KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA
Menilik Esai 15 Finalis
Panitia dan dewan juri telah menerima 683 naskah esai untuk dinilai kualitas dan kesinambungannya dengan tema yang ditetapkan. Banyak esai mengambil tema tentang praktik-praktik kebudayaan yang berkembang di masyarakat pesisir. Sayangnya, praktik kebudayaan yang digali hampir seragam, yaitu praktik sedekah laut atau syukuran petik laut, dengan alih bahasanya yang cukup beragam. Sebagian pelajar ada pula yang mengangkat inovasi dalam arti pengembangan teknologi terap guna untuk mendukung pengelolaan sumber daya pada sektor perikanan laut, tambak, dan lainnya. Sebagian lagi ada yang mengangkat kebijakan pengembangan kawasan pesisir yang dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat nelayan yang selama ini dianggap miskin. Sayangnya, sedikit sekali esai yang berbicara tentang jaringan atau konektivitas antar-wilayah yang terhubung oleh pelayaran laut, terlebih mengangkat sebuah pengalaman dari para pelaut ulung. Padahal tema ini cukup strategis jika diangkat untuk kepentingan dalam konteks nasional.
Secara substansial, jika mencermati dari awal proses sampai akhir kegiatan lomba, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa para pelajar sebenarnya masih mengalami kesulitan dalam memetakan berbagai fenomena kebudayaan beserta inovasinya pada lima wilayah geohistoris di atas. Hal ini menjadi penunjuk bahwa pem - belajaran geografi di sekolah masih kurang didukung oleh pem- berian informasi tentang aspek-aspek kebudayaan, baik material ataupun non-material. Kebudayaan sering kali hanya diartikan sebagai seni tradisional dalam bentuk pertunjukan, seperti tari tradisional, wayang, drama, lenong, dan sebagainya. Padahal, kebudayaan dapat dimaknai jauh lebih dari itu, baik bersifat nyata
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
ataupun abstrak. Di dalamnya mencakup sistem nilai, sistem budaya, pandangan hidup, pandangan dunia, kepercayaan, praktik seni, perilaku rutin, pengetahuan, teknologi, bahasa, dan berbagai aspek lain yang menjadi pemerian dari tujuh aspek kebudayaan sebagaimana yang dinyatakan oleh Koentjaraningrat (1987).
Tidak hanya itu, secara substansial, para pelajar ini belum berani “memodifikasi” atau merefleksikan data temuannya, sehingga esai terkesan masih bersifat data mentah. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan para pelajar untuk bercerita, menarasikan atau “membunyikan data” masih belum terolah dengan baik. Sistem pembelajaran di sekolah yang kurang memaksimalkan pengembangan daya kreasi para pelajar dalam menulis sepertinya menjadi titik pangkalnya. Kenyataan tersebut semakin diperkuat dengan meningkatnya potensi penjiplakan dari ratusan esai yang masuk. Perbandingannya cukup signifikan, yaitu dari 20 esai yang masuk, maka 1 esai berpotensi plagiasi. Jika perbandingan ini mendekati kebenaran, maka dunia pendidikan Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang cukup serius, yaitu menyadarkan para pelajar dan termasuk para gurunya untuk tidak bermain- main dalam praktik yang melanggar etika akademik. Berdasarkan prinsip-prinsip kehati-hatian itu, maka dewan juri akhirnya memilih
15 finalis esai yang dianggap “bersih” dari unsur plagiasi, dan secara substansial masuk dalam tema yang ditetapkan. Dari 15 esai terpilih itu, jika menggunakan kerangka pemikiran Frank Broeze, maka ada tiga klasifikasi isu yang muncul, yaitu; (i) dimensi internal dan eksternal dunia kemaritiman; (ii) konektivitas atau hubungan antar-wilayah; dan (iii) pola kekuasaan dan kelompok elite di masyarakat. Walaupun pada setiap klasifikasi isu itu tidak berimbang jumlah esainya, namun setidaknya masing- masing isu telah ada yang mewakilinya. Isu pertama, terkait pada dimensi internal dan eksternal dunia kemaritiman. Isu ini memiliki cakupan yang sangat luas, baik berhubungan dengan isu pengembangan dan pengelolaan sumber daya alam, ataupun isu-
Menjejak Kejayaan, Mendedah Keunggulan Inovasi Budaya Maritim
isu terkait pada daya dukung dan sumber daya manusianya. Pada isu pertama, ada sembilan buah esai yang masuk dalam kategori ini. Tiga di antaranya masuk sebagai Juara 1, Juara Harapan 1 dan Juara 3. Esai juara pertama, “Simantri Pulihkan Penggarap Kristal Gurih Kusamba dalam Warna Tri Hita Karana”, yang ditulis oleh Ni Kadek Sri Jayanti dari Bali, memberikan gambaran yang cukup baik tentang pengembangan dunia maritim sesungguhnya tidak an sich berkisar pada ranah di atas lautan, tetapi juga di pinggir lautan. Jayanti secara jeli melihat bahwa produksi garam memiliki pengaruh kuat terhadap persoalan pengembangan kawasan maritim, khususnya pada peningkatan ekonomi masyarakat nelayan dan para peladang garamnya. Terlebih ketika produksi garam itu telah didasarkan pada prinsip-prinsip kosmologis-teologis yang menyatu dalam praktik kebudayaan masyarakat pelaku. Hasilnya, bukan hanya menguntungkan manusia pelakunya, tetapi juga kelompok masyarakatnya, dan juga termasuk lingkungan di mana produksi itu dihasilkan. Segitiga kepentingan yang didasarkan pada landasan teologis itu kemudian dikemas dalam pengelolaan sumber daya yang baik dalam bentuk paguyuban-paguyuban pembuat garam.
Tulisan esai kedua yang mirip dengan juara pertama, karena didasarkan pada persoalan pengembangan sumber daya laut, yaitu esai berjudul “Pertanian di Sektor Kelautan sebagai Strategi Ketahanan Pangan Tanpa Lahan”. Dalam karyanya, Elviga Arselatifa telah berusaha menawarkan ide cerdasnya tentang penggunaan lautan sebagai lahan penanaman tumbuhan pangan. Dari sisi substansi, tulisan ini menarik. Pada awalnya dewan juri membayangkan bahwa tulisan tersebut akan menawarkan satu varietas padi unggulan yang bisa ditanam di atas air laut, sebagai hasil perkawinan silang antara padi dengan tumbuhan laut. Bayangan itu pudar karena penulis hanya menyodorkan ide laut sebagai lahan penanaman tumbuhan dengan tetap bertumpu pada suatu media buatan yang cukup mahal dan dapat mengundang konflik internal di masyarakat di kemudian hari.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Jika tulisan esai juara pertama mengungkap bentuk paguyuban Simantri pada para pembuat garam, maka ada pula penulis yang berusaha menerapkannya pada masyarakat nelayan. Ada asumsi kuat bahwa pengembangan kawasan maritim, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari persatuan kelompok nelayan sendiri. Bagi Kadek Yuni Antari, pengelolaan yang benar tentang kebersamaan dan kerja sama dalam aktivitas dan hasil kelautan menjadi titik tolak yang mampu menyejahterakan kehidupan masyarakat nelayan. Kemiskinan nelayan di masa lalu lebih disebabkan oleh tata kelola yang buruk, dan tidak menyesuaikan diri dengan tantangan dan konteks kekinian. Upaya menarasikan persoalan ini kemudian ditulis oleh Yuni Antari dengan esai berjudul “Revitalisasi Budaya Maritim: Bercermin dari Sekaa Nelayan Mina Bhakti Soansari”. Penulisnya dinobatkan sebagai Juara Harapan 3.
Selain mengungkap potensi, beberapa esai memerikan persoalan yang dihadapi masyarakat nelayan. Pada umumnya nelayan Indonesia sering menghadapi tiga masalah besar, yaitu (i) keterbatasan pendidikan, (ii) rendahnya kualitas hidup karena berada di wilayah kumuh, dan (iii) terjeratnya mereka pada kemiskinan. Pada aspek pendidikan, banyak anak nelayan putus sekolah, bukan hanya sebagai akibat kemiskinan orang tuanya, tetapi kebiasaan yang berkembang di dalam masyarakat yang membuat mereka malas untuk bersekolah. Sering kali anak-anak usia sekolah dilibatkan dalam penangkapan ikan, pembersihan perahu dan pelabuhan, perbaikan alat tangkap, dan sebagainya. Setiap pelibatan itu, mereka sering mendapatkan upah yang cukup banyak dalam kacamata seorang anak, baik berupa uang tunai ataupun pembagian hasil ikan (sistem alang-alang ataupun nyait ). Kompensasi uang inilah yang membuat anak-anak terlalu asyik untuk bekerja, dan lebih memilih meninggalkan bangku sekolah. Terlebih ketika pilihan ini mendapatkan dukungan dari orang tua mereka, baik didasarkan karena keterbatasan ekonomi ataupun kelumrahan yang berkembang di masyarakat. Padahal,
Menjejak Kejayaan, Mendedah Keunggulan Inovasi Budaya Maritim
pendidikan merupakan syarat dari peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Demikian pula pendidikan merupakan faktor utama keberhasilan dari implementasi pembangunan poros maritim. Kesimpulan seperti ini setidaknya disampaikan oleh Ledy Fitra Ramadhani dalam esainya yang berjudul “Pendidikan sebagai Tonggak Poros Maritim Nusantara”. Melalui esai yang cukup berbeda inilah, ia dinobatkan sebagai Juara Harapan 1.
Masalah kedua yang sering dihadapi masyarakat nelayan adalah permukiman kumuh akibat keterbatasan ekonomi ataupun akibat pola hidup yang buruk seperti membuang sampah sembarangan. Keterbatasan ekonomi tentu menyebabkan tata permukiman dan bangunan rumah bersifat ala kadarnya. Selain itu, membuang sampah sembarangan juga menyebabkan lingkungan menjadi kumuh. Banyak sungai atau selokan kecil yang berhulu ke laut dipadati oleh tumpukan sampah. Bahkan, di halaman rumah para nelayan sering kali terlihat tumpukan sampah. Bau tidak sedap dan lalat yang beterbangan sering kali menjadi pemandangan sehari- hari. Penyakit gatal-gatal paling sering dijumpai pada anak-anak dan orang dewasa di perkampungan nelayan. Berdasarkan pola perilaku membuang sampah sembarangan seperti inilah, Ahmad Irianto mengusulkan ide tentang pencegahan atau penanggulangan sampah di lingkungannya. Menurutnya, melalui penyediaan kawat berlapis yang melindungi sungai dari sampah yang terbuang, maka setidaknya wilayah laut tidak akan tercemari oleh sampah. Selain itu, ia mengganggap bahwa penyediaan infrastruktur kawat itu hanya penunjang, lebih dari itu Irianto mengusulkan agar hukum adat dapat diterapkan untuk menanggulangi sampah di wilayah lautnya. Pemanfaatan hukum adat untuk kepentingan lingkungan sebenarnya menjadi menarik. Sayangnya tulisan “Penanggulangan Sampah di Wilayah Laut Tobati: Kaitannya dengan Hukum Adat Mendo Khor Nanat di Jayapura” ini kurang mengupas secara rinci bagaimana pemanfaatan hukum adat bagi pemeliharaan wilayah lautnya.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Sementara masalah ketiga yang dihadapi masyarakat nelayan, yaitu kemiskinan, hampir dinyatakan tidak ada penulis yang benar- benar menggalinya. Tulisan “Berae: Pola Relasi Produksi dan Distribusi Masyarakat Pesisir Belitung” dari Yonky Rizki Munandar yang pada awalnya diduga melihat kemiskinan dari pengaruh relasi ini, kenyataannya tidak. Yonky terjebak pada perspektif positif tentang berae, dan tidak berusaha mencari titik lemah yang mem- bawa kerugian bagi nelayan. Apapun relasi sosial ekonomi yang terhubung dengan menggunakan sistem atau cara “menjerat klien” sesungguhnya berpotensi menciptakan kemiskinan (Humaedi, 2011). Hal ini tidak dilihat oleh Yonky, kecuali ia lebih melihat aspek pasca-relasi itu terbangun. Misalnya, bagaimana hasil ikan kemudian diolah menjadi bahan makanan, dan selanjutnya dijual, dan seterusnya. Padahal tulisan ini sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk mengungkap masalah kemiskinan dari relasi sosial ekonomi secara baik.
Selain soal kemiskinan, ada dimensi-dimensi internal dan eksternal lain yang terkait pada isu kemaritiman, yaitu sejarah dan silang budaya di antara berbagai komunitas yang ada. Dari
15 esai finalis, setidaknya ada tiga esai yang berada pada isu ini. Pertama, tulisan Pradita Widyaningrum dengan judul “Jejak Budaya Maritim di Pura Pakualaman: Ajaran Etik melalui Tradisi Iluminasi Naskah Kuno”. Tulisan ini berusaha mengungkap bahwa jejak-jejak tentang dunia maritim pun ikut direkam oleh pihak penguasa yang dilahirkan dan dibesarkan dalam sudut pandang dunia agraris. Artinya, hubungan antara wilayah pedalaman dan pesisir sebenarnya telah terjadi jauh sebelum teori Frank Broeze dinyatakan. Terlebih ketika rekaman itu sudah dipahatkan dalam bentuk artefak kebudayaan, berupa pura. Hal ini menunjukkan adanya “pengalaman yang berkesan” dari peristiwa sebelumnya. Kedua , “Kelenturan Budaya Maritim Nusantara dalam Tinjauan Sejarah dan Aktualisasinya di Abad XXI”, yang ditulis oleh Rifai Nuruddin, semakin mendukung dan menguatkan kesimpulan
Menjejak Kejayaan, Mendedah Keunggulan Inovasi Budaya Maritim
yang disampaikan oleh Pradita Widyaningrum di atas. Tulisan ini menggambarkan adanya silang atau pertemuan berbagai budaya, di mana kebudayaan asli tidak lagi menunjukkan bentuknya, karena semua unsur kebudayaan itu membentuk kebudayaan baru yang dipraktikkan masyarakatnya. Kelenturan yang dimaksud Rifai ini barangkali lebih dekat dengan istilah hibriditas. Sayangnya, tulisan ini belum secara kuat menampilkan data temuan sendiri dan merefleksikannya dalam bentuk inovasi budaya maritim kekinian. Ketiga , tulisan Dwi Suyoko tentang “Memayu Hayuning Samudra: Kearifan Lokal untuk Kejayaan Global”. Tulisan ini benar-benar mengangkat dimensi internal komunitas maritim, khususnya terkait pada tradisi sedekah bumi dan pandangan dunia mereka tentang upaya menjaga wilayah lautnya. Tawaran tentang Memayu Hayuning Samudra sebenarnya cukup baik, karena ia berusaha mengkontekstualkan tradisi pada cara berpikir global. Sayangnya, tulisan ini kurang kuat merefleksikan proses dan bentuk yang tepat dalam upaya Memayu Hayuning Samudra untuk kehidupan masyarakat maritim dewasa ini. Konteks ini sebenarnya sangat berguna untuk mendukung pembangunan poros maritim, khususnya dari sisi landasan-landasan nilai berbasiskan kebudayaan lokalnya.
Isu kedua , konektivitas atau hubungan antar-wilayah. Isu ini sebenarnya menarik, karena terkait pada penciptaan atau
revitalisme poros maritim berdasarkan romantisme jalur rempah- rempah di masa lalu. Inovasi budaya sesungguhnya dapat terlahir dari pengaruh silang budaya di antara para pelaku “penghubung wilayah-wilayah itu”. Pengalaman saya di Aceh dahulu telah menunjukkan bagaimana wilayah pesisir (Keude Panga dan Meulaboh) memberi pengaruh kuat bagi pengembangan wilayah dan dinamika masyarakatnya di wilayah-wilayah pedalaman Teunom, Tangse, dan Nagan Raya. Para Muge, yang berperan sebagai pihak penghubung, sering kali memainkan peran penyampai informasi, selain juga sebagai pemeran distribusi hasil bumi dari wilayah pedalaman. Melalui peran mereka, masyarakat di wilayah-wilayah
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
itu kemudian mengetahui informasi terbaru yang berkembang dan akhirnya mampu mengembangkan wilayahnya sesuai dengan apa yang berkembang di wilayah pesisirnya. Sayangnya sedikit sekali pelajar yang tertarik mengungkap masalah konektivitas ini. Dari sekian esai, hanya satu tulisan yang sedikit menonjol mengungkap persoalan tersebut. Tulisan Nur Mustaria Putri dari Pinrang, Sulawesi Selatan yang berjudul “Pelabuhan Lokal untuk Panen Raya Padi” telah berusaha menggambarkan bagaimana hasil bumi yang dihasilkan dari wilayah pedalaman Kabupaten Pinrang didistribusikan ke berbagai wilayah dan pulau di Nusantara. Pada awalnya ia berusaha menjelaskan potensi hasil panen padi, sebagaimana isi dari syair lagu “Elong Ogi, Mappadendang”, lalu mengangkatnya pada persoalan pengiriman hasil panen. Sayangnya, Mustaria belum cukup berhasil menyodorkan data dan menarasikan “peristiwa-peristiwa” apa saja ketika hasil bumi itu berada di pelabuhan, dan bagaimana proses distribusinya. Tetapi, sebagai sebuah langkah awal untuk menjelaskan konektivitas, tulisan ini akhirnya mendapatkan apresiasi tersendiri dari dewan juri. Penulisnya dinobatkan sebagai Juara Harapan 2 dalam lomba esai nasional ini.
Isu ketiga , pola kekuasaan dan kelompok-kelompok yang berada di dunia maritim. Tulisan Yonky tentang relasi berae
sebenarnya dapat diletakkan di sini. Namun, saya melihat tulisan ini sepatutnya berada pada problem relasional yang menciptakan kemiskinan masyarakat nelayan, sehingga dapat dimasukkan ke dalam dimensi-dimensi internal dan eksternal masyarakat nelayan. Isu ini sebenarnya lebih spesifik dari isu pertama, namun karena persoalannya terkait pada pola kekuasaan dan berbagai kelompok pelaku yang ada di dunia maritim, maka pada akhirnya ia pun bersifat luas pula. Dari sisi inilah, persoalan tentang peran para pemimpin lokal dalam menjaga keharmonisan masyarakat yang berbeda etnik dan agama menjadi menarik. Melalui kekuasaan yang didasarkan pada legitimasi sosial dan spiritual, seorang tokoh
Menjejak Kejayaan, Mendedah Keunggulan Inovasi Budaya Maritim
agama dan tokoh adat bisa mengarahkan anggota warganya untuk bersikap sebagaimana yang diharapkannya. Harapan itu, misalnya, untuk membangun nilai-nilai kebersamaan dalam prosesi petik laut dan kerja-kerja sosial lainnya. Tulisan Putu Chelsea Brelian dengan judul “Menjaga Keharmonisan Nelayan Multietnik melalui Tradisi Petik Laut” cukup baik menceritakan persoalan hubungan antara tokoh agama, tradisi petik laut, dan keharmonisan di masyarakat. Dari perspektif yang antropologis, Chelsea menarik benang merah itu pada landasan nilai-nilai yang ada pada tradisi petik laut. Karena tulisan inilah, Chelsea dinobatkan sebagai Juara 3 dalam lomba esai tersebut.
Selaras dengan temuan Chelsea dalam kasus peran kepemim- pinan lokal, maka Yeremias Apriliano Santoso dengan tulisan yang berjudul “Kebhu: Kail terakhir” juga berusaha mengungkap peran pemimpin lokal dalam ranah pengelolaan sumber daya laut. Judul tulisan ini pada awalnya sulit dimengerti, karena ia menunjuk pada praktik penangkapan ikan saja, tetapi ketika bahasan diarahkan pada pemanfaatan hukum adat dalam penangkapan ikan akhirnya hal menarik dapat terkuak. Tulisan ini setidaknya mampu menghadirkan inovasi budaya versi lokal dalam pengelolaan sumber daya laut demi kesejahteraan bersama komunitasnya. Akhirnya, secara substansi tulisan ini cukup memadai dan mengena dalam tema inovasi budaya maritim yang ada. Karena itulah, Yeremias kemudian dinobatkan sebagai Juara 2 dalam lomba esai nasional ini.
Persoalan alat tangkap dan hubungannya dengan kelompok di dalam masyarakat rupanya dapat menjadi ide dari tema ini. Selain Yeremias tentang kebhu, masih ada dua peserta lain yang berusaha mengangkat persoalan yang mirip tetapi berbeda praktiknya. Pertama , tulisan Saifir Rohman tentang “Rompong, Rumah Surga, Katanya.” Secara substansi, tulisan ini sebenarnya sudah umum dibahas orang. Rohman juga tidak berusaha mengangkat bagaimana dilema yang terjadi antara pemilik rompong dengan pekerja yang tinggal di dalamnya. Kalau aspek terakhir yang diungkap,
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
maka ia dapat menarik benang merah dari pola kekuasaan yang memiskinkan kelompok pekerja pada masyarakat nelayan. Aspek inilah yang paling diharapkan dari tulisan ini. Kedua, “Menongkah Kerang : Implementasi Keluhuran Budaya Bangsa sebagai Inovasi Budaya Maritim”, tulisan Pernando Pratama. Tulisan Pernando dimulai dari sesuatu yang sederhana, yaitu tradisi menongkah kerang yang dilakukan masyarakat Sumatera. Menongkah adalah sebuah alat “tangkap” ikan dan kerang di bagian tanah permukaan. Pada awalnya tulisan ini menghendaki adanya refleksi terhadap nilai- nilai yang terkandung pada tradisi ini, dan kemudian diangkatnya sebagai strategi pembangunan masyarakat pesisir. Sayangnya, narasi dari tujuan tulisan ini belum sempurna, sehingga belum mampu merefleksikan nilai-nilai yang ada secara implementatif.
Isu ketiga akhirnya diakhiri oleh tulisan Moh. Mahmud tentang “Ki Bahri dan Modernisasi Kebudayaan Bahari”. Karakter tulisan ini berbeda dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Catatan dan pengalaman hidup seseorang benar-benar diangkat dan dinisbatkan dalam membangun kebudayaan bahari. Tulisan ini sesungguhnya enak dibaca, sangat mengalir, dan pembaca seolah dapat menyelami sosok Ki Bahri. Sayangnya, data tentang Ki Bahri kurang memadai, sehingga Ki Bahri seolah menjadi “sosok imajiner”. Selain itu, penulis belum berusaha mengangkat inovasi budaya seperti apa yang bisa diambil dari sosok Ki Bahri ini. Walaupun penulis telah memaparkan tentang nilai-nilai luhur yang melekat pada sosok Ki Bahri, pertanyaannya bagaimana cara menginternalisasi nilai-nilai itu bagi masyarakat luas yang berbeda konteks waktu dan ruangnya. Demikian juga upaya merevitalisasi nilai-nilai luhur bukan semata pada romantisme tentang suatu ketokohon, tetapi menjadikan tokoh itu seolah bisa hidup bersama dengan masyarakat dan bisa menjawab segala tantangan yang dihadapinya, belum terungkap dalam tulisan ini.
Akhirnya, bagaimana pun keadaan substansi dan teknis dari 15 tulisan esai para finalis ini, setidaknya dapatlah diperoleh
Menjejak Kejayaan, Mendedah Keunggulan Inovasi Budaya Maritim
gambaran mengenai dunia kemaritiman kita. Keterbatasan berbagai aspek dunia maritim terlihat jelas pada tulisan-tulisan itu. Kita melihat bahwa aspek pengembangan kewilayahan maritim benar-benar masih terbatas. Hal ini disebabkan oleh orientasi pembangunan pada rezim sebelumnya yang memprioritaskan wilayah daratan. Demikian pula aspek konektivitas yang menjadi prasyarat dari keberhasilan pembangunan poros maritim pun masih terkendala dengan daya dukung infrastruktur. Selain itu, upaya meromantisasikan jalur rempah-rempah yang dimiliki dan dialami oleh para pelaut dalam bentuk pelaksanaan lapangan sepertinya sulit dilakukan karena berhubungan dengan perubahan peta politik kekuasaan dengan sistem batas-batas negara dan daerah otonomi. Gambaran tentang ambang batas kebudayaan melalui proses silang budaya berbagai komunitas pesisir juga terlihat jelas. Beberapa tulisan telah menyodorkan penjelasan mengenai proses pertemuan berbagai entitas kebudayaan (etnik) yang ada, baik kebudayaan mainstream maupun marginal yang menghasilkan praktik kebudayaan tertentu. Pertemuan entitas kebudayaan ini menjadi penting, karena wilayah-wilayah pesisir pada umumnya dikenal sebagai simpul-simpul jejaring distribusi ekonomi di Nusantara yang sekaligus juga menciptakan jejaring kebudayaannya sendiri.
Pertanyaan yang masih samar-samar jawabannya adalah bagaimana inovasi budaya maritim pada aspek-aspek itu kemudian dapat diejawantahkan dalam bentuk strategi pendukung pembangunan poros maritim? Ada yang mendekatinya dengan inovasi teknologi, tetapi ada juga yang menawarkan inovasi dalam arti merevitalisasi nilai-nilai kebudayaan pada konteks kekinian. Jawaban ini memang berat, terlebih untuk tingkat pelajar SLTA. Namun, beberapa poin yang ditawarkan mereka, setidaknya telah menunjukkan adanya kegelisahan di antara mereka, bahwa dahulu kita dikenal sebagai bangsa pelaut, tetapi mengapa sekarang tidak! Kegelisahan itulah yang akan membawa atau menciptakan rasa penasaran di antara mereka, di mana pada akhirnya mereka akan
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
berusaha menghasilkan berbagai pemikiran baru dalam membangun dunia maritim demi kejayaan bangsanya. Semoga harapan ini dapat terwujud di kemudian hari.
Pondok Sruni, 20 Juli 2015
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Fachry. 1996. Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan
Demokratisasi dalam Islam Indonesia. Surabaya: Risalah. Bertrand, Romain. 2011. L‘Histoire à parts égales. Récits d'une
rencontre Orient-Occident (XVIe-XVIIe siècles) , Paris, Seuil, bab 15, hlm. 420-436.
Broeze, Frank (ed). 1989. Brides of the Sea: Port Cities of Asia from the 16th-20th Centuries. Kensington: New South Wales University Press.
Halwany, DN. 2012. “Kilasan Sejarah Antara Anyer dan Panarukan”. Dalamhttps://humaspdg.wordpress.com/2010/04/10/ kilasan-sejarah-antara-anyer-dan-panarukan/.Diakses tanggal
1 Juli 2015. Humaedi, M. Alie. 2004. Budaya Dombret dan Komunitas Laut.
Jakarta: Kementerian Riset dan Teknologi RI. __________. 2014. “Perubahan Nilai-nilai Budaya Masyarakat Aceh
Pasca Bencana Tsunami”. Jurnal Patrawidya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta. Vol. 15, No. 4, Desember. Hlm. 561-584.
__________. 2013. “Proses Silang Budaya Komunitas Muslim Wong Lumpur Gresik”. Jurnal Karsa, STAIN Pamekasan Madura. Vol. 21 No. 2, Desember, Hlm. 219-237.
__________. 2012. “Pengakuan Hak-hak Kewarganegaraan Komunitas Adat Terpencil Tau Taa Vana di Tojo Una-Una Sulawesi Tengah”. Jurnal Kajian: Menjembatani Teori
Menjejak Kejayaan, Mendedah Keunggulan Inovasi Budaya Maritim
dan Persoalan Masyarakat dalam Perumusan Kebijakan . Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jendral DPR RI. Vol. 17, No. 3, September. Hlm. 329-355.
__________. 2011. “Mematahkan Pewarisan Kemiskinan”. Jurnal Masyarakat dan Budaya . Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI. Vol. 13, Edisi Khusus. Hlm. 83-110.
__________ & Saeful Hakam. 2014. “Merajut Keindonesiaan Kita”. Dalam Muhammad AS Hikam. Indonesia Outlook 2014- 2019 . Jakarta: Rumah Buku & Dewan Analis Strategis.
Koentjaraningrat. 1989. Pengantar Antropologi. Jakarata: Aksara. Syafi’i, Imam. 2015. “Dari Selat Menuju Samudera Luas: Konektivitas
Sosial Ekonomi Pengangkut Garam Madura, 1957-1981”. Dalam Jurnal Politik, Pusat Penelitian Politik-LIPI.
Vischer, Michael P. 2009. Contestations: Dinamycs of Precedence in an Eastern Indonesia domain, To’a, Palue Island . Dalam Precedence: Social Differenciation in the Austronesian World Canberra: The Australian National University; and Leiden: International Institute for Asian Studies.
Zuhdi, Susanto. 2002. Cilacap: Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa, 1830-1942. Jakarta: KPG.
Wawancara dengan H. Yakup di Desa Tunggulsari, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, dalam penelitian Kemiskinan Masyarakat Pesisir dalam Perspektif Kebudayaan (M. Alie Humaedi, dalam Program Kompetitif LIPI, 2009-2011), tanggal 10 April 2010.
Daftar Isi
Kata Pengantar Hendarman (Kepala Puslitjakdikbud) ..................................................
v Menjejak Kejayaan, Mendedah Keunggulan Inovasi
Budaya Maritim M. Alie Humaedi (Peneliti PMB-LIPI) ................................................
ix Simantri Pulihkan Penggarap Kristal Gurih Kusamba
dalam Warna Tri Hita Karana Ni Kadek Sri Jayanti (SMAN Bali Mandara, Bali) ...............................
1 Pertanian di Sektor Kelautan sebagai
Strategi Ketahanan Pangan Tanpa Lahan Elviga Arselatifa (SMAN 1 Kendal, Jawa Tengah) ................................ 13
Revitalisasi Budaya Maritim: Bercermin dari Sekaa Nelayan Mina Bhakti Soansari Kadek Yuni Antari (SMAN Bali Mandara, Bali) .................................. 25
Pendidikan sebagai Tonggak Poros Maritim Dunia Ledy Fitra Ramadhani (SMAN 1 Probolinggo, Jawa Timur) .............. 35
Penanggulangan Sampah di Wilayah Laut Tobati: Kaitannya dengan Hukum Adat Mendo Khor Nanat di Jayapura Ahmad Irianto (SMA Negeri 1 Jayapura, Papua) ................................. 45
Berae : Pola Relasi Produksi dan Distribusi Masyarakat Pesisir Belitung
Yonky Rizki Munandhar
(SMA Negeri 1 Tanjungpandan, Bangka Belitung) ............................... 57
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Jejak Budaya Maritim di Pura Pakualaman: Ajaran Etik melalui Tradisi Iluminasi Naskah Kuno Pradita Widyaningrum (SMA Negeri 8 Yogyakarta) .......................... 67
Kelenturan Budaya Maritim Nusantara dalam Tinjauan Sejarah dan Aktualisasinya di Abad XXI Rifai Nuruddin (SMA Negeri 2 Surakarta, Jawa Tengah) ................... 83
Memayu Hayuning Samudra : Kearifan Lokal untuk Kejayaan Global Dwi Suyoko (SMA Negeri 2 Purbalingga, Jawa Tengah) ..................... 93
Pelabuhan Lokal untuk Panen Raya Padi
Nur Mustaria Putri
(SMA Negeri 11 Unggulan Pinrang, Sulawesi Selatan) ......................... 103 Menjaga Keharmonisan Nelayan Multietnik
melalui Tradisi Petik Laut Putu Chelsea Brelian (SMK Kesehatan Vidya Usadha Singaraja, Bali) ................................... 115
Kebhu : Kail Terakhir Yeremias Apriliano Santoso (SMA Seminari Pius XII Kisol, NTT ) ...... 127
Rompong , Rumah Surga, Katanya Saiir Rohman (MA TMI Al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura) ... 137
Menongkah Kerang: Implementasi Keluhuran Budaya Bangsa sebagai Inovasi Budaya Maritim
Pernando Pratama (SMA Negeri Plus Provinsi Riau) .......................... 147 Ki Bahri dan Modernisasi Kebudayaan Bahari
Moh. Mahmud (MA. Tahfidh Annuqayah, Sumenep, Madura) ......... 155 Profil Penulis ........................................................................................... 167
Simantri Pulihkan Penggarap Kristal Gurih Kusamba dalam Warna Tri Hita Karana
Ni Kadek Sri Jayanti
SMA Negeri Bali Mandara, Bali
S aat kecil, saya sering bertanya pada ibu tentang asinnya air
laut. Lalu, ibu memberitahu saya bahwa air laut memiliki kandungan garam di dalamnya. Awalnya, saya hanya mengangguk tanda mengerti dan berhenti sampai di sana. Ketika saya semakin dewasa, saya pun bertanya-tanya mengapa garam bisa terbentuk dari air laut. Saat saya duduk di bangku sekolah dasar, saya mulai mengetahui bahwa garam berasal dari proses penguapan dari air laut, yang kemudian endapannya mengalami proses kristalisasi.
Suatu hari, ketika ibu memasak saya bertanya tentang rasa masakan ibu yang selalu nikmat. Ternyata, rasa itu berasal dari garam, yang ajaibnya mampu membuat masakan ibu begitu pas di lidah. Saya mulai penasaran dengan proses pembuatan garam itu sendiri. Oleh karena itu, saya mulai mencari informasi tentang pembuatan garam. Ternyata, ada orang yang disebut dengan petani garam, proses pembuatan garam, dan yang paling mengejutkan adalah tempat itu berada di pesisir Pantai Kusamba, tempat yang selama ini cukup dekat dengan saya. Kekaguman saya mulai membuncah karena saya bisa menemukan sebuah kekayaan bahari yang tidak saya ketahui sebelumnya.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Garam ternyata lahir dari hamparan pasir hitam yang luas. Salah satu pasir yang melahirkan garam adalah Kusamba. Kusamba adalah suatu desa yang terletak di Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, Bali. Uniknya, pesisir Pantai Kusamba merupakan salah satu perkampungan komunitas Islam yang terdapat di Bali. Meskipun begitu, masyarakat pesisir Pantai Kusamba sangat meng- hargai perbedaan dengan memegang konsep menyama braya atau bersaudara satu dengan yang lainnya dan Tri Hita Karana khususnya dalam pawongan atau hubungan harmonis dengan sesama manusia. Hal ini dibuktikan dengan nama-nama orang muslim di sana yang menggunakan nama depan masyarakat Bali, seperti Putu, Kadek, Komang, dan Ketut. Daerah pertanian garam ini juga sering digunakan untuk upacara penglukatan gumi atau melasti yang rutin dilakukan setahun sekali oleh masyarakat Bali, dengan tujuan untuk menghilangkan segala unsur-unsur tidak baik yang ada di bumi. Penduduk yang bermukim di daerah pesisir sama sekali tidak keberatan, malah mereka sangat antusias dan toleran dengan pelaksanaan upacara melasti ini. Akulturasi yang berdasarkan toleransi membuat masyarakat pesisir Pantai Kusamba dapat hidup damai dalam harmoni.
Kusamba memiliki pantai yang indah dengan potensi garam yang luar biasa. Tidak seperti garam pada umumnya yang dibuat dengan bantuan mesin ataupun media tanah dan tambak, garam Kusamba masih menggunakan cara tradisional dan pasir hitam yang halus. Hal ini menunjukkan bahwa, selain memiliki rasa toleransi dan menyama braya yang tinggi, para petani garam di Kusamba secara tidak langsung juga menerapkan konsep Palemahan dalam Tri Hita Karana, yaitu berhubungan baik dan selalu menjaga alam seperti menjaga diri sendiri. Mulai dari penggemburan dan perataan lahan pasir dengan cangkul dan penggaruk pasir yang terbuat dari kayu.
Petak pasir yang akan digunakan untuk membuat garam mula- mula dibersihkan dahulu dari sampah organik maupun anorganik. Setelah itu, pasir digemburkan dan kemudian diratakan hingga
Simantri Pulihkan Penggarap Kristal Gurih Kusamba dalam Warna Tri Hita Karana
benar-benar datar, yang kemudian disiram dengan kurang lebih 40 kali dengan air laut, yang diciduk langsung dari pantai menggunakan pikulan bambu yang masih sangat sederhana. Tahap selanjutnya adalah pengeringan pasir yang membutuhkan waktu sekitar empat sampai lima jam (itu pun jika matahari terik). Setelah kering, pasir akan diangkut menuju ke tempat penyaringan, yang nantinya akan menghasilkan air yang mengandung garam. Air tersebut nantinya akan ditampung ke tempat yang mirip dengan lesung, namun terbuat dari kayu dan di atasnya telah dilapisi terpal yang memiliki cekungan di dalamnya. Air tersebut akan mengalami penguapan dan pengkristalan yang memakan waktu 5-6 hari hingga menjadi garam yang siap konsumsi.
Cara pembuatan yang tradisional dan masih bergantung pada alam membuat garam Kusamba memiliki rasa asin yang unik dan berbeda dengan garam lainnya. Jika dibandingkan, garam Kusamba memiliki rasa asin yang gurih serta butiran garam yang halus dan putih, sedangkan garam pabrik memiliki rasa pahit dan tidak ada esensi gurih di dalamnya. Hal ini tentu sudah menunjukkan kualitas yang ditawarkan oleh garam Kusamba, hingga menjadikannya sebagai sentral pembuatan garam di Klungkung dan Bali pada umumnya. Bahkan, garam Kusamba telah berhasil menembus pasar global dan saat ini telah melaut hingga ke negeri Jepang (detik.com, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun cara pengolahan masih sangat tradisional dan hanya mengandalkan warisan pengetahuan dari nenek moyang, berhasil membawa nama Indonesia ke kancah internasional dengan berpegang teguh pada tradisi dan konsep Palemahan dalam Tri Hita Karana.
Sayangnya, ekspektasi terhadap pelestarian pembuatan garam tradisional ini belum terwujud.“... Hutan, sawah, gunung, lautan simpanan kekayaan. Kini Ibu sedang susah merintih dan berdoa”. Kutipan lirik lagu Kulihat Ibu Pertiwi tersebut benar-benar menggambarkan apa yang tengah dihadapi oleh para petani garam Kusamba. Potensi garam yang luar biasa ternyata belum diimbangi
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
dengan kualitas dari sumber daya manusia yang mengolahnya. Melihat potensi masyarakat yang multikultural, harmonis dan pekerja keras, tentu kelangsungan dari pembuatan garam tradisional Kusamba akan terjamin, namun minat masyarakat yang sangat rendah menyebabkan menurunnya jumlah petani garam tradisional Kusamba dan mengancam kelangsungan pengolahan potensi bahari di pantai Kusamba.
Potensi luar biasa yang tidak diimbangi dengan pengolahan dan pemanfaatan yang baik menyebabkan potensi garam tradisional yang ada di Kusamba disia-siakan. Padahal, garam tradisional Kusamba telah menembus pasar global. Petani garam di Kusamba juga menjadi contoh penerapan konsep menyama braya, yaitu saling membahu dalam pertaniannya dan Palemahan, sadar akan hubungan dengan lingkungan yang amat tinggi dalam pembuatan garamnya. Jika hanya menunggu dan acuh tak acuh, pastinya garam tradisional Kusamba hanya akan menjadi sejarah, layaknya armada laut Kerajaan Sriwijaya yang luar biasa hingga menguasai jalur perdagangan Asia Tenggara, tetapi harus runtuh dengan segala kejayaan yang pernah dibawa sebelumnya.
Peran petani garam Kusamba dalam mengembangkan potensi garam tradisional Kusamba tentunya amat penting. Sayangnya, masyarakat yang hidup di pesisir pantai Kusamba mulai acuh tak acuh pada pembuatan garam tradisional. Hal ini diakibatkan karena ketergantungan kepada alam yang berdampak pada produksi garam tradisional itu sendiri. Saat musim hujan tiba, hasil dari pertanian garam tradisional tentu tidak maksimal dan tidak menentu, karena terkendala pada proses pengeringan, penguapan, dan kristalisasi garam. Alat yang digunakan masih sangat sederhana, sehingga membutuhkan keterampilan dan kecermatan dalam penggunaannya. Selain itu, modal adalah hal yang sangat diperlukan oleh para petani garam Kusamba saat ini dalam mengembangkan usaha garam tradisionalnya. Padahal, dari segi kualitas, gurihnya garam tradisional Kusamba tidak diragukan lagi.
Simantri Pulihkan Penggarap Kristal Gurih Kusamba dalam Warna Tri Hita Karana
Kesejahteraan petani garam Kusamba yang belum jelas membuat masyarakat yang awalnya menjadi petani garam memilih untuk meninggalkan pekerjaannya dan mencari pekerjaan lain, buruh misalnya. Mereka beranggapan bahwa setidaknya ketika mereka menjadi buruh mereka akan mendapatkan penghasilan setiap harinya. Waktu mereka juga tidak akan terbuang, karena selama ini para petani garam Kusamba menganggap dirinya sebagai setengah menganggur, karena penggarapan garam yang tidak tentu waktu. Hal ini terbukti dengan penurunan jumlah petani garam Kusamba, yang hingga kini hanya sekitar 27 KK (tribunnews.com, 2014). Ini diakibatkan oleh pemerintah yang masih acuh tak acuh dengan produksi garam tradisional Kusamba dan maraknya garam impor yang mulai mengalahkan eksistensi dari garam tradisional Kusamba itu sendiri, meski dari kualitas dan rasa garam tradisional Kusamba masih jauh lebih baik dari garam impor.
Jika terus-menerus dibiarkan, maka tidak akan ada lagi garam tradisional Kusamba. Masyarakat pesisir Pantai Kusamba yang awalnya produktif karena potensi garam Pantai Kusamba akan kehilangan pekerjaan dan sulit mencari pekerjaan baru karena minimnya kemampuan yang mereka miliki. Tradisi pembuatan garam tradisional yang diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang hanya tinggal sejarah. Budaya menyama braya dan Tri Hita Karana yang terbentuk dan berkembang akibat interaksi dengan alam dan sesama akan memudar.
Terakhir, Pantai Kusamba yang awalnya menjadi sentra pertanian garam di Klungkung dan Bali tidak akan produktif lagi. Pantai yang awalnya menjadi sentra pembuatan garam sekaligus wisata bahari dan akademik akan kehilangan jati dirinya. Potensi garam yang luar biasa akan terbuang sia-sia. Kekayaan yang seharusnya bisa dikembangkan untuk memperkaya bangsa akan terbengkalai. Jika tidak ada yang mengolah, bukan tidak mungkin Pantai Kusamba akan berubah menjadi kawasan perhotelan ataupun tempat pembuangan sampah dan limbah. Yang lebih parah lagi, potensi
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
garam tradisional di pantai Kusamba bisa saja diambil alih oleh investor asing. Jika sudah seperti itu, mulailah bentuk imperialisme modern di bidang garam tradisional. Indonesia kembali terjajah sampai ke budaya dan tradisinya. Sungguh disayangkan!.
Potensi laut perlu dimanfaatkan dengan baik untuk meng- optimalkan kekayaan bahari yang dimiliki oleh Indonesia. Pantai Kusamba merupakan salah satu kekayaan maritim yang dimiliki oleh Indonesia dengan potensi garam yang luar biasa. Masyarakat yang berada di pesisir Pantai Kusamba dapat disaring untuk mengikuti pelatihan pertanian garam tradisional tanpa menghilangkan tradisi dan budaya yang diwariskan oleh leluhur. Masyarakat yang tidak memiliki kemampuan khusus pun dapat bergabung. Otomatis, pengelolaan ini dapat membuka lapangan kerja dan mengurangi pengangguran di daerah sekitar. Pembuatan garam tradisional Kusamba dapat berkembang dan tetap berpegang pada nilai-nilai luhur agar tetap ajeg atau lestari.
Dengan menggunakan konsep dalam Program Simantri (Sistem Pertanian Terintegrasi), para petani garam tradisional Kusamba diharapkan mampu meningkatkan produksi garam dan kesejahteraan petaninya. Simantri adalah program Bali Mandara yang dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi Bali yang digunakan untuk memberdayakan pertanian dengan teknologi terpadu dan terintegrasi. Secara umum, Program Simantri bertujuan untuk men dukung perkembangan diversifikasi usaha pertanian secara terpadu dan berwawasan agrobisnis. Simantri juga berfokus pada pengalihan teknologi ke pedesaan di Bali agar potensi sumber daya yang terdapat di desa tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal (Biro Humas Setda Provinsi Bali, 2013).
