Perkembangan Hubungan RI-Malaysia Terkait Penempatan TKI di

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA INDONESIA

DI MALAYSIA

A. Perkembangan Hubungan RI-Malaysia Terkait Penempatan TKI di

Sektor Informal Domestic Worker Perubahan identitas Malaysia dan pengaruhnya terhadap hubungan dengan Indonesia belakangan ini.Pada awalnya pemahaman Malaysia terhadap Indonesia, dalam kadar tertentu dapat dikatakan berangkat dari identitas keserumpunan, hubungan adik kakak ataupun hubungan sedarah. Pemahaman ini yang juga diikuti Indonesia, berasal dari kenyataan bahwa Malaysia merdeka setelah Indonesia, dalam sejarahnya ada hubungan saling membantu, dan ada perasaan senasib sepenanggungan sebagai negeri yang terjajah. Kedua negara dikenal sebagai negara serumpun karena memiliki banyak kesamaan akar budaya, sejarah kerajaan-kerajaan, agama bahkan keturunan yang sama. Kondisi ini menyebabkan kedua negara pada awalnya memiliki identitas bersama atau collective identity yang memudahkan mereka dalam berhubungan dan menyelesaikan masalah di antara keduanya. Malaysia dipandang respect kepada saudara tuanya dalam hubungan kedua negara. Namun dalam kurang lebih dua dekade belakangan ini, pemahaman Malaysia tentang Indonesia mengalami perubahan. Salah satu sebabnya adalah pandangan yang terbentuk dari persinggungan mereka dengan TKI, laporan-laporan media dan pernyataan para pemimpin Malaysia tentang pekerja Indonesia. Ini membentuk pemahaman bahwa Malaysia lebih maju, lebih berkembang, lebih stabil dan aman daripada Indonesia. Collective identity perlahan-lahan berganti dengan distinct identity yang berangkat dari asumsi Universitas Sumatera Utara tentang Malaysia yang lebih mampu mengelola sumber-sumber daripada Indonesia, dan yang memerlukan ruang baru untuk terus berkembang. Perubahan identitas ini juga perlu diletakkan dalam konteks kampanye lebih luas pemerintah di sana tentang ‘Malaysia Boleh‘ dan konsep-konsep seperti hubungan kerjasama berdasarkan ‘Smart Partnership‘. Identitas seperti ini mengkerangkai kepentingan untuk mengklaim dan mengelola baik pulau-pulau, wilayah maupun produk budaya yang selama ini dikenal milik Indonesia. Hubungan Indonesia-Malaysia sering dipahami dan dilihat secara emosional. Beberapa peristiwa seperti perlakuan terhadap para pekerja Indonesia di Malaysia, kemudian klaim Malaysia terhadap produk budaya dan karya Indonesia, selalu menimbulkan protes di Indonesia dan mengarah pada ketegangan hubungan di kedua negara. Lebih dari itu, berhasilnya Malaysia memenangkan kedaulatan terhadap pulau-pulau Sipadan dan Ligitan dan klaim Malaysia terhadap wilayah laut blok Ambalat di Laut Sulawesi telah memacu protes serius di Indonesia. Dari berbagai protes itu, kesan umum yang berkembang di Indonesia adalah bahwa Malaysia adalah negara yang semakin arogan, menginjak wibawa Indonesia dan tidak pandai balas budi. Di media bahkan disarankan bahwa untuk mendapatkan kembali respect Malaysia terhadap Indonesia, seharusnya Indonesia tidak segan-segan melakukan konfrontasi seperti zaman Sukarno ataupun meningkatkan kemampuan tempur. Tidak sedikit yang menyarankan bahwa sudah saatnya Malaysia diberi pelajaran dari kesemena-menaan kebijakan mereka. Universitas Sumatera Utara Hubungan Indonesia-Malaysia sebenarnya semakin kompleks dan tidak dapat dipahami