Kerangka Pustaka LANDASAN TEORI

BSNP dalam standar isi. SK dan KD merupakan tolok ukur pedoman dalam pembelajaran dan merupakan tujuan ketercapaian pembelajaran. Uraian materi yang ada di dalam buku secara implisit memuat materi yang mendukung tercapainya minimum SK-KD yang lengkap dengan ketentuan sebagai berikut: • 40 ≤ KD ≤ 60, masuk kedalam kategori sangat baik • 21 ≤ KD ≤ 40, masuk kedalam kategori baik • KD ≤ 20, masuk kedalam kategori cukup baik • Dan jika tidak memenuhi ketentuan di atas masuk kedalam kategori kurang baik. Keluasan materi berkenaan dengan materi yang disajikan harus mencerminkan jabaran yang mendukung pencapaian semua Kompetensi Dasar KD dan sesuai dengan tingkat pendidikan peserta didik. b. Kesesuaian materi dengan kurikulum Buku teks bahasa Indonesia yang memenuhi syarat kriteria kelayakan berdasar BSNP haruslah sesuai dengan kurikulum yang berlaku Kurikulum 2006KTSP. Kurikulum merupakan suatu usaha untuk menyampaikan asas-asas dan ciri-ciri yang penting dari suatu rencana pendidikan dalam bentuk yang sedemikian rupa sehingga dapat dilaksanakan oleh guru di sekolah. Kurikulum yang berlaku untuk bahasa Indonesia 2006 mencakup keterampilan berbahasa, kebahasaan, dan kesastraan. Aspek keterampilan kebahasaan meliputi mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Aspek kebahasaan meliputi fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik, sedangkan aspek kemampuan kesastraan meliputi sejarah sastra , teori sastra, dan kritik sastra. c. Kelengkapan Materi Dalam buku teks Bahasa Indonesia setidaknya kelengkapan materi mencakup beberapa hal yaitu wacana, pemahaman wacana, fakta kebahasaankesastraan, dan aplikasi. 1 Wacana dapat berupa 1 percakapan; 2 karangan atau laporan utuh: cerpen, novel, buku, artikel, pidato, khotbah; atau puisi merupakan materi utama yang harus ada dalam buku teks pelajaran Bahasa Indonesia. Wacana biasanya mengawali uraian materi setiap bab. Berdasarkan pada wacana itulah uraian materi, pemahaman wacana, fakta kebahasaankesastraan, dan implikasi wacana, dibahas. Wacana yang disajikan mencakup ruang lingkup yang ada dalam standar isi berupa empat aspek keterampilan berbahasa mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis mulai dari pengenalan konsep sesuai dengan tuntutan yang ada di Standar Komptensi maupun Kompetensi Dasar pelajaran Bahasa Indonesia. 2 Pemahaman wacana merupakan tahapan lanjut setelah membaca dan menyimak wacana. Pemahaman wacana berisi perintah, tugas atau pelatihan yang mengarahkan peserta didik untuk memahami isi atau pesan wacana. 3 Uraian materi berisi fakta kebahasaan: kalimat, kosa kata, istilah, ungkapan, peribahasa, atau kesastraan sesuai tuntutan SK dan KD. 4 Implikasi wacana merupakan unsur di luar wacana, bisa berupa analogi, perbandingan, kesejajaran wacana yang mampu memperkuat penyampaian materi sesuai dengan tuntutan SK dan KD. Implikasi wacana berisi konsep dasar keluasan materi melalui pelatihan, tugas, dan kegiatan mandiri sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik mampu menggali dan memanfaatkan informasi, menyelesaikan masalah, dan membuat keputusan dalam kerja ilmiah 2. Kedalaman Materi Selain kelengkapan, kedalaman materi sebuah buku teks juga harus diperhatikan. Kedalaman materi merupakan uraian materi yang mendukung tercapainya minimum KD yang sesuai dengan tingkat pendidikan peserta didik. Harus jelas pembagian kedalaman materi pada tiap tingkatan kelas. Hal yang diperhatikan dalam poin kedalaman materi yaitu kesesuaian, kuantitas, dan kualitas wacana. a. Kesuaian wacana Mengacu pada ruang lingkup yang ada dalam pada standar isi empat aspek keterampilan berbahasa. Empat aspek keterampilan bahasa dimaksudkan meliputi: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Wujud uraian, mulai pengenalan konsep sampai dengan interaksi antarkonsep, dan memperhatikan tuntutan SK dan KD. Tingkat kesulitan disesuaikan dengan tingkat pemahaman peserta didik yang lebih menekankan pada “concrete-operational” dan “system of operations.” b. Kuantitas wacana Ditunjukkan oleh jumlah minimal yang sesuai dengan tuntutan SK dan KD. Untuk mencapai kedalaman materi, maka kuantitas wacana ditentukan oleh pengembangan atau penambahan dengan jenis wacana lain yang dapat berfungsi sebagai pembanding, penjelas, analogi, atau kebutuhan lain yang sejalan dengan tuntutan materi. Dengan demikian, materi yang disajikan memuat sumber-sumber tambahan itu mencerminkan kontinuitas, dengan kedalaman spiralitas mengembangkanan materi. Materi yang ditampilkan menjadi lebih menarik dan inovatif, serta memotivasi peserta didik senang belajar. c. Kualitas wacana Mencerminkan kedalaman materi yang ditentukan oleh keaktualan, kemutakhiran, kefaktualan, dan kevariasian topik. Kualitas wacana mencerminkan kedalaman isi atau pesan dengan spiralitas pengembangan materi pelajaran bahasa. 3. Keakuratan Materi Setelah materi memiliki kesesuaian dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ditentukan pemilihan materi yang digunakan juga harus akurat. Keakuratan materi dalam buku teks Bahasa Indonesia tercermin dari hal- hal berikut, yaitu: a. Keakuratan dalam pemilihan wacana Wacana yang disajikan berdasarkan kenyataan yang ada faktual serta sedang hangat dibicarakan aktual dengan menyebutkan sumber yang jelas sesuai dengan tingkat pemahaman peserta didik. b. Keakuratan dalam konsep dan teori Konsep dan teori yang disajikan untuk mencapai KD sesuai dengan definisi sesuai dengan bidang keilmuan linguistik tidak menimbulkan banyak tafsir dan ilmu sastra, digunakan secara tepat sesuai dengan fenomena yang dibahas dan tidak menimbulkan banyak tafsir. c. Keakuratan dalam pemilihan contoh Uraian dan contoh menanamkan keruntutan konsep: yang mudah, sukar, konkret, abstrak, yang sederhana, kompleks yang telah dikenal dan yang belum dikenal. Contoh yang disajikan mengandung keunggulan nilai-nilai moral seperti keteladanan, kejujuran, tanggung jawab, kedisiplinan, kerja sama, dan toleransi. d. Keakuratan dalam pelatihan Pelatihan yang disajikan diawali dari konsep yang sederhana berkembang ke yang kompleks; konkret ke abstrak, mudah ke sulit, lingkungan dekat ke yang jauh secara bertahap dan berkesinambungan continuity sesuai dengan prinsip proses belajar. 