Program Simantri ini sebenarnya juga dapat diterapkan di pengelolaan garam tradisional. Dengan mengganti beberapa alat semi permanen menjadi permanen, seperti lesung kayu yang digunakan untuk menampung air yang mengandung garam, yang akan mengalami proses penguapan dan kristalisasi, penggaruk kayu
Simantri Pulihkan Penggarap Kristal Gurih Kusamba dalam Warna Tri Hita Karana
yang digunakan untuk meratakan pasir dapat mengoptimalkan produksi petani garam tradisional. Program Simantri juga dapat menyeimbangkan fokus pemerintah antara agraris dan maritim, tanpa mengurangi perhatian pada potensi agraris, yang nantinya akan mengoptimalkan segala sumber daya yang ada di wilayah bersangkutan.
Penerapan program Simantri dalam pertanian garam tentunya tidak sembarangan. Kerja sama antara masyarakat dan pemerintah haruslah terjalin dengan baik. Diawali dengan peninjauan oleh pemerintah Kabupaten Klungkung tentang kondisi petani garam tradisional Kusamba. Peninjauan ini nantinya akan ditindaklanjuti dengan penerapan konsep dari program Simantri. Hal pertama yang akan dilakukan oleh pemerintah adalah menginformasikan kepada para petani garam tentang penerapan program ini. Kemudian, akan dilakukan pelatihan-pelatihan khusus dari pemerintah yang dapat meningkatkan kemampuan dan produktivitas masyarakat di bidang pertanian garam tradisional. Selanjutnya, pemerintah akan memberikan modal awal bagi para petani garam tradisional untuk mengoptimalkan kinerja dari petani garam itu sendiri.
Modal tersebut nantinya akan dikembalikan, apabila pertanian garam tradisional yang dilaksanakan oleh para petani garam Kusamba telah berhasil. Dengan pemberian modal, tentunya para petani akan merasa diperhatikan dan didukung usahanya. Hal ini tentu juga akan menarik minat masyarakat untuk ikut dalam komunitas petani garam tradisional Kusamba. Adanya pengembalian modal juga akan memotivasi mereka untuk mengoptimalkan produksinya. Selain dari segi manusianya, pemerintah juga harus melindungi kawasan pertanian garam agar nantinya tidak dialihfungsikan menjadi kawasan industri ataupun pariwisata yang bisa menghalangi produktivitas petani garam. Selain itu, pemerintah, pelaku usaha, dan juga pelaku pariwisata yang ada di sekitar wilayah Kusamba dan Klungkung, dapat diwajibkan untuk menggunakan garam Kusamba untuk produk olahannya dan tidak lagi menggunakan
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
garam impor. Hal ini akan memudahkan pendistribusian garam tradisional Kusamba dan memiliki prospek yang cerah untuk para petani garam tradisional Kusamba.
Pengemasan dan pendistribusian dari garam tradisional Kusamba juga perlu inovasi lebih lanjut dan dikontrol agar dapat memberikan hasil yang optimal. Kemasan yang inovatif dan kreatif dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi garam tradisional Kusamba, misalnya membuat garam aneka rasa dengan mengadopsi sistem yang digunakan di Pemuteran, Buleleng, Bali. Komunitas petani garam yang ada di sana menginovasikan garam hasil produksi para petani di Pemuteran dengan berbagai rasa. Hal ini dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar. Mereka juga sudah mulai menyasar pasar global, seperti Italia, Belgia, Inggris, Jerman, dan Belanda (radiosingarajafm.com, 2015). Jika garam Kusamba dapat diinovasikan seperti itu, bersenjatakan kegurihan dan keunikannya, otomatis garam tradisional Kusamba tidak akan kalah dari garam- garam laut lainnya, apalagi garam pabrik dan garam impor.
Ketidaktahuan masyarakat tentang potensi garam tradisional Kusamba terutama masyarakat di daerah yang dekat dengan pantai juga perlu dibenahi, agar semakin banyak masyarakat yang berminat untuk memproduksinya. Program KKN yang dilakukan oleh mahasiswa misalnya. Mahasiswa yang sedang melaksanakan KKN dapat terjun langsung ke masyarakat dan bekerja sama dengan pemerintah ataupun kepala daerah setempat untuk memberikan pengetahuan dan pelatihan dasar mengenai potensi kelautan. Utamanya, mahasiswa yang berasal dari Sekolah Tinggi Perikanan. Mereka dapat memberikan pembekalan tentang kekayaan, potensi, hal-hal yang dapat diolah dari laut, berbagai hal tentang garam, hingga potensi yang dimiliki oleh pantai Kusamba, terutama dalam bidang garamnya. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh generasi muda sebagai tonggak awal untuk membalik badan, dan kembali menghadapi tantangan dari kekayaan maritim itu sendiri. Akan sulit jika kita hanya lari dari masalah dan tantangan, tanpa mencoba
Simantri Pulihkan Penggarap Kristal Gurih Kusamba dalam Warna Tri Hita Karana
untuk memecahkan dan menjawabnya. Indonesia sudah cukup dewasa untuk sadar dan bergerak. Indonesia harus bangun dan mulai untuk berlari.
Keberhasilan program ini dapat kita lihat pada program Simantri yang telah diterapkan pada pertanian di Bali. Hingga tahun 2013, kurang lebih 421 GAPOKTAN (Gabungan Kelompok Tani) yang telah dibiayai oleh pemerintah. Hal ini menyebabkan penurunan angka kemiskinan di Bali saat ini pada angka 3,95% dengan penu- runan penduduk miskin yang ada di desa sebesar 22.000 jiwa, dalam kurun waktu 3 tahun program Simantri ini dijalankan (Badan Pusat Statistik, 2012). Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika program Simantri ini juga diterapkan di bidang kelautan. Lambat laun kata miskin bisa jadi dihapuskan dari kosakata di dalam kamus.
Kontrol dari masyarakat dan pemerintah juga sangat diperlukan dalam kesuksesan dari penerapan program Simantri pertanian garam tradisional Kusamba. Pemerintah sebagai badan pengawas dan memberikan dukungan secara moral maupun finansial, akan mampu mendorong semangat masyarakat dalam mengolah garam Kusamba. Secara otomatis, potensi garam tradisional Kusamba yang dikelola dapat lebih baik. Masyarakat di pesisir pantai pun memiliki peluang yang besar untuk mendapatkan pekerjaan hingga mencapai kesejahteraan. Tradisi yang turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang akan tetap ajeg, dan pengangguran serta kemiskinan dapat ditekan jumlahnya. Terlebih lagi, dengan pendistribusian yang baik, cap miskin dan kumuh bagi para pelaku bahari akan tiada, dan kemudian masyarakat akan sadar bahwa kekayaan Indonesia bukan hanya terletak di songket dan kayunya, melainkan juga pada pasir dan lautnya.
Pemanfaatan potensi bahari di Bali pada khususnya, sudah dilaksanakan sejak dahulu oleh nenek moyang. Hal ini juga ditunjukkan oleh lagu Juru Pencar yang berasal dari Bali. Lagu tersebut bercerita tentang kehidupan Juru Pencar atau nelayan yang ada di Bali. Lagu ini telah diwariskan secara turun-temurun
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
dan menjadi bagian dari masyarakat Bali, sama halnya seperti pertanian garam. Pertanian garam tradisional Kusamba yang telah diwariskan oleh leluhur tentu harus dijaga kelestariannya agar tidak punah. Jika punah, hilang sudah nilai leluhur. Sia-sia sudah laut dan pasir yang diwariskan oleh nenek moyang. Terbuang sudah kekayaan yang begitu luar biasa. Indonesia sudah memiliki sumber daya yang cukup untuk mengolah kekayaan maritim. Tinggal menentukan pola, merencanakannya dengan matang, setelah itu tinggal menunggu komando untuk bergerak.
Saat ini Indonesia memiliki potensi yang luar biasa dalam kemaritiman, utamanya pertanian garam tradisional. Jika bijak, garam tradisional Kusamba tak hanya sampai ke Jepang, namun seluruh dunia akan tahu bahwa Kusamba adalah sumber dari kenikmatan hidangan mereka. Garam tradisional Kusamba akan merajai perdagangan garam internasional, kemudian akan disusul oleh potensi bahari lainnya. Pada akhirnya, Indonesia akan menembus dunia dengan predikat maritim yang tersandang gagah di dadanya. Zaman Sriwijaya pun akan lahir kembali.
Optimalisasi peran petani garam tradisional Kusamba akan membuka era baru bagi pengelolaan kekayaaan maritim yang dimiliki oleh Indonesia. Konsep pawongan dari budaya Tri Hita Karana yang ditawarkan dalam pengelolaannya membuat keseimbangan antara manusia dan alam dapat terjaga dengan baik. Hal ini menjadi suatu bentuk awal gerakan menghadap laut sebagai apresiasi untuk kekayaan maritim yang terlalu lama dipunggungi oleh Indonesia. Petani garam tradisional Kusamba juga dapat menjadi cikal bakal pengelolaan dan motivasi bagi daerah-daerah di seluruh Indonesia yang memiliki potensi yang hampir sama dengan pantai Kusamba. Menjadi peluang lapangan kerja baru dengan tetap menjaga nilai-nilai tradisi akan menjadi nilai tambah bagi pengelolaan garam di Indonesia. Selain dapat memajukan potensi maritim di Indonesia, petani garam di Kusamba juga dapat menjadi contoh bagaimana seharusnya sebuah tradisi itu dijaga,
Simantri Pulihkan Penggarap Kristal Gurih Kusamba dalam Warna Tri Hita Karana
dan dapat menjadi panutan untuk menciptakan lahan-lahan dan petani-petani garam lainnya di seluruh Indonesia, hingga nantinya Indonesia tidak hanya bergantung pada predikat agraris dan mulai menghadapi laut sebagai tantangan yang patut untuk dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA
Biro Humas Setda Provinsi Bali. 2013. Simantri. Bali Kompas. 2013. “Jalan-jalan ke Desa Kusamba Desa Garam Laut
Bali”. Diakses dari http://wisata.kompasiana.com/jalan- jalan-ke-desa-Kusambadesa-garam-laut-di-bali-529495.html (Diakses tanggal 6 Mei 2015).
Radio Singaraja. 2015. “Petani garam di Buleleng ekspor garam 13 rasa ke Mancanegara”. Diakses dari www.radiosingarajafm. com/2015/02/ petani-garam di-buleleng-ekspor-garam.html (Diakses tanggal 7 Mei 2015).
Tribun. 2014. “Sepuluh tahun lagi petani garam punah”. Diakses dari http://bali.tribunnews.com/2014/12/22/sepuluh-tahun- lagi-petani-garam-punah.html. (Diakses tanggal 7 Mei 2015).
Pertanian di Sektor Kelautan sebagai Strategi Ketahanan Pangan Tanpa Lahan
Elviga Arselatifa
SMA Negeri 1 Kendal, Jawa Tengah
“Ayam bertelur di lumbung padi mati kelaparan”
B negeri seribu pulau dengan sumber daya alam yang melimpah ruah.
egitulah peribahasa yang merujuk pada kondisi ekonomi di Indonesia. Negeri yang menurut persepsi bangsa lain adalah
Tapi rakyatnya masih banyak yang kekurangan, bahkan mereka harus hidup dalam lilitan kemiskinan. Sungguh ironis, negeri yang katanya kaya ini kenyataannya tak mampu memakmurkan rakyatnya sendiri. Faktanya, Indonesia masih harus mengimpor hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Indonesia seharusnya malu dengan keadaan geografis yang menjadikannya kaya akan sumber daya alam, tetapi masih terbelit masalah pemenuhan kebutuhan pangan yang kronis. Kenapa dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan untuk negaranya sendiri Indonesia masih harus mengimpor hasil bumi dari negara lain?
Coba tengok negara tetangga kita, Singapura. Singapura memiliki luas wilayah yang jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia. Singapura merupakan negara pulau dengan luas wilayah 697,1
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
km 2 (hampir sama denga luas wilayah Jakarta, 664 km 2 ). 1 Tetapi mengapa Singapura bisa menjadi negara yang maju dalam segala bidang? Singapura mampu mengembangkan minimnya potensi alam yang dimiliki dengan pemaksimalan usaha yang dilakukannya. Bertolak belakang dengan Indonesia, maksimal potensi alamnya, tetapi minim usaha pengembangannya. Komoditas ekspor utama Singapura memang bukan dari hasil bumi, melainkan dari hasil industri, jasa keuangan, dan perdagangan. Tetapi Singapura memiliki SDM-SDM unggul dan berwawasan tinggi yang mampu meng- gerakkan ekonomi negaranya. Bagaimana dengan SDM Indonesia?
Masyarakat Indonesia belum sepenuhnya mengeksplorasi potensi alam negerinya. Banyak kendala yang memengaruhi laju per tumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia. Apa saja kendala yang terjadi?
Korelasi Natalitas Penduduk dengan Krisis Pangan
Indonesia kini diprediksi akan mengalami krisis pangan pada tahun 2017 di 150 kabupaten atau kota dari 480 kabupaten atau kota di Indonesia. Mengapa hal ini dapat terjadi? Tingkat natalitas penduduk Indonesia yang tinggi menjadi penyebab dasar. Dari data perhitungan yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), penduduk dunia akan mencapai angka 7 miliar jiwa pada tahun 2011. Indonesia sebagai negara penyumbang populasi penduduk terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat, dengan 237,6 juta orang di tahun 2010 (Sensus Penduduk, 2010). 2
Meningkatnya angka kelahiran suatu negara, berarti menambah jumlah penduduk negara tersebut. Bertambahnya jumlah pen duduk Indonesia yang semakin meledak, mengakibatkan kebutuhan
1 Sutarto, dkk. 2008. IPS: Kelas IX untuk SMP dan MTs. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
2 Badan Ketahanan Pangan, 13 Oktober 2014, “Indonesia akan Alami Krisis Pangan di Tahun 2017” http://www.sumbarprov.go.id/read/99/12/14/59/290-
teras-sumbar/artikel/3382-indonesia-akan-alami-krisis-pangan-di-tahun-2017. html Diakses pada 10 Mei 2015.
Pertanian di Sektor Kelautan sebagai Strategi Ketahanan Pangan Tanpa Lahan
pangan penduduk Indonesia juga ikut meledak. Hal ini tidak sebanding dengan ketersediaan sumber pangan untuk menyuplai kebutuhan penduduk Indonesia.
Banyaknya jumlah penduduk mengakibatkan berdirinya bangunan baru. Keterkaitannya dengan krisis pangan adalah lahan pertanian yang seharusnya dijadikan area potensi pengembangan sumber daya alam dialihfungsikan sebagai tempat pembangunan
hunian rumah, gedung sekolah, hingga bangunan industri. 3 Hal ini menjadi bukti Indonesia masih belum mampu mengupayakan pemenuhan kebutuhan pangan karena keterbatasan lahan yang dapat digunakan untuk tempat pertanian atau perkebunan sebagai upaya ketahanan pangan di Indonesia.
Melalui hasil pengamatan, di daerah Kendal misalnya, wilayah yang dulunya merupakan daerah persawahan, kini telah berubah menjadi kawasan perumahan, deretan pertokoan dan gedung sekolah. Bagi sebagian orang akan berpendapat bahwa hal tersebut wajar, sebab Kendal merupakan daerah pesisir pantai dan masih masuk dalam kawasan perkotaan, sehingga layak kalau lahan-lahan pertanian dialihfungsikan untuk bangunan-bangunan tersebut. Mereka mungkin akan mengatakan bahwa masih ada lahan di daerah dataran tinggi sebagai penyuplai kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Apakah lahan pertanian maupun perkebunan di dataran tinggi tidak mengalami ancaman krisis lahan? Di sana juga terjadi hal serupa. Sebagai bukti, salah satu daerah dataran tinggi di Indonesia, Desa Sarwodadi, Banjarnegara, suatu daerah yang sebagian penduduknya menggantungkan hidup pada sektor pertanian dan perkebunan, di mana saat ini lahan pertanian dan perkebunannya berangsur hilang dalam hitungan tahun. Masih dengan masalah yang sama, yaitu hilang karena alih fungsi lahan.
Dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia akan mengalami defisit lahan pertanian seluas 730.000 hektar. Menurut Kementerian
3 Loveless, A.R. 1999. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik 1 . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Pertanian, jika tidak ditangani, defisit lahan itu akan meningkat menjadi 2,21 juta hektar pada 2020, dan akan terus bertambah
menjadi 5,38 juta hektar pada 2030. 4 Hal tersebut berdampak kepada terjadinya deforestasi hutan yang mengurangi luas hutan di Indonesia untuk dipergunakan sebagai lahan pengganti pertanian
atau perkebunan. 5 Bagaimana Indonesia mampu menyuplai kebutuhan pangan intern, jika area potensi pengembangan yang tersedia sangatlah terbatas?
Kolaborasi Negara Agraris-Maritim
Indonesia terkenal sebagai negara agraris daripada negara maritim jika dipandang dari aspek ekonomi. Data statistik pada tahun 2001 menunjukkan bahwa 45% penduduk Indonesia bekerja
di bidang agrikultur. 6 Mata pencaharian penduduk Indonesia mayo- ritas di bidang pertanian atau bercocok tanam daripada di bidang perikanan dan pembudidayaan SDA laut.
Munculnya statement bahwa Indonesia akan mengalami krisis pangan, menjadikan dilema negeri untuk berpikir bagaimana cara mengangkat kemakmuran pangan di Indonesia dengan adanya hambatan yang telah dipaparkan sebelumnya, mengenai krisis lahan pertanian. Dengan minimnya lahan kosong yang mampu dijadikan area penanaman, muncul gagasan tentang pengalihan lahan per- tanian ke daerah perairan (laut). Kita mampu memanfaatkan laut Indonesia yang luas sebagai tempat pengembangan pangan. Kita dapat berupaya memultifungsikan laut Indonesia.
Mari lihat laut kita, khususnya daerah pesisir pantai, beserta orang-orang di sana yang sibuk dengan rutinitasnya. Kegiatan ekonomi apa yang biasa dilakukan mereka di sana? Mereka biasa bergelut dengan aktivitas yang berbau perairan, seperti menangkap ikan (nelayan), membuat garam (petani garam), budidaya rumput
4 26 Februari 2013, “Krisis Lahan Pertanian” http://www.berdikarionline.com/ editorial/20130226/krisis-lahan-pertanian.html Diakses pada 9 Mei 2015.
5 Brown, Lester R., dkk. 1999. Masa Depan Bumi. Jakarta: Buku Obor. 6 http://id.wikipedia.org/wiki/Sumber_daya_alam Diakses pada 9 Mei 2015.
Pertanian di Sektor Kelautan sebagai Strategi Ketahanan Pangan Tanpa Lahan
laut (petani rumput laut), dan pembuatan kerajinan dari biota laut (pengrajin). Hal tersebut sudah sangat lazim dilakukan masyarakat pesisir pantai. Hasil laut saja tak mampu menjadi suplai kebutuhan pangan. Perlu keseimbangan hasil antara lautan dan daratan. Sehingga Indonesia tidak hanya berhenti sampai pemenuhan pangan sendiri, tetapi mampu memproduksi untuk komoditas ekspor sekaligus.
Sebenarnya sektor darat dan laut dapat dipadukan sebagai upaya peningkatan pangan di Indonesia. Hanya saja masyarakat Indonesia lebih memprioritaskan darat sebagai peluang utama untuk meningkatkan taraf hidup. Sebab peluang dan potensi lapangan kerja lebih terbuka di daratan. Risiko yang kemungkinan terjadi di daratan juga lebih kecil daripada risiko di lautan. Banyak argumen- argumen yang belum mampu membuat mereka sadar akan potensi besar yang dapat dikembangkan di lautan. Perpaduan unsur daratan dan lautan akan menjadi suatu elemen yang berpotensi men ciptakan lapangan kerja yang dapat meraup keuntungan besar. Hanya diperlukan praktik untuk menggerakkan kreativitas dan keberanian masyarakat Indonesia untuk membuat suatu perubahan yang mampu bermanfaat bagi kemakmuran negara.
Gagasan ini bukan hendak mendorong peralihan dari budaya agraris menjadi budaya maritim, tetapi lebih cenderung memadukan antara unsur agraris dan unsur maritim. Kolaborasi ini melibatkan unsur terpenting pada sektor masing-masing. Agraris dengan merujuk pada daratan, sedangkan maritim merujuk pada lautan. Unsur yang diambil dari sektor darat adalah potensi pengembangan sumber daya alam melalui pertanian maupun perkebunan, dan unsur yang diambil dari sektor lautan adalah wilayah laut itu sendiri.
Faktanya negara Indonesia lebih banyak mengeksplorasi komoditi ekspor hasil pertanian dari daratan, ini tidak sebanding dengan luas wilayah Indonesia yang sebagian besar berupa per- airan. Indonesia harus mampu memosisikan diri sebagai negara maritim. Negara maritim bukan hanya sekadar negara yang memiliki armada pertahanan laut yang kuat dan kekayaan laut yang
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
banyak. Melainkan seberapa mampu bangsanya untuk mengolah sumber daya yang ada pada lautnya, seberapa cerdas bangsanya untuk memultifungsikan keberadaan laut yang dimilikinya, dan seberapa tingkat kreativitas bangsanya untuk menciptakan sarana- sarana penunjang pemberdayaan sumber daya alam yang tersedia di wilayah negaranya.
Penyatuan unsur darat dan laut diharapkan dapat menjadi permulaan sebagai strategi ketahanan pangan tanpa lahan, juga dapat mengalihkan pandangan dunia bahwa selain Indonesia adalah negara agraris, Indonesia juga merupakan negara maritim. Perlu dibuat suatu inovasi baru yang dapat dimanfaatkan untuk menciptakan peluang pemberdayaan pertanian tanpa lahan. Luasnya wilayah laut di Indonesia dapat dijadikan dan dimanfaatkan sebagai tempat berlangsungnya proses pertanian dan perkebunan.
Implementasi Pertanian di Perairan
Sebagai langkah pengalihfungsian lahan pertanian ke wilayah perairan, penerapan konsep pertanian darat dapat dibawa dalam konsep baru pada pertanian sektor kelautan. Metode baru diperlu- kan untuk berjalannya kelangsungan konsep pertanian kelautan. Misalkan dengan metode berupa planting above water yang memungkinkan penggunaaan suatu media untuk tempat penanaman bibit. Media yang dapat digunakan adalah bahan plastik (bahan pembuatan pot tanaman) yang dibentuk persegi maupun persegi panjang yang besar dan luas (model pot besar), beserta tumpuan kaki dengan memanfaatkan tong besar alumunium atau plastik yang bagian dalamnya diberi adonan semen dan pasir. Nantinya di atas media ini diletakkan tanah-tanah yang disebar secara merata menutupi permukaan media. Kemudian tanah ditanami dengan bibit sayur atau tanaman lain yang biasa dikembangkan di Indonesia.
Penempatan media ini sebaiknya di perairan dangkal, terutama pada daerah payau. Di daerah ini diupayakan untuk ditanami pohon bakau. Bakau akan meminimalisir kemungkinan terjadinya terjangan
Pertanian di Sektor Kelautan sebagai Strategi Ketahanan Pangan Tanpa Lahan
gelombang besar yang sewaktu-waktu akan merusak pertanian laut yang dikembangkan. Penempatan media tanam dapat diletakkan di belakang dan di atas pohon-pohon bakau. Akar pohon bakau juga dapat dimanfaatkan untuk tempat berkumpulnya ikan, yang nantinya keberadaan ikan-ikan tersebut sangat diperlukan dalam metode ini.
Pemupukan tanaman menggunakan pupuk organik seperti pada pertanian sektor darat, tapi dibatasi jumlah pemakaiannya. Hal itu karena penggunaan pupuk organik disinyalir dapat tumpah ke perairan bertahap melalui lubang drainis, sehingga dapat mencapai jumlah yang banyak. Akibatnya akan terjadi peningkatan laju pertumbuhan tumbuhan air (eutrofikasi) oleh senyawa yang
terkandung di dalam pupuk. 7 Hal ini membahayakan perairan karena ketika tumbuhan mati, proses dekomposisi oleh bakteri yang terjadi di bawah air mampu menyebabkan hilangnya oksigen dan menyebabkan kebinasaan ikan dan hewan air lainnya.
Tumbuhan memerlukan zat hara (sumber makanan) yang biasanya terdapat di dalam tanah. Untuk mencukupi kebutuhan zat hara yang diperlukan tanaman guna berproduksi dengan baik, dapat diambil dari limbah ikan sebagai penyedia sumber makanan bagi tanaman. Proses transfer hara dapat dilakukan dengan pembuatan saluran yang menghubungkan tanah pada media alas dengan perairan. Pada saluran ini dibentuk suatu konsep pompa air dan filtrasi.
Kandungan garam pada air tanah (salinisasi tanah), apabila diserap tanaman, akan menganggu pertumbuhan dan perkem- bangan tanaman. Salinisasi tanah dapat dikurangi dengan melaku- kan pencucian garam terlarut yang berada di dalam tanah dengan pemberian air irigasi yang lebih banyak.
Pada sistem irigasi pada metode planting above water menggunakan air yang biasa digunakan di pertanian darat. Lokasi
7 Hadisusanto Suwarno, Purnomo, Sudjino, Trijoko. 2009. Biologi: Kelas XI untuk SMA dan MA . Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
per tanian yang berada di pesisir pantai sangat terik, sehingga tanaman yang ditanam di daerah tersebut lebih membutuhkan donor air yang lebih banyak. Penyuplaian air secara teratur pada tumbuhan diharapkan mampu memperbaiki hasil dari pertanian. Konsep penyuplaian air dapat dilakukan dengan cara yang sangat sederhana.
Konsep penyuplain air dapat menerapkan konsep bejana berhubungan. Konsep ini menggunakan media berupa saluran pipa yang direka seperti bejana yang diisi cairan homogen (air) yang saling terhubung dan memiliki tinggi permukaan cairan yang sama tanpa terpengaruh oleh ukuran dan volume tiap bejana (saluran pipa). Bila cairan ditambahkan pada salah satu bejana, tinggi permukaan pada setiap bejana akan berubah dan kembali sama tinggi. Konsep ini diperlukan modifikasi pada alas bejana (saluran pipa) dengan membuat potongan vertikal berbentuk parabola sebagai lubang mengalirnya air sekaligus lubang penutup lubang tersebut. Di permukaan potongan vertikal parabola diberi kait untuk tempat mengikat tali. Rakit dan ikat tali menjadi satu dari semua potongan vertikal parabola. Pelaksanaannya, air dimasukkan pada salah satu saluran pipa. Setelah air pada saluran pipa sama rata, tali pada kait potongan vertikal parabola ditarik hingga air mengalir ke bawah. Ketika tali dilepas, secara otomatis potongan vertikal parabola tersebut akan menutup. Konsep ini dapat mempercepat proses penyiraman tanaman.
Setiap inovasi pasti memiliki kendala. Kendala dalam implemen- tasi metode planting above water adalah ketika terjadi pasang surut air laut. Tapi sebenarnya kendala tersebut dapat dimanfaatkan sebagai selang waktu pemberian nutrisi pada tanaman. Proses transfer zat hara dapat berlangsung ketika laut dalam kondisi normal dan pasang naik, sedangkan pemberhentian transfer hara akan otomatis berhenti ketika air laut mengalami pasang surut. Ketika air laut banyak, di bawah media tanam, ikan-ikan akan banyak berkumpul di bawah permukaan air dan air dari laut itu
Pertanian di Sektor Kelautan sebagai Strategi Ketahanan Pangan Tanpa Lahan
yang akan menjadi dasar untuk limbah ikan naik ke permukaan. Jadi ketika air laut surut, tidak ada air yang menggenangi bawah media tanam, sehingga proses pentransferan nutrisi tanaman pun tidak akan berjalan.
Untuk pembuatan konsep lain, dapat menerapkan dasar- dasar sederhana menggunakan prinsip dan sifat dari ilmu-ilmu pengetahuan alam. Masyarakat Indonesia, terutama generasi muda dapat berlomba-lomba untuk menciptakan suatu inovasi baru yang berguna untuk pemberdayaan alam Indonesia yang menyimpan bermacam potensi ini.
Partisipasi Masyarakat Indonesia
Untuk menggerakkan masyarakat agar ikut andil dalam upaya mengusir ancaman krisis pangan, pemerintah tidak hanya sekadar memberikan pengarahan agar mereka sadar untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk negeri ini. Itu hanyalah tindakan yang sia-sia. Mereka tidak akan menghiraukan imbauan yang dilontarkan dan dirujuk untuk mengolah potensi yang dimiliki Indonesia. Mereka tidak bisa hanya diberi motivasi dan dorongan, seperti “kalian harus begini” atau “kalian harus menjadi seperti ini”.
Tidak dengan semudah itu untuk mendorong masyarakat Indonesia memaksimalkan potensi alamnya. Mereka butuh contoh, aksi, penerapan secara langsung. Pemerintah ataupun pihak yang bersangkutan dapat memberikan contoh pelaksanaannya. Tidak hanya sekadar mengarahkan secara lisan. Tapi ada tindakan nyata. Pemerintah dapat memberikan inovasi baru, atau paling tidak membantu sedikit sarana prasana penunjang kebutuhan masyarakat untuk mengembangkan pertanian kelautan dan kegiatan ekonomi laut lainnya.
Apabila belum ada gerakan dari pemerintah berkenaan dengan pelaksanaan program peningkatan pangan sektor kelautan, masyarakat Indonesia tidak perlu menunggu pemerintah untuk memberi informasi. Seharusnya ada gerakan menciptakan inovasi
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
baru untuk mengelola potensi apa yang ada. Kapan negara ini akan berkembang jika masyarakatnya tidak ada kemauan dan kesadaran untuk membuat perubahan? Bagaimana bisa masyarakat Indonesia mampu menjadi SDM-SDM unggul, jika mereka hanya mampu berdiam dan menunggu perintah saja? Paling tidak ada tindakan untuk mencoba. Jangan takut gagal karena kegagalan-kegagalan itu yang akan menjadi tolok ukur untuk meraih suatu pencapaian besar.
Evaluasi Strategi Pertanian Kelautan
Meledaknya jumlah penduduk Indonesia menjadi salah satu faktor Indonesia terancam krisis pangan. Banyaknya jumlah penduduk mendorong makin banyak pula permukiman sebagai tempat tinggal yang menjadi penyebab krisis lahan pertanian di Indonesia. Lahan yang seharusnya menjadi area pengembangan potensi sumber daya alam (pertanian dan perkebunan) kemudian beralih fungsi. Mulai menipisnya lahan-lahan yang dapat diolah sebagai area pertanian dan perkebunan, memunculkan gagasan baru untuk menciptakan peluang dengan memanfaatkan wilayah laut Indonesia yang luas dan memultifungsikan laut Indonesia sebagai lahan pengganti. Gagasan ini berupa pengenalan metode baru dalam penerapan pertanian di sektor kelautan, yaitu planting above water. Metode ini merupakan upaya memanfatkan perairan Indonesia sebagai lahan pertanian dan sumber penghidupan.
Metode tersebut menerapkan konsep sederhana berbasis ilmu- ilmu alam yang ditujukan kepada masyarakat pesisir yang memiliki kemauan dan ketertarikan untuk mencoba peluang bertani di sektor kelautan Indonesia. Ini merupakan sebuah konsep baru yang dikemas secara sederhana berdasarkan kemampuan finansial masyarakat Indonesia. Diharapkan masyarakat Indonesia dapat mengembangkannya secara optimal, sebagai pembuktian bahwa masyarakat Indonesia kreatif dan berwawasan tinggi.
Pertanian di Sektor Kelautan sebagai Strategi Ketahanan Pangan Tanpa Lahan
Pertanian di sektor kelautan merupakan suatu strategi ketahanan pangan tanpa lahan. Hal tersebut mampu mendorong Indonesia agar dapat mewujudkan visi sebagai sentral kegiatan ekonomi regional dan global dengan memanfaatkan sumber dan potensi kelautan yang tersedia. Komitmen yang kuat dari pemerintah beserta keikutsertaan elemen masyarakat secara aktif mampu mewujudkan visi Indonesia tersebut. Selagi masih ada kinerja yang kuat untuk membuat suatu perubahan besar pada tatanan konsep ketahanan pangan Indonesia, pasti akan membentuk suatu hasil yang berbeda dan mampu menggerakkan perekonomian negara.
Mari bersama-sama mengembangkan potensi wilayah, potensi alam, dan potensi manusia untuk mengangkat keterpurukan Indonesia dalam keterbengkalaian perekonomian!
Revitalisasi Budaya Maritim Bercermin dari Sekaa Nelayan Mina Bhakti Soansari
Kadek Yuni Antari
SMA Negeri Bali Mandara, Bali
“Melambai lambai nyiur di pantai, berbisik bisik raja kelana memuja pulau nan indah permai tanah airku Indonesia”
asih ingatkah dengan penggalan lagu di atas? Penggalan lagu yang mengingatkan kita akan kebesaran Nusantara di
masa lalu yang kini mulai hilang seiring dengan berkembangnya zaman. Bangsa yang besar dengan ribuan pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Laut seakan surga di atas air yang memberikan harapan dan penghidupan bagi masyarakat pesisir.
Aktivitas pelayaran bangsa Indonesia sebenarnya sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang kita. Mereka berlayar mengarungi Nusantara dengan menggunakan transportasi tradisional yang kita kenal dengan perahu bercadik. Pelayaran yang dilakukan didukung dengan letak strategis wilayah kepulauan Nusantara yang merupakan jalur lalu lintas laut dunia, secara tidak langsung kondisi ini mengawali perdagangan bangsa Indonesia sekaligus menjadi penghubung dunia Barat dan dunia Timur dalam melakukan interaksi perdagangan dunia. Dari sini dapat dilihat bahwa bangsa
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Indonesia sudah memiliki lembaga penghubung atau pranata yang memungkinkan terjadinya hubungan perdagangan internasional.
Kini, kekayaan laut yang dimiliki oleh bangsa Indonesia bukan merupakan fenomena baru. Indonesia dari zaman nenek moyang sudah dikenal sebagai negara maritim yang menyimpan sejuta kekayaan dan memberi pengaruh penting terhadap perdagangan internasional. Hampir 70% dari wilayah Indonesia merupakan wilayah laut dan pesisir yang mempunyai potensi ekonomi yang sangat besar, sehingga sektor ini menjadi salah satu fundamental yang penting dalam mendorong perekonomian nasional. Menurut hitungan para pakar, potensi ekonomi laut Indonesia sekitar 1,2 triliun dolar AS per tahun, atau setara dengan 10 kali APBN pada tahun 2012 (Kementerian Kelautan, 2013). Namun sayangnya, Indonesia yang mempunyai potensi besar itu kurang memerhatikan sektor ini. Pemerintah kurang memerhatikan sumber daya laut yang kita miliki, sejauh ini pembangunan yang dilakukan hanya difokuskan kepada pembangunan daratan. Padahal, laut merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keberadaan wilayah suatu Negara. “Barang siapa yang menguasai laut, ia akan menguasai dunia”, demikian dalil Alfred Thayer Mahan (1890) dalam karyanya The Influence of Sea Power Upon History 1660-1783 (maritim.wg, 2014).
Namun sangat disayangkan, kekayaan laut yang dimiliki oleh bangsa Indonesia kini dimanfaatkan tanpa memuliakan dan memerhatikan kelestariannya. Hal ini dipengaruhi oleh semakin modernnya zaman yang menuntut para manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa memerhatikan efek jangka panjang. Jika kita telusuri lebih dalam pencemaran laut lebih banyak dilakukan oleh masyarakat pesisir khususnya kaum nelayan. Mereka banyak menggunakan bahan berbahaya dalam menangkap ikan seperti pukat harimau, potasium, sianida, dan bahan berbahaya lainya yang mereka anggap dapat mempercepat proses penangkapan ikan. Tak hanya itu, perilaku masyarakat Indonesia yang semakin membabi buta dalam mengeksploitasi sumber daya laut Indonesia
Revitalisasi Budaya Maritim Bercermin dari Sekaa Nelayan Mina Bhakti Soansari
semakin hari semakin bertambah persentasenya. Perilaku seperti ini merupakan salah satu hal yang mereka anggap biasa, namun sebenarnya membawa dampak yang sangat besar bagi kelestarian dan keberadaan sumber daya laut Indonesia.
Tanpa mereka sadari perilaku ini lambat laun akan berakibat fatal terhadap kelestarian laut, tidak hanya dapat merusak ekosistem ikan saja akan tetapi kekayaan laut lain juga dapat dirusak kelestariannya, salah satu contoh yang nyata adalah terumbu karang. Sementara selama ini terumbu karang merupakan salah satu komponen utama sumber daya pesisir dan laut. Terumbu karang dan segala kehidupan yang ada di dalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya. Luas terumbu karang di perairan Indonesia
diperkirakan mencapai 60.000 km 2 yang tersebar luas dari kawasan barat Indonesia sampai kawasan timur Indonesia (suaramerdeka. com, 2014).
Kerusakan Terumbu Karang di Indonesia
Terumbu karang yang selama ini dikenal sebagai salah satu kekayaan bangsa Indonesia, pada dasarnya memiliki banyak manfaat. Salah satu manfaatnya adalah sebagai tempat berkembangbiaknya ikan-ikan laut, sebagai sumber makanan ikan, dan terumbu karang juga dimanfaatkan sebagai taman wisata bawah laut (ekowisata). Indonesia dikenal sebagai negara pertama yang memiliki jumlah terumbu karang terbesar di antara enam negara yang memiliki terumbu karang terbesar di dunia. Keenam negara tersebut adalah Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Salmon, dan Timor-Leste. Diperkirakan dari sekitar 800 jenis karang pembentuk terumbu dunia, lebih dari 600 jenis ditemukan di Asia Tenggara (marinescienceunpad.wordpress.com, 2012).
Sungguh anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada negara Indonesia. Namun sekarang yang menjadi pertanyaan, mampukah bangsa Indonesia mempertahankan kejayaan maritim
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
yang selalu kita banggakan, khususnya terumbu karang tersebut? Apa jadinya jika terumbu karang yang kita miliki dari waktu ke waktu kelestariannya semakin merosot, dengan melihat kesadaran dari masyarakat yang semakin menurun dan ulah masyarakat yang semakin menjadi-jadi?
Jika hal ini terus dibiarkan terjadi, maka kita sebagai warga negara Indonesia akan merasa sangat malu. Jika dulunya orang mendengar kata terumbu karang, maka wilayah atau negara yang paling pertama ada di benak mereka pastilah Indonesia, namun jika melihat fakta yang ada tidak menutup kemungkinan hal itu hanya akan menjadi kenangan semata. Sebagai warga negara yang cinta tanah air tentunya akan turut andil untuk memikirkan nasib bangsa Indonesia ke depan, khususnya dalam mempertahankan budaya maritim Indonesia, agar keperkasaan dan kejayaan nenek moyang bangsa kita bisa dibangkitkan oleh generasi berikutnya, bukan malah memanfaatkan sumber daya laut dengan seenaknya. Intinya bagaimana agar pemanfaatannya berguna bagi bangsa dan negara Indonesia.
Di sinilah peranan serta partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam menjaga sumber daya laut yang kita miliki. Salah satu caranya dengan menanamkan konsep pelestarian sejak dini kepada masyarakat yang masih awam, terutama kepada kaum remaja yang akan berperan penting sebagai generasi penerus bangsa. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk suatu komunitas atau organisasi yang bertekad serta berkomitmen untuk memajukan dan menjaga keindahan laut yang kita miliki.
Strategi Bangkitkan Budaya Maritim
Kebiasaan masyarakat yang telah lama membudaya dalam diri masyarakat tentunya sulit untuk diubah. Hal serupa terjadi pada masyarakat Indonesia dalam pemanfaatan sumber daya laut. Mereka belum bisa keluar dari zona nyaman yang mereka rasakan, sekali mendapatkan hasil yang memuaskan pasti ingin terus mencobanya,
Revitalisasi Budaya Maritim Bercermin dari Sekaa Nelayan Mina Bhakti Soansari
bahkan ingin sesuatu yang lebih dari itu, karena sifat manusia yang tidak pernah puas. Inilah yang dilakukan oleh mereka yang hanya memikirkan kenikmatan semata tanpa memikirkan nasib generasi bangsa selanjutnya (anak cucu mereka ke depannya). Maka dari itu kesadaran dari masyarakat sangat diperlukan. Salah satu contoh masyarakat desa yang sadar akan hal itu dapat ditemukan pada masyarakat desa yang ada di Bali.
Salah satu desa di Bali yang dapat dijadikan teladan bagi daerah lain dalam menjaga keindahan dan kelestarian laut khususnya pembudidayaan terumbu karang adalah Desa Les yang terletak di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng. Jika kita berbicara tentang apresiasi, Desa Les adalah sasaran yang tepat untuk itu. Ibaratnya, mereka dapat berubah ”dari perusak menjadi penjaga karang ”. Frasa ini dapat menggambarkan keberadaaan desa yang berada di pesisir bagian utara pulau seribu pura ini.
Awalnya masyarakat di desa ini berprofesi sebagai nelayan ikan hias. Menyelam dengan kedalaman 5 sampai 15 meter dengan peralatan selam yang sederhana menemani keseharian nelayan di Desa Les. Namun nelayan di desa ini lebih suka menggunakan sianida dalam penangkapan ikan. Sianida adalah cairan tidak berwarna atau berwarna biru muda pada suhu kamar, yang bersifat mudah terbakar serta dapat berdifusi baik dengan udara, bahan peledak dan sangat mudah bercampur dengan air, sehingga sering digunakan dalam penangkapan ikan (Utama, 2006). Di kalangan nelayan Desa Les zat berbahaya ini lebih lumrah dikenal dengan sebutan potas. Setelah dimasukkan ke dalam botol khusus, para nelayan ini menyemprotkannya ke arah ikan, sehingga tanpa memerlukan waktu yang lama ikan hias yang menjadi sasaran mereka tampak lunglai tak sadarkan diri.
Setelah lama hal ini dilakukan akhirnya para nelayan Les sadar bahwa penangkapan ikan dengan menggunakan larutan potas bukanlah solusi dalam mempermudah usaha mereka sebagai nelayan. Tindakan ini justru malah merusak harta yang selama ini
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
mereka miliki, tidak hanya ikan hias yang punah, tetapi terumbu karang yang selama ini menjadi tempat serta sumber makanan bagi ikan juga ikut rusak akibat zat berbahaya yang mereka gunakan. Bercermin dari kondisi ini akhirnya para nelayan Desa Les membentuk sekaa nelayan (sekaa adalah sebutan untuk kelompok atau organisasi masyarakat yang ada di Bali). Sekaa ini bernama Mina Bhakti Soansari. Dengan dibentuknya Sekaa Nelayan Mina Bhakti Soansari ini memudahkan mereka dalam berkomunikasi dan berkoordinasi untuk memperbaiki kerusakan alam akibat dari ulah mereka, karena mereka berpikir jika kerusakan alam ini terus dibiarkan, maka mata pencaharian mereka akan mati serta kejayaan bangsa kita sebagai negara maritim hanya akan menjadi sebuah kenangan.
