Faktor faktor keberhasilan pemekaran wilayah kabupaten kota di Indonesia

(1)

OLEH FATMAWATI

H14070081

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

Kabupaten/Kota di Indonesia (dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO)

Era reformasi telah membuat banyak perubahan khususnya dalam tata pemerintahan. Pemerintahan yang awalnya bersifat sentralistik, kini menjadi desentralistik. Desentralisasi membuat pemerintah daerah memiliki wewenang untuk mengatur daerahnya masing-masing sesuai Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 (telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004) dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 (telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004). Adanya desentralisasi membuat wilayah yang merasa tidak puas dengan kinerja pemerintahan daerahnya dapat membentuk daerah baru, yang disebut pemekaran wilayah. Sebelum disahkannya kedua undang-undang tersebut, pemekaran wilayah telah terlaksana. Namun kedua undang-undang tersebut membuat syarat pemekaran menjadi lebih jelas dan pemekaran semakin mudah untuk dilaksanakan. Hal ini mengakibatkan pemekaran wilayah, khususnya untuk pemekaran kabupaten dan kota menjadi semakin marak terjadi.

Tujuan pemekaran yaitu untuk meningkatkan kemandirian daerah dan meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, sehingga kondisi masyarakat dapat lebih baik. Namun kini tujuan dari pemekaran ditengarai telah berubah. Tidak jarang pemekaran dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan politik, sumber pembiayaan yang lebih, serta hal-hal lainnya yang dapat menggagalkan tujuan dari pemekaran itu sendiri. Hal inilah yang membuat banyaknya pemekaran menjadi belum berhasil.

Penelitian ini dilakukan untuk menilai kinerja (khususnya berdasarkan ukuran ekonomi) bagi daerah yang telah minimal lima tahun menjadi daerah otonom baru dan menelaah faktor-faktor apa saja yang memengaruhi keberhasilan tersebut. Penilaian kinerja menggunakan teknik indeksasi, sementara dalam menentukan faktor-faktor keberhasilan pemekaran menggunakan metode regresi berganda dengan metode OLS untuk mengestimasi parameter. Variabel yang digunakan sebagai variabel dependen adalah selisih Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) antara daerah otonom baru (DOB) dengan daerah induknya. Sedangkan yang menjadi variabel independennya adalah PDRB per kapita, PAD, DAU, IPM, angka kemiskinan, dan jenis pemekaran kabupaten ataukah kota. Berdasarkan penilaian keberhasilan, didapatkan hasil bahwa hanya 41 persen DOB yang berhasil mencapai tujuan ekonomi pemekaran. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap keberhasilan pencapaian tujuan ekonomi pemekaran adalah PDRB per kapita, PAD, dan jenis pemekaran. 


(3)

OLEH FATMAWATI

H14070081

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

 


(4)

NRP : H14070081

Menyetujui, Dosen Pembimbing

D.S. Priyarsono, Ph.D NIP. 19610501 198601 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec NIP. 19641022 198903 1 003

Tanggal Kelulusan:  


(5)

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juli 2011

Fatmawati H14070081  


(6)

Rangkasbitung, Provinsi Banten. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan M. Ferdinand dan Anah. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan. Penulis mengawali pendidikan di TK Kuncup Harapan dan menyelesaikannya pada tahun 1995, kemudian melanjutkan ke SDN Bantarjati V Bogor dan lulus pada tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikannya ke SMP Negeri 5 Bogor dan lulus pada tahun 2004, kemudian melanjutkan ke SMA Negeri 3 Bogor dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Semasa kuliah di IPB, penulis aktif pada kegiatan seni dan budaya, seperti tergabung dalam kegiatan ekstrakulikuler Gentra Kaheman, dan Community of Art Sport and Culture (COAST) FEM dibidang Seni Tari. Selama tergabung dalam Gentra Kaheman dan COAST Tari FEM, penulis sering mengisi acara dengan membawakan tarian tradisional Indonesia, diantaranya Saman, Yapong, dan Jaipong.

Selain aktif di kegiatan seni, penulis sempat mengikuti kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa di bidang Pengabdian Masyarakat, dan lulus hingga tahap monitoring dan evaluasi. Penulis juga merupakan anggota dari Onigiri Japan Club, yaitu perkumpulan mahasiswa yang menyukai budaya Jepang. Pada tahun 2011 penulis melakukan penelitian dengan judul “Faktor-Faktor Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia” untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi.

   


(7)

dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Faktor-Faktor Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia”. Pemekaran wilayah merupakan sesuatu yang sudah lama terlaksana, namun dalam perjalanannya pemekaran tersebut banyak yang tidak berhasil, ditandai dengan tidak tercapainya tujuan pemekaran. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan tokpik ini dan melihat faktor apa saja yang dapat memengaruhi keberhasilan pemekaran khususnya di kabupaten dan kota. Sehingga diharapkan kedepannya kabupaten dan kota yang belum berhasil dapat memeperbaiki kinerja perekonomiannya dan menjadi daerah yang berhasil dalam pemekarannya. Selain itu, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membimbing dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik, terutama kepada: 1. Dominicus Savio Priyarsono, Ph.D, yang telah memberikan bimbingan baik

secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini, sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

2. Dr. Yeti Lis Purnamadewi yang telah menguji hasil karya ini. Semua kritik dan saran yang beliau berikan merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini.

3. Dr. Wiwiek Rindayati atas masukan dan perbaikan mengenai tata cara penulisan dari skripsi ini. Meskipun demikian, segala kesalahan yang ada pada penelitian ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.


(8)

4. Seluruh dosen, staf, dan civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.

5. Keluarga tersayang, papih M. Ferdinand, mama Anah, dan segenap keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, motivasi, dan dukungan baik moril maupun material, serta doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dan pendidikan sarjana ini dengan baik.

6. Teman-teman satu bimbingan skripsi, Hesti Ayu Hapsari, Putri Nilam Kencana, dan Ni Luh Putu Aria atas semangat, motivasi, doa, dan perjuangan yang telah dilalui bersama.

7. Teman-teman dari Departemen Ilmu Ekonomi, Sari Rina Fitriyah, Ika Mustika Sari, Pramita Kurnia W, Risya Utami, Ida Nur’Aini, Destia Harum, Ajeng Endartrianti, Michelia Widya Agri, Nurul Andelisa dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas bantuan, semangat dan doanya.

8. Sahabat-sahabatku M. Fahri Arfanto, Annita Arraafi R, Ryanda Agung W, Ayu Azriani Azahari, Irena Titin Kartika, dan teman-teman Onigiri Japan Club atas sharing, motivasi, dukungan, dan doanya kepada penulis.

10. Teman-teman peserta Seminar Hasil Penelitian Skripsi yang telah hadir dan memberikan masukan demi perbaikan skripsi ini.

11. BPS Pusat, Kementerian Dalam Negeri, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2011

Fatmawati H14070081


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan ... 7

1.4. Manfaat Penulisan ... 7

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Tinjauan Teoritis ... 10

2.1.1. Teori Pemekaran Wilayah ... 10

2.1.2. Teori Pembangunan Ekonomi ... 15

2.1.2.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ... 19

2.1.2.2. Kemiskinan ... 21

2.1.3. Desentralisasi Fiskal ... 23

2.1.3.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 24

2.1.3.2. Dana Perimbangan ... 25

2.2. Tinjauan Empiris ... 28

2.3. Kerangka Pemikiran ... 31

2.4. Hipotesis ... 33

III. METODE PENELITIAN ... 35

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 35

3.3. Metode Analisis Data ... 36

3.3.1. Analisis Deskriptif ... 36


(10)

3.3.3. Analisis Regresi Berganda ... 39

3.3.3. Pengujian Model dan Hipotesis ... 40

3.3.3.1. Pengujian Kesesuaian Model (Goodness of Fit) ... 40

3.3.3.2. Pengujian Asumsi Model ... 41

IV. Kondisi Ekonomi Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran ... 47

4.1. Indeks Kinerja Ekonomi ... 47

4.2. PDRB per Kapita ... 49

4.3. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 51

4.4. Dana Perimbangan ... 52

4.5. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ... 53

4.6. Angka Kemiskinan ... 55

4.7. Perbandingan Kabupaten dan Kota ... 57

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 59

5.1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Pemekaran Wilayah ... 59

5.2. Pengujian Model dan Hipotesis ... 68

5.2.1. Pengujian Kesesuaian Model (Goodness of Fit) ... 68

5.2.2. Pengujian Hipotesis ... 68

5.2.3. Pengujian Asumsi Model ... 69

5.2.3.1. Uji Normalitas ... 69

5.2.3.2. Uji Multikolinearitas ... 69

5.2.3.3. Uji Heteroskedastisitas ... 69

5.2.3.4. Uji Autokorelasi ... 70

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

6.1. Kesimpulan ... 71

6.2. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 74


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

3.1. Pengambilan Keputusan padaUji Durbin Watson... 45

4.1. Urutan Daerah Tertinggi dan Terendah Berdasarkan Hasil Perhitungan Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) ...48

4.2. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah... 50

4.3. Persentase PAD terhadap Total Pendapatan pada DOB ... 51

4.4. Total Dana Perimbangan Daerah Otonom Baru ... 53

4.5. Jumlah PAD dan Dana Perimbangan Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah ... 53

4.6. IPM Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah ... 55

4.7. Angka Kemiskinan Beberapa DOB Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah ... 57

4.8. Perbandingan Kabupaten dan Kota Berdasarkan Rata-Rata Variabel yang Dianalisis ...58

5.1. Hasil Estimasi Model Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Pemekaran ... 59


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1.1. Perkembangan Jumlah Kabupaten/Kota dan Propinsi di Indonesia .... 4

1.2. Alokasi PAD dan Dana Perimbagan di Daerah Otonom Baru ... 5

2.1. Jumlah Pemekaran Provinsi, Kabupaten, dan Kota ... 15

2.2. Kurva Lorenz ... 18

2.3. Teori Lingkar Setan Kemiskinan G. Myrdal ... 22

2.4. Kerangka Pemikiran ... 32

4.1 Jumlah PDRB per Kapita Seluruh Daerah Otonom Baru ... 50

4.2. Rata-Rata Nilai IPM pada Daerah Otonom Baru ... 54

4.3. Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran ... 56

5.1. Keberhasilan Pemekaran Kabupaten dan Kota ... 63  

                         


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Nilai IKE dan Tabel Keberhasilan Kabupaten/Kota ... 80

2. PDRB per Kapita ... 85

3. Perkembangan PAD DOB ... 89

4. Perkembangan IPM DOB ... 93

5. Komponen Pembentuk IPM ... 97

6. Angka Kemiskinan DOB ... 104

7. Tabel Statistika Deskriptif ... 108

8. Matriks Korelasi Pearson ... 109

9. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Pemekaran Wilayah ... 110

10. Uji Kenormalan Model Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia ... 110

11. Uji Homoskedastisitas Model Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia ... 111

12. Uji Autokorelasi Model Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia ... 111  

       


(14)

Pemekaran wilayah merupakan suatu proses pemecahan wilayah, dari sebuah wilayah provinsi, kabupaten, ataupun kota menjadi lebih dari satu wilayah. Tarigan (2010) menyebutkan bahwa pemekaran wilayah merupakan pembagian kewenangan administratif suatu wilayah menjadi dua atau beberapa wilayah. Pemekaran wilayah mencakup pembagian luas wilayah beserta potensi sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dan jumlah penduduk.

