KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1)

KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA

Bunga Rampai Lomba Esai Sosial Budaya Nasional 2015

Editor: M. Alie Humaedi dan Lukman Solihin

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta

Pasal 2 1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang imbul secara otomais setelah sesuatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana

Pasal 72 1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana

dimaksud Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat (1) bulan dan atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun penjara dan atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau

menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Penulis:

Ni Kadek Sri Jayanti | Elviga Arselatifa | Kadek Yuni Antari Ledy Fitra Ramadhani | Ahmad Irianto | Yonky Rizki Munandhar

Pradita Widyaningrum | Rifai Nuruddin | Dwi Suyoko Nur Mustaria Putri | Putu Chelsea Brelian Yeremias Apriliano Santoso | Saifir Rohman Pernando Pratama | Moh. Mahmud

Editor:

M. Alie Humaedi dan Lukman Solihin

Pengantar:

Kepala Puslitjakdikbud

PUSAT PENELITIAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA: Bunga Rampai Lomba Esai Sosial Budaya Nasional 2015 © Penulis, 2015

Editor | M. Alie Humaedi dan Lukman Solihin Penulis | Ni Kadek Sri Jayanti, dkk. Desain Sampul dan Isi | Dwi Pengkik Pemeriksa Aksara | Lukman Solihin dkk.

Cetakan 2015 Diterbitkan oleh:

Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Gedung E Lantai 19, Jl. Jenderal Sudirman-Senayan, Jakarta 12041 Telp. (021) 5725573 Fax. (021) 5725543

Bekerjasama dengan

Ifada Press (Anggota IKAPI)

Jl. Turen No. 240 KKN-54 Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman - Yogyakarta 55581 Mobile: 081359150899 (Fajar Saputro) Email: pustakaifada@gmail.com Website: www.ifadabooks.com

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) M. Alie Humaedi dan Lukman Solihin (Editor). KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA: Bunga Rampai Lomba Esai Sosial Budaya Nasional 2015 Cetakan I, Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. xliv + 180; 14 x 20.5 cm ISBN 978-602-73558-1-1

TIDAK DIPERJUALBELIKAN

Kata Pengantar

Hendarman

Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan

auh sebelum jalur transportasi darat merebut perhatian, jalur perairan telah berperan besar dalam menghubungkan satu daerah

dengan daerah lain, satu pulau dengan pulau yang lain. Perairan, di kala itu, dipersepsi sebagai jalan, bukan batas. Itulah mengapa rumah dan pusat-pusat kota mendekat dan menghadap ke jalur-jalur sungai dan pantai. Jalur perairan itu tidak hanya berfungsi sebagai alur perdagangan dan transportasi, melainkan juga berpengaruh besar terhadap kebudayaan dan peradaban.

Tetapi zaman kemudian berubah. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer menyebutnya sebagai “Arus Balik”, di mana terjadi kemunduran dalam budaya maritim Nusantara. Seturut dengan keruntuhan kerajaan-kerajaan maritim seperti Sriwijaya, Majapahit, Demak, Banten, Makassar, Aceh, dan kerajaan-kerajaan berbasis maritim lainnya yang timbul-tenggelam silih berganti, kemudian hanya menyisakan cerita bahwa nenek moyang kita adalah pelaut. Kemunduran budaya maritim terutama terjadi setelah VOC memonopoli perdagangan, dari Maluku, Makassar, Mataram, Banten, sampai pelabuhan-pelabuhan di bagian Sumatera lainnya.

Sejarawan Hilmar Farid (2014) menyebut era setelah keruntuhan kerajaan-kerajaan maritim itu sebagai “gerak memunggungi laut”.

Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara

Laut dianggap sebagai masa lalu dan perhatian lebih diarahkan kepada daratan. Kota-kota pun dibangun tidak dengan memuliakan jalur perairan. Padahal luas lautan Indonesia mencapai 3,2 juta kilometer persegi, dengan panjang pantai lebih dari 95.000 kilometer—terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Indonesia juga memiliki 17.000 lebih pulau dan diperkirakan lebih dari 60% penduduk Indonesia (160 juta) bermukim di pesisir. Sumber daya yang begitu besar itu sudah lama diabaikan untuk kemajuan dan kejayaan bangsa.

Visi Presiden Joko Widodo untuk membangun Poros Maritim Dunia patut disambut antusias. Laut kembali mendapat perhatian. Gagasan itu bertumpu pada imaji konektivitas antarlaut dan pulau sebagai penopang utama sektor pembangunan. Di sinilah kita perlu menelaah kembali ihwal budaya maritim untuk mengembalikan kejayaan bangsa. Berbagai aspek budaya maritim meneguhkan bahwa dunia maritim bukanlah pemisah, tetapi pemersatu keindonesiaan. Karenanya, Poros Maritim Dunia sebagaimana visi pemerintah bukan semata pembangunan infrastruktur pelabuhan dan tol laut, melainkan juga mendudukkan romantisme ketersambungan budaya antarpulau sebagai bagian semangat kejayaan bangsa.

Pertanyaannya, mampukah generasi muda memberikan tafsir kontekstual kebudayaan maritim untuk kepentingan masa depan kejayaan bangsa? Apa saja persoalan yang membelit budaya maritim sehingga kurang berkembang? Dan strategi apa yang bisa dilakukan agar budaya maritim dapat bangkit dan menjadi penyokong masa depan bangsa? Untuk menjawab berbagai persoalan itu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, yang telah berubah nomenklatur menjadi Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengundang pelajar SMA/sederajat untuk menuangkan gagasannya dalam Lomba Esai Sosial Budaya Nasional 2015 dengan tema: “Bentangan Laut Ribuan Pulau: Inovasi Budaya Maritim Nusantara”.

Kata Pengantar

Inovasi Budaya Maritim tidak hanya berkaitan dengan teknologi dan transportasi, melainkan menyangkut keseluruhan aspek budaya maritim. Melalui lomba esai ini, kami ingin memantik para pelajar untuk menggagas “inovasi budaya maritim”, agar potensi dunia maritim yang sudah ada dapat dimaknai ulang dengan pemikiran baru, dengan cara pandang yang dapat lebih memaksimalkan potensi yang ada demi kemajuan dunia maritim Indonesia.

Pada penyelenggaraan lomba tahun 2015, panitia telah mene- rima 683 esai. Setelah melalui tahap seleksi penilaian dari aspek administrasi maupun substansi, dewan juri kemudian memutuskan

15 finalis untuk diundang ke Jakarta, untuk mempresentasikan karya mereka. Melalui puncak perlombaan ini kemudian ditentukan para pemenang lomba.