Sekaa Mina Bhakti Soansari ini menjadi tonggak bersejarah yang mengubah nelayan Desa Les dari perusak menjadi penyelamat terumbu karang. Mereka mulai melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan metode ramah lingkungan, mereka hanya menggunakan jaring tradisional yang telah diberi pemberat di sekitar karangnya, kemudian para nelayan akan menggiringnya menuju jaring. Berawal dari sinilah penggunaan larutan berbahaya itu mulai ditinggalkan. Dengan menggunakan jaring tradisional ini terumbu karang yang ada tidak tercemar lagi dan tetap bisa terjaga. Memang pendapatan yang mereka peroleh lebih sedikit dibandingkan ketika mereka masih menggunakan zat berbahaya. Jika dulunya mereka bisa meraup pendapatan lebih dari Rp 30.000 sekarang malah lebih sedikit daripada itu. Namun ini tidaklah menjadi masalah bagi mereka, yang terpenting adalah alam bawah laut yang mereka miliki tetap aman dan tetap terjaga kelestariannya. Salah satu nelayan yang bernama Yudarta mengungkapan: ”kami melakukan ini untuk warisan anak cucu kami, sekaligus menebus kesalahan terhadap apa yang telah kami lakukan dulu”. Kalimat ini seakan mencerminkan bahwa mereka benar-benar ingin mengembalikan keindahan laut yang dulu sempat mereka rusak. Untuk mempertahankan
Revitalisasi Budaya Maritim Bercermin dari Sekaa Nelayan Mina Bhakti Soansari
keberlanjutan kelompok ini ke depannya, anggota nelayan Mina Bhakti Soansari mengajarkan anak-anak mereka untuk menyelam dan mengajarkan bagaimana cara penangkapan ikan dengan menggunakan metode ramah lingkungan. Hal ini dilakukan agar kelak generasi mereka selanjutnya tidak melakukan tindakan serupa yang dapat merusak kelestarian bawah laut yang kita miliki.
Usaha yang mereka lakukan tak berhenti sampai di sini. Kelompok nelayan ini mulai memerhatikan terumbu karang yang dulunya sempat rusak ingin mereka kembalikan ke kondisi semula. Usaha yang mereka lakukan adalah dengan coral forming yaitu upaya stek atau transplantasi karang. Sejauh ini kelompok nelayan Desa Les telah berasil mencangkok lebih dari 100 karang, upaya ini perlahan-lahan membuahkan hasil yang dapat menunjang kehidupan kelompok nelayan Desa Les. Setelah sekian lama upaya ini dilakukan, terumbu karang di perairan Desa Les ini pun mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan, yang lebih menggembirakan lagi ikan-ikan yang dulunya sempat pergi akibat semprotan potas itu kini datang kembali menghiasi perairan di wilayah ini. Kondisi yang semakin hari semakin membaik seakan menumbuhkan semangat kelompok nelayan Mina Bhakti Soansari untuk terus mempertahankan usaha mereka. Kini mereka mulai merasakan manfaat dari usaha yang mereka lakukan. Terumbu karang yang dulunya rusak kini telah menjelma kembali menjadi keindahanan bawah laut yang sangat menawan.
Berkat usaha dan kerja keras mereka akhirnya nelayan Mina Bhakti Soansari bekerja sama dengan Yayasan Bahtera Nusantara kemudian mendirikan sebuah perusahaan bernama PT Bahtera Lestari di bulan September tahun 2003. Hanya dengan modal kebersamaan dan kesadaran dari para nelayan akan bahaya penggunakan sianida, kini mereka telah memiliki saham di perusahaan tersebut. Kelompok Nelayan Mina Bhakti Soansari memiliki saham sebesar sebesar 23,5%, pemilik tanah sebesar 22%, Desa Dinas dan Adat 10%, serta Yayasan Bahtera Nusantara 26%
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
dengan total modal perusahaan sebesar Rp 112 juta (weeklyline. net, 2013). Tak hanya itu wilayah perairan di desa ini kini menjadi wisata bawah laut yang kerap dikunjungi oleh wisatawan asing karena keindahan terumbu karangnya.
Memerhatikan Budaya Lokal
Dalam keberhasilannya, nelayan Mina Bhakti Soansari tetap memerhatikan nilai-nilai budaya lokal masyarakat Hindu Bali. Salah satu tindakan yang dilakukan adalah dengan menerapkan sistem awig-awig adat yang ada di Bali. Awig-awig berasal dari kata wig yang artinya rusak sedangkan awig atinya tidak rusak, sehingga jika digabungkan awig-awig artinya sesuatu yang menjadi baik. Dalam awig-awig ini, berisi tentang hukum adat yang berfungsi untuk mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat untuk mewujudkan ketenteraman dan ketertiban bersama (Aryawan, 2006).
Untuk mewujudkan ketertiban ini, maka kelompok nelayan Mina Bhakti Soansari menerapkan awig-awig adat yang diberlakukan bagi masyarakat yang tergabung dalam kelompok nelayan, serta bagi warga masyarakat lain yang berada di wilayah ini. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan bapak Made Merta selaku ketua nelayan di sana, dikatakan bahwa dalam pembuatan awig- awig ini mereka selalu mengutamakan musyawarah dan mufakat, segala keputusan diambil berdasarkan kesepakatan semua anggota sebagai cerminan bahwa kebersamaan merupakan modal awal untuk memperoleh kesuksesan dalam kelompok nelayan ini, sehingga nantinya jika ada salah satu anggota yang melanggar dapat dengan mudah dikenakan sanksi yang telah mereka sepakati bersama.
Sanksi yang diterapkan dalam awig-awig ini adalah pengucilan bagi mereka yang menggunakan sianida atau pun bahan berbahaya lainnya dalam penangkapan ikan. Sanksi kedua adalah dikeluarkan dari desa bagi mereka yang melakukan pengeboman, serta penyitaan alat tangkap bagi mereka yang menangkap ikan secara
Revitalisasi Budaya Maritim Bercermin dari Sekaa Nelayan Mina Bhakti Soansari
berlebihan. Dengan adanya awig-awig yang mengatur kegiatan penangkapan ikan, maka kelestarian laut dapat tetap terjaga.
Sebagai umat beragama, rasa syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa tentunya menjadi poin utama yang harus dilaksanakan. Untuk itu, sekaa nelayan ini mempunyai upacara tersendiri yang dikenal dengan nama upacara Nyuci Pebangkit yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Selain sebagai perwujudan rasa terima kasih ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah yang telah diberikan, upacara ini juga bertujuan untuk menjaga kesucian dan kesakralan laut itu sendiri.
Untuk melakukan suatu perbaikan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, perlu adanya suatu kesadaran yang diimbangi oleh usaha dari masyarakat. Seperti halnya usaha yang dilakukan oleh sekaa Nelayan Mina Bhakti Soansari di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Bali, yang awalnya menjadi perusak kini berhasil mengembalikan keasrian lautnya. Jika tidak dimulai dari masyarakatnya, siapa lagi yang akan menjaga kekayaan laut yang kita miliki? Maka dari itu marilah kita sebagai warga Indonesia bersama-sama melakukan perubahan, mulai dari hal terkecil demi kemajuan bangsa Indonesia. Bercermin dari Sekaa Nelayan Mina Bhakti Soansari di Desa Les Tejakula ini, diharapkan para nelayan yang ada di wilayah lain dapat meniru serta melakukan hal serupa yang dapat menjaga, melestarikan, serta menghidupkan kembali budaya maritim Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2014. “Budaya Maritim Indonesia, Peluang, Tanta tangan, dan Strategi”. http://maritim.wg.ugm.ac.id/wp content/ uploads/2014/09/NgarsoDalem_MaritimRoadMapUGM.pdf (Diakses tanggal 25 April 2015).
Aryawan, Budi Kresna. “Awig-awig Desa Adat”. http://eprints.undip. ac.id/16843/1/BUDI_KRESNA_ARYAWAN,_SH.pdf (Diakses tanggal 26 April 2015).
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Prasetyo, Dany Arisandi. 2012. ”Mengenal Lebih Dekat Coral Tringle Initiative”. https://marinescienceunpad.wordpress. com/2012/06/02/mengenal-lebih-dekat-coral-triangle- initiative-cti/ (Diakses tanggal 25 April 2015).
Ragam, 2014.” Terumbu Karang Terbesar Dunia Ada di Indonesia”. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/ cetak/2014/05/23/262287/Terumbu-Karang-Terbesar-Dunia- Ada-di-Indonesia (Diakses tanggal 26 April 2015).
Utama, Harry Wahyudhy. 2006. “Keracunan Sianida”. http:// klikharry.com/2006/12/14/keracunan-sianida-2/(Diakses tanggal 25 April 2015).
Pendidikan sebagai Tonggak Poros Maritim Nusantara
Ledy Fitra Ramadhani
SMA Negeri 1 Probolinggo, Jawa Timur
T idak bisa dipungkiri bahwa Negara Indonesia merupakan
negara dengan anugerah yang luar biasa. Negara tropis dengan kekayaan hayati yang melimpah ruah, gunung-gunung yang membentang sebagai simbol kemakmuran tanah air, dan lautan yang begitu luas dengan ribuan pulau yang memiliki pesona bak surga di dunia. Ya, begitulah setidaknya sedikit tentang kekayaan negara ini, kekayaan alam yang dielu-elukan sejak dahulu bahkan hingga sekarang tak pernah padam dimakan zaman. Sebandingkah puji-pujian itu dengan kenyataan bahwa negara ini merupakan jajaran negara terkaya di dunia atau hanya sekadar potensi belaka?
Potensi Alam Indonesia
‘Kaya’, ‘makmur’, ‘sejahtera’ merupakan istilah-istilah yang memerlukan tolok ukur untuk menyimpulkannya. Munafik sekali rasanya jika bangsa Indonesia tidak mau dibanding-bandingkan dengan negara lain. Mengingat bangsa ini membutuhkan bangsa lain untuk berkaca dan memperbaiki diri. Kenyataan bahwa Indonesia terus terpuruk di berbagai bidang terutama sektor perekonomian merupakan tanda bahwa bangsa ini belum mampu
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
memaksimalkan potensi yang dimilikinya sebagai suatu bangsa yang besar. Sedangkan, banyak negara-negara dengan keterbatasan geografis dan potensi alamnya justru mampu mengatasi masalah permanen tersebut, contohnya Singapura, Jepang, dan Korea. Ironisnya, Indonesia yang kaya ini justru bergantung pada negara- negara tersebut. Hal ini merupakan tamparan bagi bangsa ini sebagai mantan ‘Macan Asia’ yang hanya tinggal nama yang dikenang dan diajarkan dalam pelajaran sejarah di bangku sekolah dasar. Inilah mengapa Indonesia harus bangkit dengan memaksimalkan kekuatan potensi alam yang dimiliki.
Pada kenyataannya, Indonesia memiliki potensi lengkap, yaitu kekayaan di daratan maupun di lautan. Itulah sebabnya Indonesia disebut sebagai Negara Agraris juga sebagai Negara Maritim. Suatu kekayaan langka yang jarang sekali ditemui dan dimiliki oleh setiap negara. Tak heran Indonesia menjadi ‘rebutan’ bangsa-bangsa asing di era kolonialisme. Bahkan hingga saat ini, investor-investor asing tak sepi menyerbu pasar Indonesia hingga harus mengorbankan satu per satu produsen asli Indonesia.
Terlepas dari itu, Negara Indonesia seharusnya lebih tepat dikatakan sebagai Negara Maritim. Mengapa? Secara geografis 2/3 atau sekitar 70% wilayah teritorial Indonesia adalah lautan. Dengan kata lain potensi kekayaan daratan Indonesia hanya 1/3 dari keseluruhan wilayah Indonesia. Namun, mengapa saat ini masyarakat lebih kental dengan penyebutan Indonesia adalah Negara Agraris daripada Negara Maritim? Hal ini merupakan bukti dari kemerosotan dan kurangnya perhatian terhadap sektor maritim jika berkaca dari sejarah Indonesia ratusan tahun yang lalu.
Jati Diri Bangsa, Berkaca pada Sejarah
Kejayaan Sriwijaya yang konon merupakan salah satu Kerajaan Maritim besar di dunia pada masa itu seharusnya mengingatkan bangsa Indonesia akan jati diri bangsa ini sebagai Negara Maritim. Selain Sriwijaya, kerajaan-kerajaan lain seperti Samudera Pasai,
Pendidikan sebagai Tonggak Poros Maritim Nusantara
Demak, dan Majapahit juga membuktikan bahwa bangsa ini memiliki kemampuan luar biasa dalam sektor maritimnya. Namun ‘kecelakaan sejarah’ seperti yang disebutkan seorang penulis buku dan pegiat kajian pendidikan asal Yogyakarta, Teguh Wiyono, yaitu terisolasinya bangsa ini di pedalaman pada masa pendudukan bangsa Eropa akibat kekalahan persaingan perdagangan rempah- rempah menyebabkan tertanamnya mindset sebagian besar masyarakat bahwa Indonesia sebagai Negara Agraris. Hal ini karena penjajah saat itu menguasai pelabuhan-pelabuhan, sehingga tertutuplah kesempatan pribumi untuk mengakses pergaulan global dan mengembangkan diri secara bebas selama ±300 tahun. Rakyat Indonesia yang terkungkung sekian tahun lamanya membuat jati diri sebagai Negara Maritim berbelok menjadi sepenuhnya Negara Agraris. Walaupun kini Indonesia sudah merdeka, mindset Indonesia adalah Negara Agraris yang subur ditanamkan dari generasi ke generasi tersebut terbawa hingga saat ini, seakan lupa jati diri negara ini sebenarnya.
Masyarakat sudah terlanjur ‘nyaman’ dengan sektor agraris. Hal ini terbukti dari berbagai pengembangan dan riset-riset teknologi agraris. Sebaliknya, dalam sektor maritim masyarakat Indonesia dinilai kurang gereget atau tertarik. Padahal, secara logika potensi kekayaan maritim Indonesia jauh lebih besar daripada agraris. Seperti yang dicetuskan baru-baru ini oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, bahwa target pemerintah pada tahun 2015 ini Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor perikanan dan kelautan naik sebesar 508% menjadi Rp1,27 triliun.
Harus diakui bahwa kekayaan laut Indonesia merupakan investasi besar. Bukan hanya perikanan, namun kegiatan ekspor- impor dan sektor pariwisata adalah komponen penting dalam pembangunan maritim Indonesia. Sayang sekali, diperkirakan kerugian negara mencapai Rp300 triliun setiap tahunnya hanya dari illegal fishing saja. Hal itu belum termasuk kerugian negara karena penyuapan dan transaksi ilegal lainnya.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Potensi kekayaan laut Indonesia perlu dilindungi oleh setiap lapisan masyarakat sebagai harta warisan dari nenek moyang dan anugerah Tuhan. Masyarakat harus sadar bahwa Indonesia adalah Negara Maritim bukan hanya soal laut yang luas dan pulau yang banyak, tetapi bagaimana mempertahankan kedaulatan negara ini dari tangan-tangan warga negara asing yang tidak bertanggung jawab. Pembenahan mindset masyarakat inilah yang menjadi tantangan dan tugas pemerintahan Presiden Joko Widodo yang bervisi menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Mengingat potensi alam sebesar apapun tidak akan terkelola dengan baik tanpa Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan kompeten. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi jangka panjang yang optimal. Menyongsong kembali melalui penanaman pendidikan budaya maritim yang sudah terkubur sejak ratusan tahun yang lalu merupakan solusi dari keterpurukan bangsa ini.
Pendidikan sebagai Faktor Perubahan
Apabila suatu bangsa mengalami keterpurukan, maka tidak ada pihak yang paling bertanggung jawab kecuali perguruan tinggi yang telah mendidik para pemikir dan pemimpin bangsanya.
Keterpurukan bangsa Indonesia, bisa jadi karena kesalahan pada sistem pendidikannya. Seperti yang telah diketahui, pembentukan karakter bangsa tak luput dari warisan pendidikan zaman dahulu. Untuk mengubah masa depan, diperlukan perubahan mendasar pada proses pendidikan sejak dini. Pendidikan karakter yang telah digalang sejak beberapa tahun silam dan ditekankan pada Kurikulum 2013 ini seharusnya dibarengi dengan Pendidikan Budaya Maritim. Sayangnya pendidikan Budaya Maritim yang juga merupakan karakter bangsa luput dari konsentrasi pemerintah. Hal ini menyebabkan para pemuda Indonesia terus terlarut dalam kungkungan paham masa lalu tanpa adanya tindakan secara konkret dalam usaha penuntasan masalah maritim di bumi pertiwi. Beruntungnya, berkat kecanggihan teknologi, krisis maupun
Pendidikan sebagai Tonggak Poros Maritim Nusantara
perkembangan tentang sektor maritim Nusantara dapat diakses sehingga masyarakat tidak sepenuhnya buta.
Pemerintah harus memanfaatkan jalur pendidikan di sekolah- sekolah yang memang ‘ampuh’ sebagai faktor perubahan bangsa. Hal ini karena para pemuda adalah agen perubahan bangsa. Sekolah adalah agen pembentuk karakter pemuda, calon pemimpin dan penyelenggara negara ini. Pemuda-pemuda harus memiliki karakter- karakter pembangunan dan kebudayaan yang kuat, sehingga tujuan dan cita-cita negara dapat tercapai. Pendidikan di sekolah mampu mewujudkan visi pemerintah saat ini, yaitu menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Revitalisasi budaya maritim dalam pendidikan Indonesia harus segera dilaksanakan, sebab tindak lanjut visi pemerintah ini memerlukan calon-calon yang siap dan mampu untuk mempertahankan dan mengembangkan visi tersebut ketika Indonesia sudah mampu mencapainya. Pemanfaatan jalur pendidikan ini dilaksanakan dengan mengetengahkan kembali budaya maritim di setiap aspek kurikulumnya.
Pendidikan sebagai Tonggak Poros Maritim Nusantara
Budaya diciptakan dari suatu kebiasaan-kebiasaan mendasar yang terus-menerus dilakukan secara teratur. Dalam pembelajaran, karakter Indonesia sebagai Negara Maritim harus ditanamkan secara konsisten. Hal ini dimulai dari pembangunan komitmen yang kuat baik dari pemerintah maupun seluruh masyarakat, khususnya tenaga pengajar dan peserta didik, dalam hal usaha mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Tanpa komitmen yang kuat penanaman dan pembiasaan budaya maritim tidak akan terlaksana secara optimal.
Selanjutnya adalah dengan membangun kebudayaan maritim di sekolah. Saat ini, banyak sekolah-sekolah menerapkan budaya adiwiyata, anti-narkoba, tertib lalu-lintas dan sebagainya. Tentunya budaya maritim juga bisa diterapkan di sekolah-sekolah. Walaupun tidak sedikit sekolah yang berada di daratan bahkan jauh di
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
pedalaman, tidak menjadi halangan dalam penerapan budaya maritim ini. Sebab, bagaimana pun Indonesia ini tetap negara kepulauan yang eksistensinya harus diakui setiap masyarakat baik masyarakat pesisir maupun pegunungan. Pembangunan kebu da- yaan maritim ini dapat dilakukan sesuai dengan kurikulum yang dijalankan, baik melalui kegiatan intrakurikuler maupun kegiatan- kegiatan ekstrakurikuler.
Dalam kegiatan intrakurikuler atau kegiatan belajar-mengajar di kelas, setiap mata pelajaran harus menjunjung karakter maritim sesuai aspek-aspek mata pelajaran tersebut. Misalnya, dalam pelajaran Bahasa Indonesia, membuat puisi tentang laut, mengarang tulisan tentang laut, bahkan di jenjang yang lebih tinggi dapat dilakukan debat-debat yang membahas tentang kelautan di Indonesia. Pada mata pelajaran Biologi, dapat mengkaji tentang biota laut dan teknologi-teknologi pengembangan sumber daya alam yang ada di laut Indonesia. Dalam pelajaran geografi, tidak hanya mempelajari bagaimana keadaan geografis secara umum, namun perlu diadakan penelitian-penelitian mendalam tentang wilayah kelautan di Indonesia. Tidak lupa yang paling penting dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) sebagai pendidikan utama tentang kewarganegaraan pada pelajar, harus lebih ditekankan bahwa sebagai warga negara, para pemuda sebagai agen perubahan, memiliki tanggung jawab menjamin keberlangsungan Indonesia sebagai Negara Maritim. Tentunya untuk mata pelajaran lain dapat disesuaikan sesuai kebutuhan dengan disertai implementasi yang nyata, sehingga usaha penanaman budaya maritim tidak hanya sekadar teori.
Sedangkan dalam kegiatan ekstrakurikuler dapat dikembangkan kegiatan-kegiatan tambahan seperti penyelamatan terumbu karang dalam Pramuka dan Pecinta Alam. Mengadakan kompetisi-kompetisi antarsiswa yang bersifat kreasi inovatif maupun pengembangan- pengembangan sistem yang sudah ada dalam bidang maritim, mengajak peserta didik melakukan study tour ke museum-museum
Pendidikan sebagai Tonggak Poros Maritim Nusantara
maupun instansi pemerintah yang berhubungan dengan kelautan dan perikanan, dan sebagainya. Sekolah juga dapat menambahkan infrastruktur berupa ruangan maritim atau pameran-pameran yang pelaksanaannya diatur oleh siswa, sehingga siswa dapat menyalurkan kreativitasnya dengan tidak meninggalkan budaya maritim.
Penanaman pengetahuan akan budaya maritim akan menyegarkan pemahaman peserta didik tentang pentingnya peran kelautan bagi Indonesia. Hal-hal mendasar yang ditanamkan dalam setiap aspek pendidikan sejak dini dan konsisten dalam kerangka wajib belajar dapat membentuk karakter yang diinginkan. Karakter- karakter tersebut meliputi: mengakui wilayah laut Indonesia, mencintai, menjaga, dan melestarikan keberlangsungannya, melindungi kedaulatan dan ikut membangun dunia maritim Indonesia.
Ketika peserta didik yang juga calon penerus bangsa ini sudah tergugah rasa antusiasmenya terhadap sektor maritim, akan ada usaha untuk mendukung pemerintah dalam upaya menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, bahkan ikut serta membantu dalam pengembangannya. Sinergi antara masyarakat dan pemerintah inilah yang dirindukan bangsa ini sejak lama. Ketika masyarakat sepenuhnya mendukung pemerintah, Indonesia akan menjadi Negara Maritim yang kuat, baik secara idealisme maupun penerapannya secara menyeluruh.
Usaha memasukkan karakter budaya maritim ke dalam sistem pendidikan nasional tidak memerlukan penggantian kuri kulum, hanya saja penanaman ini perlu disosialisasikan secara serius terutama kepada tenaga pengajar yang bertanggung jawab mem- bentuk karakter peserta didiknya. Tentu saja pengajar juga harus memiliki pemahaman tentang budaya maritim yang mendalam dan aktif. Dalam hal ini, yang bertanggung jawab adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai pembimbing tenaga pengajar tersebut.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Pembelajaran ini kemudian akan membentuk rantai siklus dari generasi ke generasi. Budaya maritim yang akan terbangun dalam pribadi anak-anak bangsa juga akan berdampak pada naiknya status sosial para nelayan yang menjadi perhatian khusus pemerintah, sehingga akan muncul rasa menghargai antara profesi satu dengan lainnya. Kemudian karakter ini akan berkembang di kalangan masyarakat. Sistem pendidikan seperti ini harus diterapkan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia agar dunia maritim benar- benar bisa dibangkitkan kembali sebagai identitas bangsa.
Dalam pelaksanaannya dibutuhkan kontrol secara intensif dan kendali dari pemerintah secara langsung. Harus dilakukan monitoring dan evaluasi secara terus menerus agar penanaman budaya maritim bersamaan dengan usaha untuk memajukan pendidikan di Indonesia dapat berjalan secara maksimal. Dalam hal ini Dinas Pendidikan di tingkat kabupaten/kota dapat menjadi evaluator tingkat pertama yang bertanggung jawab kepada provinsi masing-masing, kemudian secara nasional diserahkan kepada pemerintah pusat.
Pemuda Indonesia Harus Bangkit
Saat ini dengan segala problematik pendidikan yang tak kunjung surut, Pemuda Indonesia dituntut harus mulai bergerak. Hal ini bukan hanya persoalan identitas dan jati diri bangsa, digagasnya pasar bebas menjadi alert bagi generasi penerus bangsa untuk mulai serius menjajaki dunia perekonomian dan persaingan kerja secara terbuka dan besar-besaran. Sistem pendidikan terdahulu yang membiasakan hafalan bukan pengembangan kreativitas dan pemecahan masalah telah ‘mendidik’ bangsa ini sebagai bangsa yang konsumtif bukannya produktif akan menjadi ancaman jika tidak diubah sejak saat ini. Jika sifat konsumtif ini terus- menerus membudaya, tak diragukan lagi Indonesia akan semakin dikendalikan seperti boneka oleh bangsa asing.
Pendidikan sebagai Tonggak Poros Maritim Nusantara
Indonesia dalam pembangunannya terus-menerus memper- baiki diri menuju arah yang lebih baik. Berbagai sektor kehidupan terus dikembangkan dan sudah mengalami perombakan-perom- bakan. Penegakan hukum yang ditegakkan salah satunya seperti penenggelaman kapal-kapal asing yang menangkap ikan di perairan Indonesia tanpa izin merupakan langkah pemerintah untuk menunjukkan keseriusannya dalam menjamin hak-hak nelayan Indonesia. Jangan sampai hal ini hanya sebatas seremonial belaka, sehingga pemberantasan mafia-mafia laut yang bahkan kejahatannya lebih besar dari nelayan-nelayan asing yang kapalnya ditenggelamkan itu lolos. Pemerintah juga harus selalu waspada.
Realisasi pendidikan sebagai tonggak poros maritim Nusantara harus disertai dengan peningkatan infrastruktur bagi pelabuhan- pelabuhan Indonesia yang masih belum memenuhi standar inter- nasional, serta pengadaan kapal-kapal ekspor-impor yang masih didominasi oleh investor asing. Tanpa adanya wujud nyata dari pembangunan usaha yang dilakukan tidak akan berjalan secara maksimal.
Indonesia sudah lama tenggelam dalam lautnya sendiri. Pendidikan budaya maritim secara intensif dan konsisten mampu membuka lembar baru dalam dunia maritim Indonesia. Inilah saatnya bangsa Indonesia kembali bangkit menjunjung nama maritimnya. Lautan tidak memecah belah bangsa ini, tapi lautanlah yang mempersatukan Indonesia. Pendidikan tidak untuk masa kini, tapi masa depan yang lebih cerah bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Ramadhani, Ledy Fitra. 2013. “Sampah: Media Kreatif Belajar ala Sekolah Adiwiyata”. SMA Negeri 1 Probolinggo.
Hapsari, Adita Putri. 2013. “Korelasi Konstruksi Bambu Ramah Lingkungan dan Nasionalisme NKRI”. SMA Negeri 1 Probolinggo.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Redaksi. 2014. Jurnal Maritim Edisi 20. “Gebrakan dan Tantangan Kabinet
Maritim” (http://jurnalmaritim.cpm/2014/12 gebrakan-dan- tantangan-kabinet-maritim/). Diakses Jumat,
08 Mei 2015. Wiyono, Teguh. 2013. “Menggagas Kembalinya Pendidikan Maritim-
Agraris-Niaga Indonesia Raya” (http://www,pendidikan-diy. go.id/dinas_v4/?view=v_artikel&id=26). Diakses Jumat, 08 Mei 2015.
Penanggulangan Sampah di Wilayah Laut
Tobati Kaitannya dengan Hukum Adat Mendo Khor Nanat di Jayapura
Ahmad Irianto
SMA Negeri 1 Jayapura, Papua
L aut merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tak ternilai
harganya. Keberadaannya sangatlah penting bagi seluruh kehidupan makhluk hidup. Laut tak hanya difungsikan sebagai ujung tombak mata pencaharian masyarakat nelayan yang hidup di pesisir pantai, namun juga sebagai jalur perdagangan dunia yang berpengaruh pada kemajuan globalisasi di berbagai macam sektor seperti pertukaran kebudayaan asing ke Indonesia, sampai pada penyelundupan barang-barang yang dapat mengancam kedaulatan NKRI. Dahulu hingga saat ini negeri-negeri mancanegara mengenal Indonesia sebagai bangsa dengan wilayah maritim yang besar, wilayah lautnya luas dan terbentang dari Sabang sampai Merauke. Menurut pakar hukum laut Indonesia, Dimyati Hartono, luas laut Indonesia adalah 60 persen, atau setara dengan 3.166.163 kilometer persegi (Gara-gara Indonesia, 2013:67). Pada kondisi inilah laut menjadi pemisah di antara 17.508 pulau yang satu dengan lainnya. Di antara pulau-pulau tersebut terdapat eksotika pantai yang memiliki karakteristik yang berbeda di setiap daerah. Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, yakni lebih dari 95.000 kilometer. Hal itu menandakan bahwa laut memiliki fungsi
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
sebagai roda penggerak pada sektor pariwisata, pengembangan ilmu pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), sampai pada jalur lalu lintas yang berdampak pada kemajuan era globalisasi.
Namun, selama ini bangsa kita dihadapkan pada berbagai macam problem yang notabene disebabkan oleh lemahnya sistem koordinasi antar-instansi yang berkecimpung dalam birokrasi kelautan. Anggota DPD RI dari Maluku, Nono Sampono, ketika berdiskusi dengan wartawan beberapa waktu lalu, bercerita cukup banyak mengenai pengolahan laut nasional yang karut-marut. Nono mengetahui secara mendalam tentang laut, karena sejak kecil hidup di daerah kepulauan Maluku, dia juga sempat memangku jabatan petinggi TNI AL dengan pangkat terakhir letnan jenderal marinir, sebelum purnawirawan. Mantan Komandan Korps itu menilai kinerja Indonesia belum berjalan maksimal dalam hal mengusai dan mengolah potensi laut yang dimiliki. Menurutnya “Semua Undang- Undang (UU) Kelautan harus dilebur karena semua tumpang tindih”. Saat ini ada 13 UU tentang kelautan. Terlihat dari banyaknya UU dan instansi yang menangani laut seolah menggambarkan keseriusan, namun praktiknya bergerak sendiri-sendiri (Indonesia Kini, 11/III/10 Desember 2014, hlm. 07).
Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo berupaya untuk mengembalikan masa kejayaan Indonesia sebagai bangsa maritim. Presiden Jokowi mencanangkan sejumlah strategi guna menghidupkan kembali kejayaan maritim Indonesia. Hal itu dise- babkan oleh pembangunan yang lebih memfokuskan pada wilayah daratan (kontinental), sehingga presiden berusaha me ngim bangi pembangunan dari sektor laut (maritim). Presiden Jokowi menggagas “Pembentukan Poros Maritim Dunia”. Program ini perlu diapresiasi dan secara kontinu harus dikembangkan oleh seluruh elemen masyarakat melalui kerja sama antarlini pemerintah untuk berkomitmen agar visi besar ini dapat terwujud sebagaimana mestinya.
Jika beberapa gagasan atau program itu terwujud, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi pusat pengolahan perikanan
Penanggulangan Sampah di Wilayah Laut Tobati Kaitannya dengan Hukum Adat Mendo Khor Nanat di Jayapura
dunia. Hal ini selaras dengan konsep Poros Maritim Dunia yang digaungkan oleh Presiden Jokowi sebagaimana dilansir melalui koran Indonesia Kini, “Kami optimis, dengan menjadikan Indonesia sebagai pusat pengolahan perikanan dunia, maka nilai ekspor nasional akan meningkat dari 4,1 miliar Dolar AS pada 2013, menjadi 40 miliar dolar AS pada 2019” (Indonesia Kini, edisi 19/ III/26 November 2014).
Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kekayaan alam baik daratan maupun lautan yang besar. Jayapura sebagai ibu kota provinsi Papua tentunya mempunyai peranan penting dalam pembangunan di berbagai bidang. Pertumbuhan penduduk Kota Jayapura sangat pesat, berdasarkan hasil pendataan penduduk tahun 2010 tercatat sebesar 256.705 jiwa, sehingga dengan adanya jumlah penduduk yang begitu besar tersebut tentu memerlukan sumber daya alam yang banyak untuk kebutuhan hidup masyarakat. Salah satunya sumber daya laut, di mana yang paling pokok adalah ikan. Harga ikan di Kota Jayapura semakin tahun semakin mahal. Hal itu disebabkan karena kondisi laut saat ini sudah mulai tercemar akibat sampah. Ikan sudah cukup sulit untuk didapatkan di daerah dekat daratan, jadi nelayan harus berlayar cukup jauh.
Akhir-akhir ini sampah telah menjadi trending topic yang dibicarakan oleh masyarakat Nusantara. Sampah adalah bahan atau barang selain zat cair dan gas, yang sudah dibuang, karena tidak terpakai, tidak berguna atau tidak dikehendaki. Misalnya kertas, sisa makanan, botol, sampah dapur dan sampah pertanian. Sampah dianggap sebagai sumber polusi ketiga utama setelah polusi air dan udara yang mengancam lingkungan (Ensiklopedi Nasional Indonesia “14” hal 375 ).
Kondisi laut saat ini yang berada di Kota Jayapura cukup mengkhawatirkan. Penduduk Kota Jayapura setiap tahunnya mengalami peningkatan jumlah penduduk. Dari pesatnya jumlah penduduk berpengaruh pada produksi sampah yang dihasilkan
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
masyarakat itu sendiri. Hingga saat ini masalah bertambahnya volume sampah merupakan hal yang sulit diatasi. Merebaknya sampah yang mengalir melalui Kali Acai salah satunya, berujung hingga ke laut suku Tobati.
Berdasarkan permasalahan tersebut, masalah yang paling urgen adalah sampah. Sebab, sampah yang berada di laut Tobati sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Tobati. Sampah yang mengapung adalah sampah anorganik yang bersumber tak hanya dari Kali Acai namun juga Kali Entrop dan Kali Hanyan yang dibuang oleh masyarakat kota. Sampah-sampah tersebut telah memengaruhi kondisi laut Tobati, misalnya berdampak pada produksi ikan yang menurun. Hal ini perlu ditinjau dari perspektif hukum adat Tobati, dengan harapan untuk memulihkan kondisi biota laut agar dapat menopang kebutuhan hidup suku Tobati.
Papua adalah salah satu daerah yang memiliki keanekaragaman budaya dan tradisi. Budaya menurut E.B. Taylor adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pola pikir, pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat serta kesanggupan dan kebiasaan yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat (Parlemen Remaja, 2014). Tradisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala. Di Papua terdapat sekitar 255 suku yang berbeda-beda. Dari keberagaman suku ini, lahirlah adat yang mengikat kuat anggota klannya (Marga/Fam) untuk selalu menaati hukum adat tersebut. Sebagian besar hukum adat mereka menjurus pada pelestarian alam karena kehidupan mereka bergantung dengan alam. Suku Tobati merupakan salah satu suku dari 255 suku yang ada di Jayapura. Kehidupan mereka selalu diwarnai oleh hukum adat. Hukum adat mampu mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, keserasiannya dengan alam serta sesama makhluk hidup lainnya. Kehidupan mereka bergantung pada kondisi wilayah masing- masing, contohnya suku Dani di Wamena memilih tinggal di darat
Penanggulangan Sampah di Wilayah Laut Tobati Kaitannya dengan Hukum Adat Mendo Khor Nanat di Jayapura
(hutan dan wilayah pegunungan), suku Marind di Merauke lebih memilih hidup di tengah hutan belantara. Namun, suku Tobati mereka lebih memilih menjalankan seluruh aktivitas kehidupan di pinggir laut. Kita dapat menempuh perjalanan dari Pantai Hamadi menggunakan speedboat dengan jarak tempuh lima menit untuk sampai di Kampung Tobati.
Saat ini kondisi laut Tobati mengalami degradasi karena sampah yang merusak kehidupan biota laut. Terutama sampah plastik yang tidak dapat terurai oleh air. Inilah yang kita kenal dengan sebutan sampah anorganik. Sampah anorganik disebut juga dengan sampah tidak terurai, karena terdiri dari bahan-bahan yang sulit terurai secara biologis, sehingga penghancurannya membutuhkan waktu yang sangat lama. Contohnya seperti kaleng bekas, pecah-pecahan beling, potongan-potongan logam. Sampah yang mendominasi di laut Tobati adalah sampah plastik, botol, dan bungkus makanan pabrik. Hal ini senada dengan pernyataan yang dikemukakan oleh tokoh Adat Tobati, Niko Hamadi. 1
“Nenek moyang kami lebih memilih hidup di laut, karena laut mampu menjamin kehidupan masyarakat Tobati. Mayoritas pekerjaan yang dilakukan oleh suku Tobati untuk mencukupi kebutuhan hidup adalah nelayan. Selama ini kehidupannnya tidak mengalami kesusahan dan cukup baik.”
Saat ini kondisi laut telah berubah. Dahulu ketika mereka mencari ikan, dalam satu hari bisa mendapat ratusan ekor, namun sekarang tidaklah demikian. Penyebabnya adalah banyaknya sampah di laut Tobati yang berasal dari Kali Acai, Kali Entrop, dan Kali Hanyan. Sampah tersebut berupa sampah plastik yang dibuang oleh masyarakat Jayapura. Hal ini berdampak pada laut Tobati yang saat ini mulai tercemar.
Masyarakat Tobati memiliki hukum adat untuk menjaga laut yaitu “Mendo Khor Nanat” artinya, adat jaga laut dan sampai saat ini hukum adat tersebut masih dipegang teguh. Dalam hukum adat itu,
1 Wawancara dilakukan pada 4 Mei 2015 di Kampung Tobati.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
menjaga laut dilakukan dengan cara tidak boleh menangkap ikan menggunakan bom, racun, dan cara-cara lain yang dapat merusak laut. Jika hukum itu dilanggar, maka pihak yang melanggar akan dilaporkan ke kepolisian. Namun, jika menurut adat maka akan dikenakan denda yang harus dibayar dengan manik-manik berwarna putih, biru, dan kuning. Harga satu buah manik-manik harus mencapai nominal Rp 1.000.000,00. Menurut adat masyarakat Tobati, mereka dapat bekerja dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore, ketika malam hanya dua jam saja atau pada saat pukul 19.00 (jam 7 malam).
Melalui hukum adat mereka selalu menjaga laut, karena bagi mereka laut merupakan sumber kehidupan, sedangkan yang dapat merusak adalah orang dari luar. Kendala yang mereka hadapi saat ini yaitu kurangnya alat untuk mencari hasil laut seperti jaring dan perahu. Namun, pemerintah telah memberikan bantuan berupa mesin jonson dan jaring. Harapan mereka terhadap pemerintah setelah beredarnya kasus pencurian ikan di laut Indonesia oleh warga negara lain adalah pemerintah harus menjaga laut dan bertindak lebih tegas.
Masyarakat Tobati berupaya menjaga lingkungan laut mereka melalui hukum adat Mendo Khor Nanat. Sebanyak 67 Kepala Keluarga (KK) yang berdomisili di Kampung Tobati bermata pencaharian sebagai nelayan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Alat yang digunakan oleh masyarakat Tobati di saat melaut masih menggunakan alat tangkap tradisional. Seperti perahu kecil atau orang Papua menyebutnya kole-kole yang dikenal pula dengan sebutan sampan, lalu dayung, jaring, serta tombak.
Pengimplementasian hukum adat Mendo Khor Nanat telah terbukti. Hal tersebut dikemukakan oleh Niko Hamadi yang menceritakan bahwa dahulu ada suku Jawa dan suku Makassar menggunakan sebuah perahu masuk ke perairan Tobati untuk mencari hasil laut. Kejadian ini disaksikan oleh masyarakat Tobati, alhasil masyarakat menangkap kapal itu. Setelah itu kedua suku tersebut dikenakan denda, syarat denda tersebut harus memberikan
Penanggulangan Sampah di Wilayah Laut Tobati Kaitannya dengan Hukum Adat Mendo Khor Nanat di Jayapura
manik-manik. Harga satu buah manik-manik harus mencapai nominal Rp 1.000.000,00. Setelah urusan adat itu selesai maka mereka disuruh pulang dengan kondisi seluruh isi kapal disita.
Sejak kejadian itu, masyarakat dari kalangan lain tidak lagi berani mencari ikan dengan bebas di sekitar laut Tobati. Hukum adat itu mereka jalankan karena khawatir dengan maraknya penangkapan ikan menggunakan racun (tuba) dan juga bom. Selain itu, untuk melestarikan biota laut agar dapat hidup dan berkembang biak, sehingga dapat menopang kebutuhan hidup masyarakat Tobati.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa semua hal atau perilaku yang merusak laut di wilayah Tobati berarti telah melanggar hukum adat Mendo Khor Nanat. Hal itu, berarti pula penduduk Kota Jayapura secara tidak langsung telah melanggar hukum adat tersebut, karena telah membuang sampah ke sungai yang mengalir hingga ke wilayah laut Tobati.
Menyikapi situasi dan kondisi tersebut penulis berupaya memberikan solusi dengan harapan dapat diimplementasikan oleh seluruh elemen masyarakat, pemerintah serta suku Tobati guna memulihkan kembali kondisi biota laut seperti dahulu kala.
Pertama , diawali dari lingkungan keluarga. Peran serta kedua orang tua sangatlah penting untuk mengajarkan kepada anaknya sejak dini agar tidak membuang sampah secara sembarangan.
Sebab, jika hal kecil ini dilatih sejak dini, maka anak tersebut akan terbiasa dengan budaya bersih. Jadi setiap keluarga yang bermukim di sepanjang bantaran sungai harus memiliki tempat sampah.
Kedua, pemerintah hendaknya mampu melarang rakyat yang akan mendirikan permukiman di sepanjang bantaran sungai.
Pendirian permukiman di bantaran sungai meningkatkan risiko sungai menjadi tempat pembuangan sampah. Selain itu, juga berdampak pada penebangan pohon di sepanjang bantaran sungai. Fungsi akar pohon sebagai tempat penyimpanan air menjadi hilang. Jika larangan ini dilanggar oleh masyarakat, maka risiko lainnya adalah dapat memicu bencana banjir.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Ketiga , melihat kondisi masyarakat saat ini mengenai kurangnya kesadaran menjaga lingkungan, maka pemerintah harus gencar
mensosialisasikan pembuangan sampah pada tempatnya. Tindakan itu ditujukan terutama kepada masyarakat yang berdomisili di sepanjang bantaran sungai. Sosialisasi dapat dilakukan dengan cara pemberitahuan secara langsung kepada masyarakat melalui tatap muka, memajang poster yang mampu mendoktrin pola pikir masyarakat untuk gemar membuang sampah pada tempatnya. Selain itu, keberpihakan media massa seperti media cetak maupun elektronik sangatlah berpengaruh pada program ini.
Keempat , setiap RT di sepanjang bantaran sungai harus menye- diakan fasilitas tempat sampah agar para pejalan kaki dan masya-
rakat sekitar tidak membuang sampahnya ke sungai. Kelima , membuat program hari khusus untuk membersihkan sungai, misalnya kegiatan Jumat bersih dan kegiatan ini harus berjalan secara berkesinambungan.
Keenam , kejadian yang sering terjadi biasanya masyarakat tidak berani membuang sampah di siang hari. Namun, ketika malam hari mereka melancarkan aksinya, kasus ini sering terjadi di bantaran Kali Acai. Jadi, pemerintah harus memasang penerangan, yaitu lampu di sepanjang bantaran sungai, sehingga membantu proses pengawasan.
Ketujuh , pemerintah harus melarang para pengusaha agar tidak membuat pabrik di bantaran sungai. Jika pabrik itu telah beroperasi, maka pabrik tersebut tidak boleh membuang limbah- nya secara langsung ke sungai. Setiap pabrik diwajibkan membuat sumur resapan agar limbah tidak mengalir sampai ke sungai atau mengolah limbahnya terlebih dahulu sehingga aman untuk lingkungan. Jika hal tersebut tidak diindahkan oleh pihak pabrik, maka pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk menghentikan pengoperasiannya secara paksa.
Kedelapan , mengenai masalah sampah yang sudah ada di laut Tobati, maka masyarakat setempat harus bekerja sama
Penanggulangan Sampah di Wilayah Laut Tobati Kaitannya dengan Hukum Adat Mendo Khor Nanat di Jayapura
dengan pemerintah untuk membersihkan sampah tersebut melalui program seperti Jumat bersih. Peran pemerintah juga diperlukan untuk membantu mayarakat Tobati seperti penambahan Armada Jonson (perahu bermesin) dan mengutus petugas kebersihan untuk membantu masyarakat Tobati.
