Hasil Penelitian

A. Hasil Penelitian

1. Pengaturan Hukum Internasional Maupun Hukum Nasional Terkait Dengan Pencemaran di Laut Timor

a. Pengaturan Berdasarkan Hukum Internasional

Pengaturan di dalam Hukum Internasional terhadap pencemaran minyak di kawasan laut suatu Negara terkait dengan kasus meledaknya ladang minyak Montara milik PT TEP Australasia (Australia - Thailand) yang terjadi di Laut Timor dapat dijabarkan sebagai berikut.

1) Pengaturan menurut Convention on the High Seas 1958

Bunyi Pasal 24 Konvensi Laut Lepas tahun 1958 menyatakan sebagai berikut. “Every State shall draw up regulations to prevent pollution of

the seas by the discharge of oil from ships or pipelines or resulting from the exploitation and exploration of the seabed and its subsoil, taking account of existing treaty provisions on the subject. ”

Ketentuan tersebut menyatakan bahwa setiap negara wajib mengadakan peraturan-peraturan untuk mencegah pencemaran laut yang disebabkan oleh minyak yang berasal dari kapal atau pipa laut tau yang disebabkan oleh eksplorasi dan eksploitasi dasar laut dan tanah di bawahnya, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan perjanjian internasional yang terdapat mengenai masalah ini.

2) Pengaturan menurut Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment 1972

Konferensi Stockhlom pada tahun 1972 juga menyepakati beberapa dasar atau prinsip mengenai keberlangsungan lingkungan hidup untuk mencegah dan mengatasi pencemaran lingkungan seperti yang terdapat dalam prinsip ke 7 yang menyatakan sebagai berikut “States shall take all possible steps to prevent pollution of the seas by Konferensi Stockhlom pada tahun 1972 juga menyepakati beberapa dasar atau prinsip mengenai keberlangsungan lingkungan hidup untuk mencegah dan mengatasi pencemaran lingkungan seperti yang terdapat dalam prinsip ke 7 yang menyatakan sebagai berikut “States shall take all possible steps to prevent pollution of the seas by

commit to user

substances that are liable to create hazards to human health, to harm living resources and marine life, to damage amenities or to interfere with other legitimate uses of the sea. ”

Prinsip tersebut memberikan kewajiban kepada semua negara untuk mengambil tindakan-tindakan guna mencegah pencemaran laut yang membahayakan kesehatan dan kesejahteraan manusia, sumber kekayaan hayati laut dan lain-lain penggunaan lingkungan laut. Prinsip ke 13 Konferensi Stockhlom tersebut juga menyebutkan bahwa :

In order to achieve a more rational management of resources and thus to improve the environment, States should adopt an integrated and coordinated approach to their development planning so as to ensure that development is compatible with the need to protect and improve environment for the benefit of their population .

Prinsip diatas menjelaskan bahwa untuk mencegah terjadinya persaingan atau perbenturan dari kepentingan yang berlainan dalam dan penggunaan lingkungan hidup manusia termasuk lingkungan laut, haruslah diadakan koordinasi dan harmonisasi di dalam usaha penyusunan perencanaan pembangunan nasional. Prinsip nomor 17 berbunyi “Appropriate national institutions must be entrusted with the task of planning, managing or controlling the environmental resources of States with a view to enhancing environmental quality. ”

Prinsip nomer 17 dalam Konferensi Stockhlom mewajibkan dibentuknya suatu badan nasional yang mempunyai wewenang untuk mengadakan perencanaan, pengelolaan atau pemantauan dari pemanfaatan atau penggunaan sumber kekayaan alam dengan cara yang berorientasi pada ekologi. Ketentuan dalam prinsip nomor 21 juga terkait langsung dengan program lingkungan hidup yang menyatakan sebagai berikut.

states have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause states have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause

commit to user

damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction.

Ketentuan prinsip ke 21 tersebut memberikan hak dan kewajiban bagi setiap negara untuk memanfaatkan lingkungan hidup yang menjadi bagian wilayahnya secara tidak menimbulkan kerugian terhadap negara atau pihak lain. Prinsip nomor 22 juga jelas menyatakan bahwa agar dapat dilaksanakan secara efektif maka berdasarkan tanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pencemaran, haruslah ada kerja sama antara negara untuk mengembangkan hukum internasional yang mengatur ganti rugi yang disebabkan oleh pencemaran. Mengutip prinsip nomor 22 Konferensi Stockhlom sebagai berikut.

States shall cooperate to develop further the international law regarding liability and compensation for the victims of pollution and other environmental damage caused by activities within the jurisdiction or control of such States to areas beyond their jurisdiction.

3) Pengaturan menurut United Nation Convention on The Law of The Sea 1982

Pencemaran laut menurut definisi Pasal 1 ayat (4) Konvensi Hukum Laut 1982 adalah

“Pollution of the marine environment means the introduction by man, directly or indirectly, of substance or energy into the the marine environment including estuaries, which results or is likely to result in such deleterious effects as harm to living resources and marine life, hazards to human health, hindrance to marine activities including fishing and other legimate uses of the sea, impairment of quality for use of sea water and of armenities. ”

Secara singkat bisa diterjemahkan bahwa, pencemaran laut adalah dimasukkannya secara langsung maupun tidak langsung oleh perbuatan manusia suatu substansi atau bahan energi kedalam lingkungan laut yang menyebabkan merosotnya kadar lingkungan laut, sehingga menyebabkan bahaya bagi sumber daya alam hayati di laut, Secara singkat bisa diterjemahkan bahwa, pencemaran laut adalah dimasukkannya secara langsung maupun tidak langsung oleh perbuatan manusia suatu substansi atau bahan energi kedalam lingkungan laut yang menyebabkan merosotnya kadar lingkungan laut, sehingga menyebabkan bahaya bagi sumber daya alam hayati di laut,

commit to user

kesehatan manusia, rintangan melakukan kegiatan di laut dan mengurangi pemanfaatan dalam penggunaan lingkungan laut. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut dalam UNCLOS 1982 diatur di bagian XII yang meliputi Pasal 192 yang berbunyi “States have the obligation to protect and preserve the marine environment ”. Pasal tersebut menyatakan bahwa adanya kewajiban kepada negara- negara peserta untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut.