Juara 1 dimenangkan oleh Ni Kadek Sri Jayanti dari SMAN Bali Mandara, Bali dengan esai berjudul “Simantri Pulihkan Penggarap Kristal Gurih Kusamba dalam Warna Tri Hita Karana”; Juara 2 diraih oleh Yeremias Apriliano Santoso dari SMA Seminari Pius XII Kisol, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur dengan esai berjudul “Kebhu: Kail Terakhir”; Juara 3 diraih oleh Putu Chelsea Brelian dari SMK Kesehatan Vidya Usadha Singaraja, Bali dengan esai berjudul “Menjaga Keharmonisan Nelayan Multietnik melalui Tradisi Petik Laut”; Juara Harapan 1 diperoleh oleh Ledy Fitra Ramadhani dari SMAN 1 Probolinggo, Jawa Timur dengan esai berjudul “Pendidikan sebagai Tonggak Poros Maritim Nusantara”; Juara Harapan 2 diraih oleh Nur Mustaria Putri dari SMAN 11 Unggulan Pinrang, Sulawesi Selatan dengan judul esai “Pelabuhan Lokal untuk Panen Raya Padi”; dan Juara Harapan 3 didapat oleh Kadek Yuni Antari dari SMAN Bali Mandara, Bali dengan esai berjudul “Revitalisasi Budaya Maritim: Bercermin dari Sekaa Nelayan Mina Bhakti Soansari“.

Penyelenggaraan lomba ini tidak akan berhasil tanpa bantuan banyak pihak. Terima kasih pertama disampaikan kepada Dr. Hurip Danu Ismadi selaku Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan yang telah mengawal lomba ini hingga terlaksana

Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara

dengan baik. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada Dinas Pendidikan tingkat Provinsi, LPMP, Perpustakaan Daerah, dan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) di seluruh Indonesia yang telah membantu menyebarluaskan informasi mengenai lomba ini kepada sekolah-sekolah dan siswa di wilayah kerja mereka. Begitu pula kepada Pusat Informasi dan Humas Kemdikbud yang telah membantu menampilkan informasi mengenai lomba ini di situs resmi kementerian, Sekretariat Balitbang Kemdikbud yang menampilkan informasi lomba di situs resmi Balitbang, serta berbagai situs dan blog yang dengan sukarela membantu menyebarluaskan informasi mengenai lomba ini. Melalui berbagai media informasi itu, cakupan peserta yang mengirim naskah esai dapat meluas dan merata hampir dari semua wilayah di Indonesia, dari Aceh hingga Papua.

Panitia juga berterima kasih terhadap dewan juri yang telah membantu proses seleksi dan penilaian lomba ini. Mereka antara lain Dr. M. Alie Humaedi (Peneliti PMB-LIPI), S. Dloyana Kusumah (Peneliti Senior Puslitbang Kebudayaan), Mulyawan Karim (Editor Kompas-Gramedia), Nendah Kurniasari (Peneliti Balitbang KKP), dan Syaiful Arif (Ahli Perikanan dan Kelautan). Para juri inilah yang telah mendedikasikan waktunya untuk menelaah, menilai, dan memilih 15 finalis lomba yang diundang ke Jakarta untuk mempresentasikan karya mereka.

Akhirnya, kami berharap lomba ini dapat menjadi sarana yang dapat memotivasi siswa untuk belajar dan meningkatkan kemampuan mereka dalam memahami persoalan-persoalan sosial, budaya, politik, ekonomi, serta menuangkannya ke dalam tulisan yang baik. Kami juga berkomitmen untuk melaksanakan lomba serupa di tahun depan dengan tema-tema yang lebih menarik dan menantang.

Selamat membaca.

Menjejak Kejayaan, Mendedah Keunggulan Inovasi Budaya Maritim

M. Alie Humaedi

Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Di sanalah, di sungai kecil itu, kapal-kapal besar pernah berlabuh. Di sanalah, bukti para blegendar Rembang berkuasa di atas lautan dan di atas daratan. Di sanalah, kuasa mereka sampai ke Jakarta dan wilayah Pasundan lainnya.

H. Yakup, Desa Tunggulsari, Rembang Jawa Tengah. 10 April 2010.

D i sungai kecil yang membelah desa Tunggulsari, dan menjadi

perbatasan antara Rembang dan Pati itu, dahulu menjadi bukti tentang kejayaan empat juragan besar nelayan Rembang. Mereka juga bisa disebut para blegendar desa, sebutan orang kaya yang menguasai lahan-lahan pertanian luas. Luar biasa, orang bisa menjadi nelayan, sekaligus menjadi petani pada satu waktu yang sama. Dalam aktivitas sosial ekonominya, mereka pun mampu melibatkan puluhan bahkan ratusan orang untuk bekerja dalam kapal dan sawahnya. Kapal-kapal besar dengan layar menjulang tinggi miliknya pernah bersandar ke sungai yang semakin menyempit itu. Kapal yang dinakhodainya sendiri atau didelegasikan kepada para pandega kepercayaan kemudian mengangkut beras, garam, kopi, ikan asin, kapuk, dan kayu jati hasil masyarakat Rembang, Blora

Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara

dan sekitarnya, untuk diantar ke Indramayu, Subang, Jakarta, dan Lampung. Sekembalinya dari sana, kapal pun kembali mengangkut peralatan rumah tangga, gula, dan barang-barang lain yang dianggap menguntungkan untuk dijual di Rembang dan sekitarnya.

Hubungan antardaerah melalui transportasi laut ini terus berlangsung sampai tahun 1970-an awal. Pasca-dekade itulah sarana transportasi darat modern sudah mulai muncul. Truk-truk engkel merk Mercedes Benz milik pengusaha-pengusaha Cirebon, Semarang, Kudus, dan Tuban telah tampak berseliweran di Jalan Pos pantai utara Jawa yang dibangun oleh Deandels di tahun 1809- 1810 sebelumnya (Halwani, 2012). Para pengusaha truk kemudian melabelkan nama “Putra Samudera”, “Putra Bahari”, “Samudera Harapan”, “Lautan Khazanah”, “Selamet Riyadi”, “Laksono”, dan lainnya pada dinding samping kanan-kirinya. Romantisme terhadap dunia bahari seakan tidak bisa hilang begitu saja dari benak para pengusaha lama yang mengalihkan perhatiannya ke transportasi darat atau para pengusaha baru bidang angkutan darat yang masih terpengaruh tentang kejayaan laut masa lalu. Mereka seolah berusaha menghubungkan dunia lautan dengan dunia daratan melalui truk sebagai pengganti dari kapal. Walaupun terkesan modern, namun mobil-mobil itu masih merayap pelan sepanjang jalan pantura.