Pemekaran wilayah menunjukkan adanya suatu proses reformasi birokrasi yang diwujudkan dengan adanya perubahan pola pemerintahan. Perubahan tersebut terjadi dalam bentuk pemerintahan yang awalnya bersifat sentralistik, menjadi diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing untuk mengatur urusan pemerintahan daerah yang disebut desentralisasi. Desentralisasi mulai dilaksanakan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22/1999 (direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32/2004). Tujuan utama desentralisasi adalah mendukung terwujudnya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Suatu daerah dapat dimekarkan apabila memenuhi kriteria pemekaran yang dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78/2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah. Dilakukannya pemekaran wilayah bertujuan untuk meningkatkan penyediaan pelayanan publik,


(15)

mempercepat pertumbuhan ekonomi penduduk setempat dengan pengembangan perekonomian daerah yang berbasiskan potensi lokal, dan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Hal ini membuat pemekaran wilayah sering dianggap sebagai salah satu jalan keluar untuk mencapai pemerataan pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Padahal tujuan awal pemekaran wilayah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 129/2000 (direvisi menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 78/2007) yaitu untuk membentuk dearah otonom baru yang mandiri.

Alasan dilakukannya pemekaran daerah seperti yang dituliskan oleh Tarigan (2010), pertama adanya historical ethnic yaitu selain adanya faktor sejarah dari etnis tertentu, juga adanya keinginan untuk membuat satu kelompok etnis berada dalam satu wilayah yang sama sehingga kegiatan ekonomi dan politik dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Hal ini pun telah dibuktikan oleh Fitriani et, al. (2005) dengan menggunakan model ekonometrika. Kedua yaitu adanya fiscal spoil yang berupa jaminan dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah berupa Dana Alokasi Umum (DAU). Jaminan ini membuat daerah berkeyakinan bahwa pengeluaran daerahnya akan dibiayai melalui alokasi untuk pegawai negeri sipil daerah sehingga akumulasi aktivitas ekonomi diharapkan berimplikasi positif terhadap kesejahteraan masyarakat secara umum. Sayangnya hal ini justru dijadikan suatu alat untuk mendapatkan anggaran pendapatan yang besar, berupa DAU.

Ketiga, bureaucracy and political rent seeking yaitu munculnya wilayah kekuasan politik baru sehingga aspirasi politik masyarakat jauh lebih dekat, adanya kesempatan mendapatkan kekuasaan eksekutif maupun legislatif di


(16)

daerah, dan menjadi peluang untuk mendapat dukungan politik yang lebih besar. Keempat, administrative dispersion yaitu, mengatasi masalah rentang kendali pemerintahan. Rentang kendali pemerintahan yang telalu luas dapat menyebabkan pelayanan publik yang sulit dijangkau, pembangunan yang tidak merata, dan kemiskinan yang tinggi pada wilayah yang letaknya jauh dari ibu kota pemerintahan. Sehingga posisi ibukota pemerintahan menjadi faktor penentu mana wilayah yang akan memekarkan diri. Jika daerah mekar menjadi kabupaten baru, maka daerah tersebut awalnya merupakan daerah yang letaknya jauh dari ibu kota di kabupaten lama, sehingga sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan fasilitas dan sarana umum. Namun, jika daerah mekar menjadi kota, maka yang memisahkan diri bukanlah daerah yang sulit dijangkau, melainkan pusat kota dari kabupaten induk.

Menurut data yang dikeluarkan oleh Ditjen Otonomi Daerah, Kemeterian Dalam Negeri (2009), sebelum diberlakukannya otonomi daerah, yaitu tahun 1998, jumlah kabupaten dan kota di Indonesia hanya 298 kabupaten/kota. Namun semenjak diberlakukannya otonomi daerah tahun 1999, yang ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22/1999, jumlah kabupaten/kota di Indonesia terus meningkat. Terlihat pada Gambar 1.1 bahwa hingga bulan Juni tahun 2009 telah terjadi penambahan jumlah kabupaten/kota dari 298 menjadi 497, yaitu sebesar 67 persen. Peningkatan jumlah kabupaten/kota terbesar terjadi pada tahun 2003, yaitu sebanyak 49 kabupaten/kota.


(17)

298 341 341 353

391 440 440 440 440

465 495 497

0 100 200 300 400 500 600

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jumlah Kabupaten/Kota Tahun Pemekaran

jumlah kabupaten/kota

Sumber : Ditjen Otonomi Daerah KEMDAGRI, 2009 (diolah)

Gambar 1.1. Perkembangan Jumlah Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia Perbedaan kondisi dan potensi dari masing-masing daerah terutama daerah yang baru mekar dalam melaksanakan desentralisasi membuat kesiapan setiap daerah berbeda-beda. Perbedaan ini diatasi oleh pemerintah dengan memberikan Dana Perimbangan kepada setiap daerah agar dalam pelaksanaan desentralisasi setiap daerah memiliki kondisi yang sama. Dana Perimbangan yang diberikan oleh pemerintah diwujudkan dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) yang pemberiannya disesuaikan dengan kondisi keuangan setiap daerah.

Pemekaran wilayah yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian setiap daerah pada kenyataannya tidak berjalan dengan baik. Kemandirian setiap daerah otonom baru yang ditunjukkan dengan jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terus meningkat (Gambar 1.2) ternyata tidak diimbangi dengan penurunan jumlah Dana Perimbangan yang diterima oleh setiap daerah. Dana Perimbangan yang diterima pada kenyataannya juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Pemerintah pusat memang merencanakan adanya peningkatan Dana


(18)

Perimbangan setiap tahunnya. Peningkatan Dana Perimbangan dalam jangka panjang diharapkan dapat meningkatkan investasi di daerah, sebab Dana Perimbangan digunakan untuk membangun fasilitas-fasilitas di daerah seperti fasilitas pelayanan publik dan infrastruktur. Meningkatnya jumlah Dana Perimbangan yang diterima setiap tahunnya dan persentasenya yang besar terhadap penerimaan daerah membuat ketergantungan daerah terhadap pendanaan yang berasal dari pusat meningkat.

Sumber : DJPK Kemenkeu, 2005-2010 (diolah)

Gambar 1.2. Alokasi PAD dan Dana Perimbagan di Daerah Otonom Baru Ketergantungan fiskal yang terjadi jika terus dibiarkan dapat mengganggu perekonomian nasional, sebab sebagian besar pembiayaan daerah bergantung kepada pendanaan yang berasal dari pusat, baik itu berbentuk DBH, DAU, dan DAK. Untuk mengatasi hal tersebut, dalam Jurnal Otonomi Daerah (2009a) disebutkan perlu adanya desain besar (grand design) penataan daerah yang diantaranya berisi syarat jumlah maksimal kabupaten dan kota dalam suatu provinsi serta jumlah provinsi di Indonesia. Desain besar penataan daerah ini nantinya akan dijadikan sebagai acuan dalam menentukan apakah dalam suatu provinsi masih diperbolehkan ada daerah yang dimekarkan atau tidak.

1034.21 1892.39 3245.89 3101.42 3611.73 4414.76 20153.76

45510.81 45416.25

55571.11 61710.53 59655.24

0 20000 40000 60000 80000

2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun

Juta Rupiah

PAD Dana Perimbangan


(19)

1.2. Rumusan Masalah

Desentralisasi telah berjalan lebih dari sepuluh tahun semenjak dikeluarkannya Undang Nomor 22/1999 (direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32/2004) tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 25/1999 (direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33/2004) tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Mulai saat itu setiap daerah terkesan berlomba-lomba untuk memekarkan diri, dengan tujuan ingin meningkatkan perekonomian daerahnya.

Tujuan pemekaran yaitu untuk meningkatkan kemandirian daerah ternyata hingga saat ini belum tercapai. Banyak faktor yang dapat memicu ketidakberhasilan ini, diantaranya seperti yang disebutkan dalam Jurnal Otonomi Daerah (2009b) yaitu banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan, baik pelanggaran sendiri maupun bekerja sama dengan pihak lain seperti pengusaha. Beberapa pelanggaran tersebut diantaranya adanya mark-up

ataupun mark-down harga aset pemda, pemberian izin pengelolaan sumber daya alam kepada pihak yang tidak memiliki kemampuan yang sesuai guna kepentingan pribadi, penyusunan APBD yang diatur Kepala Daerah, pemberian dana kepada pejabat dengan dibebankan ke anggaran, dan hal lain yang tidak diperkenankan. Hal ini tentu memengaruhi keberhasilan dari pemekaran dan mungkin ini yang menjadi alasan mengapa banyak pemekaran dinyatakan belum berhasil.

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka penelitian ini ingin mengevaluasi keberhasilan pemekaran, kemudian melihat faktor-faktor apa saja yang


(20)

memengaruhi keberhasilan dari pemekaran wilayah yang telah berjalan hingga saat ini. Sehingga dapat disimpulkan beberapa perumusan masalah, yaitu:

1. Bagaimana keberhasilan pemekaran kabupaten/kota yang telah memekarkan diri lebih dari lima tahun?

2. Apa saja faktor yang memengaruhi keberhasilan pemekaran kabupaten/kota?

1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis kondisi ekonomi kabupaten/kota selama lima tahun pertama setelah pemekaran.

2. Menganalisis keberhasilan pemekaran kabupaten/kota yang telah memekarkan diri lebih dari lima tahun.

3. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan pemekaran kabupaten/kota.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari dilakukannya penelitian ini adalah:

1. Menjadi masukan bagi pemerintah pusat dalam menilai kinerja perekonomian kabupaten dan kota yang telah memekarkan diri.

2. Menjadi masukan bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi daerah.

3. Sebagai bahan pustaka dan referensi bagi pihak yang membutuhkan serta rujukan untuk penelitian selanjutnya.


(21)

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menilai kinerja ekonomi dari setiap kabupaten/kota hasil pemekaran yang biasa disebut Daerah Otonom Baru (DOB) beserta daerah induknya. Penilaian tersebut dilakukan dengan menghitung Indeks Kinerja Ekonomi (IKE). Perhitungan penilaian menggunakan metode IKE ini mengikuti studi evaluasi pemekaran daerah yang dilakukan oleh BAPPENAS bekerjasama dengan UNDP (2008). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh BAPPENAS dan UNDP adalah hasil dari evaluasi hanya merumuskan urutan DOB, namun dalam penelitian ini dihasilkan mana saja daerah yang berhasil dalam pemekarannya.

Komponen pembentuk IKE adalah pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) non-migas, PDRB per kapita, rasio PDRB kabupaten terhadap PDRB provinsi, dan angka kemiskinan. Nilai IKE ini menjadi dasar penilaian keberhasilan dari pemekaran wilayah, yaitu jika DOB memiliki nilai IKE yang lebih besar dari daerah induknya maka daerah tersebut telah berhasil dalam melaksanakan otonomi. Namun jika nilai IKE daerah induk lebih besar dibandingkan DOB maka pemekaran wilayah dinyatakan belum berhasil.

