Memorandum of Understanding Antara Pemerintah Indonesia dan

diplomatik dengan negara tirai bambu itu sampai Cina menyatakan secara resmi bahwa mereka tidak lagi mendukung gerakan-gerakan komunis di Indonesia.

B. Memorandum of Understanding Antara Pemerintah Indonesia dan

Malaysia di Bidang Ketenagakerjaan Perkembangan dunia yang semakin global menyebabkan tenaga kerja tidak hanya bekerja di negara asa1 mereka. Transportasi yang sernakin mudah serta kurangnya lapangan pekerjaan di Indonesia membuat tenaga kerja memilih bekerja di luar negeri. Apalagi gaji luar negeri jauh lebih besar dan pada gaji di Indonesia. Malaysia sebagai negara yang letaknya sangat dekat dengan Indonesia membuat negara ini menjadi salah satu negara tujuan utama para tenaga kerja migran Indonesia. Namun dalam perkembangannya, pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Malaysia selalu menimbulkan masalah yang tak kunjung selesai. Masalah ini bahkan sempat merenggangkan hubungan kedua negara. Maraknya kasus-kasus yang menimpa tenaga kerja miran Indonesia di Malaysia mendorong pemerintah Indonesia untuk membuat Memorandum of Understanding MOU dengan pemerintah Malaysia. MoU Pemerintah Indonesia dan Malaysia tentang penekpatan tenaga kerja Indonesia di Malaysia telah di tanda tangani pada tanggal 5 Mei 2004 oleh pejabat setingkat menteri kedua negara. Permasalahan mengenai Tenaga Kerja Indonesia TKI di Malaysia seakan menjadi permasalahan yang terus mendera Indonesia. Ribuan TKI di Malaysia sebagian besar ternyata termasuk kategori ilegal, berbagai kekerasan dan tindakan penganiayaan dari majikan merupakan hal yang biasa dan larinya TKI menjadi Universitas Sumatera Utara berita yang terus terpampang. Berbagai permasalahan tersebut mengantarkan pada dibuatnya nota kesepakatan atau Memorandum Of Understanding MOU antara pemerintah Indonesia dan Malaysia pada bulan Mei 2004 tentang Penempatan TKI. Dikarenakan MOU 2004 dipandang belum mengakomodir kepentingan Indonesia, maka pada bulan April 2010 ini, baik pemerintah Indonesia maupun Malaysia berencana memperbaharui MOU 2004 tersebut, tulisan ini hendak mengkaji beberapa hal yang di atur didalam MOU 2004. Legal opinion mengenai MOU ini secara garis besar, pembahasannya berkisar pada isi atau substansi yang diatur. Hal ini bisa dimulai dari pemilihan topik-topik sentral dan strategis, serta pemeriksaan terhadap apakah suatu peraturan berkontradiksi dengan aturan lainnya eksternal. Adapun beberapa topik pembahasan adalah : 1. Dasar pemikiran latar Belakang berpikir dari MOU tersebut Pada pembukaan MOU 2004 alinea pertama disebutkan bahwa MOU 2004 merupakan pengganti dari Nota Mengenai Prosedur Penempatan Tenaga Kerja Indonesia untuk Dipekerjakan di Malaysia selain dari Penata laksana Rumah Tangga yang di tandatangani pada tanggal 1 Agustus 1998. Secara filosofis, MOU 2004 tidak ada perbedaan dengan Nota 1998. Pada era 1990-an saat Tenaga Kerja Indonesia dikirim ke Malaysia permasalahan selalu bermunculan, hal ini disebabkan karena Nota 1998 tidak memuat secara rinci mengenai hak-hak dasar pekerja diantaranya mengenai minimal pendapatan pekerja, jam kerja, hari libur, kebebasan beribadah dan standar akomodasi. Hak-hak dasar yang tidak terpenuhi menyebabkan pekerja tidak berada dalam posisi tawar, namun hal ini justru diulangi pada MOU 2004. Universitas Sumatera Utara Demikian pula dengan pembantu rumah tangga, baik Nota 1998 maupun MOU 2004 tidak mengakui pembantu rumah tangga sebagai pekerja, padahal 80 dari 6 juta jiwa penduduk Indonesia yang bekerja di luar negeri adalah perempuan 58 dan sebagian besar dari perempuan sekitar 70 bekerja sebagai pembantu rumah tangga. 59 Pada alinea kedua pembukaan MOU 2004, menyatakan bahwa baik pemerintah Indonesia maupun Malaysia memandang bahwa penempatan Tenaga kerja Indonesia ke Malaysia adalah bidang kerjasama yang saling menguntungkan bagi kedua Negara. Tidak dipungkiri lagi pemasukan Indonesia di bidang ini merupakan kedua terbesar setelah migas yakni 35 trilyun 2006, 44 trilyun 2007, 86 trilyun 2008 dan target 125 trilyun 2009. Tidak adanya ketentuan bagi pembantu rumah tangga mengakibatkan Tenaga kerja Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga dikategorikan illegal. 60 2. Posisi pekerja dan majikan Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri telah mengurangi tingkat pengangguran yang disebabkan keterbatasan kesempatan kerja didalam negeri. Pengiriman Tenaga kerja Indonesia ke luar negeri menguntungkan Negara dari segi pemasukan devisa, namun aturan yang dibuat antara pemerintah Indonesia dan Malaysia yang belum memenuhi standar HAM Internasional selain tidak menguntungkan pekerja tetapi juga menjerumuskan Tenaga Kerja Indonesia di negeri orang. 