Perampokan di atas truk atau biasa disebut “bajing loncat” pun ikut menghiasi fenomena transportasi darat, khususnya di wilayah Alas Roban Kendal, sampai tahun 1990-an. Fenomenanya hampir sama dengan berbagai aktivitas bajak laut atau lanun pada pelayaran kapal antar-pulau atau di beberapa wilayah yang dilakukan para pelaut ulung di masa lalu. Bajak laut, dalam makna sebenarnya adalah perampok, tetapi dapat menjadi identitas “pemberontak” atau malah menjadi “kelompok ratu adil” jika diperhadapkan dengan kepentingan para penjajah untuk menguasai perdagangan dan pelayaran di lautan Nusantara. Bajak laut akhirnya menjadi sejarah tersendiri di tengah keterkenalan masyarakat Nusantara sebagai pelaut ulung yang menjelajah dunia (Zuhdi, 2002). Para

Menjejak Kejayaan, Mendedah Keunggulan Inovasi Budaya Maritim

pelaut itu telah melintas batas dengan rute atau jalur rempah-rempah yang membentang dari Timur ke Barat ataupun dari Utara ke Selatan dengan berbagai gugusan pulaunya. Mereka juga menjejak kejayaannya pada rute atau jalur sutera yang dikenalkan oleh para pedagang Gujarat dan Cina di belahan bumi lainnya. Mitologi tentang “panji” yang berkembang di Kambodia, Laos, Vietnam, Thailand, Cina, Singapura, Malaysia, dan Myanmar menjadi bukti paling otentik jejak-jejak pelaut Nusantara ikut melintas di wilayah jalur Sutera ini.

Setiap aktivitas transportasi, baik di lautan ataupun daratan, umumnya memiliki tempat-tempat persinggahan yang dianggap aman dan nyaman bagi para pelakunya. Pelabuhan-pelabuhan besar dianggap sebagai perhentian yang penting, karena di sanalah proses dari distribusi dan supply berbagai hasil bumi dan produksi diperdagangkan. Namun, dalam catatan sejarah, tidak semua persinggahan itu adalah wilayah pelabuhan, tetapi juga mencakup tempat-tempat yang dianggap memberikan daya dukung akomodasi dan memiliki mitologinya sendiri yang diyakini membawa manfaat bagi aktivitas pelayarannya akan sering kali dikunjungi. Beberapa pulau kecil di Jawa, seperti Bawean dan Karimun menjadi tempat persinggahan itu. Demikian juga beberapa desa di sepanjang garis pantai laut Jawa pun dianggap memiliki mitologi yang dapat menguntungkan para perihlah itu. Seperti pada pelayaran laut, desa Gebang di sekitar perbatasan Cirebon-Losari misalnya, menjadi tempat favorit istirahat para transporter darat. Desa ini dahulu digunakan para pelaut Jawa Tengah dan Jawa Timur yang hendak menuju Batavia, Jakarta, wilayah lain di Jawa Barat, Banten, Lampung, dan bagian pulau Sumatera lainnya. Di sanalah, para perihlah ini mengisi perbekalannya. Mata air artesis (bor) buatan Belanda dekat jembatan Mas-kumambang yang diwarnai oleh legenda Sultan Sutawijaya, sebagai bagian tidak terpisahkan dari perjuangan Sultan Agung dari Mataram, merupakan pelepas dahaga yang diidamkan para pelaut, supir truk, dan pengguna moda transportasi lainnya.

Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara

Aktivitas di jalan pantai utara Jawa pada akhirnya semakin ramai, terlebih ketika transportasi bus yang dimotori oleh para pengusaha dari Moga, sebuah desa di pedalaman Tegal; dan disusul oleh pengusaha yang berasal dari Slawi, Pemalang, dan Pekalongan mulai membuka rute-rute baru dari Timur ke Barat.

Seiring semaraknya transportasi darat, pelayaran laut para blegendar Rembang dan wilayah-wilayah lain pun sedikit demi sedikit menyusut. Namun, tanda-tanda kejayaan mereka masih tertoreh jelas, baik di daerah asalnya, ataupun di wilayah-wilayah hampirannya. Banyak daerah pinggiran di wilayah Jawa Barat kemudian dinamai dengan nama-nama Jawa, dan menjadi enclave- enclave orang Jawa, ataupun enclave para penutur bahasa yang disebut-sebut sebagai bahasa Jawa Koek itu. Perkawinan silang budaya antara orang Jawa dan Sunda di berbagai wilayah pinggiran laut Jawa Barat, Jakarta, Banten dan Lampung menjadi bukti adanya hubungan intens pelayaran yang berlangsung lama. Bahkan, di beberapa wilayah itu, masih ada bekas kapal-kapal kayu besar yang rusak, tenggelam dan dibiarkan begitu saja oleh para pemiliknya. Kapal kayu ini diduga milik para pelaut yang melintasi Laut Jawa pada periode 1800-1970-an. Kapal-kapal bekas seperti ini juga banyak tercecer di bagian-bagian pulau Sumatera. Kapal ini diduga peninggalan lama dari pelayaran laut yang dilakukan orang Jawa, Madura, dan Bugis, ketika mereka mengirimkan hasil bumi, ikan asin, dan garam ke bagian barat dan selatan pulau itu.

Asumsi sisa pelayaran laut seperti di atas dapat dibangun ketika distribusi produksi pulau Jawa dan wilayah lainnya terhubung oleh transportasi laut. Imam Syafii (2015) menyebutkan bahwa pada awal abad XIX pengiriman dan perdagangan garam orang Madura telah sampai ke pulau Kalimantan, bahkan menyentuh wilayah perbatasan-perbatasan antar-negara. Di sanalah mereka kemudian membangun permukiman, berjumpa, dan bahkan pada akhirnya dianggap “menguasai” wilayah dan sumber daya orang setempat, sehingga beberapa konflik primordial pun sering kali terjadi.

Menjejak Kejayaan, Mendedah Keunggulan Inovasi Budaya Maritim

Pasca-reformasi, tepatnya di tahun 2001-2004, konflik etnik antara Madura dan Dayak benar-benar sampai pada puncaknya. Ribuan manusia menjadi korban dari konflik itu, dan di beberapa wilayah orang Madura pun terusir dari wilayah Kalimantan yang beberapa wilayahnya dibuka oleh leluhur sebelumnya. Dari kasus ini, dapatlah dinyatakan bahwa pelayaran laut di Nusantara dahulu bukanlah semata urusan ekonomi pemenuh kebutuhan hidup manusia saja, tetapi juga relasi sosial budaya bahkan politik di antara berbagai komunitas yang tumbuh kembang bersama di berbagai wilayah yang menjadi rute pelayaran itu.