4. Materi Pendukung Pembelajaran Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan materi pendukung dalam buku teks yaitu: a. Kesesuaian dengan perkembangan ilmu Materi yang disajikan dalam buku up to date, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni ipteks yang relevan dengan tingkat kognisi peserta didik. b. Kesesuaian fitur, contoh, dan rujukan Wacana dan pengembangannya memperlihatkan fitur, gambar, contoh, atau ilustrasi yang mencerminkan peristiwa atau kejadian nyata, diutamakanan yang mutakhir up to date yang dapat dilihat dan dialami peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. c. Pengembangan wawasan kebinekaan Wawasan kebinekaan dalam pengembangan wacana dicerminkan oleh hal-hal berikut antara lain, apresiasi terhadap keanekaragaman budaya dan agama. Wacana dan pengembangannnya misalnya tugas, pelatihan, gambar, contoh atau ilustrasi yang disajikan dapat membuka wawasan peserta didik mengenal dan menghargai perbedaan suku, budaya, dan agama. Apresiasi terhadap kemajemukan masyarakat, misalnya tugas, pelatihan, gambar, contoh atau ilustrasi yang disajikan dapat membuka wawasan peserta didik mengenal dan menghargai perbedaan perilaku, pendapat, penampilan, dan adat istiadat. Apresiasi terhadap keanekaan produk dan jasa, misalnya tugas, pelatihan, gambar, contoh atau ilustrasi yang disajikan dapat membuka wawasan peserta didik mengenal dan menghargai perbedaan dan persebaran produk dan jasa. Apresiasi terhadap potensi kekayaan budaya dan alam, misalnya tugas, pelatihan, gambar, contoh atau ilustrasi yang disajikan dapat membuka wawasan peserta didik mengenal, menghargai dan memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan setempat. d. Pengembangan wawasan kebangsaan dan integrasi bangsa Pengembangan wawasan kebangsaan dan integrasi bangsa meliputi wacana dan pengembangannya mengembangkan cinta tanah air misalnya dalam pemberian tugas pelatihan, dilengkapi gambar, contoh atau ilustrasi yang disajikan itu dapat membuka wawasan peserta didik menumbuhkan kebanggaan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Wacana dan pengembangannya memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa, misalnya dalam pemberian tugas pelatihan dilengkapi gambar, contoh atau ilustrasi yang disajikan itu dapat membuka wawasan peserta didik menumbuhkan kebanggaan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. 5. Kelayakan Penyajian Teknik penyajian sebuah buku teks setidaknya memiliki pedoman sebagai berikut: 1 Kekonsistenan sistematika penyajian Sistematika penyajian disampaikan secara jelas, fokus, dan taat asas dalam setiap bab, yakni ada bagian pendahuluan berisi tujuan penulisan buku teks pelajaran, sistematika buku, cara belajar yang harus diikuti, serta hal-hal lain yang dianggap penting bagi peserta didik, bagian isi uraian, wacana, pelatihan, ilustrasi, gambar, dan pendukung lain, serta bagian penutup rangkuman, ringkasan, serta relevan dengan pokok bahasan sehingga mampu membangkitkan rasa senang siswa dalam belajar. 2 Keruntutan konsep Uraian, latihan, contoh dalam hal materi kebahasaan dan kesastraan yang disajikan ada hubungan satu dengan yang lain sehingga peserta didik mampu mengaplikasikan konsep-konsep dasar keilmuan secara terintegrasi dan holistik sesuai tuntutan KD. 3 Keseimbangan antarbab Uraian substansi antarbab tercermin dalam jumlah halaman, proporsional dengan mempertimbangkan KD yang didukung dengan beberapa pelatihan, contoh, ilustrasi, atau gambar secara seimbang sesuai dengan kebutuhan masing-masing pokok bahasan. 4 Penyajian pembelajaran Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyajian pembelajaran dalam buku teks antara lain: 1 Keterpusatan pada peserta didik Sajian materi menempatkan peserta didik sebagai subjek pembelajaran sehingga uraian dalam buku perlu didukung oleh kegiatan yang mampu membentuk kemandirian belajar peserta didik, misalnya dengan tugas-tugas mandiri. Penyajian materi bersifat interaktif dan partisipatif yang memotivasi peserta didik terlibat secara mental dan emosional dalam pencapaian SK dan KD sehingga antarpeserta didik termotivasi untuk belajar secara komprehensif tentang berbagai persoalan kebahasaan dan kesastraan. 2 Keterangsangan metakognisi peserta didik Sajian materi dapat mengembangkan motivasi belajar peserta didik dan merangsang peserta didik untuk berpikir kreatif tentang apa, mengapa, dan bagaimana mempelajari materi pelajaran dengan rasa senang. 3 Kerangsangan daya imajinasi dan kreasi berpikir peserta didik Penyajian materi dapat merangsang daya imajinasi dan kreasi berpikir peserta didik melalui ilustrasi, analisis kasus, dan latihan. 4 Bagian pendahulu berisi pengantar materi setiap bab serta memuat tujuan yang hendak dicapai melalui sajian bab, materi, dan pelatihan yang akan dibahas pada bab tersebut. 5 Bagian isi adalah bagian yang memuat keseluruhan materi yang memuat SK dan KD mulai dari bab, subbab sampai subbab-subbab dengan pengembangannya serta rangkuman setiap bab. 6 Bagian penyudah berisi rujukan, daftar pustaka, indeks, glosarium, dan evaluasi. 6. Kelayakan Bahasa Dalam kelayakan buku teks yang perlu diperhatikan adalah penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan adalah sebagai berikut. a. Lugas Bahasa yang digunakan dalam BTBI haruslah lugas apa adanya, tidak berbelit-belit, hanya mencantumkan penjabaran materi yang pokok, penting, dan yang perlu saja. Misalnya yang berkenaan dengan: 1 Ketepatan struktur kalimat Kalimat yang dipakai mewakili isi pesan dan informasi yang ingin disampaikan dengan tetap mengikuti tata kalimat Bahasa Indonesia. 2 Keefektifan kalimat Kalimat yang dipakai sederhana dan langsung ke sasaran. 3 Kebakuan istilah Istilah yang digunakan sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan istilah teknis yang telah baku digunakan dalam TIK. Padanan istilah teknis yang masih cukup asing diberikan penjelasannya pada glosarium. b. Komunikatif BTBI yang memenuhi kelayakan yaitu yang menggunakan bahasa yang komunikatif, sehingga mudah untuk dipahami dan dimengerti oleh siswa. Pesan atau informasi disampaikan dengan bahasa yang menarik dan lazim dalam komunikasi tulis Bahasa Indonesia. 