58 . httpwww.komnasperempuan.or.id. 59 . httpwww.migrantcare.or.id,dilansir 5 November 2012 60 . httpwww.komnasperempuan.or.id. Universitas Sumatera Utara Dalam perkara pengaturan penempatan TKI, baik pemerintah Indonesia maupun Malaysia secara nyata mencurigai TKI sehingga TKI tidak dapat dipercaya untuk memegang pespornya sebagai identitas dirinya. Paspor pekerja yang dipegang majkan membuat hubungan antara pekerja dan majikan berasaskan kekuasaan, yang mana secara faktual, riil, posisi pekerja dan majikan yang tidak setara, tentu membuat pekerja berada pada posisi yang dilemahkan baik secara yuridis maupun ideologis. Dilemahkan secara yuridis adalah, apabila merasa tidak nyaman bekerja pada majikannya kemudian melarikan diri, maka pekerja tersebut menjadi pekerja ilegal karena tidak memiliki paspor. Kemudian, pekerja ilegal yang mendapat majikan baru akan mengalami tekanan-tekanan lain dari majikan barunya bahkan tekanan yang didapat akan semakin sulit, diantaranya yakni, gaji yang diterima tidak sebanyak jika ia pekerja legal hal ini tentu saja membuat semakin banyak majikan yang lebih senang mempekerjakan pekerja ilegal. Terhadap majikan yang seperti ini sepatutnya diberi label yang sama dengan pekerjanya yakni majikan ilegal dan diberi sanksi yang sama dengan pekerja ilegal. Berita menggembirakan mengenai hal ini ialah pemerintah Malaysia telah menetapkan bahwa terhadap majikan ilegal akan didakwa pasal Anti Memperdagangkan Orang dengan denda sebesar RM 5000 lima ribu per satu orang pekerja asing ilegal. 61 61 .pos kota, 11 januari 2010 Dilemahkan secara ideologis adalah majikan akan selalu mengancam pekerja illegal untuk dilaporkan ke pihak berwajib apabila ia tidak bekerja keras dan melakukan perlawanan. Universitas Sumatera Utara 3. Kontradiksi Eksternal Kontradiksi eksternal dimaksudkan sebagai sifat saling berlawanan MOU dengan peraturan internasional lainnya. Sudah selayaknya MOU yang dibuat antara pemerintah Indonesia dan Malaysia berpedoman pada ketentuan-ketentuan internasional yang telah ada sebelumnya. Dalam ayat 8 butir xiii MOU 2004 disebutkan bahwa “ Pengguna jasa harus bertanggung jawab menyimpan dengan aman paspor tenaga kerja dan menyerahkannya kepada perwakilan Republik Indonesia di Malaysia apabila tenaga kerja melarikan diri”. Hal ini bertentangan dengan konvensi ILO yang menyatakan bahwa paspor sebagai dokumen yang dikeluarkan oleh suatu Negara merupakan identitas diri seseorangpekerja oleh karena itu harus dipegang oleh pekerja. 4. Kepatuhan Terhadap Perjanjian Internasional Berdasarkan Prinsip Pacta Sunt servanda dan Good Faith MOU Mei 2004 merupakan aturan yang lahir dari suatu perjanjian bilateral yang memiliki dua atribut secara hukum, yaitu hak dan kewajiban hukum. Kewajiban hukum adalah mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu kepada pihak lain dengan itikad baik, sementara hak atau manfaat adalah berupa tuntutan dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu. Karena itu dalam setiap perjanjian, masing-masing pihak harus menepati janjinya untuk melaksanakan kewajibannya dan juga menghormati pihak lain. Asas ini dalam ranah internasional dikenal sebagai asas pacta sunt servanda dan good faith. Dalam pelaksanaan MOU Mei 2004, mayoritas majikan Malaysia tidak memberikan pekerjanya Kartu Pekerja sebagai pengganti paspor yang dipegang majikan sebagaimana diamanatkan dalam pasal 8 butir xi yang berbunyi Universitas Sumatera Utara “Pengguna jasa harus menjamin bahwa setiap tenaga kerja sesegera mungkin menerima kartu identitas tenaga kerja asing dari Departemen Imigrasi Malaysia dan kartu identitas ini harus dipegang oleh tenaga kerja”. Dalam tataran praktis, banyak tenaga kerja yang tidak memperoleh kartu identitas, bahkan menurut laporan Metro TV News, orang asing yang berada di Malaysia baik itu sebagai pelajar atau tenaga kerja yang tidak dapat memperlihatkan paspor saat di razia akan ditangkap meskipun orang tersebut telah memperlihatkan kartu identitas yang bahkan dikeluarkan oleh keimigrasian Malaysia. Pemerintah Malaysia boleh berdalih, bahwa secara yuridis mereka memang mematuhi MOU dan bahwa pelanggaran tersebut diatas terjadi dalam tataran pelaksanaan atau bersifat kasuistis. Tetapi mengingat pelanggaran dilakukan oleh mayoritas majikan Malaysia dan bahkan kepolisian Malaysia yang merazia, maka seharusnya pemerintah Malaysia menindak tegas majikan dan polisi Malaysia yang melakukan pelanggaran dari ketentuan MOU, karena pelaksanaan ketentuan internasional yang telah dibuat oleh pemerintah Malaysia pertama-tama harus dilaksanakan oleh pemerintah Malaysia itu sendiri sebagai wujud dari pelaksanaan asas pacta sunt servanda dan good faith. Kedua asas diatas merupakan