Kehadiran para juragan Rembang di wilayah-wilayah Priangan (Pasundan) sebagaimana cerita di atas seolah menjadi cerita lanjutan dari perjuangan Sultan Agung yang hendak menyerang Batavia di abad XVII (Tahun 1628 dan 1629). Perbedaannya terletak pada motif, tujuan, dan caranya. Sultan Agung memiliki kepentingan menguasai Batavia, karena di sanalah pusat penjajahan seluruh Nusantara berada, dan harus dihancurkan jika ingin terlepas dari penjajahan (Bertrand, 2011). Pengerahan pasukan dengan teknik-teknik kemiliteran pun dilakukan sedemikian rupa, baik melalui darat ataupun laut. Sayangnya, Sultan Agung mengalami kegagalan dalam dua kali serangannya. Kegagalan serangan pertama disebabkan oleh adanya pembakaran lumbung-lumbung padi yang dilakukan Belanda beserta mata-matanya. Lumbung padi ini dipersiapkan untuk menjadi pos bantuan dan perlengkapan pasukan yang menuju Batavia. Ribuan pasukan akhirnya mengalami kelaparan dan tercerai-berai sebelum sampai ke Batavia. Sementara kegagalan serangan kedua disebabkan kalah besarnya jumlah pasukan, karena Belanda juga mendapatkan bantuan dari wilayah Banten dan beberapa kerajaan di Priangan.

Bukti adanya serangan dan tercerai-berainya pasukan Sultan Agung Mataram ini direkam sedemikian rupa oleh masyarakat di sepanjang jalur atau rute Serangan antara Demak, Semarang, Pekalongan, Tegal, Cirebon, Indramayu, Subang, Kerawang,

Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara

Jatinegara, dan lainnya. Banyak nama kampung dihubungkan dengan sejarah serangan itu, bahkan enclave “Jawa Pemberontakan” muncul di berbagai wilayah Priangan secara jelas. Wilayah di Desa Betok Mati, Kecamatan Cilemaya, Karawang yang benar-benar berada di wilayah pinggiran laut Jawa akhirnya menjadi salah satu tempat pelarian pasukan Sultan Agung. Belum ditambah dengan Desa Purwodadi di Sukamandi, Subang pun tidak lepas dari sejarah penyerangan Sultan Agung ke Batavia. Bahkan kata-kata yang menyiratkan adanya pelarian pasukan ini pun dikenal oleh masyarakat setempat. Kata “jombret” yang disebut “lari paksa” dan kemudian menjadi kelompok pemberontak menjadi bukti adanya hubungan politik dan sosial di masal lalu itu. Bahkan dalam penelitian Humaedi (2004) selama tiga tahun (2000-2002) di sepanjang pantai utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, telah menemukan bahwa sisa- sisa pasukan penyerang telah memberi pengaruh terhadap konsepsi dan praktik kesenian dombret dan ronggeng yang sebelumnya memang dikenal oleh masyarakat Pasundan.

Sementara itu, para saudagar, juragan dan blegendar dari wilayah Jawa memiliki motif perdagangan murni yang benar- benar didasarkan pada mekanisme pasar, walaupun imbasnya juga tercakupi pada bidang sosial budaya dari dua atau lebih kelompok- kelompok masyarakat yang berjumpa. Fenomena pertemuan budaya tersebut menghasilkan keunikannya sendiri. Dari sisi kebudayaan immaterial , wilayah pesisir Cirebon, Indramayu, Subang, Karawang, Jakarta, Banten, Lampung, dan Bangka Belitung merupakan wilayah-wilayah para penutur bahasa Jawa, meskipun mayoritas di wilayahnya itu adalah para penutur bahasa ibunya, seperti bahasa Sunda, bahasa Betawi, bahasa Lampung, ataupun bahasa Bangka Belitung. Fenomena pertemuan budaya dari hasil pelayaran laut yang mirip dengan fenomena orang Jawa dan orang Sunda di atas juga terjadi pada kasus pertemuan antara orang Jawa Timur di bagian tengah dan timur dengan orang-orang Madura. Banyak wilayah di Jawa Timur yang pada akhirnya menjadi kantong-kantong

Menjejak Kejayaan, Mendedah Keunggulan Inovasi Budaya Maritim

permukiman orang Madura. Fenomena ‘Wong Lumpur’, sebagai komunitas pertemuan antara orang Jawa Giri Gresik dan Madura yang memunculkan corak kebudayaan dan bahasa tersendiri sering kali terlihat di beberapa wilayah (Humaedi, 2013).

Dari sisi kebudayaan material, perahu-perahu yang dihasilkan dari industri rumahan di atas blandongan (tempat pembuatan perahu) di sepanjang pantai utara Jawa Barat memiliki kesamaan bentuk dan nama-nama bagian dari perahu-perahu yang dibuat oleh pengrajin di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bentuk perahu jukung dengan gemplo (bagian depan perahu) yang berdiameter setengah bulatan dan bagian cermodi (kemudi bagian belakang) yang menirus benar-benar menunjukkan kesamaan alih teknologi. Kesamaan lain adalah jenis dan sistem penggunaan jaring dalam teknologi alat tangkap. Selain bagang atau rumpon yang dikenalkan oleh para nelayan Bugis, penggunaan jaring plastik dalam bentuk ring-ring yang dikhususkan untuk penangkapan udang dan ikan pun sama persis. Tidak hanya perahu, tetapi juga teknologi yang digunakan dalam proses pembuatan ikan asin dan pembuatan garam pun sama persis dari satu wilayah ke wilayah lain.

Dari seluruh inovasi budaya maritim yang sama ini, kadang terpikir, kira-kira siapa yang pertama kali membuat teknologi itu? Apakah teknologi yang ada juga merupakan hasil alih teknologi dari wilayah lain ataukah benar-benar baru, sebagai hasil daya, karya, dan karsa para pelaku di zona lingkungannya sendiri. Karena jika dibandingkan antara satu daerah dengan daerah lain di sepanjang pantai utara Jawa sampai Madura, teknologi alat tangkap, pelayaran, pengasinan ikan dan pembuatan garam hampir sama. Artinya, teknologi ini memang ditemukan oleh orang-orang yang berasal dari suatu wilayah dan kemudian ditransmisikan kepada kelompok masyarakat lain, karena semata tuntutan kebutuhan. Contoh paling akurat, ketika teknologi kincir angin sederhana untuk pemompaan air laut ke ladang garam dikenalkan pertama kali oleh petani garam di Rembang, maka teknologi itu kemudian berkembang dan

Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara

menyebar ke seluruh wilayah pantai utara Jawa. Pada tahun 1988- an, teknologi ini setidaknya dapat membantu mengurangi tenaga para peladang garam. Mereka sebelumnya menggunakan sistem gobagan atau timba, untuk mengalirkan atau mengangkat air laut yang umumnya berada di bawah permukaan ladang garam untuk naik dan menjadi bahan utama garam. Gobagan sendiri adalah suatu alat sederhana yang terbuat dari keranjang bambu yang sudah diaspal, dan dihubungkan dengan sebuah bambu panjang ukuran 4-5 meter. Alat ini sepenuhnya digerakkan oleh tenaga manusia.

