Analisis Pengaruh Pemekaran Wilayah Induk Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus: Kabupaten Asahan)

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS EKONOMI MEDAN

ANALISIS PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH INDUK TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT (STUDI KASUS: KABUPATEN ASAHAN)

SKRIPSI

Diajukan Oleh :

Nama : Frans March Kepler P NIM : 070501039

Departemen : Ekonomi Pembangunan

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Ekonomi Medan 2011


(2)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemekaran wilayah induk terhadap sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Asahan. Dalam proses analisisnya, melihat perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan pemekaran wilayah dari indikator-indikator sosial ekonomi masyarakat yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan tingkat pengangguran.

Penelitian ini menggunakan metode Wilcoxon Match Pairs Test. Uji ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan sosial ekonomi masyarakat sebelum dan sesudah dilakukannya pemekaran wilayah induk di Kabupaten Asahan. Dari hasil analisis dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan pada setiap masing-masing indikator sosial ekonomi masyarakat yakni Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan tingkat pengangguran antara sebelum dengan sesudah pemekaran wilayah di Kabupaten Asahan. Dari perbedaan tersebut dapat dilihat bahwa pemekaran wilayah induk berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran. Sedangkan pemekaran wilayah induk berpengaruh negatif terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Kata Kunci : Pemekaran wilayah induk, Wilcoxon Match Pairs Test, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan tingkat pengangguran.


(3)

ABSTRACT

The aim of this research is to know the influence of expansion of the parent region to socio economic of society in Asahan District. In the process of analysis, to see the difference before and after regional expansion of socio economic indicators of society, namely Human Development Index (HDI), economic growth, Gross Domestic Regional Product (GDRP) and the unemployment rate.

The research uses Wicoxon Match Pairs Test method. The aim of this test is to know the difference of socio economic of society before and after expansion of the parent region in Asahan District. From the analysis results, it can be seen that there are differences in each socio economic indicators of society, namely Human Development Index (HDI), economic growth, Gross Domestic Regional Product (GDRP) and the unemployment rate between before and after expansion of the parent region in Asahan District. From these differences, it can be seen that expansion of the parent region has a positive effect on the Human Development Index (HDI), economic growth and the unemployment rate. While, expansion of the parent region has a negative effect on the Gross Domestic Regional Product (GDRP).

Keywords : Expansion of the parent region, Human Development Index (HDI), economic growth, Gross Domestic Regional Product (GDRP) and the unemployment rate.


(4)

KATA PENGANTAR

Ucapan syukur, hormat dan pujian yang tidak henti-hentinya Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kasih, berkat, dan penyertaan-Nya yang selalu menaungi dan melingkupi Penulis sehingga penyusunan skripsi ini dapat dikerjakan dengan selesai.

Tujuan penulis dalam menyusun skripsi ini adalah sebagai syarat untuk meraih gelar Sarjana Ekonomi. Adapun judul skripsi yang disusun oleh Penulis yaitu, “ Analisis Pengaruh Pemekaran Wilayah Induk Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus: Kabupaten Asahan)”.

Dalam berbagai bentuk, Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya pengalaman dan terbatasnya ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh Penulis sendiri. Oleh sebab itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna mencapai kesempurnaan skripsi ini pada waktu mendatang.

Selanjutnya, dengan segala kerendahan hati Penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tua yang sangat Penulis sayangi yaitu Bapak P. Pandiangan dan Ibu D. Br. Pasaribu yang telah membesarkan dan mendidik sehingga Penulis bisa sampai seperti sekarang ini, serta kepada Abang (Leonard Edison dan David Florencius) dan Kakak (Juniati, Marlina, dan Ester Margaret) atas segala doa, nasihat dan dukungan yang diberikan sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(5)

Pada kesempatan ini, Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu, memberikan dukungan, memberikan bimbingan, saran dan menjadi inspirasi bagi Penulis selama masa perkuliahan maupun dalam penyusunan skripsi ini, antara lain :

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec., sebagai Dekan Fakultas Ekonomi

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec., sebagai Ketua Departemen Ekonomi

Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution, M.Si., sebagai Sekretaris Departemen

Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.SOC.SC, PhD., sebagai Ketua Program Studi

Ekonomi Pembangunan S1 Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si., sebagai Sekretaris Program Studi Ekonomi

Pembangunan S1 Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Dr. Ramli, SE, MS, sebagai Dosen Pembimbing skripsi yang

sudah meluangkan waktu dalam membimbing, memberikan masukan dan saran baik dari awal penulisan hingga selesainya skripsi ini.

7. Bapak Prof. Dr. Lic.Rer.Reg. Sirojuzilam, SE, sebagai Dosen Penguji I yang

sudah meluangkan waktu memberikan saran dan masukan bagi Penulis dalam rangka penyempurnaan skripsi ini.

8. Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si., sebagai Dosen Penguji II yang sudah

meluangkan waktu memberikan saran dan masukan bagi Penulis dalam rangka penyempurnaan skripsi ini.


(6)

9. Seluruh staf pengajar dan staf administrasi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan.

10.Kepada yang terkasih Dafrosa Mega Sipayung yang selalu ada disamping

Penulis dalam mendukung, memotivasi dan memberikan sumbangan pemikirannya terhadap penyusunan skripsi ini. Begitu juga dengan teman-teman sekaligus saudara di Kelompok Kecil “Gideon” (Bang Joni M, Cyharji H, Freddy S, Ridho S dan Darmanto S).

11.Kepada teman sekaligus sahabat – sahabat Penulis, yaitu “3 Idiots’, Candra,

Vido, Gea, Elvi, Seivrina, Willy, Simon, Alex, Andika, Henry, Harly, “Terompet 12” (Grace, Rima, Vero, Novita, Ira, dan Abram) beserta seluruh teman-teman seperjuangan Ekonomi Pembangunan 2007 yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu namanya. Terima kasih atas kebersamaan kita selama ini dan juga inspirasi, kerjasama, dan dukungan ide yang diberikan.

12.Segenap Pengurus Himpunan Mahasiswa Departemen Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara (HMD-EP FE USU) Periode 2010/2011, atas segala kerja keras dan kerjasamanya dalam menjalankan setiap program kerja selama kepengurusan.

13.Segenap komponen pelayanan di UKM KMK UP FE-USU dan teman-teman

Campus Concern FE-USU atas kebersamaan selama ini, juga inspirasi, ide, doa, bantuan dan semangat dalam proses penyusunan skripsi ini.


(7)

14.Kepada seluruh adik-adik junior di Departemen Ekonomi Pembangunan dari stambuk 2008, 2009 dan 2010, atas kerjasama dan dukungan yang diberikan selama ini.

Medan, Juni 2011 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Judul Halaman

ABSTRAK………..………... i

ABSTRACK……….……….…..……… ii

KATA PENGANTAR………...………..……….. iii

DAFTAR ISI………...………..………….… vii

DAFTAR TABEL………..………... xi

DAFTAR GAMBAR……….……… xii

DAFTAR LAMPIRAN………....… xiii

BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah………..………...… 1

1.2. Perumusan Masalah………...……….………… 7

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian………..… 8

BAB II : TINJAUAN TEORITIS 2.1. Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah……….…...…...…… 9

2.1.1. Otonomi Daerah………..……..… 9

2.1.1.1. Pengertian Otonomi Daerah……….……….. 10

2.1.1.2. Prinsip Otonomi Daerah MenututUU No.32 Tahun 2004………… 11


(9)

2.1.2. Pemekaran Wilayah………..…..……… 15

2.1.2.1. Pengertian, Sebab-sebab dan Tujuan………...……….. 15

2.1.2.2. Konsep Pengembangan Wilayah.………...……… 20

2.1.2.3. Konsep Pemekaran Wilayah……….…. 21

2.1.2.4. Dasar Hukum Pemekaran Wilayah…………..……….. 22

2.1.2.5. Prosedur dalam Pemekaran Wilayah……….……… 24

2.1.2.6. Pihak-pihak di Daerah dalam Pemekaran Wilayah……....… 28

2.2. Pembangunan Ekonomi………... 31

2.2.1. Definisi Pembangunan Ekonomi……….... 31

2.2.2. Pembangunan Ekonomi Daerah………...……….. 33

2.3. Sosial Ekonomi………..………..……... 35

2.3.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)……… 38

2.3.1.1. Definisi dan Pengukuran………...……… 38

2.3.1.2. Metode Penghitungan………...… 42

2.3.2. Pertumbuhan Ekonomi………..……….… 44

2.3.2.1. Definisi Pertumbuhan Ekonomi……… 44

2.3.2.2. Teori-teori Pertumbuhan Ekonomi……….…….. 45

2.3.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)………..…..…… 53

2.3.3.1. Metode Penghitungan………...……… 54

2.3.3.2. Penghitungan Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan…… 56

2.3.4. Tingkat Pengangguran………...………. 58

2.3.4.1. Jenis-jenis Pengangguran………….………..………… 59


(10)

2.3.4.3. Sebab Terjadinya Pengangguran………....… 61

2.3.4.4. Dampak Negatif Pengangguran………..……..…. 62

2.4. Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian………...……...… 63

2.4.1. Kerangka Konseptual………. 63

2.4.2. Hipotesis………. 64

BAB III : METODE PENELITAN 3.1. Lokasi Penelitian……… 66

3.2. Jenis dan Sumber Data……….………. 66

3.3. Pengumpulan Data……….………..……….. 66

3.4. Pengolahan Data……….……...……… 67

3.5. Metode Analisis Data……….………… 67

3.6. Definisi Operasional……….….………. 69

BAB IV : ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Kabupaten Asahan………..…..… 71

4.1.1. Letak Geografis…………..………...…….……… 71

4.1.2. Iklim………...………..……….. 73

4.1.3. Keadaan Penduduk………...……….. 73

4.1.3.1. Jumlah Penduduk……….. 73

4.1.3.2. Kepadatan Penduduk……….……… 75


(11)