Alat yang digunakan dalam menganalisis faktor-faktor keberhasilan adalah regresi berganda dengan metode estimasi Ordinary Least Square (OLS). Penentuan faktor-faktor keberhasilan ditentukan berdasarkan tujuan dari pemekaran itu sendiri. Pemekaran bertujuan untuk meningkatkan kemandirian daerah, kemandirian ini dapat dilihat melalui besarnya PAD dan Dana Perimbangan (yang diwakili dengan DAU karena memiliki persentase yang


(22)

tebesar) dalam total pendapatan daerah. Kemandirian daerah pun dibahas dalam penelitian Santosa dan Rahayu (2005) yaitu dengan melihat PAD sebagai indikator kemandirian di Kabupaten Kediri.

Pemekaran juga dianggap sebagai salah satu jalan keluar dari masalah pembangunan ekonomi yang tidak merata. Indikator pembangunan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah PDRB per kapita, Indeks Pembagunan Manusia (IPM), dan angka kemiskinan. PDRB per kapita menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat, sementara IPM dan angka kemiskinan merupakan indikator tingkat kemerataan pembangunan yang dirumuskan oleh BPS.

Daerah yang dianalisis dalam penelitian ini dikhususkan pada DOB berstatus kota dan kabupaten. Pemekaran provinsi tidak masuk dalam daerah yang akan dianalisis karena jumlah pemekaran provinsi hanya sedikit, dan tingkatan provinsi lebih tinggi dari kabupaten dan kota, sehingga tidak bisa dibandingkan. Tarigan (2010) merumuskan bahwa DOB yang lebih baik dibandingkan daerah induknya merupakan daerah yang secara administratif adalah kota. Maka dari itu, jenis pemekaran kabupaten dan kota juga dirumuskan sebagai faktor keberhasilan.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Konsep dan Teori 2.1.1. Konsep Pemekaran Wilayah

Pemekaran wilayah merupakan sebuah pembentukan daerah baru, baik berbentuk provinsi, kabupaten, ataupun kota. Pembentukan daerah baru ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang pemerintahan daerah. Pembentukan daerah baru pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui pelayanan yang lebih baik, kehidupan demokratis yang semakin berkembang, pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat, keamanan dan tatanan yang semakin bagus serta hubungan yang selaras antar daerah (USAID, 2006). Namun terdapat hal yang perlu diperhatikan dalam pemekaran wilayah, yaitu mendorong daerah induk dan DOB dapat melaksanakan otonomi daerah secara maksimal.

Tarigan (2010) menyebutkan bahwa pemekaran bisa dilakukan pada level provinsi maupun level yang lebih kecil, yaitu kabupaten atau kota. Pada level provinsi terdapat satu pola pemekaran, yaitu satu provinsi mekar menjadi satu provinsi baru dan satu provinsi induk. Sementara pada level kabupaten/kota terdiri dari tiga pola yaitu, pertama, dari satu kabupaten menjadi satu kabupaten baru (DOB) dan kabupaten induk. Kedua, dari satu kabupaten menjadi satu kota baru (DOB) dan kabupaten induk. Ketiga, dari satu kabupaten menjadi lebih dari satu kabupaten baru (DOB) dan kabupaten induk.

Pemekaran wilayah di Indonesia sebenarnya telah dilaksanakan sebelum tahun 1999, yaitu sebelum disahkannnya Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang


(24)

pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Pada masa tersebut, pemekaran ditentukan oleh pemerintah pusat dan memerlukan tahap persiapan yang lama. Namun setelah disahkannya undang-undang tersebut, pemerintah daerah yang dapat mengusulkan pemekaran wilayah adalah daerah yang telah memenuhi kriteria kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial-budaya, sosial-politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Kriteria tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129/2000 yang yang diperinci dalam 19 indikator dan 43 sub indikator.

Menurut Wagiyo (2009) proses pembentukan daerah didasari pada tiga syarat, yaitu administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Hal ini juga disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 dimana dalam pembentukan daerah baru (pemekaran wilayah), setiap daerah harus memenuhi tiga syarat, yaitu syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Syarat administratif untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat administratif untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah,


(25)

pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Syarat fisik meliputi wilayah yang akan dimekarkan (dalam pembentukan provinsi meliputi minimal lima kabupaten/kota, dalam pembentukan kabupaten minimal lima kecamatan, dan dalam pembentukan kota minimal empat kecamatan), lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurkholis dan Nazara (2007), secara garis besar suatu daerah akan dimekarkan apabila daerah tersebut terletak di luar Jawa dan Bali, daerah berstatus kabupaten, memiliki rasio pendapatan daerah sendiri terhadap pengeluaran total yang besar, bukan daerah baru hasil pemekaran, memiliki PDRB yang berkontribusi dominan terhadap PDRB total (atas dasar harga berlaku), seluruh kabupaten/kota yang akan dimekarkan berada dalam satu provinsi, mempunyai jumlah penduduk yang besar, mempunyai wilayah yang cukup luas, mendapatkan alokasi DAU yang besar, dan memiliki nilai PDRB yang relatif kecil. Tarigan (2010) juga menyebutkan bahwa ciri khas dari suatu DOB yang dapat berhasil dalam pemekaran, bahkan lebih baik dibandingkan daerah induknya yaitu merupakan daerah yang secara administratif adalah kota, daerah dengan sumberdaya alamnya melimpah, khususnya migas, untuk menopang sumber keuangan daerahnya, dan memiliki banyak inovasi di bidang tata pemerintahan yang memungkinkan pelayanan publik jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Pada daerah-daerah tersebut akan terlihat sarana pendidikan, kesehatan, tata ruang, kapasitas fiskal daerah, dan pertumbuhan ekonomi berkembang dengan baik dan tumbuh lebih cepat, sehingga kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik.


(26)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32/2004, jenis pemekaran daerah ada tiga, yaitu pemekaran provinsi, kabupaten, dan kota. Provinsi merupakan wilayah administratif di bawah wilayah nasional. Provinsi dipimpin oleh seorang Gubernur. Kabupaten dan kota merupakan wilayah administratif yang berada dibawah provinsi. Kabupeten dipimpin oleh seorang Bupati, sementara kota dipimpin oleh seorang Walikota. Dahulu sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 22/1999 kabupaten dikenal dengan nama Daerah Tingkat II Kabupaten, sementara kota dikenal dengan nama Daerah Tingkat II Kotamadya. Semenjak disahkannya undang-undang tersebut, kabupaten dan kota menjadi daerah otonom yang diberi wewenang untuk mengatur sendiri urusan pemerintahannya. Kabupaten dan kota memiliki beberapa perbedaan, di antaranya:

1. Berdasarkan luas wilayahnya, wilayah kabupaten lebih luas daripada wilayah kota (dalam satu provinsi). Sehingga banyak wilayah di kabupaten yang masih tertinggal karena adanya permasalahan rentang kendali yang terlalu luas yang mengakibatkan pemerataan pembangunan menjadi tidak tercapai.

2. Berdasarkan kependudukan, kepadatan penduduk di kabupaten lebih rendah daripada kota. Kepadatan penduduk ini akan menjadi permasalahan manakala pemerintah daerah belum mampu dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan penanggulangan masalah-masalah sosial. Berbagai permasalahan yang mungkin timbul adalah pengangguran, angka putus sekolah yang tinggi, tingkat kesehatan masyarakat yang buruk, tidak tersedianya fasilitas seperti sekolah, pasar, rumah sakit, jalan aspal, air bersih, dan listrik, serta meningkatnya tingkat kriminalitas. Namun kepadatan penduduk yang


(27)

tinggi apabila diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja yang memadai, maka tidak akan lagi menjadi suatu permasalahan, bahkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk.

3. Berdasarkan mata pencaharian penduduk, penduduk kabupaten umumnya bergerak di bidang pertanian atau bersifat agraris, sementara penduduk perkotaan lebih banyak bergerak di bidang perdagangan dan jasa. Sehingga sesuai pasal 7 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 38/2007, dalam hal pembuatan kebijakan pembangunan daerah harus disesuaikan dengan kondisi dan potensi unggulan daerah, sehingga akan terdapat perbedaan prioritas kebijakan antara kabupaten dan kota.

4. Berdasarkan struktur pemerintahan, di wilayah kota hanya dibentuk wilayah kecamatan dan kelurahan. Sementara di wilayah kabupaten selain dibentuk wilayah kecamatan dan kelurahan, terdapat pula wilayah desa. Kecamatan dan kelurahan merupakan bagian dari pemerintah daerah kabupaten dan kota, yang menyatu dalam hal pembuatan kebijakan dan anggaran dengan pemerintah daerah, sementara desa merupakan daerah otonom tersendiri di wilayah daerah kabupaten. Berdasarkan Permendagri Nomor 37/2007, wilayah desa memiliki sumber pendapatan sendiri dan juga sumber pendapatan yang dialokasikan dari APBD kabupaten.

5. Berdasarkan aspek sosial budaya, penduduk kota memiliki tingkat pendidikan dan kesehatan yang lebih baik daripada kabupaten. Fasilitas pelayanan publik juga lebih mudah dijangkau oleh masyarkat di kota dibandingka masyarakat di kabupaten.


(28)

298 341 341 353

391 440 440 440 440

465 495 497

26 28 31 31 32 32 33 33 33 33 33 33 0

100 200 300 400 500 600

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun

Jumlah Pemekaran

Kabupaten dan Kota Provinsi

6. Berdasarkan aspek perekonomian, rata-rata PDRB di kabupaten lebih rendah daripada PDRB kota.

Jika dilihat berdasarkan jumlah pemekaran, pemekaran provinsi jumlahnya lebih sedikit dibandingkan pemekaran kabupaten dan kota (gambar 2.1). Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22/1999, provinsi haya bertambah tujuh provinsi baru, sementara kabupaten dan kota bertambah 205 kabupaten/kota. Tingkatan provinsi dalam pemerintahan pun berbeda dengan kabupaten/kota, sehingga hanya pemekaran kabupaten dan kota saja yang akan dianalisis dalam penelitian kali ini.

Sumber : Ditjen Otonomi Daerah KEMDAGRI, 2009 (diolah)

Gambar 2.1. Jumlah Pemekaran Provinsi, Kabupaten, dan Kota

2.1.2. Teori Pembangunan Ekonomi

Pemekaran wilayah merupakan salah satu jalan keluar dari permasalahan pembangunan ekonomi yang tidak merata. Permasalahan ini timbul karena adanya masalah rentang kendali yang terlalu luas dalam pemerintahan. Rentang kendali yang terlalu luas mengakibatkan letak pusat pemerintahan sulit dijangkau oleh


(29)

seluruh masyarakat, baik itu karena jarak yang jauh maupun karena sarana transportasi yang kurang memadai. Sehingga dampak akhirnya adalah pembagunan pelayanan publik, seperti sekolah dan puskesmas menjadi tidak merata, serta adanya ketimpangan penduduk akibat tingginya jumlah penduduk miskin di wilayah tertentu saja.

Tambunan (2003) menyebutkan terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menganalisis pemerataan pembangunan ekonomi, yaitu PDRB per kabupaten, distribusi PDRB kabupaten dalam pembentukan PDRB provinsi, PDRB per kapita, kontribusi sektoral terhadap pembentukan PDRB, dan tingkat kemiskinan. PDRB merupakan jumlah nilai tambah (value added) yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit kegiatan ekonomi dalam suatu daerah (BPS, 2008). Terdapat dua cara perhitungan PDRB, yaitu atas dasar harga berlaku (at current price) dan atas dasar harga konstan (at constant price). PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk melihat perubahan struktur ekonomi, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi riil (Tambunan, 2003). Pertumbuhan PDRB yang positif menunjukkan adanya penciptaan lapangan kerja yang semakin banyak.