Pasal 193 UNCLOS 1982 juga menyatakan sebagai berikut “States have the sovereign right to exploit their natural resources

pursuant to their environmental policies and in accordance with their duty to protect and preserve the marine environment. ” Pasal 193 tersebut mengatur tentang hak negara-negara peserta untuk mengelola sumber-sumber kekayaan alam mereka sesuai dengan kebijaksanaan lingkungan serta sesuai pula dengan kewajiban melindungi dan melestarikan lingkungan laut dari masing-masing negara.

Pengaturan selanjutnya adalah dalam Pasal 194 yang menyatakan sebagai berikut.

1. States shall take, individually or jointly as appropriate, all measures consistent with this Convention that are necessary to prevent, reduce and control pollution of the marine environment from any source, using for this purpose the best practicable means at their disposal and in accordance with their capabilities, and they shall endeavour to harmonize their policies in this connection.

2. States shall take all measures necessary to ensure that activities under their jurisdiction or control are so conducted as not to cause damage by pollution to other States and their environment, and that pollution arising from incidents or activities under their jurisdiction or control does not spread beyond the areas where they exercise sovereign rights in accordance with this Convention.

3. The measures taken pursuant to this Part shall deal with all sources of pollution of the marine environment. These measures shall include, inter alia, those designed to minimize to the fullest possible extent: 3. The measures taken pursuant to this Part shall deal with all sources of pollution of the marine environment. These measures shall include, inter alia, those designed to minimize to the fullest possible extent:

commit to user

(a) the release of toxic, harmful or noxious substances, especially those which are persistent, from land-based sources, from or through the atmosphere or by dumping.

(b) pollution from vessels, in particular measures for preventing accidents and dealing with emergencies, ensuring the safety of operations at sea, preventing intentional and unintentional discharges, and regulating the design, construction, equipment,operation and manning of vessels.

(c) pollution from installations and devices used in exploration or exploitation of the natural resources of the seabed and subsoil, in particular measures for preventing accidents and dealing with emergencies, ensuring the safety of operations at sea, and regulating the design, construction, equipment, operation and manning of such installations or devices.

(d) pollution from other installations and devices operating in the marine environment, in particular measures for preventing accidents and dealing with emergencies, ensuring the safety of operations at sea, and regulating the design, construction,equipment, operation and manning of such installations ordevices.

4. In taking measures to prevent, reduce or control pollution of the marine environment, States shall refrain from unjustifiable interference with activities carried out by other States in the exercise of their rights and in pursuance of their duties in conformity with this Convention.

5. The measures taken in accordance with this Part shall include those necessary to protect and preserve rare or fragile ecosystems as well as the habitat of depleted, threatened or endangered species and other forms of marine life.

Pasal 194 tersebut secara ringkas dapat diterjemahkan bahwa adanya kewajiban khusus dari negara di antaranya adalah tidak memindahkan kerusakan atau bahaya atau untuk mengubah suatu jenis pencemaran ke jenis pencemaran lain, memonitor resiko akibat pencemaran dan tanggung jawab serta ganti rugi.

Pasal selanjutnya adalah Pasal 195 mengenai kewajiban untuk tidak memindahkan bahaya atau kerusakan atau mengubah suatu pencemaran ke jenis pencemaran lain, yang dinyatakan sebagai berikut “In taking measures to prevent, reduce and control pollution of the Pasal selanjutnya adalah Pasal 195 mengenai kewajiban untuk tidak memindahkan bahaya atau kerusakan atau mengubah suatu pencemaran ke jenis pencemaran lain, yang dinyatakan sebagai berikut “In taking measures to prevent, reduce and control pollution of the

commit to user

marine environment, States shall act so as not to transfer, directly or indirectly,damage or hazards from one area to another or transform one type of pollution into another. ” Pasal 195 tersebut memberikan pengertian dalam menanggulangi pencemaran lingkungan laut, negara harus bertindak sedemikian rupa agar tidak memindahkan baik secara langsung maupun tidak langsung, kerusakan atau bahaya dari suatu ke daerah lain atau merubah bentuk pencemaran ke dalam bentuk pencemaran lain.

Pasal 196 UNCLOS 1982 juga secara jelas menyatakan sebagai berikut.

1. States shall take all measures necessary to prevent, reduce and control pollution of the marine environment resulting from the use of technologies under their jurisdiction or control, or the intentional or accidental introduction of species, alien or new, to a particular part of the marine environment, which may cause significant and harmful changes there to.

2. This article does not affect the application of this Convention regarding the prevention, reduction and control of pollution of the marine environment.

Pasal 196 tersebut menyatakan bahwa Negara peserta harus melakukan pengawasan untuk penanggulangan pencemaran lingkungan laut, sebagai akibat dari penggunaan teknologi, memasukan zat secara sengaja atau tidak kedalam lingkungan laut yang dapat merusak lingkungan laut.