salah-satu prinsip umum dalam perjanjian ineternasional dan bahkan telah tercantum dalam pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa setiap perjanjian Treaty mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik Asas sunt servanda dan good faith perlu dipandang tidak saja sebagai ketentuan yang harus ditaati karena telah termaktub dalam pasal 26 Konvensi Universitas Sumatera Utara Wina 1969, juga tidak saja merupakan ketentuan yang bersumber dari hukum kebiasaan yang telah ada sebelum hadirnya Konvensi Wina tetapi lebih dari itu, merupakan ketentuan yang berasal dari hukum alam yang mempunyai norma- norma dasar, bersifat kekal, abadi dan merupakan salah-satu sifat hukum alam yang esensial sehingga tidak berubah-ubah untuk selama-lamanya dimanapun. Berlaku disemua tempat dan segala jaman. Eksistensi atau keberadaan hukum alam ini mengatasi ruang dan waktu yang diistilahkan dengan sifat kosmopolitan dari hukum alam. Hugo Grotius dianggap sebagai pencetus istilah ini, dimana sifat ini merupakan dasar bagi eksistensi hukum internasional. 62 MOU 2004 mengenai Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia merupakan perbaikan dari nota mengenai Prosedur Penempatan Tenaga Kerja Republik Indonesia Untuk Dipekerjakan di Malaysia Selain Dari Penatalaksana Rumah Tangga yang ditanda tangani 1 Agustus 1998. sebagai perbaikan, nyatanya MOU 2004 tak jauh beda dengan Nota 1998 dimana hak-hak dasar pekerja tidak tercantum secara jelas bahkan justru mengabaikan hak-hak pekerja diantaranya tidak adanya ketentuan mengenai standar gaji, hari libur, paspor yang dipegang oleh majikan serta tidak adanya perlindungan hukum bagi TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga padahal 80 TKI adalah perempuan yang mayoritas bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Diskriminasi buruh migran Indonesia tidak mengenal tempat. Di dalam negeri, mereka diperlakukan sebagai komoditi dan warga negara kelas dua. Mereka mendapatkan perlakuan yang diskriminatif mulai dari saat 62 . Zumri Bestado Sjamsuar, Studi Terhadap Hukuman Mati dari Pandangan HAM dan Hukum Islam Varia Binacivika N0 71 tahun XXV Januari 2008, Pontianak, Fak. Hukum Untan Hal 61 Universitas Sumatera Utara perekrutan, di penampungan, pemberangkatan maupun saat kepulangan. Terminal Khusus TKI yang terpisah dari terminal-terminal yang ada di bandara Soekarno Hatta merupakan tempat nyata dari bentuk diskriminasi terhadap buruh migran Indonesia; dengan memisahkan mereka dengan penumpang umum lainnya. Sebagai buruh asing di negara tempat bekerja, buruh-buruh ini juga diberlakukan secara diskriminatif. Mereka dilarang mendirikan serikat buruh atau masuk dalam serikat buruh setempat. Buruh migran perempuan yang bekerja di sektor domestik PRTPembantu Rumah Tangga memperoleh upah lebih rendah dibanding buruh migran laki-laki. Karena waktu kerja yang ketat, banyak buruh migran dihalang- halangi untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. Lebih dari itu jumlah buruh migran Indonesia yang sebagian besar perempuan dalam konstruksi masyarakat patriarkis rentan terhadap tindak kekerasan yang berbasis pada diskriminasi gender. Kasus-kasus pelecehan seksual, kekerasan fisik, perkosaan yang mengakibatkan kematian masih sering dialami buruh migran di Indonesia. Pemerintah memang telah meratifikasi beberapa instrumen internasional yang terkait dengan diskriminasi misalnya, CEDAWKonvensi untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan berbagai Konvensi ILO. Meskipun demikian implementasi kebijakan masih mengandung semangat diskriminasi bahkan kebijakan penempatan buruh migran sudah mengarah pada kebijakan perdagangan manusia. Dengan adanya kecanggihan teknologi komunikasi, kondisi tenaga kerja Indonesia yang tengah bekerja di luar negeri saat ini dapat diketahui oleh masyarakat umum. Segala informasi mengenai permasalahan tenaga kerja Universitas Sumatera Utara Indonesia yang sedang bekerja di luar negeri dapat dengan mudah diketahui oleh umum melalui berbagai media baik media elektronik maupun media cetak. Kasus Nirmala Bonat di Malaysia, Barokah di Singapura, 63 Mengenai perlunya penegakan hak-hak asasi manusia dalam penempatan dan perlindungan buruh migran Indonesia dapat dilihat antara lain dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 028-029PUU-IV2006, yang terdapat pasal dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 yang diajukan untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku mengikat yaitu Pasal 35 butir a dan Pasal 35 butir b. Seperti diketahui bersama, pengajuan Judicial Review diajukan dan yang terakhir kasus Ruyati yang dipancung di Saudi Arabia yang bahkan kemudian kasus tersebut menimbulkan pro kontra akan pemberian