4.1.3.4. Pendidikan……….……… 77

4.1.3.5. Ketenagakerjaan……….……….……….. 78

4.1.4. Potensi Wilayah………...…….……….……. 80

4.1.4.1. Sektor Pertanian…………...………..….………... 80

4.1.4.2. Sektor Industri…..……….. 82

4.1.4.3. Sektor Pariwisata…………..…….…………...……….. 83

4.2. Indikator Sosial Ekonomi Masyarakat dan Perkembangannya……... 84

4.2.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)………..………….. 84

4.2.2. Pertumbuhan Ekonomi………..………. 86

4.2.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)………..……….. 88

4.2.4. Tingkat Pengangguran………..………. 90

4.3. Analisis Data dan Hasilnya………..……….……… 92

4.3.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)……… 92

4.3.2. Pertumbuhan Ekonomi………...…..…….. 94

4.3.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)………..……….. 95

4.3.4. Tingkat Pengangguran………..………. 96

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan………..…..…………. 98

5.2. Saran………...………. 99

DAFTAR PUSTAKA………..…… 101


(12)

DAFTAR TABEL

No.Tabel Judul Halaman

1.1 Perkembangan Jumlah Daerah Administratif

Di Indonesia Tahun 1996-2008………... 5

4.1 Luas Wilayah Kabupaten Asahan Per Kecamatan………… 72

4.2 Perkembangan dan Kepadatan Penduduk……….……...…. 74

4.3 Jumlah Produksi, Luas Tanaman dan Luas

Panen Tanaman Pangan di Kabupaten Asahan…..……...… 81

4.4 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten

Asahan Tahun 2004-2009………... 85

4.5 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Asahan

Tahun 2004-2009……….…. 87

4.6 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Kabupaten Asahan 2004-2009………..… 89

4.7 Tingkat Pengangguran Kabupaten Asahan


(13)

DAFTAR GAMBAR

No.Gambar Judul Halaman

2.1 Proses Pengusulan Wilayah Pemekaran

Di Tingkat Daerah………. 25

2.2 Tahapan dan Prosedur Pembentukan Kabupaten/Kota……….………… 26

2.3 Hipotesa Neo-Klasik………...……….. 46

2.4 Jumlah Penduduk Optimal………...………. 49

2.5 Fokus wilayah yang diteliti………...……… 63


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No.Lampiran Judul Halaman

1 Data Penelitian………...…. 103

2 Wicoxon Match Pairs Test IPM………... 104

3 Wilcoxon Match Pairs Test

Pertumbuhan Ekonomi………...… 105

4 Wilcoxon Match Pairs Test PDRB…………...……..… 106

5 Wilcoxon Match Pairs Test


(15)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemekaran wilayah induk terhadap sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Asahan. Dalam proses analisisnya, melihat perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan pemekaran wilayah dari indikator-indikator sosial ekonomi masyarakat yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan tingkat pengangguran.

Penelitian ini menggunakan metode Wilcoxon Match Pairs Test. Uji ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan sosial ekonomi masyarakat sebelum dan sesudah dilakukannya pemekaran wilayah induk di Kabupaten Asahan. Dari hasil analisis dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan pada setiap masing-masing indikator sosial ekonomi masyarakat yakni Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan tingkat pengangguran antara sebelum dengan sesudah pemekaran wilayah di Kabupaten Asahan. Dari perbedaan tersebut dapat dilihat bahwa pemekaran wilayah induk berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran. Sedangkan pemekaran wilayah induk berpengaruh negatif terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Kata Kunci : Pemekaran wilayah induk, Wilcoxon Match Pairs Test, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan tingkat pengangguran.


(16)

ABSTRACT

The aim of this research is to know the influence of expansion of the parent region to socio economic of society in Asahan District. In the process of analysis, to see the difference before and after regional expansion of socio economic indicators of society, namely Human Development Index (HDI), economic growth, Gross Domestic Regional Product (GDRP) and the unemployment rate.

The research uses Wicoxon Match Pairs Test method. The aim of this test is to know the difference of socio economic of society before and after expansion of the parent region in Asahan District. From the analysis results, it can be seen that there are differences in each socio economic indicators of society, namely Human Development Index (HDI), economic growth, Gross Domestic Regional Product (GDRP) and the unemployment rate between before and after expansion of the parent region in Asahan District. From these differences, it can be seen that expansion of the parent region has a positive effect on the Human Development Index (HDI), economic growth and the unemployment rate. While, expansion of the parent region has a negative effect on the Gross Domestic Regional Product (GDRP).

Keywords : Expansion of the parent region, Human Development Index (HDI), economic growth, Gross Domestic Regional Product (GDRP) and the unemployment rate.


(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sejak masa orde lama, orde baru hingga era reformasi sekarang ini, pemerintah selalu melaksanakan pembangunan di segala bidang kehidupan guna meningkatkan taraf hidup masyarakatnya agar menjadi manusia seutuhnya yang berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Karena pada dasarnya pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ini dilaksanakan secara berkesinambungan dan berencana untuk mendapatkan kondisi masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya. Pembangunan yang digalakkan ini diartikan sebagai proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar, baik terhadap struktur ekonomi, perubahan sosial, mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, mengurangi ketimpangan, dan pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi (Todaro dalam Sirojuzilam, 2008). Oleh karena itu, pembangunan tersebut harus mampu mengakomodasi berbagai aspek kehidupan manusia baik material maupun spiritual dan dilakukan secara merata sehingga dapat dirasakan oleh seluruh kalangan masyarakat.

Wilayah Negara Indonesia yang sangat besar dengan rentang geografis yang luas berupa kepulauan, kondisi sosial-budaya yang beragam, jumlah penduduk yang besar, hal ini berpengaruh terhadap proses pengalokasian pembangunan itu dan mekanisme pelaksanaan pemerintahan Negara Indonesia. Dengan kondisi seperti ini menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah. Untuk memudahkan pengaturan atau penataan


(18)

pemerintahan maka diperlukan adanya suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien dan mandiri tetapi tetap terawasi dari pusat.

Pada era reformasi sekarang ini sangat dibutuhkan sistem pemerintahan yang memungkinkan cepatnya penyaluran aspirasi rakyat, alokasi kewajiban negara kepada rakyat secara merata, namun tetap berada di bawah pengawasan pemerintah pusat. Hal tersebut diperlukan agar tidak terjadi lagi ancaman- ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seperti yang pernah munculnya gerakan-gerakan separatisme di daerah- daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), antara lain GAM di Aceh dan RMS di Maluku.

Sumber daya alam daerah di Indonesia yang tidak merata juga merupakan salah satu penyebab diperlukannya suatu sistem pemerintahan yang memudahkan pengelolaan sumber daya alam yang merupakan sumber pendapatan daerah sekaligus menjadi pendapatan nasional. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa terdapat beberapa daerah yang pembangunannya memang harus lebih cepat daripada daerah lain.

Disisi lain, dorongan yang kuat dari masyarakat setempat (lokal) itu sendiri untuk melakukan perubahan ke arah pensejahteraan juga merupakan suatu faktor yang semakin mendesak pemerintah untuk menciptakan satu formula pemerintahan yang pada akhirnya mendukung pembangunan itu. Dari uraian diatas, maka lahirlah sistem pemekaran wilayah yang merupakan implikasi dari desentralisasi dan otonomi daerah yang sampai sekarang masing tetap dilaksanakan.


(19)

Wacana tentang sistem pemekaran wilayah ini, tentu saja tidak terlepas dari wacana desentralisasi politik. Jika kita mencoba mengulang belajar tentang sejarah perkembangannya, pemekaran wilayah di Indonesia sesungguhnya telah terjadi sejak lama ketika zaman kerajaan- kerajaan di nusantara bermunculan. Pada zaman itu, wilayah kekuasaan suatu kerajaan akan terpecah atau dimekarkan apabila terjadi perseteruan ditubuh kerajaan atau yang biasa disebut konflik antar keluarga karajaan maupun kalah peperangan. Pemekaran wilayah semakin marak tatkala penjajahan kolonial mulai masuk ke Indonesia.

Pada masa pra-kemerdekaan, Belanda dan Jepang telah membawa dan menanamkan “virus kolonialisme” ke Indonesia. Belanda sebagai penjajah pada waktu itu telah menerapkan sistem desentralisasi yang bersifat sentralistik, birokratis, dan feodalistis untuk kepentingan mereka. Sistem desentralisasi ini mengarah kepada sisttem pemekaran. Penjajah Belanda menyusun suatu hirearki Pangreh Praja Bumiputra dan Pangreh Praja Eropa yang harus tunduk kepada Gubernur Jenderal. Dikeluarkannya Decentralisatie Wet pada tahun 1903, yang ditindaklanjuti dengan Bestuurshervorming Wet pada tahun 1922, menetapkan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri melalui pembentukan dan pembagian daerah-daerah menjadi daerah otonom yang dikuasai Belanda menjadi gewest (identik dengan propinsi saat ini), regentschap (kabupaaten saat ini) dan staatsgemeente (kotamadya sekarang). Sedangkan pada Pemerintah pendudukan Jepang pada dasarnya melanjutkan sistem pemerintahan daerah seperti zaman Belanda, dengan perubahan ke dalam bahasa Jepang. Pembagian

wilayah-wilayah tersebut umumnya terjadi di Jawa dan sekitarnya yang ditujukan sebagai alat


(20)

kontrol kekuasaan sekaligus memperkecil ruang gerak rakyat Indonesia dalam melakukan pemberontakan.

Pemekaran wilayah yang terjadi pada saat ini merupakan implikasi berlakunya otonomi daerah, yakni UU No.5 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah yang ditetapkan pada masa Presiden B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto. Beliau membuat kebijakan politik baru yang mengubah hubungan kekuasaan pusat dan daerah. Wilayah pusat tidak sepenuhnya lagi mempunyai wewenang terhadap daerah, tetapi sebagian kekuasaan pemerintahan diserahkan kepada daerah. UU tersebut kemudian melahirkan UU No.22 Tahun 1999 tentang Penerintahan Daerah dan seiring waktu berubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah.