Mengenai kerja sama global dan regional dalam menanggulangi pencemaran laut yang terjadi diatur dalam Pasal 197 sampai dengan Pasal 201. Bunyi Pasal 197 UNCLOS 1982 menyatakan sebagai berikut.

“States shall cooperate on a global basis and, as appropriate, on a regional basis, directly or through competent international organizations, in formulating and elaborating international rules, standards and recommended practices and procedures consistent with this Convention, for the protection and “States shall cooperate on a global basis and, as appropriate, on a regional basis, directly or through competent international organizations, in formulating and elaborating international rules, standards and recommended practices and procedures consistent with this Convention, for the protection and

commit to user

preservation of the marine environment, taking into account characteristic regional features. ”

Pasal 197 tersebut menjelaskan bahwa Negara-negara peserta harus bekerja sama secara global maupun regional yang perlu untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Terkait dengan ketentuan selanjutnya yakni Pasal 198 menyatakan sebagai berikut.

“When a State becomes aware of cases in which the marine environment is in imminent danger of being damaged or has been damaged by pollution,it shall immediately notify other States it deems likely to be affected by such damage, as well as the competent international organizations. ”

Pasal 198 diatas menyebutkan bahwa apabila suatu negara menyadari adanya keadaan dimana lingkungan laut berada dalam ancaman bahaya mendesak akan kerusakan atau telah rusak akibat pencemaran Negara termaksud harus segera memberitahu Negara negara lain yang menurut perkiraannya sangat mungkin akan terancam oleh kerusakan tersebut demikian pula kepada organisasi organisasi internasional yang kompeten.

Pasal 199 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa hal-hal yang termuat dalam Pasal 198 maka mewajiban kepada Negara-negara yang terkena dampak pencemaran harus saling bekerja sama antara satu dengan yang lain untuk mengurangi kerusakan yang timbul dan meningkatkan pola penanggulangan darurat pencemaran dalam lingkungan laut. Kutipan Pasal 199 tersebut adalah sebagai berikut.

“In the cases referred to in article 198, States in the area affected, in accordance with their capabilities, and the competent international organizations shall cooperate, to the extent possible, in eliminating the effects of pollution and preventing or minimizing the damage. To this end, States shall jointly develop and promote contingency plans for responding to pollution incidents in the marine environment. ”

Pasal 200 ketentuan UNCLOS 1982 mengenai kerja sama antar negara dalam menanggulangi pencemaran menyatakan sebagai berikut.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

States shall cooperate, directly or through competent international organizations, for the purpose of promoting studies, undertaking programmes of scientific research and encouraging the exchange of information and data acquired about pollution of the marine environment. They shall endeavour to participate actively in regional and global programmes to acquire knowledge for the assessment of the nature and extent of pollution, exposure to it, and its pathways, risks and remedies.

Pasal tersebut bila diterjemahkan menyatakan bahwa Negara- negara harus saling bertukar informasi dalam usaha untuk mengetahui besarnya pencemaran, bahaya pencemaran, resiko dan cara mengatasi pencemaran lingkungan laut tersebut. Ketentuan Pasal 201 sebagai implementasi Pasal 201 menyatakan sebagai berikut.

“In the light of the information and data acquired pursuant to article 200, States shall cooperate, directly or through competent international organizations, in establishing appropriate scientific criteria for the formulation and elaboration of rules, standards and recommended practices and procedures for the prevention, reduction and control of pollution of the marine environment. ”

Pasal tersebut mengatakan bahwa untuk mengimplementasikan ketentuan pasal 200, negara-negara,organisasi-organisasi terkait harus saling bekerja sama untuk menetapkan kriteria ilmiah guna pencegahan, penanggulangan dan pengendalian lingkungan laut.

Pengaturan mengenai monitoring dan analisa tentang penilaian lingkungan laut terdapat dalam Pasal 204 sampai dengan Pasal 206 UNCLOS 1982. Pasal 204 tersebut berbunyi sebagai berikut.

1. States shall, consistent with the rights of other States, endeavour, as far as practicable, directly or through the competent international organizations, to observe, measure, evaluate and analyse, by recognized scientific methods, the risks or effects of pollution of the marine environment.

2. In particular, States shall keep under surveillance the effects of any activities which they permit or in which they engage in order to determine whether these activities are likely to pollute the marine environment.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Ketentuan pasal 204 tersebut menyebutkan bahwa Negara- negara harus berusaha sedapat mungkin konsisten dengan hak-hak negara-negara lain, secara langsung atau melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten, untuk mengamati, mengatur, menilai, dan menganalisa berdasarkan metode ilmiah yang dibakukan mengenai resiko atau akibat pencemaran lingkungan laut. Secara Khusus Negara- negara pun harus tetap mengawasi pengaruh dari setiap kegiatan yang mereka ijinkan atau di dalam kegiatan termaksud mengandung kemungkinan mencemarkan lingkungan laut.

Bunyi Pasal 2 05 UNCLOS 1982 adalah “States shall publish reports of the results obtained pursuant to article 204 or provide such reports at appropriate intervals to the competent international organizations, which should make them available to all States. ” Pasal tersebut mengemukakan bahwa Negara-negara harus melaporkan segala informasi yang terkait dengan pencemaran laut yang terjadi.

Pengaturan Pasal 206 UNCLOS 1982 berisi bahwa manakala negara-negara mempunyai alasan yang kuat bahwa kegiatan-kegiatan dibawah yurisdiksinya dapat menimbulkan pencemaran lingkungan laut, maka mereka harus dapat menilai efek yang ditimbulkan dari kegiatan-kegiatan tersebut. Kutipan Pasal 206 tersebut sebagai berikut.