gelar doctor honoris causa kepada Raja Kondisi buruh migran Indonesia adalah bahwa selama ini buruh tidak terlindungi dengan berlakunya Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Secara umum dan garis besar, undang-undang tersebut hanya mengatur masalah-masalah teknis persiapan dan pemberangkatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Undang-undang tersebut lebih tepat disarankan diberlakukan bagi pengusaha penempatan tenaga kerja Indonesia di sektor swasta dibandingkan dengan mengatur perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Akibatnya hal penting yang menyangkut hak asasi manusia dari seorang pekerja sering diabaikan yang oleh karenanya kemudian diajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi mengenai batasan usia buruh migran Indonesia. 63 Teguh Wardoyo, “Diplomasi Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri” Jurnal Diplomasi, Vol.2 No.1, Maret 2010, hal.1. Universitas Sumatera Utara ke Mahkamah Konstitusi dikarenakan alasan bahwa pasal-pasal yang diajukan dalam Judicial Review tidak memenuhi atau bertentangan dengan pasal-pasal hak- hak asasi manusia yang diatur di dalam Undang-undang Dasar 1945. Hal tersebut demikian pula terjadi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas. Pasal 35 butir a dan Pasal 35 butir b dianggap melanggar ketentuan mengenai hak setiap warganegara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, sehingga batasan umur minimal 21 dua puluh satu tahun di dalam pasal tersebut dinyatakan melanggar hak warga negara yang berumur kurang dari batasan usia tersebut. Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, batasan usia dewasa untuk pekerja adalah minimal 18 tahun. Sebagian besar tenaga kerja Indonesia yang dikirim ke luar negeri merupakan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor informal, seperti penata laksana rumah tangga dan supir. Prosentase tenaga kerja Indonesia di sector informal mencapai 64. 64 Hal ini tidak dapat dilepaskan dari profil tenaga kerja Indonesia yang sebagian besar bekerja 51,94 dari total 113,74 juta angkatan kerja Indonesia tidak lulus sekolah dasar dan berdampak langsung pada mutu dan kompetensi sumber daya manusia yang kita miliki. 65 64 Data BNP2TKI Tahun 2008 65 Paparan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada Rapat Kerja Kepala Perwakilan Republik Indonesia tahun 2010 Sedangkan kondisi pendidikan yang minim dan rendahnya tingkat kompetensi yang ada rentan menjadi pemicu timbulnya masalah-masalah bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri ketika berhadapan langsung dengan pengguna jasanya dan pekerjaannya. Namun demikian, di sisi lain pada sektor formal, jenis-jenis profesi Universitas Sumatera Utara yang diminati tenaga kerja Indonesia adalah pelaut, perawat, terapis, suster, perawat lansia caregiver, professional pada industry migas, professional di bidang teknologi informasi, dan pekerja pada kapal pesiar. Masalah yang kedua mengenai perlunya kerja layak bagi pekerja rumah tangga a deceant work for migrant workers yang belum diatur secara khusus dalam Konvensi ILO yang ke 99. 66 Pada banyak hal, pekerja rumah tangga terlalu banyak bekerja, bergaji rendah dan tanpa perlindungan. Banyaknya penganiayaan dan pelecehan, Pekerjaan rumah tangga adalah salah satu pekerjaan tertua dan paling penting bagi jutaan wanita di seluruh dunia. Hal ini berakar pada sejarah global perbudakan, kolonialisme dan bentuk-bentuk lain perbudakan. Dalam masyarakat kontemporer, pekerjaan seperti bekerja sebagai penata laksana rumah tangga di rumah sangat penting agar ekonomi di luar rumah tangga berfungsi. Dua dekade terakhir, permintaan untuk pekerjaan penata laksana rumah tangga telah meningkat di mana-mana. Penggabungan dalam jumlah yang besar bagi perempuan di angkatan kerja, penuaan masyarakat, intensifikasi pekerjaan dan sering atau kurangnya memadainya kebijakan-kebijakan untuk memfasilitasi rekonsiliasi dalam kehidupan keluarga dan pekerjaan mendukung tren ini. Hari ini, pekerja rumah tangga telah menjadi bagian dari sebagian besar dari angkatan kerja, terutama di negara-negara berkembang, dan jumlah mereka telah meningkat, bahkan di dunia industri. Akan tetapi pekerjaan rumah tangga adalah undervalued dan kurang diatur dalam peraturan perundang-undangan. 