Menelisik Geohistoris Lautan dan Kebudayaannya

Kebudayaan immaterial dan kebudayaan material yang dihasilkan dari perjumpaan berbagai komunitas laut setidaknya menggambarkan bahwa lautan Indonesia sebenarnya juga berfungsi sebagai alat untuk menyatukan warga negaranya. Fenomena per- jumpaan dan ketersambungan antar-berbagai kelompok masyarakat sebagai buah pelayaran laut juga telah menjadikan Indonesia memiliki karakternya sendiri dalam geohistoris kebudayaannya. Ikatan kebudayaan inilah yang menjadi kekuatan besar dari identitas kebangsaan dan peneguhan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Aspek-aspek kebudayaan seperti itu tidak dapat dinafikan dalam pembangunan konektivitas berbasiskan laut sebagaimana didengungkan pemerintahan Joko Widodo sekarang ini. Geohistoris Indonesia di masa lalu sesungguhnya telah melansirkan secara penuh kepada generasi Indonesia baru bahwa betapa luasnya negeri kepulauan Indonesia. Kesadaran ini pula akan menunjukkan betapa besar tanggung jawab warganya untuk saling mengikatkan diri pada konsepsi negara bangsa, serta memahami berbagai suku dan daerah beserta kebudayaan yang hidup di dalamnya.

Kebangsaan, termasuk di dalamnya keindonesiaan dalam arti kebudayaan, senantiasa mengandung rumusan geohistoris yang mengingatkan kembali kisah-kisah sejarah berbasis pada

Menjejak Kejayaan, Mendedah Keunggulan Inovasi Budaya Maritim

geografi. Jika rumusan ini diletakkan pada ranah kelautan atau kemaritiman, maka sesungguhnya lautan bukanlah merupakan sarana pemisah dari berbagai kelompok suku di Nusantara, tetapi sepatutnya menjadi alat pemersatu. Batas-batas dari ribuan gugusan pulau tidak akan menjadi sekat pemisah untuk membentuk dan membangun keindonesiaan. Hubungan perniagaan dan sosial ekonomi berbasiskan jaringan tradisional dan kekerabatan, sebagaimana temuan berbagai penelitian misalnya, merupakan salah satu fenomena yang mengekalkan keindonesiaan itu. Hubungan yang ada telah terjalin kuat di antara masyarakat di satu pantai dengan pantai lain, bahkan jauh lebih agresif dibandingkan hubungan di antara suatu kota dengan kota lain di pulau yang sama. Rekaman sejarah telah menunjukkan bagaimana Pelabuhan Surabaya (Tanjung Perak) di Pulau Jawa dan Pelabuhan Makassar di Pulau Sulawesi, serta beberapa pelabuhan lain di belahan tengah dan timur wilayah Indonesia telah membangun jaringan secara intens di masa lalu hingga sekarang. Demikian pula, pelabuhan Semarang (Tanjung Emas) telah mengadakan hubungan aktif dengan pelabuhan di Banjarmasin, Balikpapan, Bangka Belitung, dan sebagainya. Bahkan, beberapa masyarakat di pulau-pulau kecil seperti Bawean, Gili, Masalembu, Kangean, dan pulau lainnya di Madura pernah dicatat secara langsung mengadakan hubungan perdagangan dengan pulau-pulau lainnya di Pulau Sumatera, Kalimantan, Maluku, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, bahkan Malaysia dan Singapura. Hal ini juga menunjukkan bahwa pembangunan jaringan sosial ekonomi pada ranah kemaritiman tidak hanya dilakukan oleh “pelabuhan resmi,” tetapi juga pelabuhan-pelabuhan tradisional yang mengandalkan hubungan kekerabatan atau jaringan tradisional lainnya.

Pembangunan sosial ekonomi dari jaringan pelayaran laut telah mengungkapkan penjelasan-penjelasan tentang ikatan-ikatan persaudaraan lama dan menjadi jalan setapak bagi ide kebangsaan dan penyusunan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara

Dalam sejarahnya, ada lima bentangan wilayah geohistoris ke indo- nesiaan berbasiskan pada geografi kelautan yang pada akhirnya juga memunculkan kekayaan kebudayaan maritim (Humaedi & Hakam, 2014).

Daerah geohistoris pertama mencakup kedua sisi Selat Malaka. Wilayah ini meliputi daerah pantai timur Sumatera dan pantai barat Semenanjung Malaya. Pertikaian antara Inggris dan

Belanda pada abad ke-19 telah memisahkan kedua daerah tersebut dengan mengaitkan masing-masing pada dua kelompok entitas politik berbeda, Hindia-Belanda dan Malaya Britania. Seturut itu, dinamika sosial politik yang tinggi di antara kerajaan-kerajaan yang ada beserta kelompok etnik yang berbeda telah melahirkan berbagai peradaban yang cukup tinggi pula. Semangat dagang dan modernisme berkembang di kedua sisi selat, dan termasuk tumbuh kembangnya komunitas-komunitas Cina. Merekalah yang menjadi pelopor yang juga ikut membangun sebuah kebudayaan perkotaan. Wilayah geohistoris pertama ini, selain sebagai pintu keluar dari jalur rempah-rempah yang dikenal oleh komunitas-komunitas pelaut di Nusantara, wilayah ini pun mendapatkan pengaruh kuat dari hubungannya dengan bangsa lain yang melintas-batas pada jalur sutera yang menghubungkan antara Nusantara dengan wilayah- wilayah lainnya di Indocina dan India.

Daerah geohistoris kedua mencakup kedua sisi Selat Sunda meliputi Lampung di bagian selatan Sumatera dan Banten di bagian barat Pulau Jawa. Jaringan antara daerah di dua selat itu terhubung oleh pelayaran laut yang melintasi selat Sunda. Walaupun berbagai dokumen sejarah hanya menyebutkan peran dari pelayaran laut yang dilakukan secara resmi oleh KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij ), suatu perusahan kapal milik Belanda, namun hal itu tidak menafikan kehadiran dan peran para nelayan tradisional yang melakukan pelayaran laut untuk perdagangan hasil bumi. Bahkan, pelayaran laut tradisional pelaut Madura yang mengirimkan garam ke Sumatera masih berlangsung hingga tahun 1980-an. Disebut-sebut,

Menjejak Kejayaan, Mendedah Keunggulan Inovasi Budaya Maritim

bahwa selat Sunda ini merupakan “selat pertarungan kedua antara kekuatan kolonial dengan kaum pribumi, setelah selat Malaka” yang keadaannya berlangsung hingga kini. Jika sebelumnya pertarungan itu dilakukan oleh Dipati Ukur, Sultan Agung, dan lainnya melawan penjajah, maka sekarang perlawanan itu dilakukan antara pengusaha pribumi dengan pengusaha Tiongkok yang berencana menanamkan investasi ratusan triliun pada proyek pembangunan jembatan Selat Sunda yang menghubungkan antara Sumatera dan Jawa itu.