“When States have reasonable grounds for believing that planned activities under their jurisdiction or control may cause substantial pollution of or significant and harmful changes to the marine environment, they shall,as far as practicable, assess the potential effects of such activities on the marine environment and shall communicate reports of the results of such assessments in the manner provided in article 205. ”

b. Pengaturan Berdasarkan Hukum Nasional

Pengaturan United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 Pasal 207 sampai dengan Pasal 212 juga mewajibkan Negara-negara peserta konvensi untuk membuat peraturan atau undang-undang nasional untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut. Indonesia mewujudkan hal tersebut dalam beberapa undang-undang Pengaturan United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 Pasal 207 sampai dengan Pasal 212 juga mewajibkan Negara-negara peserta konvensi untuk membuat peraturan atau undang-undang nasional untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut. Indonesia mewujudkan hal tersebut dalam beberapa undang-undang

commit to user

yang terkait dengan pengaturan tersebut yang diatur dalam, Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Undang- Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Perpres Nomor 109 tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML). Maka terkait dengan pencemaran minyak yang terjadi di Laut Timor tersebut maka dari perundangan- undangan nasional tersebut dapat diidentifikasi beberapa pasal yang yang mengatur tentang pencemaran laut yang terjadi yakni sebagai berikut.

1) Undang-Undang Nomer 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia

Undang-undang ini yang menyebutkan tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut tercantum dalam pasal 23 yang berbunyi sebagai berikut.

(1) Pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku dan hukum internasional.

(2) Administrasi dan yurisdiksi, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Apabila diperlukan untuk meningkatkan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

2) Undang-Undang Nomer 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara

Ketentuan Undang-undang ini yang menyebutkan tentang hak- hak berdaulat Negara Kesatuan Republik Indonesia atas wilayahnya yang tercantum dalam pasal 7 yang berbunyi “Negara Indonesia memiliki hak-hak berdaulat dan hak-hak lain di Wilayah Yurisdiksi Ketentuan Undang-undang ini yang menyebutkan tentang hak- hak berdaulat Negara Kesatuan Republik Indonesia atas wilayahnya yang tercantum dalam pasal 7 yang berbunyi “Negara Indonesia memiliki hak-hak berdaulat dan hak-hak lain di Wilayah Yurisdiksi

commit to user

yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- un dangan dan hukum internasional.”

Pengaturan Pasal 8 juga mengatur mengenai perbatasan wilayah Indonesia dengan wilayah yurisdiksi negara lain yang secara lengkap menyatakan sebagai berikut.

(1) Wilayah Yurisdiksi Indonesia berbatas dengan wilayah yurisdiksi Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua Nugini, Palau, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam.

(2) Batas Wilayah Yurisdiksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk titik-titik koordinatnya ditetapkan berdasarkan perjanjian bilateral dan/atau trilateral.

(3) Dalam hal Wilayah Yurisdiksi tidak berbatasan dengan negara lain, Indonesia menetapkan Batas Wilayah Yurisdiksinya secara unilateral berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

3) Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Dalam Undang-undang ini pengaturan tentang asas yang digunakan dan pengaturan pencemaran lingkungan hidup yang tercantum dalam pasal 2 yang berbunyi :

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas:

a. tanggung jawab negara;

b. kelestarian dan keberlanjutan;

c. keserasian dan keseimbangan;

d. keterpaduan;

e. manfaat;

f. kehati-hatian;

g. keadilan;

h. ekoregion;

i. keanekaragaman hayati; j. pencemar membayar; k. partisipatif; l. kearifan lokal; m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan n. otonomi daerah.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Pasal 53 Undang-Undang Lingkungan Hidup ini menyatakan bahwa : (1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau

wajib melakukan

penanggulangan

pencemaran

dan/atau kerusakan

lingkungan hidup. (2) Penanggulangan

pencemaran

dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat;

b. pengisolasian

pencemaran

dan/atau kerusakan

lingkungan hidup;

c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan/atau;

d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bunyi Pasal 54 juga menyatakan bahwa pencemar yang dalam hal ini adalah orang wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup. Kutipan Pasal ini secara lengkap sebagai berikut.

(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup.

(2) Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan dengan tahap:

a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar;

b. remidiasi;

c. rehabilitasi;

d. restorasi; dan/atau

e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 62 terutama pada ayat (2) dan ayat (3) terkait dengan kewajiban memberikan sistem informasi Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 62 terutama pada ayat (2) dan ayat (3) terkait dengan kewajiban memberikan sistem informasi

commit to user

lingkungan hidup kepada masyarakat. Bunyi Pasal 62 ayat (2) dan ayat (3) tersebut menyatakan sebagai berikut.

(2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat.

(3) Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain.