Kesembilan , penulis menyarankan kepada pemerintah melalui dinas terkait, seperti dinas kebersihan agar segera dibuat jaring-
jaring dengan dua macam, yang pertama jaring-jaring penghalang berbentuk pagar besi dengan diameter lubang 2 cm, hal ini dimaksudkan agar sampah tidak dapat menembus jaring-jaring tersebut. Pemasangan jaring-jaring ini ditempatkan di setiap jarak
10 meter yang terbuat dari besi dengan diameter lubang hanya 2 cm dipasang di tempat yang padat penduduk sampai di muara. Kemudian jaring-jaring yang kedua ditempatkan di atas sungai, jadi dapat dikatakan sebagai payung pelindung. Diameter lubang jaring- jaring penghalang yang terbuat dari besi hanya 2 cm, dimaksudkan agar sampah tidak dapat melewati lubang jaring tersebut. Jaring- jaring pelindung ini dibuat dengan bentuk setengah oval serta dapat dibuka dan ditutup. Sehingga jika ada sampah yang masuk atau ketika warga sekitar ingin membersihkan kali, jaring-jaring ini tidak menjadi penghalang. Bentuk setengah oval dimaksudkan agar jaring-jaring ini tidak dipijak oleh masyarakat karena jika dibuat datar secara otomatis pasti akan menjadi tempat pijakan seperti untuk main oleh anak-anak sehingga akan mudah rusak. Bentuk setengah oval juga dimaksudkan agar ketika ada masyarakat yang membuang sampah ke sungai, sampah tersebut akan jatuh ke pinggir sungai sehingga dapat mudah dibersihkan oleh petugas atau masyarakat sekitar.
Pemaparan terkait beberapa solusi penanggulangan sampah yang penulis sajikan diharapkan mampu diimplementasikan sebagai mana mestinya. Selain itu, hukum adat sangat berperan untuk menjaga laut agar tidak rusak dan memiliki pengaruh yang sangat fundamental bagi masyarakat Jayapura, khususnya bagi
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
suku Tobati. Dengan demikian hukum adat ini harus lebih banyak berperan untuk mengembalikan kondisi laut seperti sedia kala.
Ketika sampah dapat teratasi dan hukum adat dapat ditegakkan, penulis yakin sumber daya laut dapat menghantarkan kemajuan taraf hidup masyarakat Tobati. Keberadaan laut bagaikan urat nadi tumpuan hidup masyarakat Tobati. Maka, ketika laut Tobati telah normal seperti sedia kala, laut akan mampu menyumbang penghasilan bagi masyarakat Tobati dan juga khususnya masyarakat Jayapura, sehingga hasil tangkapan ikan bertambah seperti dahulu yang dirasakan masyarakat Tobati dan nelayan tidak perlu lagi mencari ke laut yang jauh.
Setiap penduduk asli negeri ini, mereka pasti diwarisi oleh nenek moyang mengenai hukum adat menjaga laut. Jadi, penulis berharap besar kepada seluruh rakyat Indonesia agar dapat menegakkan kembali hukum adat mereka, guna kemajuan hasil laut yang dapat mencukupi kebutuhan rakyat. Seperti dijelaskan sebelumnya, jika pembentukan Poros Maritim Dunia berhasil dicapai, maka Indonesia pasti akan mampu menjadi pusat pengolahan perikanan dunia yang berdampak pada pendapatan devisa yang besar melalui target ekspor yang besar. Kita sebagai rakyat Indonesia mengemban peran besar terhadap seluruh aspek negara ini terlebih pada kekayaan alam yang dianugerahkan Tuhan kepada kita, maka sudah selayaknya dan sepatutnya kita rela mengorbankan jiwa raga demi mempertahankan kekayaan laut yang kita miliki.
DAFTAR PUSTAKA
Pribadi, Agung. 2013. Gara-gara Indonesia. Depok: AsmaNadia Publishing House.
Sekretariat Jenderal DPR RI-Direktorat Kemahasiswaan UI. Mei 2014, Bunga Rampai Pemikiran Pelajar SMA/SMK/MA dan Sederajat Tema: “Kenali Budayamu, Cintai Negerimu”, Depok: Sekretariat Seleksi Parlemen Remaja 2014.
Penanggulangan Sampah di Wilayah Laut Tobati Kaitannya dengan Hukum Adat Mendo Khor Nanat di Jayapura
https://www.papua.go.id/view-detail-page-80/kependudukan.html Ensiklopedi Nasional Indonesia “14” hal 375 Indonesia Kini , edisi 19/III/26 November 2014 Indonesia Kini, 11/III/10 Desember 2014 Kamus Besar Bahasa Indonesia , 2014. Jakarta: Erlangga Hamadi Niko, (Wawancara Pribadi 4 Mei 2015). Tokoh Masyarakat
Adat Tobati
Berae
Pola Relasi Produksi dan Distribusi Masyarakat Pesisir Belitung
Yonky Rizki Munandhar
SMA Negeri 1 Tanjungpandan, Bangka Belitung
“Minggu pagi itu, sekitar tiga bulan yang lalu, saya hendak mengunjungi teman saya yang rumahnya berada di dekat pesisir pantai. Dari arah jalan yang berlawanan denganku, seorang pria
paruh baya menaiki sepeda motor dengan ambong pempang 1 yang membelakanginya. Pria itu menuju ke pantai Gayum 2 . Karena penasaran saya mengikutinya sampai ke pesisir. Pria paruh baya itu menunggu beberapa lama, sampai sebuah perahu berlabuh. Nelayan yang berlabuh tersebut mengikatkan tali tambang ke tiang beton untuk mempertahankan posisi perahu. Ia mengeluarkan hasil tangkapan laut yang diperoleh. Pria paruh baya tadi mendatangi nelayan kemudian menimbang dan mencatat hasil tangkapan yang dibawa oleh nelayan. Setelah itu, pria paruh baya memberikan uang kepada nelayan, dan memasukkan tangkapan laut yang dibeli ke ambong pempang. Pria paruh baya tersebut meninggalkan daerah pesisir.
Karena penasaran, saya menanyakan kejadian tersebut kepada guru saya, ia menjawab bahwa penyaluran hasil laut dari nelayan ke pria
1 Ambong pempang merupakan ambong berat terbuat dari bambu atau rotan yang diletakkan di kendaraan atau sepeda motor. Awalnya di Belitung, secara
tradisional digunakan masyarakat petani dan nelayan. 2 Pantai Gayum adalah pantai yang dikenal oleh masyarakat Tanjungpandan,
yang batasnya antara Desa Air Saga dan Desa Batu Itam.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
paruh baya tersebut dinamakan berae. 3 Pria paruh baya tersebut dinamakan perae (tukang ngerai). 4 Saya juga menanyakan kemana- kah perginya perae setelah mendapatkan hasil laut dari nelayan. Guru saya menjawab, akan disalurkan ke pasar. ”
Memang fakta ini menunjukkan bahwa profesi seseorang yang paling dominan dipengaruhi oleh daerah geografisnya. Begitu pun pria paruh baya tersebut yang selalu mencari hidup di daerah pesisir, yang menunggu nelayan. Salah satunya adalah kepulauan Belitung yang dominan masyarakat pesisirnya bekerja sebagai nelayan. Kabupaten Belitung wilayahnya dikelilingi oleh perairan di mana di dalamnya terdapat 98 pulau besar dan kecil dan di sebelah timur berbatasan langsung dengan Kabupaten Belitung Timur. Secara geografis Kabupaten Belitung terletak antara 107°08' BT sampai 107°58' BT dan 02°30' LS sampai 03°15' LS dengan
luas daerah lautan sebesar 6.363 km 2 . Sebagian besar penduduk Belitung merupakan etnis Melayu dengan budaya yang mengalami akulturasi dan asimilasi, sehingga terlihat begitu banyak perubahan budaya yang terjadi walaupun tidak meninggalkan sepenuhnya budaya asli mereka. Hal ini disebabkan banyaknya etnis atau suku lain yang masuk ke Belitung, seperti etnis Bugis, China, dan lain- lain. Penduduk Belitung tinggal di wilayah pesisir, terutama yang pendidikannya masih tergolong rendah lebih memilih bekerja sebagai nelayan. Hal ini disebabkan karena pekerjaan nelayan diajarkan turun-menurun. Selain itu, nelayan bebas dan tidak diatur oleh orang lain, namun keuntungan yang didapat sangat bergantung pada kondisi alam, dan hasil yang mereka peroleh lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Menariknya, ada hubungan simbiosis mutualisme antara masya rakat nelayan dengan perae, yakni adanya berae. Berae adalah sistem distribusi yang digunakan untuk menjual hasil alam
3 Sistem berae merupakan pola distribusi, di mana nilai akan bertambah apabila terdapat peningkatan secara fungsional dari fungsi yang sebelumnya.
4 Perae merupakan penyalur hasil alam kepada pedagang lain.
Berae, Pola Relasi Produksi dan Distribusi Masyarakat Pesisir Belitung
untuk disalurkan ke pedagang lain, kemudian dari pedagang akan diolah menjadi produk yang bernilai jual lebih tinggi. Dalam sistem ini perae bertanggung jawab atas kualitas dan kuantitas bahan- bahan di pasar.
Dalam hal ini, sistem berae mendistribusikan hasil laut tangkapan nelayan untuk disalurkan ke pasar. Nilai tambah bisa muncul, jika terdapat sektor jasa lain yang memengaruhi produksi. Dengan kata lain, harga akan mengalami kenaikan, ketika barang mengalami peningkatan fungsional. Terdapat tiga sektor usaha yang memengaruhi nilai tambah. Pertama, lapangan usaha di sektor primer yaitu hasil yang didapat langsung dari alam. Kedua, lapangan usaha di sektor sekunder, yakni hasil sektor primer diolah dengan teknologi atau alat. Ketiga, lapangan usaha di sektor tersier, memperoleh nilai tambah dari jasa yang dihasilkan.
Berae sebagai Mata Pencaharian
Pada tahun 2013 jumlah penduduk Kabupaten Belitung adalah sebesar 167.602 jiwa. Dari 167.602 jiwa penduduk Belitung, yang berkerja sebagai nelayan kurang lebih 9.514 orang. Perbandingan jumlah nelayan dan perae di Kabupaten Belitung adalah 20:1, yang artinya satu orang perae dapat menampung dua puluh nelayan dalam satu hari kerja.
Dari jumlah hasil tangkapan yang diperoleh nelayan, otomatis memengaruhi kondisi perekonomian perae, produsen/lapangan usaha, dan nelayan itu sendiri. Penghasilan yang didapat oleh nelayan merupakan penghasilan sektor primer, karena dalam hal mencari nafkah, nelayan memanfaatkan lingkungan laut untuk menangkap biota laut. Dalam hal menangkap ikan, nelayan memerhatikan norma-norma yang berlaku, seperti tidak menggunakan alat yang dapat merusak terumbu karang seperti pukat, bom, racun, dan bius. Di samping itu, nelayan juga dilarang menggunakan kapal hisap, selain dapat menyebabkan rusaknya ekosistem laut, kerugian lainnya adalah hasil tangkapan laut nelayan dapat berkurang hingga
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
80%. 5 Dalam aktivitas melaut yang dilakukan berhari-hari, apabila cuaca tidak memungkinkan mereka untuk melanjutkan pelayaran, seperti gelombang besar atau pun badai, mengharuskan mereka untuk singgah di sebuah pulau dan menginap di pulau tersebut. Kebiasaan menginap ini disebut orang Belitung dengan ngetong. Setelah menyelesaikan pelayaran, nelayan kembali ke pesisir. Di sana sudah menunggu perae, untuk mengambil hasil tangkapan laut yang nelayan peroleh.
Perae berfungsi untuk memudahkan nelayan dalam menjual dan mendistribusikan tangkapan hasil laut secara langsung, sehingga
nelayan bisa mengurangi biaya dalam membayar jasa seseorang. Dalam melakukan aktivitas berae, perae biasanya menggunakan alat transportasi sepeda motor yang dilengkapi dengan ambong pempang untuk memudahkan mereka membawa tangkapan hasil laut yang dibeli dari nelayan. Perae bekerja secara perseorangan. Dalam mengambil hasil tangkapan laut dari nelayan, perae membeli semua tangkapan nelayan baik yang kualitasnya bagus, maupun yang kurang bagus. Kebanyakan perae merupakan penduduk asli Belitung. Proses mencari nafkah yang dilakukan oleh perae ini termasuk ke dalam sektor primer, di mana penghasilan yang didapat diperoleh dari distribusi tangkapan hasil laut. Apabila hasil laut yang didapat oleh perae dari nelayan tidak habis terjual dikarenakan kondisi ikan yang kualitasnya kurang bagus atau tidak diminati oleh konsumen, perae berinisiatif untuk mengolah ikan dengan cara diasinkan atau dibuat kerupuk. Tetapi hasil olahan tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, tidak untuk dijual. Dari perilaku yang dilakukan oleh perae ini, secara tidak langsung perae berusaha untuk mengurangi biaya untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Produsen merupakan orang yang mampu mengolah produk bahan mentah, khususnya yang berasal dari alam untuk diubah menjadi produk yang yang memiliki fungsi berbeda dari fungsi
5 Sumber: http://www.bangka.go.id/content.php?id_content=sosek
Berae, Pola Relasi Produksi dan Distribusi Masyarakat Pesisir Belitung
produk awal dan memiliki nilai tambah melalui peningkatan secara fungsional produk tersebut. Produsen di sektor sekunder biasanya mengolah langsung bahan yang didapat dari sektor primer. Contohnya, penggiling ikan yang membeli ikan dari perae, kemudian digiling dan menghasilkan daging ikan yang lembut. Kemudian daging ikan yang sudah dihaluskan tersebut, dijual kembali kepada konsumen dengan harga yang lebih tinggi daripada ikan yang dibeli dari perae. Berbeda dengan produsen di sektor sekunder, produk yang dihasilkan di sektor tersier merupakan barang siap saji, yang sesuai dengan selera pasar. Contohnya saja, pembuat kerupuk yang membeli daging ikan halus dari penggiling ikan, diolah lagi menjadi kerupuk ikan. Selanjutnya kerupuk ikan tersebut dijual kepada konsumen dengan harga yang lebih tinggi daripada bahan baku untuk membuat kerupuk ikan tersebut.
Hubungan Sosial dalam Aktivitas Berae: Pola Relasi Distribusi dan Produksi
Dalam melakukan suatu aktivitas biasanya terdapat hubungan dengan pihak yang terkait. Hubungan tersebut merupakan hubungan yang bersifat timbal balik, yaitu hubungan yang saling memengaruhi satu dengan yang lainnya. Sama hal-nya dalam aktivitas berae, dalam aktivitas ini terdapat hubungan yang saling memengaruhi satu sama lain. Hubungan sosial itu muncul dikarenakan adanya permasalahan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, yakni nelayan, perae, dan produsen. Sehingga mengakibatkan ketiga pihak yang terkait tersebut memiliki rasa ketergantungan yang tinggi antara satu dengan yang lainnya.
Hubungan nelayan dan perae sangat erat dalam hal tingkat kepercayaan kedua belah pihak. Dalam hubungan yang terjadi antara nelayan dan perae, perae dapat menyiapkan modal dalam membantu nelayan, seperti membantu dana dalam membeli peralatan menangkap ikan dan renovasi kapal. Bahkan dalam hal di luar aktivitas berae-pun, apabila nelayan yang menjadi
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
langganannya tidak mempunyai uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, perae biasanya memberikan pinjaman uang kepada nelayan tersebut. Di samping itu, terdapat pula hubungan yang terjadi antara perae dengan produsen di sektor sekunder dan tersier dapat dilihat dari permintaan hasil laut oleh produsen kepada perae. Hubungan ini memengaruhi tingkat kepercayaan antara perae dengan produsen dalam menyediakan bahan baku yang akan digunakan untuk mengolah hasil laut menjadi berbagai jenis produk yang akan dihasilkan oleh produsen. Pola produksi dan distribusi dalam aktivitas berae dapat dilihat pada skema di bawah ini:
Aktivitas Berae: Pendapatan Sektor Primer, Sekunder, dan Tersier
Pendapatan yang dipengaruhi di sektor primer adalah pen- dapatan nelayan, perae, dan pedagang ikan. Karena nelayan merupakan sektor yang pertama kali menyalurkan hasil tangkapan laut ke masyarakat, maka yang memengaruhi jumlah pendapatan
Berae, Pola Relasi Produksi dan Distribusi Masyarakat Pesisir Belitung
adalah perilaku nelayan itu sendiri. Jika nelayan menjaga kelestarian laut dan menangkap ikan dengan tidak membahayakan terumbu karang sebagai tempat tinggal biota laut, maka pendapatan nelayan akan stabil bahkan meningkat. Terlepas apa yang dilakukan nelayan saat melaut, aktivitas berae juga ikut memengaruhi pendapatan perae . Ini disebabkan karena perae mengambil semua tangkapan yang dibawa oleh nelayan, baik yang kualitasnya bagus atau kurang bagus. Tangkapan laut yang kualitasnya tidak bagus tidak dapat didistribusikan ke pasar, akibatnya berisiko mengalami kerugian. Di lain pihak, pedagang ikan bisa saja mendapatkan keuntungan yang sama dengan perae atau bisa saja lebih dari perae. Hal ini bisa terjadi karena pedagang ikan di pasarlah yang menentukan harga tangkapan hasil laut yang akan dijual kepada konsumen. Berikut jenis dan harga tangkapan hasil laut yang diperoleh dari nelayan kemudian diambil oleh perae dan dari perae disalurkan lagi pasar.
Nelayan jual ke Perae jual ke Pasar jual ke Tangkapan perae (Rp/kg)
pasar (Rp/kg) konsumen (Rp/kg) Ikan pari
13.000 15.000 Ikan Ucul
9.000 12.000 Ikan Birai
Yang termasuk dalam pelaku pasar di sektor sekunder adalah pelaku pasar yang mengolah hasil yang berasal dari sektor primer. Dalam sektor ini, meliputi penggiling ikan dan penjual ikan asin. Contohnya saja penggiling ikan, setelah membeli ikan dari pedagang ikan, dan menggilingnya menjadi daging ikan halus, ia dapat menjualnya kepada konsumen dengan harga yang lebih tinggi daripada ikan yang dibelinya dari pedagang ikan. Berikut tabel harga jual ikan giling dan ikan asin yang ditampilkan pada tabel di bawah ini:
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Penggiling Ikan Penjual Ikan Asin Jenis
Harga beli Harga jual Jenis Harga Harga jual Ikan
ikan dari setelah di- Asinan beli basah setelah perae (Rp/
giling (Rp/ (Rp/kg) diasinkan kg)
kg) (Rp/kg) Birai
Dalam sektor tersier, yang terjadi adalah bahan yang berasal dari sektor sekunder akan diolah menjadi produk yang memiliki nilai fungsional yang lebih tinggi daripada sektor sekunder. Misalnya daging ikan halus digunakan dalam membuat kerupuk ikan, kemudian kerupuk ikan tersebut dijual dengan harga yang lebih tinggi. Berikut tabel harga jual kerupuk ikan dan bakso ikan rata-rata yang ditampilkan dalam tabel di bawah ini.
Penjual Kerupuk Ikan Penjual Bakso Ikan Jenis
Harga beli Harga jual Ikan
Harga beli Harga
Jenis
daging ikan Jual per
daging ikan per porsi (Rp/kg)
Ikan
bungkus (Rp/kg) Tenggiri 30.000
Pada tabel di atas, terlihat bahwa harga beli daging ikan tengggiri halus per kilogram-nya adalah Rp 30.000,00 kemudian diolah menjadi kerupuk ikan tenggiri dengan harga jual Rp 30.000 per bungkus. Di samping itu, satu kilogram daging ikan tenggiri dapat menghasilkan kurang lebih 30 bungkus kerupuk ikan tenggiri. Maka, dapat disimpulkan bahwa uang seluruhnya yang dihasilkan apabila seluruh kerupuknya habis terjual kurang lebih Rp 900.000,00. Kemudian satu kilogram daging ikan birai seharga Rp 30.000,00, diproduksi menjadi bakso ikan yang dijual dengan harga Rp 10.000,00 per porsi. Satu kilogram ikan birai dapat menghasilkan kurang lebih 50 porsi bakso ikan. Apabila 50 porsi habis terjual, maka jumlah uang yang didapat adalah Rp 500.000,00.
Berae, Pola Relasi Produksi dan Distribusi Masyarakat Pesisir Belitung
Motivasi, Jujur, dan Peduli
Kearifan lokal dalam aktivitas berae, mengandung nilai- nilai seperti motivasi, bijak, dan peduli, yang merupakan pesan moral yang disampaikan dalam aktivitas berae. Perae memotivasi masyarakat untuk tidak mudah menyerah dan berusaha meminimalisir pengeluaran dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan menampilkan perilaku tidak membuang hasil tangkapan yang kualitasnya kurang bagus, namun memanfaatkan dan mengkonsumsi hasil olahan bahan tersebut dengan mengolahnya menjadi ikan asin atau pun kerupuk ikan. Selain itu, perae menampilkan teladan bekerja keras, mereka dapat menampung kurang lebih 20 nelayan dalam sehari. Betapa melelahkannya pekerjaan tersebut, menimbang, mencatat, dan membawa hasil laut yang diperoleh dari nelayan ke pasar.
Di samping itu, dalam melakukan aktivitas berae masing- masing pihak harus berlaku jujur sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat agar tidak ada yang merasa dirugikan. Sehingga tidak mengakibatkan munculnya konflik di masyarakat berupa kecurangan yang dilakukan oleh nelayan, perae, maupun produsen dengan menaikkan harga hasil tangkapan laut sesuai dengan kehendak mereka sendiri tanpa mementingkan kondisi masyarakat, terutama masyarakat dari golongan ekonomi bawah. Untuk mewujudkan ekosistem laut dapat terjaga dengan baik, nelayan harus tetap menjaga kelestarian ekosistem laut dengan tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh pemerintah seperti pengeboman, pembiusan, racun ikan, dan memasang pukat.
Penutup
Dari aktivitas berae yang dilakukan oleh nelayan, perae, dan produsen dalam memproduksi dan mendistribusikan hasil tangkapan laut kepada konsumen, secara tidak langsung terbentuk suatu sistem yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya di mana bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai peran dan
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
fungsinya masing-masing, sehingga aktivitas produksi dan distribusi dapat berjalan dengan lancar dan berbuah hasil. Agar aktivitas berae tersebut tetap lancar, dibutuhkan hubungan sosial yang bersifat saling ketergantungan antara nelayan, perae, dan lapangan usaha di sektor primer, sekunder, dan tersier. Ketiga sektor ini akan memengaruhi jumlah pendapatan masing-masing pihak. Faktor utama untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam produksi dan distribusi hasil laut adalah kondisi ekosistem laut, di mana apabila ekosistem laut terjaga maka biota laut dapat mudah tumbuh dan berkembang. Di samping itu, diperlukan keikutsertaan semua pihak dalam mengawasi jalannya aktivitas berae baik di sektor primer, sekunder, maupun tersier untuk mewujudkan kenyamanan dalam aktivitas berae.
DAFTAR PUSTAKA
Sancin, Ian (2009). Yin Kelana. Bandung: Mizan Media Utama. Munandhar, Yonky. Presentasi Jetrada 2015 di Pangkalpinang. http://www.bangka.go.id/content.php?id_content=sosek http://portal.belitungkab.go.id/ Daftar Informan
No Nama
2 Basri 3 Kulub
Perae
4 Agung 5 Acing
Pedagang Ikan
6 Jamik
Penggiling Ikan
7 Suku
Penjual kerupuk ikan
8 Erna
Penjual ikan asin
9 Yanto
Penjual bakso ikan
Jejak Budaya Maritim di Pura Pakualaman: Ajaran Etik melalui Tradisi Iluminasi Naskah Kuno
Pradita Widyaningrum
SMA Negeri 8 Yogyakarta
I ndonesia, negara dengan multikulturalisme terarah. Negara
yang dahulu dikenal dengan sebutan Nusantara sebelum jaman orde bertahta. Negara maritim yang dibentuk melalui pemahaman agraris. Meskipun tidak dapat disangkal bahwa kodrat sejarah maritim Nusantara diawali jauh sebelum predikat agraris melekat. Kemaritiman Nusantara bermula dengan tumbuhnya kekuasaan kerajaan Buddha Sriwijaya pada abad ke-7 yang berkembang pesat di wilayah Sumatra. Rekam jejak I-Tsing menulis kerajaan dengan ibu kota pemerintahan di Palembang tersebut tahun 670 M mengalami puncak kejayaan dengan daerah kekuasaan dari Jawa Tengah hingga Kamboja (Sanel, 2012: 1-2). Pada abad ke-13, Singasari juga mampu berjaya melalui laut. Bersama dengan ekspedisi Pamalayu di bawah kekuasaan Kertanegara (Sri Maharajadiraja), upaya pemersatuan Nusantara seakan bukan hal mustahil. Selat Malaka, Pahang, Sunda, Bali, Bakulapura, dan Gurun menjadi daerah kekuasaannya. Jalinan persahabatan dengan Raja Champa pun berhasil didapatkannya (Arsyad, 2010: 1-2).
Di abad ke-14, dalam rekaman sejarah Pramoedya Ananta Toer dikatakan bahwa sejarah maritim Nusantara kembali merekam arus balik peradaban yang berlangsung dari wilayah Bawah Angin
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
di selatan, ke Atas Angin di utara. Kehebatan kerajaan besar penguasa Arus Selatan mampu menerjang penguasa kerajaan utara. Dalam kurun waktu 1350 – 1389 M, kerajaan yang gagah dengan sebutan Majapahit mampu menjadi kekuatan maritim terbesar tanpa tandingan. Kekuasaannya mampu menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia saat ini, bahkan hingga daerah Tumasik (Singapura), Malaka (Malaysia), dan wilayah Champa (Vietnam) (Hamengku Buwono X, 2014: 1-3).
Bercermin dari fakta sejarah demikian, seakan tidak dapat dimungkiri bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan laut, pelayaran, dan perdagangan sejatinya telah menjadi takdir geografis Nusantara. Perbandingan 70% dengan 30% semakin mempertegas bahwa peradaban laut pada masanya menjadi jalan yang lebih efektif daripada daratan, sehingga berdampak pada adanya bentuk kontak sosial-politik, berbagai perpindahan dan pertukaran komoditas juga terjadi. Demikian pula persebaran budaya sebagai komoditas unggulan. Tradisi inferior-superior dan saling memengaruhi menjadi tahap awal dalam proses adopsi dan akulturasi selanjutnya (Dwicahyo, 2014: 3-4).
Tampaknya pertukaran budaya demikian tidak terbatas pada budaya material semata. Proses merekam dalam tradisi lisan yang kemudian diterjemahkan dalam tradisi tulis turut mewarnai di dalamnya. Perubahan menuju tradisi tulis yang dimaknai sebagai sastra pun berperan sebagai obyek komoditas hasil budaya yang bersinggungan dan dipertukarkan. Fakta demikian didukung dengan pembuktian Ramayana yang diadopsi dari India ke Nusantara. Tradisi India dalam penulisan Ramayana, baik kakawin dan prosa menjadi buah awal dikenalnya epos tersebut hingga ke Nusantara.
Di Nusantara, Ramayana yang disadur dari Kakawin Ramayana 1 India ke dalam bahasa Jawa memberi warna baru pada kesusastraan
1 Diketahui bahwa Ramayana merupakan mahakarya sastra dunia yang diadopsi oleh banyak negara. Dalam sumber lain disebutkan pula terdapat padanan
yakni Ramayana Walmiki dalam bentuk prosa, yang teks dan ceritanya jauh lebih kompleks. Meskipun diketahui terdapat pula versi-versi lain Ramaya di negara sumbernya (Sumarsih. 2013:152-154).
Jejak Budaya Maritim di Pura Pakualaman: Ajaran Etikmelalui Tradisi Iluminasi Naskah Kuno
Nusantara (Sumarsih, 2013:152). Jejak persebaran Ramayana dimulai sejak awal abad Masehi, yang ditransmisikan ke dalam tiga jalur, yaitu: (1) jalur darat: jalur utara membawa Ramayana dari Pancavat dan Kasmir menuju Cina, Tibet, dan Turkestan Timur; (2) jalur laut: jalur selatan dari Gujarat dan India Selatan menuju Jawa, Sumatra dan Malaya; (3) jalur darat lainnya: jalur timur dari Bengal menuju Thailand dan Laos, sementara Vietnam dan Kamboja menerima Ramayana sebagian dari Jawa dan sebagian lagi dari India melalui jalur timur. Selanjutnya, peran ekologi setempat secara berangsur mentransmisikan Ramayana dalam tradisi Hindu maupun tradisi Buddha (tradisi setempat) (Widyaseputra, 2012: 2-3). Periodisasinya dalam pandangan Zeinesiss menganggap bahwa Ramayana mulai membangun citra di Nusantara antara abad ke-13 dan abad ke-17 yang tersebar dari mulut ke mulut. Awal mula persebarannya berasal dari India Barat dan India Timur, melalui jalur perniagaan serta persebaran paham religi budaya Hindu ke Nusantara (Sumarsih, 2013: 155).
Pada akhirnya, jelajah Ramayana dari India ke Nusantara kembali menjadi bukti bahwa kenyataannya sastra menjadi komoditas laris bersamaan dengan komoditas perniagaan. Terlebih setelah ditemukan jalur niaga melalui laut antara Romawi dan Cina yang menyebabkan perlayaran dan perdagangan Asia semakin ramai. Dampaknya, wilayah yang dilalui jalur perlayaran dan perdagangan tersebut ikut aktif dalam perdagangan (Sanel, 2012: 9-10). Jalur demikian menempatkan Nusantara seolah-olah menjadi sasaran pertukaran sastra dan budaya strategis dalam pertumbuhan jalur pelayaran antara Cina dan India. Geografisnya yang berada di sebelah timur India menyebabkan para pelaut India lebih mudah mencapai Indonesia, sehingga secara tidak langsung terbentuklah perdagangan antara India dan Indonesia. Adanya pola angin musim yang berubah arah setiap 6 bulan serta perluasan kekuasaan kerajaan Cina yang memperluas daerah jajahannya hingga ke Asia Tenggara menjadi dorongan terhadap lahirnya perdagangan maritim
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
di Asia Barat ke Cina Selatan melalui jalur Nusantara. Perdagangan di Asia Barat yang didukung oleh para pedagang India semakin mempertegas adanya pola singgung sastra yang mengantarkannya berkembang sebagai komoditas dengan proses akulturasi tanpa adanya unsur mendominasi (Sanel, 2012: 11-14).
Namun, rekam jejak demikian tidaklah cukup. Menelusuri proses saling memengaruhi dalam sastra dan tradisi di Nusantara menjadi hal ihwal, termasuk pula budaya maritim yang diadopsinya. Seperti dalam tradisi istana Pura Pakualaman yang mencoba merekam unsur laut dalam iluminasi, dan diterjemahkan dalam tradisi sastra Jawa sebagai upaya meretas pendidikan pada masanya. Dalam tradisi tulisnya, ditemukan unsur laut yang dimanifestasikan
sebagai konsep sêstradi 2 . Upaya demikian menegaskan bahwa sastra tidak mengemas kritik sosial semata, melainkan mencoba membaca aspek sinergis antara darat dan peradaban laut Nusantara.
Jejak Peradaban Laut Pakualaman
Dalam historiografi kesusastraan nasional, kedudukan sastra Jawa memiliki peranan penting dalam memberi sumbangsih terhadap khazanah pustaka Nusantara. Dipahami bahwa dalam sejarah kesusastraan nasional, khazanah sastra Jawa sebagai teks klasik menjadi dokumen tulis yang digunakan dalam merekam hasil budaya. Melalui teks disampaikan pula ‘pesan’ masa lampau sebagai sedimentasi kebudayaan pada masanya (Pratitasari, 2004:1; Barried, dkk. 1994:5). Hal demikian menjadi peristiwa yang sering terlupa, bahwa sastra daerah merupakan model rekam jejak sejarah awal dalam memulai peradaban. Potret demikian menunjukkan indikasi buta budaya dan tuli sejarah. Pakualaman menjadi figur nyata yang terlupa. Warisan peradaban budaya masa lampau sekaligus penyangga budaya yang masih lestari, mencoba mengabadikan konsep sêstradi dalam jejak perjalanan peradabannya.
2 Sês : rasa yang tinggi, tra: sarana yang nyata, adi: pada yang terbaik. Sêstradi: cita rasa yang tinggi, melalui sarana yang nyata untuk mencapai pemahaman terbaik.
Jejak Budaya Maritim di Pura Pakualaman: Ajaran Etikmelalui Tradisi Iluminasi Naskah Kuno
Guratan sejarah mengisahkan, Pakualaman sebagai kerajaan kedua di tanah Yogyakarta setelah Keraton Kasultanan, didirikan oleh Pangeran Natakusuma (Paku Alam I atau PA I), sosok yang ahli dalam kesusastraan dan kesenian (Dewantara, 1967: 301). Semenjak abad ke-18 kegiatan kesusastraan di Pura Pakualaman telah dirintis oleh beliau. Berbagai karya sastra ditulisnya sebagai bentuk kecintaan kepada keluarga dan ahli waris. Hal demikian yang sekarang dapat dinikmati keberadaannya adalah naskah (Saktimulya, 2004: 6).
Berbagai naskah di Pura Pakualaman keberadaannya disimpan di dalam perpustakaan Widya Pustaka dan Gedhong Pustaka yang kesemuanya berada di kompleks Pura (Saktimulya, 2004: 6). Berbagai peristiwa direkam oleh tradisi tulis dalam naskah tersebut. Hal demikian meliputi aspek sejarah, sosial politik, konsep religiusitas, kesehatan, serta nilai dan unsur didaktik (Saktimulya, 2004:1). Di dalam pengungkapannya, naskah tidak semata-mata ditulis dalam bentuk teks dengan aksara dan bahasa Jawa semata, namun tidak
jarang terdapat iluminasi 3 sebagai upaya mempertegas kandungan maksud yang terdapat di dalamnya. Salah satu naskah yang penulisannya diperindah dengan iluminasi adalah naskah berjudul Sêstra Agêng Adidarma (SAA). Berbagai iluminasi dilukiskan dalam naskah tersebut, termasuk hal yang mengandung unsur maritim.
Naskah dan peninggalan tradisi tulis pada masanya, tidaklah lengkap ketika tidak menjelajahi hingga mendalam. Demikian pula pada naskah SAA sebagai bukti tradisi tulis Pakualaman. Pemrakarsa teks tersebut adalah Paku Alam II (PA II), sebagaimana termuat jelas dalam kutipan teks yang berbunyi:
Namane sêrat puniki/ Sêstra Agêng Adidarma/ Pakualaman kapindho/ rengrengira kasariran/ abdine ingkang garap/ tusing kartiyasa tuhu/ den Panji Jayengminarsa
3 Iluminasi dalam disiplin ilmu pernaskahan (kodikologi) merupakan istilah untuk menyebut pencerah atau pemertinggi kesan atas halaman naskah,
termasuk di dalamnya adalah gambar dan kaligrafi (Behren, T. E, 1996: 188 dalam Saktimulya, 2012: 75).
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Nama karangan ini (adalah) Sêstra Agêng Adidarma (merupakan) rancangan sendiri (dari) Paku Alam ke-2. Abdinya yang mengerjakan, keturunan yang sungguh-sungguh pandai (ia) adalah Raden Panji Jayengminarsa (Rahmat, 2006: 17).
Di samping pemrakarsa, disebutkan pula nama juru tulis dari teks tersebut, yakni Raden Panji Jayengminarsa, seorang yang masih memiliki jalinan kekerabatan dengan pemrakarsa naskah (Saktimulya, 2003: 38).
Ditemukan pula keterangan dalam teks mengenai tarikh penulisan Candrasengkala yang berbunyi ‘Trus Osiking Pandhiteng Rat’ menunjuk angka tahun 1769, dan dalam perhitungan Masehi menunjuk angka tahun 1841. (Rahmat, 2006:16). Angka tahun demikian semakin menegaskan bahwa naskah SAA benar ditulis masa PA II yang bertahta tahun 1830-1858 (Saktimulya, 2005:260).
Pada masa PA II, proses penciptaan suatu naskah biasanya didasari oleh motivasi pemrakarsa yang berkeinginan menuangkan gagasannya ke dalam naskah. Pemrakarsa selanjutnya membuat garis besar, diserahkan kepada juru baca, dan oleh juru baca garis besar tersebut dijabarkan berdasarkan bacaan, diolah, serta diekspresikan. Hasil bacaan juru baca ditulis dan pada akhirnya dilembar naskah digambari (Saktimulya, 2004: 38). Demikian pula SAA yang bertugas sebagai pembaca rancangan adalah Rahaden Panji Lutnan Harjawinata,
[…] dene abdine kang maos/ sapa sintêna manira/ Rahaden Panji Lutnan/ Harjawinata puniku/ tusing kula winisuda//
[…] adapun abdinya yang membaca, siapakah dia? (Dia lah) Raden Panji Letnan Harjawinata, keturunan keluarga yang dihormati.
(Rahmat, 2005: 17-18). Sehubungan dengan konstruksi budaya pada abad ke-18 dan
ke-19, dapat dikatakan pula bahwa SAA merupakan sastra dengan genre sastra wulang 4 , sebuah karya sastra yang pada umumnya lahir
4 Sastra merupakan khasanah tradisi tulis yang ditulis menggunakan bahasa yang digunakan dalam kitab (Utomo. 2013: 416), sedangkan (pi)wulang
Jejak Budaya Maritim di Pura Pakualaman: Ajaran Etikmelalui Tradisi Iluminasi Naskah Kuno
dalam lingkup tembok kerajaan. Hasil sastranya dipersembahkan kepada raja/penguasa sebagai ungkapan rasa pengabdian dan menjunjung tinggi martabat raja. Di samping untuk memberikan kesan legitimasi dan penghormatan kepada pendahulu/perintis dinasti kerajaan (Rochkyatmo, 2010: 7-8).
Akan tetapi, di luar tembok kerajaan, sebuah sastra pengabdian tidaklah melulu diperuntukkan kepada raja, bahkan menurut Sadewa (1989) dalam Rochyatmo (2010: 8) penulisan sastra ter- hadap golongan setingkat rakyat dimaksudkan untuk memberi ajaran, mendidik dan memperhalus budi pekerti. Termasuk pula Kayam (1997: 2-3) yang menjelaskan bahwa sastra merupakan uba rampe yang tidak dapat ditinggalkan dalam suatu sistem kekuasaan dan kepercayaan. Melalui sastra, elite bangsawan mencoba meng- gambarkan pola kekuasaan tanpa meninggalkan ciri yaitu sebuah ajaran. Nilai dan muatan didaktik memainkan peranan penting dalam karya sastra pada masa tersebut.
Pada akhirnya tidak dipungkiri, genre sastra wulang, termasuk pula SAA menjadi karya sastra yang memiliki peran dalam per- adaban pada masanya. Berbagai nilai dan muatan didaktik pada masa PA II direkam dan diwariskan. Tujuannya tidak lain agar kelak dapat diupayakan oleh generasi penerusnya seperti halnya: (1) Pembicaraan yang tidak bermakna serta kebiasaan membicarakan orang hendaknya dijauhi, (2) Membaca hendaklah mengerti dan memahami gagasan yang terkandung di dalamnya, (3) Berbuat jahil dan mencela orang lain merupakan perilaku nista, (4) Termasuk pula sering menyalahkan orang, sebab pemahamannya sempit, (5) Jangan pernah menyepelekan nasihat, serta (6) Senantiasa belajar, sebab itulah perilaku utama, (7) dan hendaklah dapat mengontrol
merupakan ajaran kebajikan atau nasihat (Poerwadarminta. 1939: 667; Utomo. 2013:377), sehingga sastra piwulang/sastra wulang termasuk pada khasanah karya sastra (masa lampau) sebagai tradisi tulis yang menyimpan berbagai ajaran serta nasihat. Lebih mendasar bahwa sastra wulang menekankan pada pandangan sastra sebagai ajaran moral dan sikap hidup.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
hawa nafsu (Rahmat, 2006: 93-94). Tidak sebatas hal tersebut, berbagai perihal terkait pelajaran hidup diungkap pula dalam SAA.
Selanjutnya, melalui sastra wulang dan berkaca pada geografis Nusantara, maka tidak heran ketika predikat negara maritim melekat pada Indonesia. Hal demikian seiring dengan predikat label adat timur yang dipandang luhur. Namun, yang perlu digarisbawahi bahwa bukan berarti hal tersebut mengharuskan pembicaraan maritim hanya sebatas pada laut, persebaran peradaban, atau komoditas niaga. Lebih mendalam lagi, bahwa kemaritiman sejatinya telah memberi corak pada karya sastra yang turut dipertukarkan seiring dengan persebaran budaya. Potret demikian tertuang dalam
iluminasi atau rerenggan 5 yang terdapat pada SAA. Melalui naskah tersebut diungkapkan bahwa maritim dapat dimaknai sebagai simbol yang memberikan ajaran nilai kepada pembacanya. Aspek didaktik jauh lebih ditonjolkan sebagai upaya penafsiran dari setiap rerenggan yang merepresentasikan kemaritiman.
Gambar 1. Rênggan Perahu Layar dalam SAA (h.131). Saktimulya (2013: 78).
5 (Rê)rênggan merupakan hiasan untuk memperindah (Poerwadarminta, 1939: 528). Sedangkan menurut Saktimulya (2013: 76) rênggan dimaksudkan sebagai
gambar yang diletakkan di antara teks, berfungsi sebagai hiasan sekaligus sarana visualisasi isi teks.
Jejak Budaya Maritim di Pura Pakualaman: Ajaran Etikmelalui Tradisi Iluminasi Naskah Kuno
Pengungkapan awal unsur kemaritiman dalam SAA diawali dengan rênggan perahu layar (lihat gambar 1) yang terdapat pada halaman 131 naskah SAA. Disebutkan dari visualisasi perahu layar diperoleh informasi bahwa modal untuk memperoleh keselamatan dan kejayaan antara lain lurus hati, awas (waspada), ikhtiar (usaha), mengusahakan sarana, kuat, cermat, berhati-hati, bernalar, serta menegakkan kebenaran dan keadilan. Teks perahu layar tersebut diakhiri dengan kalimat yang menyatakan bahwa perahu layar dapat berjalan selamat mengarungi samudera dan mampu menghadapi rintangan seizin dari Sang Maha Bijaksana (Saktimulya, 2013: 82). Pada ulasan selanjutnya, terlihat unsur-unsur maritim yang dipaparkan secara menyeluruh. Bagian-bagian tersebut merupakan unsur dari badan perahu layar. Melalui tafsiran pada setiap bagiannya, akan diungkapkan nilai kemaritiman sebagai upaya meretas nilai didaktik yang merupakan ajaran hidup jika diaktualisasikan. Ajaran demikian secara eksplisit selanjutnya ditujukan kepada seorang raja/pemimpin yang kelak akan mengakomodasi berbagai aspek yang dipimpinnya.
Bagian pertama dari unsur maritim SAA adalah rerenggan kompas (lihat gambar 2). Dengan menggunakan perumpamaan kompas yang berfungsi sebagai penunjuk arah mata angin, diharapkan bahwa seorang punggawa terpilih memiliki hati yang jernih agar mampu melihat Tuhan dengan mata hati dan mengetahui tujuan hidupnya. Maksudnya adalah dalam mengelola pemerintahan, raja membutuhkan penasihat yang berhati jernih, mampu memberi masukan dan meluruskan pendapat raja sehingga segala keputusan raja berdasarkan pertimbangan yang telah dipikirkan dengan masak (Saktimulya, 2013: 79).
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Gambar 2. Rênggan Kompas dalam SAA (h.129) Saktimulya (2013: 79).
Bagian kedua dari unsur maritim SAA adalah rerenggan juru mualim (lihat gambar 3). Diumpamakan bagai juru mualim, seorang punggawa terpilih harus awas terhadap isi perahu dan mampu mengusahakan kenyamanan penumpang. Maksudnya adalah dalam mengelola pemerintahan, raja membutuhkan punggawa yang awas terhadap aset kerajaan. Apabila dijumpai hal yang sekiranya merugikan, membahayakan atau menyebabkan ketidakharmonisan dalam pemerintahan, baik yang disebabkan oleh aparat maupun masyarakat, punggawa bertugas melaporkan hal itu kepada raja untuk dijadikan pertimbangan dalam menentukan langkah demi keselamatan dan kesejahteraan semuanya (Saktimulya, 2013: 79-80).
Gambar 3. Rênggan Juru Mualim dalam SAA (h.129) Saktimulya (2013: 79).