Distribusi PDRB provinsi menurut wilayah kabupaten/kota merupakan indikator untuk menentukan derajat penyebaran hasil pembangunan. PDRB yang relatif sama di setiap kabupaten/kota menunjukkan bahwa distribusi PDRB provinsi relatif merata di setiap kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan bahwa kesenjangan yang terjadi di setiap kabupaten/kota di Indonesia semakin kecil.


(30)

Namun untuk menilai suatu pembangunan sudah berjalan baik atau belum tidak cukup dengan melihat dari kesenjangan ekonomi yang terjadi, tetapi juga melihat tingkat kesejahteraan masyarakatnya.

Penentuan keberhasilan pembangunan ekonomi selain dilihat dari distribusi PDRB menurut wilayah, juga dapat dilihat dari besarnya PDRB per kapita. PDRB per kapita merupakan pembagian antara PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun yang tinggal disuatu wilayah. PDRB per kapita menggambarkan pengeluaran konsumsi rumah tangga rata-rata per kapita. PDRB per kapita yang semakin tinggi menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi pula, sejauh tingkat pemerataannya cukup merata. Tingkat pemerataan ini dapat dilihat berdasarkan kurva Lorenz, indeks Gini, dan kriteria Bank Dunia.

Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan-lapisan penduduk, secara kumulatif pula (Dumairy, 1996). Kemerataan dalam kurva Lorenz digambarkan dengan bentuk kurva yang semakin dekat dengan diagonal atau semakin lurus (gambar 2.2). Indeks Gini merupakan suatu koefisien yang angkanya berkisar dari nol hingga satu. Semakin kecil nilai indeks Gini maka semakin merata tingkat pendistribusiannya. Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yaitu 40 persen dinikmati oleh penduduk berpendapatan terendah, 40 persen dinikmati oleh penduduk berpendapatan menengah, 20 persen dinikmati oleh penduduk berpendapatan tertinggi.


(31)

Gambar 2.2. Kurva Lorenz

Perbedaan tingkat pembangunan antarwilayah kabupaten/kota juga dapat dilihat dari perbedaan peranan sektoral dalam pembentukan PDRB. Sektor-sektor ekonomi dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu sektor primer, sektor sekunder, dan sektor tersier. Sektor primer terdiri atas sektor pertanian dan pertambangan (termasuk penggalian). Sektor sekunder terdiri atas sektor industri manufaktur; listrik, gas dan air bersih; serta konstruksi dan bangunan. Sektor tersier terdiri atas sektor perdagangan, hotel, dan restoran; transportasi dan komunikasi; keuangan, penyewaan dan jasa bisnis; serta sektor jasa lainnya. Sektor sekunder merupakan sektor yang memiliki nilai tambah terbesar, sementara sektor primer memiliki nilai tambah terkecil.

Persentase penduduk miskin juga baik jika digunakan sebagai alat untuk mengukur ketimpangan ekonomi antar daerah. Persentase penduduk miskin menunjukkan seberapa besar proporsi penduduk miskin terhadap total penduduk

Persentase Jumlah Penduduk 0

80

20 40 60 100

80


(32)

di suatu wilayah. Tingkat kemiskinan yang tinggi bisa disebabkan kepadatan penduduk yang tinggi dan juga tingkat pembangunan yang rendah. Jika suatu daerah memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi maka lahan yang digunakan untuk melakukan kegiatan ekonomi akan semakin berkurang artinya kesempatan kerja semakin kecil. Hal ini mengakibatkan semakin besar jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.

Badan Pusat Statistik (BPS) telah merumuskan beberapa indikator yang dapat digunakan untuk melihat tingkat kemerataan dari pembangunan, yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Angka Kemiskinan. Melalui dua indikator ini, penentuan keberhasilan pemerataan pembangunan menjadi semakin mudah. Jika nilai IPM semakin tinggi maka tingkat pembangunan manusia (yang dilihat dari empat indikator, yaitu Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMF), Rata-Rata Lama Sekolah (RLS), dan pengeluaran riil per kapita) menjadi semakin baik. Jika tingkat kemiskinan semakin rendah, maka tingkat pembangunan semakin merata dan semakin banyak penduduk yang sejahtera (berada diatas garis kemiskinan).

2.1.2.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

United Nations Development Programme (UNDP) mendefenisikan pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk. Dalam konsep tersebut penduduk merupakan tujuan akhir (the ultimated end) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana (principal means) untuk mencapai tujuan itu. Terdapat empat hal pokok yang perlu diperhatikan untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia,


(33)

yaitu produktivitas, pemerataan, kesinambungan, dan pemberdayaan (UNDP, 1995). Secara ringkas empat hal pokok tersebut mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Produktivitas

Penduduk harus mampu meningkatkan produktivitas sehingga mampu berpartisipasi penuh dalam proses penciptaan pendapatan dan nafkah. Pembangunan ekonomi merupakan bagian dari model pembangunan manusia. 2. Pemerataan

Penduduk harus memiliki kesempatan atau peluang yang sama untuk mendapatkan akses terhadap semua sumber daya ekonomi dan sosial. Semua hambatan yang dapat memperkecil kesempatan untuk memperoleh akses tersebut harus dihilangkan, sehingga mereka dapat mengambil menfaat dari kesempatan yang ada dan berpartisipasi dalam kegiatan produktif yang dapat meningkatkan kualitas hidup.

3. Kesinambungan

Akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial harus dipastikan dapat dinikmati pula oleh generasi yang akan datang. Sehingga semua sumber daya fisik, manusia, dan lingkungan harus selalu diperbaharui.

4. Pemberdayaan

Penduduk harus dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan dan proses yang akan menentukan kehidupan mereka, serta dapat mengambil manfaat dari proses pembangunan.


(34)

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang digagas oleh UNDP bertujuan untuk menghitung kemampuan dasar dari setiap penduduk. Kemampuan dasar itu adalah umur panjang, pengetahuan dan daya beli. Umur panjang diidentifikasi dengan menghitung umur harapan hidup saat lahir atau sering disebut Angka Harapan Hidup (AHH). Pengetahuan meliputi kemampuan baca dan tulis yang diidentifikasi dengan menghitung Angka Melek Huruf (AMF) dan Rata-Rata Lama Sekolah (RLS). Daya beli merupakan kemampuan mengakses sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak diidentifikasi dengan menghitung pengeluaran riil per kapita.

Nilai IPM suatu negara atau wilayah menunjukkan seberapa jauh negara atau wilayah itu telah mencapai sasaran yang ditentukan yaitu angka harapan hidup 85 tahun, pendidikan dasar bagi semua lapisan masyarakat (tanpa kecuali), dan tingkat pengeluaran dan konsumsi yang telah mencapai standar hidup yang layak. Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100, semakin dekat jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sasaran itu.

2.1.2.2. Kemiskinan

Kemiskinan merupakan salah satu masalah besar dalam upaya pembangunan perekonomian Negara Sedang Berkembang (NSB). Damanhuri (2010) menyebutkan bahwa salah satu teori yang berkaitan dengan kemiskinan adalah teori lingkar setan kemiskinan (the vicious cyrcle of poverty) yang dikemukakan oleh Gunnar Myrdal, seorang guru besar di Universitas Stockholm sebelum Perang Dunia ke-II. Lingkar setan kemiskinan merupakan serangkaian kekuatan yang saling memengaruhi satu sama lain, sehingga sangat sulit bagi


(35)

Negara Miskin

Pendapatan Rendah

Kualitas Gizi Rendah Kualitas

Kesehatan Penduduk Rendah Produktivitas

Penduduk Rendah

Pendapatan Penduduk

Rendah

NSB untuk terbebas dari masalah kemiskinan. Menurut G. Myrdal, kemiskinan bukan disebabkan karena tidak tersediaannya modal, melainkan karena tidak tercukupinya basic needs seperti kurangnya gizi, pendidikan, dan lain sebagainya.

Menurut G. Myrdal dalam Damanhuri (2010), keadaan miskin diawali dari pendapatan penduduk yang rendah sehingga mengakibatkan rendahnya kualitas gizi mereka. Rendahnya kualitas gizi penduduk membuat rendahnya kesehatan penduduk dan menyebabkan produktivitas penduduk menjadi rendah. Karena produktivitas penduduk rendah, maka pendapatan penduduk akan tetap rendah sehingga nantinya dapat menyebabkan negara miskin.

Sumber : Damanhuri 2010

Gambar 2.3. Teori Lingkar Setan Kemiskinan G. Myrdal

Berdasarkan Gambar 2.3, jumlah penduduk miskin di suatu kabupaten/kota menentukan tingkat produktivitas dari para pekerjanya. Jika produktivitas menurun, maka perekonomian di kabupaten/kota akan berjalan lambat. Jumlah PAD menjadi berkurang sehingga daerah tidak mampu membiayai pengeluaran daerahnya, dengan kata lain desentralisasi fiskal tidak akan berjalan


(36)

dengan baik. Hal ini membuat pelaksanaan otonomi daerah menjadi terganggu dan pemekaran wilayah dapat menjadi gagal.

Pengukuran kemiskinan yang digunakan oleh BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Melalui pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan (dari sisi ekonomi) untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Headcount Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.

Garis Kemiskinan digunakan sebagai suatu batas untuk menentukan miskin atau tidaknya seseorang. BPS (2010) mendefinisikan penduduk miskin sebagai penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Garis Kemiskinan terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM). Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita per hari. Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.

2.1.3. Desentralisasi Fiskal

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32/2004, desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya masing-masing. Secara umum desentralisasi terbagi atas empat bidang, yaitu desentralisasi di bidang politik, desentralisasi di bidang administrasi, desentralisasi di bidang fiskal dan


(37)

desentralisasi di bidang ekonomi. Desentralisasi fiskal merupakan desentralisasi di bidang keuangan yang diwujudkan dengan pembagian wewenang untuk mengurus keuangan daerah (anggaran daerah) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sinaga dan Siregar (2005) mengartikan desentralisasi fiskal sebagai pendelegasian kewenangan dan tanggung jawab fiskal dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Mardiasmo (2009) menyebutkan bahwa tujuan desentralisasi fiskal adalah untuk (1) mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta antar daerah; (2) meningkatkan kualitas pelayanan publik, sehingga tidak terjadi kesenjangan pelayanan pubik antar daerah; (3) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional; dan (4) mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Sebagai konsekuaensi dari adanya desentralisasi fiskal, maka daerah memerlukan sumber pembiayaan yang cukup untuk membiayai keperluan penyelenggaraan pemerintahannya. Sumber pembiayaan tersebut dapat berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), Dana Perimbangan dari pemerintah pusat, ataupun pendapatan lainnya.

2.1.3.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Sesuai Undang-Undang Nomor 33/2004, PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah, yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PAD merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, keuntungan bersih perusahaan daerah, dan sumber PAD lainnya yang sah. Sumber PAD lain-lain yang sah terdiri atas: (1) hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; (2) jasa giro; (3)


(38)

pendapatan bunga; (4) keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan (5) komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

Sesuai tujuan awal pelaksanaan otonomi daerah, yaitu untuk meningkatkan kemandirian daerah, maka PAD diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan utama dari suatu wilayah. Untuk itu, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk meningkatan PAD setiap daerah yang dipimpinnya. Kewenangan tersebut berupa kebebasan pemungutan pajak/retribusi, sistem transfer, dan pemberian kewenangan untuk melakukan pinjaman (Sinaga dan Siregar, 2005). Namun, dalam upaya peningkatan PAD tersebut, setiap daerah dilarang untuk: (1) menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang dapat menyebabkan biaya ekonomi menjadi tinggi; dan (2) menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan impor/ekspor.