Pasal 63 ayat (1) huruf l dan huruf m Undang-Undang ini juga menjamin kewajiban bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakan apa yang bisa diambil terkait dengan pencemaran yang terjadi yang berbunyi :

(1) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,

Pemerintah bertugas dan berwenang: l. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai

perlindungan lingkungan laut; m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara;

Cara penyelesaian sengketa mengenai pencemaran atau pengerusakan lingkungan hidup termasuk lingkungan laut diatur dalam pasal 84 yang berbunyi :

(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. (2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa. (3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

Ketentuan penyelesaian sengketa mengenai pencemaran atau pengerusakan lingkungan hidup termasuk lingkungan laut bila yang ditempuh di luar pengadilan dapat dilakukan dengan beberapa kesepakatan yang diatur dalam pasal 85 ayat (1) yang berbunyi : Ketentuan penyelesaian sengketa mengenai pencemaran atau pengerusakan lingkungan hidup termasuk lingkungan laut bila yang ditempuh di luar pengadilan dapat dilakukan dengan beberapa kesepakatan yang diatur dalam pasal 85 ayat (1) yang berbunyi :

commit to user

(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai:

a. bentuk dan besarnya ganti rugi;

b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;

c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau;

d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

Setiap penanggungjawab kegiatan yang bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan wajib membayar ganti rugi yang diatur dalam pasal 87 ayat (1) yang berbunyi :

“Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. ”

Ketentuan berikutnya apabila terjadi pencemaran lingkungan maka Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melalui instansinya berwenang mengajukan gugatan terhdap pihak terkait yang melakukan pencemaran lingkungan. Pasal 90 ayat (1) secara lengkap menyatakan sebagai berikut.

“Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan

gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. ”

Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini mengatur tentang ketentuan pidana dan denda bagi orang yang melakukan pencemaran lingkungan hidup akibat kelalaiannya yang bunyi lengkapnya sebagai berikut.

“Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, “Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,

commit to user

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). ”

4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut

Peraturan Pemerintah ini terdapat pengaturan yang berhubungan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran atau perusakan laut seperti yang terdapat dalam Pasal 9 yang menyatakan bahwa “Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbutkan pencemaran laut. ” Pengaturan Pasal 13 PP ini juga menyatakan bahwa “Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbutkan kerusakan laut.” Mengenai pencegahan perusakan lingkungan laut dinyatakan dalam Pasal 14 sebagai berikut”Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang

dapat mengakibatkan kerusakan laut wajib melakukan pencegahan perusakan laut.”

Pada bunyi Pasal 10 ayat (1) dan (2) mengenai kewajiban apa saja yang harus dipenuhi penanggung jawab kegiatan agar tidak terjadi pencemaran lingkungan. Ketentuan ini secara lengkap dinyatakan sebagai berikut.

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan pencemaran laut, wajib melakukan pencegahan terjadinya pencemaran laut.

(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang limbahnya ke laut, wajib memenuhi persyaratan mengenai baku mutu air laut, baku mutu limbah cair, baku mutu emisi dan ketentuan ketentuan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan dalam PP ini bila dalam suatu kegiatan mengakibatkan pencemaran lingkungan terdapat dalam Pasal 15 yang

menyatakan sebagai berikut “Setiap orang atau penanggung jawab menyatakan sebagai berikut “Setiap orang atau penanggung jawab

commit to user

usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya. ” Pemulihan akibat pencemaran ini diatur selanjutnya dalam Pasal 16 yang berbunyi “Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan laut wajib melakukan pemulihan mutu laut. ” Mengenai kewajiban tanggungan biaya yang harus ditanggung dalam usaha pemulihan kerusakan lingkungan diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut.

(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan laut wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut serta biaya pemulihannya.

(2) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak tambahan, akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan laut wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan.

5) Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML)

Ketentuan berikut yang dikemukakan adalah Pasal-pasal yang mengacu pada hal-hal yang terkait dengan adanya kasus pencemaran minyak yang terjadi di Laut Timor. Bunyi Pasal 2 ayat (3) dan (4) menyatakan bahwa pimpinan atau penanggungjawab kegiatan yang bisa menyebabakan pencemaran minyak di laut secara lengkap berbunyi sebagai berikut.

(3) Setiap pimpinan unit pengusahaan minyak dan gas bumi atau penanggungjawab unit kegiatan pengusahaan minyak lepas pantai wajib menanggulangi terjadinya keadaan darurat tumpahan minyak di laut yang bersumber dari usaha dan/atau kegiatannya serta melaporkan kejadian tersebut kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.

(4) Setiap pimpinan atau penanggungjawab kegiatan lain wajib menanggulangi terjadinya keadaan darurat tumpahan minyak di laut yang bersumber dari usaha dan/atau (4) Setiap pimpinan atau penanggungjawab kegiatan lain wajib menanggulangi terjadinya keadaan darurat tumpahan minyak di laut yang bersumber dari usaha dan/atau

commit to user

kegiatannya serta melaporkan kejadian tersebut kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.

Perihal telah terjadi keadaan darurat pencemaran minyak yang mencemari di wilayah laut Indonesia maka dapat dibentuk tim khusus untuk menanggulanginya seperti yang tercantum dalam Pasal 3 yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut.

penyelenggaraan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 3, dibentuk Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut, yang selanjutnya disebut Tim Nasional.

(2) Tim Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. (3) Ketua Tim Nasional wajib melaporkan secara berkala pelaksanaan hasil tugasnya kepada Presiden. (4) Tim Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri

atas: Ketua

: Menteri Perhubungan;

Wakil Ketua : Menteri Negara Lingkungan Hidup; Anggota

: 1. Menteri Energi dan Sumberdaya

Mineral;

2. Menteri Dalam Negeri;

3. Menteri Luar Negeri;

4. Menteri Kelautan dan Perikanan;

5. Menteri Kesehatan;

6. Menteri Kehutanan;

7. Menteri Keuangan;

8. Menteri Hukum & Hak Asasi Manusia;

9. Panglima Tentara Nasional Indonesia;

10. Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia;

11. Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;

12. Kepala Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui Pipa;

13. Gubernur, Bupati/Walikota yang sebagian wilayahnya mencakup laut. (5) Tim Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertanggungjawab atas penyelenggaraan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 3.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

(6) Tim Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertugas

a. melaksanakan

koordinasi

penyelenggaraan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 3;

b. memberikan dukungan advokasi kepada setiap orang yang mengalami kerugian akibat tumpahan minyak di laut.