Panasnya pertarungan di lautan, juga ikut memanaskan atau setidaknya menjadi bukti adanya eskalasi yang cukup tinggi di wilayah daratannya. Daerah-daerah darat di antara dua selat ini disebut-sebut sebagai salah satu ilustrasi dari bentangan Bukit Barisan, suatu bentangan yang tidak hanya berdampak secara geografis, tetapi juga berdampak pada karakter kebudayaannya. Penyatuan kedua daerah itu secara politik terjadi dengan berkembangnya Kesultanan Banten pada abad ke-16 dan ke-17. Konektivitas di antara dua selat itu telah menciptakan karakter kebudayaan yang sama, khususnya di wilayah “kebudayaan Banten” yang mencakupi Lampung di dalamnya. Sistem kerajaan dan pembagian wilayah di Lampung sebelum merebaknya program kolonisasi dan transmigrasi mengikuti model kerajaan Banten, walaupun pengaruh dari kerajaan Palembang juga terlihat di Lampung. Hubungan lama antara Banten dan Lampung kemudian sering dimanfaatkan secara sosial dan politik hingga kini, meskipun ada kesan kuat masih bersifat primordial. Konflik Balinuraga pada tahun 2013 pun tidak terlepas dari pengaruh hubungan geohistoris ini (Humaedi, 2014).

Daerah geohistoris ketiga ada di kedua sisi Laut Jawa. Bagian selatan Pulau Kalimantan terintegrasi dengan Pulau Jawa. Daerah itu merupakan satu-satunya daerah di pulau besar yang memiliki kepadatan penduduk dengan tingkat tinggi dan pada dasarnya terdiri atas pendatang yang sebagian besar berasal dari Jawa. Berbagai Hikayat Banjar telah menjelaskan hubungan lama antara Banjar dengan Jawa sejak zaman Majapahit. Hubungan laut antara

Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara

masyarakat Jawa dan Kalimantan benar-benar terlihat, baik dalam bentuk kebudayaan material ataupun non-material sebagaimana diceritakan di atas. Daerah geohistoris inilah yang bisa dikatakan paling semarak, dan termasuk di dalamnya paling complicated. Berbagai suku seperti Jawa, Madura, Bugis, Makassar, Melayu, dan Cina terlibat aktif di dalam jejaring pelayaran laut itu. Suku Dayak dan Sunda, dua suku yang bisa disebut sebagai kelompok suku yang menguasai alur-alur sungai yang bermuara ke lautan, kemudian menjadi kelompok-kelompok pendukung dari pelayaran laut bebas yang dilakukan banyak suku itu. Hasil bumi di wilayah-wilayah pedalaman diantarkan sebagai komoditas perdagangan. Artinya, melalui pelayaran laut, khususnya di wilayah geohistoris ketiga, ikatan berbagai suku pun sesungguhnya telah terbangun lama.

Daerah geohistoris keempat berada di Selat Makassar. Laut telah menghubungkan Makassar dengan daerah-daerah di Indonesia tengah dan timur. Banyak pelabuhan didirikan oleh pedagang- pedagang Bugis dan di bawah kekuasan Kesultanan Makassar. Kekuasaan dan pengaruhnya membentang dari Pulau Selayar, Samarinda dan Kutai (bagian timur Kalimantan) dan Sumbawa (di Kepulauan Nusa Tenggara). Bahkan beberapa pusat perdagangan di berbagai pulau kecil dan terpencil di sekitar Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, dan Papua dibuka oleh mereka. Mereka juga dikenal aktif membuka pulau-pulau yang tidak berpenghuni. Pemerintah Kolonial Belanda selanjutnya melestarikan kenangan imperium itu dengan memasukkan bentangan wilayah itu ke dalam daerah administratif Zuid-Celebes en onderhorigheden, Sulawesi Selatan dan negeri-negeri di bawahnya.

Di wilayah geohistoris inilah pengaruh kebudayaan Bugis- Makassar terlihat jelas, bahkan termasuk di Pulau Tareweng dan Alor yang berbatasan dengan Timor Leste dan Australia. Pulau-pulau kecil lain di Nusa Tenggara Timur, semisal Palue (tempat gunung Rokatenda berada), Alor kecil, Pura, Pulau Ternate, dan Pulau Buaya telah melansirkan diri bagaimana orang Bugis dan Makassar ikut

Menjejak Kejayaan, Mendedah Keunggulan Inovasi Budaya Maritim

berperan membuka dan mengembangkan wilayah-wilayah tidak tersentuh. Tradisi kuliner, pembuatan minuman lokal (sofi-sofi, laru, saguer ), perkawinan, dan arsitektur rumah memiliki kemiripan dengan asal para pelautnya. Bahkan, masyarakat di Pulau Palue yang dianggap sebagai “orang gunung” dan tidak memiliki daratan seluas lapangan bola sekalipun di pulaunya, menjadi kelompok masyarakat yang memiliki tradisi pembuatan perahu yang paling terkenal di sepanjang NTT. Ada dugaan kuat bahwa asal mula leluhurnya berasal dari Bugis Makassar. Kalaupun tidak, setidaknya mendapatkan pengaruh dari para pelaut Bugis yang datang ke pulau ini. Dugaan ini diperkuat dengan cerita rakyat dan mitologi yang berkembang di sana sampai sekarang. Apalagi beberapa pulau di sekitar Pulau Palue, seperti Pulau Besar, Pulau Kambingan, dan lainnya lebih banyak dihuni oleh orang-orang Bugis-Makassar. Bahkan, ada satu pulau khusus yang benar-benar berada di tengah lautan, dan menjadi tempat transit dari pelayaran laut ke seluruh pulau yang ada di Selat Maumere itu dihuni oleh orang Bajo. Artinya, tidak mustahil kelompok Bajo, Bugis, dan Makassar dari wilayah-wilayah sekitar atau mereka yang langsung berasal dari Pulau Celebesnya membuka Pulau Palue itu. Sayangnya, dugaan ini kalah kuat dengan hasil penelitian Vischer (2009) yang menyatakan bahwa Orang Palue memiliki kedekatan etnik dengan suku (dan penutur bahasa) Lio di Kabupaten Sikka. Pernyataan ini dihubungkan dengan adanya kemiripan sosiolinguistik, antara orang Palue dengan orang Lio. Terlebih ketika banyak ilmuwan menghubungkan asal mula orang Palue ini dengan kristenisasi atau katolikisasi yang berkembang di sana. Seandainya ia berasal dari kelompok Bugis-Makassar, maka sedikit mustahil mereka akan beragama Katolik.