Jejak Budaya Maritim di Pura Pakualaman: Ajaran Etikmelalui Tradisi Iluminasi Naskah Kuno
Bagian ketiga dari unsur maritim SAA adalah rerenggan layar (lihat gambar 4). Dengan adanya layar, maka perahu dapat melaju dengan cepat. Layar perahu tetap berdiri kokoh meski tertiup badai. Hal itu disebabkan kesiapan kelengkapan layar, yakni kekuatan tali, tiang, dan rentang-tegangnya layar telah diukur. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa dalam mengelola pemerintahan, seorang raja membutuhkan sejumlah punggawa yang mampu bekerja sama sebagai kinerja yang tangguh dan handal (Saktimulya, 2013: 80).
Gambar 4. Rênggan Layar dalam SAA (h.130) Saktimulya (2013: 80).
Bagian keempat dari unsur maritim SAA adalah rerenggan nakhoda (lihat gambar 5). Tugas seorang nakhoda adalah men- jalankan perahu dengan selalu mengupayakan keselamatan penumpang. Ia harus berhati-hati dan tanggap terhadap segala isyarat yang diterimanya. Maksudnya, roda kehidupan bernegara dapat berjalan dengan selamat dan lancar bila dikemudikan oleh orang yang tepat pada posisinya (Saktimulya, 2013: 81).
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Gambar 5. Rênggan Nakhoda dalam SAA (h.130) Saktimulya (2013: 81).
Bagian kelima dari unsur maritim SAA adalah rerenggan jangkar (lihat gambar 6). Keberadaan jangkar diumpamakan bagai penegak perkara. Besar kecilnya jangkar telah diperhitungkan sesuai kapasitas perahu. Hendaknya segera turunkan jangkar di saat perahu berhenti agar perahu tetap stabil. Maksudnya adalah bahwa punggawa yang berfungsi sebagai jangkar harus mampu menghentikan langkah raja jika raja lepas kontrol, melewati target kebijakan sesuai ketentuan yang digariskan. Dengan demikian, seorang punggawa yang ter- pilih “sebagai jangkar” harus bernalar, mampu sebagai penegak kebenaran dan keadilan (Saktimulya, 2013:81).
Gambar 6. Rênggan Jangkar dalam SAA (h.131) Saktimulya (2013: 81)
Jejak Budaya Maritim di Pura Pakualaman: Ajaran Etikmelalui Tradisi Iluminasi Naskah Kuno
Pada akhirnya melalui nafas maritim dalam rerenggan, dapat diperoleh berbagai ajaran yakni seorang pemimpin perlu memiliki sifat/sikap lurus hati, awas, mau berikhtiar, mengusahakan sarana, kuat dan cermat, berhati-hati, menggunakan nalar dalam mene- gakkan kebenaran dan keadilan, serta terus-menerus melantunkan puji syukur dengan kesungguhan hati kepada Sang Pencipta (Saktimulya, 2013: 86).
Pada akhirnya, perbincangan terkait budaya maritim di Nusantara tidak semata-mata berputar-putar pada jejak petualangan dari tempat satu ke tempat yang lain. Meski tidak dimungkiri, perpindahan dan pertukaran demikian yang mengawali sejarah kemaritiman Nusantara. Namun, pola-pola maritim ditemukan pula pada karya sastra dengan genre sastra wulang, salah satunya SAA.
Melalui rerenggan dalam SAA, konsep kemaritiman ditafsirkan sebagai etik didaktik yang memberi warna lain dalam pembahasan kemaritiman pada umumnya. Ajaran-ajaran yang disimbolkan melalui visualisasi perahu layar, kompas, juru mualim, layar, nakhoda, hingga jangkar mampu mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin hendaknya memiliki kematangan, baik sosial maupun emosional.
Akhir dari ulasan tersebut mencoba mengemas konsep maritim yang ditegaskan dan diwujudkan dalam rerenggan. Pembahasannya pun tidak berpola pada persebaran, perpindah, atau komoditas yang dipertukarkan. Melainkan keluar dari pola pikir tersebut, tetapi lebih mendalam mengungkapkan nafas maritim dalam kesusasastraan Nusantara untuk menyampaikan pesan moral kepada masyarakat. Setiap paparannya mampu memberi pelajaran atas tafsirannya bagi siapa pun yang membacanya.
DAFTAR PUSTAKA
Barried, Siti Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Dwicahyono, Ody. 2014. Penyebaran Pesan Tuhan: Islam dan Dunia Maritim Asia Tenggara, Suryakanta #42. Yogyakarta: Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah FIB-UGM.
Kayam, Umar. 1997. Kesusastraan Jawa Kuna dan Jawa Baru sebagai Kesusastraan ‘Pengabdian’ dalam Jawa Majalah Ilmiah Kebudayaan (vol. 1). Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa.
Poewadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters Uitgevers Maatschappij n. v.
Pratitasari, Dyah. 2004. Babad Sinelan Nasekah Pupuh I-X (Suntingan Teks, Terjemahan, dan Kaitan Motif) . Skripsi Jurusan Sastra Nusantara. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Tidak Diterbitkan.
Rahmat. 2006. Sêstra Agêng Adidarma Perbandingan Têmbang, Carita, dan Têmbung Model Behrend (Suntingan Teks dan Terjemahan Pupuh I-IV). Skripsi Jurusan Sastra Nusantara. FIB, UGM. Yogyakarta: Tidak Diterbitkan.
Rochyatmo, Amir. 2010. Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman dalam Jumantara. Jakarta: Perpusnas RI.
Saktimulya, S. R. 2004. Tradisi Tulis di Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Laporan Peneltian Sastra Daerah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
__________. 2005. Katalog Naskah-naskah Perpustakaan Pura Pakualaman . Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
__________. 2013. Memaknai Sêstradi Melalui Iluminasi Naskah Koleksi Pura Pakualaman dalam Warisan Keberaksaraan Yogyakarta: Naskah sebagai Sumber Inspirasi . Yogyakarta: Manassa Cabang Yogyakarta.
Sanel, Ika S., dkk. 2012. Sejarah Kebudayaan Indonesia Zaman Hindu-Budha . Makalah Ilmiah Sejarah Indonesia Zaman Hindu Budha. Jakarta: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Universitas Negeri Jakarta.
Jejak Budaya Maritim di Pura Pakualaman: Ajaran Etikmelalui Tradisi Iluminasi Naskah Kuno
Sumarsih. 2013. Pelacakan Sumber Penulisan Serat Rama Keling (Jawa) Lewat Persejajaran dengan Hikayat Sri Rama (Melayu) dalam Mutiara dalam Karya Sastra Jawa. Yogyakarta: Jurusan Sastra Nusantara FIB-UGM bekerja sama dengan Gress Publishing.
Utomo, Sutrisno Sastro. 2013. Kamus Lengkap Jawa-Indonesia (cet. V). Yogyakarta: Kanisius.
Widyaseputra. 2012. Rama Abyagamana: Eksistensi Viracarita Maha bharata-Ramayana sebagai Studi Komunikasi Inter- kultural . Semarang: Makalah Seminal Nasional Universitas Negeri Semarang.
Kelenturan Budaya Maritim Nusantara dalam Tinjauan Sejarah dan Aktualisasinya di Abad XXI
Rifai Nuruddin
SMA Negeri 2 Surakarta, Jawa Tengah
A khir-akhir ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan
kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Susi Pudjiastuti yang dengan tegas menenggelamkan kapal nelayan asing pencuri ikan. Suatu langkah progresif dalam rangka menegakkan kedaulatan bangsa ini atas wilayah perairannya yang patut kita apresiasi. Kebijakan yang merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan Indonesia sebagai “Poros Maritim Dunia” sesuai dengan visi Presiden Joko Widodo tersebut, harus kita yakini sebagai upaya merintis kembali kejayaan maritim yang pernah dialami bangsa ini pada masa lampau.
Jika kita berkaca pada sejarah sebenarnya masyarakat di Asia Tenggara (Melayu) pada zaman dahulu sudah memiliki budaya maritim. Mereka akrab dengan laut dan pandai dalam membuat dan berlayar dengan kapal. Mereka adalah “pahlawan laut” yang melaksanakan perjalanan jauh, sehingga memelopori proses penyebaran (penduduk, perdagangan, dan kebudayaan) di Samudra Hindia dan Lautan Pasifik, sampai Malagasi di sebelah Timur Afrika serta Pasifik Amerika Selatan (Pigafetta dalam Nasruddin, 2008: 8).
Dari uraian Pigafetta tersebut tidak dapat kita mungkiri bahwa nenek moyang kita adalah bangsa pelaut, berwawasan maritim, dan
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
berjiwa penjelajah. Kondisi itulah yang menyebabkan Nusantara memiliki kebudayaan beragam, sebagai akibat dari pengaruh berbagai kebudayaan asing yang dijelajahi maupun yang datang ke Nusantara. Kondisi perubahan kebudayaan itulah yang kita sebut sebagai bentuk kelenturan budaya, karena menurut Francisia Seda (dalam Thung Ju Lan, 2011: 143) hampir semua budaya bersifat hibrid dan cair (fluid). Arif Setiawan dalam makalahnya yang berjudul “Sosiologi Agama: Interelasi Agama dengan Budaya” mengartikan fluiditas atau kelenturan budaya sebagai pelenturan suatu budaya ketika ia masuk pada wilayah kebudayaan lain. Kelenturan budaya itu merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dihindari, karena memang seperti itulah hakikat dari kebudayaan, selalu memengaruhi dan dipengaruhi oleh budaya yang lainnya, sehingga tidak selalu stagnan.
Kelenturan budaya dalam konteks maritim yang dibahas sekarang ini adalah mengenai perubahan orientasi pembangunan serta aspek kehidupan sosial. Fenomena kelenturan budaya maritim berkaitan dengan orientasi pembangunan berupa perubahan arah kebijakan dari masa ke masa (masa sebelum kolonial/zaman kerajaan, masa kolonial, dan masa pasca-kolonial/setelah Indonesia merdeka), sedangkan dalam aspek kehidupan sosial berupa perubahan kebudayaan dan tatanan masyarakat.
Tinjauan sejarah sebagai cerminan budaya maritim Nusantara masa lampau dapat kita jadikan sebagai pedoman untuk melangkah menuju tujuan Indonesia ke depan, yakni Indonesia sebagai “Poros Maritim Dunia”. Aktualisasi budaya maritim Nusantara abad XXI sekarang ini menjadi penting untuk mencapai tujuan tersebut. Aktualisasi itu digerakkan dengan menyesuaikan kondisi yang ada sekarang, utamanya berupa wawasan maritim sebagai salah satu bagian dari Wawasan Nusantara.
Tinjauan Sejarah
Sejarah mencatat bahwa jauh sebelum Indonesia merdeka, sudah terdapat Kerajaan Majapahit yang wilayah kekuasaannya
Kelenturan Budaya Maritim Nusantara dalam Tinjauan Sejarah dan Aktualisasinya di Abad XXI
meliputi Benua Maritim Nusantara (mencakup hampir seluruh region Asia Tenggara). Dari wilayahnya yang luas dan tersebar di ribuan pulau tersebut membuat masyarakatnya begitu heterogen, budaya dan bahasanya. Meskipun begitu mereka tetap satu kesatuan, dalam rumpun Bahasa Austronesia sebagai lingua franca. Keanekaragaman tersebut sesuai dengan konsepsi Bhinneka Tunggal Ika yang digagas Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma. Hal tersebut sesuai dengan pendapat J.G. de Casparis dan I.W. Mabbet (dalam Nasruddin, 2008: 6), bahwa implementasi Bhinneka Tunggal Ika yang menurut tafsiran bangsa Indonesia = beraneka tapi satu, dapat diterapkan pada semua pulau di Asia Tenggara, karena ragam bahasa yang digunakan di kawasan perairan yang luas ini termasuk rumpun Austronesia, dengan perkecualian kantong-kantong kecil suku terasing.
Dari Majapahit kita beralih ke Demak Bintoro. Sebagai negara adidaya di kawasan Asia Tenggara, Keraton Demak Bintoro aktif melakukan konsolidasi dan diplomasi. Duta Besar Keraton Demak Bintoro ditempatkan di negara-negara Islam. Misalnya saja Negeri Johor, Negeri Pasai, Negeri Gujarat, Negeri Turki, Negeri Parsi, Negeri Arab, dan Negeri Mesir. Sesama negeri Islam itu memang terjadi solidaritas keagamaan. Para pelajar dari Demak Bintoro juga dikirim untuk belajar ke berbagai negeri sahabat tersebut. Saat itu Keraton Demak Bintoro memang muncul sebagai keraton maritim Islam yang makmur, lincah, berilmu, kosmopolit dan sangat agamis. Setelah kekuasaan Sultan Demak Bintoro diambil alih oleh Sultan Pajang, titik berat ketatanegaraan bergeser jauh dari pantai. Sejak saat itu, masyarakat, kesenian, dan sastra Jawa berkembang mengikuti jalannya sendiri, dan kurang terbuka terhadap pengaruh kebudayaan asing di Nusantara, Hindia, dan Cina, seperti pada abad
XV dan XVI. Lambat laun sejak abad XVI, pengaruh kebudayaan Eropa Barat dalam bidang sosial dan politik menjadi semakin kuat (Nasruddin, 2008: 95-110).
Memasuki masa kolonialisme dan imperialisme, Belanda (VOC) mulai menguasai wilayah Indonesia, baik daratan maupun perairan.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Masyarakat pribumi bekerja secara paksa (rodi) untuk memenuhi pundi-pundi keuangan Belanda (VOC). Selain itu seluruh kegiatan sosial, budaya, ekonomi, serta politik dan keseluruhan aktivitas diatur oleh penjajah. Salah satunya di bidang ekonomi di mana Belanda (VOC) memonopoli perekonomian pribumi sehingga masyarakat menjadi semakin sengsara. Pada zaman ini kegiatan masyarakat diarahkan untuk fokus kepada orientasi darat (agraris), dengan berbagai sistem yang ada seperti tanam paksa. Dengan kebijakan tersebut berarti masyarakat mulai kehilangan jati dirinya sebagai bangsa maritim.
Kemudian masa pasca-kolonialisme di mana Negara Kesatuan Republik Indonesia berstatus sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Pada masa awal kemerdekaan (ORLA) berbagai agresi militer dan konflik-konflik politis lainnya seperti separatisme, mungkin saja membuat kondisi Negara Indonesia tidak stabil, sehingga kurang begitu memerhatikan pembangunan, termasuk sektor maritim. Namun ketika zaman Presiden Soeharto (ORBA) orientasi pembangunan difokuskan ke pedalaman yang bersifat agraris, sehingga sektor maritim kurang berkembang.
Berkenaan dengan hal di atas Gubernur DI. Yogyakarta, Sri Sultan HB X melalui makalah berjudul “Budaya Maritim Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Strategi” menulis “Seandainya Hatta dulu Presiden dan wakilnya Soekarno, mungkin bangsa ini akan mengalami sejarah yang berbeda. Tetapi, bagaimana Hatta harus berpidato di depan publik persawahan Soekarno yang berada di habitat budayanya sendiri? Ketidaksadaran kolektif maritim berbicara di hadapan ketidaksadaran kolektif persawahan, tentu sulit dibayangkan bagaimana wujudnya dalam angan-angan negara yang namanya Indonesia ini”. Mungkin maksud dari tulisan itu adalah bahwa apabila Indonesia dipimpin oleh Hatta (etnis Melayu) maka orientasi pembangunannya adalah maritim, karena orang Melayu identik dengan laut. Sedangkan di bawah pimpinan Soekarno (etnis Jawa) maka orientasi pembangunannya adalah agraris, karena orang Jawa identik dengan sawah.
Kelenturan Budaya Maritim Nusantara dalam Tinjauan Sejarah dan Aktualisasinya di Abad XXI
Aktualisasi
Konsep geopolitik Indonesia begitu dinamis seiring per- kembangan zaman. Dalam ilmu kewarganegaraan, geopolitik dimaknai sebagai ilmu penyelenggaraan negara yang setiap kebijakannya dikaitkan dengan masalah-masalah geografi wilayah atau tempat tinggal suatu bangsa. Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa geopolitik berkaitan dengan pengambilan kebijakan negara yang berdasarkan atas konsep kewilayahan. Konsep geopolitik Indonesia beberapa kali mengalami perubahan, mulai dari konsep “Wawasan Nusantara-Bahari” (Wawasan Nusantara yang menitikberatkan pada Wawasan Maritim/Bahari), kemudian kata bahari dihapus menjadi “Wawasan Nusantara” (memandang wawasan benua, wawasan dirgantara, dan wawasan maritim secara seimbang), dan terakhir diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato perdananya setelah dilantik sebagai Presiden RI 2014-2019 bahwa konsep geopolitik Indonesia di bawah kepemimpinannya adalah maritim.
Menurut Munadjat Danusaputra (1982: 61-62), secara konsep- sional kita menganut Wawasan Nusantara dalam konstelasi geografi Indonesia, yang memerlukan keserasian antara Wawasan Bahari, Wawasan Dirgantara, dan Wawasan Benua sebagai pengejawantahan segala dorongan-dorongan (motives) dan rangsang-rangsang (drives) dalam usaha mencapai aspirasi bangsa dan tujuan Negara Indonesia. Namun, secara praktis-pragmatis dalam jangkauan perkiraan ke depan (foreseeable future) kita menitikberatkan pada Wawasan Bahari, yaitu suatu pandangan, suatu aspek falsafah hidup suatu bangsa, di mana penggunaan dan penguasaan lautan adalah mutlak untuk perkembangan kesejahteraan dan kejayaan negara serta bangsa tanpa mengurangi azas anti-imperialisme.
Dari uraian di atas kita simpulkan bahwa secara resmi konsep geopolitik Indonesia adalah Wawasan Nusantara dengan berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tetapi, dari ketiga wawasan yang terkandung dalam Wawasan
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Nusantara, Wawasan Bahari/Maritimlah yang paling diutamakan mengingat kondisi geografis Indonesia yang dua pertiganya adalah wilayah perairan yang potensial dan harus dijaga kedaulatannya. Mungkin saja keutamaan Wawasan Bahari tersebut menjadi salah satu dasar visi Indonesia sebagai “Poros Maritim Dunia”.
“Poros Maritim Dunia” yang dimaksud adalah langkah menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang besar, kuat, dan makmur melalui pengembalian identitas Indonesia sebagai bangsa maritim, pengamanan kepentingan dan keamanan maritim, pemberdayaan seluruh potensi maritim demi kemakmuran bangsa, pemerataan ekonomi Indonesia melalui tol laut, dan melaksanakan diplomasi maritim dalam politik luar negeri Indonesia lima tahun ke depan (www.fkpmaritim.org).
Visi Indonesia sebagai “Poros Maritim Dunia” tersebut tampak- nya tidaklah berlebihan karena Indonesia memang sangat potensial untuk mewujudkan visi itu. Potensi tersebut dapat kita lihat dari Dekalarasi Djuanda 1957 yang menegaskan konsepsi Wawasan Nusantara memberikan kita anugerah yang luar biasa baik itu laut, darat maupun udara. Sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia,
Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km 2 yang terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km persegi dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km 2 . Selain itu, terdapat 17.504 pulau di Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km (www.ppk-kp3k.kkp.go.id). Hal itu membuat Indonesia memiliki sumber daya maritim yang sangat potensial untuk dikembangkan. Berikut adalah tabel yang menggambarkan potensi sumber daya maritim Indonesia yang diambil dari situs Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
Kelenturan Budaya Maritim Nusantara dalam Tinjauan Sejarah dan Aktualisasinya di Abad XXI
No. Potensi Sumber Daya Maritim Nilai 1 Perikanan (perikanan tangkap, budi daya, dan pengolahan) US$ 47 M/tahun 2 Pariwisata bahari
US$ 29 M/tahun Energi terbarukan (energi arus laut,
3 pasang surut, gelombang, biofuel alga, US$ 80 M/tahun dan panas laut)
Biofarmasetika laut (industri bioteknologi 4 bahan pangan, obat-obatan, kosmetika,
US$ 330 M/tahun dan bioremidiasi)
5 Transportasi laut US$ 90 M/tahun 6 Minyak bumi dan gas offshore
US$ 68 M/tahun 7 Hasil seabed mineral
US$ 256 M/tahun 8 Industri dan jasa maritim
US$ 72 M/tahun 9 Garam
US$ 28 M/tahun Melimpahnya sumber daya maritim yang terdapat di Indonesia
sangat potensial untuk mendukung visi Indonesia menjadi “Poros Maritim Dunia”. Namun hal itu harus diawali dengan reformasi kelautan. Reformasi kelautan pada mental masyarakat, regulasi pemerintah, serta sarana dan prasarana. Pada mental masyarakat mari kita ubah dari konsep lama yang secara ekstraktif mengambil langsung dari alam, untuk diubah menjadi konsep konservatif/ budi daya sehingga dapat melipatgandakan manfaat sumber daya yang ada dan kelestarian lingkungan tetap terjaga dengan prinsip pengelolaan/pembangunan berkelanjutan, sehingga kepentingan generasi yang akan datang dapat terjamin. Kemudian reformasi kelautan di bidang hukum adalah penyempurnaan regulasi kelautan yang tidak tumpang tindih. Sehingga hukum tetap ditegakkan, dan kedaulatan tetap terjaga. Lalu pada bidang sarana dan prasarana yaitu dengan pembangunan sarana dan pasarana yang menunjang kegiatan kelautan. Salah satunya adalah pelabuhan yang harus
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
ditingkatkan baik secara kuantitas, dan yang terpenting adalah peningkatan kualitas, mengingat pentingnya pelabuhan sebagai gerbang bahari. Apabila reformasi kelautan sukses, kemungkinan besar visi Indonesia akan terwujud dan rakyat sejahtera. Yang terakhir adalah bahwa keutamaan orientasi pembangunan maritim harus tetap memerhatikan pembangunan agraris dan dirgantara yang sama pentingnya.
Kesimpulan
Kelenturan budaya maritim terjadi dalam bidang orientasi pembangunan geopolitik. Pada zaman pra-kolonial orientasinya adalah maritim, namun pada masa kolonial orientasinya berubah menjadi agraris, sampai Indonesia merdeka tetap agraris, namun untuk saat ini mulai dirintis kembali orientasi pembangunan maritim. Selain itu budaya maritim juga menimbulkan kelenturan kebudayaan dan tatanan sosial. Misalnya pelenturan kebudayaan Jawa, Hindu, Buddha yang beradaptasi dengan Islam (diawali dari pesisir/maritim). Kemudian terkena lagi pengaruh dari luar, yaitu dari kolonialisme barat. Dari masa lampau kita beralih ke aktualisasinya pada masa sekarang, di abad XXI. Segala potensi sumber daya maritim Indonesia apabila dikelola secara maksimal, baik secara langsung maupun tidak langsung akan menyejahterakan rakyat Indonesia. Dalam jangka panjang apabila pemanfaatan sumber daya maritim dilakukan secara berkelanjutan dan didukung oleh penegakan hukum dan kedaulatan di lautan, maka bukanlah suatu yang mustahil bagi Indonesia untuk menjadi “Poros Maritim Dunia”. Dan hal terakhir adalah bahwa sebaiknya fokus pembangunan yang berorientasi maritim tidak membuat pembangunan agraris dan dirgantara terpinggirkan. Karena ketiga komponen tersebut haruslah sama-sama dikuatkan untuk kemajuan Indonesia.
Kelenturan Budaya Maritim Nusantara dalam Tinjauan Sejarah dan Aktualisasinya di Abad XXI
DAFTAR PUSTAKA
Anshoriy Ch, Nasruddin dan Dri Arbaningsih. 2008. Negara Maritim Nusantara: Jejak Sejarah yang Terhapus . Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana.
Danusaputra, Munadjat. 1982. Wawasan Nusantara: dalam Implementasi dan Implikasi Hukumnya . Bandung: Penerbit Alumni.
HB X, Sri Sultan. 2014. Makalah: Budaya Maritim Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Strategi . Yogyakarta: Sarasehan Budaya Maritim UGM.
Kemdikbud. 2014. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang Kemdikbud.
Setiawan, Arif. ____. Makalah: Sosiologi Agama: Interelasi Agama Dengan Budaya . Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan (Ed.). 2011. Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di Indonesia: Sebuah Tantangan . Jakarta: LIPI Press.
http://www.fkpmaritim.org/peran-poros-maritim-dunia-dalam- meningkatkan-peran-indonesia-di-tingkat-internasional/ diakses 4 Mei 2015 pukul 14.00 WIB.
http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/ver2/news/read/115/membangun- kelautan-untuk-mengembalikan-kejayaan-sebagai-negara- maritim.html diakses 4 Mei 2015 pukul 14.00 WIB.
Memayu Hayuning Samudra Kearifan Lokal untuk Kejayaan Global
Dwi Suyoko
SMA Negeri 2 Purbalingga, Jawa Tengah
“Dengan menggali kearifan lokal tentang budaya masyarakat mengelola laut, kejayaan Indonesia sebagai bangsa maritim dapat kembali bangkit.” 1
I ndonesia di mata dunia internasional adalah sebuah mutiara dan
negeri “surga”. Mengapa? Tidak lain karena bagi sebagian mereka, Indonesia yang luas dan jarak bentangannya sama dengan Inggris ke Rusia bisa menjadi sebuah negara kesatuan. Coba kita lihat, berapa negara yang terdapat di antara Inggris dan Rusia. Padahal, wilayah tersebut merupakan daratan yang menyatu dengan masyarakat yang relatif homogen, baik secara kultural maupun agama.
Menurut data Kelompok Kerja Penyelarasan Data Kelautan dan Perikanan tahun 2011, Indonesia memiliki luas teritorial 284.210,90 km² dan luas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 2.981.211 km² atau sekitar 70% dari luas wilayah Indonesia, sedangkan daratan seluas kurang lebih 1.910.931,32 km². Garis pantai Indonesia adalah yang terpanjang kedua di dunia dengan panjang sekitar 104.000 km². Rasanya aneh dan tidak dapat diterima akal sehat bagaimana
1 http://www.politikindonesia.com/index.php?k=politik&i=63104--Ada-Kearifan- Lokal-dalam-Kejayaan-Maritim-Indonesia., diakses tanggal 2 Mei 2015.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Indonesia yang memiliki begitu banyak pulau sejumlah 17.504 pulau tidak dapat disebut sebagai negara maritim abad ke-21. Dari ribuan pulau tersebut, banyak tradisi lokal yang hidup turun-temurun dari nenek moyang kita untuk menjaga dan menyeimbangkan kelestarian laut.
Kita sepakat bahwa tradisi kelautan perlu dibangkitkan lagi, kita juga meyakini bahwa tradisi kelautan kita perlu dikuatkan dengan berbagai cara, Indonesia dengan visi Poros Maritim Dunia harus kita wujudkan bersama untuk mencapai ketahanan dan pertahanan Indonesia. Tapi fakta di lapangan mengatakan berbeda, bahwa
dari 324 kabupaten 2 di seluruh Indonesia, tidak banyak kalangan yang meyakini bahwa wawasan kemaritiman, karakter kebaharian, dan jiwa kelautan dapat ditemukan dalam tradisi budaya lokalnya sendiri. Maukah kita menggali dan kembali pada kearifan lokal kita untuk meraih kejayaan global?
Problematik Dunia Maritim Kita
Data di atas menggambarkan bagaimana Indonesia dianugerahi oleh Tuhan begitu banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh negara lain di dunia. Melihat kekayaan Indonesia yang begitu luar biasa ini, bangsa Indonesia seharusnya menyadari bahwa laut merupakan media yang dapat mempersatukan dan sebagai media untuk menghubungkan antara pulau yang satu dengan yang lainnya. Tapi kenyataannya kondisi sekarang justru laut adalah pemisah antara pulau satu dengan yang lainnya. Pemisah ini semakin terasa pada masa globalisasi saat ini, arus globalisasi ini justru membuat kita semakin menjauh dari jati diri bangsa kita yang Bhinneka Tunggal Ika.
Untuk menyatukannya, kita harus mengejar ketertinggalan teknologi kita dalam dunia maritim dan sumber daya manusianya karena dalam dunia kemaritiman tergantung pada orang-orang yang menguasai teknologi yang identik dengan globalisasi tetapi
2 Kelompok Kerja Penyelarasan Data Kelautan dan Perikanan tahun 2011.
Memayu Hayuning Samudra Kearifan Lokal untuk Kejayaan Global
dengan tidak melepaskan “pijakan” lokalnya. Tapi bahayanya, globalisasi dapat menyebabkan terkikisnya budaya nasional akibat masuknya budaya dari luar. Arus budaya yang datang dari luar bisa menghantam budaya lokal dengan kuat, sehingga dimungkinkan
bahwa kearifan lokal kita akan tergerus mati. 3 Kita bisa lihat dari hal kecil di sekitar kita, bukankah kita seolah bangga kalau beli ikan di supermarket? Pernahkah kita menyempatkan diri untuk datang ke pasar tradisional dan berbelanja di sana? Contoh yang lain, nama- nama asli orang Indonesia sekarang mungkin 20 tahun yang akan datang punah. Banyak nama asli diganti menjadi “kebarat-baratan”, dan kita bangga dengan itu. Mari kita merenung, akankah kearifan lokal kita akan semakin hilang tertelan zaman? Kita kadang tidak sadar bahwa kita sekarang merupakan generasi konsumtif sekaligus pragmatis. Untuk menyikapi prolematik ini, dibutuhkan strategi yang tepat agar identitas asing tidak semakin “menggerus” dan secara perlahan dapat berpotensi melenyapkan identitas lokal di Indonesia.
Permasalahan justru datang dari kita sendiri. Kebiasaan orang Indonesia yang susah makan ikan menjadi kendala, sekalipun Indonesia kaya akan hasil laut, tapi bangsa Indonesia tidak dikenal sebagai pemakan ikan. Rata-rata konsumsi ikan orang Indonesia adalah 30 kilogram per tahun, masih kalah dengan orang Malaysia yang mencapai 37 kg, bahkan hanya separuh dari konsumsi orang
Jepang yang makan ikan 60 kilogram per tahun. 4 Belum lagi praktik illegal fishing, illegal logging, illegal mining, dan kegiatan ekonomi ilegal lainnya serta perampokan dan perompakan di laut masih marak. Ikan yang dicuri tahun 2014 (hingga Agustus 2014) dari laut Indonesia mencapai 1,6 juta ton atau setara 182 ton sehari, pencurian ikan ini merugikan negara sekitar Rp101 triliun. Kerugian negara itu meningkat karena masih lemahnya
3 Sumaryadi, Nyoman I. 2005. Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. Jakarta: Citra utama., Hlm 5.
4 https://ugm.ac.id/id/berita/9229sri.sultan.hb.x:.budaya.konsumsi.ikan.laut. perlu.menjadi.tradisi., diakses 3 Mei 2015.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
pengawasan dan penindakan kepada nelayan dan kapal ikan asing pencuri ikan Indonesia itu. Kapal-kapal ikan pencuri itu diketahui dari Vietnam, Malaysia, Thailand, Filipina, Taiwan, Hongkong, dan Tiongkok. Mereka sering tertangkap basah mencuri ikan di
wilayah ZEE Indonesia. 5 Dari Kementerian Kelautan dan Perikanan tercatat hingga bulan November 2014 bersama tim gabungan lintas sektor berhasil menangkap hingga sebanyak 35 kapal ikan yang melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia.
Selain itu, pembangunan kelautan masih menyisakan begitu banyak pekerjaan rumah. Buktinya, hingga kini kontribusi seluruh sektor kelautan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sekitar 20%. Padahal negara-negara dengan potensi kekayaan laut yang lebih kecil ketimbang Indonesia, seperti Islandia, Norwegia, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, dan Thailand, kontribusi bidang kelautannya rata-rata sudah di atas 30% PDB. Mayoritas nelayan dan masyarakat pesisir masih terlilit derita kemiskinan. Sementara, gejala overfishing , kerusakan ekosistem pesisir (terumbu karang, hutan mangrove , dan estuaria), dan pencemaran melanda sekitar 40% wilayah pesisir dan laut, seperti Pantai Utara Jawa, sebagian Selat Malaka, Pantai Selatan Sulawesi, sebagian Pantai Timur Kalimantan, dan muara Sungai Ajkwa di Papua. 6
Dari permasalahan di atas, seharusnya langkah kecil untuk menyelamatkan kemaritiman mulai dari diri kita, saat ini, dan mulai dari yang terkecil, yaitu kearifan lokal kita. Kearifan lokal justru menjadi barometer kedewasaan bernegara untuk menghadapi tantangan global. Sinergi antara keduanya akan menjadikan kita kuat dan lebih siap dalam menghadapi tantangan dan hambatan. Dengan kearifan lokal, kita bisa lebih bijaksana dalam mengelola
5 http://www.antaranews.com/berita/455120/pencurian-ikan-rugikan-negara- rp101-triliun, diakses 3 Mei 2015.
6 Dahuri, Rokhim. 2014. “Membangun Indonesia sebagai Negara Maritim yang Maju, Adil-Makmur, Kuat dan Berdaulat”. Makalah. Disampaikan pada Seminar
Kebangsaan Laut Sumber Kemakmuran dan Kedaulatan Bangsa di Jakarta, disajikan pada tanggal 1 Oktober 2014, hlm 2-3.
Memayu Hayuning Samudra Kearifan Lokal untuk Kejayaan Global
alam Indonesia. Tidak sembarangan dan sembrono 7 dalam me- manfaatkan kekayaan. Permasalahan ini bukannya tidak bisa diatasi, hanya usaha dan doa yang menjadi senjata untuk mengubah Indonesia menjadi poros maritim dunia. Salah satu usahanya, kita kembali kepada kearifan lokal.
Kearifan Lokal dan Kejayaan Global
Pengaruh teknologi dan globalisasi amat besar dalam membentuk wajah Indonesia yang lokal menjadi nasional hingga global dan sebaliknya atau yang dikenal sebagai “glokalisasi”. Konsep ini dipopulerkan oleh Roland Robertson pada tahun 1977 dalam suatu konferensi tentang Globalization and Indigenous Culture . Secara umum pengertiannya adalah penyesuaian produk global dengan karakter lokal. Ada juga yang mengatakan think globally and act locally (berpikir global dan bertindak lokal). Dalam wilayah budaya, glokalisasi dimaknai sebagai munculnya interpretasi produk-produk global dalam konteks lokal yang
dilakukan oleh masyarakat dalam berbagai wilayah budaya. 8 Memang pada dasarnya glokalisasi timbul dan merupakan efek dari globalisasi. Tapi substansi dari glokalisasi yang mempunyai gen cita rasa lokal dapat mempertahankan identitas nasional.
Salah satu masyarakat di Indonesia yang kaya akan kearifan lokal kemaritiman adalah masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa pada umumnya sadar dan sangat memahami bahwa kehidupan manusia tidak dapat belangsung tanpa adanya sumber daya alam, seperti bumi, udara, air, sinar matahari, hewan, dan tumbuhan. Untuk itulah, para pendahulu atau leluhur telah merencanakan hari penyelamatan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup beserta isinya. Orang Jawa menyebutnya sebagai Memayu Hayuning Bawana, artinya penyelamatan keseimbangan alam dan lingkungan tempat
7 Sembrono berarti kurang hati-hati atau gegabah. 8 http://nur-hidayatullah.webnode.com/news/identitas-nasional/diakses tanggal
2 Mei 2015.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
manusia hidup. Caranya dengan melaksanakan ruwatan atau sedekah atau selamatan. Ruwatan artinya merawat, melestarikan, menyelamatkan, membersihkan, menumbuhkembangkan, dan mem berdayakan alam dan lingkungan hidup. Ruwatan dilakukan agar masyarakat Jawa terhindar dari bahaya dengan mengharap dan bersyukur terhadap Tuhan. Lebih spesifik lagi, falsafah Memayu Hayuning Bawana bertransformasi menjadi Memayu Hayuning Samudro, yang berarti penyelamatan keseimbangan laut, baik dalam cara memanfaatkannya maupun mengelolanya.
Falsafah Memayu Hayuning Samudro bisa dilihat dari tradisi- tradisi dan upacara-upacara orang Jawa sekarang. Semisal, di Jawa Tengah Bagian Barat, yaitu Kabupaten Cilacap, upacara tradisional yang sampai sekarang dilakukan sebagai salah satu kearifan lokal, untuk menyeimbangkan laut adalah upacara tradisional Sedekah Laut . Sedekah Laut dilaksanakan di pantai Teluk Penyu dan menjadi salah satu kearifan lokal di wilayah Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Hingga saat ini, upacara tradisional tersebut masih dilaksanakan karena masyarakat merasakan adanya makna dan nilai-nilai luhur di dalamnya. Peran pemerintah dalam pelaksanaan tradisi Sedekah Laut tidak bisa dilepaskan, sinergi antara keduanya merupakan hal yang penting. Tradisi Sedekah Laut selalu dilaksanakan dengan persiapan yang matang. Berbagai persiapan yang dilakukan oleh masyarakat antara
lain menentukan tanggal pelaksanaan, mempersiapkan uborampe 9 upacara tradisi yaitu jolen 10 dan sesajennya, menyewa dalang untuk acara ruwatan dan hiburan rakyat, serta tidak melaut pada hari yang telah ditentukan.
Secara garis besar, prosesi upacara kirab dan pelarungan jolen diawali dengan penyerahan jolen Tunggul dari Tumenggung Duta Pangarsa. Selanjutnya jolen Tunggul dibawa ke Pantai Teluk Penyu
9 Uborampe berarti perlengkapan makanan atau piranti dalam melaksanakan ritual Sedekah Laut.
10 Jolen merupakan bentuk rumah adat Jawa Tengah (Joglo) yang berisi bermacam-macam sesajen.
Memayu Hayuning Samudra Kearifan Lokal untuk Kejayaan Global
dan dikirab seluruh nelayan dari tujuh kelompok nelayan yang ada di Cilacap. Penyerahan jolen Tunggul disaksikan Bupati Cilacap dan seluruh pejabat dari dinas instansi terkait yang menggunakan pakaian adat nelayan lengkap dengan ikat kepala warna hitam. Selanjutnya jolen Tunggul beserta jolen-jolen lainnya yang dibawa masing-masing kelompok dinaikkan ke atas perahu yang dihias dengan berbagai hiasan janur kuning. Jolen-jolen tersebut kemudian dibawa ke tengah laut kidul dan dilarung di sekitar Pulau Majethi, tepatnya di Teluk Karang Bandung, Pulau Nusakambangan. 11
Upacara ini dilakukan untuk masa awal musim penangkapan ikan setelah masa paceklik, sehingga kalau melaut lagi tangkapan ikan sangat banyak. Karena itu upacara ritual Sedekah Laut ini dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur para nelayan kepada Tuhan karena nelayan telah diberi rezeki berupa hasil tangkapan ikan yang melimpah. Biasanya upacara sedekah laut para nelayan Cilacap ini dilaksanakan pada hari Jum’at Kliwon bulan Suro, dan pada hari-hari tersebut tidak ada nelayan yang melaut.
Dari contoh-contoh tersebut, kita dapat melihat bahwa masyarakat maritim yang diperlihatkan di atas menganggap laut adalah segalanya, laut adalah bagian hidupnya. Laut adalah “ibu” yang memberi kehidupan seperti yang digambarkan dalam tradisi Sedekah Laut . Masih banyak contoh yang dapat ditambahkan yang memperlihatkan betapa kuat sebetulnya memori kolektif mengenai kemaritiman yang tersimpan dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi, kenyataan akhir-akhir ini seperti “jauh panggang dari api”, karena kurangnya pemahaman mengenai pengelolaan laut untuk menjadi sumber potensial peningkatan GNP (Gross National Product ) oleh para nelayan ilegal dengan tangkapan berkapasitas gross ton . Oleh karena itu, Indonesia harus mengembalikan kejayaannya sebagai bangsa yang memiliki kebudayaan maritim yang kuat seperti yang pernah terjadi berabad yang lalu dengan kembali ke lokal untuk "bertarung" di ranah global.
11 Wawancara dengan Bapak Sagutro pada hari Minggu, 30 April 2015.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Revitalisasi Tradisi
Terkadang kearifan lokal dapat dianggap sebagai sesuatu yang mengglobal. Pemahaman tersebut tidak salah karena toh segala sesuatu yang mengglobal berasal dari jati diri lokal. 12 Dengan demi- kian, makna Sedekah Laut bukan semata-mata sebagai ungkapan rasa syukur, akan tetapi lebih jauh mendalam. Memayu Hayuning Bawana/Samudro tidak lain merupakan falsafahhidup yang menjadi akar kearifan lokal masyarakat Jawa. Memayu Hayuning Bawana/ Samudro sebagai dasar pelaksanaan Sedekah Laut, menunjukkan bahwa nilai kearifan lokal yang ada di dalamnya begitu banyak. Berbagai nilai kearifan lokal sudah seharusnya dilestarikan dan dijadikan pedoman hidup bagi masyarakat nelayan dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Negara dalam hal ini sudah berusaha membangkitkan tradisi dan potensi-potensi yang ada di dalam negeri. Seperti yang sudah diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 33 ayat 3, 13 harapan kita, Indonesia sebagai negara kepulauan yang besar dengan budaya maritim, segala kebijakan kemaritiman harus dibuat terpadu dan bersifat lintas sektoral. Pengembangan budaya maritim tersebut tidak berarti mengesampingkan masalah pertanian dan kehutanan di darat. Sesungguhnya ketiga hal tersebut (maritim, pertanian, kehutanan) merupakan satu kesatuan ekosistem yang salah satunya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Jadi pada akhirnya bangsa Indonesia perlu mengembangkan konsep pembangunan terpadu, agar ketiga hal tersebut saling memiliki fungsi bagi kehidupan. Generasi sekarang belum sadar bahwa hilangnya hutan berarti hilangnya peradaban laut juga.
Sekarang momentum yang tepat untuk melihat kembali peradaban bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim dan sebagai
12 Suwardi Endraswara. 2013. Memayu Hayuning Bawana. Yogyakarta: Narasi. hlm 35.
13 Bunyi dari ayat tersebut adalah: bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Memayu Hayuning Samudra Kearifan Lokal untuk Kejayaan Global
negara kepulauan terbesar di dunia, serta merupakan negara agraris yang memiliki pertanian dan kehutanan bagi penduduknya. Seperti falsafah Jawa, Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara artinya manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan, serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak. Selain itu mari kita terus membuka mata kita, awasi selalu setiap usaha yang berpotensi menghancurkan laut Indonesia. Baik gerakan dari luar maupun dari dalam, termasuk awasi setiap kebijakan pemerintah, kalau kebijakan itu bertentangan dengan keadilan lingkungan laut, kita perlu memberi masukan terhadap kebijakan tersebut.
Akhirnya, kita mesti melakukan perubahan paradigma pem- bangunan nasional, dari orientasi pembangunan darat menjadi orientasi pembangunan laut dengan belajar dari kearifan lokal kita. Dengan begitu, seluruh kebijakan publik, infrastruktur, dan sumber daya finansial secara terintegrasi diarahkan untuk menunjang pembangunan kelautan tanpa menghilangkan warisan leluluh kita. Ini bukan berarti kita melupakan pembangunan di darat. Kita justru harus mengintegrasikan pembangunan ekonomi di darat dan di laut. Melalui orientasi pembangunan dari basis daratan ke lautan, maka pelabuhan, transportasi laut akan lebih efisien. Sehingga, akan membuat semua produk dari ekonomi daratan (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan pertambangan) akan lebih berdaya saing, karena biaya logistik akan lebih murah dan pergerakan barang akan lebih cepat. Sejuta harapan pada negara kita untuk menjadi poros maritim dunia tidak akan menjadi khayalan semata dalam beberapa tahun ke depan jika kita bersama dan saling bersinergis. Dengan falsafah Memayu Hayuning Bawana, kita jaga dan kelola kekayaan laut kita.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri, Rokhim. 2014. “Membangun Indonesia sebagai Negara Maritim yang Maju, Adil-Makmur, Kuat dan Berdaulat”. Makalah . Disampaikan pada Seminar Kebangsaan Laut Sumber Kemakmuran dan Kedaulatan Bangsa di Jakarta, disajikan pada tanggal 1 Oktober 2014.