(7) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Tim Nasional berfungsi menetapkan pedoman pengembangan sistem kesiagaan dan penyelenggaraan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut, meliputi:

a. menetapkan PROTAP Tier 3;

b. menjamin ketersediaan sarana, prasarana, dan personil terlatih untuk mendukung pelaksanaan operasi penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut;

c. menetapkan persyaratan minimal kesiagaan sarana, prasarana, dan personil di pelabuhan, terminal atau platform untuk penanggulangan tumpahan minyak di laut;

d. menetapkan persyaratan minimal kesiagaan sarana, prasarana, dan personil di daerah untuk penanggulangan dampak lingkungan akibat tumpahan minyak di laut.

penyelenggaraan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 3 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Tim Nasional membentuk dan membina PUSKODALNAS.

Pasal 8 dalam Perpres ini juga mengatur kewajiban bagi setiap orang yang mengetahui bila terjadi pencemaran minyak di laut yang secara lengkap bunyinya :

(1) Setiap orang yang mengetahui terjadinya tumpahan minyak di laut wajib segera menginformasikan kepada:

a. PUSKODALNAS;

b. Kantor pelabuhan;

c. Direktorat yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang teknik dan lingkungan minyak dan gas bumi, pada departemen yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi;

d. Pemerintah Daerah; atau

e. Unsur pemerintah lain yang terdekat.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

(2) Setelah menerima informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat dari instansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e wajib segera menginformasikan kepada :

a. ADPEL;

b. KAKANPEL; atau

c. Kepala PUSKODALNAS. (3) Setelah menerima informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), maka ADPEL atau KAKANPEL wajib segera menginformasikan kepada Kepala PUSKODALNAS.

(4) ADPEL, KAKANPEL, atau PUSKODALNAS setelah menerima informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) wajib segera melakukan pengecekan atas kebenaran laporan yang diterima.

(7) Dalam hal tumpahan minyak yang terjadi masuk dalam kategori tier 3, PUSKODALNAS wajib segera melakukan koordinasi pelaksanaan operasi penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut dan Kepala PUSKODALNAS bertindak selaku koordinator misi tier 3.

Terkait dengan adanya kerjasama internasional yang bisa dilakukan untuk menanggulangi pencemaran minyak di laut diatur dalam Pasal 9 yang berbunyi “Dalam hal sumber daya nasional tidak

memadai dalam penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 3, maka Ketua Tim Nasional dapat meminta bantuan internasional. ” Pertanggungjawaban juga terdapat pada pimpinan suatu perusahaan eksplorasi minyak dan gas bila dalam kegiatan usahanya terjadi pencemaran di laut yang secara jelas diatur dalam Pasal 11 yang berbunyi :

Setiap pemilik atau operator kapal, pimpinan tertinggi pengusahaan minyak dan gas bumi atau penanggungjawab tertinggi kegiatan pengusahaan minyak lepas pantai atau pimpinan atau penanggungjawab kegiatan lain, yang karena kegiatannya mengakibatkan terjadinya tumpahan minyak di laut, bertanggungjawab mutlak atas biaya:

a. penanggulangan tumpahan minyak di laut;

b. penanggulangan dampak lingkungan akibat tumpahan minyak di laut;

c. kerugian masyarakat akibat tumpahan minyak di laut; dan

d. kerugian lingkungan akibat tumpahan minyak di laut.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2. Pertanggungjawaban Negara yang Terlibat di Perusahaan The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PT TEP) Australasia Dalam Kejadian Meledaknya Kilang Minyak Montara di Laut Timor

Dalam kaitannya dengan permasalahan yang dibahas mengenai bagaimana pertanggung jawaban negara yang terlibat di perusahaan The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PT TEP) Australasia dalam kejadian meledaknya kilang minyak Montara di Laut Timor tersebut dilihat dari tiga konvensi Internasional yakni International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969, International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971, dan United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. International Convention on Civil Liability for Oil Pullution Damage 1969

Tanggung jawab tersebut jika ditinjau dari Konvensi Internasional Mengenai Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Pencemaran Minyak di Laut (International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage). Konvensi ini mengatur tentang ganti rugi pencemaran laut oleh minyak karena kecelakaan kapal tanker. Konvensi ini juga bersifat terbatas karena hanya berlaku untuk pencemaran lingkungan laut di laut territorial Negara peserta berupa kerusakan pencemaran minyak mentah (persistent oil) yang tertumpah dari muatan kapal tangki. Kerusakan yang disebabkan oleh non-presistent oil seperti gasoline, kerosene, light diesel oil, dsb, juga tidak termasuk dalam Civil Liability Convention 1969.

Dalam Civil Liability Convention 1969 ini mengharuskan kapal tangki yang telah mengakibatkan timbulnya kerugian (damage) pada negara pantai untuk memberikan ganti kerugian yang diderita oleh orang atau kepentingan yang telah menjadi korban dari pengotoran laut yang disebabkan. Kewajiban ganti rugi tersebut didasarkan atas prinsip strict Dalam Civil Liability Convention 1969 ini mengharuskan kapal tangki yang telah mengakibatkan timbulnya kerugian (damage) pada negara pantai untuk memberikan ganti kerugian yang diderita oleh orang atau kepentingan yang telah menjadi korban dari pengotoran laut yang disebabkan. Kewajiban ganti rugi tersebut didasarkan atas prinsip strict

commit to user

liability artinya kewajiban membayar ganti rugi itu timbul sesegera terjadinya kerugian itu, dengan tidak mempersoalkan salah atau tidak kapal tangki yang bersangkutan.

b. International Convention on the Establishment of an International

Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971

Pada konvensi ini sebenarnya adalah melengkapi atau menciptakan suatu “Compensation Scheme” yang akan menyediakan pembayaran ganti rugi kepada korban di satu pihak dan pembebasan pemilik kapal dari beban keuangan yang diakibatkan oleh Civil Liability Convention 1969 (Syahmin A.K, 1988: 152).