Penguasaan terhadap wilayah geohistoris keempat ini telah menjadikan suku Bugis-Makassar sebagai suku pelaut ulung yang mampu menguasai lautan. Selain menguasai perdagangan di wilayah-wilayah penopangnya, mereka pun menguasai teknologi untuk mendukung kejayaan pada pelayaran lautnya. Perahu Sandek

Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara

dan Phinisi dengan keragaman layar, serta inovasi alat tangkapnya telah menjadi bukti kuat bahwa suku ini pernah berjaya di lautan. Bahkan, kemampuannya telah mengalahkan kelompok etnik Madura yang dikenal lebih dahulu menguasai lautan, dalam arti wilayah, pelayaran ataupun teknologi. Ilustrasi kekalahan etnik Madura di atas lautan kemudian dimunculkan dalam berbagai bentuk candaan dan simbolisasi lainnya. Gerobak sate orang Madura yang berbentuk perahu sering kali dinyinyir sebagai bentuk kekalahan mereka di lautan. Asumsinya, jika di lautan mereka kalah dengan orang Bugis, maka setidaknya mereka akan menguasai daratan dengan perahu itu. Kontestasi penguasaan pelayaran laut di wilayah geohistoris ini masih tetap berlangsung hingga kini. Berbagai macam kejadian tragis antara orang Bugis dan Madura di wilayah pelabuhan diduga memiliki korelasi kuat dengan sejarah sebelumnya.

Terakhir, daerah geohistoris kelima berada di Laut Maluku berbatasan dengan Kepulauan Filipina dekat dengan Mindanao dan Sulu, mencakup pulau rempah-rempah: Banda, Ambon, Seram, Buru, Ternate, Tidore, Papua, dan Manado. Manado lebih menjadi bagian dari lingkungan ini ketimbang Sulawesi walaupun terletak di ujung Pulau Sulawesi. Selain itu kekuasaan dalam arti politik dan sosial kebudayaan Kerajaan Ternate tertanam kuat di wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara (Barat dan Timur), dan sebagian besar pulau Papua. Ternate kemudian menjadi basis penyebaran Islam ke wilayah-wilayah yang didominasi penjajah yang menyebarkan agama Kristen. Tidak hanya itu, hukum kerajaan pun digunakan sebagai standar penting penyusunan hukum adat di berbagai komunitas adat, walaupun berada di pedalaman hutan sekalipun. Temuan penelitian tentang penggunaan givu ada bayar (hukuman denda) yang menggantikan sakumpuli (hukuman mati) di masyarakat pedalaman Tau Taa Vana di Tojo Una-una Sulawesi Tengah menjadi ilustrasi bahwa kekuasaan Ternate yang telah imajiner tersebut masih berperan kuat di wilayah geohistorisnya, dan bahkan di luar wilayah geohistorisnya (Humaedi, 2012).

Menjejak Kejayaan, Mendedah Keunggulan Inovasi Budaya Maritim

Pelayaran laut ke wilayah-wilayah geohistoris di atas menjadi pilihan paling penting dilakukan masyarakat sampai sekarang. Kapal-kapal kayu dengan segala modelnya; jukung, kepiting, klotok, sandek, tongkang , dan lainnya, masih hilir mudik melintasi pulau- pulau kecil dan besar yang berada di wilayah geohistoris ini. Para pelautnya pun rata-rata terdiri dari kelompok etnik yang menguasai wilayah geohistoris keempat, dengan bukti adanya inovasi pelayaran dan alat tangkap yang sama persis. Hal paling sering dilupakan adalah hubungan antara pelayaran laut dengan pengembangan agama. Islamisasi sering kali terjadi pada masyarakat di pulau-pulau kecil atau di wilayah pantai. Aktivitas keagamaan yang dilakukan para pelaut di wilayah Indonesia tengah dan timur ini setidaknya ikut meramaikan dinamika sosial keagamaan yang selama beberapa abad sebelumnya didominasi oleh kelompok misi Katolik.

Dalam konteks kemaritiman, pengembangan agama Islam sepertinya tidak bisa dilepaskan dari aktivitas pelayaran laut. Banyak pelaut dan pedagang yang merangkap menjadi juru dakwah di berbagai tempat. Sebaliknya, dalam konteks daratan, aktivitas penyebaran keagamaan Kristen lebih tampak ketimbang keagamaan Islam. Pembangunan rel kereta api di sepanjang Pulau Jawa, misalnya telah melahirkan aktivitas gereformeerd ing jawi tengah sisi kidoel; kristen kerasulan Jawa baik melalui jaringan Kiai Tunggul Wulung ataupun Kiai Sadrach, gereja Hevromd di dataran tinggi Dieng dan Banyumas, dan lainnya. Demikian juga pembangunan Jalan Pos Deandels juga melahirkan banyak aktivitas Kristen di sepanjang pedesaan Jawa pasca-beroperasinya Jalan Pos tersebut. Penambahan jumlah penduduk pribumi yang masuk ke agama Kristen terlihat jelas pasca-pembangunan dua infrastruktur masterpiece yang didaulat Belanda untuk mendukung kebijakan tanam paksa itu. Daya dukung politik tanam paksa ini sering kali dialihkan sebagai bagian dari implementasi politik etis van Deventer yang mengikuti dua program lainnya, irigasi dan transmigrasi (kolonisasi).

Dunia maritim keindonesiaan yang ditunjukkan dengan ber- bagai fenomena yang hidup pada lima wilayah geohistoris di atas

Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara

sesungguhnya melahirkan dinamikanya sendiri. Kekayaan khazanah kebudayaan lahir di sana, dan pengaruhnya pun sampai masuk ke wilayah pedalaman yang notabene-nya adalah dunia agraris, yang disebut oleh Fachry Ali sebagai kelompok sawah (1996). Oleh karena itulah, berbicara tentang dunia kemaritiman dalam konteks Indonesia pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan wilayah-wilayah pendukungnya di pedalaman. Hasil bumi yang berada di wilayah pedalaman harus didistribusikan ke berbagai wilayah melalui pelayaran laut. Hubungan perdagangan antara wilayah pedalaman dan pesisir inilah yang melahirkan sistem muge, bakul , ataupun tauke, di mana kemampuan pengumpulan barang dan distribusi hasil menjadi peran pentingnya.