Endraswara, Suwardi. 2013. Memayu Hayuning Bawana. Yogyakarta: Narasi.
http://nur-hidayatullah.webnode.com/news/identitas-nasional/., diakses tanggal 2 Mei 2015.
https://ugm.ac.id/id/berita/9229sri.sultan.hb.x:.budaya.konsumsi. ikan.laut.perlu.menjadi.tradisi, diakses 3 Mei 2015.
http://www.antaranews.com/berita/455120/pencurian-ikan- rugikan-negara-rp101-triliun, diakses 3 Mei 2015.
http://www.politikindonesia.com/index.php?k=politik&i=63104- -Ada-Kearifan-Lokal-dalam-Kejayaan-Maritim-Indonesia, diakses tanggal 2 Mei 2015.
Kelompok Kerja Penyelarasan Data Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011 .
Sumaryadi, Nyoman I. 2005. Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. Jakarta: Citra utama.
Wawancara dengan Bapak Sagutro pada hari Minggu, 30 April 2015.
Pelabuhan Lokal untuk Panen Raya Padi
Nur Mustaria Putri
SMA Negeri 11 Unggulan Pinrang, Sulawesi Selatan
Narekko laoki ri Sulawesi (Apabila Anda berkunjung ke Sulawesi) Lolang-lolakki ri tana Ogi
(Jalan-jalan ke tanah Bugis) Leppang mabbenni-benni
(Singgahlah untuk bermalam) Pirasai ase banda malunrae (Rasakan gurihnya Beras Banda)
Parepare mana mita (Hanya di Parepare Anda akan melihat) Bombang silacu-lacu (Ombak berkejar-kejaran) Aganna lacu-lacu (Apa itu yang berkejaran?)
Lopi pallureng berre (Kapal pengangkut beras) Dendang alani dendang (Dendang dan berdendang)
Dendang mappadendang (Dendang berdendang) Mappadendangni ana Ogie
(Berdendang anak Bugis) Pirasai nyamengna
(Merasakan kenikmatan) Nyamengna aresona
(Kenikmatan mata pencaharian) Ri Sulawesi mana mita
(Hanya di Sulawesi Anda akan melihat) Galung temmakaloang
(Sawah demikian luas) Paggalungna makaroa
(Petani demikian banyak) Pole tasseddi kampong
(Terjadi di satu kampung) Massumange tongeng
(Betapa bersemangat) Waseng ana Ogie (Tingkah anak Bugis) Majjijireng marengngala (Berjejer ketika memanen)
Pole tasseddi kampong (Terjadi di satu kampung)
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Dendang alani dendang (Dendang dan berdendang) Dendang mappadendang
(Dendang berdendang) Mappadendangni ana Ogie (Berdendang anak Bugis) Pirasai nyamengna
(Merasakan kenikmatan) Nyamengna aresona
(Kenikmatan mata pencaharian) Amo pole bosie (Walau hujan datang)
Amo pole pellae (Walau panas datang) Mattunru-tunru totoi
(Bersemangat tiada tara) Sappai atuongenna
(Mencari penghidupannya) Ase banda malunrae (Padi Banda yang nikmat)
Ri lureng lao daerah (Diangkut ke suatu daerah) Ribawai ri wanuae
(Dibawa ke satu daerah) Wanua kurangnge berrena (Daerah yang kekurangan beras)
(Elong Ogi, Mappadendang, anonim)
Saya adalah anak Bugis, tinggal di Leppangang, yakni satu desa di Kabupaten Pinrang. Bersama kakek yang asli seorang petani, saya tumbuh-kembang di antara ilalang, padi, dan bau sawah. Lalu petikan elong ogi (syair Bugis), yang saya petik di awal tulisan ini tentu memiliki makna, demikian mendalam tersuburi di relung- relung hati, dan demikian akrabnya di batin saya. “Mappadendang” seolah menyala, seolah menjadi pelita penerang ketika didengar, juga seolah hidup ketika dilagudendangkan di saat-saat padi dipanen-raya. Mengapa demikian? Baiklah, elong ogi yang saya tiada tahu siapa persis penulis dan penanggalan berapa diciptakan tertuang dalam tulisan sederhana ini. Pesan-pesan yang terkandung di dalamnya, sungguh bermakna dan penting ketika melihat situasi sekarang ini. Selamat membaca, ya!
Elong ogi sama juga seperti syair dari belahan daerah lain. Ia menjadi media hiburan, dan Indonesia sebagai negara agraris membutuhkan manusia-manusia penggerak, yaitu petani yang
tetap memiliki semangat tinggi ketika menggarap sawah-kebunnya. Alasan ini, selain pada elong ogi “Mappadendang” di tanah Bugis, juga ditemukan sederatan syair-syair lain yang menyoal tentang
Pelabuhan Lokal untuk Panen Raya Padi
sawah-kebun di pelosok negeri Indonesia. Satu kewajaranlah ketika syair “Budak Angon” di Magelang bisa ditemukan. Isi “Budak Angon” tentang petani dan bocahangon (gembala) ketika musim garap telah tiba (http://www.pikiran-rakyat.com/ seni-budaya/2014/11/05/). Lagu yang dinyanyikan ketika mulai ngawuluku atau mencangkul sawah begitu hujan mulai turun, tentu untuk hiburan untuk menaikkan semangat petani-petani agar tekun dan ulet ketika ‘berkubang’ di tanah sawah dan kebun. Atau isi lagu “Pajjhar”, yakni syair lagu daerah asal Madura yang berarti fajar, berisi tentang mengajak orang untuk bangun pagi-pagi dan segera bekerja di sawah atau ladang, bahwa semakin baik pagi pergi ke sawah atau ke ladang, semakin baik pula hasil pertanian yang sedang digarap (http://pusatbahasaalazhar/wordpress.com/ artikel/sastra).
Keberadaan elong ogi atau syair-syair bertema agraris lainya yang tumbuh adalah sugesti. Ia memiliki pengaruh, seolah-olah seperti ‘mantra’ agar tetap ulet bekerja menggarap tanah selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, atau tiada ujung akhir membanting tulang untuk tetap mencari hidup dari tanah garapan. Dasarnya memang seperti itu, sebagaimana dikemukakan oleh Pujiyanti (2013), bahwa nyanyian-nyanyian yang tumbuh di masyarakat di masa lalu selain muncul karena ritual dan upacara, juga lahir untuk mengiring ketika melakukan pekerjaan, seperti membajak sawah atau menanam padi, yang dimaksudkan untuk memberikan dorongan semangat dan serentak dalam bekerja. Nyanyian-nyanyian tersebut, selain memberikan pengaruh kepada batin agar motivasi kerja tetap terjaga, juga seperti magis, bahwa ketika menyanyi sambil bekerja akan memberi dampak kepada kesuburan tanaman padi yang sedang diolah. Semacam hafalan syukur atau doa keselamatan kepada Tuhan.
Selain itu, elong ogi berjudul “Mappadendang” memiliki perbedaan dengan syair-syair bertema agraris lainnya. Ia selain menjadi hiburan, sugesti, dan magis kepada To Ogi (orang Bugis)
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
juga memiliki makna lebih, semacam peta geografi menyampaikan berita tentang peta luas lahan sawah di tanah Bugis. Isi syairnya, galung temmakaloang dan paggalungna makaroa (sawah demikian luas dan petani demikian banyak) dan ketika panen akan majjijireng marengngala (berjejeran ketika memanen) pole tasseddi kampong (terjadi hanya di satu kampung) menjelaskan tentang betapa luas sawah di tanah Bugis, dan sedemikian banyak petani yang menggarapnya. Memang abstrak jumlah yang disebutkan karena diciptakan dari masa lalu, akan tetapi angka terkini menunjukkan, Sulawesi Selatan yang dimukimi sebagian besar To Ogi memiliki 399.173 hektar luas tanah sawah, dan terbesar keempat dalam rata- rata penduduknya adalah bermata pencaharian sebagai petani.
Pertambahan penduduk yang semakin meningkat, dan areal sawah yang menjadi sasaran untuk membangun permukiman penduduk baru, lalu menjadi persoalan. Ilalang, padi, dan bau sawah yang masih akrab sekarang, tentu akan berubah di sepuluh atau dua puluh tahun ke depan. Petak-petak sawah di sekitar sawah kakek dalam tujuh tahun belakangan telah diubah menjadi bangunan rumah baru. Jika dulu menggarap dua hektar maka sekarang tersisa satu hektar. Belum lagi, bahwa SMA dan SMK yang telah dan marak dibangun di desa atau di kecamatan, ternyata telah mendorong pemuda-pemuda memiliki pilihan, bahwa pekerjaan bertani atau berkebun adalah satu dari di antara banyak pilihan untuk bekerja. Pekerjaan bertani atau berkebun, mulai ditinggalkan. Jika seperti ini, elong ogi “Mappadendang” sudah tidak cocok untuk masa-masa mendatang. Bisa berubah, galung temmaka cippi (sawah semakin sedikit) dan panggalunna ceddemi (petani semakin sedikit). Hal ini tentu menjadi persoalan umum, tidak saja dialami di Sulawesi Selatan sebagai lumbung pangan nasional juga telah lama dirasakan oleh provinsi lumbung pangan lainnya, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Mencermati rilis data Badan Pusat Statistik tahun 2013, terdapat
26 juta rumah tangga pertanian yang bekerja di sektor pertanian di
Pelabuhan Lokal untuk Panen Raya Padi
bawah garis kemiskinan, atau terdapat 34 juta orang dari total basis angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian berada di bawah garis kemiskinan (http:m.liputan6.com). Hal ini tentu menarik untuk dibicarakan.
Data yang disajikan dalam tulisan ini, akan berkaitan erat dengan Pinrang sebagai satu dari lima kabupaten di Sulawesi Selatan yang mengelola pertanian sebagai lapangan pekerjaan mencari nafkah. Intisari yang bisa dipetik adalah: membicarakan ketahanan pangan dan swasembada pangan—sebagaimana topik utama dari setiap pemerintahan, termasuk pemerintah sekarang— akan berkaitan erat dengan kesejahteraan para petani. Lahan sawah yang semakin sempit dan profesi petani menjadi satu dari beberapa alternatif tersebut berkaitan dengan minimnya kesejahteraan yang diperoleh di tiap panen raya, dari tahun ke tahun atau dari masa ke masa berikutnya. Dengan demikian, langkah penawar nan nyata perlu untuk segera dilakukan, antara lain dengan mempertahankan semangat dan etos kerja yang dimiliki petani-petani kita bahwa pekerjaan petani adalah pilihan mulia. Apabila demikian, amo pole bosie (walau hujan datang), amo pole pellae (walau panas datang) maka akan mattunru-tunru totoi (bersemangat tiada tara), sappai atuongenna (mencari penghidupannya) sebagaimana tercantum dalam elong ogi “Mappadendang” menjadi larik dengan gemilang makna. Ia adalah ‘reso’ yang menjadi sifat orang Bugis, memiliki makna kerja keras, tekun, dan pantang menyerah. Oleh karena menjadi watak maka bekerja di bawah tekanan, yakni ketika sawah diterpa terik matahari atau ketika hujan telah turun tiadalah menyurutkan semangat kerja, seperti filosofi ‘reso tamanginggi naletei pammase puang’, bahwa kerja keras, tekun tanpa mengenal pantang menyerah akan mendatangkan keberhasilan. Kegagalan panen terjadi apabila dipenuhi kekhawatiran dan bersikap berpangku tangan. Satu kegagalan panen adalah rintangan, maka itu perlu usaha keras agar dapat dirahmati oleh Tuhan Sang Pencipta. Jika tidak maka hal ini hanya akan menjadi kenangan, ketika reso
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
petani Bugis benar-benar diuji masa ‘hujan yang mendera’ dan di saat sawah kian sempit dan ‘musim panas yang menyengat’, ketika petani bukan lagi pilihan pekerjaan yang menarik. Dengan demikian, “Mappadendang” seolah menjadi ‘mantra’ kemiskinan karena selalu dinyanyikan setiap panen raya tiba. “Mappadendang” tiada lagi bermakna seperti sedia kala, yaitu sebagai obat penawar lelah setelah selesai turun dari sawah, melainkan juga telah menjadi nyanyian untuk menikmati takdir Tuhan atas kesejahteraan dan atas pilihan hidup sebagai petani.
Kemiskinan petani tentulah bersentuhan dengan situasi yang diciptakan. Bisa dilihat, bahwa persoalan lain yang dihadapi bukan lagi masa tanam, irigasi, atau hama. Musuh lain yang sedang dihadapi adalah harga gabah yang rendah dan dipermainkan setiap musim panen, dan harga pupuk yang tinggi ketika musim penanaman. Ketika panen tiba dan gabah selesai dijemur di bawah sinar matahari, di mana di syair disebutkan bahwa gabah atau beras itu ri lureng lao daerah (diangkut ke suatu daerah), ri bawai ri wanuae (dibawa ke satu daerah) menuju wanua kurangnge berrena (daerah yang kekurangan beras) adalah mesti menjadi perhatian utama. Ketahanan beras nasional bisa terganggu apabila produksi beras sebanyak 748.000 ton yang dicapai di tahun 2014 lalu di Kabupaten Pinrang dan tersuplai ke 17 provinsi, akan bisa terganggu apabila posisi petani berada di dalam ‘arena permainan’ yang seolah-olah sengaja diciptakan. Sepantasnya petani dipandang penting, bak pahlawan masa kini di republik ini. Tiada pantas, dan sangat tidak pantas apabila gabah yang dijual dipermainkan harga oleh pengepul-pengepul yang datang ke rumah petani secara langsung, termasuk kelangkaan pupuk dan harga pupuk yang diperoleh petani di agen penyaluran pupuk.
Mengenai hal ini, “Mappadendang” adalah representasi dari keunggulan Petani Bugis karena petani adalah reso yang dinaungi oleh reso temmangingi naletei mappase dewata (atau kerja keras yang tiada putus akan diberi ganjaran besar dari Tuhan). Pilihan
Pelabuhan Lokal untuk Panen Raya Padi
petani dengan kondisi pupuk mahal atau harga minim adalah tantangan, bukan pemutus upaya sehingga berhenti bekerja. Karut marut yang terjadi di dunia pertanian sebagaimana dendang ala Bugis adalah satu nyanyian kegembiraan, dan bukan syair berisi duka berkepanjangan.
Agaknya pola distribusi menjadi kata kunci yang harus segera diubah. Ketika memanen, petani didatangi oleh pengepul, lalu ketika membutuhkan pupuk terlihat petani mendatangi penyalur pupuk. Terdapat biaya produksi yang menjadi perhitungan ekonomis dari pelaku di luar petani. Mereka datang langsung ke rumah petani karena pertimbangan ekonomis tinggi: harga, volume, dan waktu. Demikian pula kelangkaan pupuk, bahwa pelaku di luar petani memainkan laga dengan harga dan distribusi dengan kelangkaan. Artinya, menyoal tentang kesejahteraan maka distribusi adalah pilihan menggiurkan dan bersifat simbiosis mutualisme.
Di sinilah letak peran pemerintah, bahwa daerah yang mem- produksi beras melakukan kerja sama dengan daerah penghasil pupuk. Saling menggiurkan, bahwa beras akan disuplai secara rutin ke daerah penghasil pupuk. Pinrang misalnya karena membutuhkan pupuk, maka perlulah mencari daerah-daerah yang menjadi sentra pupuk, dan efesiensi biaya distribusi menjadi ringan. Cara mudah yang dilakukan adalah pemerintah menyediakan jalur distribusi agar pedagang yang membeli gabah atau beras haruslah bersama truk besar yang membawa kebutuhan pupuk dan alat pertanian yang dibutuhkan di masa tanam berikutnya. Jika disebut barter, bisa jadi. Simpelnya adalah kewajaran apabila petani-petani bisa pirasai nyamengna, nyamengna aresoa paggalung (merasakan kenikmatan, kenikmatan mata pencaharian sebagai petani). Keberpihakan pemerintah tetaplah perlu dan penting agar menjadi pelecut semangat, sehingga agraria akan tetap menjadi pilihan meng- giurkan bagi masyarakat. Kesejahteraan menjadi idaman, sehingga petani tetap ‘digilai’, dan mereka akan berpikir dua kali apabila mendapat tawaran untuk menjual lahan pertaniannya.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Persoalan distribusi tak bisa dilepaskan dari peran pelabuhan, apabila hal ini menjadi jawaban atas resah-kesah petani. Distribusi beras yang dikirim, dan pupuk yang datang menyoal tentang kesiapan pelabuhan dalam mengelola niat baik tersebut. Distribusi beras asal Bugis, sebagaimana tertuang di syair, Parepare mana mita/ Bombang silacu-lacu/ Aganna lacu-lacu/ Lopi pallureng berre (hanya di Parepare Anda akan melihat, ketika ada sesuatu yang berkejar-kejaran di pantai, maka ada pertanyaan yang muncul, apa itu yang berkejar-kejaran? Jawabannya adalah kapal pengangkut beras), menjadi menarik apabila dipersiapkan untuk mencapai swasembada beras.
Sejarahlah yang memberi jawaban, tentang ketakjuban Belanda ketika pertama kali mendaratkan kakinya (merebut) sekitar abad
XV di Kerajaan Soreang yang berada di Parepare. Belanda melihat potensi Parepare dengan pelabuhan yang terlindung dari tanjung di depannya, dan telah ramai dikunjungi orang-orang. Belanda tanpa berpikir, langsung menjadikannya sebagai kota terpenting di wilayah bagian tengah Sulawesi Selatan, dan terbukti karena mereka bisa berhasil melebarkan sayapnya dan merambah seluruh dataran timur dan utara Sulawesi Selatan (Situs Resmi Pemkot Parepare, 2015).
Pelabuhan Cappa Ujung, Parepare di masa lalu sebagaimana tertuang dalam elong ogi memang sesak dan hiruk-pikuk dari lopi pallureng berre yang hilir-mudik. Akan tetapi, menengok kondisinya sekarang, ditandai dengan usaha-usaha travel, jasa pengiriman barang, dan lalu lintas petikemas yang datang dan menuju Indonesia Timur maupun Barat telah demikian berkembang, maka Cappa Ujung bukan hanya menjadi pelabuhan beras, tetapi beragam fungsi telah tumbuh.
Imbasnya, distribusi pupuk atau beras telah terganggu. Jika seperti ini, ‘arena permainan’ sebagaimana diduga sebelumnya bukan semata-mata kesalahan pedagang. Beras atau gabah yang ditawar rendah berasal dari ketidaksiapan pelabuhan dalam melakukan distribusi, demikian pula dengan pupuk yaitu terjadi
Pelabuhan Lokal untuk Panen Raya Padi
permainan kelangkaan yang kemudian mengakibatkannya menjadi harga mahal. Oleh karena itu, kerja sama antarpemerintah menjadi ‘catatan di atas kertas’. Sebab apabila penanganan pelabuhan tiada juga dijamah atau ditangani secara baik, maka akan merugikan para petani. Di lain sisi, ada pelabuhan lain yang tidak diberdayakan, yakni Pelabuhan Garongkong di Barru dan pelabuhan Marabombang di Pinrang.
Intinya kemiskinan yang dialami petani disebabkan karena faktor pelabuhan yang terbengkalai. Berbagai pemberitaan menya- takan persoalan bahwa harga gabah atau beras menjadi turun, dan pupuk menjadi naik, akibat ketidaksiapan pelabuhan. Misalnya saja di awal tahun 2012, seorang direktur utama dari perusahaan pupuk terbesar di Indonesia mengeluh tentang pengiriman pupuk yang baru terdistribusi 3.400 ton, sementara 20 ribu ton lainnya tertahan sangat lama di laut karena pelabuhan di Parepare sudah tidak bisa mengikuti perkembangan volume kapal yang semakin banyak (makassar.newsberita.com). Apabila dulu melayani 20 kapal bongkar muat, maka tentu kapal-kapal yang telah banyak bersandar menyebabkan antrian dan mengganggu pengiriman pupuk dari Kalimantan. Artinya bahwa antrian yang terjadi tentu mengakibatkan pupuk yang dibutuhkan oleh petani di saat-saat masa tanam menjadi langka, dan melecutkan harga tinggi di pasaran.
Misalnya pula, pemberitaan 7 Maret 2015, ketika Perum Bulog Bangka Belitung meminta maaf kepada masyarakat karena distribusi beras yang berasal dari Sulsel terlambat karena persoalan pelabuhan (bangka.tribunnews.com). Artinya pula, keterlambatan beras yang terjadi akan membuat Bulog menjadi rugi, apalagi pedagang dan pengepul beras yang sangat mengandalkan sisi ekonomis dalam bisnisnya. Tentu saja segala upaya dilakukan agar keuntungan tetap diterima, sehingga harga gabah ‘diperas’ harganya.
Dua kemungkinan akan terjadi, yakni memajukan pelabuhan dan mematikan pelabuhan di sekitarnya. Pelabuhan Makassar,
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
misalnya, yang dibangun sekitar abad XIII yakni ketika 5 atau
30 kapal yang bersandar bersamaan dan antrian tidak dapat dihindari, menyebabkan pengalihan ke pelabuhan sekitarnya, misalnya Pelabuhan Cappa Ujung yang dibangun lebih belakang dari Pelabuhan Makassar tersebut. Oleh karena kesiapan sehingga pelabuhan lokal ini kemudian menjadi besar, dan sedemikian pesatnya sehingga muncul pemberitaan, yakni ketika kapal- kapal Pelni berukuran besar telah banyak di Cappa Ujung telah menyebabkan keterlambatan puluhan kapal-kapal lain yang mengangkut hasil-hasil bumi, terutama beras dan pupuk. Lalu kondisi pelabuhan lokal dengan fasilitas minim tentu tidak siap dan akan mengalami persoalan ‘mati suri’. Dianggap hidup karena memang di pelabuhan tersebut ada dermaga dan kapal-kapal yang bersandar, tetapi dianggap mati karena kapasitasnya yang kecil sehingga intensitas kurang, volume sedikit, dan kapal yang sandar sangat minim.
Jika melihat produksi beras Pinrang dan sekitarnya, pupuk yang mesti datang tepat waktu, maka sungguh menarik ketika dua pelabuhan di sekitar Cappa Ujung, yakni Pelabuhan Garongkong di Barru dan Pelabuhan Marabombang di Pinrang yang tidak berkembang, semacam kalah dalam persaingan, dapat diberdayakan untuk melepas beras, dan menerima pupuk dan alat pertanian. Keduanya yang memiliki akses sama seperti Pelabuhan Cappa Ujung yakni berada di sekitar jalan Trans-Sulawesi, dengan kedalaman air dan lebar sandaran kapal yang cukup bisa ditingkatkan fungsinya dengan mengalihkan kapal-kapal yang sedang antri, atau pupuk, beras, alat-alat pertanian, dan kekhususannya menjadi khas karena hanya melayani untuk kabupaten yang berada di bagian utara Sulsel. Potensi pelabuhan lokal diperhatikan terutama kapal yang memuati beras atau pupuk.
Kesejahteraan petani menjadi naik karena harga beras menjadi naik. Hal ini disebabkan menurunnya biaya distribusi. Demikian pula pupuk dan alat pertanian lainnya menjadi murah
Pelabuhan Lokal untuk Panen Raya Padi
dan terjangkau oleh petani karena distribusi yang lebih singkat masa angkutnya. Petani-petani yang sekian tahun berjuang dalam status pahlawan tanpa tanda jasa, benar-benar panen raya dan bisa dinikmati oleh banyak lapisan. Petani menikmati keringat kerjanya, pun demikian pula dengan pedagang yang dapat memanen untung tanpa lagi dituding sebagai ‘biang kerok’ dari permainan, termasuk pemerintah yang bisa menjaga stabilitas nasional karena terhindar dari rawan pangan, ketika pelabuhan-pelabuhan pendamping ditingkatkan akses dan tonasenya.
Namun ada alasan lain agar pelabuhan lokal segera dibangunkan dari ‘mati suri’. Selain kesejahteraan, swasembada, juga pengembangan pelabuhan lokal akan melesatkan gairah perekonomian. Perkembangan yang dimaksud, searah dengan pernyataan Murlina (2015: 14), bahwa pelabuhan akan mendukung pembangunan dan mengembangkan sebuah kawasan karena menjadi tempat bagi kapal-kapal bisa berlabuh dengan aman untuk bongkar muat barang, menaikturunkan penumpang, mengisi bahan bakar, melakukan reparasi, termasuk memiliki fasilitas untuk mereparasi kapal-kapal. Artinya, kondisi Pelabuhan Cappa Ujung, Parepare juga mewakili kondisi pelabuhan-pelabuhan lainnya di Indonesia, bahwa ketika pelabuhan menjadi sumbu utama bagi pelayaran suatu daerah, maka mesti terus mampu berbenah dan mengikuti mobilisasi kapal, barang, dan manusia yang terjadi dan terus meningkat. Hal inilah yang menjadi kewajiban utama, sehingga perlu segera memajukan pelabuhan lokal. Ia tidak lagi ditawar-tawar hanya gara-gara petani yang membutuhkan posisi tawar dihargai dengan distribusi pupuk dan beras dipersingkat, dengan diembeli kesejahteraan. Pengembangan pelabuhan lokal adalah geliat ekonomi yang tumbuh berkembang, dan akses barang yang demikian bergeliat sehingga alasan agar lelah, keringat, nasib, dan mata pencaharian yang sia-sia dari petani ternyata bukan semata-mata petani, karena manfaat lebih luas bagi peningkatan taraf hidup khalayak banyak ketika pelabuhan-pelabuhan yang ada
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
difungsikan dengan kekhasan masing-masing. Akhirnya, pengem- bangan pelabuhan lokal adalah kunci, dan penyediaan fasilitasnya menjadi pekerjaan utama.
DAFTAR PUSTAKA
Antaranews.com. 2012. “Keterlambatan Distribusi Pupuk Ganggu Produksi Beras Sulsel”, 17 Januari 2012. (Online: Makassar. antaranews.com, diakses tanggal 12 April 2015).
Bangka. Tribunnews.com. 2015. “Distribusi Raskin 2014 Terlambat, Kabulog Babel Minta Maaf. (online: Bangka.tribunnews.com, tanggal 20 April 2015)
Liputan 6. com. 2014. “Miskin, Pendapatan Petani Cuma Rp 1 Juta per Bulan. (Online.bisnis.liputan6.com, diakses 10 Mei 2015)
Nurul Azhar, Iqbal. 2009. Karakter Masyarakat Madura dalam Syair- syair Lagu Daerah Madura. Jurnal Avatisme Volume 12 No.12, Desember 2009. Pusat Bahasa Surabaya. Depdiknas (online: http://pusatbahasaalashar.wordpress.com, diakses 5 Mei 2015).
Pikiran Rakyat Online. 2014. Sedekah Bumi Jatuhtujuh ingatkan kembali Lagu “Budak Angon” (online: http; //www.pikiran rakyat.com, diakses 15 April 2015).
Pujiyanti. 2013. “Mengidentifikasi Fungsi dan Latar Belakang Musik”. (Online: musikpuji.blogspot.com., diakses 12 April 2015).
Situs Pemkot Parepare. 2012. “Sejarah Kota Parepare” (Online: www. pareparekota.go.id/kominfo/profil.kota/sejarah.kotapare. pare, diakses 12 April 2015)
Menjaga Keharmonisan Nelayan Multietnik melalui Tradisi Petik Laut
Putu Chelsea Brelian
SMK Kesehatan Vidya Usadha Singaraja, Bali
B macamnya. Namun, bagi komunitas nelayan, cara menunjukan rasa
entuk rasa syukur seseorang atas segala limpahan dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, tentulah berbeda-beda dan banyak
syukur kepada Tuhan, mempunyai caranya tersendiri. Ada yang sekadar mengucapkan terima kasih kepada Tuhan dan ada yang mengadakan syukuran. Bahkan, ada pula yang melakukan ritual khusus, seperti melarung hasil bumi dan binatang berkaki empat ke laut sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan atas hasil yang melimpah.
Di Indonesia, bentuk-bentuk penghormatan dan budaya seperti itu tidak dapat dimungkiri lagi keberadaannya, khususnya dalam dunia bahari Indonesia. Terkait hal itu pula, tidak salah apabila Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang unik. Dikatakan unik, karena Indonesia masih kental akan hal-hal berbau magis, di samping terkenal akan kekayaan alam dan letaknya yang strategis. Bentuk penghormatan dan tradisi yang berbeda-beda tersebut, tidak lain disebabkan oleh kondisi masyarakat Indonesia itu sendiri, yang terdiri atas beragam etnik, budaya, agama, dan sebagainya.
Beraneka ragam etnik, agama, dan budaya yang ada pada setiap daerah di Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke, seakan-
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
akan menjadi “jalan terjal” sekaligus sebagai wujud “keindahan” warna-warni bahari Indonesia. Artinya, keanekaragaman masyarakat yang ada di Indonesia, dapat menjadi suatu yang berbahaya, namun dapat pula mempercantik Negara Indonesia itu sendiri. Fenomena- fenomena seperti konflik antarwarga yang berbeda kepercayaan atau pun diskriminasi antara budaya satu dengan budaya yang lain, dapat dikategorikan sebagai suatu ancaman bagi integritas negara ini. Namun, adanya keanekaragaman ini tidaklah selamanya juga menjadi ancaman bagi negara atau pun menjadi “jurang pemisah” untuk mencapai kedamaian dan keharmonisan.
Sebagai contohnya, ada beberapa daerah maritim di Indonesia yang telah berhasil menghadirkan kondisi yang jauh lebih baik daripada sekadar mencari pendapatan di bidang bahari. Sebut saja salah satunya, yakni di Desa Pekutatan, Kecamatan Jembrana, Provinsi Bali. Daerah ini tidak hanya terkenal dengan potensi lautnya yang luar biasa, tetapi juga terkenal akan keharmonisan para nelayannya yang multietnik. Meski berada dalam masyarakat heterogen (beragam etnik), para nelayan di sana tetap dapat menjaga kerukunan, bahkan bergotong royong untuk melakukan profesi kelautannya tersebut. Pertanyaannya sekarang, kira-kira apa yang menjadi rahasia masyarakat di sana dapat menjaga keharmonisannya? Apakah ada trik khusus? Atau itu hanya kebetulan semata? Inilah yang seharusnya menjadi tugas bagi semua masyarakat Indonesia untuk ikut secara aktif menemukan solusi atas permasalahan yang terjadi di negara ini, khususnya permasalahan akibat perbedaan etnik, budaya, dan agama khususnya di bidang maritim di Indonesia.
Ritual Budaya Bahari Indonesia
Sejak zaman nenek moyang, masyarakat Indonesia telah melakukan kegiatan menangkap ikan di laut dan berlayar. Kegiatan berlayar dan menangkap ikan yang diwariskan secara turun- temurun oleh nenek moyang tersebut, memiliki suatu kepercayaan
Menjaga Keharmonisan Nelayan Multietnik melalui Tradisi Petik Laut
yang khas di setiap daerahnya. Itu semua tidak terlepas dari adanya kepercayaan masyarakat Indonesia yang masih erat dengan hal- hal gaib. Koentjaraningrat menyatakan bahwa kekuatan gaib yang dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi, dapat menjadi suatu alasan bagi manusia untuk melakukan berbagai hal dengan cara yang beragam guna berkomunikasi dan berhubungan
dengan kekuatan-kekuatan yang bersifat magis. 1 Pernyataan itu mengindikasikan bahwa kentalnya hal gaib atau magis di Indonesia dapat menjadi salah satu alasan masih bertahannya ritual atau tradisi dalam kehidupan bahari Indonesia.
Umumnya, ritual bahari tersebut dilakukan atas dasar memohon keselamatan atau sebagai bentuk syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kekayaan laut yang melimpah. Atau dengan kata lain, ritual bahari tersebut mampu mengungkapkan keyakinan atas eksistensi kekuatan supra-indrawi, rasa syukur, permohonan keselamatan, dan upaya konservasi
mempertahankan kehidupan. 2 Bentuk upacaranya pun beragam. Jika ditelisik lebih dalam, tradisi dalam bahari Indonesia yang dimaksud tersebut di antaranya, petik laut, duata sanggal, parika, maduai pinah, sedekah laut, upacar segara kertih, dan masih banyak lagi yang lain.
Ritual bahari yang ada di setiap daerah di Indonesia memang berbeda. Akan tetapi, tujuannya tetaplah sama, yakni sebagai bentuk syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, kepercayaan, budaya, dan agama yang ada di Indonesia ini diharapkan dapat saling melengkapi satu sama lain agar masyarakat yang berbeda tersebut bisa hidup berdampingan di dalam profesi yang sama, yakni sebagai nelayan. Pekerjaan sebagai nelayan menuntut adanya suatu kerja sama untuk memperoleh penghasilan yang maksimal, misalnya dengan membentuk suatu kelompok nelayan yang di
1 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hlm. 294.
2 Sartini, Ritual Bahari di Indonesia: Antara Kearifan Lokal dan Aspek Konservasinya . Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 2012, hlm. 1.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
dalamnya terdiri atas berbagai nelayan multietnik, sehingga bisa bekerja sama dalam berlayar dan mencari penghasilan. Sebagai contohnya, dapat dilihat pada masyarakat nelayan di Provinsi Bali.
Bali mempunyai ritual bahari yang berhubungan dengan penduduk yang tinggal di dekat pantai dan menggantungkan hidupnya pada segara kertih (laut). Bali yang notabene merupakan daerah mayoritas umat Hindu, masih kental akan konsep Tri Hita Karana. Kentalnya konsep Tri Hita Karana pada masyarakat Hindu di Bali, menghadirkan suatu bentuk ritual sebagai peng- hormatan kepada Tuhan, lingkungan, dan sesama manusia. Tradisi yang dikenal dengan upacara Segara Kertih merupakan salah satu contoh ritual bahari yang dilakukan oleh umat Hindu untuk mengungkapkan syukur dan memohon keselamatan di laut maupun untuk menjaga harmonisasi dengan alam.
Terlepas dari semua itu, datangnya etnis lain ke Bali yang juga menggantungkan hidupnya pada laut, tentunya membawa tradisi bahari yang berbeda dengan tradisi lokal. Dalam hal ini, tradisi yang berbeda tersebut ternyata dapat dipadukan oleh penduduk setempat dan penduduk pendatang. Hal itu terjadi di Desa Pekutatan yang mana nelayan Hindu dan Islam bersama-sama melakukan tradisi petik laut sebagai bentuk syukur kepada Tuhan.
Potret Kesenjangan dalam Tradisi Bahari Indonesia
Masuknya etnik lain ke suatu daerah yang juga menggantungkan hidupnya pada laut, tentunya akan memberikan pengaruh pada tradisi nelayan setempat. Pengaruhnya dapat berupa penghilangan budaya nelayan lokal, pendominasian budaya oleh kelompok nelayan mayoritas, atau berupa penggabungan antara budaya nela- yan lokal dan budaya nelayan luar. Apabila tradisi yang dibawa oleh nelayan luar dapat sinkron atau berpadu dengan tradisi nelayan setempat, hal itu tidak akan menjadi masalah, bahkan menjadi berkah. Akan tetapi, apa yang akan terjadi jika keduanya tidak dapat menyatu? Sudah jelas, akan terjadi persaingan ketat yang membuat
Menjaga Keharmonisan Nelayan Multietnik melalui Tradisi Petik Laut
salah satu kelompok nelayan menjadi kesulitan atau mungkin kehilangan sumber penghidupannya. Bahkan, kemungkinan yang lebih parah lagi adalah terjadi konflik antar-nelayan yang berbeda etnik. Ironis memang mendengar semua hal itu. Kendati demikian, peluang terjadinya hal ini tidak dapat kita hapuskan. Pada dasarnya, dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai etnik, kecenderungan akan terjadinya hubungan yang tidak harmonis sulit untuk
dihindari. 3 Schweitzer juga menyampaikan bahwa di mana pun manusia berada di dunia ini, selalu terjadi hubungan-hubungan yang harmonis atau bermusuhan antar-kelompok warganya. 4
Kita lihat saja salah satu contohnya seperti, konflik antara etnik Dayak dan Madura di Kalimantan Barat. Awal mula munculnya konflik tersebut, ditandai dengan kedatangan orang Madura ke Kalimantan Barat kira-kira pada tahun 1902-1942 dari Bangkalan dengan menggunakan perahu layar tradisional dan mendarat di Kerajaan Sukadana (Kabupaten Ketapang) pada tahun 1902, kemudian ke kota Pontianak pada tahun 1910 dan pada tahun 1930
ke Kabupaten Sambas. 5 Hasil penelitian Arkanudin yang berjudul “Menelusuri Akar Konflik Antar Etnik Khususnya Dayak dengan Madura Di Kalimantan Barat” menyebutkan bahwa konflik antara kedua etnik tersebut, umumnya lebih disebabkan oleh masalah
perbedaan sosial budaya. 6 Selain itu, masih banyak lagi contoh nyata mengenai konflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya. Kesenjangan tersebut semestinya tidak harus terjadi karena bukan hanya satu pihak saja yang akan dirugikan, melainkan
3 Arkanudin, Perubahan Sosial Masyarakat Peladang Berpindah, Studi Kasus Pada Orang Dayak Ribun yang Berada di Sekitar PIR-Bun Kelapa Sawit
Parindu Sanggau Kalbar (Bandung: Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2005), hlm. 122. 4 Arkanudin, Menelusuri Akar Konflik Antar Etnik Khususnya Dayak dengan Madura Di Kalimantan Barat (Pontianak: Universitas Tanjungpura Pontianak, 2012), hlm. 2. 5 Hendro Suroyo Sudagung, Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalimantan (Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM, 1983), hlm. 76. 6 Arkanudin, 2012, Op.Cit., hlm. 11.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
semua pihak yang akan merugi, sepeti peribahasa menang jadi arang kalah jadi abu . Mengapa tradisi yang berbeda tersebut tidak dipadukan saja? Bukankah dengan perpaduan tradisi, kita dapat membangun kerja sama yang lebih baik dalam memperoleh hasil laut? Pertanyaan seperti ini adalah hal yang perlu dipikirkan dan dijawab oleh kita semua, terutama bagi nelayan yang multietnik. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, “Tradisi memang berbeda, tetapi tujuan tetaplah sama”. Dengan kata lain, tradisi yang berbeda tersebut tentunya memiliki tujuan yang sama untuk memohon atau mengucapkan syukur kepada Tuhan. Hendaknya, tradisi yang berbeda-beda ini tidak perlu diagungkan atau pun dibanding- bandingkan dengan tradisi yang lain. Menyikapi pernyataan tersebut, kelompok masyarakat yang dapat dikatakan rentan terjadi konflik, semestinya bercermin pada beberapa daerah yang mampu menjaga keharmonisan masyarakatnya. Dengan bekerja sama dalam membangun kelompok kerja (kelompok nelayan) dan memadukan tradisi yang berbeda, kiranya tidak hanya pendapatan ekonomi masyarakat yang akan meningkat, kemungkinan akan tercipta keharmonisan di dalam kelompok masyarakat yang heterogen tersebut.
Tradisi yang Menjaga Keharmonisan Nelayan
Tradisi dapat dikatakan sebagai “tanda pengenal” suatu kelompok masyarakat. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa suatu kelompok masyarakat dapat memperlihatkan identitas dirinya dengan menunjukan tradisi yang mereka yakini. Tradisi yang berbeda-beda, etnik yang berbeda, itu semua adalah hal yang wajar dan patut dihargai keberadaannya. Namun, perlu diingat juga bahwa tradisi yang berbeda, atau etnik yang berbeda bukanlah alasan untuk menciptakan permusuhan antar-kelompok masyarakat. Jika memungkinkan, tradisi tersebut hendaknya menjadi pemersatu antar-kelompok masyarakat yang berbeda etnik. Dengan kata lain, latar belakang yang berbeda, tidak menutup kemungkinan bagi
Menjaga Keharmonisan Nelayan Multietnik melalui Tradisi Petik Laut
masyarakatnya untuk menjalin hubungan kemasyarakatan dengan rukun. Menyikapi hal tersebut, salah satu desa di Bali, tepatnya di Desa Pekutatan, telah berhasil menciptakan kondisi yang harmonis dalam kehidupan masyarakat yang berbeda. Di desa tersebut, nelayan yang berbeda agama secara bersama-sama, melakukan ritual bahari sebagai bentuk syukur atas hasil laut yang telah diberikan Tuhan.
Meskipun nelayan setempat (nelayan umat Hindu) telah mempunyai ritual khusus atau tradisi untuk menghormati alam yakni upacara Segara Kertih, mereka tetap menghormati tradisi yang dibawa oleh penduduk luar Bali. Bentuk penghormatan tersebut tampak jelas pada pelaksanaan upacara petik laut yang merupakan tradisi nelayan luar Bali. Dalam ritual petik laut di Desa Pekutatan, nelayan umat Hindu dan nelayan umat Islam secara berasama-sama melaksanakan ritual tersebut, tanpa meninggalkan tradisi bahari sebelumnya. Pelaksanaannya pun dapat dikatakan berjalan dengan lancar.
Sesungguhnya, tradisi petik laut tersebut juga dilakukan di daerah-daerah lain, seperti, Madura, Muncar, Banyuwangi, dan masih banyak daerah yang memiliki upacara semacam ini. 7 Akan tetapi, perbedaan tradisi petik laut di Desa Pekutatan dengan daerah yang lainnya adalah tradisi petik laut di Desa Pekutatan ini dilakukan oleh dua umat yang berbeda agama, yaitu umat yang beragama Hindu dan umat yang beragama Islam. Bisa dikatakan tradisi petik laut di Desa Pekutatan menjadi sarana untuk melakukan komunikasi antar-nelayan yang punya keyakinan yang berbeda.
Kondisi geografis Desa Pekutatan yang memiliki potensi laut yang cukup baik, yaitu langsung berbatasan dengan laut selatan, kiranya dapat menjadi alasan masyarakat nelayan di sana untuk menyelaraskan dan mempersatukan diri dalam pelaksanaan
7 Ida Ayu Komang Sintia Dewi, Pemertahanan Tradisi Budaya Petik laut oleh Nelayan Hindu dan Islam Di Desa Pekutatan, Jembrana Bali (Singaraja: Jrusan
Pendidikan Sejarah Undiksha, 2014), hal. 3
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
profesinya sebagai nelayan guna memaksimalkan pendapatan mereka. Dengan menyatukan diri, akan memungkinkan masyarakat di sana untuk berpikir cara yang terbaik dalam memetik kekayaan laut. Dampaknya, sudah sangat jelas, yakni penghasilan masyarakat nelayan di sana kiranya semakin meningkat. Berdasarkan hasil wawancara dengan I Ketut Gamias (79 Tahun) selaku tokoh masyarakat menyatakan bahwa dengan terlaksananya tradisi petik laut, telah mengubah kehidupan ekonomi masyarakat di Banjar Dauh Pangkung (Desa Pekutatan), seperti bertambahnya hasil tangkapan ikan di laut. Karena hal ini pula, tidak hanya warga di Banjar Dauh Pangkung yangmelaksanakan tradisi petik laut tersebut, tetapi juga masyarakat Banjar Pasar ikut berpartisipasi dalam melaksanakan tradisi petik laut. Selain itu, hubungan antar-etniknya
pun semakin harmonis. 8 Oleh karena itu, tidak salah jika tradisi petik laut ini, telah dilestarikan secara turun temurun oleh warga pesisir pantai Desa Pekutatan demi menciptakan hubungan yang harmonis antar-agama, dan kelancaran melaut, serta memperoleh hasil laut yang melimpah.
Tradisi yang dilaksanakan pada setiap bulan muharam atau bulan suro dalam penanggalan Jawa tersebut, memiliki beberapa tahapan ritual. Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua kelompok nelayan Desa Pekutatan, Saiful Badri (40 tahun), menyatakan bahwa tradisi petik laut memiliki tiga tahap yaitu,
persiapan, pelaksanaan, dan penutup. 9 Tahap persiapan dilakukan dengan menyiapkan sarana dan prasana yang diperlukan nantinya dalam pelaksanaan petik laut. Pada hari pertama, akan dilakukan penyembelihan hewan berkaki empat (sapi atau kerbau). Selain itu juga, dilaksanakan doa bersama dengan tujuan untuk memohon kelancaran prosesi petik laut yang akan dilaksanakan keesokan harinya. Acara doa besama ini biasanya dihadiri oleh Bupati, Camat,
8 Wawancara dengan I Ketut Gamias, tanggal 1 Juni 2015 di Kantor Desa Banjar Dauh Pangkung.
9 Wawancara dengan Saiful Badri, tanggal 1 Juni 2015 di pesisir Pantai Banjar Dauh Pangkung.
Menjaga Keharmonisan Nelayan Multietnik melalui Tradisi Petik Laut
perangkat desa, dan masyarakat Desa Pekutatan, terutama yang berprofesi sebagai nelayan. Tahap pelaksanaan dilakukan pada hari kedua. Tahap ini merupakan inti dari pelaksanaan tradisi petik laut karena pada tahap inilah dilaksanakan pelarungan sesaji berupa kepala hewan berkaki empat, ke tengah laut dengan menggunakan iring-iringan perahu atau jukung. Tradisi petik laut ini dilaksanakan pada pagi hari setelah matahari terbit sekitar jam 07.30 WITA. Pelaksanaan ritualnya dilakukan di pesisir Pantai Pangkung Jukung. Untuk pelarungan sesaji, dilaksanakan secara bersama-sama oleh kedua umat agama yang ada di Desa Pekutatan, dengan diwakili oleh masing-masing tokoh masyarakat. Setelah itu dilanjutkan pada tahap penutup. Dalam kegiatan penutup ini, masyarakat melakukan syukuran dengan memanjatkan doa bersama, serta acara makan bersama karena prosesi petik laut sudah berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan yang berarti.
Tradisi petik laut yang dilaksanakan di Desa Pekutatan ini, tujuannya tidaklah jauh berbeda dengan ritual bahari di daerah- daerah lain, yakni sebagai perwujudan rasa syukur nelayan atas berbagai limpahan hasil laut, dan memohon keselamatan bagi para nelayan dan masyarakat yang tinggal di pesisir pantai. Menurut pernyataan salah seorang warga, H. Misrin (41 tahun), apabila tradisi petik laut tidak dilaksanakan oleh para nelayan, maka akan terjadi suatu kendala dalam melautdan akan sering terjadi konflik antar-umat beragama. Begitu pula sebaliknya, jika dilaksanakan, ritual tersebut akan membawa rezeki dalam menangkap ikan dan
terhindar dari konflik orang-orang pesisir yang berbeda beragama. 10 Upacara petik laut ini juga dipercaya sebagai simbol tolak bala agar para nelayan bisa terlepas dari marabahaya di laut.
Keyakinan atau kepercayaan masyarakat tersebut menjadi salah satu faktor penting atas masih bertahannya tradisi petik laut di Desa Pekutatan. Bahkan, masyarakat pesisir Desa Pekutatan tidak
10 Wawancara dengan H. Misrin, tanggal 1 Juni 2015 di Kantor Desa Banjar Dauh Pangkung.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
berani mengubah atau memotong setiap bagian dari tradisi tersebut. Hal ini terkait asumsi bahwa suatu tradisi yang dilaksanakan oleh umat manusia tentunya didasari oleh kepercayaan atau keyakinan masyarakat setempat yang melaksanakan tradisi tersebut.
Terlepas dari keyakinan dan kepercayaan masyarakat menge- nai mitos ritual petik laut ini, adanya tradisi yang dilakukan bersama-sama oleh masyarakat yang berbeda keyakinan tersebut, dapat memberikan beberapa keuntungan. Satu di antaranya, dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dan rasa kepercayaan, serta rasa saling memiliki antar-umat beragama. Tradisi petik laut juga memegang peranan penting dalam menjaga kerukunan antar-umat beragama di Desa Pekutatan karena di Desa Pekutatan, khususnya Banjar Dauh Pangkung di mana terdapat dua umat yang berbeda agama (umat Hindu dan umat Islam). Upacara petik laut tersebut juga dijadikan sebagai ajang silaturahmi dalam menjalin hubungan yang harmonis antar-umat beragama. Maka dari itu, tradisi petik laut ini wajib dilaksanakan setiap 1 tahun sekali oleh kelompok nelayan utamanya. Selain itu, tradisi petik laut ini dapat menjadi wadah atau sarana bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan komunikasi dengan masyarakatnya, sekaligus dalam rangka memajukan taraf hidup para nelayan di sekitar Desa Pekutatan tersebut. 11
Sampai saat ini, tradisi petik laut masih bertahan dan mampu menjadi pemersatu antara nelayan Hindu dan nelayan Islam dalam menjalankan profesinya sebagai pencari ikan. Melalui fenomena ini, kita dapat melihat bahwa hasil perpaduan tradisi yang berbeda dapat menjadi pemersatu kelompok-kelompok yang berbeda etnik, di samping meningkatkan pendapatan para nelayan tersebut. Oleh sebab itu, tradisi petik laut atau yang sejenisnya, hendaknya dapat diterapkan pula pada daerah-daerah lain di Indonesia guna meminimalisir terjadinya konflik antar-etnik dan menciptakan masyarakat yang harmonis, sekaligus meningkatkan taraf ekonomi masyarakat di daerah tersebut.
11 Ida Ayu Komang Sintia Dewi, Op.Cit., hlm. 8.
Menjaga Keharmonisan Nelayan Multietnik melalui Tradisi Petik Laut
Mengingat begitu pentingnya ritual petik laut ini, masyarakat Desa Pekutatan juga perlu memberikan perhatian lebih terhadap eksistensi ritual bahari di daerah bersangkutan agar keharmonisan antar-umat beragama dapat terjaga dan semakin kuat. Oleh karena itu, ritual petik laut tersebut perlu kiranya diperkenalkan kepada generasi muda agar mereka mengetahui secara langsung prosesi petik laut dan dapat memetik makna yang terkandung di dalamnya. Bahkan, dengan mempertahankan tradisi petik laut ini, lingkungan laut juga akan lebih terjaga dari “tangan-tangan nakal” nelayan yang tidak bertanggung jawab, seperti menangkap ikan dengan bom yang dapat merusak biota laut. Rusaknya biota laut tentunya akan mengurangi populasi biota laut dan memperburuk perekonomian Indonesia dari sektor maritim.
Bercermin pada penjelasan di atas, kita sebagai warga negara yang baik, hendaknya tidak hanya menunggu woro-woro peme- rintah, baru kita peduli akan tradisi dan lingkungan sekitar. Akan tetapi, kita harus mampu bersikap mandiri untuk ikut serta dalam menemukan solusi terkait masalah konflik antar-etnik yang belakangan ini kerap terjadi. Apabila semua orang mampu berpikir seperti itu, fenomena multietnik tidak lagi menjadi kambing hitam atas munculnya konflik antar-warga dan diskriminasi. Namun, multietnik akan menjadi suatu keindahan dalam lingkungan bahari Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Arkanudin. 2005. “Perubahan Sosial Masyarakat Peladang Berpindah, Studi Kasus Pada Orang Dayak Ribun yang Berada di Sekitar PIR-Bun Kelapa Sawit Parindu Sanggau Kalbar”. Disertasi (tidak diterbitkan). Bandung: Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Arkanudin, 2012. Menelusuri Akar Konflik Antar Etnik Khususnya Dayak dengan Madura Di Kalimantan Barat. Pontianak: Universitas Tanjungpura Pontianak.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Dewi, Ida Ayu Komang Sintia. 2014. “Pemertahanan Tradisi Budaya Petik laut oleh Nelayan Hindu dan Islam Di Desa Pekutatan, Jembrana Bali”. Skripsi (tidak diterbitkan). Singaraja: Jurusan Pendidikan Sejarah Undiksha.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Sartini, 2012. Ritual Bahari Di Indonesia: Antara Kearifan Lokal dan Aspek Konservasinya. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Sudagung, Hendro Suroyo. 1983. “Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalimantan”. Disertasi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.
Kebhu: Kail Terakhir
Yeremias Apriliano Santoso
SMA Seminari Pius XII Kisol, Nusa Tenggara Timur
I ndonesia merupakan negara yang terbentuk dari gugus-gugus
pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Hal inilah yang membuat Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai lebih dari 95.000 km dan juga memiliki lebih dari 17.504 pulau. Keadaan ini menjadikan Indonesia menyimpan kekayaan perairan yang sangat tinggi dan beraneka
ragam. Luas perairan laut Indonesia yang mencapai 3,1 juta km 2 ini secara langsung “mengaruniakan” Indonesia potensi kelautan hayati dan nonhayati yang berlimpah ruah. Kuantitas potensi kekayaan dan hasil laut serta perikanan Indonesia setiap tahun mencapai 3000 triliun, akan tetapi yang dimanfaatkan secara optimal terhitung hanya 225 triliun, atau jika dipersentasekan menjadi hanya 7,5%
saja. 1 Untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi kekayaan laut ini dan menjadikan sektor ini sebagai main factor pembangunan ekonomi nasional Indonesia, maka tata kelola potensi bahari yang baik merupakan suatu qonditio sine quanon, suatu syarat mutlak.
Terlepas dari berbagai potensi serta kekayaan laut yang tersimpan dalam perut perairan Nusantara, negara kita tengah
1 http:// www.Trazo212.com, diakses pada tanggal 25 April 2015.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
menghadapi suatu masalah pelik, yaitu maraknya cara penangkapan ikan yang menghancurkan keseimbangan ekosistem laut. Belakangan ini, dunia kelautan kita kerap “dihirukpikukkan” oleh destructive fishing , seperti penangkapan dengan menggunakan bahan peledak, zat beracun, dan yang tak kalah ekstrimnya adalah penggunaan pukat harimau. Ketiga cara ini dilarang dan ditentang, sebab dapat menimbulkan kerugian besar bagi potensi kekayaan laut Indonesia.
Menarik bahwa di tengah maraknya destructive fishing, Nusantara justru memendam sejuta kearifan lokal bahari yang sudah diwariskan oleh para leluhur sejak era klasik tempo dulu. Ironis bukan ? Bahkan para penyair pun sempat melukiskan kearifan budaya Nusantara melalui sastra-sastra klasik. Sebuah lagu klasik yang bersyairkan “Nenek moyangku seorang pelaut. Gemar mengarungi luas samudera,” mengindikasikan sebuah kehidupan masa lampau para leluhur kita, di saat budaya maritim sungguh “mengurat nadi” dalam kehidupan masyarakat Nusantara.
Bertolak dari gagasan di atas, penulis coba mengangkat salah satu kearifan lokal bahari di suku Rongga-Manggarai Timur-NTT, yaitu ritual kebhu sebagai antitesis dari destructive fishing yang merebak akhir-akhir ini. Ritual kebhu dilaksanakan oleh warga suku Lowa di Desa Bamo, Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur. Bagaimanakah ritual kebhu oleh suku Lowa berfungsi menjaga kelestarian ekosistem laut di kawasan pesisir selatan Nangarawa, Manggarai Timur? Tulisan ini akan menyoroti ritual kebhu. Terlebih dahulu akan dipaparkan sedikit tentang destructive fishing, menyusul penjelasan tentang ritual kebhu sebagai antitesis dari destructive fishing.
Destructive Fishing
Secara etimologis, destructive fishing memiliki dua arti yang lebih eksplisit, destructive artinya bersifat menghancurkan dan fishing artinya menangkap ikan. Jadi, jika diterjemahkan secara
Kebhu: Kail Terakhir
harafiah berarti “menangkap ikan dengan cara menghancurkan”. Destructive fishing didefinisikan sebagai suatu malpraktik dalam kegiatan penangkapan ikan yang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem laut dengan skala yang besar. Kegiatan penangkapan ini marak terjadi di wilayah perairan Indonesia dengan modus penangkapan yang berbeda. Modus penangkapan tersebut, antara lain dengan menggunakan bahan peledak, zat beracun, dan pukat harimau (trawl). Berikut penjelasan singkat terkait dengan ketiga hal ini.
Pertama, bahan peledak. 2 Bom dalam bentuk apapun bila meledak akan menimbulkan kerugian pada makhluk hidup dan alam sekitarnya. Tenaga atom yang ditimbulkan, yaitu tenaga dalam
bentuk apapun yang dibebaskan ke dalam proses pembelahan inti, penggabungan inti, atau transformasi inti lainnya akan menimbulkan radiasi yang apabila diterima dalam jumlah besar akan sangat fatal akibatnya. Efek kejut yang dihasilkan dari ledakan tersebut akan menyebabkan kerusakan ekosistem laut di sekitar daerah ledakan. Bahan peledak seberat 0,5 kg dapat menyebabkan karang pada radius 3 meter hancur sama sekali. Ujung-ujung karang bercabang menjadi patah, sedangkan pada radius 10 meter ikan-ikan langsung mati. Habitat ikan juga ikut mengalami kerusakan dan menyebabkan ikan berkurang dan sulit didapatkan. Partikel-partikel radioaktif dan endapan-endapan hasil ledakan dapat mengakibatkan kerusakan yang besar bagi kehidupan biota laut. Akibat jangka panjang radiasi, dapat menyebabkan kerusakan-kerusakan genetis terhadap kehidupan biota laut berikutnya.
Kedua, zat beracun. 3 Zat kimia beracun yang sering digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan adalah asam sianida atau yang kerap disebut HCN. Asam ini dikenal sebagai salah satu zat yang paling beracun dan biasa digunakan dalam kamar gas untuk menghukum mati narapidana. Asam ini dapat menimbulkan
2 Oxford Ensiklopedi Pelajar-
2, hal. 53.
3 Ensiklopedi Nasional Indonesia-
15, hal. 14.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
kematian mendadak bila seseorang menelan 300 miligram sianida atau menghirup 100 miligram asam sianida. Racun sianida ini dapat mematikan individu dalam waktu tiga puluh menit. Penggunaan asam sianida untuk kegiatan penangkapan ikan akan menimbulkan efek yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup biota laut. Asam sianida yang bereaksi dengan air laut akan menyebar dan mengendap hingga ke dasar laut. Dalam jangka waktu yang singkat ikan-ikan yang terkontaminsai racun sianida akan mati dan mengapung di permukaan air laut. Tidak hanya ikan, racun sianida yang juga mengendap di dasar laut akan membunuh biota laut lainnya termasuk tumbuhan laut, organisme lain karena toksin sianida yang mematikan.
Ketiga, pukat harimau (trawl). Pukat harimau merupakan suatu jenis pukat yang diapakai untuk menangkap ikan, terutama ikan di dekat atau dasar laut, seperti udang. Jaring ini berbentuk kantong yang bagian ujungnya tertutup, sedangkan bagian mulutnya terbuka lebar. Pada pukat harimau berukuran besar, bukaan mulutnya dapat
mencapai 37 meter. 4 Bagian mulutnya dihubungkan dengan kapal penarik jaring dengan dua buah tali. Selanjutnya, tali ditarik dengan kapal bermotor, sehingga ikan yang berada di depan mulut jaring akan masuk ke dalam jaring. Kerapatan jaringnya yang sangat mampat membuat ikan-ikan kecil juga ikut tertangkap.
Hingga saat ini aktivitas destructive fishing masih menghantui perairan laut Indonesia. Pada tahun 2009 WWF mengklaim bahwa Indonesia menempati peringkat pertama dengan destructive
fishing terbesar di Asia Tenggara. 5 Sungguh sebuah prestasi yang memalukan. Lemahnya upaya pencegahan (preventing) yang
amat serius berkenaan langsung dengan tindakan perusakan ini mengakibatkan Indonesia mengecap kerugian yang amat besar terhitung dari berbagai sektor pembangunan dan kerusakan lingkungan hidup. Masalah destructive fishing ini telah menjadi
4 Ensiklopedi Indonesia Edisi Khusus-
5, hal. 2793.
5 http:// www.fishbase.org, diakses tanggal 25 April 2015.
Kebhu: Kail Terakhir
suatu kenyataan yang krusial dan membutuhkan keprihatinan bersama penghuni alam Nusantara. Keprihatinan itu mesti diwujudkan dalam tindakan realisasi mencegah merebaknya aktivitas destructive fishing. Dengan demikian, destructive fishing telah menjadi problem bersama yang membutuhkan keprihatinan semua elemen: masyarakat, pemerintah, dan pihak-pihak terkait.
Mengenal Ritual Kebhu 6
Suku Lowa dalam lingkaran etnis Rongga di Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, memiliki tradisi unik yang disebut kebhu. Tradisi ini intinya adalah tata cara adat memanen ikan dan biota lainnya yang dilakukan secara massal dalam lingkup persaudaraan. Kegiatan penangkapannya berlangsung di sebuah limbu atau kolam bernama Tiwu Lea. Kolam tersebut merupakan muara sungai Waerawa di Nangarawa, Desa Bamo. Lokasi muara itu sekitar 18 km ke arah selatan Kisol, atau 27 km dari Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur.
Diperkirakan sebulan menjelang acara kebhu dilaksanakan, tetua suku Lowa biasanya mengirim utusan ke sejumlah kampung dan desa-desa tetangga untuk mengundang para warga ikut memanen ikan atau yang lazim disebut kremo di Tiwu Lea. Ketika tiba waktunya, ribuan warga berkumpul di Nangarawa. Mereka bertangan kosong alias hanya mengandalkan kelincahan kedua tangan untuk menangkap ikan dan biota lainnya dalam kolam dangkal dan buntu di Tiwu Lea. Alat tangkap yang diperbolehkan hanya ndai, yaitu sejenis jaring dorong yang didukung dua tongkat kayu pada dua sisinya. Hasil tangkapan biasanya ditampung dalam mbere yaitu wadah penampung yang terbuat dari anyaman daun lontar, pandan atau gewang (gebang). Penggunaan alat tangkap
6 Ulasan pada bagian ini diolah dari sumber pustaka “Kumpulan Feature Harian Kompas,” dalam buku Serpihan Budaya NTT, karya Frans Sarong, hal. 33 dan
disesuaikan dengan hasil wawancara penulis bersama narasumber budaya Suku Rongga, tanggal 02 Mei 2015.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
disesuaikan dengan larangan secara adat. Seluruh peserta dilarang menggunakan pukat selain ndai selama kremo di Tiwu Lea. Juga dilarang menggunakan alat tangkap dari besi, seperti tombak penikam (kenjai: tombak bermata dua).
Pantangan lainnya adalah setiap peserta dilarang bersikap emosional apalagi bernada menghasut pada saat kremo. Warga juga dilarang menggigit hasil tangkapan sebelum dimasukkan ke dalam mbere. Jika berbagai pantangan itu dilanggar, tetua pemilik kebhu langsung menebarkan jala pusaka bernama ramba ke dalam kolam sebelum waktunya. Itu pertanda kegiatan kremo harus segera dihentikan. Jika ada warga tetap mencoba melanjutkan kegiatannya dalam kolam itu, dapat dipastikan sia-sia karena ikan-ikan dan biota lainnya langsung menghilang begitu saja setelah lemparan jala pusaka tersebut.
Kegiatan kremo biasanya dilakukan selama sehari dan tidak bisa langsung dilakukan begitu saja. Semuanya harus diawali dengan ritual kebhu yang dirangkai dalam tata cara adat bernama eko ramba, tunu manu, dan nazho. Ritual eko ramba wujudnya berupa penggendongan ramba atau jala pusaka dari ulu nua (hulu kampung) menuju eko nua (hilir kampung) di Nangarawa, tidak jauh dari tepi kolam Tiwu Lea, tempat kegiatan kremo berlangsung. Selama prosesi eko ramba juga dinyanyikan kelong, yaitu nyanyian mistis dengan syair khusus dalam bahasa setempat: oru lau mbawu oru lau, renggo ika zhele lia (wahai ombak singkirkan ikan yang bergerombol, wahai ombak usirlah ikan-ikan yang bersembunyi di dalam liang). Syair dalam bahasa setempat itu berwujud permohonan kepada leluhur agar menghalau ikan (mbawu berarti ikan belanak yang mendominasi kolam muara), belut dan berbagai biota lainnya supaya keluar dari sarangnya (lia) menuju kolam Tiwu Lea.
Penggendongan ramba tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Sesuai adatnya, eko ramba hanya bisa dilakukan oleh wanita dewasa yang berstatus sebagai anggota Suku Lowa. Mereka belum menikah, bisa juga wanita sudah menikah namun secara adat
Kebhu: Kail Terakhir
dipastikan bahwa ia harus anggota Suku Lowa yang melakukan kawin campur. Pelanggaran terhadap ketentuan ini berakibat fatal. Banyak cerita menunjukkan akibat dari tidak mematuhi aturan ini, bahwa wanita eko ramba yang telah menikah, sulit mendapatkan keturunan.
Prosesi eko ramba berlangsung sejauh 1,5 km dan berakhir di kaki nangge (pohon asam) di Nangarawa. Di kaki pohon yang konon ceritanya pernah mati tetapi hidup kembali itu, sejak lama dilengkapi batu sesajen khusus untuk ritual tunu manu. Ritual itu wujudnya berupa pengurbanan ayam sebagai hewan kurban. Sebagian darahnya dioleskan pada permukaan batu sesajen dan sebagian darah lainnya dioleskan pada ramba. Jala pusaka kemudian diserahkan kepada tetua yang akan memimpin kremo. Kegiatan itu baru dimulai setelah sang tetua menebarkan ramba ke dalam kolam. Penebarannya didahului lima kali ancang-ancang yang disebut nazho. Sang tetua juga menebarkan jawa pena (jagung titian) ke dalam kolam.
Tetua kemudian menggambarkan tanda-tanda yang meng- isyaratkan kremo dengan hasil tangkapan yang memuaskan atau mengecewakan. Isyarat itu biasanya terlihat saat sang tetua menebarkan ramba dan jawa pena ke dalam kolam. Kalau ikan- ikan langsung datang menyerbu, itu pertanda baik. Sebaliknya, pertanda kurang memuaskan kalau tidak banyak ikan yang datang menyambut ramba dan jawa pena.
Keberadaan ramba tidak dimanfaatkan untuk menangkap ikan atau biota lainnya selama kremo berlangsung. Jala pusaka itu semata untuk penebaran awal sebagai pertanda kegiatan kremo dimulai. Selanjutnya dibawa pulang dan disimpan pada tempat khusus di rumah induk Suku Lowa. Jala keramat itu baru dikeluarkan kembali saat kebhu berikutnya. Hasil panenan ikan yang berlimpah kemudian dikumpulkan dan dibagi kepada warga-warga kampung tetangga.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Kebhu: Kail Terakhir Inovasi Budaya
Salah satu program Jokowi terkait Indonesia sebagai poros maritim adalah menjaga dan mengelola sumber daya laut. Peran dan fungsi perikanan dalam maritim yaitu meningkatkan kesejahteraan perekonomian negara, di mana hasil-hasil perikanan menjadi masukan bagi kas negara. Karena nantinya sumber daya laut terutama sumber daya perikanan akan menjadi prioritas kelola, hasil-hasil perikanan akan ditangani dengan baik dan diseimbangkan serta penjagaan terhadap wilayah laut Indonesia akan ditingkatkan. Tentu dalam mewujudkan hal tersebut perlu adanya manajemen yang tersusun dengan baik.
Program Jokowi ini perlu disambut dengan baik. Harapannya, dengan terlaksananya program ini Indonesia mampu menjadi pengekspor ikan terbesar di dunia. Perlu digarisbawahi bahwa selain mengelola sumber daya laut, Jokowi juga mencanangkan program pelestarian laut Indonesia. Oleh sebab itu, perlu adanya suatu terobosan yang mampu membarengi dua program tersebut, yaitu mengelola dan menjaga. Seperti apa terobosan itu?
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar, selain memiliki kekayaan alam, juga menyimpan budaya leluhur, membentang dari Sabang hingga Merauke. Tradisi kebhu sebagai kebudayaan Lowa adalah salah satu bukti nyata bahwa Nusantara masih mewarisi kebudayaan para leluhur. Tradisi-tradisi dalam kebudayaan, seperti kebhu adalah inovasi budaya yang menyimpan kekayaannya tersendiri. Kita memiliki aset budaya yang bernilai tinggi, tetapi jika tidak diangkat ke permukaan, dia tinggal cerita belaka.
Berbeda halnya dengan destructive fishing, ritual kebhu tidak menyebabkan kerusakan ekosistem laut. Tidak ada bahan peledak, tidak ada asam sianida, apalagi pukat harimau. Semuanya serba tradisi dan dikemas dalam ritus-ritus tertentu. Kita melihat persaingan dalam destructive fishing, tetapi tradisi kebhu mengajarkan tentang persaudaraan. Larangan menggunakan tombak penikam dalam ritual dengan artian supaya tidak ada yang terluka karena mungkin
Kebhu: Kail Terakhir
tertusuk tombak tersebut. Hal ini jelas berbeda dengan destructive fishing. Kesalahan dalam menggunakan bahan peledak dapat menyebabkan kematian bagi pengguna sendiri dan sekitarnya. Destructive fishing menggunakan pukat harimau, tetapi ritual kebhu tidak. Ikan-ikan kecil dilepas dan dibiarkan bertumbuh.
Kita patut bersyukur bahwa di tengah maraknya kasus destructive fishing yang merusak perairan Indonesia, kita masih memiliki ritual budaya sebagai ‘kail terakhir’ yang mungkin belum kita kenal. Ritual kebhu hanya secuil dari sekian banyak budaya yang membentang di sepanjang Nusantara. Ritual ini mungkin terdapat juga dalam kebudayaan daerah lain di Nusantara, mungkin dengan nama dan ritus yang berbeda. Jika memang kebudayaan itu masih tertidur, mari kita bangunkan sebagai kail terakhir memerangi destructive fishing.
DAFTAR PUSTAKA
Sarong, Frans. 2013. Serpihan Budaya NTT. Maumere: Penerbit Ledalero.
Encyclopedia Americana. 1995. USA: Grolier in Corporate. Ensiklopedi Nasional Indonesia. 1997. Jakarta: PT Delta Pamungkas. The New Illustrated Columbia Encyclopedia . New York: Columbia
Universitty Press. Oxford Ensiklopedi Pelajar. 1999. Walton Street: Oxford University Press. Ensiklopedi Indonesia Edisi Khusus. 1989. Jakarta: PT Ichtiar Baru. WWF-Indonesia. 2010. Survei baseline perikanan karang dan tuna.
Logbook perikanan tuna. Tidak dipublikasikan. http//: www.ejournal.unsrat.ac.id/index.php/JPKT, diakses tanggal
25 April 2015. http//: jktl.detiknet.com, diakses tanggal 25 April 2015. http//: www.republika.co.id, Yogyakarta, diakses tanggal 25 April 2015.
Rompong , Rumah Surga, Katanya
Saiir Rohman
MA TMI Al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura
aya bersyukur karena Tuhan sangat baik kepada saya, walaupun saya bukan orang pesisir, saya begitu dekat dengan suasana
pesisir. Bibi ipar saya adalah orang pesisir. Teman-teman sekolah pun demikian. Mereka adalah anak-anak yang lahir sebagai anak- anak ikan, otaknya cemerlang dan hidupnya penuh juang. Orang tua mereka adalah spesialis laut dan ikan. Ayah mereka adalah nelayan handal ahli cuaca. Sedang ibu mereka, adalah chef yang lihai. Ia olah hasil tangkapan dan ia jajakan sebagian.
Suatu ketika, saya berkunjung di musim ikan yang sangat melimpah. Kami bakar ikan dengan rempah-rempah sederhana, lalu membolak-baliknya di atas bara. Di sinilah kemudian awal cerita, begitu bangganya saya menjadi anak Indonesia yang dikelilingi pulau dan budaya masyarakat pesisir pantai. Sambil bakar ikan,
saya pun kenal dengan beberapa istilah pesisir, seperti pajeng 1 , tera’an 2 , pettengan 3 dan beberapa jenis kapal serta nama-nama ikan yang belum saya ketahui sebelumnya.
1 Jaring penangkap ikan berukuran panjang. 2 Kata yang biasa digunakan masyarakat pesisir untuk menyebut musim paceklik, di mana ikan sangat sulit ditangkap dan berimbas pada perekonomian nelayan. 3 Antonim dari Tera’an.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Terkadang mereka juga bercerita pengalaman seru saat berlayar bersama sang ayah. Mereka bercerita tentang gelombang samudera yang bergulung-gulung menghantam perahu mereka. Tetapi mereka tetap tenang, karena dahsyatnya keyakinan ayah mereka, bahwa laut adalah “hamparan surga yang tak membahayakan para tamu yang datang dengan rasa cinta”.
Benarlah pepatah Madura “abhental ombe’ asapo’ angin 4 ”. Dalam istirahat pun, para nelayan masih terus berkorban dan berjuang. Tidur mereka (nelayan) tidak pernah benar-benar nyenyak, lantaran gelombang bertubi-tubi datang. Sebuah bentuk pengorbanan besar dari pejuang gizi bangsa yang kerap kali ter(di)- abaikan. Itulah memori saya bersama anak-anak pesisir sekitar tiga tahun silam.
Sekarang, tepatnya sejak tiga tahun lalu, saya dipertemukan dengan pulau yang sangat unik: Madura. Pulau tempatku menuntut ilmu saat ini. Sekitar 500 meter dari pesantren, sudah terlihat jelas gugusan gelombang, pemandangan pantai, hiruk-pikuk nelayan dan para petani garam yang terus bersemangat. Di saat-saat tertentu saya pun sering mencium aroma khas ikan asin yang berhembus dibawa angin laut.
Di sana, saya bertemu dengan lebih banyak anak-anak kepulauan. Berbagai cerita tentang laut mereka sampaikan. Hampir sama dengan teman-teman di SMP, mereka juga banyak bercerita tentang laut. Misalnya, tentang meriahnya suasana petiklaut, dan nuansa mistis upacara larungan. Mereka pun kerap menjadi tempat bertanya tentang apapun yang berkaitan dengan laut. Misalnya, bagaimana siasat nelayan dalam menghadapi paceklik yang sangat tidak bersahabat dengan perekonomian keluarga? Atau pun juga, bagaimana cara mereka untuk memaksimalkan hasil tangkapan?
Pada akhirnya, interaksi saya dengan mereka melabuhkan saya pada kesadaran bahwa sumbangsih laut pada kehidupan begitu
4 Petikan lirik lagu daerah Madura yang berjudul: Tanduk Majeng. Dalam bahasa Indonesia berati: berbantal ombak berselimut angin.
Rompong, Rumah Surga, Katanya
besar. Berbagai cerita mereka selalu menghantarkan saya pada debur laut yang agung. Laju perahu nelayan yang membelah ombak selalu membawa pesan-pesan luhur tentang makna pengorbanan serta dedikasi mendalam. Kokohnya karang yang bersemedi di lautan selalu mengingatkan saya pada ketangguhan, ketegaran serta ketabahan. Gulungan ombak yang menghantam bertubi-tubi mengingatkan saya akan sakal badai kehidupan yang juga datang tak henti-henti.
Berbicara soal kemaritiman adalah berbicara kesejahteraan Indonesia. Sebagai negara maritim dengan 17.508 pulau dan luas perairan (lautan) mencapai 3,1 juta kilometer persegi 5 beserta aneka kekayaan bahari yang melimpah, Indonesia seharus nya mampu menjadi negara maju yang kuat dan mandiri. Suhana (2011) mengatakan, letak wilayah kepulauan tersebut sangat memungkinkan bangsa Indonesia untuk membangun pereko- nomian yang didasarkan pada basis sumber daya kelautan. Lautan dapat berperan juga sebagai media pemersatu bangsa yang membentuk satu kesatuan pertahanan keamanan, politik, dan sosial. Di samping itu, pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan beserta habitat-habitat di dalamnya merupakan wilayah yang menyediakan sumber daya kelautan dan jasa-jasa lingkungan yang menjadi modal dasar pembangunan ekonomi nasional. 6
Namun sayang, kurangnya penguasaan keterampilan mana jerial, teknikal dan operasional yang dimiliki pengelola (masyarakat pesisir) serta dukungan sarana dan prasarana dalam mengelola sumber daya kelautan menghadirkan sejumlah fakta yang berkebalikan dengan misi nomor tujuh pembangunan nasional jangka panjang (2005- 2025) yang tertuang dalam UU No. 17 Tahun 2007 dengan bunyi, “mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional”.
5 http://www.kompasiana.com/agungharyoyudanto/wilayah-perairan-indonesia 6 Suhana. Ekonomi Politik Kebijkan Kelautan Indonesia. Malang: Intrans Publishing. 2011. Hal. xii.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Beragam polemik kemaritiman yang melanda Indonesia, mendorong semua pihak untuk berpikir keras demi memunculkan ide-ide yang solutif namun tetap aplikatif. Berbagai konsep dan terminologi pun bermunculan. Di antaranya yang paling terkenal adalah konsep “Pembangunan Ekonomi Archipelago”. Menurut Adisasmita (2006), pembangunan ekonomi archipelago dimaksudkan sebagai pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya ekonomi lainnya pada ruang wilayah daratan dan perairan (laut) dalam kawasan kepulauan secara efektif, efesien dan produktif melalui berbagai kegiatan pembangunan untuk kebutuhan pen- duduk dan bertujuan mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. 7
Di sini, posisi SDM sebagai “subyek” yang akan mengelola segala bentuk SDA kelautan menjadi sangat vital. Oleh karenanya, dukungan berupa pembekalan manajerial, teknikal, dan operasional dalam mengelola SDA juga sangat dibutuhkan dalam mencetak SDM yang andal dan profesional. Dengan demikian, tindakan serta sikap yang diambil dalam mengelola SDA tidak akan menimbulkan hal- hal yang tidak dikehendaki, seperti destructive-fishing dan berbagai bentuk kejahatan kelautan (perikanan) lainnya. Karena apa pun bentuk upaya kita adalah investasi yang dampaknya akan terasa oleh diri kita. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa “sikap dan prilaku kita (SDM) terhadap laut hari ini, adalah cerminan atas apa yang akan kita peroleh dari laut esok hari”.
Akan tetapi, hingga hari ini, beberapa nelayan atau justru bahkan kita, belum paham betul bagaimana seharusnya berbuat dan bersikap terhadap laut. Beberapa juga hanya berorientasi pada besarnya hasil tangkapan sehingga mudah sekali bertindak tanpa perhitungan. Cara-cara yang tidak ramah lingkungan bahkan cenderung membahayakan masih kerap kali dilakukan dengan dalih
7 Rahardjo Adisasmita. Pembangunan Ekonomi Marirtim. Yogjakarta. Graha Ilmu. 2013. Hal. 109
Rompong, Rumah Surga, Katanya
meningkatkan hasil tangkapan. Bom ikan dan pukat harimau yang digunakan di beberapa lokasi perairan merupakan bukti konkret akan adanya hal tersebut.
Kurangnya penghayatan akan fungsi ‘ke-khalifah-an’ manusia di muka bumi, juga kerap kali melemahkan bahkan mematikan kesadaran bahwa tugas utama manusia adalah mengolah dan mengelola bumi dan seisinya. Mengolahnya tidak berarti memper- lakukannya semena-mena lalu meniadakan haknya untuk mendapat perawatan dan pelestarian. Karena bumi bukanlah “adonan kue”. Begitu pun juga laut, sikap yang diambil dalam mengelolanya harus benar-benar hati-hati sehingga laut tidak hanya diambil manfaatnya, tetapi juga dijaga dan dilestarikan segala ekosistemnya.
Mengetengahkan soal tentang pengelolaan laut, saya kembali terkenang dengan cerita teman-teman sepondok maupun se-SMP dulu. Berdasarkan cerita mereka, para nelayan memiliki teknik dan cara yang beragam dalam meningkatkan hasil tangkapan. Salah satunya dengan rompong. Di Nusantara, rompong disebut dengan beragam istilah. Ada yang menyebutnya dengan unjam, rabo, payao, tendak dan yang paling umum: rumpon. Bentuk dan bahan pembuatnya pun beragam.
Secara garis besar, rompong yang mereka buat terdiri dari tiga bagian yaitu, pelampung, atraktor, dan jangkar. Pelampung biasanya dibuat dari bambu yang dirangkai kuat menyerupai rakit. Beberapa nelayan juga membuatnya dari jerigen-jerigen besar, karet busa dan benda lain yang bisa mengapung dan bersifat tahan cuaca. Bahkan di sebagian daerah di pesisir Nusantara, ia dibuat dari plat baja yang dibentuk menjadi balok, tabung, atau pun silinder dikarenakan memiliki ketahanan cuaca yang jauh lebih tinggi.
Fungsi pelampung setidaknya ada dua, yaitu sebagai tempat mengikat atraktor dan penanda lokasi pemasangan rompong. Biasanya, pelampung dipasangi bendera warna-warni yang akan memudahkan proses identifikasi. Dengan begitu, para nelayan dapat mengenal rompong masing-masing.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Bagian rompong kedua adalah atraktor atau dalam istilah lain disebut rumah sawat. Di Masalembu, bagian inti ini dibuat dengan bahan utama lerep 8 . Daun kelapa utuh dibuang bagian tengahnya sehingga menyisakan dua bagian yang terdiri dari rentetan daun (janur) yang masih menyatu. Kemudian, bagian tersebut dilipat menjadi dua. Selanjutnya bagian tersebut ditumpuk menjadi satu lalu diikat dengan tali tradisional. Tumpukan lerep diikatkan lagi pada tambang inti dengan jarak 1-2 meter menjadi rentetan yang nantinya akan dibenamkan di lautan.
Bagian inilah yang menarik ikan untuk bergerombol. Ikan- ikan kecil senang berada di sekitarnya karena banyak plankton dan mikro-organisme yang menjadi makanan ikan-ikan kecil. Gerombolan ikan kecil itu pun mengundang spesies predator berupa ikan-ikan berukuran lebih besar. Beberapa jenis ikan
yang bersifat fototaksis-negatif 9 juga menggunakannya sebagai tempat kondusif untuk berteduh dari cahaya matahari. Beberapa ikan lain juga menjadikannya sebagai tempat berlindung diri yang cukup aman, dan sebagian lainnya menjadikannya sebagai tempat memijah dan menempelkan telur dalam proses berkembang biak.
Bagian rompong selanjutnya adalah jangkar atau pemberat. Fungsinya adalah membenamkan atraktor ke laut sekaligus mematenkan posisi rompong agar tidak bergeser. Untuk urusan ini, nelayan Masalembu biasa menggunakan batu gunung (cadas) sebagai pemberat. Selain karena mudah didapat, ia juga dinilai aman dan ramah lingkungan. Seiring berjalannya waktu batu tadi akan melapuk dan berubah bentuk menjadi pertikel-partikel kecil dan bercampur dengan pasir laut.
Di sini cukup jelas bahwa rompong dapat menjadi alternatif “rumah surga” baru bagi berbagai biota laut khususnya beragam spesies ikan yang pastinya ramah lingkungan. Rompong yang dibenamkan ke dalam laut akan menjadi habitat baru bagi ikan,
8 Daun kelapa (janur) yang mulai tua dan telah dibelah dua. 9 Reaksi negatif binatang terhadap pengaruh cahaya.
Rompong, Rumah Surga, Katanya
dan semakin tua usia rompong itu akan semakin disenangi. Karena selain menjadi lokasi berlangsungnya sebuah rantai makanan, ia juga mampu menjadi tempat kondusif untuk berlindung dan berkembang biak bagi ikan-ikan tertentu.
Bahan baku pembuatannya yang dapat dikategorikan sebagai bahan-bahan alami, menjauhkannya dari unsur kimiawi yang bersifat mencemari. Untuk itu, rompong dirasa layak dan cocok dijadikan sebuah ide solutif yang pelan-pelan akan menghapus kegusaran kita menyaksikan ragam kejadian yang melukai bangsa ini. Penerapannya yang ramah lingkungan adalah solusi tepat di tengah maraknya berbagai kejahatan perikanan dan kelautan.
Dengan adanya rompong, para nelayan hanya butuh melakukan survei di lokasi sekitar di pasangnya rompong tersebut. Rata-rata mereka sudah cukup ahli dan profesional dalam membaca tanda- tanda keberadaan ikan. Kemudian mereka hanya butuh menunggu dan menentukan waktu yang tepat untuk mulai menangkap. Di beberapa daerah rompong milik nelayan juga disewakan kepada para pemancing non-nelayan sebagai alternatif memancing dengan mudah.
Lebih dari itu, rompong juga sangat aplikatif. Bahan baku alaminya berupa daun kelapa dapat ditemui dengan mudah. Iklim tropis pesisir sangat cocok untuk membudidayakan pohon kelapa. Ia telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan keberadaan pantai di Nusantara. Berkah inilah yang memudahkan proses pembuatannya. Selain itu, rompong tidak memiliki spesifikasi lokasi dalam pemasangan, sehingga ia cocok dan dapat diterapkan di mana pun.
Rompong dapat menjadi investasi dengan wujud sederhana, namun tetap bernilai mahal dan berdampak universal. Kemudahan dalam penerapannya juga sangat memungkinkan untuk diwujudkan. Rompong yang dilepas akan menjadi terumbu karang buatan yang menyenangkan bagi ikan. Mereka akan beranak-pinak dengan maksimal dan berujung pada peningkatan kuantitas ikan.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Harapan besar yang disisipkan dengan “sopan” ke dalam rompong yang dilepas di lautan, tak akan pernah karam. Seluruh hayati laut akan menemuinya di sela-sela karang, di tengah debur gelombang, di saat mereka berenang dan berinteraksi dengan tenteram. Mereka akan turut mendukung dan membantu mewujudkan upaya-upaya kita dengan cara mereka masing-masing. Mungkin dengan protein dan berbagai macam vitamin. Mungkin dengan aneka rupa corak, warna, dan bentuk yang menawan. Atau bahkan dengan dolar-dolar asing yang terselip dalam kaleng olahan ikan yang memungkinkan untuk diekspor dalam jumlah besar.
Penerapan rompong sebagai upaya solutif dan aplikatif juga dapat dikatakan sebagai bentuk terima kasih terhadap laut yang belakangan ini semakin sering ter(di)campakkan. Selama ini, egoisme pribadi lebih dominan dalam proses eksploitasi. Kecenderungan yang demikian kerap kali menyeret diri pada sebuah “miss-understanding” akan tugas ‘ke-khalifah-an’ manusia di muka bumi.
Kesadaran bahwa laut bukanlah “budak” atau “adonan kue” yang bebas diperlakukan semena-mena tidak benar-benar atau bahkan tidak sama sekali timbul dalam benak. Sikap apatis tehadap laut mengaburkan pandangan serta pemahaman bahwa sebetulnya laut punya hak untuk diberi setelah ia memberi tak henti-henti. Akan tetapi kepelitan dan arogansi malah menjadi balasan akan dalamnya cinta laut pada kehidupan dan manusia. Bom-bom ikan yang dijatuhkan dan pukat harimau yang ditebar tanpa diinginkan merusak indahnya terumbu karang. “Rumah surga” beragam keluarga biota laut yang menawan pelan-pelan dihancurkan.
Selanjutnya yang perlu digarisbawahi adalah upaya kita tidak serta-merta selesai dengan membenamkan rompong ke dalam lautan. Melainkan dalam waktu yang bersamaan, upaya semua pihak untuk menjaga dan melestarikan serta turut andil dalam mendukung sangat dibutuhkan agar tidak terjadi kepincangan. Segala lapisan masyarakat harus bergerak bahu-membahu membangun dan memperbaiki laut.
Rompong, Rumah Surga, Katanya
Sosialisasi dari pemerintah kepada semua pihak terutama para nelayan tentang rompong beserta tutorial penerapan dan perawatannya juga perlu dilakukan. Setidaknya proses itu akan memberi wawasan baru bagi masyarakat, khususnya para nelayan dan masyarakat pesisir lain, bahwasanya rompong merupakan sebuah upaya model klasik dalam peningkatan produktivitas ikan dan benar-benar dapat menjadi ide solutif dan aplikatif yang sangat relevan dengan beragam tipikal problem yang dewasa ini melanda dunia kemaritiman Indonesia.