Ruang lingkup yang diatur pada konvensi ini bersifat terbatas, dalam artian yang bisa diajukan klaim ganti rugi atau yang bisa dibayarkan hanya akibat dari tumpahan minyak bumi (crude oil and fuel oil ) yang di angkut kapal. Ketentuan tersebut ada dalam Pasal 1 ayat (3) yang bunyinya sebagai berikut.

Contributing Oil means crude oil and fuel oil as defined in sub- paragraphs (a) and (b) below:

a. Crude Oil means any liquid hydrocarbon mixture occurring naturally in the earth whether or not treated to render it suitable for transportation. It also includes crude oils from which certain distillate fractions have been removed (sometimes referred to as topped crudes) or to which certain distillate fractions have been added (sometimes referred to as spiked or reconstituted crudes).

b. Fuel Oil means heavy distillates or residues from crude oil or blends of such materials intended for use as a fuel for the production of heat or power of a quality equivalent to the American Society for Testing and Materials Specification for Number Four Fuel Oil (Designation D 396-69), or heavier.

c. United Nation Convention on The Law of The Sea 1982

Ketentuan Pasal dalam UNCLOS 1982 yang dapat dikenakan pertanggungjawaban Negara atas pencemaran laut yang terjadi diatur dalam Pasal 139 yang menyatakan sebagai berikut.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1. States Parties shall have the responsibility to ensure that activities in the Area, whether carried out by States Parties, or state enterprises or natural or juridical persons which possess the nationality of States Parties or are effectively controlled by them or their nationals, shall be carried out in conformity with this Part. The same responsibility applies to international organizations for activities in the Area carried out by such organizations.

2. Without prejudice to the rules of international law and Annex

III, article 22, damage caused by the failure of a State Party or international organization to carry out its responsibilities under this Part shall entail liability; States Parties or international organizations acting together shall bear joint and several liability. A State Party shall not however be liable for damage caused by any failure to comply with this Part by a person whom it has sponsored under article 153, paragraph 2(b), if the State Party has taken all necessary and appropriate measures to secure effective compliance under article 153, paragraph 4, and Annex III, article 4, paragraph

3. States Parties that are members of international organizations shall take appropriate measures to ensure the implementation of this article with respect to such organizations.

Pasal 139 ayat (1) diatas menjelaskan bahwa Negara Peserta harus bertanggungjawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan, baik dilakukan oleh Negara peserta atau perusahaan perusahaan negara atau badan hukum atau orang perorangan yang memiliki kebangsaan Negara Peserta atau yang dikuasai secara efektif oleh mereka atau oleh warga negara-warga negara mereka, tanggung jawab yang sama berlaku pula bagi organisasi-organisasi internasional untuk kegiatan kegiatan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi di kawasan tersebut.

Ayat (2) menjelaskan dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan hukum internasional dan pada lampiran III Pasal 22 kerugian yang disebabkan oleh kelalaian suatu Negara Peserta atau organisasi internasional untuk melaksanakan kewajiban untuk ganti rugi, Negara Peserta atau organisasi-organisasi internasional bertindak, memikul secara bersama-sama harus memikul secara bersama dan tanggung Ayat (2) menjelaskan dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan hukum internasional dan pada lampiran III Pasal 22 kerugian yang disebabkan oleh kelalaian suatu Negara Peserta atau organisasi internasional untuk melaksanakan kewajiban untuk ganti rugi, Negara Peserta atau organisasi-organisasi internasional bertindak, memikul secara bersama-sama harus memikul secara bersama dan tanggung

commit to user

renteng kewajiban untuk ganti rugi. Akan tetapi suatu Negara Peserta tidak berkewajiban menanggung kerugian yang disebabkan oleh suatu kelalaian yang dilakukan oleh seorang yang disponsorinya berdasarkan pasal 153 ayat (2) apabila Negara Peserta tersebut telah mengambil segala tindakan yang perlu dan tepat untuk menjamin ditaatinya secara efektif menurut pasal 153 ayat (4), lampiran III Pasal 4 ayat (4). Pasal 139 ayat (3) ini bila diterjemahkan maka memberikan ketentuan Negara Peserta yang menjadi anggota organisasi internasional harus mengambil tindakan yang tepat untuk menjamin pelakasanaan Pasal ini yang berkenaan dengan organisasi-organisasi tersebut.

Terkait dengan pengaturan sistem eksplorasi dan eksploitasi lautan UNCLOS mengaturnya dalam Pasal 153 yang berbunyi :

1. Activities in the Area shall be organized, carried out and controlled by the Authority on behalf of mankind as a whole in accordance with this article as well as other relevant provisions of this Part and the Relevant Annexes, and the rules, regulations and procedures of the Authority.

2. Activities in the Area shall be carried out as prescribed in

paragraph 3: (a) by the Enterprise, and (b) in association with the Authority by States Parties, or

state enterprises or natural or juridical persons which possess the nationality of States Parties or are effectively controlled by them or their nationals, when sponsored by such States, or any group of the foregoing which meets the requirements provided in this Part and in Annex III.