secara emosional. Ini menunjukkan bahwa sikap kebanyakan masyarakat Indonesia terhadap Malaysia lebih banyak diinformasikan dan dipengaruhi oleh pemahaman lama yang statis tentang Malaysia sebagai bagian dari negara Serumpun yang memiliki banyak persamaan nasib dan nilai-nilai dengan Indonesia. Pemahaman demikian mengabaikan perubahan identitas yang telah terjadi di Malaysia termasuk juga cara mereka memahami dan melihat Indonesia. Dalam paper ini akan dijelaskan juga bahwa walaupun konsep serumpun itu sendiri masih sering digunakan oleh para elit pemerintah Malaysia, tetapi makna dan fungsinya berbeda dengan yang dipahami secara umum di Indonesia. Beberapa tulisan menyebutkan bahwa sumber konflik Malaysia-Indonesia berkaitan dengan perebutan sumber-sumber ekonomi seperti di Sipadan-Ligitan, Ambalat, masalah lintas batas, perdagangan gelap, illegal logging, migrant dan human trafficking . Demikian juga dilaporkan sering terjadi pelanggaran perbatasan oleh Malaysia baik perbatasan udara, laut dan darat yang kemudian akan menimbulkan protes dari pihak Indonesia. Masalah-masalah ini jelas sangat penting untuk diselesaikan dan dicari jalan keluarnya. Namun sejauh ini penyelesaian berbagai masalah ini sering terhambat pada soal teknis pelaksanaan yang sulit dan kurangnya kemauan politik di kedua negara untuk sungguh-sungguh dalam menyelesaikan sengketa. Penyelesaian yang dilakukan dalam keadaan demikian seringkali bersifat reaktif dan sporadik tanpa menyelesaikan akar permasalahan sebenarnya. Ketika Universitas Sumatera Utara pemimpin Malaysia misalnya minta maaf sebagaimana dituntut oleh Indonesia atas beberapa masalah yang terjadi, hubungan kedua negara seperti normal kembali. Namun suatu saat beberapa masalah dengan sumber yang sama seperti penganiayaan terhadap TKI akan muncul kembali dan menimbulkan emosi dan reaksi yang berlebihan. Sejauh ini pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan masalah ini bertumpu pada sebab-sebab material dan hubungan sebab akibat. Misalnya para pekerja atau bahkan turis Indonesia yang diperlakukan buruk di negeri jiran itu akan segera membuat marah masyarakat dan pemerintah Indonesia. Pelanggaran perbatasan oleh Malaysia misalnya akan menimbulkan reaksi yang sama di berbagai kota di Indonesia. Sebagai akibat peristiwa ini, Indonesia akan meminta pemerintah Malaysia meminta maaf. Penjelasan demikian tentu saja penting namun tetap menyisakan masalah mendasar yang menjadi akar perbedaan dalam hubungan bilateral kedua negara. Keadaan demikian memerlukan suatu pemahaman lebih baik daripada sekedar melihat persoalan dari hubungan sebab akibat yang terjadi di permukaan. Salah satu pendekatan yang dapat melengkapi berbagai kajian ini, dalam studi hubungan internasional adalah pendekatan konstruktivis. Melalui pendekatan ini konflik di kedua negara dipahami dalam tataran perbedaan pemahaman tentang identitas satu dengan yang lain yang menjadi sumber bagi naik turunnya hubungan kedua negara. Lebih konkritnya kedua negara telah mengalami konstruksi identitas yang berbeda satu dengan yang lainnya yang berlangsung terus menerus hingga sekarang. Pemahaman tentang shared atau Universitas Sumatera Utara collective identity antara kedua negara sudah semakin senjang bersamaan dengan berjalannya waktu, dan dalam hal ini pemahaman Malaysia berbeda