2.1.3.2. Dana Perimbangan

Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah ditunjukkan dengan adanya Dana Perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 33/2004, Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Perimbangan ini bertujuan untuk mengurangi ketidakmampuan daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluarannya. Dana Perimbangan ini terdiri atas Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus


(39)

(DAK), serta Dana Bagi Hasil (DBH) yang berasal dari pajak dan sumber daya alam.

1. Dana Alokasi Umum (DAU)

Sesuai Undang-Undang Nomor 33/2004, DAU merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan untuk pemerataan kemampuan keuangan daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Sesuai dengan laporan desentralisasi yang ditulis oleh Percik (2007), DAU adalah hibah (block grant) dan merupakan sumber utama anggaran pemerintah daerah, di mana jumlahnya sekitar 80 persen dari total pendapatan kabupaten/kota dan sekitar 30 persen untuk tingkat provinsi.

DAU dialokasikan untuk setiap daerah berdasarkan celah fiskal dan alokasi dasar masing-masing daerah (persamaan 2.1). Celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal daerah. Sementara alokasi dasar dihitung berdasarkan banyaknya jumlah PNS di suatu daerah.

DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF) ... (2.1) Keterangan:

AD = Gaji PNS daerah

CF = Kebutuhan fiskal – kapasitas fiskal

Besarnya jumlah celah fiskal akan memengaruhi jumlah alokasi DAU yang diperoleh suatu daerah. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol menerima DAU sebesar alokasi dasar. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar, maka DAU yang diterima sebesar alokasi dasar setelah dikurangi nilai celah fiskal. Sedangkan


(40)

daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU. Secara singkatnya, semakin besar pendapatan yang dihasilkan suatu daerah untuk membiayai pengeluarannya maka akan semakin kecil DAU yang diterima oleh daerah tersebut.

Daerah yang telah mampu membiayai pengeluaran daerahnya berarti daerah tersebut merupakan daerah yang mandiri. Hal ini sesuai tujuan dari pemekaran daerah yang ditulis dalam PP No. 78 tahun 2007, yaitu untuk meningkatkan kemandirian daerah. Daerah yang mendapatkan alokasi DAU yang terus menurun setiap tahunnya menunjukkan bahwa daerah tersebut telah berhasil meningkatkan kemandirian serta pelaksanaan pemekarannya telah sesuai dengan tujuan awal dari otonomi daerah.

2. Dana Alokasi Khusus (DAK)

DAK merupakan dana alokasi penyeimbang untuk membiayai kegiatan yang berhubungan dengan prioritas nasional atau kebutuhan khusus yang tidak bisa dimasukkan ke dalam DAU. Menurut Rosidin (2010) kebutuhan khusus tersebut terdiri atas: (1) kebutuhan yang tidak bisa diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum; dan (2) kebutuhan yang merupakan komitmen yang berasal dari prioritas nasional.

Pembagian DAK diprioritaskan bagi pemerintah-pemerintah daerah yang mempunyai kapasitas keuangan lebih rendah dari rata-rata. Berdasarkan penelitian PSKN FH UNPAD (2009), DAK berbeda dengan Dana Perimbangan lainnya. DAK tidak ditentukan berdasarkan presentase tertentu, melainkan sudah ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Dalam Undang-Undang Nomor 33/2004


(41)

disebutkan bahwa kebutuhan khusus mencakup pelayanan dasar bagi masyarakat. Selain itu, perbedaan DAK dan Dana Perimbangan lainnya terletak pada penggunaannya, dimana tujuan penggunaan DAK sudah ditentukan misalnya untuk dana reboisasi.

3. Dana Bagi Hasil (DBH)

Komponen DBH menurut Undang-Undang Nomor 33/2004 terdiri atas pembagian beberapa jenis pajak yang berasal dari pusat dan hasil pengelolaan sumber daya alam. Pajak pusat yang menjadi sumber DBH adalah dari pajak bumi dan bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 mengenai Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Penerimaan sumber daya alam yang menjadi sumber DBH berasal dari enam bidang sumber daya alam yaitu: kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi (PSKN FH UNPAD, 2009). DBH umumnya digunakan oleh daerah untuk membangun infrastruktur dan fasilitas umum di daerah.

2.2. Tinjauan Empiris

Evaluasi efektivitas pelaksanaan pemekaran wilayah yang telah berlangsung semenjak disahkannya Undang-Undang Nomor 22/1999 telah dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri (KEMDAGRI). Pelaksanaan evaluasi ini dimulai pada tahun 2010 dan perhitungannya selesai pada bulan April 2011. Evaluasi ini dilakukan terhadap DOB yang telah mekar lebih dari tiga tahun, sehingga terdapat 205 daerah yang dievaluasi. Terdapat empat hal yang


(42)

akan dilihat dari evaluasi ini, yaitu kesejahteraan masyarakat, good governance, pelayanan publik, dan daya saing. Evaluasi ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada setiap daerah yang akan dievaluasi kemudian perhitungannya dilakukan dengan metode indeksasi. Dari hasil perhitungan didapatkan peringkat urutan DOB kabupaten dan kota. Perbedaan evaluasi yang dilakukan oleh KEMDAGRI dan penelitian ini terletak pada usia DOB yang dianalisis. Pada penelitian ini usia DOB yang di analisis adalah lima tahun, sehingga jumlah DOB yang dianalisis lebih sedikit. Metode evaluasi yang dilakukan juga berbeda, KEMDAGRI melakukan evaluasi menggunakan data primer dan sekunder mengenai kesejahteraan masyarakat, good governance, pelayanan publik, dan daya saing, sementara penelitian ini menggunakan data sekunder untuk menganalisis kinerja ekonomi DOB.

Penelitian yang dilakukan oleh BAPPENAS (2008) bekerja sama dengan UNDP berjudul Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Wilayah tahun 2001-2007 merupakan acuan utama dalam penelitian ini. Metode evaluasi yang digunakan adalah analisis kualitatif dan kuantitatif untuk mengevaluasi kinerja dan kondisi DOB. Terdapat empat hal yang dievaluasi, yaitu kinerja ekonomi, keuangan pemerintah, pelayanan publik, dan aparat pemerintah. Hasil evaluasi yang didapatkan adalah setelah lima tahun pemekaran DOB yang menjadi sampel memiliki kondisi yang tidak lebih baik dari daerah induknya. Hal ini digambarkan dengan kondisi DOB yang tetap berada di bawah daerah induk. Dari keempat hal yang dievaluasi oleh BAPPENAS dan UNDP, hanya kinerja ekonomi yang akan digunakan sebagai dasar dalam penentuan keberhasilan pemekaran dalam


(43)

penelitian ini. Pemilihan kinerja ekonomi didasarkan atas ketersediaan data untuk seluruh kabupaten/kota yang telah memekarkan diri.

Santosa dan Rahayu (2005) menganalisis mengenai PAD dan faktor-faktor yang memengaruhinya dalam upaya pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Kediri. Dalam penelitian ini, PAD menjadi indikator untuk menganalisis kemandirian daerah. Penelitian dilakukan menggunakan alat analisis regresi berganda dengan data time series dari tahun 1989 hingga tahun 2002. Dari penelitian ini didapatkan hasil faktor-faktor yang memengaruhi PAD adalah pengeluaran pembagunan, jumlah penduduk, dan PDRB. Perbedaan penelitian Santosa dan Rahayu dengan penelitian ini yaitu Santosa dan Rahayu menggunakan PAD sebagai variabel dependen, sebab PAD menggambarkan kemandirian daerah, sementara dalam penelitian ini PAD digunakan sebagai variabel independen, sehingga dapat dilihat bagaimana pengaruh kemandirian daerah terhadap keberhasilan pemekaran.

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan penelitian Santosa dan Rahayu (2005) yaitu regresi berganda. Namun terdapat perbedaan data yang digunakan, yaitu bukan menggunakan data time series,melainkan data

cross section, sebab terdapat perbedaan tahun pemekaran dari setiap kabupaten/kota yang mekar sehingga akan sulit apabila menggunakan data time series. Selain itu, sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk melihat bagaimana kinerja daerah-daerah yang telah memekarkan diri lebih dari lima tahun, sehingga dengan merata-ratakan data maka akan terlihat mana saja daerah yang telah berhasil dalam lima tahun pertama pelaksanakan desentralisasi. Namun


(44)

untuk beberapa variabel independen tidak digunakan data rata-rata selama lima tahun awal pemekaran, melainkan menggunakan data pada tahun ke lima. Variabel-variabel tersebut adalah PAD, DAU, dan IPM. Hal ini disebabkan adanya keterbatasan data dari beberapa kabupaten.

2.3. Kerangka Pemikiran

Pemekaran wilayah sudah berlangsung semenjak disahkannya Undang-Undang Nomor 22/1999 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor. 25/1999. Semenjak saat itu pula telah terjadi banyak pemekaran baik itu pemekaran provinsi, kabupaten, maupun kota. Namun ternyata banyak pemekaran yang dinyatakan kurang berhasil terutama pada pemekaran kabupaten dan kota. Sehingga penelitian ini dilakukan untuk membuktikan keberhasilan pemekaran kabupaten/kota berdasarkan kinerja perekonomian yang dilakukan dengan metode indeksasi.

Pemekaran wilayah yang terjadi umumnya bertujuan untuk meningkatkan kemandirian daerah dan mengatasi masalah rentang kendali yang menyebabkan adanya ketidakmerataan pelayanan publik. Sehingga diharapkan setelah dilakukannya pemekaran, kondisi DOB dapat lebih baik dibandingkan dengan kondisi DOB apabila masih bergabung dengan daerah induknya. Namun untuk membandingkan dengan kondisi DOB apabila masih bergabung dengan daerah induk sulit untuk dilakukan sebab datanya tidak tersedia. Sehingga penentuan keberhasilan dilakukan dengan membandingkan kondisi DOB dan daerah induk pada tahun yang sama, dengan asumsi DOB akan berhasil dalam pemekarannya (dari sisi ekonomi) jika kondisi perekonomiannya lebih baik dari daerah induknya.


(45)

Kondisi DOB dan daerah induk dilihat melalui nilai IKE masing-masing daerah, sehingga didapatkan IKE daerah induk dan IKE DOB. DOB yang berhasil dalam lima tahun awal pemekarannya adalah DOB yang memiliki nilai IKE yang lebih besar dibandingkan IKE daerah induknya. Setelah diketahui apakah suatu daerah berhasil atau tidak dan didapatkan nilai selisih IKE DOB dan daerah induk (sebagai variabel dependen), maka dapat dilihat faktor apa saja yang memengaruhi keberhasilan menggunakan metode analisis regresi berganda. Secara sistematis kerangka pemikiran dapat dijelaskan dalam Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran

Keterangan:

: Metode yang digunakan : Alur analisis


(46)

2.4. Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan kerangka pemikiran, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. PDRB per kapita memiliki pengaruh yang positif terhadap keberhasilan pemekaran wilayah, sebab PDRB per kapita menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat, sejauh tingkat kemerataannya cukup merata. Peningkatan kesejahteraan masyarakat ini merupakan salah satu tujuan dari pemekaran.