1 Diaologis dan interaktif BTBI yang baik mengunakan bahasa yang dapat memotivasi siswa, bahasa yang digunakan membangkitkan rasa senang ketika peserta didik membacanya dan mendorong mereka untuk mempelajari buku tersebut secara tuntas.selain itu buku teks juga harus mendorong siswa untuk berpikir kritis, bahasa yang digunakan mampu merangsang peserta didik untuk mempertanyakan suatu hal lebih jauh, dan mencari jawabnya secara mandiri dari buku teks atau sumber informasi lain. 2 Kesesuaian dengan perkembangan peserta didik BTBI harus sesuaian dengan tingkat perkembangan intelektual peserta didik, Bahasa yang digunakan dalam menjelaskan suatu konsep harus sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Kesesuaian dengan tingkat perkembangan emosional peserta didik juga merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam BTBI, bahasa yang digunakan sesuai dengan tingkat kematangan emosional peserta didik. 3 Kesesuaian dengan kaidah Bahasa Indonesia Dalam penulisan buku teks terutama BTBI haruslah memperhatikan kaidah bahasa Indonesia baik dan benar, sesuai dengan pedoman ejaan yang disempurnakan, dan KBBI. 4 Penggunaan istilah, simbol, dan ikon Dalam BTBI, penggunaan istilah dan penggambaran simbol atau ikon yang menggambarkan suatu konsep harus konsisten antar-bagian dalam buku konsisten. Buku ajar yang baik memiliki kriteria tertentu atau standar tertentu seperti tentang relevansinya dengan kurikulum yang sedang berlaku saat ini, kesesuaian metode dengan materi yang disampaikan serta isi buku secara keseluruhan. Seorang guru profesional tentunya mempertimbangkan beberapa hal dalam menentukan buku teks apa yang sesuai dengan kemampuan siswanya. Butir-butir pedoman kriteria buku teks di atas bisa dijadikan pegangan bagi para guru dalam menelaah buku teks yang hendak digunakan dalam proses pengajaran. Dengan memperhatikan butir-butir kriteria telaah buku teks di atas, diharapkan meningkat pula pengetahuan guru dalam pemilihan buku teks yang tepat dan sesuai untuk siswanya. Pemilihan buku teks yang tepat berdasarkan kriteria telaah buku teks yang ada tentunya akan menunjang dalam peningkatan motivasi dan minat siswa dalam proses pembelajaran. 2.2.5 Wacana Menurut Edmondson dalam Tarigan 1987: 25 wacana adalah suatu peristiwa yang terstruktur yang dimanifestasikan dalam perilaku linguistik atau yang lainnya, sedangkan teks adalah suatu urutan ekspresi-ekspresi linguistik yang terstruktur yang membentuk suatu keseluruhan yang padu atau uniter. Masing dalam bukunya Tarigan 1987: 25, Stubbs mendefinisikan wacana sebagai organisasi bahasa di atas kalimat atau klausa; dengan perkataan lain unit- unit linguistik yang lebih besar daripada kalimat atau klausa, seperti pertukaran- pertukaran percakapan atau teks tertulis. Secara singkat: apa yang disebut teks bagi wacana adalah kalimat bagi ujaran utterence. Pendapat yang serupa dengan Stubbs dikemukakan oleh Kridalaksana 1984: 208 menyebutkan wacana discourse adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh novel, buku, seri ensiklopedia, dsb., paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat lengkap. Wacana adalah seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan suatu rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca. Kohesi atau kepaduan itu sendiri harus muncul dari isi wacana, tetapi banyak sekali rasa kepaduan yang dirasakan oleh penyimak atau pembaca harus muncul dari cara pengutaraan atau penguturaan wacana itu Deese dalam Tarigan 1987: 25. Lubis 1993: 21 mengistilahkan wacana discourse yaitu sama dengan teks, yakni kesatuan bahasa yang diucapkan atau tertulis panjang atau pendek, itulah yang dinamakan teks atau discourse. Teks adalah satu kesatuan semantik dan bukan kesatuan gramatikal. Kesatuan yang bukan lantaran bentuknya morfem, klausa, kalimat tetapi kesatuan artinya. Menurut Syamsuddin 1992: 5 menyimpulkan pengertian wacana sebagai rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal subjek yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam satu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa. Sedangkan menurut Tarigan 1987: 27 menyimpulkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis. Definisi yang disimpulkan oleh Tarigan yang diambil dari definisi beberapa ahli telah secara lengkap dan jelas menguraikan pengertian wacana. Hal ini bisa dijadikan landasan teori wacana dalam penelitian ini. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa wacana adalah kesatuan bahasa yang lengkap dan tertinggi yang tersusun rapi dan berkesinambungan yang direalisasikan dalam bentuk lisan maupun tulis. 2.2.6 Jenis-jenis Wacana Menurut Tarigan 1987: 52, wacana dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara, tergantung dari sudut pandang kita antara lain: 1. Berdasarkan Tertulis atau Tidaknya Berdasarkan tertulis atau tidaknya, wacana dapat diklasifikan atas wacana tulis dan wacana lisan. a. Wacana Tulis atau written discourse Wacana Tulis atau written discourse adalah wacana yang disampaikan secara tertulis, melalui media tulis Tarigan, 1993: 52. Penerima pesan wacana tulis adalah pembaca. Sehubungan dengan hal tersebut, maka keterampilan menulis merupakan pokok penting dalam menyampaikan pesan. Ia juga menyatakan bahwa untuk menerima, memahami, atau menikmati wacana tulis maka sang penerima pesan harus membacanya. Untuk sampai kepada penerimaan, pemahaman, atau penikmatan pesan yang disampaikan dalam wacana tulis, maka kalimat yang digunakan harus efektif. Kefektifan kalimat mencerminkan pesan yang disampaikan dapat diterima dengan sempurna Tarigan, 1993: 52. b. Wacana Lisan Tarigan 1987: 55 mengatakan bahwa wacana lisan atau spoken discourse adalah wacana yang disampaikan secara lisan, melalui media lisan. Untuk menerimanya, memahami, atau menikmati wacana ini maka sang penerima harus menyimak atau mendengarkannya. Dengan kata lain, penerima adalah penyimak. Wacana lisan sering dikaitkan dengan interactive discourse atau wacana interaktif. 