lemah dan penakut. Walaupun akhirnya pada tiap-tiap bakat dapat dicarikan macam kejahatan yang sesuai. Seorang atlit lebih sesuai untuk memukul orang, seorang yang pandai bicara lebih berbakat untuk menipu. Namun semua aktivitas yang memerlukan kekuatan badan, kemahiran berbicara, keberanian, kecepatan bergerak, ketangkasan, dan sebagainya tidaklah dapat dikatakan suatu pekerjaan yang jahat.

D. Mazhab Spiritualis

Dalam mazhab ini sebab timbulnya kejahatan dikaitkan dengan kepercayaan pada agama. Dengan kata lain bahwa tingkah laku manusia ini erat kaitannya dengan kepercayaan. Yang beragama akan bertingkah laku lebih baik dari pada orang-orang yang tidak beragama. Pendapat ini dikemukakan berdasarkan penelitian di penjara bahwa orang yang dipenjara kurang beragama, sebab kepercayaan kepada Tuhan kurang diyakini, secara pasif belum dapat merubah tingkah laku manusia.


(38)

E. Mazhab Mr. Paul29

Menurut Mr.Paul Muliono dalam pembahasan ajaran sebab musabab kejahatan, dapat digolongkan sebagai berikut :

1. Golongan salahmu sendiri

Adanya golongan yang berpendapat bahwa kejahatan adalah ekspresi (pernyataan) kemauan jahat dari diri si pertindak itu sendiri. Tegasnya adalah bila kau berbuat kejahatan, salahmua sendiri karena masyarakat dan pihak-pihak lain terlepas dari pertanggungjawaban atas timbulnya kejahatan-kejahatan. Bahwa kalau kita pelajari secara seksama tentang golongan ini, maka terdapatlah dua aliran:30

a. Aliran keagamaan yakni yang bersumberkan kepada kitab-kitab suci agamanya masing-masing yang berlandaskan pada ajaran keagamaan, maka setiap manusia dalam hidupnya diberi pedoman berupa perintah dan larangan, dan siapa yang mematuhi perintah dan larangan agama akan memperoleh pahala dari Tuhan dan sebaliknya yang melanggar akan berdosa.

b. Aliran seculirasi, antara lain :

b.1. hedonisme yang mengatakan bahwa kenikmatan (kesenangan) egoistis adalah tujuan terakhir manusia.

b.2. Rationalisme = suatu aliran yang berpendapat bahwa ratio manusia adalah sumber Ekspresi atau manifestasi daripada jiwa manusia.

29

B.Simanjuntak,Pengantar Kriminologi dan Pathologi,(Bandung:Tarsito,1977), hal 199

30


(39)

b.3. utilitarianisme ; dalam mencari kebahagiana terbesar menurut kegunaannya dalam memajukan kebaikan bersama. Moralitas diukur dari segi manfaatnya.

2. golongan tiada yang salah

Mengemukakan bahwa penyebab kejahatan ada beberapa faktor yaitu: Herediter biologis, kultural lingkungan, bakat + lingkungan, perasaan keagamaan

3. Golongan salah lingkungan

Aliran ini mengatakan timbulnya kejahatan akibat faktor lingkungan yang salah (tidak sehat)

4. Golongan kombinasi

Golongan ini menyatakan sebab-sebab timbulnya kejahatan karena adanya tiga kombinasi dalam diri yakni : Ide, Ego, SuperEgo

5. Golongan dialog

Golongan dialog mendasarkan diri pada filsafah eksistensi, sebab falsafah ini mendapatkan wujud manusia sebagai thema sentral.Wujud manusia secara konkrit senantiasa berhubungan dengan sesama antara manusia dengan Tuhan. Dia merealisir dirinya secara terus-menerus dalam suatu alam, mengadakan kontak dengan alamnya, dia mengadakan dialog.

Karena manusia berdialog dengan lingkungan, maka dia dipengaruhi lingkungan dan mempengaruhi lingkungan. Mempengaruhi lingkungan berarti memberi struktur pada lingkungan, manusia sedang dipengaruhi lingkungan manusiaterpengaruh oleh keadaan lingkungannya.Dengan demikian golongan


(40)

ini kalau kita perhatikan secara seksama, berarti bakat bersama lingkungan berdialog dengan individu. Dari aliran dialoglah yang paling relevan dengan filsafat pancasila. Sebab aliran dialog mengakui kebebasan dimana terlambangkan sila demokrasi dalam pancasila.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data primer, sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder. Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup31

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari: :

a. Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu pembukaan Undang-undang Dasar 1945

b. Peraturan dasar:

i. Batang tubuh Undang-undang 1945

ii. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat c. Peraturan Perundang-undangan:

i. Undang-undang dan peraturan yang setaraf ii. Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf iii. Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf iv. Keputusan Menteri dan peraturan yang setaraf v. Peraturan-peraturan Daerah

31

Soejono Soekanto,Penelitian Hukum Normatif,(Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada,2007) hal 12


(41)

d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat. e. Yurispudensi

f. Traktat

g. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku seperti, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (yang merupakan terjemahkan yang secara yuridis formal bersifat tidak resmi dari wetboek van strafrecht)

2. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.

3. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (disamping adanya penelitian hukum sosiologis atau empiris yang terutama meneliti data primer), maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau studi kepustakaan.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih jelas dan terarahnya penulisan skripsi ini ,maka akan dibahas dalam bentuk sistematika yaitu sebagai berikut:


(42)

BAB I PENDAHULUAN

Sejalan dengan judul skripsi ini, maka pada bab pendahuluan ini yang dasar diletakkan dalam bab pendahuluan ini adalah bertumpu pada bagian latar belakang, pendahuluan pengertian dan tujuan dan penelitian serta tinjauan dibicarakan adalah dasar-dasar pemikiran penulis serta gambaran umum tentang tujuan karya ilmiah ini. Berangkat dari sasaran yang ingin dicapai ini maka kepustakaan ini berarti bahwa tumpuan yang dimaksud diatas mempunyai pengaruh pula pada bagian-bagian dari bab lain. Singkatnya bab pendahuluan adalah berisikan pengertian dan latar belakang, permasalahan, keaslian penulis, tujuan penulisan, manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulis.

BAB II: KETENTUAN TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN

Pada bab ini yang nanti akan dibagi lagi menjadi sub bab yang pertama berjudul bagaimana ketentuan dalam Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan dan bagaimana ketentuan dalam kitab Undang-undang hukum pidana. BAB III: FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DILAKUKANNYA PENGGUGURAN KANDUNGAN

Pada bagian ini akan membahas mengenai beberapa faktor yang dapat mempengaruhi dilakukannya tindakan Pengguguran kandungan antara lain adalah kondisi usia yang masih muda atau masih sekolah, malu diketahui oleh orang tua dan keluarga dan masyarakat, pria yang menghamilinya tidak bertanggung jawab,


(43)

kondisi ekonomi yang tidak mencukupi, janin yang dikandung dari kasus perkosaan, dan dorongan dari keluarga.

BAB IV: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN

Pada bagian ini akan membahas bagaimana upaya preventif,bagaimana upaya represif ,bagaimana upaya rehabilitatif,dan bagaimana penerapan hukumannya. BAB V: PENUTUP

Pada akhirnya penulisan skripsi ini berisi kesimpulan mengenai bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan pemberian saran-saran dari penulis yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.


(44)

BAB II

KETENTUAN TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN

A. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan juga mengatur mengenai masalah pengguguran kandungan yang secara subtansi berbeda dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dalam Undang-undang tersebut tindakan pengguguran kandungan ini diatur dalam Pasal 75. Menurut Undang-undang inipengguguran kandungan dilarang dan dapat dilakukan apabila ada indikasi medis dan trauma pada korban perkosaan.

Pasal 75 :

1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi

2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan :

a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau

b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan

3) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehat pra tindakan dan diakhiri dengan


(45)

konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

Pasal 76 :

Aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 hanya dapat dilakukan:

a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis

b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh Mentri

c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 77 :

Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) dan (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab secara bertentangan dengan norma agama da ketentuan perundang-undangan

Pasal 194 :

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)


(46)

a) Unsur subjektif : dengan sengaja b) Unsur-unsur objektif : 1. Setiap orang

2.melakukan aborsi

3. aborsi dilakukan tidak sesuai ketentuan

Pada Pasal 75 diatas, yang dimaksud dengan konselor adalah setiap orang yang telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan. Dan yang dapat menjadi konselor adalah dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan untuk itu.

Pada Pasal 77 diatas, yang dimaksud dengan praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak profesional, tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang berlaku, diskriminatif, atau lebih mengutamakan imbalan materi dari pada indikasi medis.