2. PAD memiliki pengaruh yang positif terhadap keberhasilan pemekaran wilayah, sebab PAD menunjukkan kemandirian daerah. Semakin tinggi persentase PAD terhadap pemasukan daerah maka wilayah tersebut semakin mandiri. Hal ini merupakan tujuan dari otonomi daerah.

3. DAU memiliki hubungan yang negatif terhadap keberhasilan pemekaran wilayah sebab DAU menunjukkan mampu tidaknya sebuah daerah membiayai pengeluaran daerahnya. Daerah yang semakin mampu membiayai pengeluarannya, maka daerah tersebut akan mendapatkan DAU yang semakin kecil. Hal ini berarti daerah tersebut telah berhasil dalam pelaksanaan pemekaran wilayahnya.

4. IPM memiliki pengaruh yang positif terhadap keberhasilan pemekaran wilayah. semakin tinggi nilai IPM, maka akan semakin tinggi kemampuan dasar dari setiap penduduk. Selanjutnya peningkatan ini akan berdampak pada meningkatnya produktivitas dari masyarakat, kemudian berlanjut pada pembangunan yang semakin baik, dan daerah dapat semakin berkembang.


(47)

5. Angka kemiskinan memiliki hubungan yang negatif dengan keberhasilan pemekaran wlayah, sebab semakin besar jumlah penduduk miskin berarti semakin banyak jumlah penduduk yang tidak produktif, sehingga ketergantungan DOB terhadap pemerintah pusat akan bertambah.

6. DOB yang berbentuk kota akan lebih berhasil dibandingkan DOB yang berbentuk kabupaten. Hal ini sesuai dengan karakteristik kota yang secara umum lebih baik dibandingkan kabupaten.


(48)

Penelitian dilakukan terhadap semua kabupaten/kota di Indonesia yang merupakan daerah hasil pemekaran semenjak dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999. Daerah yang dianalisis adalah daerah yang mekar pada tahun 1999 hingga tahun 2003, sebab telah melaksanankan otonomi daerah lebih dari lima tahun. Pemilihan waktu lima tahun ini didasari atas terlaksananya Rencana Pembagunan Jangka Menengah (RJPM) pada awal pemerintahan DOB, sehingga dapat dilakukan analisis terhadap keberhasilan pelaksanakan pemekaran. Selain itu, data yang dibutuhkan dari setiap daerah yang dianalisis sudah tersedia. Penilaian keberhasilan dilihat melalui selisih kinerja perekonomian setiap DOB dengan daerah induknya. Pengumpulan data dilakukan pada awal Maret hingga pertengahan April 2011.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder. Penentuan daerah yang dianalisis berdasarkan data yang diperoleh dari Ditjen Otonomi Daerah KEMDAGRI. Data-data lain yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data PDRB, PDRB per kapita, rasio PDRB kabupaten atau kota terhadap PDRB propinsi, IPM, dan angka kemiskinan. Seluruh data PDRB yang digunakan menggunakan dasar harga berlaku dengan tujuan untuk menghindari perbedaan harga dasar dan data berdasarkan harga berlaku tersedia untuk seluruh variabel.


(49)

Data-data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Selain itu digunakan pula data APBD yang didapatkan dari DJPK Kementrian Keuangan.

3.3. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif, metode indeksasi, dan model analisis regresi berganda. Teknik analisis deskriptif untuk memberikan gambaran awal mengenai DOB. Metode indeksasi digunakan dalam penentuan keberhasilan pemekaran dengan bantuan program Ms. Excel. Penentuan faktor-faktor penentu keberhasilan digunakan model analisis regresi berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS) menggunakan program Eviews 6.

3.3.1. Analisis Deskriptif

Analisis ini bertujuan untuk memberikan gambaran awal mengenai keberhasilan pemekaran, IKE, PDRB per kapita, PAD, Dana Perimbangan, IPM, dan angka kemiskinan di setiap DOB yang dianalisis. Selain itu dilihat pula pengaruh perbedaan jenis pemekaran kabupaten dan kota, dengan membandingkan besarnya nilai variabel-variabel yang dianalisis dikedua jenis pemekaran tersebut. Selain itu, pada beberapa variabel dilihat perbedaan dari kabupaten dan kota yang memiliki urutan IKE tertinggi dan terendah, sehingga dapat dilihat apakah terdapat perbedaan yang signifikan terhadap daerah-daerah tersebut.

3.3.2. Metode Indeksasi

Metode indeksasi selain dilakukan oleh KEMDAGRI (2011) dalam evaluasi DOB hasil pemekaran dan BAPPENAS (2008) dalam evaluasi dampak


(50)

 ... (3.2)  ... (3.1) pemekaran wilayah, juga digunakan oleh BPS dalam menentukan nilai IPM. Adanya variabel yang kompleks dan kondisi yang berbeda antardaerah mengharuskan dilakukan standarisasi data. Dilakukannya standarisasi data membuat data yang dihasilkan berada dalam range nol sampai satu, sehingga saat membandingkan antara daerah induk dengan DOB menjadi semakin mudah. Keuntungan dari digunakannya metode ini yaitu cukup mudah untuk dilakukan dan tidak membutuhkan peralatan dan keahlian khusus, sebab hanya menggunakan operasi matematika sederhana. Metode perhitungan yang digunakan untuk menstandarisasi data adalah:

Dimana:

= Nilai Kabupaten ke-i untuk variabel ke-j, yang terstandardisasi

= Nilai data asal kabupaten ke-i untuk variabel ke-j

= nilai minimum variabel ke-j = nilai maksimum variabel ke-j

Dari hasil standardisasi data tersebut kemudian dihitung rata-rata pada masing-masing kelompok variabel. Untuk mendapatkan hasil Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) di setiap daerah yang terdiri atas beberapa variabel, maka seluruh variabel akan dirata-ratakan dengan mengunakan rumus:


(51)

 ... (3.3)

 

... (3.4) Dimana:

Indeks = indeks yang akan dihitung untuk daerah ke-i

, = indeks variabel ke-n untuk daerah ke-i

= jumlah variabel

Dalam penyusunan indeks kinerja ekonomi perlu diperhatikan konsistensi dari setiap variabel yang digunakan, artinya setiap variabel yang digunakan adalah searah. Sehingga apabila terdapat variabel yang berbeda arahnya perlu dilakukan penyesuaian dengan reverse index, yaitu dengan menggunakan rumus:

Dimana:

, = riverse index variabel untuk daerah ke-i

Variabel yang akan digunakan untuk menghitung IKE adalah PDRB berdasarkan harga berlaku, PDRB per Kapita, rasio PDRB kabupaten terhadap PDRB provinsi, dan persentase kemiskinan. Semua variabel kecuali persentase kemiskinan memiliki pengaruh yang positif terhadap IKE, sehingga nilai IKE dapat diperoleh dengan rumus:

IKE 4

Dimana:

IKE = indeks kinerja ekonomi untuk daerah i

= indeks variabel PDRB berdasarkan harga berlaku untuk daerah ke-i = indeks variabel PDRB per Kapita bardasarkan harga berlaku untuk


(52)

= indeks variabel Rasio PDRB kabupaten/kota terhadap PDRB propinsi untuk daerah ke-i

= rivers indeks variabel persentase kemiskinan untuk daerah ke-i Berdasarkan hasil perhitungan IKE terhadap daerah induk dan DOB, maka dapat dilihat tingkat keberhasilan dari pemekaran wilayah. Keberhasilan ini didapatkan dengan menghitung selisih antara IKE DOB dengan IKE daerah induk. Jika selisihnya adalah positif, maka DOB telah berhasil dalam pemekaran, namun jika selisihnya adalah negatif, maka DOB belum berhasil dalam pemekaran.

3.3.2. Analisis Regresi Berganda

Model persamaan regresi berganda mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pemekaran wilayah dirumuskan dari berbagai literatur mengenai pemekaran wilayah. Metode pendugaan yang digunakan dalam analisis ini adalah Ordinary Least Square (OLS). Pemilihan metode analisis ini didasari kemudahan dalam penggunaannya dan model yang dihasilkan cukup menjawab tujuan yang ingin dicapai (Juanda, 2009). Variabel yang digunakan dalam analisis ini adalah Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) sebagai variabel dependen dan yang menjadi variabel independennya adalah PDRB per kapita, PAD, DAU, IPM, angka kemiskinan, dan dummy jenis pemekaran kabupaten atau kota. Secara umum persamaan regresi berganda dapat dirumuskan sebagai berikut:

... (3.5) Dimana :


(53)

= PDRB per kapita (juta rupiah)

= Pendapatan asli daerah (juta rupiah)

DAU = Dana Alokasi Umum (juta rupiah)

IPM = Indeks Pembangunan Manusia

= Jumlah penduduk penduduk miskin (jiwa)

= Dummy jenis pemekaran (0 jika pemekaran kabupaten, dan 1 jika pemekaran kota)

= Konstanta (intercept)

= Parameter yang diduga (n = 1,2,…,5)

= daerah ke-i

= random error

PDRB per kapita digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. PAD digunakan untuk menunjukkan kemandirian daerah. DAU menunjukkan ketergantungan suatu daerah terhadap pembiayaan yang berasal dari pusat. Penggunaan data DAU berdasarkan persentase terhadap dana perimbangan, dimana DAU memiliki persentase terbesar dibandingkan jenis dana perimbangan lainnya. Angka kemiskinan menunjukkan seberapa besar jumlah penduduk yang tidak produktif.

3.3.3. Pengujian Model dan Hipotesis

3.3.3.1. Pengujian Kesesuaian Model (Goodness of Fit)

Koefisien determinasi (R2) menunjukkan kesesuaian (goodness of fit) dari

model yang telah dibuat, sehingga model tersebut memiliki kualitas yang baik.


(54)

Semakin mendekati satu nilai R2 maka semakin baik model yang dibuat. Jika nilai

R2 sama dengan nol (R2 = 0), hal ini berarti variabel dependen tidak dapat

diterangkan oleh variabel independennya, atau dengan kata lain tidak ada

hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. Jika nilai R2 sama

dengan satu (R2 = 1), maka variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel

independennya secara sempurna.

Namun nilai R2 yang tinggi tidak selalu membuktikan bahwa kualitas dari

suatu model sudah baik. Hal ini umumnya terjadi pada analisis time series, dimana dalam setiap variabelnya cenderung mengalami kenaikan seiring

berjalannya waktu, sehingga akan menghasilkan nilai R2 yang cukup tinggi.

Tetapi dalam analisis cross section nilai R2 cenderung rendah, karena tidak terlalu

terpengaruh oleh kenaikan variabel setiap tahunnya. Secara umum R2 dapat

dihitung menggunakan rumus:

R2 = RSS/TSS ... (3.6) Dimana :

RSS = Jumlah kuadrat residual (Ressidual Sum Square) TSS = Jumlah kuadrat total (Total Sum Square)

3.3.3.2. Pengujian Asumsi Model

Pengujian model dilakukan dengan kriteria statistik dan ekonometrika. Pengujian kriteria statistik dilakukan dengan menggunakan uji-t dan uji-F. Uji-t dapat dilihat dari nilai probabilitas t-statistiknya. Sedangkan uji-F dapat dilihat dari nilai F-statistiknya. Jika nilai kedua probabilitas tersebut lebih kecil dari taraf


(55)

nyatanya, maka peubah bebas berpengaruh signifikan terhadap variabel terikatnya.