2. Berdasarkan Langsung atau Tidaknya Pengungkapan Berdasarkan langsung atau tidaknya pengungkapan, wacana dapat dibedakan atas wacana langsung dan wacana tidak langsung. a. Wacana Langsung atau direct discourse adalah kutipan yang sebenarnya dibatasi oleh oleh intonasi atau fungtuasi Kridalaksana, 1993: 231. Wacana langsung berhubungan dengan istilah kalimat langsung, yakni kalimat yang diungkapkan secara langsung dalam bentuk lisan atau tertulis dari pembicara atau penulis. b. Wacana Tidak Langsung atau indirect discourse adalah pengungkapan kembali wacana tanpa mengutip secara harfiah kata-kata yang dipakai oleh pembicara dengan menggunakan konstruksi gramatikal atau kata tertentu, antara lain dengan klausa subordinatif, kata bahwa dan sebagainya Kridalaksana, 1993: 231. Kata-kata yang disampaikan oleh pembicara secara tidak langsung mengungkapkan pesan kepada pendengar. 3. Berdasarkan Cara Membeberkan atau Cara Menuturkannya Berdasarkan cara membeberkan atau menuturkannya, wacana dapat diklasifikasikan atas wacana pembeberan dan wacana penuturan. a. Wacana Pembeberan atau expository discourse adalah wacana yang tidak mementingkan waktu dan penutur, berorientasi pada pokok pembicaraan, dan bagian-bagiannya diikat secara logis Kridalaksana, 1993: 231. Wacana pembeberan dapat disamakan dengan bentuk tulisan eksposisi, yakni tulisan atau karangan yang membeberkan pokok permasalahan agar pendengar atau pembaca luas pengetahuannya. b. Wacana Penuturan atau narratif discourse adalah wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu, berorientasi pada pelaku, dan seluruh bagiannya diikat oleh kronologi Kridalaksana, 1993: 231. Wacana penuturan merupakan wacana yang mementingkan urutan peristiwa dalam waktu dan ruang. Wacana ini biasa disebut juga dengan karangan atau tulisan narasi yaitu karangan yang menceritakan suatu peristiwa secara kronologis atau berurutan dalm ruang dan waktu. 4. Berdasarkan Bentuknya Berdasarkan bentuknya, wacana dapat dibedakan atas prosa, puisi, dan drama. a. Wacana Prosa Dalam media cetak, wacana yang paling banyak ditemukan adalah wacana prosa. Menururt Tarigan 1987: 57 wacana prosa adalah sebagai berikut. Wacana prosa adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk prosa. Wacana ini dapat tertulis atau lisan, dapat berupa wacana langsung atau tidak langsung, dapat pula dengan pembeberan atau penuturan. Novel, novelet, cerita pendek, artikel, kertas kerja, skripsi, tesis, disertasi, surat, dan sebagainya merupakan contoh wacana prosa. Berdasarkan definisi di atas, wacana prosa dapat dibedakan atas wacana fiksi dan nonfiksi. Perbedaan wacana fiksi dan nonfiksi dapat dilihat dari ciri-ciri yang membentuknya. Salah satu ciri yang membedakannya adalah bahasa. Bahasa wacana fiksi cenderung konotatif dan khayalan, sedangkan wacana nonfiksi bersifat denotatif dan ilmiah. b. Wacana Puisi merupakan wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi, baik secara tertulis maupun lisan Tarigan, 1993: 57. Wacana ini dibentuk dengan menggunakan pilihan kata yang singkat, padat, dan jelas. Selain itu, wacana puisi mementingkan pilihan bunyi, irama, serta unsur keindahan. c. Wacana Drama adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk drama, dalam bentuk dialog, baik secara tertulis maupun secara lisan Tarigan, 1993: 59. Karya sastra yang mementingkan dialog ini termasuk wacana karena dibangun oleh kalimat-kalimat yang tersusun dan membentuk satu kesatuan yang lengkap dan mengandung pesan atau makna. Pada penelitian ini, wacana yang akan dijadikan bahan penelitian adalah wacana yang dijadikan bahan pembelajaran membaca. Jenis wacana yang digunakan umumnya berjenis pembeberan, ditinjau dari cara membeberkan atau menuturkannya, atau wacana prosa ditinjau dari bentuknya . 2.2.7 Pengertian Keterbacaan Menurut Hardjasujana 1999: 10, keterbacaan merupakan padanan readability dalam bahasa Inggris. Istilah ini berarti: pertama, kejelahan tipografi atau tulisan tangan, kedua kemudahan membaca yang disebabkan oleh daya tarik bahan bacaan dan tingkat minat baca, atau ketiga kemudahan memahami bahan bacaan yang disebabkan ketedasan bahasanya. Definisi lain yang sedikit berbeda dikemukakan Tampubolon 1990: 213 menurutnya, keterbacaan readability adalah sesuai tidaknya suatu wacana bagi pembaca tertentu dilihat dari aspektingkat kesukarannya. Dari istilah asing yang sama, muncul dua definisi yang berbeda, tetapi ada persamaannya yaitu keterbacaan berkaitan dengan mudah atau sukarnya suatu wacana. Menurut Suladi 2000: 4, salah satu cara untuk mendapatkan wacana yang sesuai dengan yang diharapkan adalah dengan studi keterbacaan. Untuk mengukur tingkat keterbacaan, perlu mempertimbangkan beberapa variabel, seperti struktur bahasa, isi wacana, tipografi, dan minat baca. Menurut Adjat Sakri 1994, menjelaskan bahwa keterbacaan merupakan perpaduan antara ketedasan dan kejelahan. Ketedasan berhubungan dengan keterbacaan bahasa, sedangkan kejelahan berhubungan dengan keterbacaan tata huruf. Kedua istilah ini muncul karena dalam proses membaca, siswa akan dihadapkan pada wacana yang beragam. Penggunaan bahasa yang mudah, sederhana, dan tipografi atau tata huruf yang baik akan mempengaruhi minat baca siswa. Hal ini membantu siswa dalam proses pemahaman suatu bacaan. Keterbacaan juga dapat diartikan sebagai keseluruhan unsur di dalam materi cetak tertentu yang mempengaruhi keberhasilan pembaca yang meliputi pemahaman dan kecepatan membaca yang optimal Rusyana, 1984: 213. Rusyana dalam Sudali 2000: 2 menganjurkan agar melakukan studi keterbacaan terhadap bahan-bahan bacaan untuk sekolah karena keberadaan bahan bacaan memegang peranan penting dalam kegiatan pengajaran. Ketepatan pemilihan bacaan akan menentukan keberhasilan proses pengajaran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Depdikbud, 1988: 62, keterbacaan itu merupakan perihal dapat dibacanya teks secara cepat, mudah dimengerti, dipahami, dan mudah pula diingat. Kridalaksana 1994 pun memaknai keterbacaan sebagai taraf dapat tidaknya suatu karya tulis dibaca oleh orang yang mempunyai kemampuan membaca yang berbeda-beda. Suatu buku teks bukan hanya dilihat dari segi penampilan fisik saja, tetapi isi yang terdapat di dalamnya sesuai dengan tingkat kemampuan siswa. Pemilihan bahan bacaan yang tepat bagi pembaca, khususnya siswa menjadi kunci keberhasilan proses pengajaran. Berpedoman dari pengertian