Tetapi rompong bukan sekadar masalah “hasil”. Lebih dari itu, ia adalah rasa syukur. Selama ini upaya laut dalam memberikan sumber dayanya selalu datang bertubi-tubi. Ikannya selalu ada untuk memenuhi kebutuhan protein dan gizi. Hembusan anginnya selalu ada untuk meniup dan mendorong perahu yang hilir-mudik silih berganti. Gas dan minyaknya selalu tepancar untuk mencukupi kebutuhan energi. Inilah kiranya yang menjadi dasar “rasa syukur” yang kemudian tercermin dalam beberapa ritual adat kelautan, seperti petik laut, rokat tasek, larungan dan juga dalam proses penerapan rompong.
Dengan rompong, kita berusaha hidup “makmur dan sejahtera” di atas laut. Rompong yang dilepaskan adalah upaya mengaktualisasi segala harapan. Dalam penerapannya, yang menjadi nilai lebih adalah adanya nilai berbagi yang cukup tinggi: berbagi tempat, berbagi makanan dengan sesama makhluk hidup, sehingga terjadi semacam simbiosis-mutualisme antara kita (SDM) dan laut (SDA). Filosofi berbagi ini dapat kita ambil dari bagian inti dari rompong, yaitu atraktor sebagai “rumah berbagi”.
Selanjutnya, rompong juga mengandung nilai-nilai konsistensi dan keteguhan diri. Ia memiliki jangkar. Bagian inilah yang terus- menerus menahan rompong agar teguh dan tak bergeser dari posisi semula. Jikalau tidak, rompong akan mudah diombang-ambing ombak dan gelombang. Sama halnya dengan setiap prinsip hidup yang harus selalu didukung dengan konsistensi dan keteguhan.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Gelombang kehidupan bagaimana pun bentuknya akan terus menghalang-rintang. Tanpa konsistensi dan keteguhan memegang prinsip, mustahil kita akan sampai dan selamat dalam berlayar!
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo. 2006. Pembangunan Kelautan dan Kewilayahan . Yogyakarta: Graha Ilmu.
__________. 2013. Pembangunan Ekonomi Maritim. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Apindar, Muhammada Karim dan Suhana. 2011. Ekonomi Kelautan dan Pesisir . Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suhana. 2011. Ekonomi Politik Kebijakan Kelautan Indonesia. Malang: Intrans Publishing.
Yanto, Nur. 2014. Memahami Hukum Laut Indonesia. Jakarta: Mitra Wacana Media.
http://lalaukan.blogspot.com/2014/07/rumpon-atau-payao-alat- pengumpul-ikan.html, diakses pada 06/05/2015
http://mataairradio.com/berita-top/anggota-dprd-sumenep-minta- nelayan-rembang-miliki-tepo-seliro, diakses pada 03/05/2015
http://hermansetiawanbasel.blogspot.com/2014/07/rumpon-atau- fish-aggregating-device-fad.html, diakses pada 06/05/2015
http://id.wikipedia.org/wiki/Rumpon, diakses pada 03/05/2015 http://www.kompasiana.com/agungharyoyudanto/wilayah-
perairan-indonesiadiakses pada 12/05/2015
Menongkah Kerang : Implementasi Keluhuran Budaya Bangsa sebagai Inovasi Budaya Maritim
Pernando Pratama
SMA Negeri Plus Provinsi Riau
Menongkah dan Identitas Suku Duano
"L autan merupakan sumber penghidupan kami, tetapi semua-
nya masih bersandar pada pola tradisional," begitulah papar Hasanuddin, salah satu pengurus Keluarga Besar Duano Riau Cabang Indragiri Hilir yang mengungkapkan bahwa hubungan antara laut dan kehidupan Suku Duano tidak dapat dipisahkan.
Suku Duano atau Suku Kuala merupakan salah satu suku yang termasuk ke dalam kelompok suku Desin dolaq 1 yang biasanya berdiam di daerah pesisir pantai. Suku laut ini banyak ditemukan di daerah pesisir Kabupaten Indragiri Hilir, seperti di Kecamatan Reteh, Concong, Mandah, Tanah Merah, dan Kuindra yang memiliki ekosistem pantai yang berlumpur.
Nama Duano berasal dari kata “Duanu”, yang dalam bahasa Belanda berarti “Pajak”. Pajak melekat pada kelompok suku laut ini karena profesi yang sering dilakoni oleh setiap insan dalam suku ini ialah pemungut pajak yang diperintah langsung oleh para penjajah yang menguasai pesisir pantai bagian timur Pulau
1 Desin dolaq merupakan kelompok suku yang mendiami pesisir pantai.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Sumatera. Aktivitas yang dilakukan terus menerus dan berkala tentu menjadikan kegiatan tersebut sebagai jati diri suku laut tersebut.
Masyarakat Suku Duano memiliki karakteristik layaknya suku laut lainnya, yaitu memiliki ciri fisik tubuh kecil dan berkulit hitam. Sebagai suku Laut, masyarakat Duano mulai dari yang muda hingga dewasa memiliki keahlian dan keterampilan melaut. Tiupan badai, deburan ombak, dan derasnya arus laut tidak menyurutkan semangat masyarakat Suku Duano untuk melaut.
Nelayan merupakan pilihan bagi para pencari nafkah suku ini. Hal ini karena kondisi sumber daya laut yang melimpah memicu semangat suku Laut ini untuk mengeksploitasi sembari mengolah hasil alam dengan cermat untuk kehidupan di kemudian hari. Banyak jenis hasil laut di sekitar permukiman Suku Duano ini, seperti kepiting, udang, kerang, serta berbagai sumber daya laut yang memiliki protein tinggi.
Sebagai salah satu suku yang masih memegang adat istiadat leluhur, tentu terdapat tradisi yang mengisinya untuk menjalankan sebuah roda kebudayaan agar adat istiadat leluhur tersebut tidak mati ditelan zaman. Tradisi tersebut bernama menongkah. Tradisi menongkah merupakan tradisi yang menjunjung tinggi aspek keluhuran budaya maritim dan juga persatuan. Hal ini karena tradisi ini hanya dilakukan oleh Suku Duano sebagai suku laut yang mengajarkan bagaimana menjalin hubungan harmonis dengan alam dan antar-sesama manusia.
Pekerja keras dan pantang menyerah, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan keteguhan dan keuletan suku Duano. Hal ini dibuktikan dengan kesungguhan masyarakat Duano untuk menjaga tradisi leluhur mereka hingga zaman modern. Banyak anak-anak suku Duano yang telah terjun untuk melaksanakan tradisi tersebut, di mana tradisi menongkah juga tergolong tradisi yang membutuhkan tekad dan tenaga yang kuat.
Hubungan antara suku Duano dengan tradisi menongkah sangatlah erat. Bagaimana tidak, sebagai suku maritim, sepatutnya
Menongkah Kerang: Implementasi Keluhuran Budaya Bangsa sebagai Inovasi Budaya Maritim
tradisi menongkah lahir dan hidup bersama dengan kelompok suku yang memiliki latar belakang yang sama seperti yang dimiliki oleh Suku Duano. Kini tradisi menongkah telah menjadi salah satu warna yang dimiliki oleh masyarakat Duano serta tentu menjadi salah satu dari ribuan warna tradisi maritim Indonesia. Oleh sebab itulah mengapa penulis ingin mengangkat tradisi leluhur suku laut Duano ini.
Tradisi Menongkah dalam Kebudayan Maritim
Laut bagi masyarakat Duano merupakan sarana untuk mengekspresikan kebudayaan mereka dan menongkah merupakan sarana yang mereka gerakkan dengan menggunakan motor keper- cayaan dan kegigihan dari masing-masing individu dari kelompok suku Laut Duano. Secara harfiah menongkah berasal dari kata tongkah yang berarti alat yang digunakan untuk mempermudah berselancar di atas lumpur. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (1999), tongkah adalah papan untuk tumpuan (titian) yang biasanya dipasang di tempat becek atau basah. Dengan demikian, istilah menongkah memiliki arti sebagai usaha atau kerja yang dilakukan dengan menggunakan alat tongkah. Bagi suku Duano, tongkah merupakan salah satu alat bantu yang tergolong unik yang digunakan untuk mencari atau menangkap “kerang darah” (Anadara granosa).
Alat tongkah terbuat dari sebilah papan dengan panjang 2,5-
3 m, lebar 50-80 cm serta memiliki ketebalan 3-5 cm. Papan yang digunakan terbuat dari kayu pulai atau jelutung yang kuat dan ringan. Papan tongkah biasanya dibuat sedemikian rupa seperti bentuk papan selancar dengan ujung runcing dan bagian depat sedikit melengkung ke atas.
Eksistensi dari tradisi menongkah tidak lepas dari kebudayaan maritim. Hal ini karena satu-satunya tempat untuk melakukan tradisi ini hanyalah laut yang merupakan bagian dari kebudayaan maritim. Meskipun dihujam oleh batu perubahan zaman di era modern
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
sekarang, hingga kini tradisi ini tetap lestari. Sebagai bukti, di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, terdapat event menongkah yang ditaja untuk mempertahankan keberadaan tradisi leluhur yang hampir punah.
Sarpan, Ketua Keluarga Besar suku Duano yang juga menjadi ketua penyelenggara menongkah, mengatakan bahwa event ini merupakan peristiwa unik dan hanya satu-satunya di Kabupaten Indragiri Hilir. Sarpan berharap peristiwa ini dapat dipromosikan ke luar daerah bahkan ke luar negeri, karena tradisi yang unik tentunya akan menambah auman harimau pariwisata Indonesia di dunia pariwisata internasional.
Bukan hanya sebagai sarana pariwisata, dalam tradisi menongkah juga terkandung berbagai nilai kehidupan seperti kearifan lokal, kesatuan, serta persamaan hak. Pertama, nilai kearifan lokal. Banyak aspek menunjukkan bahwa tradisi menongkah memiliki kearifan seperti kepercayaan bahwa tradisi menongkah merupakan tradisi leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan.
Kedua, kesatuan dan adaptasi. Tradisi menongkah mengajarkan bagaimana kita dapat beradaptasi dengan alam, bersatu dengan kehidupan masyarakat dan juga bersatu antarsesama. Kesatuan yang juga diajarkan oleh tradisi ini ialah bagaimana tradisi ini menyatu dengan kehidupan masyarakat suku Duano dan juga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, persamaan hak, dalam tradisi ini tidak ada pembedaan status, strata, atau perbedaan hak antara pria dan wanita, sehingga semua orang dari berbagai kalangan dapat melakukan tradisi unik dalam budaya maritim ini.
Selain ketiga hal itu, menongkah juga mengajarkan agar hidup harus selaras dengan alam. Walaupun di era modern dan global ini, tradisi menongkah tetap dapat bertahan dan mengajarkan bagaimana hidup selaras dengan alam.
Hal terpenting ialah segala tindak tanduk suatu tradisi tidak lain hanya untuk menciptakan keberagaman demi warna-warni kesatuan. Menongkah mengajarkan dari sebuah perbedaan dapat
Menongkah Kerang: Implementasi Keluhuran Budaya Bangsa sebagai Inovasi Budaya Maritim
menjadi sebuah kekuatan seperti laut berlumpur yang berbeda dari laut biasanya, tetapi dari hal inilah dapat menciptakan suatu tatanan sosial yang baru tanpa meninggalkan kebudayaan lama.
Nilai Budaya dalam Tradisi Menongkah
Krisis kebudayaan semakin lama semakin mengancam kekokohan jati diri bangsa Indonesia. Hal ini menciptakan disintegrasi bangsa. Badai ancaman yang datang terkadang tidak selaras dengan kepercayaan akan kekuatan dan keuletan bangsanya sendiri. Contohnya saja banyak sumber daya alam Indonesia di bidang maritim mulai habis, bukan karena dieksploitasi oleh bangsa sendiri melainkan habis oleh kedigdayaan bangsa lain yang tidak mengerti sumber daya alam kita di masa lalu.
Perlahan dan pasti krisis kebudayaan akan mengancam keutuhan negara maritim ini. Lihat saja banyak kebudayaan ibu pertiwi yang sudah diklaim sebagai kebudayaan negara lain, bahkan yang paling memprihatinkan banyak kebudayaan bangsa kita sudah hilang seiring berjalannya zaman. Salah satu solusi untuk permasalahan krisis budaya ini ialah mulai meningkatkan kepedulian akan budaya bangsa, khususnya kebudayaan maritim yang kurang terdengar gaungnya di dunia.
Meningkatkan kepedulian akan budaya sendiri dapat terealisasi jika setiap warga negara memiliki tekad yang sama untuk menjaga kebudayaan. Salah satu yang menjadi karakter Indonesia ialah budaya maritimnya. Bukan hanya satu, tetapi jutaan warna tradisi yang mengisi kebudayaan maritim lahir dari buah tangan leluhur terdahulu. Kini kita sebagai generasi muda patut untuk melindungi sembari menjaga berbagai tradisi tersebut agar lestari hingga di kemudian hari.
Salah satu tradisi maritim yang Indonesia miliki ialah tradisi menongkah . Tradisi yang lahir di pesisir Pantai Timur Sumatera ini memiliki beberapa nilai, di antaranya nilai gotong royong, tanggung jawab, dan kebijaksanaan.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Pertama , tradisi menongkah mengajarkan kepada pelakunya untuk selalu berkerja sama dalam melakukan sesuatu. Hal ini
dikarenakan jika seorang pelaku menongkah melakukan kegiatan menongkah tanpa ditemani oleh siapa pun maka akan fatal akibatnya. Selain itu ketika seseorang terdampar di hamparan laut berlumpur atau kawasan suku Duano bertempat tinggal, maka akan ditolong oleh masyarakat suku Duano dengan menggunakan sebilah papan tongkah.
Kedua , tradisi yang hanya dimiliki suku Duano ini juga menga- jarkan bagaimana sebagai penerus kebudayaan daerah untuk selalu menjaga awetnya tradisi ini. Hal seperti ini telah dilakukan oleh suku Duano dengan bukti masih adanya tradisi menongkah yang dipercaya telah dilakukan sejak abad ke-16 silam. Sikap tanggung jawab selalu ditanamkan oleh para orang tua masyarakat Duano kepada anaknya, salah satu tugas tanggung jawab yang telah diemban oleh generasi muda Duano ialah menjaga tradisi menongkah agar tetap menjadi kearifan lokal yang dimiliki suku Duano.
Ketiga , tradisi menongkah juga mengajarkan agar menjadi pribadi yang bijaksana. Bijaksana dalam konteks budaya ini ialah bagaimana bijaksana dalam mengeksploitasi sumber daya alam laut yang suku laut ini miliki. Dewasa ini, banyak kawasan budaya dengan limpahan sumber daya alam khususnya laut dieksploitasi secara berlebihan tanpa mengindahkan dampak ekosistem yang terancam. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan kehidupan suku Duano yang menjadikan tradisi menongkah bukan semata untuk mengeksploitasi hasil alam secara berlebihan tetapi jauh dari itu, menongkah mengajarkan bagaimana arif dan bijaksana dalam mengolah sumber daya alam tanpa merusak ekosistem yang ada.
Bertolak dari tradisi menongkah, budaya maritim yang Indonesia miliki banyak kekhasan yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Tradisional, unik, serta luhur itulah karakteristik yang dimiliki oleh kebudayaan maritim Indonesia. Hal inilah yang harus kita jaga agar tidak dirampas oleh para “tikus berambut pirang”.
Menongkah Kerang: Implementasi Keluhuran Budaya Bangsa sebagai Inovasi Budaya Maritim
Kebudayaan maritim bangsa Indonesia seperti layaknya sebuah kapal laut. Kini kapal yang besar sedang melalui rute yang sangat berat, cuaca ekstrem, badai berhembus kencang, serta ribuan gelombang raksasa yang siap menghantam kekokohan kapal besar ini. Lalu apa yang akan kita lakukan sebagai seorang nakhoda kepada kapal yang kita kemudikan? Apakah kita harus membelot dari tujuan awal atau menantang segala yang menghadang? Itulah pertanyaan yang harus kita tanyakan kepada kebudayaan maritim bangsa kita.
Apakah yang harus kita lakukan agar kapal kebudayaan kita dapat mencapai tujuannya, haruskah kita takluk oleh kenyataan kelam bahwa tradisionalisme kebudayaan maritim kita tidak ada apa-apanya atau sebaliknya dapat menjadi pelopor kebangkitan kebudayaan bangsa walau harus berani menantang gelombang, kencangnya tiupan badai serta kondisi ekstrem yang kini berada di depan mata?
Oleh sebab itu, jadikan budaya maritim sebagai ajang bagi kita untuk tetap menjaga tradisi leluhur serta menginovasikannya sebagai kekuatan baru yang Indonesia miliki. Walaupun banyak ranjau yang berusaha untuk menyurutkan semangat kita, tetapi tetaplah percaya bahwa pekerjaan mulia akan berbanding lurus dengan hasil yang baik juga tentunya.
Berikut beberapa hal yang menurut penulis penting untuk disampaikan terkait dengan tradisi menongkah:
1. Tradisi menongkah merupakan tradisi leluhur terdahulu yang patut untuk dijaga agar di kemudian hari tradisi yang khas ini tidak punah oleh derasnya arus globalisasi.
2. Tradisi menongkah sebagai titik tolak bangsa Indonesia, khususnya mayarakat suku Duano untuk lebih menghargai sumber daya alam maritim Indonesia. Banyak di antara sumber daya alam Indonesia hanya dieksploitasi, tetapi malah merusak keanekaragaman hayati khususnya dalam bidang kemaritiman. Hal ini tentu akan menciptakan
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
ketidakseimbangan ekosistem, sehingga akan berdampak pada turunnya kualitas sumber daya alam laut di Indonesia.
3. Perlunya sikap tanggung jawab dan berkomitmen untuk menjaga kelestarian kebudayaan Indonesia yang dalam hal ini berorientasi pada tradisi menongkah suku Duano. Komitmen tersebut merupakan tunjuk ajar yang selalu diajarkan oleh orang tua terdahulu kepada anaknya hingga kini.
4. Pengaruh globalisasi memang terus menggerus keasrian kebudayaan bangsa. Jika hal ini terus-menerus terjadi pada bangsa kita akan mengalami krisis kebudayaan. Hal itu tentu akan berdampak pada hilangnya gaung bangsa Indonesia sebagai Macan Asia. Oleh sebab itu, perlu adanya kesadaran kita sebagai masyarakat berbudaya untuk menjaga tradisi menongkah agar kita akan tetap menjadi sebuah negara berbudaya.
5. Menongkah adalah salah satu tradisi yang juga merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu semua elemen termasuk pemerintah memiliki kewajiban menjaga kelestarian kebudayaan ini.
6. Sadar akan tempat yang terpencil membuat tradisi menongkah kurang terekspos ke dunia luar. Maka dari itu dirasa penting untuk mempromosikan tradisi kebudayaan ini guna untuk memperkenalkan lebih jauh lagi tradisi menongkah ke seluruh dunia.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Kuala (diakses tanggal 11 April 2015)
http://infoinhil.com (diakses tanggal 11 April 2015) http://amikomedia.html (diakses tanggal 11 April 2015)
Ki Bahri dan Modernisasi Kebudayaan Bahari
Moh. Mahmud
MA. Tahfidh Annuqayah, Sumenep, Madura
I 95.000 kilometer. Ditambah dengan 17.000 pulau, menjadikan
ndonesia merupakan negara yang beruntung. Luas lautnya mencapai 3,2 kilometer persegi. Panjang pantainya lebih dari
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar. Lebih dari 60 persen penduduknya bermukim di pesisir. Andaikan dipetakan di belahan bumi lain, luas wilayah Nusantara sama dengan jarak antara Irak hingga Inggris (Timur-Barat) atau Jerman hingga Aljazair (Utara- Selatan). Letaknya yang strategis disertai kekayaan alam melimpah, menggoda negara-negara berkepentingan untuk mengeruk kekayaan alam khatulistiwa. Dan letaknya yang strategis, diharapkan akan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Budaya maritim telah berhasil menjadi “tuan lautan” pada masa kerajaan Sriwijaya, Majapahit, hingga Demak. Nusantara saat itu disegani oleh kerajaan-kerajaan di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya. Sriwijaya (683-1030 M) sebagai kerajaan maritim yang kuat di Asia Tenggara, telah menjadikan penguasaan jalur pelayaran untuk perdagangan serta penguasaan atas wilayah-wilayah strategis yang digunakan sebagai pangkalan kekuatan lautnya.
Itu tidak cukup. Ketangguhan maritim kita juga dibuktikan oleh Raja Kertanegara pada masa Kerajaan Singasari. Tidak ada
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
tandingan bagi kekuatan armada laut kita pada waktu itu. Apalagi pada masa Majapahit (1293-1478 M), adalah puncak kejayaan maritim Nusantara. Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada adalah tokoh pemersatu Nusantara. Bahkan pengaruhnya sampai ke negara asing seperti Siam, Lagor (?), Campa (Kamboja), Anam (?), India, Filipina, dan China.
Tentu saja kita merasa bangga dengan semua itu. Betapa gagahnya ketika semua wilayah di Nusantara telah mampu diper- satukan. Betapa bangsa lain menyegani Nusantara karena para- digma masyarakat yang mampu manciptakan visi maritim sebagai bagian utama dari kemajuan budaya, ekonomi, politik dan sosial. Dan betapa lebih membanggakan bila hal tersebut bisa bertahan sampai detik ini.
Tapi, sungguh sayang! Kebanggaan itu telah tertelan waktu. Pesona laut memang tak lekang dari kehidupan manusia. Namun ketidakmampuan untuk mengelolanya menjadikan bangsa ini ter belakang. Sejak runtuhnya kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan kerajaan berbasis maritim lainnya, Indonesia tak lagi mengindahkan laut. Arah perkembangan tidak disesuaikan dengan kondisi geo- grafis yang dimiliki Indonesia. Akibatnya, wajah kebudayaan bangsa dipoles dengan wajah kebudayaan agraris, feodalistik, dan mem bagi masyarakat pada strata-strata kekuasaan. Tidak heran, bila Indonesia tergolong bangsa yang haus kekuasaan. Budaya ini telah berhasil dicengkeram pada waktu kolonialisme hingga dijadikan bangsa budak, bangsa kuli, dan bangsa buruh. Sebagai wujud kepedulian untuk kembali menuai kejayaan budaya bahari, mari kita ketahui, pahami, renungi seorang sosok bernama Ki Bahri.
Ki Bahri dan Tipologi Manusia Bahari
Ki Bahri. Begitulah warga Desa Bhicabbi, tersebut biasa dipanggil. Ahmad Bahri, itu nama lengkapnya. Namanya saja Bahri, yang berarti “laut”. Sebuah nama yang ia yakini sebagai bentuk “penyesuaian” atas status dan kondisi geografis lingkungannya.
Ki Bahri dan Modernisasi Kebudayaan Bahari
Di sebuah masyarakat pesisir yang berada di ujung Timur Pulau Madura, tepatnya di Kecamatan Dungkek, Kabupaten Sumenep, ia menjeritkan tangis pertamanya. Pada masa kecilnya, ia sudah “abhental ombe’, asapo’ angin” (berbantal ombak, berselimut angin), dunia maritim telah mendarah daging dalam dirinya sejak kecil. Dunia nelayan telah memberikannya pelajaran tentang arti sebuah kerja keras. Tentang proses yang harus berdarah-darah. Tentang kemajuan masyarakatnya yang akan terbangun bila ia menjadi “anak sekolahan”. Ia harus sekolah, bagaimanapun caranya dan apapun kendalanya.
Ayah dari satu anak itu memulai riwayat pendidikannya di tingkat Sekolah Dasar. Setelah tamat, keluarganya memilih untuk memindahkan Ki Bahri ke sebuah pondok pesantren. Selama tiga tahun, Ki Bahri melanjutkan sekolah menengah pertamanya di lingkungan pondok pesantren. Kemudian setelah dinyatakan lulus dari sekolah lanjutan tingkat atas, Ki Bahri memilih untuk tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Ia memilih mengabdikan dirinya di pondok pesantren.
Setelah pengabdiannya dikira cukup, pria yang lahir pada putaran kalender 25 Agustus 1978, memutuskan untuk berhenti dari pondok pesantren dan memilih melanjutkan profesi orang tuanya sebagai nelayan. Menurutnya, adalah sebuah keberuntungan men- jadi manusia laut. Perilaku-perilaku sosial kaum maritim, seperti etos kerja yang tinggi, kompetitif, mengandalkan kemampuan diri, dan agamis dengan sentimen keagamaan yang tinggi merupakan “pusaka” bagi sebuah negara yang sebagian besar penduduknya tinggal di daerah pesisir. Andaikan saja nilai dan karakter manusia pesisir ini bisa mengkristal menjadi karakter manusia Indonesia, tentu saja kita layak berharap Indonesia menjadi lebih baik. Ki Bahri mempunyai kesetiaan menjalani hidup dalam satuan detik bersama lautan; kesetiaan untuk tetap menjadikan laut sebagai kekasih; kesetiaan untuk tetap menyatukan dan mengasihi sesama pelaut Nusantara. Sebagai nelayan, laut telah memberikannya kearifan dan pelajaran yang mendalam.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Di balik rekam jejaknya sebagai pemelihara ajaran keagamaan, statusnya bukan hanya jadi nelayan, tapi juga sebagai tokoh masyarakat. Melalui kegiatan KMN (Kebangkitan Maritim Nusantara) yang berbasis rohaniah, Ki Bahri telah membangun penyeimbangan hidup antara dimensi duniawi dan dimensi ukhrawi. Sehingga masyarakat sekitarnya dapat sepenuhnya meyakini bahwa di balik kerja kerasnya, terdapat agenda spiritual yang harus mereka selesaikan.
Lakon-lakon Ki Bahri sangatlah memenuhi kriteria kepemim- pinan sosial komunitas pesisir. Berdasarkan kajian filologi naskah- naskah klasik yang banyak dipengaruhi oleh doktrin-doktrin agama Islam, seperti kitab Sundijoyo Pesisiran dan Babad Gresik Pesisiran , kriteria-kriteria pemimpin di kalangan komunitas pesisir di antaranya telah diwakilkan oleh Ki Bahri. Semisal mementingkan orang lain daripada dirinya sendirinya sendiri, tidak berambisi terhadap jabatan atau kedudukan walaupun banyak berjasa, giat bekerja dan beribadah, dan berbuat adil pada siapa saja. Kriteria- kriteria kepemimpinan tersebut memiliki relevansi yang baik untuk merekonstruksi kepemimpinan bangsa. Penjelajahan terhadap nilai-nilai budaya bahari tentu saja memiliki kontribusi yang sangat strategis demi bangkitnya masa depan bangsa yang berbasis pada potensi sumber daya kemaritiman nasional.
Sebagai penggerak KMN (Kebangkitan Maritim Nusantara), Ki Bahri banyak belajar dari Belanda. Sejarah Negeri Kincir Angin yang berhasil menggenggam maritim sekaligus menerapkan budaya maritim, telah meyakinkan Ki Bahri bahwa manusia-manusia di berbagai pulau Nusantara adalah darah daging kita. Menyatukan dan melindungi mereka adalah tugas bijaksana. Hampir tidak ada jarak antara “kita” dan “mereka”.
Keinginan kuat Ki Bahri akan hal tersebut, bukan karena ia ingin didatangi wartawan lalu dimuat di majalah atau koran. Bukan karena perjuangannya ingin diinvestigasi lalu disiarkan lewat radio atau televisi. Sama sekali bukan! Semua itu Ki Bahri lakukan
Ki Bahri dan Modernisasi Kebudayaan Bahari
untuk membangun sebuah optimisme yang tinggi bahwa: “Budaya maritim mampu menjadi penyokong masa depan Indonesia”. Ternyata, optimisme Ki Bahri itu seatap dengan gagasan van Peursen dalam memilah kekayaan dan keanekaragaman sejarah kebudayaan manusia. Menurut van Peursen, tahap fungsional termasuk dari tahapan-tahapan sejarah umat manusia yang berarti sikap dan alam pikiran yang tidak begitu terpesona lagi dengan lingkungannya (sikap mistis), ia tidak lagi dengan kepala dingin ambil jarak terhadap obyek penyelidikannya (sikap ontologis), ia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya (Peursen, 1976: 18). Jelas sudah bahwa Ki Bahri yang dipandang banyak orang rendah adalah orang yang sederhana, tapi sempurna. Ia tidak begitu paham dengan cita-cita. Tidak memandang apa-apa dalam perjalanan hidupnya. Dan tidak mencemaskan hari tua.
Sebagai manusia bahari yang telah berpuluh-puluh tahun mengabdikan dirinya pada laut, Ki Bahri yakin bahwa kebudayaan memiliki andil sangat signifikan dalam menentukan tipoligi kepribadian manusia. Hal itu wajar karena kebudayaan sangatlah dekat dan melekat bagi kehidupan manusia. Hingga tidak salah kiranya bila bapak pendidikan Ki Hajar Dewantara mengatakan, manusia tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan karena kebu- dayaan selalu digunakan oleh manusia untuk mempermudah dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Sehingga Ki Bahri menganggap Indonesia sebagai bangsa yang membingungkan. Hampir dua per tiga luas wilayahnya adalah laut yang (pasti) sebagian besar penduduknya tinggal di daerah tempat meruahnya kekayaan tersebut, justru mengalami kehidupan yang paling parah, miskin dan tertinggal. Pribadi-pribadi rakyat Indonesia bukanlah tipologi manusia maritim, melainkan tipologi manusia yang tidak mengenal perubahan kecuali “buatan Tuhan” atau “sudah diatur Tuhan”. Bukan berarti bahwa tipologi manusia maritim tidak mengakui Tuhan sebagai penggerak alam. Tapi, manusia maritim
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
cenderung tidak “sepenuhnya” memasrahkan urusan mereka pada sang pengatur alam. Akhirnya, muncullah manusia-manusia penyembah langit. Manusia yang menggantungkan harapan “hanya” kepada doa-doa yang dipanjatkan, tanpa melakukan usaha dan kerja yang cukup. Akibatnya, alam tidak bergerak, pasrah, diam, dan kaku. Inilah ideologi warisan masyarakat kuno dan terjajah. Hasil kolonialisme dan bentukan feodalisme.
Hal mengherankan itu bisa terjadi karena kiblat hidup bangsa ini adalah sektor agraris. Perawakan kebudayaan pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit telah digulingkan menjadi kebudayaan dengan perawakan agraris. Seandainya mau berpikir panjang, bahwa bumi Nusantara pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit secara utuh dihuni oleh manusia-manusia dengan tipologi dan pradigma berpikir maritim sebagai manifestasi perjuangan mempertahankan kemajuan bangsa. Pada waktu itu, rakyat Nusantara merupakan individu-individu yang didominasi oleh minatnya pada gerakan laut. Menurut Edward Spranger, kehidupan manusia secara garis besar dipengaruhi oleh dua macam kehidupan jiwa, yaitu jiwa obyektif dan jiwa subyektif. Jiwa subyektif meliputi tiap-tiap orang (individu). Sedangkan jiwa obyektif meliputi nilai- nilai kebudayaan yang mempunyai pengaruh cukup besar pada jiwa subjektif manusia (Purwa Atmaja Prawira, 1965: 153).
Tindak-tanduk Ki Bahri yang selama ini dilakukan adalah perjuangan mengembalikan nilai-nilai kebudayaan maritim pada masa kerajaan Siriwijaya dan Majapahit yang selama ini terabaikan. Nuansa kepemimpinan Raden Wijaya, Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada juga harus terulang kembali pada masa pemerintahan Joko Widodo dan pemimpin selanjutnya. Tekad Ki Bahri yang seharusnya mendapatkan banyak perhatian dan dorongan dari berbagai kalangan supaya manusia Nusantara menjadi manusia yang senantiasa “sadar” bahwa bagian terluas dari negaranya adalah laut, sadar bahwa laut adalah kekayaan melimpah, sadar bahwa dalam catatan sejarah nenek moyang kita telah berhasil menguasai Nusantara.
Ki Bahri dan Modernisasi Kebudayaan Bahari
Sebuah Tawaran Kebudayaan Maritim Modern
Bentangan laut dan berbagai hal yang mewarnainya, mampu membentuk Ki Bahri sebagai manusia modern. Ia bukan lulusan kampus terkemuka. Ia bukan pembicara yang sering diundang dalam seminar mahasiswa. Ia juga bukan advokat atau pengacara. Sekalipun ia bukan mahasiswa yang sering kali disibukkan oleh makalah atau skripsi, namun siapa nyana, Ki Bahri telah mampu menyegarkan suasana maritim di sekitar kampungnya dengan satu konsepsi kebudayaan maritim modern. Beliau sendiri belum menyadari, bahwa konsep itu “terbit” dari nasihat yang sering beliau lontarkan;“Tendheh rong-kerong mon deddhi oreng paseser!” (Tirulah ikan rong-kerong jika menjadi orang pesisir). Nasihat yng nampaknya sangat dipengaruhi oleh pandangan evolusionisme, suatu teori yang mengatakan bahwa kebudayaan itu akan berkembang dari tahapan yang sederhana menuju tahapan yang lebih kompleks. Nasihat bagi sebuah bangsa yang telah begitu lama melupakan laut. Lupa akan kekayaan yang telah dinikmati bangsa lain.
Rong-kerong patut dijadikan ‘guru’ bagi para pelaut. Rong- kerong adalah ikan yang bisa hidup di berbagai jenis air. Tidak seperti jenis ikan yang lain. Sifatnya yang adaptatif dan pemberani, bisa kita jadikan refleksi kecerdasan insan maritim Nusantara di tengah hantaman modernisasi yang bakal menidurkan Indonesia, tidur kebudayaan, tidur ekonomi, tidur politik, dan tidur sejarah. Berhubung tidur itu sudah terlanjur nyenyak dan lelap, maka konsep modernisasi di tengah kebudayaan bahari adalah suatu yang tabu dalam kondisi bangsa yang cenderung enggan untuk bangkit.
Rupanya, konsep ini akan jadi bahan tertawaan. Mungkin banyak orang membayangkan bahwa konsep ini akan melahirkan para pelaut yang setiap mau berlayar membawa handphone atau laptop. Di tengah laut mereka sibuk browsing informasi terkait strategi pengembangan kekayaan laut. Itu tidak benar. Sejatinya, ini adalah sebuah konsep yang tidak ada penolakan terhadap bahan- bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat mengembangkan
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Kebudayaan maritim modern merupakan representasi kebangkitan budaya maritim dengan semangat keterbukaan, kemandirian, dan keberanian dalam menghadapi era gladiator: siapa kuat, dia menang; siapa berkuasa, dia jaya; siapa kaya, dia bisa mengatur segalanya.
Budaya maritim modern yang dimaksud di sini adalah: pertama, transparansi atau keterbukaan. Ia adalah sikap ingin membuka diri terhadap berbagai perubahan zaman dan nilai-nilai yang merangsek ke kantong-kantong komunitas pesisir. Sebagai lokasi “ritus peralihan”, daerah maritim sering disinggahi oleh berbagai ragam etnis dan bangsa yang memikul nilai-nilai dan budaya yang berbeda. Begitupun sebaliknya. Pelaut setempat mengarungi lautan, berlayar ke negeri-negeri tetangga membawa nilai-nilai dan budaya yang berbeda. Terdapat banyak hal yang mereka jumpai sehingga mendorong mereka untuk menjalin semacam adaptasi inovatif demi menguatkan kebudayaan bangsanya. Apalagi ukuran dunia yang mulai dilipat, ruang dan waktu menjadi sangat relatif, dan dalam banyak hal, batas-batas negeri sering menjadi kabur. Dinding pembatas antar-bangsa semakin terbuka bahkan mulai hanyut oleh arus perubahan. Oleh karena itu, Suratman mengatakan bahwa Indonesia menghadapi kewajiban ganda, yaitu di satu pihak melestarikan warisan budaya bangsa dan di pihak lain membangun kebudayaan nasional yang modern (Suratman, 1959: 126).
Puncak tujuan dari kedua kewajiban ini menurut Indra Siswarini adalah masyarakat modern yang tipikal Indonesia, masyarakat yang tidak hanya mampu membangun dirinya sederajat dengan bangsa lain, tapi juga tangguh dalam menghadapi tantangan kemerosotan mutu lingkungan hidup akibat arus ilmu dan teknologi modern, maupun menghadapi tren global yang membawa daya tarik kuat ke arah pola hidup yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa (Suratman, 1959: 126). Begitu juga dengan robohnya sekat- sekat geografis dan ideologis di masa kini, sikap keterbukaan akan
Ki Bahri dan Modernisasi Kebudayaan Bahari
menjadi momentum monumental bagi kebangkitan kebudayaan maritim Nusantara.
Kedua, kemandirian. Inilah sikap sebagai perisai bagi bangsa Indonesia. Dunia maritim adalah hidup mereka. Kebudayaan maritim modern yang hendak dicapai adalah upaya melepaskan kungkungan konsumerisme. Menjadi sebuah bangsa “pemakai” barang-barang buatan orang lain bukanlah sesuatu yang mem- banggakan. Kolaborasi penguasaan pasar bersama pembuatan hasil produksi di dalam negeri juga turut akan mengiringi laju hal ini. Wawasan agraris masyarakat Indonesia yang mayoritas mengabdikan hidupnya pada lahan persawahan dan industri dapat digelindingkan pada arena modernisasi sehingga Indonesia bukan sekadar gudang barang mentah, tapi juga sebagai sumber barang jadi. Dan akhirnya, para pedagang akan menyebarkannya ke seantero dunia dengan kemampuannya bernegosiasi dalam perdagangan.
Ketiga, Keberanian. Inilah sikap khas komunitas pesisir. Begitu banyak hambatan yang mereka temui. Mulai dari gelombang laut, keterasingan di tengah laut, bajak laut, dan ancaman binatang laut telah menjadi hal yang biasa. Pertanian adalah sesuatu yang kecil bila dibandingkan dengan besarnya tantangan itu. Merekalah tipe manusia yang tidak mau kalah dengan alam, tapi ingin bersahabat dengan alam. Benar-benar komunitas yang pemberani.
Trilogi budaya maritim inilah yang diharapkan mampu mengantarkan Indonesia pada gerbang kemakmuran setelah cukup lama dicekik oleh tangan-tangan asing. Situasi arus laut sebagaimana digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novel Arus Balik akan berubah. Arus kekuasaan Majapahit yang datang dari selatan menuju utara akan segera kembali. Kenyataan arus laut yang masih bergerak dari utara ke selatan, sebentar lagi akan jadi “masa lalu”. Indonesia belum (sepenuhnya) sadar akan penjajahan kontemporer. Penjajahan yang bukan lagi menggunakan bom atau pistol dan menjadikan bambu runcing sebagai bentuk perlawanan. Penjajahan yang tidak lagi dengan terang-terangan memberlakukan kerja rodi.
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
Tapi, telah sampailah kita semua pada penjajahan yang telah berhasil menyusup melampaui kebodohan bangsa. Penjajahan yang selama ini membuat perut-perut wong cilik keroncongan. Penjajahan yang selama ini membuat anak-anak bangsa tidak punya kesempatan duduk di bangku sekolah. Penjajahan yang secara kasat mata akan mengakhiri perjalanan perjuangan bangsa. Kondisi itulah yang paling dikhawatirkan Ki Bahri. Sebuah kondisi yang bila sampai terjadi, tamatlah riwayat bangsa ini. Sekalipun Indonesia masih ada, tapi hanyalah tinggal nama.
Tutur Ki Bahri pada Ibu Pertiwi
Raut muka Ki Bahri akan nampak berbinar-binar bila trilogi budaya maritim di atas tidak hanya sebatas wacana belaka. Ia (sedikit demi sedikit) telah berhasil menanam benih-benih modernisme di kampungnya. Ia terkadang merasa heran bukan kepalang pada negerinya sendiri yang dihuni oleh berjuta-juta manusia yang jauh lebih berpendidikan dari dirinya. Sayangnya, mereka belum “ingat” akan luas wilayah laut dan kekayaan melimpah yang tersimpan di dalamnya. Mereka telah terlelap dengan sugesti agraris setelah kolonialisme berhasil menebar kegaduhan selama beratus-ratus tahun lamanya. Ki Bahri sering bertanya-tanya pada dirinya sendiri; haruskah “ingatan” itu akan kembali pulih setelah mereka merasakan pahit-getirnya menjadi pelaut? Apakah hanya para nelayan yang mesti punya tanggung jawab mengindahkan laut? Bukankah perhatian pemerintah ataupun swasta sangat menentukan kebangkitan sektor perairan bila melihat kondisi rakyat masa kini? Absurd! Ki Bahri kadang-kadang berpikir bahwa kinerjanya selama ini seumpama abedhe’ neng e delem aeng (bagai memakai bedak dalam air) alias tidak ada guna dan manfaatnya apabila pemerintah setempat memilih untuk tidak tahu-menahu tentang dunia maritim.
Seandainya Ki Bahri mempunyai wewenang layaknya Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Perhubungan, ia punya tekad untuk mengatasi krisis tenaga pelaut.
Ki Bahri dan Modernisasi Kebudayaan Bahari
Tenaga pelaut Indonesia memilih banting tulang di bendera negara asing karena alasan yang logis, yaitu persoalan gaji. Perhatian terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu sebagai wujud efektivitas desentralisasi dan otonomi daerah yang memungkinkan setiap daerah untuk berkembang maju serta diharapkan juga dapat memunculkan rekonstruksi pemikiran rakyat terhadap bahari. Begitu pun dengan perhatian terhadap lembaga penelitian ihwal kebudayaan maritim juga harus diberi dukungan karena kita akan merasa sangat keberatan bila keperawanan laut Nusantara lebih dulu dinikmati orang-orang bule. Dari hasil-hasil penelitian, pemerintah diharapkan “berkenan” untuk menyediakan lapangan kerja maritim secara besar-besaran dan memberikan peluang timbulnya usaha di bidang laut.
Dari beberapa harapan Ki Bahri di atas, Ki Bahri tidak sepenuhnya memercayai bahwa itu semua akan menjadi kenyataan. Bagaimana mungkin pesan konyol yang lahir dari seorang nelayan kampung dengan pemikiran yang kosmopolitan bisa ditanggapi secara serius? Mustahil! Namun, perjuangan Ki Bahri tidak akan dicukupkan hanya karena itu. Selama darah tetap mengalir dan nafas masih dikandung badan, selama itulah jihad memulihkan ketergelinciran budaya maritim harus senantiasa diupayakan. Ki Bahri sering kali mengatakan pada dirinya sendiri, “Bila seorang nelayan kampung seperti saya yang kerdil strategi dan teori, masih dianugerahi ketegaran dan kemampuan melakukan gerakan kebangkitan maritim di kampung terpencil, haruskah Indonesia yang dikelola oleh jutaan ahli dan ilmuwan dengan dilengkapi berbagai macam perkembangan masih tetap memilih untuk berpangku tangan lantaran tak tahu apa yang harus diperbuat terhadap semua yang telah terjadi?”.
Sosok Ki Bahri hanyalah sebuah representasi dari sebuah gerakan kebangkitan budaya bahari dengan semangat modernisasi. Ki Bahri tidak mungkin berjalan sendiri. Perjuangan Ki Bahri bukanlah perjuangan pribadi, melainkan jihad setiap umat Ibu pertiwi. Bila
Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara
semua rakyat merapatkan barisan untuk “terlibat” dalam gerakan kebangkitan bahari, maka jangan salahkan Ki Bahri bila suatu saat kedaulatan Sriwijaya-Majapahit terulang kembali. Laut telah cukup lama menanti sebuah proyek penyadaran. Penyadaran merupakan bagian dari proyek kemanusiaan saat kebodohan menjadi watak pokok dari rakyat yang diwarnai penindasan, penghisapan, dan ketimpangan.
DAFTAR PUSTAKA Buku
Peursen. C. A. Van. 1976. Strategi Kebudayaan. Terj. Dick Hartoko. Yogyakarta: Kanisius
Suratman, dkk., 1959. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Malang: Intimedia.
Prawira, Purwa Atmaja. 1965. Psikologi Kepribadian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Wawancara(1)
Dengan Hasyim Asy’ri, salah seorang murid ngaji Ki Bahri pada tanggal 16 April 2015 pukul 20.45 WIB. Bertempat di Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa Blok D No. 11
Wawancara (2)
Dengan Ki Bahri melalui via telepon pada tanggal 12 Mei 2015 pukul 10.45 WIB.