dengan priode sebelum ini, dimana konsep serumpun misalnya dipahami sebagai salah satu bagian ‘collective identity‘ kedua negara. Ada empat variabel ‘ideational‘ penting yang berkaitan dengan sumber identitas kolektif ini, yakni interdependence, common fate, homogeneity, dan self- restraint . Keempat faktor ini tidak berdiri sendiri dalam membentuk identitas, melainkan secara bersama-sama. Kekuatan dari identitas kolektif demikian bergantung pada intensitas dari gabungan faktor-faktor ini. Berkaitan dengan identitas kolektif ini, perlu dibicarakan juga pengetahuan bersama common knowledge dan pengetahuan kolektif yang menjadi sumber inspirasi bagi identitas Malaysia. Salah satu common knowledge yang berkembang adalah cita-cita tentang ‘Malaysia Boleh‘, ‘New Asia‘ dan konsep-konsep lain yang menjadi wacana untuk mendorong kesiapan Malaysia untuk bersaing di dunia global. Malaysia seperti banyak negara lain di era globalisasi tidak bisa terlepas dari struktur peranan untuk mempersiapkan diri bersaing sebagai agen globalisasi. Pemahaman tentang aspek identitas terakhir ini yang perlu dikaji untuk melihat bagaimana Malaysia meletakkan hubungannya dengan Indonesia. Protes-protes terhadap Malaysia dalam berbagai kasus dapat dikatakan berangkat dari kesenjangan dan perbedaan dalam pemahaman identitas kedua negara terhadap satu dengan yang lain. Dalam empat sumber identitas kolektif yang dikatakan oleh Wendt, yaitu interdependence, common fate, homogeneity, and self-restraint, terdapat perkembangan pemahaman yang makin menjauh di Universitas Sumatera Utara kedua negara. Alhasil identitas kolektif seperti konsep serumpun semakin memiliki makna yang berbeda di kedua negara. Akan tetapi, seperti terlihat dalam laporan-laporan dan protes di Indonesia, kebanyakan masyarakat Indonesia masih memahami konsep serumpun dalam pengertian persahabatan dan hubungan keluarga, karena kesamaan sejarah, budaya dan nilai, persamaan nasib, saling membantu, dan akhirnya prinsip saling menghormati dalam pengertian keluarga seperti kakak dan adik. Ini terlihat dari penyelesalan yang diungkapkan berbagai pihak di Indonesia bila melihat Malaysia bertindak tidak sesuai dengan kerangka pemahaman keserumpunan yang mereka miliki. Sebaliknya di Malaysia, sebagaimana akan diuraikan dalam empat aspek identitas berikut, makna serumpun yang demikian agaknya mulai ditinggalkan, dan kalau pun ada, hanya sebatas retorika. Salah satu aspek penting identitas kolektif adalah adanya pandangan bersama tentang saling ketergantungan, yang konsekuensinya adalah saling membantu satu sama lain Narayanan and Lai 2005. Menurut Wendt, aktor-aktor saling bergantung bilamana perubahan pada satu aktor akan memengaruhi aktor lain dan bilamana hasil perubahan itu juga bergantung pada pilihan aktor lain. Kesalingtergantungan menggiring para aktor untuk terlibat dalam ‘ideological labour‘ seperti diskusi, pembicaraan, pendidikan, pembuatan mitos dsb- untuk menciptakan representasi bersama tentang kesalingketergantungan dan rasa kekitaan. 