3. Activities in the Area shall be carried out in accordance with

a formal written plan of work drawn up in accordance with Annex III and approved by the Council after review by the Legal and Technical Commission. In the case of activities in the Area carried out as authorized by the Authority by the entities specified in paragraph 2 (b), the plan of work shall, in accordance with Annex III, article 3, be in the form of a contract. Such contracts may provide for joint arrangements in accordance with Annex III, article 11.

4. The Authority shall exercise such control over activities in the Areaas is necessary for the purpose of securing compliance with the relevant provisions of this Part and the Annexes relating there to, and the rules,regulations and 4. The Authority shall exercise such control over activities in the Areaas is necessary for the purpose of securing compliance with the relevant provisions of this Part and the Annexes relating there to, and the rules,regulations and

commit to user

procedures of the Authority, and the plans of work approved in accordance with paragraph 3. States Parties shall assist the Authority by taking all measures necessary to ensure such compliance in accordance with article 139.

5. The Authority shall have the right to take at any time any measures provided for under this Part to ensure compliance with its provisions and the exercise of the functions of control and regulation assigned to it thereunder or under any contract. The Authority shall have the right to inspect all installations in the Area used in connection with activities in the Area.

6. A contract under paragraph 3 shall provide for security of tenure. Accordingly, the contract shall not be revised, suspended or terminated except in accordance with Annex

III, articles 18 and 19.

Dalam pasal tersebut mengatur tentang sistem kegiatan eksplorasi dan eksploitasi oleh perusahaan maupun perusahaan dengan otorita oleh Negara Peserta atau perusahaan negara atau badan hukum atau perorangan yang memiliki kebangsaan negara peserta atau secara aktif dikendalikan oleh mereka atau warga negara mereka jika disponsori oleh negara-negara tersebut. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi itu harus dilaksanakan berdasarkan rencana kerja tertulis yang resmi dan telah mendapat ijin dari otoritas negara yang bersangkutan. Otoritas Negara Peserta harus mengadakan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan tersebut dikawasannya dan memiliki hak untuk mengambil tindakan apapun guna menjamin dipenuhinya peraturan-peraturannya serta mempunyai hak untuk memeriksa semua instalasi dalam segala kegiatan yang dilakukan di kawasan negaranya.

Pasal 235 UNCLOS 1982 mengatur tentang tanggungjawab dan kewajiban ganti rugi Negara Peserta yang melakukan pencemaran dan secara lengkap dinyatakan sebagai berikut.

1. States are responsible for the fulfilment of their international obligations concerning the protection and preservation of the marine environment. They shall be liable in accordance with international law.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2. States shall ensure that recourse is available in accordance with their legal systems for prompt and adequate compensation or other relief in respectof damage caused by pollution of the marine environment by natural or juridical persons under their jurisdiction.

3. With the objective of assuring prompt and adequate compensation in respect of all damage caused by pollution of the marine environment, States shall cooperate in the implementation of existing international law and the further development of international law relating to responsibility and liability for the assessment of and compensation for damage and the settlement of related disputes, as well as, where appropriate, development of criteria and procedures for payment of adequate compensation, such as compulsory insurance or compensation funds.

Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa Negara bertanggung jawab untuk pemenuhan kewajiban-kewajiban internasional mereka berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Mereka harus memikul kewajiban ganti-rugi sesuai dengan hukum internasional.

Ayat (2) menyatakan bahwa Negara harus menjamin tersedianya upaya menurut sistem perundang-undangannya untuk diperolehnya ganti rugi segera memadai atau bantuan lainnya berkaitan dengan kerusakan yang disebabkan pencemaran lingkungan laut oleh orang perorangan atau oleh badan hukum di bawah yurisdiksi mereka, dengan tujuan untuk menjamin ganti rugi yang segera dan memadai berkaitan dengan segala kerugian yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut.

Negara-negara peserta konvensi pun harus bekerja sama berdasarkan hukum internasional yang berkenaan dengan tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi untuk penaksiran mengenai kompensasi untuk kerusakan serta penyelesaian sengketa yang timbul, demikian pula, dimana perlu, mengembangkan kriteria dan prosedur pembayaran ganti rugi yang memadai seperti halnya asuransi wajib atau dana kompensasi.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Ketentuan Pasal 237 UNCLOS 1982 juga menguatkan apa yang diatur dalam Pasal 235. Pasal 237 ini secara lengkap berbunyi sebagai berikut.

1. The provisions of this Part are without prejudice to the specific obligations assumed by States under special conventions and agreements concluded previously which relate to the protection and preservation of the marine environment and to agreements which may be concluded in furtherance of the general principles set forth in this Convention.

2. Specific obligations assumed by States under special conventions, with respect to the protection and preservation of the marine environment, should be carried out in a manner consistent with the general principles and objectives of this Convention.

Menurut Pasal 237 tersebut menyatakan bahwa ketentuan bab ini tidak mengurangi kewajiban khusus yang diterima Negara-negara berdasarkan konvensi-konvensi khusus dan persetujuan yang telah tercapai sebelumnya yang berhubungan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut serta persetujuan-persetujuan yang mungkin dicapai sebagai kelanjutan asas-asas umum yang tercantum dalam konvensi ini. Kewajiban khusus yang diterima negara berdasarkan konvensi khusus yang berhubungan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut harus dilaksanakan dengan cara yang konsisten dengan asas umum dan tujuan konvensi ini.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user