Seperti yang kita ketahui Peraturan - peraturan hukum pidana Umum di Indonesia terwujud dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sedangkan peraturan – peraturan Hukum Pidana Khusus adanya tersebar dalam perbagai Undang – undang yang secara khusus dan tersendiri mengatur tentang delik – delik tertentu lebih mendalam daripada pengaturannya dalam KUHP yang bersifat umum. Selaras dengan adagium atau semboyan “Lex Specialis Derogat Lex Generali” (hukum yang khusus menyingkirkan hukum yang umum), maka untuk delik delik tertentu yang diatur dalam ketentuan khusus sepanjang telah


(47)

diatur oleh undang – undang tersendiri, KUHP tidak berlaku penerapannya terhadap delik – delik tertentu tersebut32

1. Tindakan pengguguran kandungan hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat sebagai cara untuk menyelamatkan ibunya, jadi tindakan penggugurankandungan yang dilakukan karena alasan lain jeals-jelas dilarang. Alasan lain ini misalnya bayi cacat, jenis kelaminnya tidak sesuai dengan yang diinginkan orang tuanya, kehamilan yang tidak dikehendaki (bisa termasuk perkosaan), incest, gagal KB dan lain sebagainya.

Di dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan terdapat beberapa hal yang bisa diuraikan yaitu sebagai berikut :

2. Yang sering disebut-sebut sebagai indikasi medis sebenarnya tidak secara langsung disebutkan di dalam Undang-undang itu, ada kemungkinan bahwa indikasi medis itu untuk menyelamatkan janin. Padahal hasil akhir pengguguran kandungan adalah kematian janin, bukan untuk menyelamatkan janin. Indikasi medis ini sangat terbatas yakni hanya boleh dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan nyawa ibu, tidak boleh menjadi alasan untuk menggugurkan kandungan, sebab ia tidak membahayakan nyawa ibu. 3. Indikasi medis itu tidak sama dengan indikasi kesehatan. Oleh karena itu

alasan demi kesehatan baik ibu maupun janin tidak boleh menjadi alasan untuk melakukan tindakan pengguguran kandungan. Misalnya ibu yang mengandung dan kesehatannya terganggu, tetapi gangguan itu tidak

32

Halim A. Ridwan, Hukum Pidana dalam tanya jawab,(Jakarta:Ghalia Indonesia,1986), hal 13


(48)

mengancam nyawanya, maka ini tidak boleh menjadi alasan untuk melakukan tindakan pengguguran kandungan

B. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Dalam pandangan hukum pidana di Indonesia, tindakan pengguguran kandungan tidak selalu merupakan perbuatan jahat atau merupakan tindak pidana, hanya aborsi provocatus criminalis saja yang dikategorikan sebagai suatu perbuatan tindak pidana, adapun pengguguran kandungan yang lainnya terutama bersifat spontan dan medikalis bukan merupakan suatu tindak pidana.

Pengguguran kandungan dalam keperluan untuk tindakan medis memang diperkenankan, tetapi tindakan medis tersebut tidak berarti bahwa kehidupan manusia yang satu dikorbankan kepada kehidupan manusia yang lain. Sebab hal itu tidak pernah diperbolehkan, jika terjadi diluar kemauan dari yang bersangkutan. Dalam indikasi medis, terdapat suatu dilematis, menurut pemikiran etika dalam situasi seperti itu sebaiknya berpegang pada prinsip the lesser evil

(dari dua hal yang jelek harus dipilih yang kurang jelek). Dan pada ibu maupun janin akan mati atau malah satu dari mereka akan mati, kita memilih bahwa ibu akan hidup, karena itu mau tidak mau janin harus digugurkan/aborsi.

Makna kejahatan dalam pengguguran kandungan sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang dianut dalam suatu masyarakat tertentu. Misalnya di beberapa Negara barat tindakan pengguguran kandungan sudah dianggap bukan merupakan perbuatan jahat, baik bersifat medikalis atau bukan. Misalnya di antara Negara-negara modren, hanya Canada yang mendekriminalisasi pengguguran


(49)

kandungansecara radikal, artinya larangan pengguguran kandungan dicoret begitu saja dari hukum pidana. Masyarakat memang memiliki penilaian tertentu dalam persoalan ini. Dalam banyak hal melarang pengguguran kandungan secara mutlak memang tidak memecahkan masalah, karena pada dasarnya masyarakat membutuhkan pengguguran kandungan. Menolak pengguguran kandungan adalah suatu yang sangat dilematis. Di Negara-negara yang sekarang sudah melegalisasi tindakan pengguguran kandungan, dulu juga demikian. Barang yang dibutuhkan tidak tersedia secara resmi akan mengakibatkan pasar gelap.33

1. Pasal 299 KUHP:

Di Indonesia tindakan pengguguran kandungan diatur dalam beberapa peraturan perUndang-undangan yang terpisah, misalnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menjelaskan bahwa segala macam tindakan pengguguran kandungan itu dilarang, dengan tanpa pengecualian, sebagaimana diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut :

1) Barang siapa yang dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh seorang wanita supaya diobati dengan memberitahu atau menerbitkan pengharapan bahwa oleh karena pengobatan itu dapat gugur kandungannya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya empat puluh lima ribu rupiah.