53 53 Wendt A, Social Theory of International Politics. Cambridge University Press 1999. Universitas Sumatera Utara Saling ketergantungan Malaysia dan Indonesia antara lain ditunjukkan oleh kebutuhan Malaysia akan tenaga kerja dari Indonesia. Hubungan demikian sudah berlangsung sejak lama karena kesamaan bahasa, agama dan budaya antara orang Indonesia dan Malaysia. Pada awal-awal kemerdekaan, masuknya orang Indonesia ke Malaysia bahkan disambut baik secara diam-diam silently welcomed untuk mempertahankan keseimbangan ras di negara itu Liow 2003: 46. Keberhasilan program industrialisasi Malaysia di tahun 1970-an juga menambah kebutuhan Malaysia akan tenaga kerja dari Indonesia, baik di sektor pertanian, industri maupun konstruksi. Dalam kacamata banyak masyarakat Indonesia, saling membantu itu dicerminkan dari kerelaan untuk membantu sebagaimana yang dilakukan Indonesia terhadap Malaysia di tahun 1960-an di mana Malaysia yang baru merdeka memerlukan guru-guru dan ahli teknik. Kerjasama yang baik dan hubungan historis ini dipahami sebagai suatu kerjasama yang ideal antara negara serumpun oleh banyak kalangan masyarakat Indonesia. Bantuan kerjasama ini seringkali diulang-ulang dan menjadi sumber wacana utama bagi masyarakat dalam memahami Malaysia. Ketika ada masalah dalam hubungan bilateral, pemerintah dan masyarakat tidak segan-segan mengungkit bantuan ini dan menyatakan bahwa Malaysia tidak tahu membalas budi. Berbeda dengan di Indonesia, di pihak Malaysia, persepsi tentang kesalingketergantungan mengalami proses pemaknaan yang berbeda. Malaysia memang bergantung dengan tenaga kerja murah dari Indonesia untuk pembangunan sektor yang disebut 3D dirty, dangerous and difficult,tapi ini tidak Universitas Sumatera Utara dimaknai sebagai kesalingketergantungan. Para pekerja ini memang diperlukan tapi, namun mereka tidak diinginkan. Proses pergeseran makna tentang kesalingtergantungan ini dimulai sejak tahun 1980-an. Para pekerja Indonesia misalnya tidak dilihat sebagai yang melengkapi pembangunan Malaysia. Kontribusi dari para pekerja ini semakin tidak dihargai bahkan berkembang proses sekuritisasi terhadap para pekerja terutama terhadap para pekerja ilegal. Mereka yang sebelumnya dianggap memberi kontribusi dalam pembangunan ekonomi dan budaya di Malaysia, bahkan dalam beberapa laporan memberikan kontribusi bagi bertambahnya proposi orang Melayu di sana, mulai dimaknai sebagai ancaman bagi keamanan nasional national threat. Proses sekuritisasi dilakukan oleh pemerintah Malaysia mulai dari Perdana Menteri PM sampai menteri-menteri yang kemudian diikuti oleh berbagai media di Malaysia. Ini terutama terjadi setelah beberapa kasus kerusuhan yang diletupkan oleh para pekerja Indonesia di awal 2000-an. Kata ‘Indon‘ yang mulanya berupa akronim untuk memudahkan menyebut Indonesia misalnya, karena penggunaannya yang berulang dan selalu dikaitkan dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang Indonesia, memiliki makna negatif. Kalau kata ‘Indon” digunakan sekarang maka asosiasinya jelas adalah orang Indonesia yang melakukan hal-hal negatif dan melawan hukum. Dalam kaitan dengan hubungan Indonesia-Malaysia, perasaan tentang nasib bersama ini menguat hanya pada saat-saat awal kemerdekaan terutama ketika kedua negara mempersiapkan kemerdekaan. Nasib sebagai negara terjajah Universitas Sumatera Utara telah mempersatukan semangat kedua bangsa untuk saling membantu. Semangat akan nasib bersama ini dicerminkan juga dari besarnya pengaruh pemikir-pemikir Indonesia di Malaysia mulai dari kelompok pemikir Islam sampai dengan para nasionalis. Tokoh-tokoh Partai Masyumi