Di masa lalu, para saudagar Aceh dan Bugis dikenal menguasai jaringan pada tingkat distribusi ini. Namun, sedikit demi sedikit, peran mereka terus menyusut dan orang Cina akhirnya menguasai jaringan distribusi hasil bumi di berbagai wilayah. Bahkan, aktivitas perdagangan orang Cina di Jawa telah berlangsung lama, dan diduga sebelum kolonisasi aktivitas mereka telah berlangsung. Di masa kolonisasi, aktivitas perdagangan mereka kemudian dilindungi, karena dianggap menjadi mitra penting dalam pengumpulan produksi di wilayah jajahan. Penjajah Belanda tidak segan-segan menempatkan kelompok etnik Cina sebagai kelompok kelas kedua di bawah bangsa Eropa. Sebaliknya, perlakuan berbeda dialami oleh kelompok etnik pribumi yang diposisikan sebagai kelas inlander. Bahkan, dalam manuskrip tahun 1930-an, disebutkan bahwa kelompok inlander ini bisa disebut sebagai “manusia kerbau”, sebuah pengibaratan “kerja menarik gerobak,” karena bertugas khusus untuk menjadi “kelompok pekerja” yang mendukung aktivitas perdagangan Cina dan penjajahan Belanda. Pada masa-masa itu, stratifikasi sosial dan pekerjaan sangat terhubung dengan identifikasi etnik.

Pelayaran laut beserta aktivitas di pelabuhan-pelabuhannya telah membawa banyak pengaruh bagi masyarakat di wilayah pedalamannya. Frank Broeze dalam buku Brides of the Sea:

Menjejak Kejayaan, Mendedah Keunggulan Inovasi Budaya Maritim

Port Cities of Asia from the 16th-20th Centuries, sampai-sampai menyatakan bahwa sekalipun suatu pelabuhan surut atau memudar

aktivitasnya, bukan berarti ia juga menyurutkan jejaring kebuda- yaan yang sebelumnya telah hadir dan dibentuk bersama dengan pertumbuhan pelabuhan. Banyak produk kebudayaan beserta aspeknya yang tetap dimiliki dan diakui oleh masyarakat di wilayah itu. Proses inilah yang disebut sebagai cradle of culture (simpul atau jejaring kebudayaan). Ia kemudian memperkuat fenomena ini dengan mengaitkannya pada hubungan berbagai komunitas sebagaimana disebutkan di atas. Jaringan dan pertumbuhan ekonomi pada wilayah tertentu, khususnya di masyarakat pesisir, juga akan memengaruhi kehidupan masyarakat lainnya. Menurut Frank Broeze (1989), setidaknya ada tiga aspek yang dapat dilihat. Pertama , melihat perkembangan suatu wilayah berdasarkan dimensi internal dan eksternal. Kedua, melihat hubungan antara wilayah pesisir dengan wilayah pemasok lainnya. Ketiga, melihat hubungan kekuasaan (politik, ekonomi, dan sosial) dari kelompok elite dengan kelompok lainnya. Ketiga aspek ini harus dibaca bersamaan dalam melihat pertumbuhan lima wilayah geohistoris di atas, termasuk juga harus melihat masyarakat agrarisnya, dan kelompok masyarakat pendukung lainnya di satu wilayah ataupun wilayah lain yang terhubung dengan aktivitas pelayaran laut itu.

Pada akhirnya, jika berbagai fenomena kemaritiman di atas ditarik pada konteks inovasi budaya yang tidak melulu dimengerti sebagai teknologi (terap guna), maka kita harus melihat bahwa pulau-pulau besar, seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua yang ada di Nusantara ini sebagai satu kesatuan geografis yang saling terhubung dan memberikan pengaruh satu dengan lainnya. Jejaring kebudayaan itu merupakan visi yang berasal dari penjelajah-penjelajah tradisional dan kemudian diterjemahkan oleh penjelajah (penjajah) asing dalam pembentukan negara-bangsa Indonesia. Konektivitas di antara mereka telah menciptakan silang budaya yang unik, dan termasuk meneguhkan semangat kebangsaan.

Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara

Setiap gerak hubungan yang tertuang dalam kebudayaan material dan kebudayaan nonmaterial juga ikut menyiratkan maksud mendalam tentang suatu kebangsaan. Dengan demikian, mengikat kesatuan negara-bangsa atau mendorong kejayaan negara, berarti juga perlu memahami visi dan falsafah awal dari ikatan kebangsaan berbasiskan pada jaringan laut beserta poros maritimnya.

Sayangnya, kesadaran atas pentingnya konektivitas beserta inovasi budaya berbasiskan maritim keindonesiaan ini lebih lambat dibandingkan Tiongkok. Dua tahun terakhir ini, Tiongkok telah berseru keras tentang semangat “Kejayaan Tiongkok” berdasarkan strategi yuja lu, “beda jalur, satu ikatan”, atau biasa disebut “jalur sutra modern” . Romantisme kejayaan Cina masa lalu benar-benar digunakan untuk memotivasi semangat produktivitas dan daya saing masyarakat Cina kekinian. Romantisme ini pun dibungkus dengan dramatisasi pada fase penderitaan dan penghinaan akibat kolonisasi yang mendera Cina berabad lamanya. Pengejewantahan romantisme pada konteks kekinian telah menjadikan Cina sebagai pusat baru gravitasi ekonomi dari sektor perdagangan dan industri. Walaupun di sisi lain, romantisme kejayaan negeri satu milyar penduduk itu pun telah membawa banyak persoalan yang bersifat regional dan internasional. Semangat dan gerakan ultranasionalisme Cina terasa di wilayah-wilayah Samudra Pasifik dan Laut Cina Selatan. Klaim atas tapal batas kepemilikan dan pengakuan kedaulatan yang menafikan prinsip-prinsip ketetanggaan telah mulai jelas terlihat. Pengakuan atas legal history kebudayaan di wilayah-wilayah itu menjadi dasar negeri ini akan merambah berbagai wilayah kedaulatan negeri- negeri lain. Semua eksistensi negara lain seolah tiada, dan batas- batas yang ada pun menjadi borderless. Semangat ultranasionalisme pasca-Perang Dunia I, sepertinya merasuki Tiongkok untuk memperluas wilayah atau kawasannya di Laut Cina Selatan.

Terlepas dari gerakan ultranasionalisme itu, ide dasar romantisme sabuk atau jalur sutra modern Tiongkok untuk sebuah kejayaan bangsa patutlah ditiru. Meskipun terlambat, Indonesia di

Menjejak Kejayaan, Mendedah Keunggulan Inovasi Budaya Maritim