Pembahasan Penelitian

B. Pembahasan Penelitian

1. Pengaturan Hukum Internasional Maupun Hukum Nasional Terkait Dengan Pencemaran di Laut Timor

Dari hasil penelitian di atas, telah dipaparkan mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut terhadap pencemaran minyak yang terjadi di lautan baik dari hukum internasional maupun hukum nasional Indonesia. Pembahasan dari hasil penelitian tersebut sebagai dasar hukum dalam kaitannya dengan pencemaran minyak yang terjadi di Laut Timor oleh anjungan lepas pantai milik PT TEP Australasia.

Tumpahan minyak dari ladang Montara yang mencemari wilayah perairan laut Indonesia sebagaimana yang telah dipaparkan pada latar belakang permasalahan diatas telah bertentangan dengan ketentuan untuk memelihara lingkungan hidup manusia termasuk juga lingkungan laut yang telah ditetapkan dalam prinsip pertama dari Konferensi Stockhlom 1972 yang menyatakan :

“Man has the fundamental right to freedom, equality and adequate conditions of life, in an environment of a quality that permits a life of dignity and well-being, and he bears a solemn responsibility to protect and improve the environment for present and future generations. In this respect, policies promoting or perpetuating apartheid, racial segregation, discrimination, colonial and other forms of oppression and foreign domination stand condemned and must be eliminated. ”

Prinsip tersebut mengakui bahwa adanya hak asasi manusia atau setiap orang untuk hidup di suatu lingkungan yang baik dan sehat serta juga mewajibkan untuk memelihara lingkungan hidup manusia tersebut sedemikian rupa hingga dapat dinikmati oleh generasi-generasi yang akan datang. Hal tersebut semakin dikuatkan dengan adanya prinsip ke 7 dan prinsip ke 13 yang mengutarakan agar dilakukan upaya pencegahan yang harus dilakukan negara untuk mengatasi pencemaran laut.

Dalam fakta yang didapat sebenarnya Pemerintah Australia sudah membentuk badan nasional yang bertugas untuk melakukan kajian analisa serta dampak pencemaran tersebut terhadap negara lain akibat dari terjadinya Dalam fakta yang didapat sebenarnya Pemerintah Australia sudah membentuk badan nasional yang bertugas untuk melakukan kajian analisa serta dampak pencemaran tersebut terhadap negara lain akibat dari terjadinya

commit to user

ledakan di ladang minyak Montara. Badan tersebut dibentuk oleh Menteri sumber daya dan energi Australia pada tanggal 5 november 2009 yang disebut Montara Commission of Inquiry atau komisi penyelidikan Montara. Dengan Pembentukan badan ini sebenarnya ada itikad baik dari Australia untuk mengatasi pencemaran minyak dari ladang Montara ini. Kebijakan ini sejalan dengan prinsip ke 17 dan prinsip ke 21 Konferensi Stockhlom yang pada intinya setiap Negara wajib membentuk suatu badan nasional yang mempunyai wewenang untuk mengadakan perencanaan, pengelolaan atau pemantauan dari pemanfaatan atau penggunaan sumber kekayaan alam dengan cara yang berorientasi pada ekologi agar tidak menimbulkan kerugian terhadap negara atau pihak lain.

Upaya Pemerintah Australia dengan membentuk komisi penyelidikan Montara juga sejalan dengan Rio Declaration pada tahun 1992 menghasilkan dokumen berupa Agenda 21 mengenai pembangunan berkelanjutan yang salah satunya terdapat dalam pengertian lingkungan laut sebagai berikut.

“marine environment including the oceans and all seas and adjacent coastal areas forms an integrated whole that is an essential component of the global life-support system and a positive asset that presents opportunities for sustainable development. Sustainable development means development that meets the needs of the present generation withoutcompromising the ability of future generation to meet their own needs.”

Pernyataan diatas menyatakan bahwa lingkungan laut termasuk samudera, semua laut, dan kawasan pantai membentuk satu kesatuan komponen penting sistem yang mendukung kehidupan global dan kekayaan yang memberikan kesempatan untuk melakukan pembangunan berkelanjutan.

Dampak dari pencemaran ini tidak hanya dari sekedar pencemaran lingkungan laut tapi juga mengganggu kedaulatan wilayah laut Indonesia sebagai negara pantai yang terdapat dalam UNCLOS 1982 dimana hak dan kedaulatan suatu Negara pantai tidak hanya terbatas pada wilayah daratan maupun perairan pedalaman saja melainkan juga hak dan kedaulatan meliputi wilayah laut territorial yang diatur dalam Pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1. The sovereignty of a coastal State extends, beyond its land territory and internal waters and, in the case of an archipelagic State, its archipelagic waters, to an adjacent belt of sea, described as the territorial sea.