2) Kalau yang bersalah berbuat karena mencari keuntungan atau melakukan kejahatan itu sebagai mata pencaharian atau kebiasaan atau kalau ia seorang dokter, bidan atau juru obat, pidana dapat ditambah sepertiganya.

33

Mien Rukmini,Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi,(Bandung:PT.Alumni,2006) hal 24


(50)

3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya, maka dapat dicabut haknya melakukan pekerjaan itu.

Tindak pidana yang dimaksudkan dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 299 ayat(1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut:

c) Unsur subjektif : dengan sengaja d) Unsur-unsur objektif : 1. barang siapa

2.merawat

3.menyarankan untuk mendapat suatu perawatan 4.memberitahukan atau memberikan harapan

bahwa dengan perawatan tersebut,suatu kehamilan dapat terganggu.

5.seorang wanita

Sesuai yang dijelaskan didalam Memorie van Toelichting, yakni apabila didalam perumusan ketentuan pidana tersebut terdapat kata-kata dengan sengaja ,maka kata-kata tersebut meliputi semua unsur tindak pidana yang terdapat dibelakangnya ,unsur-unsur subjektif dengan sengaja dengan rumusan ketentuan pidan yang diatur dalam pasal 299 ayat 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana meliputi unsur-unsur objektif kedua samapai yang kelima.

Untuk menyatakan seorang terdakwa terbukti telah memenuhi unsur subjektif dengan sengaja tersebut,disidang dipengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara terdakwa yng didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 299 ayat(1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana,baik penuntut umun


(51)

maupun hakim harus dapat membuktikan tentang adanya kehendak,maksud atau niat terdakwa untuk:

a) Merawat

b) Menyarankan untuk mendapat suatu perawatan

c) Memberitahukan atau memberikan harapan bahwa dengan perawatan tersebut suatu kehamilan dapat terganggu.

Jika salah satu kehendak terdakwa maupun pengetahuan terdakwa ternyata tidak dapat dibuktikan,dengan sendirinya tidak ada alasan baik bagi penuntut umum maupun bagi hakim untuk menyatakan terdakwa terbukti telah memenuhi unsur dengan sengaja didalam rumusan ketentuan pidana yang diatur pada Pasal 299 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan hakim harus memberikan putusan bebas bagi terdakwa.

Untuk dapat menyatakan terdakwa terbukti telah memenuhi unsur dengan sngaja yang terdapat dalam rumusan ketentuan pidana yang diataur Pasal 299 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,dengan sendirinya hakim tidak perlu menggantungkan diri pada adanya pengakuan dari terdakwa,melainkan ia dapat menyimpulkannya dari kenyataan yang terungkap disidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara terdakwa,baik yang diperoleh dari keterangan para saksi maupun yang diperoleh dari keterangan terdakwa sendiri.

Unsur objektif pertama dari tindak pidana yang diatur Pasal 299 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana ialah unsur barang siapa.Kata barang siapa menunjukkan pada orang yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur yang terdapat didalam rumusan ketentuan pidana yng diatur Pasal 299 ayat


(52)

(1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana,maka ia dapat disebut pelaku dari tindak pidana yang dimaksudkan kedalam ketentaun pidana tersebut.

Unsur objektif kedua dari tindak pidana yang dimaksudkan didalam ketentuan pidana yang diatu Pasal 299 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum pidana ialah unsur merawat. Kata-kata merawat menmpunyai arti yang sangat luas, sehingga dapat dimaksudkan kedalam pengertian tindakan-tindakan seperti melakukan segala tindakan yang sifatnya operasioanal,perawatan dengan cara-cara yang sifatnya intern, bahwa perawatan yang dilakukan dengan cara-cara mwemberikan saran-saran atau nasihat-nasihat.

Unsur objektif ketiga dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur pasal 299 ayat (1) KUHP ialah unsur een behandeling doen ondergaan atau menyarankan untuk mendapat suatu perawatan.Menurut Prof.Simons34yakni sesuai dengan yang dijelaskan di dalam Memorie van Toelichting,perbuatan menyarankan untuk mendapat suatu perawatan menyangkut perbuatan dari seorang aborteur,yang tidak merawat sendiri seorang wanita,melainkan yang telah membuat orang lain merawat wanita tersebut.

Unsur objektif keempat dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur Pasal 299 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana ialah unsur memberitahukan atau memberikan harapan bahwa dengan perawatan tersebut,suatu kehamilan dapat menjadi terganggu.

33

Lamintang & Theo Lamintang,Delik-delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan,(Jakarta:Sinar Grafika),hal 225


(53)

Unsur objektif kelima dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur Pasal 299 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana ialah unsur seorang wanita.