keterbacaan yang dikemukakan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia, agar bahan bacaan dapat dimengerti siswa sehingga penggunaan bahasa yang baik, sederhana, dan mudah dimengerti menjadi sangat penting. Adanya studi keterbacaan berguna dalam penentuan wacana yang sesuai terhadap minat baca siswa 2.2.8 Cara Mengukur Keterbacaan Tingkat keterbacaan harus serasi dengan tingkat kemampuan siswa. Menurut Hafni 1981: 14 ada tiga jenis metode yang biasa digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana, yaitu formula, grafik dan prosedur klos. Formula- formula keterbacaan yang dipilih berdasarkan kepraktisan dan kesederhanaan pemakaian, yaitu Reading Ease Formula, Human Interest Formula, Dale and Chall Formula, dan Fog Index Hafni, 1981: 15. Keterbacaan suatu teks berkaitan erat dengan untaian- untaian kalimat yang membangun wacana dalam teks itu Suladi, 2000: 12. Menurut Naga dalam Suladi 2000: 13, banyak hal yang turut mempengaruhi keterbacaan suatu tulisan. Salah satunya adalah panjang kalimat dan panjang kata. Makin panjang suatu kalimat, makin sulit dipahami, demikian juga dengan panjang kata. Untuk mengukur keterbacaan berbagai faktor perlu dipertimbangkan, seperti struktur bahasa kosakata dan kalimat, jenis isi bacaan, tipografi, dan minat baca Tampubolon dalam Suladi, 2000: 13. Adanya usaha untuk mempermudah siswa dalam memahami suatu wacana dilakukan oleh Thorndike 1921 dengan memusatkan perhatian pada kata-kata sulit berdasarkan kekerapan pemakaian sebuah kata. Sementara itu, menurut Krause, Robinson, dan Sakri 1976, 1979, 1994 menyebutkan mengenai kriteria penentuan keterbacaan, yaitu: 1 Kepadatan konsep tidak boleh membuat pembaca mengalami frustrasi. Artinya kalimat dalam wacana tidak boleh dipadati dengan banyak gagasan. 2 Tingkat kekompleksan kalimat tidak boleh tinggi. Artinya tidak membuat kalimat-kalimat yang terlalu panjang yang sulit dipahami siswa. Sebagai salah satu usaha untuk menyerdahanakan prosedur penilaian keterbacaan dikembangkan suatu model yang lain dari formula, yaitu metode dengan menggunakan grafik dan carta. Ada beberapa macam grafik dan carta, antara lain Fry 1968, McLaughlin 1968, dan Mugford 1969. Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan menggunakan grafik Fry. 2.2.8.1 Grafik Fry Formula Grafik Fry merupakan suatu instrumen yang sederhana dan efisien untuk menentukan tingkat keterbacaan buku teks. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam instrumen Grafik Fry meliputi panjang kalimat dan tingkat kesulitan kata. Kata yang sulit tersebut disebabkan oleh terlalu banyaknya jumlah suku kata, sedangkan tingkat kesulitan kalimat disebabkan oleh terlalu kompleksnya kalimat Depdikbud, 1999: 5. Grafik Fry merupakan hasil upaya untuk menyerdahanakan dan mengefisienkan teknik penentuan tingkat keterbacaan. Fry 1969 menjelaskan bahwa grafik Fry dan formula Spache berkorelasi 0.90, sedangkan dengan formula Dale-Chall 0,94 Harjasujana, dkk, 1998. Formula ini mendasarkan pengukuran keterbacaan pada dua faktor utama, yaitu panjang-pendeknya kalimat dan tingkat kesulitan kosakata yang ditandai oleh jumlah banyak-sedikitnya suku kata yang membentuk setiap kosakata dalam wacana tersebut. Berikut ini contoh gambar grafik Fry. Jumlah suku kata per seratus perkataan, yakni jumlah kata dari wacana sampel yang dijadikan sampel pengukuran keterbacaan wacana. Pertimbangan penghitungan suku kata pada grafik ini merupakan cerminan dari pertimbangan faktor kata sulit. Di sisi lain, jumlah kalimat per seratus perkataan merupakan perwujudan dari landasan lain faktor penentu formula keterbacaan yaitu faktor panjang-pendek kalimat. Angka-angka yang berderet di bagian tengah grafik dan berada di antara garis-garis penyekat dari grafik tersebut menunjukkan perkiraan peringkat keterbacaan wacana yang diukur. Angka 1 menunjukkan peringkat 1, artinya wacana tersebut cocok untuk pembaca dengan level peringkat baca 1 SD; angka 2 untuk peringkat baca 2 SD, angka 3 untuk peringkat baca 3 SD, dan seterusnya hingga universitas. Daerah yang diarsir pada grafik yang terletak di sudut kanan atas dan di sudut kiri bawah grafik merupakan wilayah invalid. Maksudnya, jika hasil pengukuran keterbacaan wacana jatuh pada wilayah gelap tersebut, maka wacana tersebut kurang baik karena tidak memiliki peringkat mana pun. Oleh karena itu, wacana yang demikian sebaiknya tidak digunakan dan diganti dengan wacana lain. Seratus perkataan merupakan jumlah angka yang dianggap sebagai jumlah yang representatif untuk mewakili sebuah wacana. 2.2.8.2 Petunjuk Penggunaan Grafik Fry Menurut Harjasujana dan Yetti 1999 petunjuk penggunaan grafik Fry adalah sebagai berikut: 1 Pilih penggalan yang representatif dari wacana dengan mengambil 100 buah perkataan. Kata adalah sekelompok lambang yang di kiri dan kanannya berpembatas misalnya Budi, IKIP, 2000 masing- masing dianggap kata. Wacana tabel diselingi dengan gambar, kekosongan halaman, tabel, dan atau rumus-rumus yang mengandung banyak angka-angka tidak dihitung. 2 Hitung jumlah kalimat dari seratus buah perkataan hingga persepuluhan terdekat. Maksudnya, jika kata yang ke-100 wacana sampel tidak jatuh diujung kalimat, maka sisa kata yang termasuk hitungan keseratus itu diperhitungkan dalam bentuk desimal persepuluhan. Misalnya, jika wacana sampel itu terdiri atas 13 kalimat dan kalimat terakhir yaitu kalimat ke-13 terdiri dari 18 kata dan kata ke-100 jatuh pada kata ke-8, kalimat itu dihitung sebagai 816 atau 0,5. Sehingga jumlah seluruh kalimat dari wacana sampel adalah 12 + 0,5 atau 12,5 kalimat. 