Semangat otonomi daerah dan desentralisasi diatas akhirnya bermuara kepada keinginan daerah untuk memekarkan diri yang kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan, dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Namun dalam prakteknya, pemekaran daerah jauh lebih mendapat perhatian dibandingkan penghapusan ataupun penggabungan daerah. Dalam PP tersebut, daerah berhak mengajukan usulan pemekaran terhadap daerahnya selama telah memenuhi syarat teknis, administratif, dan fisik.

Desentralisasi banyak dijadikan sebagai sebuah konsep penyelenggaraan pemerintahan dan menjadi panduan utama akibat ketidakmungkinan sebuah negara seperti Indonesia yang wilayah geografisnya luas dan jumlah penduduknya


(21)

yang besar untuk mengelola manajemen pemerintah secara sentralistik. Di dalam desentralisasi juga terkandung semangat demokrasi untuk mendekatkan partisipasi

masyarakat dalam menjalankan pembangunan. Desentralisasi di Indonesia adalah

sebuah peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan wacana politik lokal. Selain memberikan pengelolaan kewenangan pada bidang tertentu, desentralisasi telah memberikan ruang bagi suatu daerah untuk pembentukan wilayah/ daerah baru.

Tabel 1.1

Perkembangan Jumlah Daerah Administratif di Indonesia Tahun 1996-2008

Tahun Jumlah Propinsi

Jumlah Kabupaten/

Kota

Tahun Jumlah Propinsi

Jumlah Kabupaten/

Kota

1996 27 287 2003 Juni 31 416

1997 27 291 2003 Desember 30 440

1998 Awal 27 293 2004 33 440

1998 Akhir 27 314 2005 Juni 33 440

1999 26 341 2005 Desember 33 440

2000 32 341 2006 33 450

2001 30 353 2007 33 475

2002 Juni 30 377 2008 Juni 33 483

2002 Desember 31 391 2008 Oktober 33 489

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)

Sepertinya, pemekaran wilayah telah menghasilkan trend baru dalam struktur kewilayahan di Indonesia. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun saja sejak era reformasi bergulir dan dengan memanfaatkan momen euforia otonomi daerah, telah terbentuk 203 daerah otonom baru, diantaranya terdiri atas 7 provinsi, 163 kabupaten, dan 33 kota. Fenomena pemekaran daerah yang begitu cepat ini pastilah memiliki implikasi yang sangat besar dalam konteks ekonomi, sosial, politik, dan pemerintahan. Pemekaran wilayah merupakan pilihan yang diambil oleh pemerintah dan pihak yang terkait dibanding melakukan penggabungan wilayah.


(22)

Oleh karena itu, fenomena pembentukan daerah melalui pemekaran wilayah tampaknya sangat menarik untuk dibahas, khususnya yang menyangkut motif pemekaran itu sendiri. Akan tetapi, hal lain yang jauh lebih menarik adalah apakah melalui trend pemekaran wilayah ini akan mampu membawa harapan masyarakat untuk mendorong kepada peningkatan sosial ekonominya, yakni melalui percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi serta mampu menghindari kesenjangan ekonomi masyarakat di daerahnya masing-masing?

Pemekaran wilayah juga telah dialami di Propinsi Sumatera Utara. Propinsi ini merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang mempunyai peranan yang besar terhadap jalannya pembangunan nasional. Propinsi ini memiliki 33 kabupaten/kota yang salah satunya adalah Kabupaten Asahan. Kabupaten yang beribukota di Kisaran ini, pada tanggal 2 Januari 2007 mengalami pemekaran, sehingga Batu Bara yang sebelum pemekaran merupakan bagian dari Kabupaten Asahan, akhirnya setelah pemekaran lepas dari kabupaten ini dan membentuk daerah otonom baru yang sekarang menjadi Kabupaten Batu Bara.

Kabupaten Asahan sudah terbentuk sejak tahun 1946 dan terletak lebih kurang 160 km sebelah tenggara dari Kota Medan. Pasca pemekaran, luas

Kabupaten Asahan menjadi 3.719,45 Km2 yang semula seluas 4.624,41 Km2.

Kabupaten ini terdiri dari 25 Kecamatan, 177 desa dan 27 kelurahan. Kabupaten yang memiliki jumlah penduduk sebesar 676.605 jiwa pada hasil sensus penduduk 2007 ini, memiliki batas-batas wilayah diantaranya, sebelah utara Kabupaten Batubara dan Selat Malaka, sebelah timur Selat Malaka, sebelah selatan


(23)

Kabupaten Labuhan Batu dan Toba Samosir dan sebelah barat adalah Kabupaten Simalungun. (Sumber: Badan Pusat Statistik)

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mencoba melakukan penelitian dengan menganalisa sudah sejauh mana pemekaran yang terjadi di Kabupaten Asahan yang merupakan daerah induk memberikan pengaruh terhadap tingkat sosial ekonomi masyarakatnya. Dalam hal ini Penulis mencoba menuangkannya melalui penulisan skripsi dengan judul “ Analisis Pengaruh Pemekaran Wilayah Induk Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus: Kabupaten Asahan)”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu :

1. Apakah ada perbedaan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebelum dan

sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten Asahan?

2. Apakah ada perbedaan pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah

pemekaran wilayah induk di Kabupaten Asahan?

3. Apakah ada perbedaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebelum

dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten Asahan?

4. Apakah ada perbedaan tingkat pengangguran sebelum dan sesudah pemekaran


(24)

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini ialah :

1. Untuk mengetahui perbedaan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebelum

dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten Asahan.

2. Untuk mengetahui perbedaan pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah

pemekaran wilayah induk di Kabupaten Asahan.

3. Untuk mengetahui perbedaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

sebelum dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten Asahan.

4. Untuk mengetahui perbedaan tingkat pengangguran sebelum dan sesudah

pemekaran wilayah induk di Kabupaten Asahan. Adapun manfaat dari penelitian ini, yaitu:

1. Sebagai bahan studi, literatur dan tambahan informasi bagi kalangan

akademisi, peneliti dan mahasiswa Fakultas Ekonomi terutama mahasiswa Departemen Ekonomi Pembangunan yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.

2. Untuk menambah dan melengkapi dan sebagai pembanding hasil-hasil

penelitian yang sudah ada menyangkut topik yang sama.

3. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan yang

berhubungan dengan perencanaaan dan pembangunan wilayah di Kabupaten Asahan.


(25)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS 2.1. Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah 2.1.1. Otonomi Daerah

Pemberlakuan Otonomi Daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001 telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena politis yang menjadikan penyelenggaraan Pemerintahan yang sentralistik-birokratis ke arah desentralistik-partisipatoris. UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan direvisi menjadi UU No.32 Tahun 2004 telah melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang meletakkan otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab pada daerah kabupaten dan kota. Perubahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pelayanan masyarakat, menumbuhkan semangat demokratisasi dan pelaksanaan pembangunan daerah secara berkelanjutan, dan lebih jauh diharapkan akan menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara pusat dan daerah.

Lahirnya Undang-undang ini juga akan memberikan implikasi positif bagi dinamika aspirasi masyarakat setempat. Kebijakan daerah tidak lagi bersifat “given” dan “uniform” (selalu menerima dan seragam) dari pemerintah pusat, namun justru pemerintah daerah yang mesti mengambil inisiatif dalam merumuskan kebijakan daerah yang sesuai dengan aspirasi, potensi dan sosio-kultural masyarakat setempat. Undang-undang ini juga membuka jalan bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance) di satu pihak dan


(26)

pemberdayaan ekonomi rakyat di pihak lain. Karena dengan otonomi, pemerintahan kabupaten/ kota memiliki kewenangan yang memadai untuk mengembangkan program-program pembangunan berbasis masyarakat (ekonomi rakyat). Jika selama ini program-program pemberdayaan ekonomi rakyat didisain dari pusat, tanpa daerah memiliki kewenangan untuk “berkreasi”, sekaranglah saatnya pemerintah daerah kabupaten/kota menunjukkan kemampuannya. Tantangan, bahwa daerah mampu mendisain dan melaksanakan program yang sesuai dengan kondisi lokal patut disikapi dengan kepercayaan diri dan tanggung jawab penuh.

2.1.1.1.Pengertian Otonomi Daerah

Secara etimologis, pengertian otonomi daerah menurut Situmorang (1993) dalam Shinta (2009) berasal dari bahasa Latin, yaitu “autos” yang berarti sendiri dan “nomos” yang berarti aturan. Jadi dapat diartikan bahwa otonomi daerah adalah mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam bahasa Inggris, otonomi berasal dari kata “autonomy”, dimana “auto” berarti sendiri dan “nomy” sama artinya dengan “nomos” yang berarti aturan atau Undang-undang. Jadi “autonomy” adalah mengatur diri sendiri. Sementara itu, pengertian lain tentang otonomi ialah sebagai hak mengatur dan memerintah diri sendiri atas insiatif dan kemauan sendiri. Hak yang diperoleh berasal dari pemerintah pusat.

Lebih lanjut UU No.5 Tahun 1974 mendefinisikan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri dengan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu menurut UU No.22 Tahun 1999 mendefinisikan bahwa otonomi daerah adalah wewenang daerah


(27)

untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setelah direvisi kembali UU No.22 Tahun 1999 berubah menjadi UU No.32 Tahun 2004 yang menyatakan otonomi daerah sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundang-undangan. Dari berbagai rumusan otonomi daerah diatas maka otonomi daerah adalah kewenangan dan kemandirian daerah otonom untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri untuk kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

2.1.1.2.Prinsip Otonomi Daerah Menurut UU No.32 Tahun 2004

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti, daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan wewenang, tugas dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama


(28)

dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utam dari tujuan nasional.

Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelengaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antar daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antardaerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.

Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Disamping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervise, pengendalian koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan itu pemerintah wajib memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(29)

2.1.1.3.Pemekaran Daerah sebagai Implikasi Otonomi Daerah

Munculnya Undang-undang otonomi daerah merupakan salah satu usaha untuk di satu pihak “mendinginkan” euforia reformasi dan di lain pihak untuk menjaga keutuhan NKRI. Oleh karena itu, isi dari UU No.22 Tahun 1999 tersebut lebih memberikan kebebasan yang nyata dan seluas-luasnya bagi daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri demi untuk kesejahteraan daerahnya sendiri-sendiri

Era reformasi yang dimulai dari tahun 1998 telah menggeser paradigma desentralisasi administratif, yang dianut pada masa orde baru, menjadi desentralisasi politik pasca UU No.22 Tahun 1999. Pemekaran wilayah/ daerah atau pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di era reformasi merupakan konskuensi logis dari penerapan kebijakan desentralisasi politik oleh pemerintah pusat di daerah. Dengan desentralisasi politik maka pemerintah pusat membentuk daerah-daerah otonom atau daerah-daerah yang mempunyai pemerintahan, yaitu daerah-daerah yang mempunyai wilayah, masyarakat hukum, kepala daerah, dan anggota DPRD yang dipilih oleh rakyat, pegawai, dan kewenangan serta keleluasaan mengatur dan mengurus daerah. Kebijakan pemekaran daerah pasca ditetapkannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mempunyai perbedaan yang signifikan jika dibandingkan pengaturan pemekaran daerah berdasar UU No.5 Tahun 1974 (orde baru).

Pelaksanaan kebijakan pemekaran daerah pada orde baru, bersifat elitis dan memiliki karakter sentralistis, dimana perencanaan dan implementasi pemekarannya lebih merupakan inisiatif pemerintah pusa ketimbang partisipasi


(30)

dari bawah. Proses pemekaran daerah seringkali menjadi proses yang tertutup dan menjadi arena terbatas di kalangan pemerintah pusat.

Pada orde baru, kebijakan pemekaran lebih bersifat elitis dan sentralistis. Namun pada masa itu pemerintah telah mencoba mendorong upaya penyiapan infrastruktur birokrasi (bukan infrastruktur politik) sebelum pembentukan daerah otonom. Masa transisi teknokratis disiapkan sedemikian rupa sebelum menjadi Daerah Otonomi Baru. Dalam masa transisi, pembentukan daerah baru ini lebih menekankan pada mekanisme teknokratis daripada mekanisme politik, seperti penyiapan administrasi birokrasi, infrastruktur, gedung perkantoran, dan sebagainya. Setelah penyiapan teknokratis dirasa cukup barulah kemudian penyiapan politik dilakukan yaitu dengan pembentukan DPRD, dari situ barulah kemudian dibentuk DOB.

Di masa era reformasi sekarang, proses-proses penyiapan teknokratis tersebut pada kebijakan pemekaran daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999 tidak ada, tetapi justru lebih menekankan pada proses-proses politik. Ruang bagi daerah untuk mengusulkan pembentukan DOB dibuka lebar oleh kebijakan pemekaran daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999. Dengan kebijakan yang demikian ini, kebijakan pemekaran daerah sekarang lebih didominasi oleh proses politik daripada proses teknokratis.


(31)

2.1.2. Pemekaran Wilayah

2.1.2.1.Pengertian, Sebab-sebab dan Tujuan

Diatas telah diuraikan mengenai otonomi daerah. Bangsa Indonesia melakukan reformasi tata pemerintahan semenjak diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak saat itu berbagai pemikiran inovatif dan uji coba terus dilakukan sebagai upaya untuk menyempurnakan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi dalam rangka peningkatan pelayanan publik dan penanggulangan kemiskinan secara efektif.

Salah satu aspek yang sangat penting dari pelaksanaan otonomi daerah saat ini adalah terkait dengan pemekaran dan penggabungan wilayah yang bertujuan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam rangka pertumbuhan kehidupan demokrasi. Dengan interaksi yang lebih intensif antara masyarakat dan pemerintah daerah baru, maka masyarakat sipil akan memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajibannya secara lebih baik sebagai warga negara.

Menurut UU No.24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang, wilayah adalah ruang kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas sistemnya ditentukan berdasarkan aspek admninistratif dan atau aspek fungsional. Menurut Tarigan (2005) dalam Malik (2006), bahwa wilayah dapat dibedakan berdasarkan cara pandang terkait dengan kondisinya atau berdasarkan fungsinya, yaitu :

1. Wilayah subjektif, yakni wilayah merupakan alat untuk mengidentifikasi suatu lokasi yang berdasarkan suatu lokasi dengan kriteria tertentu dan tujuan tertentu.


(32)

2. Wilayah objektif, maksudnya wilayah itu benar-benar ada dan dapat dibedakan dari ciri-ciri atau gejala alam di setiap wilayah.

Blair (1991) dalam Malik (2006) menyebutkan bahwa dalam menganalisis wilayah dikenal 3 tipe, yakni :

1. Wilayah fungsional, yaitu adanya saling interaksi antara komponen-komponen didalam dan diluar wilayahnya. Wujud wilayah sering disebut wilayah nodal yang didasari oleh susunan dari suatu hubungan di antara simpul-simpul perdagangan.

2. Wilayah homogen, artinya adanya relatif kemiripan dalam suatu wilayah. 3. Wilayah administratif, artinya wilayah ini dibentuk untuk kepentingan

wilayah pengelolaan atau organisasi oleh pemerintah maupun pihak-pihak lain.

Sementara itu, tujuan wilayah menurut Sihotang (1997) dalam Malik (2006) adalah sebagai suatu usaha untuk menentukan batas-batas daerah yang biasanya lebih besar daripada daerah struktur pemerintahan lokal, dengan maksud

lebih mengefektifkan dan mengefisienkan pemerintah beserta perencanaan

lokal dan nasionalnya.

Secara umum, pemekaran wilayah merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan. Terdapat beberapa alasan mengapa pemekaran wilayah sekarang menjadi salah satu pendekatan yang cukup diminati dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan peningkatan pelayanan publik, yaitu:


(33)

1. Keinginan untuk menyediakan pelayanan publik yang lebih baik dalam wilayah kewenangan yang terbatas/terukur. Pendekatan pelayanan melalui pemerintahan daerah yang baru diasumsikan akan lebih dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan pelayanan melalui pemerintahan daerah induk dengan cakupan wilayah pelayanan yang lebih luas (Hermanislame 2005 dalam Arif 2008). Melalui proses perencanaan pembangunan daerah pada skala yang lebih terbatas, maka pelayanan publik sesuai kebutuhan lokal akan lebih tersedia.

2. Mempercepat pertumbuhan ekonomi penduduk setempat melalui perbaikan

kerangka pengembangan ekonomi daerah berbasiskan potensi lokal (Hermanislamet 2005 dalam Arif 2008). Dengan dikembangkannya daerah baru yang otonom, maka akan memberikan peluang untuk menggali berbagai potensi ekonomi daerah baru yang selama ini tidak tergali.

3. Penyerapan tenaga kerja secara lebih luas di sektor pemerintah dan bagi-bagi

kekuasaan di bidang politik dan pemerintahan. Kenyataan politik seperti ini juga mendapat dukungan yang besar dari masyarakat sipil dan dunia usaha, karena berbagai peluang ekonomi baru baik secara formal maupun informal menjadi lebih tersedia sebagai dampak ikutan pemekaran wilayah.

Disisi lain, menurut Syafrizal (2008) dalam Ventauli (2009), ada beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya pemekaran wilayah, antara lain :

1. Perbedaan agama

Kenyataan yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan bahwa perbedaan agama merupakan salah satu unsur yang dapat menyebabkan timbulnya


(34)

keinginan masyarakat untuk memisahkan diri dari suatu negara/ daerah yang telah ada untuk menjadi negara/ daerah baru.

2. Perbedaan etnis dan budaya

Sama halnya dengan perbedaan agama, perbedaan etnis dan budaya juga merupakan unsur penting lainnya yang dapat memicu terjadinya keinginan untuk melakukan pemekaran wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat merasa kurang nyaman bila hidup dalam suatu masyarakat dengan etnis, adat istiadat, dan kebiasaan yang berbeda. Bila kesatuan budaya ini terganggu karena kehadiran warga masyarakat lain dengan budaya yang berbeda, maka seringkali terjadi ketegangan bahkan konflik sosial dalam masyarakat tersebut.

3. Ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah

Aspek berikutnya yang cenderung menjadi pemicu terjadinya pemekaran wilayah adalah ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah. Termasuk juga ke dalam aspek ini adalah ketimpangan dalam ketersediaan sumber daya alam bernilai tinggi, seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara yang selanjutnya akan mendorong terjadinya ketimpangan kemakmuran antar daerah. Ketimpangan ini selanjutnya mendorong terjadinya kecemburuan sosial dan merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat sehinnga akhirnya muncul keinginan untuk melakukan pemekaran wilayah. Indikasi terjadinya ketimpangan pembangunan antardaerah dapat diketahui dengan menghitung data PDRB perkapita dan jumlah penduduk sebagai indikator utama melalui Indeks Wiliamson.


(35)

4. Luas daerah

Luas daerah dapat pula memicu timbulnya keinginan untuk melakukan pemekaran wilayah. Alasannya adalah karena wilayah yang besar akan cenderung menyebabkan pelayanan public tidak dapat dilakukan secara efektif dan merata ke seluruh pelosok daerah. Sementara tugas pemerintah daerah adalah memberikan pelayanan publik kepada seluruh masyarakat di daerahnya. Dalam rangka memperbaiki pelayanan kepada masyarakat, maka salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan pemekaran daerah.