Perlu diketahui bahwa undang-undang hanya mensyaratkan bahwa wanita tersebut harus merupakan seorang wanita yang hamil.Bahkan di dalam memori penjelasannya,Menteri telah menegaskan bahwa tidaklah perlu suatu kehamilan itu harus menjadi terganggu karena perawatan yang bersangkutan,bahkan juga tidak disyaratkan bahwa kehamilan itu harus benar-benar ada.

2. Pasal 346 KUHP :

Wanita yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya atau menyuruh orang lain menyebabkan itu, dipidana penjara selama-lamanya empat tahun.

Unsur-unsur dalam pasal ini yaitu: Unsur obyektif:

1. Petindak: seorang wanita, 2. Perbuatan:

a. Menggugurkan b. Mematikan

c. Menyuruh orang lain menggugurkan; dan d. Menyuruh orang lain mematikan;

3. Obyek: kandungannya sendiri; Unsur subyektif: dengan sengaja


(54)

Pengguguran dan pembunuhan kandungan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 346 KUHP dilakukan oleh seorang perempuan, terhadap kandungannya sendiri. Tidak disyaratkan bahwa kandungan tersebut sudah berwujud sebagai bayi sempurna dan belum ada proses kelahiran maupun kelahiran bayi, sebagaimana pada pasal 341 dan 342 KUHP. Berlainan dengan kejahatan dalam pasal 341 dan 342 KUHP, karena kandungan sudah berwujud sebagai bayi lengkap, bahkan perbuatan yang dilakukan dalam kejahatan itu adalah pada waktu bayi sedang dilahirkan atau tidak lama setelah dilahirkan maka dikatakan bahwa pelakunya haruslah ibunya.

perbuatan menggugurkan kandungan adalah melakukan perbuatan yang bagaimana pun wujud dan caranya terhadap kandungan seorang perempuan yang menimbulkan akibat lahirnya bayi atau janin dari rahim perempuan sebelum waktunya dilahirkan menurut alam. Lahirnya bayi atau janin sebelum waktunya inilah yang menjadi maksud si pelaku. Kelahiran bayi atau janin sebelum waktunya menurut alam akibat dari perbuatan menggugurkan kandungan, apakah harus dalam keadaan hidup atau mati tidak penting. Hal yang penting dalam perbuatan ini adalah bayi atau janin harus keluar dari rahim dan keluarnya karena paksaan oleh perbuatan, artinya lahir sebelum waktunya menurut alam.

Unsur “menyuruh orang lain untuk menggugurkan atau mematikan” kandungan, dalam konteks Pasal 346, istilah menyuruh mempunyai makna yang tidak sama dengan istilah menyuruh lakukan (doen plegen) dalam Pasal 55 (1). Istilah menyuruh dalam Pasal 346 KUHP mempunyai makna yang bersifat harafiah. Artinya istilah tersebut harus dimaknai dalam pengertian secara harafiah


(55)

bukan pengertian dalam konteks Pasal 55 KUHP. Namun demikian, oleh karena pengertian menyuruh dalam Pasal 346 sangatlah luas, maka sangatlah mungkin pengertiannya juga meliputi pengertian pada Pasal 55. Pengertian menyuruh lakukan dalam konteks Pasal 55 (1) menurut Memorie van Toelichting (MvT) disyaratkan bahwa orang yang disuruh (manus manistra) merupakan subyek tak berkehendak atau pelakunya tidak dapat dipidana, karena tidak tahu, tunduk pada kekerasan dan karena tersesatkan. Sedangkan pada konteks Pasal 346 melakukan dapat dijatuhi pidana. Pengertian menyuruh lakukan dalam Pasal 346 adalah baik sebagai menyuruh dalam arti harafiah pelakunya adalah subyek tak berkehendak, atau dalam arti menganjurkan dalam pengertian Pasal 55 ayat (1) sub 2. Dalam Pasal 346, istilah menyuruh (menggugurkan atau mematikan) adalah berupa unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dari suatu tindak pidana. Sedangkan menyuruh lakukan pada Pasal 55 ayat (1) adalah berupa suatu perbuatan dalam suatu perbuatan adlam penyertaan melakukan tindak pidana, bukan unsur perbuatan dari suatu tindak pidana.