di tahun 1950 - ‘60-an misalnya memiliki hubungan yang sangat erat dengan partai-partai Melayu di Malaysia. Dalam perjalanannya, konsep kekerabatan pada awalnya paling konkrit ditafsirkan oleh para pejuang kemerdekaan kedua-dua negara.Para tokoh ini bersimpati satu dengan lainnya dalam melawan penjajah. Pada tahun ‘40-an di Malaysia, ada misalnya para ’entrepreneurs‘ yang membentuk semacam ‘epistemic communities‘ seperti Burhanudin Al-Helmy, Ibrahim Yakoob, Ahmad Boestaman, Mokhtaruddin Lasso; dan, di Indonesia Muhammad Yamin, Mohammad Hatta dan Sukarno yang membincangkan tentang bentuk kerjasama negara merdeka di Nusantara. Walaupun masing-masing kelompok mengajukan penamaan yang berbeda, yakni Melayu Raya, Indonesia Raya dan kemudian juga Nusantara, di baliknya ada asumsi bahwa mereka adalah serumpun. 54 Dalam bidang pemikiran keagamaan HAMKA misalnya dipandang sebagai pemikir besar yang sangat berkesan bagi umat Islam di Malaysia. Mereka ini adalah para pemikir yang peduli pada nasib pribumi yang tertindas dan memberikan inspirasi bagi pembebasan dan kemajuan. Istilah Dunia Melayu menggambarkan lebih kuat lagi kedekatan kinship ini.Di sini pada mulanya setidaknya dalam cita-cita ada hal konkrit yang ingin dicapai dalam konsep serumpun Melayu ini. 54 Liow, Joseph Chinyong, The Politics of Indonesia-Malaysia Relations: One Kin, Two Nations . New York: RoutledgeCurzon 2004 Universitas Sumatera Utara Tetapi dalam perkembangannya, pemahaman tentang nasib bersama ini juga bergeser. Indonesia bangga dengan revolusi yang mempersatukan negara ini dan berhasil mengusir penjajah. Sementara Malaysia sangat mengkhawatirkan revolusi sosial itu yang memang bisa menghancurkan sistem kerajaan yang didominasi oleh raja-raja Melayu di sana. Imajinasi yang berbeda tentang bagaimana kemerdekaan harus dibentuk dan apa fungsi dari negara itu bahkan menyulut konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia. Sukarno memandang pembentukan Malaysia sebagai bagian dari imperialisme Barat yang tidak punya tempat di Asia Tenggara dan karena itu harus di‘ganyang‘. Konsep persamaan nasib juga semakin menjauh dalam konteks fungsi state . Dalam konteks Malaysia sekarang, kompromi dengan penjajah dan akomodasi terhadap orang-orang non-Muslim yang dilakukan oleh Malaysia dulu dimaknai sebagai suatu proses sejarah yang tepat dan memungkinkan state untuk membawa Malaysia ke keadaan modern dan stabil sekarang. Ini sering diungkapkan dengan merepresentasikan tetangga dunia ketiga lainnya yang porak-poranda mengalami perang saudara, walaupun mereka merdeka secara heroik. Dalam memahami Indonesia, para pemimpin Malaysia sering merepresentasikan Indonesia sebagai negara yang mengalami nasib malang. Proses reformasinya dilihat telah membawa kepada ketidakstabilan dan demonstrasi. Mahathir Mohamad bekas PM Malaysia misalnya sering mengatakan bahwa demonstrasi yang tidak terkawal akan mengancam kestabilan. Ucapan Mahathir cukup membekas dan menjadi wacana dominan. Kelompok- Universitas Sumatera Utara kelompok pro-reformasi di Malaysia misalnya kehilangan pendukung dan simpati. Anwar Ibrahim yang ditahan, demikian juga banyak tokoh reformasi pada masa itu tidak berhasil melawan hegemoni pemerintah di bawah Mahathir. Sebagian masyarakat bahkan mempercayai bahwa Anwar adalah agen Barat yang akan