66 ILO 99 th session, 2010, Berita Acara, Konferensi Perburuhan Internasional ILC Sesi 31, 1948, Lampiran XVIII, Resolusi yang diadopsi oleh Konferensi hal, 545-546 Universitas Sumatera Utara khususnya pekerja rumah tangga yang bekerja sebagai buruh migran, secara teratur masuk dalam headline tajuk utama di banyak media. Di banyak negara, pekerjaan rumah tangga sangat banyak dilakukan oleh pekerja anak. Keadaan ini disebabkan sebagian fakta bahwa pekerjaan rumah tangga tetap dibayar, namun hampir tak terlihat sebagai bentuk lapangan kerja di banyak negara. Pekerjaan rumah tangga tidak berlangsung di sebuah pabrik atau kantor, tetapi di rumah. Para pekerja rumah tangga bukanlah laki-laki pencari nafkah, tetapi untuk perempuan, dan sebagian di antaranya masih berusia kanak-kanak. Mereka tidak bekerja bersama lainnya rekan kerja, namun dalam isolasi di balik pintu tertutup. Pekerjaan mereka tidak bertujuan untuk menghasilkan nilai tambah, namun untuk membantu mengurus jutaan rumah tangga. Penegakan hukum yang dilakukan terhadap pemberlakuan Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Sebagian besar dari masalah para pekerja atau buruh migrant Indonesia adalah mengenai statusnya yang illegal. Pada hampir semua bagian daerah yang berbatasan dengan negara lain, terutama Malaysia rawan terdapat kondisi seperti ini. Oleh karenanya kemudian diberlakukan moratorium atau penghentian sementara pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Malaysia sebagai kebijakan luar negeri Indonesia. Dalam upaya meningkatkan perlindungan dan pelayanan buruh migran Indonesia di Malaysia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi membentuk tim negosiator yang membahas review MoU penempatan TKLN Tenaga Kerja Luar Negeri ke Malaysia. Moratorium atau penghentian sementara penempatan Universitas Sumatera Utara tenaga kerja Indonesia TKI penata laksana rumah tangga domestic worker ke Malaysia sejak 26 Juni 2009 dimaksudkan agar kedua negara melakukan pembenahan dalam mekanisme penempatan serta perlindungan buruh migran. Hal itu merupakan salah satu butir yang dihasilkan dalam Rapat Koordinasi Penyempurnaan Mekanisme Penempatan dan Perlindungan TKI di Malaysia yang diselenggarakan di Kantor Kemnakertrans RI, yang diikuti 99 orang peserta dari instansi terkait di bidang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia. Dengan delegasi dari kedua belah pihak, yaitu dari pihak Malaysia terdiri dari Pemerintah Malaysia, Kepolisian Malaysia, Perwakilan Republik Indonesia di Malaysia dan agensi resmi di Malaysia. Dari pihak Indonesia, terdiri dari unsur pemerintahKementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, Kepolisan RI dan Kementerian terkait lainnya dan asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta PPTKIS. Selain moratorium, Team Joint Working Group merupakan suatu mekanisme yang diciptakan sejak MoU 2006 yang mengatur mengenai penempatan dan perlindungan TKI di Malaysia khususnya di sektor informal, yaitu yang bekerja sebagai penatalaksana rumah tangga atau biasa disebut dengan pembantu rumah tangga. Team Joint Working Group ini merupakan suatu forum konsultasi berkala dari kedua pemerintah, yaitu dari pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia. Unsur-unsur dari delegasi Indonesia adalah dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga kerja dan Transmigrasi, BNP2TKI dan yang terakhir dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Universitas Sumatera Utara Perlindungan Anak. Unsur-unsur delegasi dari pihak Malaysia seperti jika halnya Indonesia maka adalah Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri Malaysia, dan Kementerian Buruh Malaysia, yang tugas utamanya adalah memonitor atau memantau dan mengevaluasi pengiriman buruh migran dari Indonesia ke Malaysia hingga selama mereka masih bekerja di sana atau memantau dan mengevaluasi dari implementasi MoU di kedua negara tersebut. Sampai sejauh mana kedua pemerintahan ini melaksanakan apa yang sudah disepakati dari MoU tahun 2006 ini. Selain itu, Team Joint Working Group ini diartikan sebagai forum negosiasi antar kedua pemerintahan dalam merumuskan amandemen MoU tahun 2006. Setelah melakukan pembahasan review MoU, Joint Working Group JWG yang terdiri dari delegasi Perwakilan Indonesia dan Malaysia segera akan membentuk Komite Bersama Joint Committee yang akan memantau pelaksanaan pelayanan dan perlindungan buruh migran di Malaysia. Tugas dan fungsi dari komite bersama adalah bertanggung jawab dalam perencanaan, pendataan dan monitoring uang meliputi pembinaan dan training, pelayanan, monitoring evaluasi, penindakan dan bantuan hukum serta pemfasilitasi pemulangan termasuk pengurusan asuransi dan ganti rugi bagi buruh migran. Hal yang diutamakan dari MoU tahun 2006 adalah mengenai 67 67 Jerry Indrawan, “Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Melindungi Buruh Migran Indonesia di Malaysia,” seperti dikutip dari : Diberikannya satu hari libur dalam seminggu, Save Keeping Pasport atau paspor yang bisa dipegang atau dimiliki dan disimpan oleh buruh migran Indonesia, bukan dipegang oleh atau dimiliki dan disimpan oleh majikan, standarisasi