Unsur kesalahan dalam Pasal 346 ialah dengan sengaja yang mendahului semua unsur lainnya. Kesengajaan harus ditunjukkan pada unsur-unsur perbuatan menggugurkan atau mematikan atau menyuruh orang lain melakukan perbuatan tersebut pada obyek kandungannya sendiri. Artinya bahwa perempuan itu menghendaki dan mengetahui bahwa akibat dari perbuatannya sendiri dan perbuatan orang lain tersebut dapat menggugurkan dan mematikan kandungannya. Kesengajaan harus diartikan dalam arti luas yaitu kesengajaan sebagai tujuan, sebagai kepastian, sebagai kemungkinan. Unsur kesengajaan Pasal 346 haruslah


(56)

ditujukan pada keempat perbuatan itu (menggugurkan, mematikan, menyuruh menggugurkan dan menyuruh mematikan kandungan), meskipun keempat perbuatan itu bersifat tersirat alternatif, namun terhadap perbuatan mana kesengajaan tersebut ditujukan haruslah jelas, berkaitan dengan perbuatan.

3. Pasal 347 KUHP :

1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang wanita tidak dengan izin wanita itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.

2) Jika perbuatan itu berakibat wanita itu mati, ia dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun

Unsur-unsur dalam pasal ini adalah: Unsur obyektif:

1. Perbuatan:

a. menggugurkan, b. mematikan

2. Obyek: kandungan seorang perempuan; 3. Tanpa persetujuan perempuan itu Unsur subyektif: dengan sengaja

Perbedaan kejahatan dalam pasal 346 KUHP dengan kejahatan dalam pasal 347 KUHP adalah dalam pasal 346 KUHP terdapat perbuatan menyuruh (orang lain) menggugurkan dan menyuruh (orang lain) mematikan, yang tidak ada dalam pasal 347. Pada pasal 347 ada unsur tanpa persetujuannya (perempuan yang


(57)

mengandung). Petindak dalam pasal 346 adalah perempuan yang mengandung, sedang petindak dalam pasal 347 adalah orang lain (bukan perempuan yang mengandung.

tanpa persetujuannya, artinya perempuan itu tidak menghendaki akibat gugurnya atau matinya kandungan itu, dan tidak selalu tidak setuju dengan wujud perbuatannya. Bisa terjadi bahwa terhadap perbuatan yang dilakukan orang lain itu disetujuinya, akan tetapi ia tidak tahu bahwa akibat dari perbuatan tersebut menyebabkan gugurnya atau matinya kandungan yang tidak dikehendakinya. Tanpa persetujuan ini dapat terjadi dalam beberapa kemungkinan. Mungkin terjadi karena perempuan tersebut tidak mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan orang lain itu dimaksudkan untuk menggugurkan atau mematikan kandungan juga bisa terjadi bahwa si perempuan mengetahui bahwa perbuatan tersebut bisa mengakibatkan gugurnya atau matinya kandungan tetapi ia tidak berdaya karena misalnya diancam atau dipaksa dengan kekerasan. Dari kedua contoh di atas, perempuan tersebut tidak dapat dipidana.

Dalam hal ini abortus yang dituju ialah kandungan yang ada dalam tubuh seorang wanita. Apabila yang menjadi sasaran adalah tubuh seorang wanita hamil bukan kandungannya, maka seseorang yang melakukan kejahatan melukai berat dan dapat mengakibatkan gugurnya kandungan juga, dapat dikenai Pasal 354, berhubungan dengan konteks Pasal 90 KUHP yang memasukkan “menggugurkan kandungan” atau membunuh kandungan dalam konteks luka berat.


(58)

4. Pasal 348 KUHP :

1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gagal atau mati kandungan seorang wanita dengan izin wanita itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan

2) Jika perbuatan itu berakhir wanita itu mati, ia dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun

Unsur-unsur dalam pasal ini adalah: Unsur obyektif:

1) Perbuatan: a) menggugurkan, b) mematikan

2) Obyek: kandungan seorang perempuan; 3) Dengan persetujuan perempuan itu Unsur subyektif: dengan sengaja

Perbedaan mendasar antara kejahatan dalam pasal 347 KUHP dengan kejahatan dalam pasal 348 KUHP adalah dalam pasal 347, pengguguran dan pembunuhan kandungan dilakukan tanpa persetujuan perempuan yang mengandung sedangkan pasal 348 dilakukan atas persetujuan perempuan yang mengandung.

Persetujuan artinya dikehendaki bersama orang lain, disini ada 2 orang atau lebih yang mempunyai kehendak sama untuk menggugurkan atau mematikan kandungan. Syarat persetujuan adalah adanya dua pihak yang berkehendak sama. Faktor yang paling penting adalah pada saat sebelum atau pada saat memulai


(59)

perbuatan tersebut, gugurnya atau matinya kandungan sama-sama dikehendaki oleh perempuan (korban) dan pelaku.