Pemekaran wilayah diharapkan dapat menciptakan kemandirian daerah. Tujuan pemekaran sebagaimana tertuang dalam berbagai peraturan perundangan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui:

1. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat

2. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi

3. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah

4. Percepatan pengelolaan potensi daerah

5. Peningkatan keamanan dan ketertiban

6. Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah

2.1.2.2.Konsep Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan antar wilayah. Dalam konteks nasional, adanya pembangunan antar wilayah menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembangunan nasional secara keseluruhan. Menurut Purnomosidi (1979) dalam Malik (2006),


(36)

bahwa pengembangan wilayah dimungkinkan karena adanya modal yang bertumpu pada pengembangan sumberdaya manusia dan sumber daya alam yang berlangasung secara kontinyu sehingga menimbulkan arus barang.

Dalam konteks pengembangan wilayah, pendekatan berdasarkan konsep ekonomi paling banyak digunakan. Tujuan dari konsep ini adalah pembangunan pada sektor-sektor utama, pada lokasi-lokasi tertentu, sehingga menyebabkan kemajuan keseluruh wilayah. Ada beberapa konsep pengembangan wilayah, antara lain :

1. Mendorong dekonsentrasi wilayah, dimana konsep ini bertujuan untuk

menekan tingkat konsentrasi wilayah dan untuk membentuk struktur ruang yang tepat, terutama pada beberapa bagian dari wilayah non-metropolitan.

2. Membangkitkan kembali daerah terbelakang sebagai daerah yang memiliki

karakteristik tingginya tingkat pengangguran, pendapata perkapita yang rendah, dan rendahnya tingkat fasilitas pelayanan masyarakat.

3. Memodifikasi sistem kota, merupakan sebagai pengontrol urbanisasi menuju

pusat-pusat pertumbuhan, yakni dengan adanya pengaturan sistem perkotaan maka telah memiliki hirarki yang terstruktur dengan baik. Ini diharapkan akan dapat mengurangi migrasi penduduk ke kota besar.

4. Pencapaian terhadap keseimbangan wilayah. Hal ini muncul akibat kurang

memuaskannya struktur ekonomi inter-regional yang biasanya dengan mempertimbangkan tingkat kesejahteraan serta yang berhubungan dengan belum dimanfaatkannya sumber daya alam pada beberapa daerah.


(37)

2.1.2.3.Konsep Pemekaran Wilayah

Pemekaran wilayah kabupaten/kota menjadi beberapa kabupaten/kota baru pada dasarnya merupakan upaya meningkatkan kualitas dan intensitas pelayanan pada masyarakat. Dari segi pengembangan wilayah, calon kabupaten/kota yang baru yang akan dibentuk perlu memiliki basis sumber daya yang seimbang antara satu dengan yang lain. Hal ini perlu diupayakan agar tidak timbul disparitas yang mencolok dimasa mendatang. Selanjutnya dalam suatu usaha pemekaran wilayah akan diciptakan ruang publik baru yang merupakan kebutuhan kolektif semua warga wilayah baru. Ruang publik baru ini akan mempengaruhi aktivitas seseorang atau masyarakat sehingga merasa diuntungkan karena pelayanannya yang lebih maksimal.

Akhirnya pemekaran wilayah ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, peningkatan sumber daya secara berkelanjutan, meningkatkan keserasian perkembangan antar wilayah dan antar sektor, memperkuat integrasi nasional yang secara keseluruhan dapat meningkatkan kualitas hidup.

2.1.2.4.Dasar Hukum Pemekaran Wilayah

UUD 1945 tidak mengatur perihal pembentukan daerah atau pemekaran suatu wilayah secara khusus, namun disebutkan dalam Pasal 18B ayat (1) bahwa, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Selanjutnya, pada ayat (2) pasal yang sama tercantum kalimat sebagai berikut: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat


(38)

beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Secara lebih khusus, UU No.32 Tahun 2004 mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Dapat dianalogikan, masalah pemekaran wilayah juga termasuk dalam ruang lingkup pembentukan daerah. UU No.32 Tahun 2004 menentukan bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan, “Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wailayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dokumen, serta perangkat daerah.”

Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama pada ayat berikutnya (ayat (3)) yang menyatakan bahwa, “Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.” Dan ayat (4) menyebutkan, “Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan”.

Namun demikian, pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Bagi propinsi,


(39)

syarat administratif yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah propinsi bersangkutan, persetujuan DPRD propinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk kabupaten/kota, syarat administratif yang juga harus dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.

Selanjutnya, syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor di bawah ini, antara lain :

1. Kemampuan ekonomi, merupakan cerminan hasil kegiatan usaha

perekonomian yang berlangsung disuatu daerah propinsi, kabupaten/kota, yang dapat diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan penerimaan daerah sendiri.

2. Potensi daerah, merupakan cerminan tersedianya sumber daya yang dapat

dimanfaatkan dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari lembaga keuangan, sarana ekonomi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana transportasi dan komunikasi, sarana pariwisata dan ketenagakerjaan.

3. Sosial budaya, merupakan cerminan yang berkaitan dengan struktur sosial dan

pola budaya masyarakat, kondisi sosial masyarakat yang dapat diukur dari tempat peribadatan, tempat kegiatan institusi sosial dan budaya, serta sarana olahraga.


(40)

4. Sosial politik, merupakan cerminan kondisi sosial politik masyarakat yang dapat diukur dari partisipasi masyarakat dalam politik dan organisasi kemasyarakatan.

5. Kependudukan, merupakan jumlah total penduduk suatu daerah.

6. Luas daerah, merupakan luas tertentu suatu daerah.

7. Pertahanan dan keamanan

8. Faktor-faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Faktor-faktor lain yang dimasud harus meliputi paling sedikit 5 kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi, dan paling sedikit 5 kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

2.1.2.5.Prosedur dalam Pemekaran Wilayah

Inisiatif pemekaran wilayah pada dasarnya berangkat dari adanya peluang hukum bagi masyarakat dan daerah untuk melakukan pemekaran/ penggabungan wilayah sebagaimana tertuang dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Dari sisi pemerintah pusat, proses pembahasan pemekaran wilayah yang datang dari berbagai daerah melalui dua tahapan besar yaitu proses teknokratis (kajian kelayakan teknis dan administratif), serta proses politik karena selain harus memenuhi persyaratan teknokratis yang telah diatur dalam UU dan Peraturan Pemerintah, proposal pemekaran harus didukung secara politis oleh DPR. Berikut akan digambarkan tentang skema proses pengusulan pemekaran di tingkat daerah.


(41)

Gambar 2.1. Proses Pengusulan Wilayah Pemekaran di Tingkat Daerah

Dari gambar diatas dijelaskan bahwa persiapan dalam pemekaran wilayah dimulai dari wilayah yang mengusulkan. Usulan-usulan tersebut berbentuk proposal yang sudah memiliki pertimbangan-pertimbangan di dalamnya dan kajian-kajian ilmiah, sehingga ketika proposal rencana pemekaran wilayah tersebut diajukan ke DPRD kabupaten/ kota dan kemudian ke propinsi, dapat dipertanggungjawabkan dengan berlandaskan peraturan-peraturan yang berlaku.

Dalam rangka memahami proses kebijakan pemekaran, perlu digambarkan bagaimana pemerintah nasional meloloskan usulan pemekaran daerah otonom. Prosedur pembahasan ditingkat pusat untuk “meluluskan atau tidak meluluskan”

Persentasi oleh Daerah Persiapan dan Induk Penjaringan Aspirasi Pengajuan usulan ke Pemerintah Pengesahan oleh DPRD dan Bupati Lobby dan Dialog Politik Pengkajian

kelayakan Pengajuan

usulan ke Propinsi Pembentukan Tim Teknis Pengesahan oleh DPRD dan Gubernur


(42)

proposal pembentukan daerah otonom baru secara teknokratis dapat digambarkan sebagai berikut :

Sudah diselesaikan Ada kontra Sudah diselesaikan Ada Tidak disetujui Sudah diselesaikan Tidak ada

Gambar 2.2. Tahapan dan Prosedur Pembentukan Kabupaten/ Kota

Gambar diatas menjelaskan tentang tahapan dan prosedur pembentukan daerah kabupaten/kota menurut pasal 16 PP No.129 Tahun 2000, yang terdiri dari:

1. Ada kemauan politik dari pemerintah daerah dan masyarakat yang

bersangkutan.

2. Pembentukan daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan

oleh Pemerintah Daerah.

3. Usul pembentukan kabupaten/kota disampaikan kepada Pemerintah cq.

Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan

STOP

Proses Berhenti

?

Proses Berhenti

?

?

Proses Berhenti Pro/ Kontra

RUU

Cakupan wilayah tidak ada enclave Tim Independen TPOD Sidang DPOD Ibu Kota Kabupaten Baru


(43)

dilampirkan hasil penelitian daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota serta persetujuan propinsi, yang dituangkan dalam keputusan DPRD.

4. Dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan

Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Berdasarkan rekomendasi pada huruf d, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut di lapangan.

5. Para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan

pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan otonomi Daerah. Usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.

6. Apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan

Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta Rancangan Undang-Undang Pembentukan Daerah kepada Presiden.

7. Apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang

pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR-RI untuk mendapat persetujuan.


(44)

2.1.2.6.Peran Pihak-pihak di Daerah dalam Pemekaran Wilayah 1. Daerah Persiapan

Dalam melakukan pemekaran wilayah, maka pembentukan daerah persiapan menjadi penting dalam upaya penataan daerah. Seiring dengan hal tersebut, maka peran daerah persiapan tidak saja mencakup persoalan administratif semata, tetapi juga perlu mencakup beberapa aspek lain, antara lain:

a. Mempersiapkan persyaratan fisik yang berkaitan dengan penataan ruang

maupun batas wilayah. Disamping itu juga terumuskannya dokumen rencana tata ruang lokasi calon Ibukota daerah otonom baru maupun calon Ibukota Daerah Induk.

b. Mempersiapkan persyaratan kelembagaan dan organisasi yang berkaitan

dengan kebutuhan kantor, identifikasi aset, fungsi staf, struktur organisasi, maupun proses perencanaan dan penganggaran. Hal ini penting dilakukan dalam masa persiapan agar proses pemekaran wilayah menjadi kebutuhan

bersama antara Daerah Induk dengan Calon Daerah Otonomi Baru.