2. This sovereignty extends to the air space over the territorial sea as well as to its bed and subsoil.

3. The sovereignty over the territorial sea is exercised subject to this Convention and to other rules of international law.

Pasal diatas menjelaskan bahwa kedaulatan suatu negara pantai selain wilayah daratan, perairan pedalaman, dalam hal suatu negara kepulauan meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya dinamakan laut territorial. Kedaulatan ini meliputi ruang udara diatas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya serta kedaulatan atas laut territorial ini dilaksanakan dengan ketentuan hukum internasional lainnya.

Ketentuan Pasal 56 menunjukan hak yurisdiksi Negara pantai dalam wilayah zona ekonomi eksklusif lautannya, yang selengkapnya berbunyi.

1. In the exclusive economic zone, the coastal State has:

a. sovereign rights for the purpose of exploring and exploiting, conserving and managing the natural resources, whether living or non-living, of the waters superjacent to the seabed and of the seabed and its subsoil, and with regard to other activities for the economic exploitation and exploration of the zone, such as the production of energy from the water, currents and winds;

b. jurisdiction as provided for in the relevant provisions of this Convention with regard to:

i. the establishment and use of artificial islands, installations

and structures;

ii. marine scientific research;

iii. the protection and preservation of the marine environment;

c. other rights and duties provided for in this Convention.

2. In exercising its rights and performing its duties under this Convention in the exclusive economic zone, the coastal State shall have due regard to the rights and duties of other States and shall act in a manner compatible with the provisions of this Convention.

3. The rights set out in this article with respect to the seabed and subsoil shall be exercised in accordance with Part VI.

Pasal tersebut memberikan pengertian bahwa dalam zona ekonomi eksklusif Negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk mengeksplorasi, mengelola sumber daya alam, baik hayati maupun non hayati di perairan di Pasal tersebut memberikan pengertian bahwa dalam zona ekonomi eksklusif Negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk mengeksplorasi, mengelola sumber daya alam, baik hayati maupun non hayati di perairan di

commit to user

atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah dibawahnya, termasuk yurisdiksi berkenaan untuk membuat pulau buatan, instalasi bangunan, riset ilmiah kelautan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Negara Pantai dalam melakukan hak-hak tersebut juga harus memperhatikan hak-hak negara lain sesuai dengan tata cara dalam konvensi ini.

Pengaturan Pasal 77 UNCLOS 1982 semakin menguatkan hak Negara pantai pada landas kontinennya yang berbunyi :

1. The coastal State exercises over the continental shelf sovereign rights for the purpose of exploring it and exploiting its natural resources.

2. The rights referred to in paragraph 1 are exclusive in the sense that if the coastal State does not explore the continental shelf or exploit its natural resources, no one may undertake these activities without the express consent of the coastal State.

3. The rights of the coastal State over the continental shelf do not depend on occupation, effective or notional, or on any express proclamation.

4. The natural resources referred to in this Part consist of the mineral and other non-living resources of the seabed and subsoil together with living organisms belonging to sedentary species, that is to say, organisms which, at the harvestable stage, either are immobile on or under the seabed or are unable to move except in constant physical contact with the seabed or the subsoil.

Pasal diatas menjelaskan bahwa Negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk melakukan kegiatan mengeksplorasi dan mengeksploitasi landas kontinennya. Apabila negara pantai tidak melakukannya, maka tiada seorangpun dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan negara pantai. Hak negara pantai tidak tergantung pada okupasi atau pendudukan, baik secara efektif atau tidak. Sumberdaya laut yang ada di landas kontinen ini terdiri dari sumber mineral dan kekayaan non hayati.

Maka terkait dengan pencemaran minyak yang terjadi di Laut Timor karena meledaknya ladang minyak lepas pantai milik PT TEP Australasia telah mencemari laut dan meluas masuk ke zona wilayah perairan teritorial, zee dan landas kontinen Negara Indonesia dan tentu saja pencemaran ini mengganggu hak berdaulat atas wilayah laut Negara Indonesia. Kedaulatan dalam hal ini sering diartikan sebagai the pride of the nation atau harga diri Maka terkait dengan pencemaran minyak yang terjadi di Laut Timor karena meledaknya ladang minyak lepas pantai milik PT TEP Australasia telah mencemari laut dan meluas masuk ke zona wilayah perairan teritorial, zee dan landas kontinen Negara Indonesia dan tentu saja pencemaran ini mengganggu hak berdaulat atas wilayah laut Negara Indonesia. Kedaulatan dalam hal ini sering diartikan sebagai the pride of the nation atau harga diri

commit to user

suatu bangsa, yang mengandung pengertian bahwa dalam suatu negara merdeka memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk secara ekslusif dan bebas melakukan berbagai kegiatan kenegaraan sesuai kepentingannya, asalkan kegiatan atau kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan negara lain dan hukum internasional (Mirza Satria Buana, 2007: 32).