Dalam hal ini yang harus dibuktikan adalah, apakah gugurnya atau matinya kandungan perempuan itu dikehendaki oleh wanita yang mengandung atau tidak. Kedudukan wanita terbatas pada kesediaannya atau tidak untuk digugurkan kandungannya. Jadi wanita tersebut hanya menyetujui persetujuan sesuai konteks Pasal 348 identik kata menyuruh Pasal 346. Wanita dalam hal ini dapat berperan baik secara aktif sebagai penyuruh dalam konteks Pasal 346, juga secara pasif yaitu hanya sebagai korban yang menyetujui.

Ancaman hukuman pidana maksimal lima tahun enam bulan dan tujuh tahun penjara apabila terjadi kematian. Dalam hal ini baik wanita (korban) maupun si pelaku materiil dapat diancam dengan hukuman pidana penjara. Wanita bersalah melakukan tindak pidana kejahatan Pasal 346 sedangkan orang lain (pelaku) melanggar Pasal 348.

5. Pasal 349 KUHP :

1) Bila dokter, bidan, atau juru obat membantu kejahatan tersebut dalam pasal 346, atau bersalah melakukan atau membantu salh satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347, dan pasal 348 maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat dicabut haknya melakukan [ekerjaan yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan itu.

Unsur-unsur dalam pasal ini adalah:


(60)

1. Melakukan

2. Membantu melakukan.

Perbuatan melakukan adalah berupa perbuatan melaksanakan dari kejahatan itu, yang artinya dialah (dokter, bidan atau juru obat) sebagai pelaku baik sebagai petindaknya maupun sebagai pelaku pelaksananya (plegen). Sebagai petindak, apabila ia melaksanakan kejahatan itu sendiri, tanpa ada orang lain yang ikut terlibat dalam kejahatan itu. Sebagai pelaku pelaksananya apabila dalam melaksanakan kejahatan itu dapat terlibat orang lain selain dirinya. Membantu melaksanakan adalah berupa perbuatan yang wujud dan sifatnya sebagai perbuatan yang mempermudah atau melancarkan pelaksanaan kejahatan itu.

Perbuatan melakukan berupa perbuatan melaksanakan kejahatan itu, artinya dia sebagai pelaku baik sebagai pelaku atau yang melakukan maupun sebagai pelaku pembantu. Sebagai pelaku yang melakukan apabila dia sendiri yang melakukan kejahatan itu tanpa ada orang lain yang terlibat, sedangkan pelaku pembantu adalah apabila dalam melaksanakan kejahatan itu terlibat orang lain selain dia sendiri.

Membantu melaksanakan adalah berupa perbuatan yang wujud dan sifatnya sebagai perbuatan yang mempermudah atau melancarkan pelaksanaan kejahatan itu. Kesengajaan pelaku dengan orang yang membantu tidak sama. Pelaku ditujukan untuk terlaksananya kejahatan, pembantu hanya ditujukan untuk mempermudah atau memperlancar terlaksananya kejahatan.

Pengertian membantu dalam Pasal 349 meskipun sama dengan Pasal 56 tetapi ancaman hukuman berbeda. Pada Pasal 349 ancaman hukuman pidana dapat


(1)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Tindakan Pengguguran Kandungan diatur dalam ketentuan khusus yaitu pada Udang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dalam Pasal 75, 76 dan 77. Dan ketentuan umum pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 299, 346, 347, 348, 349.Akan tetapi,Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan ini tidak sejalan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan segala macam tindakan pengguguran kandungan itu dilarang. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan tindakan pengguguran kandungan bisa dilakukan dengan alasan medis. Padahal kedua-duanya masih berlaku di Indonesia. 2. Pada kenyataannya tidaklah mungkin seorang ibu mau menggugurkan anak

yang ada dalam rahimnya sendiri, namun ada beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dilakukannyatindakan pengguguran kandungan diantaranyafaktor karena malu, demi menjaga nama baik keluarga, faktor lingkungan dimana korban dicemooh atau dijauhi oleh masyarakat, minimnya pengetahuan agama si pelaku, faktor ekonomi yang tidak memadai untuk melahirkan bayi lagi, dan faktor medis yang diakui sebagai keselamatan bagi si ibu.

3. Pengguguran Kandungan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana atau kejahatan. Sehingga dilakukanlah upaya-upaya yang dapat dilakukan sebagai


(2)

tindakan penanggulangan tindak pidana pengguguran kandungantersebut yaitu dengan Upaya Preventif dimana memberikan kesadaraan yang cukup kepada masyarakat tentang Hak-hak anak, Upaya Represif kegiatan yang ditujukan dalam melakukan Penyidikan dan Penyelidikan terhadap suatu kasus untuk diajukan kepada Penuntut Umum sehingga sampai kepada proses persidangan dipengadilan, Upaya Rehabilitatif dimana memberikan penjelasan tentang hak-hak seorang anak yang merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, dan untuk penerapan hukumannya para Penegak Hukum haruslah benar-benar mempertimbangkan berbagai faktor termasuk tujuannya yaitu untuk tercapainya rasa kepastiaan hukum dan keadilan

B. Saran

Untuk mencegah maraknya Pengguguran Kandungan yang dilakukan oleh Medis maupun Non-Medis, maka enam butir solusi berikut :

1. Pendidikan, Seks, dan Agama sejak dini diberikan agar kelak bisa memasuki masa remaja atau dewasa muda memiliki pengetahuan bahwa perilaku seks bebas dilarang oleh agama.