Dengan demikian konflik tentang pengalihan aset-pun sudah dapat dihindari sejak awal.

c. Mempersiapkan persyaratan teknis administratif yang berkaitan dengan

kerjasama dengan Daerah Induk dan pihak ketiga yang akan melakukan pengkajian terhadap kelayakan pembentukan daerah otonomi baru atau pemekaran wilayah. Berkaiatan dengan daerah persiapan ini, maka perlu ada persyaratan-persyaratan khusus, seperti daerah yang sudah memenuhi standar kelayakan teknis dan administratif bagi terbentuknya daerah otonomi baru


(45)

yang ditetapkan melalui rekomendasi dari DPOD atau Permendagri yang selanjutnya mempersiapkan diri selama minimal 2 (dua) tahun sebagai masa persiapan sebelum disyahkan sebagai daerah otonom baru yang ditetapkan dengan Undang-undang.

2. Peran Masyarakat

Suara dan peran masyarakat menjadi syarat utama untuk keberlanjutan suatu proses pemekaran wilayah. Hal ini sesuai dengan hakekat pemekaran wilayah yang berorientasi pada peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, peran masyarakat dituangkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan dalam bentuk referendum untuk menentukan pilihan perlu atau tidaknya dilakukan pemekaran wilayah.

Dalam kaitan dengan hal ini, lembaga-lembaga atau organisasi masyarakat juga harus berperan dalam memberdayakan masyarakat supaya ada pengertian yang baik tentang keuntungan dan kelemahan pemekaran wilayah maupun pentingnya pelaksanaan referendum. Dengan demikian, dalam tahap awal atau masa persiapan, kegiatan yang harus dilaksanakan pertama kali adalah melakukan penjaringan aspirasi masyarakat. Meskipun terdapat berbagai metode penjaringan aspirasi seperti melalui quesioner, seminar atau lokakarya, namun dalam hal pemekaran wilayah nampaknya referendum merupakan pendekatan yang paling tepat.

3. Peran Daerah Induk


(46)

a. Memberikan rekomendasi persetujuan dan mendukung rencana pemekaran wilayah berdasarkan aspirasi masyarakat melalui referendum.

b. Melakukan hearing dengan dengan Daerah Persiapan

c. Memberikan persetujuan dan mengajukan permohonan kepada Gubernur dan

Mendagri untuk dapat mengabulkan rencana pemekaran wilayah

d. Menetapkan Liason Officer sebagai wakil Daerah Induk untuk melakukan

komunikasi intensif dengan berbagai pihak yang terkait baik di tingkat daerah, propinsi, maupun pemerintah pusat. Memfasilitasi kunjungan tim observasi dari pemerintah pusat dan DPR RI.

e. Mengalokasikan anggaran bagi kegiatan pemekaran wilayah.

Peran DPRD dalam pemekaran wilayah ini yaitu:

a. Memberikan rekomendasi dan dukungan politik terhadap rencana pemekaran

wilayah.

b. Membentuk Pansus (Panitia Khusus) yang akan melakukan pembahasan

tentang rencana pemekaran wilayah

c. Mengeluarkan surat keputusan persetujuan dan dukungan terhadap pemekaran

wilayah, serta keputusan tentang calon Ibu Kota dan dukungan pembiayaan dalam masa persiapan sampai pada proses pembentukan DPRD dan pemilihan Kepala Daerah.

d. Memberikan rekomendasi sekaligus permohonan kepada DPRD Propinsi

untuk dapat memberikan persetujuan terhadap rencana pemekaran wilayah. 4. Peran Propinsi


(47)

a. Memberikan rekomendasi dan persetujuan tentang pemekaran wilayah, serta menindaklanjutinya dengan mengajukan permohonan persetujuan dari Pemerintah Pusat.

b. Memfasilitasi serah terima asset antara daerah induk dengan daerah baru.

2.2. Pembangunan Ekonomi

2.2.1. Defenisi Pembangunan Ekonomi

Pengalaman pada dekade 1950-an dan dekade 1960-an, ketika banyak diantara negara-negara Dunia Ketiga berhasil mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi sesuai target mereka, tetapi gagal memperbaiki taraf hidup sebagian penduduknya sehingga hal ini menunjukkan adanya sesuatu yang salah dalam mendefinisikan pembangunan yang dianut pada waktu itu. Gross National Product (GNP) dianggap sebagai indikator tunggal atas terciptanya kemakmuran dan kriteria kinerja pembangunan. Sehingga para ekonom dan perumus kebijakan pada akhirnya mulai mempertimbangkan untuk mengubah strategi guna mengatasi berbagai masalah mendesak, seperti tingkat kemiskinan absolut yang semakin parah, ketimpangan distribusi yang mencolok dan tingkat penggangguran yang terus naik. Pada dekade 1970-an, pembangunan ekonomi mengalami redefinisi.

Mulai muncul pandangan bahwa tujuan utama dari pembangunan ekonomi bukan lagi meningkatkan pertumbuhan GNP setinggi-tingginya, melainkan penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan dan penyediaan lapangan pekerjaan dalam konteks perekonomian yang terus berkembang.


(48)

Defenisi pembangunan ekonomi menurut Kuznets, Chenery (Ahmad Mahyudi, 2004) adalah pertumbuhan ekonomi yang dapat menyebabkan perubahan-perubahan, terutama terjadi perubahan menurunnya tingkat pertumbuhan penduduk dan perubahan dari struktur ekonomi, baik peranannya terhadap pembentukan pendapatan nasional, maupun peranannya dalam penyediaan lapangan kerja. Sukirno (2006) mengemukakan bahwa “pembangunan ekonomi merupakan pertumbuhan ekonomi ditambah dengan perubahan”. Atinya, ada tidaknya pembangunan ekonomi dalam suatu negara pada satu tahun tertentu tidak saja diukur dari kenaikan harga produksi barang dan jasa yang berlaku dari tahun ke tahun, tetapi juga perlu diukur dari perubahan yang berlaku dalam berbagai aspek kegiatan ekonomi seperti perkembangan pendidikan, perkembangan teknologi, peningkatan dalam kesehatan, peningkatan dalam infrastruktur yang tersedia dan peningkatan dalam pendapatan dan kemakmuran rakyat.

Disisi lain, menurut Todaro & Smith (2003) dalam bukunya “Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga”, Edisi Kedelapan, bahwa pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi, pada hakekatnya bahwa pembangunan itu harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan


(49)

individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada didalamnya, untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik, secara material maupun spiritual.

2.2.2. Pembangunan Ekonomi Daerah

Pembangunan ialah suatu proses dinamis untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada tingkat yang lebih tinggi dan serba sejahtera. Peningkatan pembangunan diupayakan agar dapat dirasakan oleh masyarakat luas ataupun oleh masyarakat dalam lingkup yang lebih kecil atau terbatas (lokal).

Pelaksanaan pemekaran wilayah/ daerah juga mempengaruhi orientasi kebijakan pembangunan ekonomi di daerah. Dalam otonomi daerah (asas desentralisasi), campur tangan pusat terhadap pembangunan daerah semakin berkurang dan daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengelola pembangunan di daerahnya masing-masing, maka sistem perencanaan pembangunan daerah yang semula lebih bersifat sektoral akan berubah menjadi bersifat regional.

Pembangunan ekonomi daerah ialah suatu proses dimana pemerintah mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi). Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan yang di dasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan dengan menggunakan potensi Sumber Daya Manusia (SDM), kelembagaan dan sumber daya fisik maupun lokal (daerah).


(50)

Perencanaan pembangunan daerah yang disusun, lebih banyak memperhatikan potensi dan karateristik khusus daerah. Sedangkan perencanaan nasional lebih banyak bersifak makro dan hanya memberikan arah dan sasaran umum agar pembangunan daerah dapat dikoordinasikan dengan baik dan efisien.

Perencanaaan pembangunan ekonomi daerah pertama-tama perlu mengenali karakter ekonomi, sosial dan fisik daerah itu sendiri, termasuk interaksinya dengan daerah lain. Dengan demikian, tidak ada strategi pembangunan ekonomi daerah yang sama atau dapat berlaku untuk semua daerah. Namun di pihak lain, dalam menyusun strategi pembangunan ekonomi daerah, baik jangka pendek maupun jangka panjang, pemahaman mengenai teori pertumbuhan ekonomi wilayah, yang dirangkum dari kajian terhadap pola-pola pertumbuhan ekonomi dari berbagai wilayah, merupakan satu faktor yang cukup menentukan kualitas rencana pembangunan ekonomi daerah. Pemerintah daerah harus dapat menguasai dan menerapkan teori-teori pertumbuhan tersebut untuk mengembangkan daerahnya. Keinginan yang kuat dari pemerintah daerah untuk membuat strategi pengembangan ekonomi daerah dapat membuat masyarakat ikut serta membentuk ekonomi daerah yang dicita-citakan.

2.3. Sosial Ekonomi Masyarakat

Masyarakat merupakan suatu kumpulan individu yang melakukan interaksi, dimana setiap individu saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Plato mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon, yakni mahkluk sosial, yang tidak akan hidup tanpa bantuan orang lain. Manusia mempunyai suatu keharusan untuk tetap hidup guna mengembangkan bakat dan kehidupan


(51)

sosialnya. Sebagai konsekuensinya maka manusia terseebut harus memenuhi kebutuhan hidupnya, baik primer (pokok), sekunder maupun tersier sehingga dapat hidup dengan layak sesuai dengan harkatnya sebagai anggota masyarakat.

Selain dalam pemenuhan kebutuhannya, masyarakat sebagai suatu tipe sistem sosial dapat dianalisa berdasarkant fungsi-fungsinya yang diperlukan, yaitu:

1. Fungsi pemeliharaan pola

Fungsi ini berkaitan dengan hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-sistem kultural. Fungsi ini mempertahankan prinsip-prinsip tertinggi dari masyarakat sambil menyediakan dasar dalam berperilaku menuju realitas tertinggi.