3 Hitung jumlah suku kata dari wacana sampel hingga kata ke-100. Suku kata yang dimaksud adalah suku kata fonetis. Kelompok lambang yang terdiri atas angka atau singkatan, diperhitungkan satu suku kata. Misalnya 196 terdiri atas 3 suku kata dan IKIP terdiri atas empat suku kata. 4 Untuk wacana bahasa Indonesia, penggunaan grafik Fry masih harus ditambah satu langkah, yakni mengalikan hasil peghitungan suku kata dengan angka 0,6 Harjasujana, 1998. Karena itu, angka 228 x 0,6 = 136,8 dibulatkan menjadi 137 suku kata. 5 Plotkan angka-angka itu ke dalam Grafik Fry. Kolom tegak lurus menunjukkan jumlah suku kata per seratus kata dan baris mendatar menunjukkan jumlah kalimat per seratus kata. Tingkat keterbacaan ini bersifat perkiraan. Penyimpangan mungkin terjadi, baik ke atas maupun ke bawah. Oleh karena itu, peringkat keterbacaan wacana hendaknya ditambah satu tingkat dan dikurangi satu tingkat. Sebagai contoh, jika titik pertemuan dari persilangan baris vertikal untuk data suku kata dan baris horizontal untuk data jumlah kalimat jatuh di wilayah 6, maka peringkat keterbacaan wacana yang diukur tersebut harus diperkirakan dengan tingkat keterbacaan yang cocok untuk peringkat 5 yakni 6 - 1, 6, dan 7 6 + 1. Berikut ini merupakan contoh dari penggunaan grafik Fry. 10 Hal yang Tak Bisa Dibeli dengan Uang Kita sering membicarakan tentang uang; bagaimana mendapatkan banyak uang, bagaimana mengatur pengeluaran, berapa yang ditabung, serta diinvestasikan di mana. Kita sibuk merencanakan, memikirkan, dan mengkhawatirkan uang yang kita miliki, sehingga seolah-olah uang adalah hal paling penting di dunia. Uang memang penting dalam kehidupan. Tanpa alat tukar ini, kita tak akan bisa memenuhi kebutuhan hidup. Uang membuat kita bisa melakukan banyak hal dibandingkan jika kita tak memilikinya. Tetapi, sepenting-pentingnya uang, sebanyak apa pun pundi-pundi uang Anda, ada hal-hal yang tak bisa dibeli olehnya, seperti kehilangan waktu, kebahagiaan, kebahagiaan anak, cinta, penerimaan diterima oleh lingkungan pergaulan, kesehatan, kesuksesan, bakat, sikap yang baik, dan kedamaian. Wacana Kata Kalimat Suku Kata Kita sering membicarakan tentang uang; bagaimana mendapatkan banyak uang, bagaimana mengatur pengeluaran, berapa yang ditabung, serta diinvestasikan di mana. Kita sibuk merencanakan, memikirkan, dan mengkhawatirkan uang yang kita miliki, sehingga seolah-olah uang adalah hal paling penting di dunia. Uang memang penting dalam kehidupan. Tanpa alat tukar ini, kita tak akan bisa memenuhi kebutuhan hidup. Uang membuat kita bisa melakukan banyak hal dibandingkan jika kita tak memilikinya. Tetapi, sepenting-pentingnya uang, sebanyak apa pun pundi-pundi uang Anda, ada hal-hal yang tak bisa dibeli olehnya, seperti kehilangan waktu, kebahagiaan, kebahagiaan anak, cinta, penerimaan diterima oleh lingkungan pergaulan, kesehatan, kesuksesan, bakat, sikap yang baik, catatan: kata ke-100 dan kedamaian. 100 6 262 Jumlah 100 6 262 Kesimpulan: a. Jumlah kalimat utuh = 5 kalimat, b. 262 suku kata 262 x 0,6= 157,2 dibulatkan menjadi 157, c. Jumlah kalimat terakhir: 2 kata setelah kata ke 100 = 3438 = 0,89 dibulatkan menjadi 0,9, d. Jumlah kalimat = 5 + 0,9 = 5,9. Setelah diketahui hasil perhitungan jumlah kalimat dan jumlah suku kata, Maka hasil tersebut diplotkan ke dalam grafik Fry seperti di bawah ini. Berdasarkan grafik Fry di atas, wacana tersebut jatuh di wilayah peringkat 10. Sesuai dengan teori maka peingkat tersebut dikurangi satu tingkat 10 – 1 = 9 dan ditambah satu peringkat 10 + 1 = 11. Jadi, wacana tersebut dapat digunakan untuk kelas 9, 10, 11. 2.2.8.3 Beberapa Catatan Penting tentang Grafik Fry Pertama , untuk mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku yang biasanya relatif tebal jumlah halamnnya, pengukuran keterbacaan ini hendaknya sekurang-kurangnya dilakukan sebanyak tiga kali percobaan dengan pemilihan sampel yang berbeda-beda, yakni wacana dari bagian awal buku, bagian tengah buku, dan bagian akhir buku. Untuk artikel dan jurnal, atau surat kabar, pengkuran keterbacaan wacananya cukup dilakukan satu kali, kecuali jika penulisnya berbeda-beda. Dalam mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku setelah menempuh langkah-langkah petunjuk penggunaan Grafik Fry, selanjutnya hitunglah hasil rata-ratanya. Data hasil rata-rata inilah yang kemudian akan dijadikan dasar untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana buku tersebut. Kedua , Grafik Fry merupakan hasil penelitian terhadap wacana bahasa Inggris. Seperti kita ketahui, struktur bahasa Inggris sangat berbeda dengan struktur bahasa Indonesia, terutama dalam hal sistem suku katanya. Sistem pola suku kata dalam bahasa Indonesia pada umumnya mempunyai ciri dwisuku atau bahkan lebih. Keadaan ini sangat berbeda dengan sistem persukukataan dalam bahasa Inggris. Dari 100 buah perkataan dalam bahasa Indonesia, pada umumnya akan diperoleh jumlah suku kata di atas 200-an. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapatlah dipastikan bahwa berdasarkan grafik Fry tidak akan pernah didapati wacana bahasa Indonesia yang cocok untuk peringkat peringkat kelas rendah, seperti kelas 1 dan 2, sebab titik pertemuan antara garis yang menunjukkan rata-rata jumlah kalimat dan rata- rata jumlah suku kata akan selalu jatuh pada daerah yang diarsir Harjasujana, 1998. Ketiga , kadang-kadang guru perlu mengevaluasi bacaan yang terdiri atas kata-kata yang jumlahnya kurang dari seratus buah, seperti pertanyaan-pertanyaan dalam tes, petunjuk untuk melakukan kegiatan tertentu, pengumuman-pengumuman singkat, atau petunjuk-petunjuk penggunaan obat-obatan tertentu. Untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana-wacana yang demikian, yang jumlah katanya kurang dari seratus perkataan, para ahli telah menemukan jalan pemecahan yang cukup sederhana. Mereka telah melakukan penyesuaian terhadap prosedur penggunaan Grafik Fry dengan mengajukan daftar konversi Grafik Fry. Prosedur kerja yang disarankan ialah dengan menempuh langkah- langkah berikut ini: 1 Hitunglah jumlah kata dalam wacana dan bulatkan pada bilangan puluhan yang terdekat. Jika wacana tersebut terdiri atas 54 buah kata, misalnya, maka jumlah tersebut diperhitungkan sebagai 50; jika jumlah wacana itu ada 26 buah, maka bilangan kebulatannya ialah 30. 2 Hitunglah jumlah suku kata dan kalimat yang ada dalam wacana tersebut. Kegiatan ini dilakukan dengan cara yang sama seperti langkah 2 dan 3 pada petunjuk penggunaan Grafik Fry. 3 Perbanyak jumlah kalimat dan suku kata hasil perhitungan langkah 2 tersebut dengan angka-angka yang ada dalam Daftar Konversi. Dengan demikian, guru dapat menggunakan lagi Grafik Fry menurut tata tertib seperti yang sudah dijelaskan terdahulu. Dengan kata lain, data yang diplotkan ke dalam grafik adalah data yang telah diperbanyak dengan daftar konversi.