Suatu variabel yang digunakan dalam sebuah model memerlukan adanya pengujian asumsi yang terdapat pada metode OLS. Hal ini dimaksudkan agar estimasi variabel penduga yang digunakan bersifat BLUE (Best, Linear, Unbiased, Estimation), sehingga didapatkan kebenaran suatu model dalam penelitian. Adapun uji asumsi yang dilakukan terdiri atas uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi.

1. Uji Normalitas

Firdaus (2004) menyebutkan bahwa uji normalitas merupakan salah satu asumsi statistik dimana error term terdistribusi secara normal. Model regresi seperti itu disebut model regresi linear normal klasik. Regresi normal klasik mengasumsikan bahwa setiap i didistribusikan secara normal dengan:

Rata-rata : E ( i) = 0 ... (3.7) Varians : E ( i) = ... (3.8) Cov ( i, j) : E ( i, j) = 0 i≠j ... (3.9)

Asumsi ini secara ringkas dapat dinyatakan:

i ~ N (0, ... (3.10) Di mana ~ berarti “didistribusikan sebagai” dan N berarti “distribusi normal”.

Angka dalam tanda kurung menunjukkan rata-rata i = 0 dan varians i = . Perlu


(56)

kovarian atau korelasi nol berarti dua variabel tersebut independen. Jadi, asumsi

itu berarti bahwa i dan ij bukan hanya tidak berkorelasi, tetapi juga independen.

Pada software Eviews 6, uji normalitas dilakukan dengan uji Jarque-Bera.

Apabila nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf nyata (α), maka hasil

estimasi tersebut memenuhi asumsi kenormalan atau error term telah terdistribusi dengan normal. Uji normalitas juga bisa dilakukan dengan melihat pola sisaan. Apabila sisaan berpola linear, yaitu berbentuk lonceng terbalik maka bisa dikatakan sisaan dalam model dianggap sudah terdistribusi dengan normal.

2. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas merupakan hubungan linear yang kuat antarvariabel independen dalam analisis regresi berganda. Ciri-ciri terjadinya multikolinearitas adalah sebagai berikut :

a. Nilai R2 tinggi, tetapi variabel independen banyak yang tidak signifikan.

b. Tanda koefisien banyak yang tidak sesuai dengan harapan. c. Matriks korelasi antarvariabel tinggi (rij > │0,8│).

d. Nilai R2 lebih kecil dari nilai rij.

Multikolinearitas menyebabkan koefisien kuadrat terkecil tidak dapat ditentukan, serta varians dan kovarians dari koefisien yang hampir sempurna menyebabkan persamaan yang dibentuk secara statistik mempunyai standar error yang besar dan menyebabkan selang kepercayaan menjadi lebih besar. Hal ini mengakibatkan nilai estimasi koefisiennya menjadi tidak tepat.


(57)

3. Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas adalah varians kesalahan tidak sama untuk setiap

periode, padahal salah satu syarat model yang baik adalah varians kesalahannya sama. Dampak dari adanya heteroskedastisitas adalah dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS tidak bias, tetapi masih konsisten, standar errornya bias ke bawah, dan penduga OLS tidek efisien lagi (Juanda 2009). Heteroskedastisitas dapat muncul karena beberapa sebab, diantaranya :

a. Sifat variabel yang diikutsertakan ke dalam model.

b. Sifat data yang digunakan dalam analisis, yaitu data cross section lebih sering memunculkan masalah heteroskedastisitas dibandingkan data time series.

Pada Program Eviews 6, untuk mengetahui ada tidaknya

heteroskedastisitas dalam suatu model dapat digunakan uji Breusch Pagan Godfrey. Jika nilai probabilitas obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata (nilai

probabilitas obs*R-squared > α) berarti tidak ada heteroskedastisitas. Namun jika

nilai probabilitas obs*R-squared lebih kecil atau sama dengan dari taraf nyata

(nilai probabilitas obs*R-squared ≤α) berarti ada heteroskedastisitas.

4. Uji Autokorelasi

Autokorelasi adalah terjadinya hubungan antara anggota-anggota dari serangkaian pengamatan. Autokorelasi terdeteksi ketika terjadi hubungan antara galat estimasi suatu observasi dengan galat estimasi observasi lainnya. Masalah autokorelasi umumnya terjadi pada data time series, namun tidak jarang pula terjadi pada data cross section. Juanda (2009) menyebutkan autokorelasi pada


(58)

autokorelasi spasial. Hal ini terjadi saat kecamatan yang menjadi sampel saling berdekatan dan memiliki karakteristik yang mirip. Dampak dari adanya autokorelasi yaitu dugaan variabel dari suatu model menjadi tidak bias, masih konsisten, mempunyai standar error yang bias ke bawah atau lebih kecil dari nilai sebenarnya, dan tidak efisien. Semua hal tersebut membuat hipotesis menjadi tidak valid.

Penentuan ada tidaknya autokorelasi dapat ditentukan dengan dua cara yaitu uji Durbin-Watson (DW) dan uji Breusch-Godfrey. Winarno (2002) menyebutkan dalam mendeteksi autokorelasi dapat menggunakan nilai d (yang menggambarkan nilai DW), dimana pengambilan keputusannya adalah :

Tabel 3.1 Pengambilan Keputusan pada Uji Durbin-Watson

Tolak H0

berarti ada autokorelasi

positif

Tidak dapat diputuskan

Tidak tolak H0

berarti tidak ada autokorelasi

Tidak dapat diputuskan

Tolak H0

berarti ada autokorelasi

negative

0 dL du 4 - du 4 - dL 4

Sumber : Gujarati, 2004

Namun Uji DW memiliki kelemahan yaitu hanya berlaku pada variabel independen yang bersifat stokastik (random) dan tidak dapat digunakan pada model rata-rata bergerak (moving average). Sehingga untuk mengatasi permasalahan ini dapat digunakan uji Breusch-Godfrey.

Uji autokorelasi Breusch-Godfrey dapat dilakukan apabila menggunakan

program eviews saat mengolah data. Uji autokorelasi ini dalam eviews dikenal

dengan nama Breusch-Godfrey Serial Correlation LM. Jika nilai probabilitas


(59)

berarti tidak ada autokorelasi. Namun jika nilai probabilitas obs*R-squared lebih

kecil atau sama dengan dari taraf nyata (nilai probabilitas obs*R-squared ≤ α)


(60)

 

IV. KONDISI EKONOMI KABUPATEN/KOTA HASIL PEMEKARAN

Tujuan dilakukannya pemekaran wilayah yaitu untuk memperkecil rentang kendali pemerintahan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan daerah yang lebih baik lagi, serta meningkatkan kemandirian daerah. Pemekaran wilayah sebenarnya merupakan sesuatu yang sudah lama dilaksanakan, bahkan sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 22/1999 pemekaran sudah banyak terjadi. Namun semenjak disahkannya undang-undang tersebut, pemekaran justu semakin banyak terjadi karena persyaratan pemekaran menjadi semakin mudah. Padahal dulu sebelum adanya undang-undang pemekaran, suatu daerah yang ingin dimemekarkan memerlukan perencanaan yang cukup lama dan matang. Perbedaan trend inilah yang membuat maraknya pemekaran, namun sayangnya pemekaran tersebut umumnya tidak diikuti oleh kesiapan setiap daerah untuk mandiri, sehingga banyak daerah dinyatakan belum berhasil dalam melaksanakan pemekaran wilayah.

4.1. Indeks Kinerja Ekonomi (IKE)

Penentuan keberhasilan pemekaran dalam skripsi ini lebih difokuskan pada nilai IKE. DOB yang memiliki IKE yang lebih tinggi dibandingkan daerah induknya merupakan DOB yang dianggap berhasil dalam melaksanakan pemekaran wilayah. Sedangkan DOB yang memiliki IKE lebih rendah dibandingkan daerah induknya disebut daerah yang belum berhasil dalam pemekaran wilayah. Dari hasil penelitian terlihat bahwa dari 141 daerah yang


(61)

 

mekar, jumlah daerah yang berhasil setelah lima tahun pemekaran sebanyak 58 daerah atau 41 persen (Lampiran 1).

Tabel 4.1. Urutan Daerah Tertinggi dan Terendah Berdasarkan Hasil Perhitungan Indeks Kinerja Ekonomi (IKE)

No

Urut Daerah Induk

Nilai

IKE DOB

Nilai

IKE Kriteria

1 Kab. Fak-Fak 0.882 Kab. Mimika 2.890 Berhasil 2 Kab. Kep Riau (Bintan) 1.433 Kota Batam 2.369 Berhasil 3 Kab. Sumbawa 1.182 Kab. Sumbawa Barat 2.345 Berhasil 4 Kab. Bangka 1.737 Kab. Bangka Barat 1.973 Berhasil 5 Kab. Serang 1.528 Kota Cilegon 1.885 Berhasil 137 Kab. Manokwari 0.979 Kab. Teluk Wondama 0.688 Tidak Berhasil 138 Kab. Jayawijaya 0.615 Kab. Pegunungan Bintang 0.656 Berhasil 139 Kab. Jayawijaya 0.615 Kab. Yahukimo 0.608 Tidak Berhasil 140 Kab. Nabire 0.789 Kab. Paniai 0.565 Tidak Berhasil 141 Kab. Jayawijaya 0.619 Kab. Puncak Jaya 0.521 Tidak Berhasil

Berdasarkan hasil perhitungan IKE dari setiap daerah otonom baru (Tabel 4.1), maka kabupaten/kota yang memiliki IKE tertinggi adalah Kab. Mimika, Kota Batam, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Bangka Barat, dan Kota Cilegon. Kelima kabupaten/kota tersebut seluruhnya telah berhasil dalam pemekaran daerahnya, sebab memiliki nilai IKE yang lebih besar disbanding daerah induknya. Sedangkan yang memiliki IKE terendah adalah Kab. Teluk Wondama, Kab. Pegunungan Bintang, Kab. Yahukimo, Kab. Paniai, dan Kab. Puncak Jaya. Kab. Pegunungan Bintang merupakan daerah yang telah berhasil dalam pemekaran wilayah, sedangkan keempat daerah lainnya merupakan daerah yang belum berhasil dalam pelaksanaan pemekaran. Sehingga terlihat bahwa nilai IKE yang kecil dari suatu wilayah tidak berarti daerah tersebut belum berhasil dalam pelaksanaan pemekaran wilayah. Tetapi keberhasilan ini lebih disebabkan adanya peningkatan kinerja perekonomian pada DOB setelah pemekaran, sehingga saat


(62)

 

dibandingkan dengan daerah induk, maka DOB akan memiliki nilai IKE yang lebih tinggi.

Hasil perhitungan IKE jika dibandingkan dengan evaluasi yang dilakukan oleh KEMDAGRI, maka terdapat perbedaan dari urutan DOB. Lima urutan teratas dari hasil evaluasi yang dilakukan KEMDAGRI adalah Kota Banjarbaru, Kota Cimahi, Kab. Dharmas Raya, Kab. Bangka Tengah, dan Kab. Samosir. Sementara dari hasil penelitian ini daerah-daerah tersebut menempati urutan 27, 35, 56, 11, dan 99. Selain itu kelima urutan teratas tersebut dalam penelitian ini tidak semuanya merupakan daerah yang berhasil dalam pemekaran. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun daerah berada dalam urutan teratas, namun tidak semuanya memiliki kondisi yang lebih baik dari daerah induknya terutama saat lima tahun pertama setelah pemekaran.