2. Fungsi Integrasi

Mencakup koordinasi yang diperlukan antara-antara unit-unit yang menjadi bagian dari suatu sistem sosial, khususnya berkaitan dengan kontribusi unit-unit pada organisasi dan berfungsinya unit-unit-unit-unit terhadap keseluruhan sistem.

3. Fungsi pencapaian tujuan

Mengatur hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-sitem kepribadian. Fungsi ini tercermin dalam bentuk penyusunan skala prioritas dari segala tujuan yang hendak dicapai dan penentuan bagaimana suatu sistem sosial memobilisasi sumberdaya serta tenaga yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut.


(52)

Menyangkut hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-sitem organism tindakan dan dengan fisiko-organik. Secara umum fungsi ini menyangkut kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan hidupnya. Dalam pelaksanaan fungsi ini, teknologi sangat penting peranannya.

Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang mendasar berhubungan dengan pendapatan yang diperoleh. Selain faktor ekonomi, faktor sosial terutama pendidikan dan jumlah anggota keluarga dapat juga mempengaruhi pendapatan sesorang. Ketiak jumlah dalam satu keluarga bertambah banyak, maka pemenuhan kebutuhan akan semakin banyak, sehingga mendorong lebih gigih mencari nafkah untuk meningkatkan pendapatan.

Defenisi ilmu ekonomi sendiri yaitu ilmu sosial yang mempelajari cara mengelola sumber daya ekonomi yang terbatas. Pengelolaan sumberdaya itu menunjukkan manusia sebagai masyarakat ekonomi. Tugas masyarakat sebagai masyarakat ekonomi menurut Robert (1994), yaitu:

1. Suatu masyarakat harus mengadakan satu sistem sosial untuk memproduksi

barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

2. Masyarakat juga harus mengatur bagaimana pembagian produksi sehingga

dapat dihasilkan lebih banyak.

Dari pengertian ilmu ekonomi dan kedua tugas diatas menunjukkan bahwa faktor ekonomi dan sosial berkaitan satu sama lain.

Status atau kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, berhubungan dengan orang-orang lain dalam


(53)

kelompok tersebut atau tempat suatu kelompok dengan kelompok-kelompok lainnya dalam kelompok yang lebih besar. Status sosial ialah sebagai tempat secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, dan hak-hak serta kewajibannya. (Soekanto, 1987:216).

Untuk melihat tingkatan status sosial ekonomi suatu masyarakat, maka banyak faktor yang harus dilihat, baik dari pandangan sosial maupun pandangan ekonomi. Karena didalam masyarakat pasti ada sesuatu yang dihargai atau berharga/ berniali bagi masyarakat itu sendiri. Sesuatu yang dihargai itu akan menjadi sebab timbulnya sistem yang berlapis-lapis dalam kehidupan masyarakat.

Menurut Soemardjan (1964), ukuran yang dapat digunakan untuk menggolongkan masyarakat ke dalam lapisan-lapisan yaitu ukuran kekayaan, ukuran kekuasaan, ukuran kehormatan, ukuran ilmu pengetahuan (pendidikan).

Penulis dalam hal ini melihat kedudukan dan keberhasilan sosial ekonomi masyarakat diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).

2.3.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2.3.1.1.Definisi dan Pengukuran

Ukuran pembangunan yang digunakan selama ini yaitu Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dalam konteks nasional dan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam konteks regional. Ukuran pembangunan itu hanya mampu memotret pembangunan ekonomi saja. Untuk itu dibutuhkan suatu indikator yang lebih komprehensif, yang mampu menangkap tidak saja


(54)

perkembangan ekonomi akan tetapi juga perkembangan aspek sosial dan kesejahteraan manusia.

Pembangunan nasional menurut Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang kemudian dijabarkan kedalam Repelita adalah pembangunan yang menganut konsep pembangunan manusia. Konsep pembangunan manusia seutuhnya merupakan konsep yang menghendaki peningkatan kualitas hidup penduduk secara spiritual. Bahkan secara eksplisit disebutkan bahwa pembangunan sumber daya manusia yang seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan sumber daya manusia secar fisik dan mental mengandung makna peningkatan kapasitas dasar penduduk yang kemudian akan memperbesar kesempatan untuk dapat berpartsisipasi dalam pembangunan yang berkelanjutan.

UNDP (United Nation Development Programme) mendefenisikan pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan yang dimiliki oleh manusia. Dalam konsep tersebut manusia ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimated end), sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana (principal means) untuk mencapai tujuan itu.

Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia, empat hal pokok yang perlu diperhatikan adalah produktivitas, pemerataan, kesinambungan, pemberdayaan (UNDP, 1995). Secara ringkas empat hal pokok tersebut mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Produktivitas

Penduduk harus dimampukan untuk meningkatkan produktivitas dan berpartisipasi penuh dalam proses penciptaan pendapatan dan nafkah.


(55)

Pembangunan ekonomi, dengan demikian merupakan himpunan bagian dari model pembangunan manusia.

2. Pemerataan

Penduduk harus memiliki kesempatan/peluang yang sama untuk mendapatkan akses terhadap semua sumber daya ekonomi dan social. Semua hambata yang memperkecil kesempatan untuk memperoleh akses tersebut harus dihapus, sehingga mereka dapat mengambil menfaat dari kesempatan yang ada dan berpartisipasi dalam kegiatan produktif yang dapat meningkatkan kualitas hidup.

3. Kesinambungan

Akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial harus dipastikan tidak hanya untuk generasi-generasi yang akan datang. Semua sumber daya fisik, manusia, dan lingkungan selalu diperbaharui.

4. Pemberdayaan

Penduduk harus berpartisipasi penuh dalam keputusan dan proses yang akan menentukan (bentuk/arah) kehidupan mereka, serta untuk berpartisipasi dan mengambil manfaat dari proses pembangunan.

Pembangunan manusia memiliki banyak dimensi, dan Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) merupakan ukuran agregat dari dimensi

dasar pembangunan. Penghitungan IPM sebagai indikator pembangunan manusia memiliki tujuan penting, diantaranya:

1. Membangun indikator yang mengukur dimensi dasar pembangunan manusia


(56)

2. Memanfaatkan sejumlah indikator untuk menjaga ukuran tersebut sederhana.

3. Membentuk satu indeks komposit daripada menggunakan sejumlah indeks

dasar.

4. Menciptakan suatu ukuran yang mencakup aspek sosial dan ekonomi.

Beberapa alasan mengapa IPM merupakan indikator yang cukup baik sebagai ukuran pembangunan manusia, adalah:

1. IPM menerjemahkan secara sederhana konsep yang cukup kompleks kedalam

tiga dimensi dasar yang terukur.

2. IPM membantu dalam pergeseran paradigma pembangunan dari pembangunan

yang hanya terfokus pada ekonomi menjadi berfokus pada manusia.

3. IPM berfokus pada kapabilitas yang releven, baik untuk negara maju dan

berkembang, sehingga menjadikan indeks tersebut sebagai alat yang universal.

4. IPM menstimulasi diskusi mengenai pembangunan manusia.

5. IPM memberikan motivasi bagi pemerintah untuk berkompetisi secara sehat

dengan negara/wilayah lain melalui keterbandingan angka IPM.

Konsep Indeks Pembangunan Manusia adalah mengukur pencapaian keseluruhan suatu negara. Dengan demikian, IPM mengukur pencapaian kemajuan pembangunan sosial ekonomi. IPM yang dipresentasikan oleh tiga (3) dimensi merupakan indeks dasar yang tersusun dari dimensi berikut ini:

1. Umur panjang dan kehidupan yang sehat, dengan indikator angka harapan


(57)

2. Pengetahuan, yang diukur dengan angka melek huruf, rata-rata lam sekolah dan kombinasi dari angka partisipasi sekolah untuk tingkat dasar, menengah dan tinggi.

3. Standar hidup yang layak, dengan indikator PDRB per kapita dalam bentuk

Purchasing Power Parity (PPP).

Konsep pembangunan manusia dalam pengertian di atas jauh lebih baik dari pada teori-teori pembangunan ekonomi yang konvensional termasuk model pertumbuhan ekonomi, pembangunan sumber daya manusia (SDM), pendekatan kesejahteraan dan pendekatan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Model pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan peningkatan pendapatan dan produksi nasional (GDP).

Untuk dapat membuat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) maka UNDP mensponsori sebuah proyek tahun 1989 yang dilaksanakan oleh tim ekonomi dan pembangunan. Tim tersebut menciptakan kemampuan dasar. Kemampuan dasar itu adalah umur panjang, pengetahuan dan daya beli. Umur panjang yang dikuantifikasikan dalam umur harapan hidup saat lahir atau sering disebut Angka

Harapan Hidup/ AHH (eo

2.3.1.1.Metode Penghitungan

). Pengetahuan dikuantifikasikan dalam kemampuan baca tulis/ angka melek huruf dan rata-rata lama bersekolah. Daya beli dikuantifikasikan terhadap kemampuan mengakses sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak.


(58)

1. Lamanya hidup, yaitu kehidupan untuk bertahan lebih lama dan diukur dengan

indikator harapan hidup pada saat lahir atau life expectancy at birth (e0).

2. Tingkat pendidikan, diukur dari dua indikator, yaitu angka melek huruf (Lit)

dan rata-rata lama sekolah (MYS). Angka melek huruf adalah persentase dari pendidik usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis dalam huruf latin atau huruf lainnya. Rata-rata lama sekolah, yaitu rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di seluruh jenjang pendidikan formal yang pernah dijalani atau sedang menjalani

3. Tingkat kehidupan yang layak, diukur dari pengeluaran riil per kapita yang

telah disesuaikan.