Yurisdiksi Indonesia jika menurut pengaturan UNCLOS 1982 diatas tentu saja juga telah diabaikan oleh Negara Australia selaku pemberi ijin pelaksanaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi PT TEP Australasia di kawasan perairan laut Australia tersebut selaku pemegang jurisdiksi wilayahnya. Yurisdiksi territorial yang dimiliki Indonesia memberikan kewenangan untuk melaksanakan kedaulatannya terhadap kejadian-kejadian yang berlangsung di wilayahnya (Jawahir Thontowi, 2006: 158-159).

Implementasi pengaturan dalam hukum internasional mengenai kedaulatan lingkungan laut pun harus diwujudkan kedalam undang-undang nasional masing-masing negara. Terkait dengan pelanggaran kedaulatan yang terjadi akibat pencemaran di lingkungan laut tersebut Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia permasalahan tentang kedaulatan diatur dalam Pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut.

“Kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. ”

Ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Perairan Indonesia tersebut juga menegaskan kembali bahwa penegakan kedaulatan yang dimiliki Indonesia dijamin oleh hukum nasional maupun hukum internasional. Bunyi lengkap Pasal 24 sebagai berikut.

(1) Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi (1) Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi

commit to user

hukum internasional lainnya, dan peraturan perundang-undangan yang ber-laku.

(2) Yurisdiksi dalam penegakan kedaulatan dan hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi, hukum internasional lainnya, dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

(3) Apabila diperlukan, untuk pelaksanaan penegakan hukum sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Masalah tentang hak kedaulatan negara terhadap wilayah lautnya juga dipertegas dalam Deklarasi Rio di prinsip nomer 2 yang berbunyi sebagai berikut.

“States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit

their own resources pursuant to their own environmental and developmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction .”

Prinsip tersebut menyatakan bahwa sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan prinsip-prinsip hukum internasional, Negara memiliki hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya lingkungan mereka sendiri sesuai dengan perkembangan kebijakan lingkungan mereka, dan Negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kegiatan dalam jurisdiksinya atau kendalinya tidak menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas-batas nasional yurisdiksinya.

Kerja sama regional dan global juga diperlukan dalam upaya melakukan pencegahan dan perlindungan terhadap lingkungan laut. Kerja sama tersebut dapat berupa kerja sama dalam pemberitahuan adanya pencemaran laut, penanggulangan bersama bahaya atas terjadinya pencemaran laut, pembentukan penanggulangan darurat (contingency plans against pollution ), kajian, riset, pertukaran informasi dan data serta membuat kriteria ilmiah (scientific criteria) untuk mengatur prosedur dan praktik bagi Kerja sama regional dan global juga diperlukan dalam upaya melakukan pencegahan dan perlindungan terhadap lingkungan laut. Kerja sama tersebut dapat berupa kerja sama dalam pemberitahuan adanya pencemaran laut, penanggulangan bersama bahaya atas terjadinya pencemaran laut, pembentukan penanggulangan darurat (contingency plans against pollution ), kajian, riset, pertukaran informasi dan data serta membuat kriteria ilmiah (scientific criteria) untuk mengatur prosedur dan praktik bagi

commit to user

pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan laut sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 198-201 Konvensi Hukum Laut 1982.

Di samping itu, Pasal 207-212 Konvensi Hukum Laut 1982 mewajibkan setiap Negara untuk membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur pencegahan dan pengendalian pencemaran laut dari berbagai sumber pencemaran, seperti sumber pencemaran dari darat (land-based sources ), pencemaran dari kegiatan dasar laut dalam jurisdiksi nasionalnya (pollution from sea-bed activities to national jurisdiction), pencemaran dari kegiatan di kawasan (pollution from activities in the area), pencemaran dari dumping (pollution by dumping), pencemaran dari kapal (pollution from vessels ), dan pencemaran dari udara (pollution from or through the atmosphere ).

Menyoroti hal tersebut, Pemerintah Indonesia saat ini telah melakukan implementasi perlindungan lingkungan laut dari pencemaran melalui lima peraturan yang terdapat dalam, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomer 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Perpres Nomer 109 tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML).

Secara hukum tindakan Indonesia sebagai negara pantai tersebut telah melaksanakan hak yuridisnya untuk mengimplementasikan konvensi- konvensi internasional yang berkaitan dengan lingkungan laut ke dalam perundang-undangan nasional telah jelas menegaskan bahwa adanya komitmen Indonesia untuk menyusun konsepsi pengelolaan lingkungan laut nusantara yang mampu mengamankan kepentingan nasional dan mengayomi keserasian penggunaan lingkungan laut secara rasional.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

B. Pertanggungjawaban Negara yang Terlibat di Perusahaan The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PT TEP) Australasia Dalam Kejadian Meledaknya Kilang Minyak Montara di Laut Timor

Polusi yang ditimbulkan akibat kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi di anjungan lepas pantai saat ini hanya menyumbang satu sampai dua persen dari total polusi laut, yang cukup rendah dibandingkan dari sumber-sumber polusi yang mengakibatkan pencemaran laut.

The offshore oil and gas industry currently accounts for only one to two per cent of totalmarine pollution, which is quite low compared to other sources of marine pollution. However, there is a risk that pollution levels will increase due to the rapid expansion of offshore operations. Although the industry has main-tained a relatively good pollution record to date, it still remains a high-risk industry with potential to cause serious damage to the marine environment. In fact, marine pollution can be linked to all activities at any stage of an offshore oil and gas development (Mikhail Kashubsky, 2006: 2).

Menyikapi dampak yang timbul akibat dari pencemaran minyak dari lading Montara oleh PT TEP Australasia di Laut Timor yang besar dan merugikan Indonesia yang dikemukakan dalam sub bab latar belakang masalah diatas maka Pemerintah Indonesia mengajukan klaim ganti rugi sebagai bentuk pertanggungjawaban dari PT TEP Australasia selaku operator lading minyak Montara maupun pemerintah Australia selaku pemberi ijin perusahaan tersebut. Pertanggungjawaban yang dimaksud ditinjau dari beberapa konvensi Internasional yakni International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969, International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971, dan United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 yang telah dipaparkan di dalam sub bab hasil penelitian diatas.

Klaim ganti rugi Indonesia kepada PT TEP Australasia dan Pemerintahan Australia jika berdasarkan ketentuan dalam CLC 1969 tidak akan berpengaruh karena menurut hasil penelitian diatas menyatakan bahwa “ships” atau akapal disini terbatas hanya kapal tanker atau kapal kargo yang Klaim ganti rugi Indonesia kepada PT TEP Australasia dan Pemerintahan Australia jika berdasarkan ketentuan dalam CLC 1969 tidak akan berpengaruh karena menurut hasil penelitian diatas menyatakan bahwa “ships” atau akapal disini terbatas hanya kapal tanker atau kapal kargo yang

commit to user

dibuat untuk membawa minyak mentah dan kenyataannya ladang minyak Montara ini merupakan anjungan minyak lepas pantai.

Indonesia merupakan negara yang ikut menandatangani International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage pada tanggal 18 Desember 1971. Konvensi ini juga telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1978 tentang Pengesahan International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage. Dalam Keputusan Presiden ini menyatakan bahwa “konvensi tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang ganti rugi yang diwajibkan kepada pemilik kapal yang menimbulkan pengotoran atau pencemaran di sepanjang pantai yang ditimbulkan oleh minyak yang berasal dari kapal.” Meningkatnya kegiatan perekonomian khususnya di bidang pengangkutan minyak melalui kapal-kapal tanker telah menimbulkan berbagai permasalahan baru seperti terjadinya pencemaran minyak akibat meningkatnya lalu lintas kapal-kapal tanker yang melewati perairan Indonesia. Hal ini juga telah menjadi bahan pertimbangan Pemerintah Indonesia atas diratifikasinya konvensi tersebut yang dinyatakan sebagai berikut.

“bahwa karena lalu lintas kapal-kapal tangki di sepanjang perairan Indonesia semakin meningkat yang mungkin dapat menimbulkan

pengotoran minyak yang berasal dari kapal-kapal tersebut maka Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk mengesahkan konvensi tersebut pada huruf a di atas. ”

Implementasi ratifikasi konvensi tersebut akhirnya pada tanggal 10 Maret 1998 dicabut oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1998 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1978. Hal ini berkaitan dengan situasi perekonomian Pemerintah Indonesia yang sedang mengalami krisis. Hal ini tercantum dalam salah satu bagian pertimbangan yang menyatakan “bahwa keanggotaan Pemerintah Indonesia pada Convention tersebut pada huruf a telah dibebani kontribusi yang memberatkan Anggaran Negara. ” Dengan demikian alasan pokok atas pengunduran diri terhadap International Convention on the Establishment of Implementasi ratifikasi konvensi tersebut akhirnya pada tanggal 10 Maret 1998 dicabut oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1998 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1978. Hal ini berkaitan dengan situasi perekonomian Pemerintah Indonesia yang sedang mengalami krisis. Hal ini tercantum dalam salah satu bagian pertimbangan yang menyatakan “bahwa keanggotaan Pemerintah Indonesia pada Convention tersebut pada huruf a telah dibebani kontribusi yang memberatkan Anggaran Negara. ” Dengan demikian alasan pokok atas pengunduran diri terhadap International Convention on the Establishment of

commit to user

an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971 adalah alasan ekonomi.

Pengaturan selanjutnya yang bisa ditempuh untuk mengajukan klaim ganti rugi akibat pencemaran minyak di Laut Timor tersebut, Pemerintah Indonesia mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam United Nation Convention on The Law of The Sea 1982. Australia sebagai Negara yang telah memberikan ijin kepada PT TEP Australasia sesuai dengan pengaturan dalam UNCLOS 1982 Pasal 79 ayat (3) yang berbunyi “the delineation of the course for the laying of such pipelines on the continental shelf is subject to the consent of the coastal State ” dan juga ketentuan Pasal 81 yang berbunyi “the coastal State shall have the exclusive right to authorize and regulate drilling on the continental shelf for all purposes ” untuk melakukan pemasangan objek-objek berupa kabel, pipa saluran, maupun instalasi guna mengeksplorasi minyak dan gas diwilayah perairannya hendaknya berkewajiban untuk melakukan pengawasan agar PT TEP Australasia merawat, memeliharanya ataupun memperbaikinya bila ada kerusakan. Apabila objek yang terpasang itu kemudian menimbulkan pencemaran lingkungan, misalnya karena pipa saluran itu bocor ataupun instalasi itu ambruk sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan pada lingkungan laut yang bisa membuat kegiatan- kegiatan pihak lain yang terhalang olehnya, maka pihak yang menjadi penyebab itu haruslah bertanggung jawab atas semua akibatnya (I Wayan Parthiana, 2005: 63).

Australia sebagai pemberi ijin usaha PT TEP Australasia pun berkewajiban menetapkan zona keselamatan seperti yang diatur dalam Pasal

60 ayat (4) dan (5) UNCLOS 1982 yang berbunyi sebagai berikut.

4. The coastal State may, where necessary, establish reasonable safetyzones around such artificial islands, installations and structures in which it may take appropriate measures to ensure the safety both of navigation and of the artificial islands, installations and structures.

5. The breadth of the safety zones shall be determined by the coastal State, taking into account applicable international standards. Such zones shall be designed to ensure that they are reasonably related 5. The breadth of the safety zones shall be determined by the coastal State, taking into account applicable international standards. Such zones shall be designed to ensure that they are reasonably related

commit to user

to the nature and function of the artificial islands, installations or structures, and shall not exceed a distance of 500 metres around them, measured from each point of their outer edge, except as authorized by generally accepted international standards or as recommended by the competent international organization.Due notice shall be given of the extent of safety zones.

Meskipun pengaturan hal tersebut berkenaan dengan hak negara pantai pada zona ekonomi eksklusif, namun karena kaki atau dasar dari instalasi-instalasi dan struktur yang didirikan itu melekat pada landas kontinen, maka hak untuk menetapkan zona keselamatan (safety zone) ini tentu saja berhimpit dengan hak serupa pada landas kontinen. Dalam hal ini zona keselamatan tersebut meliputi perairan laut sekitarnya dan juga perairan laut di bawah permukaannya hingga sampai pada landas kontinen itu sendiri (I Wayan Parthiana, 2005: 58).

Pasal 195 UNCLOS yang mengatur bahwa dalam menanggulangi pencemaran lingkungan laut, Negara harus bertindak sedemikian rupa agar tidak memindahkan baik secara langsung maupun tidak langsung, kerusakan atau bahaya dari suatu daerah lain atau merubah bentuk pencemaran ke dalam pencemaran yang lain dan penggunaan zat-zat yang berbahaya lainnya. Hal tersebut mengacu pada penggunaan beberapa dispertan yang berbahaya oleh Australian Maritime Safety Authority (AMSA) dalam menanggulangi tumpahan minyak Montara di Laut Timor seperti jenis Corexit EC9500 dan Corexit EC9527A. Penggunaan dispertan ini dilarang oleh Kerajaan Inggris sejak tahun 1998 sehingga Australia sebagai Negara Persemakmuran Inggris juga harus taat pada aturan ini, karena hingga liris terbaru pada tanggal 2010 dalam website Marine Management Organisation jenis dispertan tersebut masih dilarang oleh Kerajaan Inggris dalam penggunaannya untuk menanggulangi

pencemaran

minyak

mentah di laut (http://marinemanagement.org.uk/protecting/pollution/documents/approval_a pproved_products.pdf. diakses pada tanggal 28 Februari 2012 jam 20.48WIB).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Hal tersebut juga dikuatkan dalam Pasal 5 ayat (7) Convention on the Continental Shelf 1958 yang berbunyi sebagai berikut “the coastal State is obliged to undertake, in the safety zones, all appropriate measures for the protection of the living resources of the sea from harmful agents. ” Negara pantai wajib untuk mengadakan tindakan-tindakan seperlunya dalam zona keselamatan yang dianggap perlu untuk perlindungan kekayaan hayati laut dari zat-zat yang berbahaya.

Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur persoalan tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Pasal 235 Konvensi menegaskan bahwa setiap Negara bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban internasional mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, sehingga semua Negara harus memikul kewajiban ganti rugi sesuai dengan hukum internasional.

Setiap Negara harus mempunyai peraturan perundang-undangan tentang kompensasi yang segera dan memadai atas kerugian (damage) yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut yang dilakukan orang (natural person ) atau badan hukum (juridical person) yang berada dalam jurisdiksinya. Negara peserta juga harus bekerja sama dalam mengimplementasikan hukum internasional yang mengatur tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi untuk kompensasi atas kerugian akibat pencemaran lingkungan laut, dan juga prosedur pembayarannya seperti apakah dengan adanya asuransi wajib atau dana kompensasi. Prinsip 13 Deklarasi Rio juga menjelaskan hal tersebut yakni sebagai berikut.

“States shall develop national law regarding liability and compensation for the victims of pollution and other environmental damage. States shall also cooperate in an expeditious and more determined manner to develop further international law regarding liability and compensation for adverse effects of environmental damage caused by activities within their jurisdiction or control to areas beyond their jurisdiction .”

Tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi dari Negara atau disebut tanggung jawab Negara (state sovereignty) merupakan prinsip fundamental dalam hukum internasional, sehingga kalau terjadi pelanggaran kewajiban Tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi dari Negara atau disebut tanggung jawab Negara (state sovereignty) merupakan prinsip fundamental dalam hukum internasional, sehingga kalau terjadi pelanggaran kewajiban

commit to user

internasional akan timbul tanggung jawab Negara. Pelanggaran kewajiban internasional yang dimaksud misalnya seperti tidak melaksanakan ketentuan- ketenuan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982 yang sudah mengikat negaranya. Perkembangan Hukum Internasional yang terkait dengan pertanggungjawaban terhadap lingkungan, Negara tidak dapat melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi. Penuntutan pertanggungjawaban negara terhadap kerusakan lingkungan sangat dipengaruhi oleh hukum kebiasaan (Jawahir Thontowi, 2006: 211). Advisory Opinion dari ICJ untuk majelis umum PBB dalam Legality of the Treat or Use of Nuclear Weapons , juga yang menyatakan bahwa terdapat sebuah kewajiban umum yang dimiliki oleh negara-negara untuk menjaga agar segala aktivitasnya yang berada dalam yurisdiksinya dan dituntut untuk melakukan kontrol terhadap wilayah-wilayah yang berada di luar wilayahnya (Jawahir Thontowi, 2006: 212).

Negara harus bertanggungjawab bisa karena melanggar traktat, berkaitan dengan tidak dilaksanakanya kewajiban-kewajiban kontraktual, kerugian terhadap warga negara lain dan sebagainya. Pelanggaran kewajiban dapat berupa suatu tindakan atau kelalaian (J.G. Starke, 1988: 392). Australia dalam kasus ini telah melakukan kelalaian dalam menerapkan safety zone terhadap pencemaran yang terjadi di anjungan minyak lepas pantai milik PT TEP Australasia sesuai dengan pasal 60 ayat (4) dan (5) UNCLOS 1982. Pelanggaran tindakan juga dilakukan oleh Australia yang dalam hal ini melakukan pemindahan baik secara langsung maupun tidak langsung, kerusakan atau bahaya dari suatu daerah lain atau merubah bentuk pencemaran ke dalam pencemaran yang lain dan penggunaan zat-zat yang berbahaya lainnya sesuai dengan Pasal 195 UNCLOS. Hal tersebut mengacu pada penggunaan beberapa dispertan yang berbahaya oleh Australian Maritime Safety Authority (AMSA) dalam menanggulangi tumpahan minyak Montara di Laut Timor seperti jenis Corexit EC9500 dan Corexit EC9527A.

Suatu negara juga tidak dapat menggunakan hukum nasionalnya sebagai dasar alasan untuk menghindari suatu kewajiban internasional.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Pelanggaran terhadap traktat dapat menimbulkan tanggung jawab. Hal ini menurut Permanent Court of International Justice dalam Chorzow Factory Case, yang menjadi prinsip hukum internasional adalah bahwa setiap pelanggaran atas perjanjian menimbulkan suatu kewajiban untuk memberikan ganti rugi (J.G. Starke, 1988: 398). Berdasarkan pasal-pasal diatas maka Australia adalah Negara yang bertanggungjawab atas kejadian tersebut.

Kasus pencemaran minyak dalam meledaknya anjungan lepas pantai milik PT TEP Australasia ini sebenarnya memiliki kemiripan dengan kasus terdamparnya kapal tanker Torrey Canyon dalam hal pencemaran minyak yang terjadi di lingkungan laut dan penggunaan dispertan berbahaya yang mengancam kerusakan lingkungan laut yang lebih parah. Perbedaan yang mendasar dari keduanya kasus tersebut adalah dari segi objek yang dapat dikenai pertanggungjawaban mutlak, yakni pada kasus Torrey Canyon adalah kapal yang membawa minyak sedangkan pada kasus PT TEP Australasia adalah anjungan minyak lepas pantai. Kapal tanker minyak Torrey Canyon yang terdampar di Steven Stones Reef di muka pantai Inggris pada 18 Maret tahun 1967 menumpahkan minyak yang mencemari pantai Inggris menyebabkan matinya banyak ikan dan mahluk hidup lainnya dikawasan perairan tersebut. Penanggulangan pencemaran dengan penggunaan dispertan berupa detergen untuk memecah konsentrat minyak di laut justru menimbulkan kerusakan lingkungan laut yang lebih besar dan memerlukan biaya yang juga besar. Masalah hokum yang ditimbulkan dari kasus Torrey Canyon tersebut adalah mengenai ganti rugi atau kompensasi bagi pihak yang dirugikan oleh pencemaran laut tersebut. Kejadian Torrey Canyon tersebut mempengaruhi lahirnya International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 dan International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971. Kedua Konvensi tersebut juga menerapkan strict liability atau tangggung jawab mutlak atau langsung, yang mewajibkan membayar ganti rugi kepada negara pantai timbul seketika pada saat tumpahnya minyak di laut dan Kasus pencemaran minyak dalam meledaknya anjungan lepas pantai milik PT TEP Australasia ini sebenarnya memiliki kemiripan dengan kasus terdamparnya kapal tanker Torrey Canyon dalam hal pencemaran minyak yang terjadi di lingkungan laut dan penggunaan dispertan berbahaya yang mengancam kerusakan lingkungan laut yang lebih parah. Perbedaan yang mendasar dari keduanya kasus tersebut adalah dari segi objek yang dapat dikenai pertanggungjawaban mutlak, yakni pada kasus Torrey Canyon adalah kapal yang membawa minyak sedangkan pada kasus PT TEP Australasia adalah anjungan minyak lepas pantai. Kapal tanker minyak Torrey Canyon yang terdampar di Steven Stones Reef di muka pantai Inggris pada 18 Maret tahun 1967 menumpahkan minyak yang mencemari pantai Inggris menyebabkan matinya banyak ikan dan mahluk hidup lainnya dikawasan perairan tersebut. Penanggulangan pencemaran dengan penggunaan dispertan berupa detergen untuk memecah konsentrat minyak di laut justru menimbulkan kerusakan lingkungan laut yang lebih besar dan memerlukan biaya yang juga besar. Masalah hokum yang ditimbulkan dari kasus Torrey Canyon tersebut adalah mengenai ganti rugi atau kompensasi bagi pihak yang dirugikan oleh pencemaran laut tersebut. Kejadian Torrey Canyon tersebut mempengaruhi lahirnya International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 dan International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971. Kedua Konvensi tersebut juga menerapkan strict liability atau tangggung jawab mutlak atau langsung, yang mewajibkan membayar ganti rugi kepada negara pantai timbul seketika pada saat tumpahnya minyak di laut dan

commit to user

timbulnya kerugian tanpa mempersoalkan bersalah atau tidaknya kapal tangki yang bersangkutan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan dapat diketahui bahwa dalam International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969, International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971, dan United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 tidak ada pengaturan yang komprehensif terkait yang secara khusus mengatur tentang pertanggungjawaban terhadap pertambangan minyak bumi di anjungan lepas pantai atau offshore oil exploration and exploitation jika terjadi pencemaran lingkungan laut.

Terkait dengan hal ini, perkembangan terakhir Pemerintah Republik Indonesia telah menyampaikan Proposal untuk mengatur bentuk tanggung jawab dan kompensasi dari pencemaran minyak dilaut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration and exploitation) dalam Marine Environmental Protection Committee (MPC)-nya International Maritime Organization ( IMO). Dalam pembahasan di dalam MPC IMO, proposal tersebut mendapat dukungan dan telah dibahas lebih lanjut dalam Legal Committee IMO pada 15-19 November 2010 lalu di London.

Ruang Lingkup secara singkat dari Proposal Pemerintah Republik Indonesia tersebut adalah sebagai berikut:

1. There are no treaties addressing the consequences of trans- borderpollution caused by offshore exploration and exploitation. Indonesiabelieves that developing an international instrument to address the questionof liability and compensation in such cases is the best way of responding to similar problems occuring in the future.

2. In this connection, the Legal Committee is also requested to consider the possibility of establishing a supplementary fund regime. The mainelements that could be included in the proposed liability and compensation regime for oil pollution damage resulting from offshore oil exploration and exploitation activities

Indonesia dalam proposalnya tersebut memandang perlu dibentuknya suatu instrumen yang mengatur tanggung jawab dan skema kompensasi atas Indonesia dalam proposalnya tersebut memandang perlu dibentuknya suatu instrumen yang mengatur tanggung jawab dan skema kompensasi atas

commit to user

pencemaran minyak di laut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration and exploitation) untuk menghindari terulangnya kejadian serupa di kemudian hari. Indonesia juga mendesak Legal Committee IMO untuk membentuk suatu skema sumber dana atau dana talangan yang dapat digunakan apabila pencemaran minyak di laut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai atau offshore oil exploration and exploitation.

Indonesia menegaskan kembali Polluters Pay Principle dimana strict liability atas tanggung jawab insiden pencemaran minyak di laut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration and exploitation) berada pada pemilik kilang migas lepas pantai yang menyebabkan pencemaran minyak tersebut. Hal ini juga dikuatkan dalam Prinsip 16 Deklarasi Rio yang menyatakan sebagai berikut.

“National authorities should endeavour to promote the internalization of environmental costs and the use of economic instruments, taking into account the approach that the polluter should, in principle, bear the cost of pollution, with due regard to the public interest and without distorting international trade and investment .”

Prinsip tersebut mewajibkan setiap negara yang melakukan pengerusakan lingkungan dengan polusi diwajibkan membayar ganti kerugian atas kerusakan yang ditimbulkan. Langkah Indonesia mengajukan proposal tersebut kepada IMO akan dapat menjamin dibentuknya mekanisme hukum Internasional melalui konvensi-konvensi baru yang terkait dengan ruang lingkup yang dicantumkan dalam proposal tersebut. Pengaturan lebih lanjut mengenai dibentuknya suatu hukum internasional yang baru terkait dengan perkembangan kembali ditegaskan dalam Pasal 304 United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 menyebutkan sebagai berikut.

The provisions of this Convention regarding responsibility and liability for damage are without prejudice to the application of existing rules and the development of further rules regarding responsibility and liability under international law.

Pasal tersebut mengemukakan bahwa ketentuan dalam UNCLOS 1982 yang berkenaan dengan tanggung jawab dan kewajiban untuk ganti rugi tidak mengurangi berlakunya peraturan peraturan yang ada dan pengembangan Pasal tersebut mengemukakan bahwa ketentuan dalam UNCLOS 1982 yang berkenaan dengan tanggung jawab dan kewajiban untuk ganti rugi tidak mengurangi berlakunya peraturan peraturan yang ada dan pengembangan

commit to user

76

peraturan peraturan lebih lanjut perihal tanggung jawab dan kewajiban untuk ganti rugi berdasarkan hukum internasional. Hasil penelitian dan pembahasan diatas mengenai pertanggungan jawaban negara yang terlibat di Perusahaan PT TEP Australasia dalam pencemaran minyak di Laut Timor berdasarkan hukum internasional masih menunjukkan belum adanya kelengkapan secara menyeluruh.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user