gaji atau upah minimum bagi buruh migran Indonesia, Cost Structure adalah http:wwwpolitikana.com Universitas Sumatera Utara pembiayaan-pembiayaan yang dikeluarkan mulai dari perekrutan sampai dengan diberangkatkannya buruh migran tersebut ke Malaysia. MoU tahun 2006 mengenai penempatan dan perlindungan TKI di Malaysia ini sudah ada dua hal yang berhasil disepakati. Pertama, mengenai pemberian satu hari kerja dalam satu minggu kerja. Jika buruh migran yang bersangkutan tidak ingin mengambil satu hari libur tersebut maka hal itu bisa dikompensasikan dalam bentuk uang. Kedua, mengenai Save Keeping Pasport atau paspor miliknya bisa disimpan dan dimiliki oleh buruh migran itu sendiri. Jika dulu paspor tersebut dipegang dan disimpan oleh majikan dengan tujuan untuk mencegah agar tidak bisa melarikan atau kabur, tetapi dengan telah disepakatinya Save Keeping Pasport, tenaga kerja Indonesia sudah bisa menyimpan sendiri paspor mereka dan majikan mereka pun mendapatkan copy dari paspor milik dari tenaga kerja Indonesia tersebut. Hal pertama yang masih bisa dibilang masih belum mencapai kesepakatan adalah mengenai masalah standarisasi gaji atau upah minimum. Pemerintah Malaysia bersikukuh untuk tidak ingin menciptakan suatu ketentuan upah minimum. Dalam penentuan upah minimum tersebut pihak Malaysia lebih menyerahkan kepada keadaan pasar. Pasar disini adalah standar yang ditetapkan oleh calon majikan dalam memberikan gaji kepada buruh migran. Lain halnya dengan Indonesia, demi kepentingan nasional terutama demi kepentingan tenaga kerja Indonesia itu sendiri, Indonesia menginginkan suatu kepastian mengenai standarisasi gaji tersebut karena banyak dari pihak Malaysia yang tidak bisa memberikan upah yang layak bagi para buruh migran. Universitas Sumatera Utara Penyebaran perwakilan-perwakilan diplomatik di Malaysia merupakan upaya Pemerintah Indonesia untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang menimpa warga negaranya di Malaysia. Mulai dari Kedutaan Besar Republik Indonesia yang berkedudukan di Kuala Lumpur, juga ada Konsulat Jenderal di Penang, Konsulat Jenderal di Johor Baru, Konsulat Jenderal di Serawak atau berkedudukan di Kuching, atau juga ada Konsulat Jenderal di Sabah berkedudukan di Kota Kinabali dan juga ada penghubung di Tawau. Tahun demi tahun memang perhatian Pemerintah Pusat di Jakarta kepada perwakilannya terus meningkat, karena harus disesuaikan dengan jumlah orang-orang Indonesia yang harus dilayani di perwakilan-perwakilan ini. Pelayanan yang diberikan oleh perwakilan-perwakilan ini, yang terbanyak adalah di KBRI Kuala Lumpur. Rata- rata sekarang ini pada kondisi 700 orang per hari, bahkan kalau hari-hari setelah weekend melebihi dari 1.000 sampai dengan 2.000. di Penang rata-rata antara 100 sampai 200 oranghari. Di Johor Bahru antara 200 sampai 300 orang yang dilayani bahkan kadang-kadang 400. Kemudian juga ada yang di Kuching, Serawak antara 100-200. Kemudian juga di Kota Kinabalu rutin mereka melayani antara 100 sampai 200, karena ada program pemutihan, maka bisa dalam sari hari 1.000 orang. Kemudian di Tawau juga, mereka tidak saja hanya melayani perpanjangan dokumen, tetapi terlebih lagi mereka sebagai pintu keluarmasuk di perbatasan dengan Kalimantan Timur. Di samping pelayanan yang sifatnya rutin, banyak juga persoalan yang dihadapi oleh orang Indonesia di Malaysia, yang memerlukan kehadiran dan penanganan dari para petugas Perwakilan, terutama para WNI yang ilegal. Ada Universitas Sumatera Utara berbagai modus operandi tentang keilegalan mereka ini, ada ilegal yang sebetulnya masuk resmi dengan paspor sebagai turis tetapi kemudian mereka bekerja tanpa prosedur, tanpa kontrak kerja, tanpa ijin bekerja, dan akhirnya mereka over stay dan menjadi ilegal. Ada cukup banyak kasus di mana yang bersangkutan resmi masuk dengan agennya tetapi karena ada permasalahan dengan majikan dan sebagainya kemudian melarikan diri dan menjadi ilegal. Tenaga kerja Indonesia yang ilegal ada juga yang memang betul-betul diselundupkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, hal ini arahnya sudah masuk kepada trafficking in person, tapi mereka juga bekerja secara ilegal. Terdapat juga tenaga kerja Indonesia yang memang habis kontraknya, habis masa berlakunya akan tetapi juga dia terus berpindah-pindah, sambil bekerja dan tidak pernah mengurus perpanjangan dokumen, inipun juga akhirnya menjadi ilegal. Peran Perwakilan di tempat pemulangan menjadi penting, karena harus melakukan pendataan dan checking terhadap mereka ini, untuk memastikan tentang keaslian kewarganegaraannya, sekaligus tentang kesehatan dan hak-hak dari WNI tersebut. Perlindungan terhadap WNI tersebut, tidak saja mereka harus dilayani secara rutin, tetapi juga munculnya kasus-kasus yang melibatkan WNI, baik mereka yang menjadi korban, tetapi juga mereka yang menjadi pelaku kejahatan. 