2. Bila terjadi juga “Kecelakaan” (Kehamilan Luar Nikah), sebaiknya remaja yang bersangkutan dinikahkan bila tidak mungkin kehamilan dapat diteruskan hingga melahirkan normal dan bayi dapat dirawat sendiri ataupun dirawat orang lain.

3. Orang tua dirumah (Ayah dan Ibu), Orang tua di sekolah (Bapak dan Ibu Guru) serta Orang Tua di masyarakat (Ulama, Tokoh masyarakat, Pejabat,


(3)

Aparat, dan Pengusaha) hendaknya menciptakan tatanan kehidupan bermasyarakat yang religius dan tidak memberikan peluang berupa sarana dan prasarana untuk dapat menjurus kebentuk pergaulan bebas.

4. Diperlukan penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada para remaja tentang dampak buruk pengguguran kandungan akibat pergaulan bebas dari sudut pandang Biologis, Psikologis, Sosial dan Spiritual (Agama).

5. Kepada mereka yang melakukan tindakan pengguguran kandungan dikenakan sanksi hukum yang berat sesuai dengan hukum dan perUndang-undangan yang berlaku.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abbas Syauman,Hukum Aborsi dalam Islam,Jakarta:Cendekia Sentra Muslim,2004

Adhami Chazawi, Pelajaran hukum Pidana, Jakarta:Raja Grafindo,2002

A. Fuad Usfa dan Tongat,Pengantar Hukum Pidana,Malang:Universitas Muhammadiyah Malang Press,2004

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,1966

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Pencegahan dan

Pengembangan Hukum Pidana,Bandung:PT.Citra Aditya Bakti, 1998

B.Simanjuntak,Pengantar Kriminologi dan Pathologi,Bandung:Tarsito,1977 Dadang Hawari, Aborsi Dimensi Psikoreligi,Jakarta:Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia,2006

Daryatno SS, Kamus Bahasa Indonesia Modren,Surabaya: Apollo,1994 Ediwarman,Selayang Pandang Tentang Kriminologi,Medan:USU Press,1994 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika,2005

Halim A. Ridwan, Hukum Pidana dalam tanya jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta,1986

J.Iwan,Seks Before Married,Depok:Gema Industri,2007

J.C.T. Simorangkir,dkk, Kamus Hukum,Jakarta: Sinar Grafika,2004

K.Bertens,Aborsi Sebagai Masalah Etika,Jakarta:PT.Gramedia Widiasarana Indonesia,2002

Kusmaryanto, Kontroversi Aborsi,Jakarta:PT.Grasindo,2002

Lamintang & Theo Lamintang,Delik-delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan,Jakarta:Sinar Grafika


(5)

Mien Rukmini,Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi,Bandung:PT.Alumni,2006 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana,Jakarta: Rineka Cipta,2008

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana,Medan:USU Press,2010 Ridwan,Azas-azas Kriminologi,Medan:USU Press,1994

Romli Atmasasmita, Kriminologi,Bandung:Mandar Maju,1997

Romli Atmasasmita,Teori& Kapita Selekta Kriminologi,Bandung:PT.Refika Aditama,2007

R.Abdussalam,Kriminologi,Jakarta:Restu Agung,2007

R.Soesilo, Kriminologi Pengetahuan tentang Sebab-sebab Kejahatan, Bogor:Politea,2001

Soejono Soekanto,Penelitian Hukum Normatif,Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada,2007

Soedjono D,Doktrin-doktrin Kriminologi,Bandung:Alumni Bandung,1973 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum,Bandung: Bina cipta,1983

SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana,Jakarta: Storia Grafika, 2002

Sudarto, Hukum Pidana I,Semarang:Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum UNDIP , 1990

Surbakti,Kenali Anak Remaja Anda,Jakarta:Gramedia,2009

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,2011

Wirjono Prodjodikoro,Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia,Bandung:PT. Eresco, 1986

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Kamus Besar Bahasa Indonesia


(6)

C. Website

dalam.html, diposkan pada tanggal 29 Maret 2013