2.3 Kerangka Berpikir

Setelah mengkaji berbagai teori dan hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini, peneliti menyusun kerangka berpikir sebagai dasar untuk menganalisis masalah penelitian. Beberapa teori yang digunakan akan dibandingkan dengan hasil penelitian ini, hal itu dapat dilihat pada kerangka berpikir sebagai berikut. Skema Kerangka Berpikir “Kualitas Penduduk Indonesia Memprihatinkan” Buku Teks Kompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlangga Buku Teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia terbitan Esis Rumusan Masalah: 1. Apakah wacana pada buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlangga sesuai untuk siswa kelas XI SMA berdasarkan grafik Fry? 2. Apakah wacana pada buku teks Panduan Belajar dan Sastra Indonesia terbitan Esis sesuai untuk siswa kelas XI SMA berdasarkan grafik Fry? 3. Wacana apa sajakah yang sesuai untuk siswa kelas XI SMA dalam buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlangga dan buku teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia terbitan Esis sebagai bahan pembelajaran? Dari hasil analisis ke-38 wacana berdasarkan grafik Fry ditemukan dua wacana yang cocok untuk siswa SMA kelas XI dalam buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlangga dan satu wacana yang cocok dari buku teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia terbitan Esis. Dalam hasil analisis juga ditemukan 1 terdapat delapan variasi kemunculan tingkat baca dalam buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlangga dan tujuh variasi kemunculan tingkat baca dalam buku teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia terbitan Esis, 2 berdasarkan bentuk wacananya terdapat 13 wacana fiksi dan 25 wacana non fiksi. Kesimpulan berdasarkan grafik Fry, buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlangga buku teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia terbitan Esis tidak sesuai untuk siswa SMA kelas XI. Wacana yang sesuai untuk siswa kelas XI SMA sebagai bahan pembelajaran adalah “Penerapan Manajemen untuk Kemajuan Koperasi”, “Kualitas Penduduk Indonesia Memprihatinkan”, dan “Kerangka Keamanan RI-Australia” Teori yang digunakan untuk menganalisis 38 wacana adalah teori Harjasujana 1999 yaitu mengenai petunjuk pengunaan Grafik Fry dalam mengukur tingkat keterbacaan, yaitu 1 pilih penggalan wacana yang representatif dengan mengambil 100 buah kata, 2 hitung jumlah kalimat, 3 hitung jumlah suku kata dan kalikan 0,6, 4 memplotkan ke dalam grafik Fry. Analisis data melalui 4 langkah yaitu identifikasi, klasifikasian data, pengkodean, mendeskripsikan. 51

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini akan memaparkan uraian mengenai: 1 jenis penelitian, 2 instrumen penelitian, 3 teknik pengumpulan data, 4 teknik analisis data, dan 5 triangulasi. Berikut ini penjelasan masing-masing kelima hal di atas.