4.2. PDRB per Kapita

Pemekaran wilayah merupakan salah satu jalan keluar dari permasalahan pembangunan ekonomi. Tambunan (2003) menyebutkan indikator pembangunan ekonomi diantaranya PDRB per kapita. PDRB per kapita menggambarkan tingkat kesejahteraan yang terjadi di suatu masyarakat, sejauh tingkat pemerataannya cukup merata. Semakin tinggi nilai PDRB per kapita maka dapat dikatakan masyarakat semakin sejahtera.


(1)

106

   

DOB Tahun Pemekaran Ke-

1 2 3 4 Kab. Lamandau 5.4 4.9 4.8 4.6 Kab. Gunung Mas 10.2 9.3 9 8.7 Kab. Pulang Pisau 13.8 12.6 12 11.1 Kab. Murung Raya 9.8 8.9 8.7 8 Kab. Barito Timur 12 10.9 11.6 11 Kota Banjarbaru 6.4 8.1 6.6 6.6 Kab. Tanah Bumbu 22.1 17.8 12.9 13.5 Kab. Balangan 13.8 11.5 7.8 7.3 Kab. Nunukan 18.7 22.4 22.7 21.3 Kab. Malinau 10.1 11.2 11.3 10.8 Kab. Kutai Barat 21.3 19.8 19.9 20.1 Kab. Kutai Timur 27.7 28.5 27.9 26.6 Kota Bontang 8.7 8.2 7.9 7.6 Kab. Panajam Paser Utara 18.1 21.4 21.4 16.1 Kab. Kepulauan Talaud 10.1 11.7 11.9 9.7 Kota Tomohon 7.1 7 6.3 6.1 Kab. Minahasa Selatan 37.3 24.9 21.4 20.5 Kab. Minahasa Utara 17.5 17.5 14.7 14.2 Kab. Buol 29 29.8 29.5 34.1 Kab. Morowali 46.2 46.4 42.6 49.4 Kab. Banggai Kepulauan 94.6 42.9 40.1 42.1 Kab. Parigi Moutong 84.4 90.3 90.1 84.5 Kab. Tojo Una-Una 51 54 53.8 52.3 Kab. Luwu Utara 71.6 41.8 40.7 42.3 Kota Palopo 14.6 17.4 17.4 18.2 Kab. Luwu Timur 24.9 22.9 25.3 21 Kota Bau-Bau 22.1 21.3 23.1 22.6 Kab. Konawe Selatan 48.2 47.1 43.7 40.4 Kab. Bombana 24.2 23.6 21.8 20.2 Kab. Wakatobi 24.5 26 24.9 23 Kab. Kolaka Utara 26.7 26.8 29.3 28.4 Kab. Boalemo 63.7 33.8 34.3 32.5 Kab. Bone Bolango 39.1 36.1 27.1 24.1 Kab. Pohuwato 35.1 31.3 24.5 22.5 Kab. Mamasa 37.2 31.4 31 24.7 Kab. Mamuju Utara 10.9 9.2 7 7.1 Kab. Buru 48.7 38.3 38.3 41.8 Kab. Maluku Tenggara


(2)

107

   

DOB Tahun Pemekaran Ke-

1 2 3 4 Kab. Seram Bagian Barat 55.7 53.6 50.7 48 Kab. Seram Bagian

Timur 31.8 31.8 30.8 29.3

Kab. Kepulauan Aru 26.9 25.9 29.8 28.5 Kota Ternate 7.9 6 6 7.8 Kota Tidore Kepulauan 6.6 5.9 5.2 4.9 Kab. Halmehera Selatan 24 23.3 23 20.8 Kab. Halmehera Utara 18.5 17.5 16.6 15.2 Kab. Kepulauan Sula 19.3 17.7 17.4 14.7 Kab. Halmehera Timur 14.2 13.5 13.8 13.5 Kota Sorong 56.2 16.9 21.6 71 Kab. Sorong Selatan 17.1 16 16.4 16.3 Kab. Kepulauan Raja

Ampat 12.2 11.4 10.4 9.7

Kab. Teluk Bintuni 27.5 25.9 30.1 28.5 Kab. Teluk Wondama 11.9 11.5 12 11.1 Kab. Kaimana 14.2 14.7 13.7 10.6 Kab. Paniai 64.1 50.8 54.6 59 Kab. Mimika 33.2 38 38.8 42.3 Kab. Puncak Jaya 54.5 34.9 55.8 60 Kab. Sarmi 9.5 10.4 10.2 8.3 Kab. Keerom 11.5 11.7 11 11.5 Kab. Pegunungan Bintang 44.8 48 45 42 Kab. Yahukimo 66.7 71 69.4 72.7 Kab. Tolikara 21.6 21.1 21.1 21.9 Kab. Waropen 10.5 10.3 9.9 6.7 Kab. Boven Digoel 9.8 9.6 9.1 9.3 Kab. Mappi 21.4 23.5 23 24.4 Kab. Asmat 21 22 21.5 25.7 Kab. Supiori 7.1 6.9 6.1 6.2


(3)

 

Lampiran 7. Tabel Statistika Deskriptif

Y

PDRBK

PAD

DAU

IPM

AK

DKK

Mean

-0.000206

9854.523

47.19347

250.2515

68.79014

30.00000

0.191489 Mean

Median

-0.016780

6571.082

14.20257

243.0416

69.28000

22.50000

0.000000 Median

Maximum

2.007851

136488.3

990.2920

534.2230

77.10000

248.4000

1.000000 Maximum

Minimum

-0.582945

956.2660

1.270000

22.70800

47.94000

3.400000

0.000000 Minimum

Std. Dev.

0.275538

15024.50

135.0695

85.48120

5.159036

28.91928

0.394876 Std. Dev.

Skewness

3.340502

6.393711

5.413320

0.375682

-2.120129

3.767814

1.568140 Skewness

Kurtosis

23.71985

49.41759

33.64294

4.051554

9.153136

25.44928

3.459064 Kurtosis

Jarque-Bera

2784.446

13618.90

6205.211

9.813094

328.0651

3294.439

59.02611 Jarque-Bera

Probability

0.000000

0.000000

0.000000

0.007398

0.000000

0.000000

0.000000 Probability

Sum

-0.028998

1389488.

6654.279

35285.47

9699.410

4230.000

27.00000 Sum

Sum Sq. Dev. 10.62899

3.16E+10

2554129.

1022985.

3726.192

117085.4

21.82979 Sum Sq. Dev.

Observations

141

141

141

141

141

141

141

Observations


(4)

 

Lampiran 8. Matriks Korelasi Pearson

Covariance Analysis: Ordinary

Date: 06/04/11 Time: 05:48 Sample: 1 141

Included observations: 141

Correlation

Probability Y PDRBK PAD DAU IPM AK DKK

Y 1.000000

---

PDRBK 0.747405 1.000000

0.0000 ---

PAD 0.208119 -0.001206 1.000000

0.0133 0.9887 ---

DAU -0.106423 -0.112228 -0.127492 1.000000

0.2091 0.1852 0.1319 ---

IPM 0.126889 0.065054 0.155761 -0.448844 1.000000

0.1338 0.4434 0.0651 0.0000 ---

AK -0.077479 -0.064616 -0.089890 0.289875 -0.120933 1.000000

0.3611 0.4465 0.2891 0.0005 0.1532 ---

DKK 0.274749 -0.002385 0.435001 -0.238070 0.405449 -0.147429 1.000000


(5)

110

  0 2 4 6 8 10 12

-0.50 -0.25 0.00 0.25

Series: Residuals Sample 1 141 Observations 141

Mean 4.62e-17

Median -0.001657

Maximum 0.425823

Minimum -0.486082

Std. Dev. 0.163619

Skewness 0.020268

Kurtosis 2.892809

Jarque-Bera 0.077156

Probability 0.962157

Lampiran 9. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan

Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota

Dependent Variable: Y Method: Least Squares Date: 06/04/11 Time: 05:49 Sample: 1 141

Included observations: 141

White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PDRBK 1.38E-05 1.38E-06 10.03624 0.0000 PAD 0.000225 0.000103 2.192300 0.0301 DAU 0.000132 0.000193 0.680270 0.4975 IPM -0.001115 0.003516 -0.317227 0.7516 AK 3.11E-05 0.000549 0.056558 0.9550 DKK 0.172543 0.044729 3.857553 0.0002

C -0.137318 0.265281 -0.517633 0.6056 R-squared 0.647381 Mean dependent var -0.000206

Adjusted R-squared 0.631592 S.D. dependent var 0.275538 S.E. of regression 0.167243 Akaike info criterion -0.690373 Sum squared resid 3.747987 Schwarz criterion -0.543981 Log likelihood 55.67130 Hannan-Quinn criter. -0.630884 F-statistic 41.00218 Durbin-Watson stat 1.453883 Prob(F-statistic) 0.000000

Lampiran

10. Uji Kenormalan Model Keberhasilan Pemekaran Wilayah

Kabupaten/Kota di Indonesia


(6)

111

 

Lampiran 11. Uji Homoskedastisitas Model Keberhasilan Pemekaran Wilayah

Kabupaten/Kota di Indonesia

Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey

F-statistic

0.510807 Prob. F(6,134)

0.7993

Obs*R-squared

3.152833 Prob. Chi-Square(6)

0.7894

Scaled explained SS 2.694941 Prob. Chi-Square(6)

0.8460

Lampiran 12. Uji Autokorelasi Model Keberhasilan Pemekaran Wilayah

Kabupaten/Kota di Indonesia

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic

1.747592 Prob. F(10,124)

0.0774

Obs*R-squared

17.41713 Prob. Chi-Square(10)

0.0656


Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Pemekaran Wilayah Induk Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus: Kabupaten Asahan)

13 93 123

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JUMLAHPENDUDUK MISKIN DI WILAYAH PEMEKARAN TINGKAT ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JUMLAH PENDUDUK MISKIN DI WILAYAH PEMEKARAN TINGKAT KABUPATEN (Studi Kasus Perbandingan Jumlah Penduduk Miskin Sebelum Dan

0 4 16

FAKTOR-FAKTOR GEOGRAFI TERHADAP RENCANA PEMEKARAN WILAYAH KABUPATEN KUNDUR SEBAGAI KABUPATEN BARU DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU.

9 28 38

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEBERHASILAN PENGOBATAN TUBERKULOSIS Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis Di Wilayah Puskesmas Nguter Kabupaten Sukoharjo.

0 5 16

PENDAHULUAN Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis Di Wilayah Puskesmas Nguter Kabupaten Sukoharjo.

0 3 7

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEBERHASILAN PENGOBATAN TUBERKULOSIS Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis Di Wilayah Puskesmas Nguter Kabupaten Sukoharjo.

0 2 13

Faktor-Faktor Pendukung Keberhasilan Program Dokter Kecil Di Wilayah Puskesmas Tamblong.

2 4 17

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan berwirausaha pada alumni SMK di Kabupaten Purworejo Cover

0 6 19

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WARA UTARA KOTA PALOPO | Karya Tulis Ilmiah

7 25 46

TAPPDF.COM PDF DOWNLOAD ANALISIS FAKTORFAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN ...

0 6 11