menghancurkan Malaysia. Unsur identitas kolektif berikutnya adalah kesamaan-kesamaan atau homogenitas. Homogenitas cenderung menghasilkan prilaku pro-sosial diantara para aktor, atas dasar ‘if they are just like us then we should treat them accordingly‘ . Ini seringkali dipahami oleh elit negara yang melalui kebijakan- kebijakan pendidikan, imigrasi dan bahasa untuk menciptakan semacam ‘imagined communities‘ 55 Aspek homogenitas dalam identitas kolektif Indonesia dan Malaysia adalah yang paling kuat.Kedua Negara memiliki akar historis, budaya, hubungan kekerabatan dan famili yang kuat. Tidak mengherankan kalau menyebutkan kedua negara dengan istilah 56 Orang-orang keturunan Indonesia pun banyak yang menjadi warga negara dan menjadi orang penting di Malaysia. Hikayat-hikayat lama juga menceritakan One Kin, Two Nations . Kesamaan yang ada itu menyebabkan hubungan kedua negara sering disebut dengan istilah hubungan dua negara serumpun, hubungan kakak adik dan hubungan dalam suka dan duka. Kedua negara mempunyai akar historis kerajaan yang sama, kemudian karya-karya sastra Melayu yang sama. Persamaan budaya antara orang Melayu di kedua-dua negara paling terasa di hampir semua daerah Melayu Malaysia dan di daerah, seperti Sumatera serta sebagian Kalimantan di Indonesia. 55 Wendt 1999 Op. Cit 355. 56 Liow 2002. Op. Cit Universitas Sumatera Utara satu kawasan Melayu yang meliputi Malaysia dan sebagian Indonesia. mentakrifkan bahwa yang disebut Melayu bukan saja meliputi Malaysia dan Indonesia, tetapi juga keseluruhan rantau Asia Tenggara sampai ke Pulau Solomon di Tenggara dan Luzon di Utara. Mereka disebut Melayu karena mempunya ciri-ciri fisik yang sama dan akar aksara huruf abjad yang sama sejak jaman Sriwijaya dulu. 57 Sense keserumpunan yang kuat ini juga bahkan bisa mengatasi masalah konfrontasi yang dalam kacamata Barat dianggap sangat serius dan mendekati perang. Penyelesaian konfrontasi yang hanya dilakukan lewat perundingan singkat antara Menlu Adam Malik dan Menlu Malaysia Tun Abdul Razak di Bangkok mencengangkan semua pihak. Pengakhiran konfrontasi kedua negara di tahun 1966 tidak terlepas dari dialog-dialog dan dimungkinkan untuk berakhir dengan baik dan damai karena adanya unsur kekerabatan ini. Banyak pengamat misalnya sangat heran, konflik bertahun-tahun yang penuh kebencian dengan istilah-istilah seperti ‘ganyang Malaysia‘ dan juga clash militer yang serius di perbatasan Kalimantan, selesai dalam pertemuan dua hari antara Menteri Luar Negeri Adam Malik dan rekannya Tun Abdul Razak di Bangkok. Bahkan pengakhiran itu tanpa ada perjanjian yang ditandatangani dengan jelas Time,10 Juni 1966. Ini tentunya berbeda kalau konflik terjadi melibatkan dua negara yang tidak memiliki ikatan kekerabatan. Negara-negara ini tentu meminta jaminan yang jelas bahwa peristiwa yang sama tidak akan berlaku lagi. Dalam konflik Indonesia dengan Cina misalnya, pemerintahan Orde Baru di Indonesia tidak mau membuka hubungan 57 Zain, Shaharir Mohamad. “Penyebaran Orang Rumpun Melayu Pra-Islam dan Perkembangan Tulisan Bahasa Melayu”Sari 2003, hal. 130 Universitas Sumatera Utara diplomatik dengan negara tirai bambu itu sampai Cina menyatakan secara resmi bahwa mereka tidak lagi mendukung gerakan-gerakan komunis di Indonesia.

B. Memorandum of Understanding Antara Pemerintah Indonesia dan