68 Nasib pembantu rumah tangga di Malaysia berdasarkan aturan-aturan pemerintah Malaysia terhadap buruh migran secara keseluruhan, dalam sektor 68 Jumlah WNITKI yang ditampung dalam shelter KBRI Kuala Lumpur 2008 2009 dengan permasalahan 1. Gaji tidak dibayar 209 211 2. Kondisi kerja tidak sesuaipenipuan 287 380 3. Pelecehan seksual 23 53 4. Penyiksaan 93 114 5. Terlantar Ilegal 82 177 6. Trafficking Underage 57 76 7. Lain-lain Unfit 103 179 Jumlah Kasus 854 1.170. Sumber data: Jurnal Diplomasi Volume 2: 2010, h.10. Universitas Sumatera Utara informal banyak dibutuhkan tenaga buruh migran unskilled yaitu sektor penata laksana rumah tangga atau pembantu rumah tangga PRT. Sering terjadi kasus- kasus hukum di wilayah ini karena pemerintah Malaysia menempatkan sektor kerja PRT sebagai sektor informal yang tidak dicakup dalam peraturan ketenagakerjaan. Siti Hajar dan Nirmala Bonat hanyalah dua, yang ketahuan, dari ratusan lebih kasus kekerasan yang terjadi pada PRT migran Indonesia di Malaysia. Menurut Employment Act tahun 1955, 69 69 Malaysian Employment Act, 1955. PRT adalah budak yang tidak memiliki hak. Dari aspek kebijakan publik pemerintah Malaysia sendiri secara eksplisit tidak berkeinginan untuk melindungi para PRT yang berasal dari buruh migran. Dalam Employment Act Section,ditegaskan bahwa hak PRT yang diakui hanyalah yang terkait dengan pemutusan hubungan kerja dengan mereka. Tidak ada pasal lain dalam undang-undang tersebut yang terkait dengan PRT. Kondisi itu membuat mereka sering mendapat perlakuan diskriminatif, karena memang hak-hak mereka sebetulnya tidak ada, dan kondisi ini juga berbeda sekali dengan para buruh migran di sektor lain, maupun dari negara lain. Untuk mengacu pada pekerja rumah tangga, Employment Act itu sendiri masih menggunakan kata Inggris “servants” yang konotasinya kurang etis. Dalam prakteknya, konotasi ini tak berbeda dengan definisi “budak”, karena sekalipun dibatasi oleh kontrak waktu kerja dua tahun, mereka pada dasarnya adalah properti dari dan tunduk pada majikan yang bersangkutan. Universitas Sumatera Utara Dalam Immigration Act tahun 2002, 70 70 Malaysia Immigration Act, 2002. tidak banyak disinggung tentang perlindungan PRT. Salah satu aturan yang dimuat dalam undang-undang tersebut adalah single entry policy, yang menetapkan bahwa PRT migran yang masuk ke Malaysia hanya boleh didaftarkan pada satu orang majikan saja. Ini berarti PRT tidak dapat dan tidak memiliki hak untuk memilih majikan yang dikehendakinya. Hal sebaliknya terjadi pada majikan, mereka berhak mengganti pekerja yang tidak disukainya. Kekuasaan majikan terhadap PRT adalah mutlak. Jika seorang PRT ingin pindah majikan, ia harus kembali ke Indonesia terlebih dulu. Setelah itu, ia barulah diizinkan kembali ke Malysia dengan izin kerja yang baru. Kekuasaan mutlak yang diberikan undang-undang imigrasi membuat PRT yang diperlakukan sewenang-wenang oleh majikan tidak punya akses untuk mendapatkan keadilan. Hal ini terjadi karena visa dan izin kerja yang dimilikinya terkait dengan nama majikannya. Majikan yang tidak menyukai PRT bisa dengan mudah mengakhiri kontrak dan melaporkannya pada pihak imigrasi untuk membatalkan visa dan ijin kerja PRT tersebut, karena hanya majikan yang memiliki kuasa untuk mengurus visa dan izin kerja. PRT yang dibatalkan visa dan izinnya oleh majikan kehilangan haknya untuk tinggal dan bekerja di Malaysia. Meskipun PRT lari dari majikan karena mengalami tindak kekerasan misalnya, PRT tersebut akan menjadi ilegal dan dapat dikenakan hukuman penjara, denda, dan akhirnya dideportasi. Ketentuan imigrasi dalam hal ini tidak pandang bulu. Hal tersebut berarti, tidak ada kesempatan bagi PRT untuk mendapatkan keadilan, karena ketentuan imigrasi Malaysia memiliki kecenderungan untuk menghukum korban, bukannya pelaku. Universitas Sumatera Utara Pada saat yang sama, ketika PRT mendapat jalan untuk membuat pengaduan tentang tindak kekerasan atau yang gajinya tidak dibayarkan, yang dilakukan oleh majikannya, pengaduan itu akan diproses dan diputuskan oleh pengadilan. Dalam hal ini, pengadilannya sendiri membutuhkan waktu dan proses yang panjang. Parahnya lagi, pada kasus ini ada klausul dalam Employment Act yang menetapkan bahwa pekerja asing yang tengah menyelesaikan kasusnya di pengadilan tidak diperbolehkan bekerja. Pekerja asing juga tetap harus membayar visa khusus sebesar RM100 untuk setiap bulan selama menunggu kasus tersebut selesai. Situasi ini terjadi pada Nirmala Bonat 71 71 Nirmala Bonat adalah tenaga kerja Indonesia yang mendapat perlakuan buruk dari majikannya sewaktu bekerja