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian tentang “Tingkat Keterbacaan Wacana dalam Buku Teks Kompeten Berbahasa Indonesia dan Buku Teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia Tahun 2007 Untuk SMA Kelas XI Berdasarkan Grafik Fry” merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan berdasarkan fakta yang ada berupa perian bahasa tanpa mempertimbangkan benar salahnya penggunaan bahasa pleh penuturnya Sudaryanto, 1992: 62. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Meleong, 2007: 4, penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripstif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang diamati. Statistika deskriptif adalah suatu metode statistik yang digunakan untuk menggambarkan data yang telah terkumpul. Dalam statistik deskriptif penyajian datanya melalui table, grafik, diagram lingkaran, piktogram, perhitungan modus, median, mean, desil, persentil, penyebaran data melalui perhitungan rata-rata dan standard deviasi, perhitungan prosentase dll. Moleong, 2007: 15. Penelitian ini bersifat ilmiah dan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, tertulis atau lisan, dari orang-orang, perilaku, atau data-data lain yang dapat diamati oleh peneliti. Melalui penelitian ini, tujuan yang ingin dicapai peneliti adalah mendeskripsikan tingkat keterbacaan wacana buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia untuk SMA kelas XI terbitan Erlangga dan buku Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA dan MA Kelas XI terbitan Esis berdasarkan grafik Fry. Selain itu, penelitian ini juga dapat dikategorikan sebagai penelitian kepustakaan karena bahan penelitian diperoleh diambil dari proses membaca dan mengolah data dari buku-buku teks bahasa Indonesia yang sudah ada yaitu buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia untuk SMA kelas XI terbitan Erlangga dan buku Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA dan MA Kelas XI terbitan Esis. Penelitian kepustakaan yakni serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, dan mencatat serta mengolah bahan penelitian Mestika, 2004:3. Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan hanya berdasarkan atas karya tertulis, termasuk hasil penelitian baik yang telah maupun yang belum dipublikasikan I Gusti Ngurah, 1992: 9.

3.2 Instrumen Penelitian

Instrumen merupakan alat yang digunakan untuk mengumpulkan data Arikunto, 2003: 177. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama Meleong, 2006: 9. Dalam penelitian ini, yang menjadi instrumen penelitian adalah peneliti sendiri. Menurut Moleong 2007: 168, yang dimaksud dengan peneliti sendiri adalah peneliti merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya menjadi si pelapor hasil penelitiannya. Dalam penelitian kepustakaan sebagai instrumen penelitian adalah alat bantu bibliografis Mestika, 2004: 10. Jadi, instrumen pengumpul data adalah alat bantu bibliografis yang berupa buku referensi berupa wacana-wacana yang terdapat dalam buku teks bahasa Indonesia berjudul Kompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlangga dan buku teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia terbitan Esis.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik adalah cara untuk memperoleh data. Penelitian ini menggunakan dua teknik pengumpulan data, yaitu teknik baca dan teknik catat. Teknik adalah cara, metode atau sistem mengerjakan sesuatu KBBI, 2008: 1422 dan membaca adalah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis dengan melisankan atau hanya dalam hati KBBI, 2008: 109. Jadi teknik baca adalah cara atau sistem dengan melihat buku atau bacaan kemudian memahami isi bacaan tersebut. Sedangkan teknik pencatatan adalah teknik yang dilakukan dengan cara meneliti buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang akan dicari pemecahannya, kemudian hasil yang diperoleh kemudian dicatat. Adapun teknik lain yang digunakan adalah teknik simak. Teknik simak adalah teknik yang menjadi objek penelitian, tujuannya adalah untuk mendapatkan data secara konkret Sudaryanto, 1993: 135. Metode simak merupakan metode yang digunakan dalam penyediaan data dengan cara melakukan penyimakan penggunaan bahasa Mahsun 2005: 92. Metode ini memiliki teknik lanjutan yaitu teknik catat, dikatakan demikian karena pada praktik penelitian sesungguhnya penyimakan itu dilakukan dengan melakukan pencatatan fenomena kebahasaan yang telah disimak, lalu dari transkrip iklan diperoleh data tulis yang selanjutnya dapat diidentifikasi. Berdasarkan kedua teknik di atas, peneliti menggunakan sumber tertulis. Sumber tertulis adalah buku teks bahasa Indonesia yaitu Kompeten Berbahasa Indonesia untuk SMA kelas XI terbitan Erlangga dan buku Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA dan MA Kelas XI terbitan Esis. Proses pengumpulan data dilakukan dengan menandai setiap wacana yang terdapat dalam buku teks. Berbekal teori yang digunakan, wacana-wacana yang sudah sesuai difotokopi. Wacana-wacana yang terdapat di dalam buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlangga dikumpulkan menjadi satu. Begitu pula wacana-wacana yang terdapat dalam buku teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia terbitan Esis. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahan. Peneliti tidak membuat instrumen sendiri karena data-data yang dibutuhkan sudah tersedia dalam bentuk wacana-wacana yang terdapat dalam buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia untuk SMA kelas XI terbitan Erlangga dan buku teks

Dokumen yang terkait

KETERBACAAN WACANA DALAM BUKU TEKS BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNTUK SMP/MTs KELAS VIII KARANGAN WAHONO TERBITAN CV GITA PERDANA TAHUN 2010

1 55 68

ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL DALAM WACANA BUKU TEKS BAHASA INDONESIA Aspek Gramatikal Dan Leksikal Dalam Wacana Buku Teks Bahasa Indonesia SMA Kelas XI Karangan Dawud, Dkk Tahun 2004 Penerbit Erlangga.

0 0 16

ANALISIS BUKU TEKS BAHASA INDONESIA TINGKATAN SMP KELAS VIII, ERLANGGA: KETERBACAAN DAN Analisis Buku Teks Bahasa Indonesia Tingkatan SMP Kelas VIII, Erlangga: Keterbacaan dan Tingkat Keterbacaan.

0 0 11

PENDAHULUAN Analisis Buku Teks Bahasa Indonesia Tingkatan SMP Kelas VIII, Erlangga: Keterbacaan dan Tingkat Keterbacaan.

0 0 5

ANALISIS BUKU TEKS BAHASA INDONESIA TINGKATAN SMP KELAS VIII, ERLANGGA: KETERBACAAN DAN Analisis Buku Teks Bahasa Indonesia Tingkatan SMP Kelas VIII, Erlangga: Keterbacaan dan Tingkat Keterbacaan.

0 4 13

Tingkat keterbacaan wacana dalam buku teks bahasa indonesia ekspresi diri dan akademik tahun 2013 untuk SMK kelas X di SMK Negeri 4 Yogyakarta berdasarkan grafik fry, cloze test, dan smog.

0 0 2

Tingkat keterbacaan wacana dalam buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia dan buku teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia tahun 2007 untuk SMA kelas XI berdasarkan grafik FRY

0 3 221

Tingkat Keterbacaan Buku Teks Bahasa Ind

1 0 12

TINGKAT KETERBACAAN WACANA BUKU TEKS PEL

0 0 14

KAJIAN ISI, BAHASA, DAN KETERBACAAN BUKU TEKS KURIKULUM 2013 PELAJARAN BAHASA INDONESIA SMA KELAS X

0 0 16