Dalam penghitungan Indeks Pembangunan Manusia digunakan tahap-tahap berikut ini :

1. Tahapan pertama penghitungan IPM adalah menghitung indeks

masing-masing komponen IPM (usia hidup, pengetahuan, standar hidup layak) dengan hubungan matematis sebagai berikut :

Indeks (Xi) = (Xi – Xmin) / (Xmax – Xmin)

Xi = Indikator komponen ke-i, (i = 1, 2, 3,…n)

Xmin = Nilai minimum Xi

Xmax = Nilai Maksimum Xi

Persamaan diatas akan menghasilkan nilai 0 ≤ X i ≤ 1, untuk mempermudah

membaca skala dinyatakan dalam 100% sehingga interval nilai menjadi 0≤ Xi ≤ 100.


(59)

2. Tahapan kedua penghitungan IPM adalah menghitung rata-rata sederhana dari

masing-masing indeks Xi dengan hubungan matematis :

IPM = 1/3 Xi

= 1/3 (X(1) + X(2) + X(3)) Dimana,

X(1) = Indeks Angka Harapan Hidup

X(2) = 2/3 (Indeks Melek Huruf) + 1/3 (Indeks Rata-rata Lama Sekolah)

X(3) = Indeks Konsumsi Perkapita yang disesuaikan

Untuk melihat perkembangan tingkatan status IPM di kabupaten/kota, dibedakan 4 kriteria dimana status menengah dipecah menjadi dua, seperti dibawah ini :

1. Tinggi, dengan nilai IPM lebih atau sama dengan 80.

2. Rendah, dengan nilai IPM kurang dari 50.

3. Menengah bawah, dengan nilai IPM berada diantara 50 sampai kurang dari

66.

4. Menengah atas, dengan nilai IPM berada diantara 66 sampai kurang dari 80.

2.3.2. Pertumbuhan Ekonomi

2.3.2.1.Definisi Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Menurut Sukirno (2006), pertumbuhan ekonomi ialah sebagai suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Samuelson & Nordahaus


(60)

(2004: 249) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi menggambarkan ekspansi GDP potensial atau output nasional negara. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi terjadi apabila batas kemungkinan produksi bangsa bergeser ke luar.

Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang. Menurut Schumpeter, pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan output masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi masyarakat tanpa adanya perubahan “teknologi” dalam produksi itu sendiri.

Simon Kuznets mendefenisikan pertumbuhan ekonomi suatu negara sebagai kemampuan negara itu untuk menyediakan barang-barang ekonomi yang terus meningkat bagi penduduknya, dimana pertumbuhan kemampuan ini berdasarkan kepada kemajuan teknologi dan kelembagaan serta penyesuaian ideologi yang dibutuhkannya.

2.3.2.2.Teori-Teori Pertumbuhan Ekonomi

Ada beberapa teori mengenai pertumbuhan ekonomi, antara lain : 1. Model Pertumbuhan Neo-Klasik (Neo Classic Growth Theory) Robert Solow dan Trevor Swan secara sendiri-sendiri mengembangkan model pertumbuhan ekonomi yang sekarang sering disebut dengan nama model Pertumbuhan Neo-klasik (Boediono, 1992). Model Solow-Swan memusatkan perhatiannya pada bagaimana pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital,


(61)

kemajuan teknologi dan out-put saling berinteraksi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Dalam Model neo-klasik Solow-Swan dipergunakan suatu bentuk fungsi produksi yang lebih umum,yang bisa menampung kemungkinan berbagai substitusi antar kapital (K) dan tenga kerja.

Dalam Sjafrizal (2008), model neo-klasik dipelopori oleh George H.Bort (1960) dengan mendasarkan analisisnya pada teori ekonomi neo-klasik. Menurut model ini, pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan sangat ditentukan oleh kemampuan daerah tersebut untuk meningkatkan kegiatan produksinya. Sedangkan kegiatan produksi suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi daerah bersangkutan, tetapi juga ditentukan oleh mobilitas tenaga kerja dan mobilitas modal antar daerah. Asumsi penting dari Solow adalah:

a. Tingkat Teknologi dianggap Konstan (tidak ada kemajuan teknologi)

b. Tingkat depresiasi dianggap konstan.

c. Tidak perdagangan luar negeri atau aliran masuk barang modal.

d. Tidak ada sektor pemerintah.

e. Tingkat pertambahan penduduk (tenaga kerja) juga dianggap konstan.

f. Seluruh penduduk bekerja sehingga pendapatan = jumlah tenaga kerja

Dengan asumsi-asumsi tersebut,dapat dipersempit faktor-faktor penentu pertumbuhan menjadi hanya stok barang dan modal dan tenaga kerja. Lebih lanjut lagi, dapat diasumsikan bahwa PDB perkapita semata-mata ditentukan oleh stok barang dan modal per tenaga kerja.

Jika Q =out-put atau PDB , K= Modal ,dan L= Tenaga Kerja,maka : Y= f(k) Dimana :


(1)

Nur Siregar, Arifin, 2010. Analisis Determinan Indeks Pembangunan Manusia

(IPM) Di Kabupaten Deli Serdang. Skripsi Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi USU.

Roesman, Arif, 2008. Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota. Input Paper.

Sirojuzilam, 2008. Disparitas Ekonomi dan Perencanaan Regional: Ketimpangan

Ekonomi Wilayah Barat & Wilayah Timur Propinsi Sumatera Utara.

Medan: Pustaka Bangsa.

Sjafrizal, 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Padang: Baduose Media.

Sugiyono, 2009. Statistik Nonparametris: Untuk Penelitian. Bandung: CV. ALFABETA

Sukirno, Sadono, 2006. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar

Kajian Edisi Kedua. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sukirno, Sadono, 2008. Makro Ekonomi: Teori Pengantar Edisi Ketiga. Jakarta: PT. RajaGrafindo.

Suryani, Ade, 2009. Analisis Sosial Ekonomi Masyarakat Dalam Pemanfaatan

Jasa Perum Pegadaian Di Medan. Skripsi Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi USU.

Todaro, Michael P, dan Smith, Stephen C, 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia

Ketiga, Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga

Uli, Sinta, 2009. Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Tingkat Kesejahteraan

Masyarakat Kota Binjai. Skripsi Ekonomi Pembangunan Fakultas

Ekonomi USU.

Widjaja, 2004. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Widjaja, 2005. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia: Dalam Rangka

Sosialisasi UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta:

PT. RajaGrafindo Persada.


(2)

LAMPIRAN 1 DATA PENELITIAN

Tahun Quartal

IPM (Persen) Pertumbuhan Ekonomi (Persen) PDRB (Milyar) Tingkat Pengangguran (Persen) 2004

Q1 17 1.451 3462.334 1.813

Q2 17.378 1.307 3573.724 2.256

Q3 17.471 1.162 3685.115 2.698

Q4 17.565 1.018 3796.506 3.141

2005

Q1 17.487 0.903 3787.249 2.624

Q2 17.512 0.81 3850.381 2.683

Q3 17.537 0.689 3913.513 2.741

Q4 17.562 0.568 3976.645 2.8

2006

Q1 17.614 0.975 4057.039 2.695

Q2 17.649 1.065 4127.076 2.688

Q3 17.685 1.155 4197.113 2.681

Q4 17.72 1.245 4267.15 2.674

2007

Q1 17.846 1.18 2837.992 2.455

Q2 17.774 1.208 2308.351 2.363

Q3 17.805 1.236 1778.71 2.271

Q4 17.835 1.264 1249.069 2.179

2008

Q1 17.854 1.242 2251.574 2.364

Q2 17.879 1.25 2334.792 2.383

Q3 17.905 1.259 2418.009 2.401

Q4 17.93 1.267 2501.226 2.42

2009

Q1 17.984 1.2 2521.765 2.339

Q2 18.021 1.178 2579.911 2.318

Q3 18.058 1.156 2638.057 2.296


(3)

LAMPIRAN 2

WILCOXON MATCH PAIRS TEST IPM

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

Sesudah – Sebelum Negative Ranks 0a .00 .00

Positive Ranks 12b 6.50 78.00

Ties 0c

Total 12

a. Sesudah < Sebelum b. Sesudah > Sebelum c. Sesudah = Sebelum

Test Statisticsb

Sesudah – Sebelum

Z -3.062a

Asymp. Sig. (2-tailed) .002

a. Based on negative ranks b. Wilcoxon Match Pairs Test


(4)

LAMPIRAN 3

WILCOXON MATCH PAIRS TEST PERTUMBUHAN EKONOMI

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

sesudah – Sebelum Negative Ranks 3a 5.00 15.00

Positive Ranks 9b 7.00 63.00

Ties 0c

Total 12

a. sesudah < Sebelum b. sesudah > Sebelum c. sesudah = Sebelum

Test Statisticsb

sesudah – Sebelum

Z -1.883a

Asymp. Sig. (2-tailed) .046

a. Based on negative ranks. b. Wilcoxon Match Pairs Test


(5)

LAMPIRAN 4

WILCOXON MATCH PAIRS TEST PDRB

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

Sesudah – Sebelum Negative Ranks 12a 6.50 78.00

Positive Ranks 0b .00 .00

Ties 0c

Total 12

a. Sesudah < Sebelum b. Sesudah > Sebelum c. Sesudah = Sebelum

Test Statisticsb

Sesudah - Sebelum

Z -3.059a

Asymp. Sig. (2-tailed) .002

a. Based on positive ranks. b. Wilcoxon Match Pairs Test


(6)

LAMPIRAN 5

WILCOXON MATCH PAIRS TEST TINGKAT PENGANGGURAN

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

sesudah – Sebelum Negative Ranks 10a 6.60 66.00

Positive Ranks 2b 6.00 12.00

Ties 0c

Total 12

a. sesudah < Sebelum b. sesudah > Sebelum c. sesudah = Sebelum

Test Statisticsb

sesudah – Sebelum

Z -2.118a

Asymp. Sig. (2-tailed) .034

a. Based on positive ranks. b. Wilcoxon Match Pairs Test