tahun 2004. Nirmala Bonat, 24, mantan tenaga kerja Indonesia TKI asal Nusa Tenggara Timur NTT yang pernah disiksa majikan di Malaysia pada 2004 mengaku masih trauma. Ketika masih bekerja di Malaysia, perempuan asal Desa Tuapakas, Kecamatan Kualin, Kabupaten Timor Tengah Selatan itu disiksa majikannya dengan cara menyiramnya dengan air panas dan menyeterika bagian-bagian tubuhnya. Bekas penyiksaan itu sampai kini masih melekat di tubuhnya. Meski begitu, setelah kembali ke Indonesia, Nirmala tidak pernah menerima bantuan dari pemerintah setempat. Seperti dikutip dari “Trauma Masih Hinggapi Nirmala Bonat,” pada yang diproses di pengadilan pada 21 Mei 2004 di Sessions Court dan baru pada November 2010 lalu kasusnya diputus pengadilan. Majikan Nirmala dikenai hukuman 18 tahun penjara. Akan tetapi karena membayar jaminan sebesar RM200.000, majikan Nirmala bisa bebas tinggal di luar penjara. Pihak Malaysia tidak hanya menutup mata terhadap kondisi yang dialami PRT migran kita, tetapi secara tidak langsung melegalkannya. Kepedulian Malaysia terhadap kebijakannya semata-mata hanya untuk melindungi kepentingan para majikan. Sebab bagi Malaysia, PRT migran adalah orang asing yang bukan saja harus dikontrol, tetapi juga tidak layak untuk mendapat perlindungan. Tidak heran jika kebijakan negaranya dalam hal PRT migran cenderung melegalkan perbudakan dan menghukum para korban yang http:www.mediaindonesia.com pada 19 November 2010. Universitas Sumatera Utara mencari keadilan. Ketika pemerintah Malaysia tidak punya keinginan untuk melindungi PRT kita, harapan untuk perlindungan mereka seharusnya disandangkan kepada Pemerintah Indonesia. Ironisnya, posisi Pemerintah Indonesia justru mendukung kebijakan yang dibuat Malaysia, sebab Pemerintah Malaysia memberikan izin kepada majikan untuk menahan paspor PRT yang dipekerjakannya, sesuai dengan MoU Tahun 2006. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka hal yang menjadi diskursus dari pokok permasalahan yang ketiga adalah masih perlunya peran negara melalui Pemerintah khususnya perwakilan- perwakilan Indonesia yang ada di perbatasan negara Malaysia dan Indonesia untuk melindungi warga negara Indonesia yang sedang dalam kesulitan ataupun yang sengaja mempersulit diri, terutama tentu kepada para pekerja rumah tangga yang bekerja bahkan tinggal secara ilegal pula di Malaysia. Masalah yang keempat adalah adanya conflict of interest dari dua instansi Pemerintah yang sama-sama menangani masalah perlindungan dan penempatan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri, yaitu Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri merupakan lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menangani masalah-masalah perlindungan dan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, yang secara organisatoris kedudukannya tidak di bawah menteri, akan tetapi bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Perbedaan kepentingan dan tanggung jawab masing-masing dalam mengurus masalah-masalah perlindungan tenaga kerja Indonesia yang akan Universitas Sumatera Utara ditempatkan di luar negeri kerap kali terjadi. Pada satu sisi, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi merupakan lembaga yang mengambil kebijakan dalam pengaturan masalah perlindungan dan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, dan dengan adanya otonomi daerah maka proses rekrutmen dan kantong- kantong tenaga kerja Indonesia di daerah menjadi tanggung jawab dari Pemerintah Daerah, dalam hal ini Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di tingkat 2 KabupatenKotamadya dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di tingkat 1 atau Propinsi. Namun demikian di sisi lain, BNP2TKI tetap dapat mengadakan proses rekrutmen dan penawaran pekerjaan dari luar negeri serta mengurus pemberangkatan dan terutama pemulangan tenaga kerja Indonesia di luar negeri di terminal khusus TKI dengan kewenangan penuh. Sedangkan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tetap mempunyai Direktorat Jenderal Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Ditjen PPTKLN yang tugasnya juga menangani masalah-masalah penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, juga menangani masalah- masalah pembelaan dan advokasi apabila terjadi masalah tenaga kerja Indonesia di luar negeri dan mengatur penempatan atase-atase dan konsulat jenderal tenaga kerja yang berada satu atap di bawah kedutaan besar maupun konsulat jenderal. Akibatnya apabila terjadi permasalahan tenaga kerja Indonesia di luar negeri kemudian kedua instansi pemerintah tersebut saling berebut kepentingan atau sebaliknya saling melemparkan masalah. Universitas Sumatera Utara

C. Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia