Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia

C. Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia

Berdasarkan Memorandum of Understanding Antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia Perlindungan terhadap hak-hak dasar TKI di Malaysia telah dibentuk oleh pemerintah. Bentuk perlindungan yang sebelumnya telah disepakati Indonesia dan Malaysia adalah dengan membuat perjanjian berupa Memorandum of Understanding MoU TKI formal, yakni TKI yang berkerja disektor pertambangan, pertanian dan pabrik kemudian Memorandum of Understanding TKI informal, yakni TKI yang berkerja pada sektor rumah tangga. Memorandum of Understanding MoU perlindungan TKI formal ditandatangani pada 10 Mei 2004 untuk menggantikan kedudukan nota penempatan TKI formal. Sebelum ditandatanganinya Memorandum of Understanding MoU penempatan TKI di Malaysia menggunakan “pertukaran nota mengenai prosedur penempatan TKI di Indonesia selain dari penatalaksana rumah tangga”. Kemudian penandatanganan Memorandum of Understanding MoU tentang “The recruitment and placement of Indonesian domestic workers ” dilakukan di Bali pada 13 Mei 2006. Berdasarkan konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun 1969 pasal 6 menyinggung kemampuan negara untuk membuat perjanjian dimana dinyatakan : “Setiap Negara berdaulat memiliki kemampuan untuk membuat perjanjian”. 72 Kerjasama G-to-G antara Indonesia dengan Malaysia sebagai dasar perlindungan tehadap TKI di negara tersebut dapat diupayakan oleh Kemenlu dengan membentuk aturan khusus yang dapat melindungi para TKI Malaysia, seperti pembentukan Memorandum of Understanding MOU dengan pemerintah 72 Soemaryo Suryokusumo.Pembuatan dan Berlakunya Perjanjian.Yogyakarta, UGM 2003 hal.2 Universitas Sumatera Utara Malaysia yang selama ini tidak mau menandatangani nota kesepakatan tesebut. Perjanjian bilateral ini penting untuk memberi perlindungan kepada TKI dari tindak kekerasan ketika bekerja. Apalagi Malaysia tidak memiliki aturan hukum yang khusus mengurusi para TKI yang bekerja sebagai Panata laksana Rumah Tangga karena sifatnya yang informal dan tidak diatur secara resmi dalam aturan ketenagakerjaan di Malaysia. 73 Apabila diperlukan, pemerintah Indonesia dapat menerapkan moratorium penangguhan pengiriman TKI khususnya yang berprofesi sebagai PRT di Malaysia. Hal ini sebagai bagian dari diplomasi politik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai jawaban sekaligus tekanan terhadap penolakan pemerintah Malaysia untuk menyetujui MOU tersebut. 74 Kerjasama G-to-G antara Indonesia dengan sesama negara pengirim tenaga kerja dapat diwujudkan dalam bentuk forum negara-negara pengirim sending countries forum untuk membahas berbagai hal penting seperti standar gaji para pekerja, perumahan, jaminan kesehatan, asuransi, dan sebagainya. Forum ini penting untuk dilaksanakan karena dapat menjadi wadah untuk saling berbagi pengalaman antara negara pengirim tenaga kerja berdasarkan kebijakan yang diterapkan di masing-masing negara. Selain itu, juga dapat saling berkonsultasi terhadap isu-isu yang di hadapi terkait dengan masalah para pekerja di luar negeri untuk bersama-sama mencari solusi atas masalah tersebut. Hasilnya, 73 http:dspace. Widyatama.ac.id bitstream10364517bab1.pdf, diakses pada tanggal 11 Oktober 2012 pada pukul 18.20 WIB 74 http:sambelalap. Wordpress.com20101109 bursa ketenagakerjaan Indonesia- Jurnal TKI – Luar Negeri, diakses pada tanggal 28 Oktober 2012 pada puku 07.00 am WIB Universitas Sumatera Utara akan meningkatkan bargaining position bagi sending countries, terutama bagi Indonesia. Kerjasama dengan lembaga Non Pemerintah, Lembaga Internasional dan Organisasi Keagamaan. Lembaga-lembaga non pemerintah atau sering disebut Lembaga Swadaya Masyarakat LSM berperan penting sebagai pengawas dan pengontrol segala kegiatan pengiriman dan penempatan TKI ke Malaysia. LSM ini berfungsi sebagai mata dan telinga serta menjadi suara masyarakat yang mengoreksi tindakan-tindakan pemerintah Indonesia dalam menjalankan kewajibannya sekaligus membantu pemerintah dalam menangani kasus-kasus TKW. Sehingga, koordinasi antara pemerintah dan LSM sangat perlu dilakukan demi kesuksesan upaya perlindungan TKI Indonesia di Malaysia. Sebagai contoh LSM Migrant Care yang membantu permasalahan TKI terutama yang berada di luar penampungan dan belum ditangani oleh KBRI. Upaya yang dilakukan antara lain dengan membantu TKI dalam pelayanan konseling, advokasi dengan kerjasama KBRI. Sedangkan di dalam negeri Migrant Care menjadi pengawas terhadap kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam pelaksanaan pengiriman TKI. 75 Koordinasi dengan organisasi internasional juga penting dilakukan oleh pemeintah karena memiliki peran yang hampir sama dengan LSM. Hanya saja peranan organisasi internasional ini lebih bersifat menyeluruh dan mendunia. IOM sebagai salah satu organisasi internasional banyak memberikan bantuan kerjasama dalam menangani TKI bermasalah di luar negeri dengan memberikan pelayanan 75 Ibid Universitas Sumatera Utara konseling dan membantu memulangkan TKI ke tanah air. Sedangkan organisasi keagamaan dalam hal ini lebih berperan secara spesifik. Latar belakang bangsa Malaysia yang merupakan mayoritas muslim dapat digunakan pemerintah sebagai alasan untuk menerjunkan para petinggi organisasi keagamaan dalam melakukan second track diplomacy. Kerjasama pemerintah dengan pihak-pihak di luar pemerintah dalam membantu penanganan tenaga kerja di luar negeri terlihat dalam kengiatan peningkatan sosialisasi BNP2TKI yang melibatkan tokoh masyarakat, organisasi buruh, LSM dan tokoh-tokoh agama dalam suatu forum yang dinamai dialog round table. forum ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik dalam hal penanganan tenaga kerja bermasalah di luar negeri. Upaya perlindungan bagi WNI khusunya para TKI dilaksanakan oleh Kementerian Luar Negeri melalui berbagai cara seperti : 76 1. Melakukan Koordinasi dengan pihak terkait Dalam hal pelaksanaan perlindungan terhadap para TKI Indonesia di Malaysia, Kementerian Luar negeri Indonesia sebagai pelaksana urusan-urusan diluar negeri berkoordinasi dengan kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta BNP2TKI sebagai badan khusus yang dibentuk di dalam negeri untuk saling membantu dalam menangani masalah TKI di Malaysia sebagai upaya perlindungan bagi para TKI. Bentuk koordinasi ini ditunjukkan dengan seringnya Kemenlu mengadakan rapat dengan BNP2TKI yang secara teknis menangani pengiriman dan penempatan TKI ke luar negeri. Dalam pertemuan ini, kemenlu 76 Yanuar Ikbar, Konsep dan Teori, Bandung :PT. Refika Aditama,2006, hal 41 Universitas Sumatera Utara dan BNP2TKI saling bertukar informasi dan data tentang TKI yang dikirim secara prosedural oleh BNP2TKI. Data ini sangat dibutuhkan oleh perwakilan RI di Malaysia sebagai penunjang dalam perlindungan dan penyelesaian masalah- masalah TKI. Dengan data ini, perwakilan RI dapat mengetahui keberadaan TKI di Malaysia yang diharapkan dapat memudahkan KBRI untuk mengontrol para TKI ini. Namun, hal ini tidak mencakup TKI yang datang secara ilegal, sehingga pelayanan dan pelaksanaan perlindungan bagi TKI illegal ini kemungkinannya sangat kecil untuk dilakukan. Hal ini juga mengakibatkan pelaksanaan perlindungan bagi TKI di Malaysia tidak dapat di lakukan secara merata dan menyeluruh. Bentuk koordinasi antara perwakilan RI dan BNP2TKI juga ditunjukkan dalam kasus kekerasan yang menimpa Nirmala Bonat. Dalam hal ini, perwakilan RI di Malaysia telah melakukan koordinasi dengan BNP2TKI terkait perkembangan kasus maupun perawatan terhadap Nirmala Bonat tersebut. Perwakilan RI terus mengabarkan upaya-upaya hukum yang dilakukan untuk membela hak-hak Nirmala Bonat terhadap pihak BNP2TKI. Begitu pula BNP2TKI, juga akan terus memonitor agar korban mendapatkan perawatan maksimal agar dapat segera pulih kesehatanya. Hubungan kerja sama antara Indonesia dan Malaysia dalam hal pengiriman tenaga kerja pada dasarnya tidak pernah dilandasi suatu perjanjian bilateral diantara keduanya sejak proses pengiriman tersebut dilaksanakan. Olehnya itu, Kementerian Luar Negeri bersama dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi terus berupaya mendorong terbentuknya perjanjian Universitas Sumatera Utara bilateral di bidang penempatan dan perlindungan TKI antara Indonesia dengan negara Malaysia. Hal ini pada dasarnya merupakan tugas dan kewenangan dari Kemenlu dan perwakilannnya di Malaysia. 77 Berbagai upaya dilakukan untuk membentuk pejanjian bilateral dengan pemerintah Malaysia. Salah satunya adalah upaya Kemenlu untuk mengadakan pertemuan awal tingkat teknis diantara Pemerintah Indonesia dan Malaysia. Namun Kemenakertrans terus berupaya mendorong Kementerian luar Negeri untuk segera menuntaskan pembicaraan nota kesepahaman MoU dengan pemerintah Malaysia seiring makin maraknya kasus kekerasan yang dialami oleh para TKI di Malaysia. Sebagaimana di ketahui bahwa selama ini pengiriman Tenaga Kerja Wanita yang dilakukan oleh Indonesia ke Malaysia tidak pernah didasari oleh suatu perjanjian bilateral diantara kedua negara yang mengatur tentang hal tersebut. Ditambah lagi kedua negara belum meratifikasi konvensi ILO untuk perlindungan pembantu rumah tangga. Deputi perlindungan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tebaga Kerja Indonesia BNP2TKI, Lisna Y Poeloengan menengaskan bahwa “MoU memang bukan jaminan perlindungan TKI akan membaik namun ia bisa menjadi instrument perbaikan”. Dari pernyataan tersebut, Lisna ingin menunjukkan bahwa MoU ini penting untuk segera diupayakan oleh pemerintah Indonesia jikka ingin mengadakan perbaikan dalam pengiriman TKI ke Malaysia. Upaya ini juga merupakan salah satu bentuk dari diplomasi perlindungan TKI yang terus diupayakan oleh pemerintah. 77 Ibid Universitas Sumatera Utara Seperti yang disampaikan oleh juru bicara Kemlu Michel Tene, bahwa “rencana pertemuan tersebut untuk membahas masalah ketenagakerjaan, Khususnya domestic worker”. Upaya ini merupakan salah satu upaya diplomasi yang dilakukan oleh para diplomat Indonesia untuk melindungi para TKI di Malaysia. Namun, diplomasi Indonesia pada kenyataannya belum cukup berhasil mempengaruhi kebijakan pemerintah Malaysia, sehingga sampai saat ini Malaysia masih menjadi salah satu negara penerima jasa TKI Indonesia yang belum memiliki MoU dengan Indonesia dalam hal pengiriman TKI. Dalam hal ini, kecakapan diplomat Indonesia masih dipertanyakan untuk menemukan momentum yang tepat dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah Malaysia. Langkah perlindungan bagi TKI tersebut jika dikaitkan dengan rekomendasi dari Komite CEDAW masih sangat lemah. Kelemahan Ini terlihat dari belum adanya perjanjian bilateral MoU yang mampu diwujudkan oleh pemerintah Indonesia dengan Malaysia. Padahal perjanjian bilateral ini sangat penting untuk mengatur masalah perlindungan TKI di Malaysia. Disamping itu juga dapat menunjukkan kuatnya hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia. Model perlindungan yang dilakukan pemerintah Indonesia selama ini dengan mengupayakan MoU dengan negara penerima sebenarnya juga tidaklah cukup, dikarenakan standar MoU tidak mengatur tentang prinsip perlindungan di dalam kebijakan nasional, sehingga MoU yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia hanya dominan mengatur tentang kerjasama antara PJTKI dan Negara Tujuan, dan tidak signifikan mengatur tentang perlindungan pekerja migran. Karena itu, dalam Universitas Sumatera Utara rangka pelaksanaan pemberian perlindungan bagi TKI di luar negeri, pemerintah Indonesia sudah selayaknya mengupayakan ratifikasi Konvensi Buruh Migran. Langkah untuk meratifikasi Konvensi Buruh Migran PBB 1990 belum juga ditunjukkan oleh Pemerintah Indonesia. Berbagai alasan pun dikemukakan oleh pemerintah terkait hal ini, diantaranya : 1. Pemerintah Indonesia melihat bahwa negara tujuan penempatan pekerja migran seperti Malaysia juga meratifikasi konvensi migran tersebut. Sehingga upaya ratifikasi dianggap sia-sia karena tidak akan berpengaruh terhadap perlindungan TKI di negara penempatan. Dalam hal ini, strategi yang dilakukan Indonesia hanya bersifat menunggu sikap Malaysia agar terlebih dahulu meratifikasi konvensi Buruh Migran. Strategi pasif seperti ini tidak cocok dilakukan Indonesia sebagai negara pengirim. Indonesia tidak dapat menunggu begitu saja sikap pemerintah Malaysia tanpa melakukan upaya lain. Indonesia juga tidak dapat mendesak pemerintahan Malaysia untuk meratifikasi konvensi ini jika Indonesia sendiri belum member contoh kepada negara-negara lain melakukan ratifikasi. Penandatanganan Konvensi Buruh Migran yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia belum mampu membuahkan hasil apapun jika belum meratifikasi konvensi tersebut. 2. Pemerintah Indonesia juga mempertimbangkan hak-hak pekerja asing yang bekerja di Indonesia ketika meratifikasi konvensi migran. Konvensi ini juga akan mengharuskan pemerintah Indonesia untuk memperhatikan dan memberikan hak-hak pekerja asing yang bekerja di Indonesia. Hal ini Universitas Sumatera Utara dirasa sulit dilakukan mengingat kondisi ekonomi Indonesia yang belum mengizinkan untuk mengurusi warga asing ditengah kesulitan masyarakat Indonesia pada umumnya. 3. Pemerintah Indonesia Khawatir apabila telah meratifikasi konvensi migran justru akan memperbanyak pekerja asing yang masuk ke wilayah Indonesia untuk menjadi pekerja, karena para pekerja akan diberikan fasilitas seperti yang tertuang dalam konvensi tersebut. Dikarenakan karena konvensi ini tidak hanya melindungi pekerja migran Indonesia di luar negeri tetapi juga sebaliknya, pekerja migran yang ada di Indonesia harus turut dilindungi. Beberapa alasan inilah yang menjadi dasar pertimbangan pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Buruh Migran. Namun, Indonesia sebagai negara pengirim TKI seharusnya lebih pro aktif memperlihatkan kondisi buruh migrannya di luar negeri. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan bagi Indonesia, karena persoalan buruh migran tidak hanya persoalan dalam negeri, tapi menyangkut hubungan bilateral antara dua negara, bahkan dapat bersifat multilateral. Dalam upaya meningkatkan perlindungan dan pelayanan buruh migran Indonesia di Malaysia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi membentuk tim negosiator yang membahas review MoU penempatan TKLN Tenaga Kerja Luar Negeri ke Malaysia. Moratorium atau penghentian sementara penempatan tenaga kerja Indonesia TKI penata laksana rumah tangga domestic worker ke Malaysia sejak 26 Juni 2009 dimaksudkan agar kedua negara melakukan Universitas Sumatera Utara pembenahan dalam mekanisme penempatan serta perlindungan buruh migran. Hal itu merupakan salah satu butir yang dihasilkan dalam Rapat Koordinasi Penyempurnaan Mekanisme Penempatan dan Perlindungan TKI di Malaysia yang diselenggarakan di Kantor Kemnakertrans RI, yang diikuti 99 orang peserta dari instansi terkait di bidang penempatan dan perlindungan TKI. Dengan delegasi dari kedua belah pihak, yaitu dari pihak Malaysia terdiri dari Pemerintah Malaysia, Kepolisian Malaysia, Perwakilan Republik Indonesia di Malaysia dan agensi resmi di Malaysia. Dari pihak Indonesia, terdiri dari unsur pemerintahKementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, Kepolisan RI dan Kementerian terkait lainnya dan asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta PPTKIS. Team Joint Working Group merupakan suatu mekanisme yang diciptakan sejak MoU 2006 yang mengatur mengenai penempatan dan perlindungan TKI di Malaysia khususnya di sektor informal, yaitu yang bekerja sebagai penata laksana rumah tangga atau biasa disebut dengan pembantu rumah tangga. Team Joint Working Group ini merupakan suatu forum konsultasi berkala dari kedua pemerintah, yaitu dari pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia. Unsur-unsur dari delegasi Indonesia adalah dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga kerja dan Transmigrasi, BNP2TKI dan yang terakhir dari Kementerian Perempuan dan Anak dan unsur-unsur delegasi dari pihak Malaysia seperti jika halnya Indonesia maka adalah Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri Malaysia, dan Kementerian Buruh Malaysia. Tugas utamanya adalah memonitor atau memantau Universitas Sumatera Utara dan mengevaluasi pengiriman buruh migran dari Indonesia ke Malaysia dan hingga selama mereka masih bekerja di sana atau memantau dan mengevaluasi dari implementasi MoU di kedua negara tersebut. Sampai sejauh mana kedua pemerintahan ini melaksanakan apa yang sudah disepakati dari MoU tahun 2006 ini. Bisa juga Team Joint Working Group ini diartikan sebagai forum negosiasi antar kedua pemerintahan dalam merumuskan amandemen MoU tahun 2006. Setelah melakukan pembahasan review MoU, Joint Working Group JWG yang terdiri dari delegasi Perwakilan Indonesia dan Malaysia segera akan membentuk Komite Bersama Joint Committee yang akan memantau pelaksanaan pelayanan dan perlindungan buruh migran di Malaysia. Tugas dan fungsi dari komite bersama adalah bertanggung jawab dalam perencanaan, pendataan dan monitoring uang meliputi pembinaan dan training, pelayanan, monitoring evaluasi, penindakan dan bantuan hukum serta pemfasilitasi pemulangan termasuk pengurusan asuransi dan ganti rugi bagi buruh migran. Hal yang diutamakan dari MoU tahun 2006 adalah mengenai: 1. Diberikannya satu hari libur dalam seminggu 2. Save Keeping Pasport atau paspor yang bisa dipegang atau dimiliki dan disimpan oleh buruh migran Indonesia, bukan dipegang oleh atau dimiliki dan disimpan oleh majikan. 3. Standarisasi gaji atau upah minimum bagi buruh migran Indonesia 4. Cost Structure adalah pembiayaan-pembiayaan yang dikeluarkan mulai dari perekrutan sampai dengan diberangkatkannya buruh migran tersebut ke Malaysia. Universitas Sumatera Utara Dalam perjalanan pembahasan MoU tahun 2006 mengenai penempatan dan perlindungan TKI di Malaysia ini sudah ada dua hal yang berhasil disepakati. Pertama, mengenai pemberian satu hari kerja dalam satu minggu kerja. Jika buruh migran yang bersangkutan tidak ingin mengambil satu hari libur tersebut maka hal itu bisa dikompensasikan dalam bentuk uang. Kedua, mengenai Save Keeping Pasport atau paspor miliknya bisa disimpan dan dimiliki oleh buruh migran itu sendiri. Jika dulu paspor tersebut dipegang dan disimpan oleh majikan dengan tujuan untuk mencegah agar tidak bisa melarikan atau kabur, tetapi dengan telah disepakatinya Save Keeping Pasport, TKI sudah bisa menyimpan sendiri paspor mereka dan majikan mereka pun mendapatkan copy dari paspor milik dari TKI tersebut. Hal pertama yang masih bisa dibilang masih belum mencapai kesepakatan adalah mengenai masalah standarisasi gaji atau upah minimum. Pemerintah Malaysia bersikukuh untuk tidak ingin menciptakan suatu ketentuan upah minimum. Dalam penentuan upah minimum tersebut pihak Malaysia lebih menyerahkan kepada keadaan pasar. Pasar disini adalah standar yang ditetapkan oleh calon majikan dalam memberikan gaji kepada buruh migran. Lain halnya dengan Indonesia, demi kepentingan nasional terutama demi kepentingan TKI itu sendiri, Indonesia menginginkan suatu kepastian mengenai standarisasi gaji tersebut karena banyak dari pihak Malaysia yang tidak bisa memberikan upah yang layak bagi paraburuh migran. Berbeda dengan negara Singapura, berkat upaya KBRI kepada pemerintah Singapura dalam bernegosiasi untuk menaikan gaji upah minimum bagi buruh migran menjadi sebesar Sin 50 atau sekitar US 30 per bulan pun akhirnya telah disepakati. Sedangkan saat ini Universitas Sumatera Utara rata-rata gaji yang diberikan oleh para pengguna jasa buruh migran di Malaysia antara RM 400-RM 650 atau sekitar Rp. 1.200.000-Rp. 1.800.000. Dan pemerintah Indonesia mengusulkan kenaikan upah sebesar RM 650-RM 800 atau sekitar Rp. 1.800.000- Rp. 2.400.000 per bulan. Hal kedua yang masih sulit untuk diperbincangkan adalah mengenai penentuan Cost Structure. Cost Structure ini masih terus diperbincangkan sampai sekarang atau masih terus dibahas. Inti dari Cost Structure ini merupakan pembiayaan-pembiayaan yang akan dikeluarkan oleh para pihak, mulai dari ketika mereka merekrut dari daerah- daerah, pelatihan, medical check up, sampai keberangkatan para buruh migran itu sendiri. Dalam hal inilah yang sampai sekarang masih belum berhasil dirumuskan. Perekrutan para buruh migran tersebut pada umumya mereka tidak mempunyai modal sendiri, sedangkan proses atau tahapannya sangat panjang dan memakan biaya yang tidak sedikit, seperti mengurus dokumen perjalanan, medical check up, paspor, visa, dan mereka juga harus mengikuti pelatihan beberapa ratus jam, mengakibatkan konsekuensi biaya yang cukup besar. Lain halnya dengan pengiriman buruh migran ke Timur Tengah, pada umumnya Cost Structure tersebut ditanggung oleh para pengguna jasa atau para majikan. Majikan tersebut menanggung biaya Cost Structure mulai dari penempatan hingga pengiriman. Sedangkan tidak dengan Malaysia, antara agen dan calon majikan mereka membagi rata dalam penanggungan pembiayaan sekitar 50-50 dimulai dari paspor hingga Kartu Tanda Kerja Ke Luar Negeri KTKLN dan hal inilah yang sedang dirumuskan karena pada akhirnya ini semua akan dibebankan pada buruh migran. Universitas Sumatera Utara Berangkat dari itu, pemerintah Indonesia melihat secara general bahwa sudah banyak kasus yang serupa sering terjadi di Malaysia, sehingga menyebabkan pemerintah Indonesia dengan terpaksa menetapkan kebijakan luar negeri moratorium ke pihak Malaysia. Pada dasarnya dibalik penetapan kebijakan ini adalah pada MoU tahun 2006 yang mengatur mengenai penempatan dan perlindungan TKI di Malaysia. Khususnya disektor informal, yang bekerja sebagai penata laksana rumah tangga. Dengan seiring berjalannya waktu, Indonesia melihat bahwa pihak Malaysia tidak melaksanakan MoU tersebut secara konsekuen. 78 Pihak Indonesia juga beranggapan bahwa melihat adanya permasalahan kekerasan yang sering terjadi, baik itu kekerasan pelecehan seksual, pemerkosaan, bahkan adanya beberapa kasus pembunuhan terhadap buruh migran di Malaysia, dan pihak dari Indonesia merasa harus ada suatu langkah, baik di pihak Malaysia maupun dari pihak Indonesia, harus duduk bersama untuk mencari solusi agar masalah-masalah tersebut tidak terulang lagi dikemudian hari. Beberapa faktor yang menyebabkan pihak Indonesia menetapkan kebijakan Moratorium atau penghentian sementara pengiriman buruh migran ke Malaysia adalah munculnya kasus penganiayaan yang terjadi pada Nirmala Bonat, Siti Hajjar dan banyak kasus dengan hal yang sama yang terjadi di negara seberang Malaysia. 79 Selain itu, juga karena seringnya pihak pemerintah Malaysia mengabaikan hak-hak buruh migran, disamping kurangnya perlindungan yang memadai bagi mereka yang berprofesi sebagai PLRT Penata Laksana Rumah Tangga. 78 http:dspace. Widyatama.ac.id bitstream10364517bab1.pdf 79 http:sambelalap. Wordpress.com20101109 bursa ketenagakerjaan Indonesia- Jurnal TKI – Luar Negeri Universitas Sumatera Utara Penghentian ini akan dilakukan setidaknya sampai dilakukan review MoU TKI antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Malaysia. Oleh sebab itu, untuk sementara waktu sejak tanggal 26 Juni 2009 Indonesia menetapkan suatu kebijakan luar negeri yaitu moratorium atau penghentian sementara pengiriman buruh migran ke Malaysia dan moratorium tersebut masih berlaku. Respon pertama dari pihak Malaysia ketika dari pihak Indonesia mengeluarkan kebijakan moratorium tersebut adalah justru disambut dengan positif, terutama dari tataran pemerintahannya. 80 Jika dilihat dari devisa yang masuk ke Indonesia, bisa dikatakan pengaruh atau efek dari moratorium tersebut tidak terlalu signifikan, karena walaupun telah ditetapkan kebijakan moratorium tersebut tapi masih ada para buruh migran yang masih terus atau masih berada di Malaysia dan bekerja di sana. Memasuki Karena pada hakikatnya adalah tujuan dari ditetapkannya kebijakan moratorium atau penghentian sementara pengiriman buruh migran ke Malaysia ini adalah demi untuk pembenahan skema pengiriman, dan penertiban, serta perlindungan agar bisa berjalan dengan lebih baik. Dampak negatif karena telah ditetapkannya kebijakan moratorium ini bagi pihak Indonesia sendiri adalah jika dilihat dari angkatan kerja Indonesia yang bisa dibilang cukup besar terutama yang dimoratoriumkan adalah merupakan bagian dari sektor domestik yang informal, yaitu seperti penata laksana rumah tangga, pelayan-pelayan restoran tingkat menengah ke bawah, dan dari sinilah efek dari ketetapan moratorium itu muncul, banyaknya angkatan kerja informal yang tidak terserap karena tidak bisa didistribusikan ke Malaysia. 80 Yanuar Ikbar, MA, Ekonomi Politik Internasional 1: Konsep dan Teori, Bandung :PT. Refika Aditama, 2006, hal 41 Universitas Sumatera Utara pertengahan tahun 2011 ini, memang pemerintah SBY akhirnya mencabut moratorium alias penghentian sementara pengiriman Tenaga Kerja Indonesia TKI ke Malaysia atas rekomendasi Team Joint Working Group JWG. Pencabutan moratorium akan efektif. Apalagi penghentian kerjasama ketenagakerjaan RI-Malaysia telah berlaku cukup lama yakni sejak 25 Juni 2009 silam. Penandatanganan resmi MoU ketenagakerjaan akan ditandatangani secara bilateral di Indonesia nantinya. Kesepakatan ini sesuai dengan MoU Tahun 2006 Mengenai Penempatan dan Perlindungan TKI di Malaysia, dan diharapkan dasar utama dari pembaruan MoU untuk penempatan dan perlindungan buruh migran sektor domestik di Malaysia yang lebih bermartabat. Skeptisme muncul ketika terdapat bukti bahwa selama hampir dua tahun kita melakukan moratorium, berdasarkan data KBRI di Malaysia, ada 5.000 lebih PRT pembantu rumah tangga yang masuk ke sana. Komisi IX DPR RI bahkan menilai moratorium yang diberlakukan terhadap Malaysia sia-sia karena pengiriman buruh migran terus berlangsung. 81 Direktur Eksekutif Migrant Care Indonesia Anis Hidayah mengharapkan pemerintah Indonesia untuk tidak memenuhi keinginan Malaysia mencabut moratorium penghentian sementara pengiriman Tenaga Kerja Indonesia TKI ke negeri jiran itu. Penganiayaan terhadap TKI jelas-jelas merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia HAM. Karena itu, tidak pas kiranya kalau kasus pelanggaran HAM diukur dari jumlahnya yang hanya 0,05 persen, pelanggaran HAM oleh majikan terhadap TKI telah dilakukan secara sistematis, dan tidak bisa 81 Masalah TKI di Luar Negeri: Prospek dan Tantangannya Bagi Indonesia. Surakarta: Proyek Penelitian dan Pengembangan Politik Luar Negeri Badan Litbang DEPLU dan Kerjasama dengan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Universitas Sumatera Utara ditoleransi. Karena itu, harus ada perjuangan dari pemerintah Indonesia untuk memperjuangkan hak-hak dan perlindungan bagi TKI. Klausul baru di atas nampaknya masih kurang untuk menjawab butir-butir yang harus diperjuangkan pemerintah Indonesia, paspor harus di tangan TKI, pemberian upah secara layak, adanya jaminan hari libur, dan kebebasan untuk berserikat. Semua itu harus terakomodir dalam klausul MoU ketenagakerjaan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Malaysia. Memang baru klausul paspor di tangan buruh migran dan jaminan hari libur saja yang baru dapat dipenuhi, sedangkan untuk yang lainnya masih dalam taraf negosiasi. Peran perwakilan diplomatik masalah buruh migran Indonesia di Malaysia bisa dikategorikan masuk dalam konteks politik luar negeri Indonesia, karena dalam kasus ini kita akan bicara tentang perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri. Bahgat Korany membagi pola perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri suatu negara dalam tiga 3 peringkat. Pertama, tujuan umum atau pola dasar, yang disebut sebagai “General Objectives”. Kedua, pola pelaksanaan atau strategi Strategy. Ketiga, tindakan-tindakan atau langkah-langkah nyata dalam pelaksanaannya yang dibagi ke dalam dua macam tindakan, yaitu “routine actions” dan “decisions”. Peran Perwakilan RI di Malaysia yang melindungi, dan menerima pengaduan atau melayani kebutuhan warga negaranya setiap hari merupakan “routine actions” 82 82 Muhammad Jusuf, Pemberdayaan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri dan memang merupakan sebuah pekerjaan yang harus dikerjakan oleh Perwakilan Diplomatik. Di sisi lain, membuat sebuah kebijakan Universitas Sumatera Utara adalah bagian dari tindakan pemerintah membuat “decisions” yang terbaik untuk masyarakatnya. Penyebaran perwakilan-perwakilan diplomatik di Malaysia merupakan upaya Pemerintah Indonesia untuk mengatasi permasalahan- permasalahan yang menimpa warga negaranya di Malaysia. Mulai dari Kedutaan Besar Republik Indonesia yang berkedudukan di Kuala Lumpur, juga ada Konsulat Jenderal di Penang, Konsulat Jenderal di Johor Baru, Konsulat Jenderal di Serawak atau berkedudukan di Kuching, atau juga ada Konsulat Jenderal di Sabah berkedudukan di Kota Kinabali dan juga ada Penghubung di Tawau. Tahun demi tahun memang perhatian pemerintah pusat di Jakarta kepada Perwakilannya terus meningkat, karena harus disesuaikan dengan jumlah orang-orang Indonesia yang harus dilayani di Perwakilan-Perwakilan ini. pelayanan yang diberikan oleh perwakilan-Perwakilan ini, yang terbanyak adalah di KBRI Kuala Lumpur. Rata-rata sekarang ini pada kondisi 700 orang per hari, bahkan kalau hari-hari setelah weekend melebihi dari 1.000 sampai dengan 2.000. di Penang rata-rata antara 100 sampai 200 oranghari. Di Johor Bahru antara 200 sampai 300 orang yang dilayani bahkan kadang-kadang 400. Kemudian juga ada yang di Kuching, Serawak antara 100-200. Kemudian juga di Kota Kinabalu rutin mereka melayani antara 100 sampai 200, karena ada program pemutihan, maka bisa dalam sari hari 1.000 orang. Kemudian di Tawau juga, mereka tidak saja hanya melayani peranjangan dokumen, tetapi terlebih lagi mereka sebagai pintu keluarmasuk di perbatasan dengan Kalimantan Timur. Di samping pelayanan yang sifatnya rutin, banyak juga persoalan yang dihadapi oleh orang Indonesia di Malaysia, yang memerlukan kehadiran dan penanganan dari para petugas Universitas Sumatera Utara Perwakilan, terutama para WNI yang ilegal. Ada berbagai modus operandi tentang keilegalan mereka ini. ada ilegal yang sebetulnya masuk resmi dengan paspor sebagai turis tetapi kemudian mereka bekerja tanpa prosedur, tanpa kontrak kerja, tanpa ijin bekerja, dan akhirnya mereka over stay dan menjadi ilegal. Ada cukup banyak kasus di mana yang bersangkutan resmi masuk dengan agennya tetapi karena ada permasalahan dengan majikan dan sebagainya kemudian melarikan diri dan menjadi ilegal. Ada juga yang memang betul-betul diselundupkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, ini arahnya sudah masuk kepada trafficking in person, tapi mereka juga bekerja, itupun mereka ilegal. Ada juga yang memang habis kontraknya, habis masa berlakunya tapi juga dia terus berpindah-pindah, sambil bekerja dan tidak pernah mengurus perpanjangan dokumen, inipun juga akhirnya menjadi ilegal. Peran Perwakilan di tempat pemulangan menjadi penting, karena harus melakukan pendataan dan checking terhadap mereka ini, untuk memastikan tentang keaslian kewarganegaraannya, sekaligus tentang kesehatan dan hak-hak dari WNI tersebut. Perlindungan terhadap WNI tersebut, tidak saja mereka harus dilayani secara rutin, tetapi juga munculnya kasus-kasus yang melibatkan WNI, baik mereka yang menjadi korban, tetapi juga mereka yang menjadi pelaku kejahatan. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN