Analisis Yuridis Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan (Studi Pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum Dan HAM Sumatera Utara)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Aten Affandi dan Wahyu Affandi. Tentang Melaksanakan Putusan Hakim Perdata. Bandung: Alumni, 1983.

Bachir, Djazuli. Eksekusi Putusan Perkara Perdata : Segi Hukum Dan Penegakan Hukum. Jakarta: Akademika Pressindo, 2008.

Djais, Mochammad. Hukum Eksekusi Sebagai Wacana Baru Dibidang Hukum. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro, 2000.

Fuady, Munir. Jaminan Fidusia. Bandung: Citra Aditya, 2000.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Jaminan Fidusia. Jakarta: Grafindo Persada, 2000.

Harahap, M.Yahya. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta: Gramedia, 1998.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Jogjakarta: Liberty, 1989.

Purwahid Patrick dan Kashadi. Hukum Jaminan Fidusia. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro, 2008.

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek. Bandung: Mandar Maju, 1997.

Salim, H.S Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.

Satrio, J. Hukum Jaminan Hak-Hak Kebendaan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia, 2005.


(2)

B. Skripsi

Tampubolon, Leo Tuah. Suatu Tinjauan Mengenai Pelaksanaan Sita Eksekutorial Yang Dilakukan Oleh Pengadilan Negeri. Universitas Sumatera Utara: Program Sarjana Fakultas Hukum, 2000.

Siregar, Dian Puspita Sari. Hak Eksekutorial Kreditur Preferen Dalam Kepailitan Debitor. Universitas Sumatera Utara: Program Sarjana Fakultas Hukum, 2008.

D. Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek). Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.


(3)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG EKSEKUTORIAL

A. Pengertian Eksekusi

Kata eksekusi berasal dari bahasa asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yang artinya adalah pelaksanaan. Dalam bahasa Inggris, eksekusi dikenal dengan eksecutie. Dan dalam bahasa Belanda, eksekusi disebut dengan

uitvoering.

Pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan putusan” (ten uitvoer legging van vonnissen), yakni melaksanakan “secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum apabila pihak yang telah kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara sukarela. Dengan kata lain, eksekusi (pelaksanaan putusan) adalah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang telah kalah dalam perkara.28

Eksekusi merupakan pelaksanaan dari suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa oleh karena pihak yang telah kalah dalam perkara tidak mau mematuhi pelaksanaan acara putusan pengadilan.

Dalam Pasal 207 RBG, dikatakan bahwa: “Hal menjalankan putusan Pengadilan Negeri dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh Pengadilan Negeri adalah atas perintah dan tugas pimpinan Ketua Pengadilan


(4)

Negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu menurut cara yang telah diatur.”

Eksekusi adalah tindakan paksa yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri terhadap pihak yang telah kalah dalam perkara supaya pihak yang kalah dalam perkara menjalankan Amar Putusan Pengadilan sebagaimana mestinya.29

Eksekusi dapat dijalankan oleh Ketua Pengadilan Negeri apabila terlebih dahulu ada permohonan dari pihak yang telah menang dalam perkara kepada Ketua Pengadilan Negeri agar putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Sebelum menjalankan eksekusi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka Ketua Pengadilan Negeri melakukan teguran (aanmaning) kepada pihak yang telah kalah dalam perkara agar dalam waktu 8 (delapan) hari sesudah Ketua Pengadilan Negeri melakukan teguran (aanmaning) maka pihak yang telah kalah dalam perkara harus mematuhi Amar Putusan Pengadilan tersebut.

Apabila telah lewat 8 (delapan) hari ternyata pihak yang telah kalah dalam perkara tidak mau melaksanakan putusan pengadilan tersebut, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintah Panitera atau Jurusita Pengadilan Negeri untuk melaksanakan sita eksekusi atas objek yang terperkara dan kemudian dapat meminta bantuan alat-alat negara seperti Kepolisian untuk membantu pengamanan dalam hal pelaksanaan proses eksekusi tersebut.


(5)

Menurut pendapat M. Yahya Harahap dalam bukunya “Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata”, eksekusi merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang telah kalah dalam suatu perkara, merupakan suatu aturan dan tata lanjutan di dalam proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu eksekusi tiada berkesinambungan dari seluruh proses hukum acara perdata”.30

Menurut R. Subekti, eksekusi adalah upaya dari pihak yang dimenangkan dalam putusan guna mendapatkan apa yang telah menjadi haknya dengan bantuan kekuatan hukum dan memaksa pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan

putusan.31

Lebih lanjut dikemukakan bahwa pengertian eksekusi atau pelaksanaan putusan mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan tersebut secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan hukum. Dengan bantuan kekuatan hukum ini dimaksudkan pada angkatan bersenjata.32

Sejalan dengan kedua pendapat di atas, dapat dilihat pendapat dari Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa eksekusi ialah realisasi dari kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut.33

30 Ibid., hlm. 1.

31 Subekti, Huk um Acara Perdata, (Bandung: Bina Cipta, 1989), hlm.128. 32 Ibid, hlm. 130.


(6)

Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata yang menyatakan bahwa eksekusi adalah tindakan paksaan oleh pengadilan terhadap pihak yang telah kalah dan tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela.34

Berdasarkan pendapat dari para pakar hukum di atas, dapat dijelaskan bahwa eksekusi diartikan sebagai upaya untuk merealisasikan kewajiban dari pihak yang telah kalah dalam perkara guna memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan hakim, melalui perantaraan Panitera atau Jurusita atau Jurusita Pengganti pada Pengadilan tingkat pertama dengan cara paksa karena tidak dilaksanakannya secara sukarela. Pelaksanaan putusan hakim tersebut merupakan proses terakhir dari proses penyelesaian perkara perdata dan pidana yang sekaligus juga merupakan prestise dari lembaga peradilan itu sendiri.

Sementara itu di dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dikatakan bahwa “eksekusi adalah pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia, berarti eksekusi langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.”35

Jika bertitik tolak pada title keempat Rbg, maka pengertian eksekusi itu sama dengan pengertian menjalankan putusan pengadilan yang tidak lain adalah melaksanakan isi dari segala putusan pengadilan yakni melaksanakan secara paksa putusan pengadilan yang telah ditetapkan dengan bantuan kekuatan umum

34 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Huk um Acara Perdata Dalam Teori dan Prak tek, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm 10.


(7)

bila pihak yang telah kalah dalam pengadilan (pihak tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankan secara sukarela.36

Hukum eksekusi sebenarnya tidak diperlukan apabila yang dikalahkan di dalam pengadilan dengan sukarela mentaati bunyi putusan dari pengadilan tersebut. Akan tetapi dalam kenyataannya, tidak semua pihak mentaati bunyi putusan dengan sepenuhnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu aturan bila putusan itu tidak ditaati dan bagaimana tata cara pelaksanaannya.

Bila melihat pengertian eksekusi di atas, tampak bahwa pengertian eksekusi terbatas pada eksekusi oleh pengadilan (putusan hakim). Padahal yang juga dapat dieksekusi menurut hukum acara perdata yang berlaku di dalam Rbg yang juga dapat dieksekusi adalah salinan atau grosse akta yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang berisi kewajiban untuk membayar sejumlah uang.37

Pendapat mengenai pengertian eksekusi yang lebih luas juga dikemukakan oleh Mochammad Dja’is yang menyatakan bahwa: “eksekusi adalah upaya dari kreditur untuk merealisasi hak secara paksa dikarenakan debitur tidak mau secara sukarela memenuhi kewajibannya. Dengan demikian, eksekusi merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa hukum. Menurut pandangan hukum eksekusi, objek eksekusi tidak hanya putusan hakim dan grosse akta saja.38

36 M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 5.

37 Aten Affandi dan Wahyu Affandi, Tentang Melak sanak an Putusan Hak im Perdata, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 32.


(8)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian eksekusi dalam perkara perdata adalah upaya kreditur untuk merealisasikan haknya secara paksa jika debitur tidak secara sukarela memenuhi kewajibannya yang tidak hanya putusan hakim saja, tetapi juga pelaksanaan grosse akta serta pelaksanaan putusan dari institusi yang berwenang atau bahkan kreditur secara langsung.

B. Jenis-Jenis Eksekusi

Pada dasarnya ada 2 bentuk eksekusi ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil yang disebut dengan eksekusi riil, dan melakukan pembayaran sejumlah uang yang disebut dengan eksekusi pembayaran uang.39

Menurut M. Yahya Harahap, ada 2 jenis dari eksekusi yaitu:40

1. Eksekusi Riil.

Eksekusi riil adalah eksekusi yang menghukum kepada pihak yang kalah dalam perkara untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Misalnya: menyerahkan barang, mengosongkan tanah atau bangunan, membongkar, menghentikan suatu perbuatan tertentu dan lain-lain sejenis itu. Eksekusi ini dapat dilakukan secara langsung (dengan perbuatan nyata) sesuai dengan amar putusan tanpa melalui proses pelelangan.


(9)

Apabila orang yang dihukum itu tidak mau memenuhi surat perintah hakim untuk mengosongkan benda tetap itu, maka hakim akan merintahkan kepada Jurusita dengan bantuan Panitera pengadilan untuk mengosongkannya. Jika perlu dengan bantuan alat hukum negara, agar barang tetap itu dikosongkan oleh orang yang dihukum beserta keluarganya.

2. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang.

Eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah eksekusi yang mengharuskan kepada pihak yang kalah untuk melakukan pembayaran sejumlah uang (terdapat pada Pasal 208 R.Bg).

Eksekusi ini adalah kebalikan dari eksekusi riil dimana pada eksekusi bentuk kedua ini tidaklah dapat dilakukan secara langsung sesuai dengan amar putusan seperti pada eksekusi riil, melainkan haruslah melalui proses pelelangan terlebih dahulu dikarenakan yang akan dieksekusi adalah sesuatu yang bernilai uang.

Apabila seseorang enggan untuk dengan sukarela memenuhi bunyi putusan dimana ia dihukum untuk membayar sejumlah uang, maka sebelum putusan dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan, maka setelah sita jaminan itu dinyatakan sah dan berharga menjadi sita eksekutorial, kemudian eksekusi dilakukan dengan cara melelang barang milik orang yang dikalahkan. Sehingga mencukupi jumlah yang harus dibayar menurut putusan hakim, ditambah biaya sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut.41


(10)

Berdasarkan obyeknya, eksekusi dapat dibedakan menjadi : 1. Eksekusi Putusan Hakim.

2. Eksekusi Benda Jaminan. 3. Eksekusi Grosse Akta.

4. Eksekusi terhadap sesuatu yang mengganggu hak dan kewajiban. 5. Eksekusi Surat Peryataan bersama.

6. Eksekusi Surat Paksa.

Berdasarkan prosedurnya, dapat dibedakan menjadi:

1. Eksekusi putusan hakim yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang.

2. Eksekusi Riil, dapat dibedakan menjadi :

a. Eksekusi Riil terhadap putusan hakim untuk mengosongkan suatu benda tetap dan menyerahkan kepada yang berhak.

b. Eksekusi Riil terhadap obyek lelang.

Eksekusi Riil berdasarkan Undang-undang, diatur dalam di pasal 666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

c. Eksekusi Riil berdasarkan perjanjian.

Perjanjian dengan kuasa dan perjanjian dengan penegasan terhadap piutang sebagai jaminan dan benda miliknya sendiri.

3. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan perbuatan, mengingat dalam perkara perdata tidak boleh dilakukan siksaan badan. Maka eksekusi ini perbuatan yang harus dilakukan dapat dinilai dengan sejumlah uang.


(11)

4. Eksekusi dengan pertolongan hakim, yaitu eksekusi atas grosse akta. 5. Pareta eksekusi atau eksekusi langsung.

6. Eksekusi dengan penjualan dibawah tangan, yang dimaksud disini adalah eksekusi dilakukan dengan penjualan dibawah tangan sebagaimana telah diperjanjikan sebelumnya.

7. Penjualan di pasar atau bursa.

Dalam hal obyek jaminan gadai atau fidusia adalah barang perdagangan atau efek yang dapat diperdagangkan atau dijual dipasar atau bursa, maka jika debitor wanprestasi, maka pihak kreditor pemegang gadai fidusia dapat menjual obyek jaminan gadai atau fidusia dipasar bursa. Terdapat pada Pasal 1155 (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Pasal 31 Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.

8. Eksekusi berdasarkan ijin hakim.

Eksekusi berdasarkan ijin hakim. Dalam hal debitor wanprestasi, pemegang gadai dapat mengajukan permohonan kepada hakim untuk menentukan cara penjualan obyek gadai atau menentukan suatu jumlah uang tertentu sebagai harga barang yang harus dibayar oleh penerima gadai kepada pemberi gadai, selanjutnya obyek gadai pemberi gadai, selanjutnya obyek gadai menjadi milik penerima gadai sesuai dengan Pasal 1156 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.


(12)

Menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, pembagian jenis eksekusi meliputi:42

1. Eksekusi pembayaran sejumlah uang.

2. Eksekusi yang menghukum seseorang melakukan sesuatu perbuatan. 3. Eksekusi Riil yang dalam praktek banyak dilakukan tetapi tidak diatur di

dalam peraturan perundang-undangan.

Sudikno Mertokusumo juga mengemukakan jenis-jenis eksekusi sebagai berikut:43

1. Eksekusi putusan yang menghukum untuk membayar sejumlah uang. Diatur di dalam Pasal 208 Rbg.

2. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Diatur di dalam Pasal 259 Rbg.

Pasal tersebut mengatur pelaksanaan putusan hakim yang telah ditetapkan dimana seseorang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan dan wajib untuk dilakukannya. Misalnya: memperbaiki pagar, pekarangan rumah serta saluran air yang telah dirusak olehnya, memasang kembali pipa gas yang karena kesalahannya untuk telah diangkat dan lain sebagainya. Perbuatan semacam itu tidak dapat dilaksanakan dengan cara paksa. Seandainyapun ada penghukuman uang paksa untuk tiap hari keterlambatan memperbaiki misalnya, tergugat dihukum untuk membayar uang paksa sebesar Rp. 1000,-

42 Ibid., hlm. 130.


(13)

apabila tergugat tidak mau membayarnya, maka ia tidak dapat dipaksakan untuk melakukannya.

Tidak dapat misalnya tergugat telah dibawa ke kantor polisi untuk ditahan, tidak dapat misalnya disuruh untuk mengerjakan apa yang ia harus kerjakan itu dengan ditodong atau ditunggu atau diawasi oleh pihak yang berwajib.44

3. Eksekusi Riil, yaitu pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan untuk melakukan pengosongan benda tetap. Telah diatur di dalam Pasal 1033 RV. Dalam pelaksanaan eksekusi tersebut, ada beberapa proses tahapan yang harus dilewati, antara lain:

1. Eksekusi Riil

Menjalankan eksekusi riil adalah merupakan tindakan nyata yang dilakukan secara langsung guna melaksanakan apa yang telah dihukumkan dalam amar putusan, dengan tahapan:

a. Adanya permohonan dari penggugat (pemohon eksekusi) kepada Ketua Pengadilan (Terdapat pada Pasal 207 ayat (1) R.Bg).

b. Adanya peringatan (aanmaning) dari Ketua Pengadilan kepada termohon eksekusi agar ianya dalam waktu yang telah ditentukan berdasarkan putusan pengadilan yang tetap yaitu tidak lebih dari 8 (delapan) hari dari sejak aanmaning dilakukan, melaksanakan isi putusan tersebut secara sukarela (Terdapat pada Pasal 207 ayat (2) R.Bg), dengan cara:


(14)

1) Melakukan pemanggilan terhadap termohon eksekusi dengan menentukan hari, tanggal, jam dan tempat.

2) Memberikan peringatan (jika ia datang), yaitu dengan cara: a) Dilakukan dalam sidang insidentil yang dihadiri

Ketua Pengadilan, Panitera dan termohon eksekusi. b) Dalam sidang tersebut diberikan peringatan atau

teguran agar termohon eksekusi dalam waktu 8 (delapan) hari untuk melaksanakan isi putusan tersebut.

c) Membuat berita acara sidang insidentil (aanmaning), yang mencatat peristiwa yang terjadi dalam persidangan tersebut.

d) Berita acara sidang aanmaning tersebut akan dijadikan bukti bahwa kepada termohon eksekusi telah dilakukan peringatan atau teguran untuk melaksanakan amar putusan secara sukarela, yang selanjutnya akan dijadikan dasar dalam mengeluarkan perintah eksekusi.

Apabila setelah dipanggil secara patut, termohon eksekusi ternyata tidak hadir dan ketidak hadirannya disebabkan oleh halangan yang sah (dapat dipertanggung jawabkan), maka ketidak hadirannya masih dapat dibenarkan dan ianya harus dipanggil kembali untuk di


(15)

Akan tetapi apabila ketidak hadirannya itu tidak ternyata adanya alasan yang sah (tidak dapat dipertanggung jawabkan), maka termohon eksekusi harus menerima akibatnya, yaitu hilangnya hak untuk dipanggil kembali dan hak untuk di aanmaning serta Ketua Pengadilan terhitung sejak termohon eksekusi tidak memenuhi panggilan tersebut, dapat langsung mengeluarkan surat penetapan (beschikking) tentang perintah menjalankan eksekusi.

c. Setelah tenggang waktu 8 (delapan) hari ternyata termohon eksekusi masih tetap tidak bersedia melaksanakan isi putusan tersebut secara sukarela, maka ketua pengadilan mengeluarkan penetapan dengan mengabulkan permohonan pemohon eksekusi dengan disertai surat perintah eksekusi, dengan ketentuan:

1) Berbentuk tertulis berupa penetapan (beschikking).

2) Ditujukan kepada Panitera atau Jurusita ataupun Jurusita Pengganti.

3) Berisi perintah agar menjalankan eksekusi sesuai dengan amar putusan.

d. Setelah menerima perintah menjalankan eksekusi dari Ketua Pengadilan, maka Panitera atau Jurusita atau Jurusita Pengganti merencanakan atau menentukan waktu serta memberitahukan tentang eksekusi kepada termohon eksekusi, Kepala Desa, Lurah, Kecamatan, ataupun Kepolisian setempat.


(16)

e. Proses selanjutnya, pada waktu yang telah ditentukan, Panitera atau Jurusita atau Jurusita Pengganti langsung ke lapangan guna melaksanakan eksekusi dengan ketentuan:

1) Eksekusi dilaksanakan oleh Panitera atau Jurusita atau Jurusita Pengganti (Terdapat pada Pasal 209 ayat 1 R.Bg. 2) Eksekusi dibantu oleh 2 (dua) orang saksi (Terdapat pada

Pasal 200 R.Bg), dengan syarat-syarat: a) Warga Negara Indonesia.

b) Berusia minimal 21 Tahun. c) Dapat Dipercaya.

3) Eksekusi dijalankan di tempat dimana barang (obyek) itu berada.

4) Membuat berita acara eksekusi, dengan ketentuan memuat: a) Waktu (hari, tanggal, bulan, tahun dan jam)

pelaksanaan.

b) Jenis, letak, ukuran dari barang yang dieksekusi. c) Tentang kehadiran termohon eksekusi.

d) Tentang pengawas barang (obyek) yang dieksekusi. e) Penjelasan tentang Niet Bevinding (barang atau obyek yang tidak diketemukan atau tidak sesuai dengan amar putusan).

f) Penjelasan tentang dapat atau tidaknya eksekusi dijelaskan.


(17)

g) Keterangan tentang penyerahan barang (obyek) kepada pemohon eksekusi.

h) Tanda tangan Panitera atau Jurusita atau Jurusita Pengganti (eksekutor), 2 (dua) orang saksi yang membantu menjalankan eksekusi. Kepala Desa, Lurah, atau Camat dan termohon eksekusi itu sendiri. Untuk tanda tangan Kepala Desa atau Lurah atau Camat dan termohon eksekusi tidaklah merupakan keharusan. Artinya tidaklah mengakibatkan tidak sahnya eksekusi, akan tetapi akan lebih baik jika mereka turut tanda tangan guna menghindari hal-hal yang tidak diingini.

5) Memberitahukan isi berita acara eksekusi kepada termohon eksekusi (Terdapat pada Pasal 209 R.Bg), yang dilakukan ditempat dimana eksekusi dijalankan (jika termohon eksekusi hadir pada saat eksekusi dijalankan), atau ditempat kediamannya (jika termohon eksekusi tidak hadir pada saat eksekusi dijalankan).

2. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang.

Untuk sampai pada realisasi penjualan lelang sebagai syarat dari eksekusi pembayaran sejumlah uang, maka eksekusi tersebut perlu melalui proses tahapan sebagai berikut :


(18)

a. Adanya permohonan dari pemohon eksekusi kepada Ketua Pengadilan.

b. Adanya peringatan atau teguran (aanmaning) dari Ketua Pengadilan kepada termohon eksekusi agar ianya dalam waktu tidak lebih dari 8 (delapan) hari, sejak aanmaning dilakukan, melaksanakan amar putusan.

c. Setelah masa peringatan atau teguran (aanmaning) dilampaui, termohon eksekusi masih tetap tidak memenuhi isi putusan berupa pembayaran sejumlah uang, maka sejak saat itu ketua pengadilan secara ex afficio mengeluarkan surat penetapan (beschikking) berisi perintah kepada panitera/jurusita/jurusita pengganti untuk melakukan sita eksekusi (executorial beslag) terhadap harta kekayaan jika sebelumnya tidak diletakkan sita jaminan sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 208 R.Bg (tata cara sita eksekusi hampir sama dengan sita jaminan).

d. Adanya perintah penjualan lelang, dilanjutkan dengan penjualan lelang setelah terlebih dahulu dilakukan pengumuman sesuai dengan ketentuan pelelangan. Lalu diakhiri dengan penyerahan uang hasil lelang kepada pemohon eksekusi.


(19)

Sebagai realisasi dari putusan hakim terhadap pihak yang telah kalah dalam suautu perkara di pengadilan, maka masalah eksekusi telah diatur di dalam berbagai ketentuan antara lain:

1. Pasal 206 - Pasal 240 R.Bg dan Pasal 258 R.Bg (tentang tata cara eksekusi secara umum).

2. Pasal 259 R.Bg (tentang putusan yang menghukum tergugat untuk melakukan suatu perbuatan tertentu).

3. Sedangkan pada Pasal 242 - Pasal 257 R.Bg, yang mengatur tentang sandera (gijzeling) tidak lagi diberlakukan secara efektif.

4. Pasal 191 R.Bg, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2001 (tentang pelaksanaan putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yaitu serta merta).

5. Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 (tentang pelaksanaan putusan pengadilan).

Djazuli Bachir SH menyatakan bahwa sumber hukum eksekusi adalah:45

1. Hukum Acara Perdata.

Hukum Acara Perdata yang berlaku sekarang ini diatur di dalam Herziene Inlandsch Reglement (HIR) yang berlaku secara khusus untuk daerah Jawa dan Madura.


(20)

Sedangkan Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur di dalam Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBG). Di dalam HIR telah diatur tentang eksekusi putusan pengadilan pada bagian kelima, yaitu pada Pasal 195 sampai dengan Pasal 224 HIR. Sedangkan di dalam R.Bg diatur pada bagian keempat, yaitu pada Pasal 206 sampai dengan Pasal 225. Sampai saat sekarang, belum ada dibuat suatu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata atau HIR atau RBG yang lain. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, HIR, dan RBG merupakan produk hukum di jaman penjajahan Belanda yang masih tetap berlaku sebagai Hukum Acara Perdata yang harus dipedomani oleh lembaga peradilan dan para praktisi hukum.

2. Hukum Acara Perdata Lain Yang Berhubungan.

Di dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dikatakan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilaksanakan oleh panitera dan jurusita serta dipimpin oleh ketua Pengadilan Negeri. Selanjutnya di dalam Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, dikatakan bahwa di dalam perkara perdata maka panitera Pengadilan Negeri bertugas untuk melaksanakan putusan pengadilan.


(21)

Di dalam Undang-Undang 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung, dikatakan bahwa Mahkamah Agung dapat meninjau atau membatalkan suatu putusan perdata atas dasar alasan:

a. Apabila putusan tersebut dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang mencolok.

b. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.

c. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan yang belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.

d. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu hal yang sama atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau yang sama tingkatnya telah diberikan putusan yang satu sama lain bertentangan.

e. Apabila dalam suatu putusan pengadilan terdapat ketentuan-ketentuan yang satu sama lain bertentangan.

f. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat dari pihak lawan yang diketahui setelahnya perkara diputus atau pada keterangan saksi atau surat-surat bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.

g. Apabila setelah perkara diputus diketemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan pada waktu perkara diperiksa, surat-surat tersebut tidak dapat ditemukan.


(22)

Dengan demikian, dalam praktek hukum masih ada upaya hukum yang luar biasa untuk dapat membatalkan suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang bersifat tetap, dan upaya hukum yang luar biasa tersebut dikenal dengan derden verzet atau permohonan Peninjauan Kembali pada putusan Mahkamah Agung (permohonan P.K). 4. Surat Edaran Mahkamah Agung

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 tahun 1975 dikatakan bahwa Mahkamah Agung tentang gijzeling (penyanderaan) sebagaimana diakui di dalam Pasal 209 HIR/Pasal 242 R.Bg tidak dibenarkan lagi untuk dilaksanakan dalam Hukum Acara Perdata di peradilan di Indonesia oleh karena bertentangan dengan perikemanusiaan. Dengan demikian Hukum Acara Perdata di Indonesia tidak lagi mengenal adanya penyanderaan (gijzeling) apabila seseorang tidak mampu membayar hutangnya dalam hal pengeksekusian tersebut.

Selain peraturan peraturan di atas masih ada peraturan lain yang dapat menjadi dasar dari penerapan eksekusi yaitu:

1. Undang-undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 33 ayat (4) yaitu tentang kewajiban hukum yang bersendikan norma-norma moral, dimana dalam melaksanakan putusan pengadilan diusahakan supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara.

2. Mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan Agama diatur di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, menyatakan sesudah itu keputusan dapat dijalankan menurut aturan biasa tentang menjalankan


(23)

keputusan-keputusan Pengadilan Umum. Dalam perkara ini, Stb. 1937 No. 63-639, pasal 3 ayat (5) alinea 3 berbunyi, sesudah itu keputusan dapat dijalankan menurut aturan-aturan menjalankan keputusan sipil Pengadilan Negeri (Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 pasal 4 ayat (5) dan pasal-pasal lain yang berhubungan).

3. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980 yang disempurnakan. Di dalam pasal 5 dinyatakan bahwa permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan eksekusi.

4. SEMA No. 4 Tahun 1975 yang menyatakan bahwa penyanderaan ditujukan pada orang yang sudah tidak mungkin lagi dapat melunasi hutang-hutangnya. Dan kalau disandera ia akan kehilangan kebebasan bergerak, ia tidak ada lagi kesempatan untuk berusaha mendapatkan uang atau barang-barang untuk melunasi hutangnya.

D. Aturan-Aturan Pelaksanaan Eksekusi

Di dalam melaksanakan eksekusi, ada beberapa aturan-aturan ataupun tata cara yang harus dilaksanakan antara lain:

1. Pelaksanaan Eksekusi Riil.

Menjalankan eksekusi riil merupakan tindakan nyata yang dilakukan secara langsung guna melaksanakan apa yang telah dihukumkan dalam amar putusan, dengan tahapan:

a. Adanya permohonan dari penggugat (pemohon eksekusi) kepada ketua pengadilan. Terdapat pada Pasal 207 ayat (1) R.Bg.


(24)

b. Adanya peringatan (aanmaning) dari ketua pengadilan kepada termohon eksekusi agar ianya dalam waktu tidak lebih dari 8 (delapan) hari dari sejak aanmaning dilakukan, melaksanakan isi putusan tersebut secara sukarela. Terdapat pada Pasal 207 ayat (2) R.Bg, dengan cara:

1) Melakukan pemanggilan terhadap termohon eksekusi dengan menentukan hari, tanggal, jam dan tempat.

2) Memberikan peringatan (kalau ianya datang), yaitu dengan cara:

a) Dilakukan dalam sidang insidentil yang dihadiri oleh ketua pengadilan, panitera dan termohon eksekusi. b) Dalam sidang tersebut diberikan peringatan atau

teguran agar termohon eksekusi dalam waktu 8 (delapan) hari dapat melaksanakan isi putusan tersebut.

c) Membuat berita acara sidang insidentil (aanmaning), yang mencatat peristiwa yang terjadi dalam persidangan tersebut.

d) Berita acara sidang aanmaning tersebut akan dijadikan bukti bahwa kepada termohon eksekusi telah dilakukan peringatan ataupun teguran untuk melaksanakan amar putusan secara sukarela, yang


(25)

selanjutnya akan dijadikan dasar dalam mengeluarkan perintah eksekusi.

Apabila setelah dipanggil secara patut, termohon eksekusi ternyata tidak hadir dan ketidak hadirannya disebabkan oleh halangan yang sah (dapat dipertanggung jawabkan), maka ketidakhadirannya masih dapat dibenarkan dan ianya harus dipanggil kembali untuk di

aanmaning. Akan tetapi apabila ketidak hadirannya itu tidak ternyata adanya alasan yang sah (tidak dapat dipertanggung jawabkan), maka termohon eksekusi harus menerima akibatnya, yaitu hilangnya hak untuk dipanggil kembali dan hak untuk di

aanmaning serta ketua pengadilan terhitung sejak termohon eksekusi tidak memenuhi panggilan tersebut, dapat langsung mengeluarkan surat penetapan (beschikking) tentang perintah menjalankan eksekusi.

c. Setelah tenggang waktu 8 (delapan) hari ternyata termohon eksekusi masih tetap tidak bersedia melaksanakan isi putusan tersebut secara sukarela, maka ketua pengadilan mengeluarkan penetapan dengan mengabulkan permohonan pemohon eksekusi dengan disertai surat perintah eksekusi, dengan ketentuan:

1) Berbentuk tertulis berupa penetapan (beschikking).

Ditujukan kepada panitera atau jurusita atau jurusita pengganti.


(26)

2) Berisi perintah agar menjalankan eksekusi sesuai dengan amar putusan.

d. Setelah menerima perintah menjalankan eksekusi dari ketua pengadilan, maka panitera atau jurusita atau jurusita pengganti merencanakan atau menentukan waktu serta memberitahukan tentang eksekusi kepada termohon eksekusi, kepala desa atau lurah atau kecamatan ataupun kepolisian setempat.

e. Proses selanjutnya pada waktu yang telah ditentukan, panitera atau jurusita atau jurusita pengganti langsung ke lapangan guna melaksanakan eksekusi dengan ketentuan:

1) Eksekusi dilaksanakan oleh panitera atau juru sita ataupun juru sita pengganti. Terdapat pada Pasal 209 ayat 1 R.Bg. 2) Eksekusi dibantu oleh 2 (dua) orang saksi dengan

syarat-syarat:

a) Warga Negara Indonesia (WNI). b) Berusia minimal 21 tahun. c) Dapat dipercaya.

3) Eksekusi dijalankan di tempat dimana barang (objek) itu berada.

4) Membuat berita acara eksekusi, dengan ketentuan memuat: a) Waktu (hari, tanggal, bulan, tahun dan jam)

pelaksanaan.


(27)

c) Tentang kehadiran termohon eksekusi.

d) Tentang pengawas barang (objek) yang dieksekusi. e) Penjelasan tentang Niet Bevinding (barang atau objek

yang tidak diketemukan atau tidak sesuai dengan amar putusan).

f) Penjelasan tentang dapat atau tidaknya eksekusi dijelaskan.

g) Keterangan tentang penyerahan barang (objek) kepada pemohon eksekusi.

h) Tanda tangan panitera atau jurusita atau jurusita pengganti (eksekutor), 2 (dua) orang saksi yang membantu menjalankan eksekusi, kepala desa atau lurah atau camat dan termohon eksekusi itu sendiri. Untuk tanda tangan kepala desa atau lurah ataupun camat dan termohon eksekusi tidaklah merupakan keharusan. Artinya tidaklah mengakibatkan tidak sahnya eksekusi, akan tetapi akan lebih baik jika mereka turut tanda tangan guna menghindari hal-hal yang tidak diingini.

5) Memberitahukan isi berita acara eksekusi kepada termohon eksekusi yang dilakukan di tempat dimana eksekusi dijalankan (jika termohon eksekusi hadir pada saat eksekusi


(28)

dijalankan), atau ditempat kediamannya (jika termohon eksekusi tidak hadir pada saat eksekusi dijalankan).


(29)

BAB IV

ANALISIS YURIDIS KEKUATAN EKSEKUTORIAL JAMINAN FIDUSIA BUKTI PEMILIKAN KENDARAAN BERMOTOR YANG TELAH DIDAFTARKAN (STUDI PADA KANTOR WILAYAH KEMENTRIAN

HUKUM DAN HAM SUMATERA UTARA)

A. Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Jaminan Fidusia

Pada masa sekarang ini, perkembangan hukum jaminan sangatlah memerlukan lembaga yang dapat memberikan perlindungan kepada para pihak, baik pada pihak yang memberikan jaminan (debitor) maupun pihak yang menerima jaminan (kreditor). Untuk memenuhi hal tersebut, maka dapat dilakukan dengan cara melakukan pendaftaran.

Begitu pula dengan jaminan fidusia. Dengan didaftarkannya jaminan fidusia, tentu saja akan memberikan perlindungan terhadap semua pihak baik itu pihak debitor maupun kreditor. Pendaftaran dilakukan untuk memenuhi unsur publikasi dari adanya jaminan fidusia tersebut. Perlindungan hukum yang dapat diberikan dengan adanya pendaftaran jaminan fidusia tersebut adalah adanya kemudahan untuk melaksanakan eksekusi jaminan utangnya dalam hal debitur melakukan cidera janji (wanprestasi).


(30)

Sebagai upaya untuk memperkuat perlindungan hukum bagi para pihak, maka kantor pendaftaran fidusia akan mengeluarkan alat tanda bukti tentang adanya jaminan fidusia atas barang atau benda tersebut. Yang diantaranya mencantumkan nama pemberi dan pemegang jaminan fidusia, objek dari jaminan fidusia, nilai penjaminan atas jaminan fidusia, akta jaminan fidusia serta perjanjian pokok yang mendasari adanya akta jaminan fidusia. Surat itu disebut dengan Sertifikat Jaminan Fidusia sebagai salinan dari Buku Daftar Fidusia. Buku daftar fidusia merupakan tempat lahirnya jaminan fidusia yaitu dengan dicatatkan di dalamnya.

Sertifikat jaminan fidusia merupakan alat bukti dari jaminan fidusia yang telah di daftarkan yang di dalamnya tercantum irah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian memiliki kekuatan eksekutorial yang dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Dengan kekuatan eksekutorial yang memberikan kepada penerima jaminan fidusia untuk dapat melakukan pelaksanaan eksekusi tanpa perlu adanya suatu putusan pengadilan, maka penerima jaminan fidusia memiliki kekuatan yang kuat dan dilindungi oleh undang-undang. Inilah yang akan memberikan rasa aman bagi penerima jaminan fidusia dan rasa percaya terhadap pemberi jaminan fidusia.

Hal ini sejalan dengan pendapat dari Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani yang menyatakan bahwa ”sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Jadi berdasarkan titel eksekutorial ini, penerima


(31)

jaminan fidusia dapat langsung melaksanakan proses eksekusi melalui pelelangan umum atas objek jaminan fidusia tanpa melalui pengadilan.”46

Kekuatan eksekutorial atas sertifikat jaminan fidusia memberikan hak kepada penerima jaminan fidusia untuk dapat mengeksekusi jaminan fidusianya dengan syarat debitor atau pemberi jaminan fidusia tersebut telah melakukan cidera janji (wanprestasi), dengan menjalankan cara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia juga memberi kemudahan dalam melaksanakan eksekusi melalui lembaga parate eksekusi. Kemudahan dalam pelaksanaan eksekusi ini tidak semata-mata merupakan monopoli jaminan fidusia, karena di dalam hal gadai juga dikenal lembaga yang serupa.47

Pada Pasal 29 ayat (1), memberikan hak kepada penerima jaminan fidusia untuk melakukan eksekusi dengan cara:48

1. Eksekusi Berdasarkan Titel Eksekutorial.

Titel eksekutorial seperti di atas mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Karena dipersamakan dengan putusan pengadilan, maka prosedur dan tata cara dari pelaksanaan eksekusi dilaksanakan sesuai dengan pelaksanaan dari putusan pengadilan.

2. Eksekusi Berdasarkan Penjualan Benda Yang Menjadi Objek Jaminan Fidusia Atas Kekuasaan Penerima Sendiri Melalui Pelelangan Umum.

46 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit, hlm. 158. 47 Ibid.,


(32)

Pelaksanaan eksekusi sesuai dengan ketentuan di atas dilandaskan pada kekuasaan sendiri dari penerima jaminan fidusia yaitu dengan cara melakukan parate eksekusi.

3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima jaminan fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Ketentuan penjualan di bawah tangan ini disediakan oleh pembuat undang-undang agar antara pemberi dan penerima jaminan fidusia dapat menentukan berdasarkan kesepakatan mereka dengan perkiraan akan memperoleh harga yang lebih tinggi, dan menjual secara di bawah tangan. Jadi pada prinsipnya adalah bahwa penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia haruslah melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi. Namun demikian dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan mengahasilkan harga tertinggi yang menguntungkan baik pemberi jaminan fidusia ataupun penerima jaminan fidusia, maka dimungkinkan penjualan di bawah tangan asalkan hal tersebut telah disepakati oleh pemberi jaminan fidusia dan juga penerima jaminan fidusia dan syarat jangka waktu pelaksanaan penjualan tersebut dipenuhi.

Khusus untuk point ketiga, pelaksanaan penjualan tersebut dilakukan setelah waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi jaminan fidusia dan penerima jaminan fidusia kepada pihak-pihak yang


(33)

berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.49

Di dalam surat kuasa perjanjian pembiayaan kendaraan bermotor berupa mobil yang telah didaftarkan pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Ham Sumatera Utara yang dilakukan oleh debitor dan PT Toyota Astra Financial selaku kreditor, terdapat kekuatan eksekutorial jaminan kendaraan bermotor berupa mobil tersebut terhadap pemegang jaminan fidusia.

Di dalam surat kuasa tersebut dikatakan bahwa kreditor berhak untuk melakukan tindakan-tindakan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak apabila debitor lalai dalam melakukan salah satu ataupun seluruh kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, yang meliputi:

1. Berhak mengambil secara langsung kendaraan bermotor tersebut yang apabila diperlukan dapat menggunakan bantuan dari pihak Kepolisian dan/atau pihak berwenang lainnya.

2. Kreditor diperbolehkan memasuki areal kantor, gudang, pabrik, areal parkir ataupun tempat lain dimana barang tersebut berada. Dan hal tersebut tidak akan dianggap sebagai memasuki tempat atau bangunan tanpa izin ”huisvredeberuk” dan membuka setiap pintu gerbang, pintu, ataupun pengikat dan melepaskan serta membongkar barang-barang lainnya dimana barang tersebut berada dan secara fisik mengangkatnya. Dimana perbuatan tersebut bukanlah suatu tindak pidana dan debitor bertanggung jawab atas


(34)

segala kerusakan pada tanah ataupun bangunan yang disebabkan proses pelepasan tersebut.

3. Kreditor berhak untuk mengambil STNK, barang, ataupun dokumen lainnya yang sehubungan dengan barang yang disimpan atau ada dalam kuasa dari pihak debitor maupun pihak lain siapapun adanya dan membawanya ke tempat yang dipandang baik oleh pihak kreditor.

4. Kreditor mendapatkan persetujuan untuk mengadakan pemblokiran atas STNK atau BPKB serta mengurus dan menyelesaikan balik nama kendaraan tersebut di atas guna kepentingan kreditor atas biaya dari pihak debitor. 5. Kreditor berhak untuk menjual kendaraan tersebut di atas pada pihak ketiga

atau siapapun adanya menurut cara dan harga yang dianggap patut oleh kreditor tersebut, membayar ongkos pengambilan dan penjualan dari hasil penjualan tersebut serta menggunakan sebagian atau seluruh hasil penjualan bersih tersebut untuk pembayaran hutang dari pihak debitor kepada kreditor. Berdasarkan isi dari contoh salah satu surat kuasa di atas, maka dapat ditegaskan bahwa jaminan fidusia berupa bukti pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan memiliki kekuatan eksekutorial dan juga memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang jaminan fidusia.

Dalam hal ini, kreditor sebagai pemegang jaminan fidusia berhak untuk melakukan eksekusi tanpa melalui proses pengadilan atas kendaraan bermotor yang dimiliki oleh debitor (pemberi jaminan fidusia) apabila debitor tersebut lalai dalam melakukan kewajiban pelunasan hutangnya.


(35)

B. Proses Pelaksanaan Eksekusi Terhadap Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan

Fidusia merupakan salah satu jenis jaminan hutang yang memiliki unsur-unsur yang cepat, murah dan pasti. Dalam praktiknya hal tersebut banyak dikeluhkan karena selama belum keluarnya Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia, tidak ada kejelasan mengenai bagaimana caranya mengeksekusi jaminan fidusia tersebut. Sehingga banyak yang menafsirkan eksekusinya memakai prosedur gugatan biasa, yaitu melalui pengadilan dengan prosedur biasa yang panjang, mahal dan sangat melelahkan.50

Salah satu ciri dari jaminan hutang kebendaan yang baik adalah manakala hak agunan tersebut dapat dieksekusi secara cepat dengan proses yang sederhana, efisien dan mengandung kepastian hukum.51 Misalnya, ketentuan eksekusi jaminan

fidusia di Amerika Serikat yang memperbolehkan pihak kreditor mengambil sendiri barang objek jaminan fidusia asalkan dapat menghindarkan pertengkaran atau perkelahian. Barang tersebut dapat dijual di depan umum, atau dijual di bawah tangan, asalkan dilakukan dengan itikad yang baik.52

Dalam praktiknya, proses pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia di bawah tangan sangatlah jarang digunakan.53 Salah satu terobosan yang dilakukan oleh

Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia ini adalah dengan mengambil pola eksekusi hak tanggungan yang dikembangkan oleh Undang-Undang No. 4 Tahun

50 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op. cit, hlm. 57. 51 Munir Fuady, op. cit, hlm. 57.


(36)

1996 tentang Hak Tanggungan, yaitu dengan mengatur eksekusi jaminan fidusia secara bervariasi, sehingga para pihak dapat memilih model eksekusi yang diinginkan.

Model-model eksekusi jaminan fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah sebagai berikut:54

1. Eksekusi Jaminan Fidusia Dengan Titel Eksekutorial.

Ada beberapa akta yang mempunyai titel eksekutorial yang disebut dengan istilah grosse akta, yaitu :

a. Akta Hipotek.

b. Akta Pengakuan Hutang.

c. Akta Hak Tanggungan (berdasarkan pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan).

d. Akta Fidusia (berdasarkan pada Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia).

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, setiap akta yang mempunyai titel eksekutorial dapat dilakukan langsung proses eksekusi. Akta ini dibuat dihadapan notaris di Indonesia yang kepalanya berbunyi, ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Akta yang memiliki irah-irah tersebut berkekuatan sama dengan suatu keputusan hakim dari pengadilan. Jadi berdasarkan titel eksekutorial ini, penerima jaminan fidusia dapat langsung melaksanakan proses eksekusi


(37)

melalui pelelangan umum atas objek jaminan fidusia tanpa melalui proses pengadilan.

Jika tidak ada jalan damai, maka surat yang demikian di eksekusi dengan perintah dan di bawah pimpinan ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya tempat tinggal debitor itu atau tempat kedudukan yang dipilihnya, yaitu menurut cara yang dinyatakan dalam pasal-pasal sebelumnya. Tetapi dengan pengertian bahwa paksaan badan hanya boleh dilakukan jika sudah diizinkan oleh keputusan hakim.

Dengan demikian, akta tersebut tinggal di eksekusi tanpa perlu lagi adanya suatu putusan pengadilan. Yang dimaksud dengan fiat eksekusi adalah eksekusi atas sebuah akta seperti mengeksekusi suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yakni dengan cara menerima fiat dari Ketua Pengadilan, yaitu memohon penetapan untuk melaksanakan eksekusi. Maka Ketua Pengadilan akan memimpin eksekusi tersebut.

2. Eksekusi Jaminan Fidusia Secara Parate Eksekusi Lewat Pelelangan Umum.

Eksekusi jaminan fidusia dapat juga dilakukan dengan jalan melalui lembaga parate eksekusi yaitu melalui lembaga pelelangan umum yaitu kantor lelang. Dimana hasil dari pelelangan tersebut diambil untuk melunasi pembayaran piutang-piutangnya.

Pasal 1155 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa ”apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain,


(38)

maka si berpiutang adalah berhak jika si berutang atau si pemberi gadai cidera janji untuk membayar dan menyuruh menjual barangnya dimuka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta syarat-syarat yang lazim berlaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut.”55

Pada prinsipnya bahwa penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia haruslah melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi.

3. Eksekusi Jaminan Fidusia Secara Parate Eksekusi (Penjualan Dibawah Tangan).

Jaminan fidusia dapat juga dieksekusi secara parate eksekusi (mengeksekusi tanpa melalui pengadilan) dengan cara menjual benda objek jaminan fidusia tersebut secara di bawah tangan, apabila penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi yang menguntungkan kedua belah pihak baik pemberi jaminan fidusia maupun penerima jaminan fidusia.

Penjualan di bawah tangan dapat dilakukan asalkan memenuhi syarat-syarat yang terdapat di dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia, yaitu:

a. Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pembeli dengan penerima jaminan fidusia.


(39)

b. Jika dengan cara penjualan di bawah tangan tersebut dicapai harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

c. Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau penerima jaminan fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

d. Diumumkan dalam sedikit-dikitnya dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.

e. Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis.

Pemberi fidusia diwajibkan untuk menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Dalam hal pemberi jaminan fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut pada waktu proses eksekusi dilaksanakan, penerima jaminan fidusia berhak untuk mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan dari pihak yang berwenang.

4. Eksekusi jaminan fidusia secara mendaku.

Istilah mendaku disini maksudnya adalah membuat menjadi aku punya, sehingga yang dimaksud dengan eksekusi jaminan fidusia secara mendaku adalah eksekusi jaminan fidusia dengan cara mengambil barang fidusia untuk menjadi milik kreditor secara langsung tanpa melalui suatu transaksi apa pun.56


(40)

Eksekusi jaminan fidusia secara mendaku ini dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia dengan tegas dilarang. Hal ini tertera di dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa ”setiap janji yang memberikan kewenangan kepada penerima jaminan fidusia untuk memiliki benda yang menjadi jaminan fidusia apabila debitor cidera janji akan batal demi hukum.”57

Dalam proses pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia bukti pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan, kreditor mendapatkan hak preferen atas objek jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor yang diterimanya. Di dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia, dikatakan bahwa hak preferen adalah hak dari penerima jaminan fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Hak preferen tersebut lahir pada saat pendaftaran jaminan fidusia dilakukan. Jadi selama jaminan fidusia tidak didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia, kreditor penerima jaminan fidusia tidak memiliki hak preferen.

Kreditor dapat mengambil pelunasan piutangnya dengan cara melaksanakan eksekusi yang dilakukan secara lelang atau penjualan di muka umum yang harus dilakukan melalui prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, dan setiap prosedur yang dijalani membutuhkan waktu baik yang telah ditentukan oleh


(41)

ketentuan perundang-undangan ataupun tidak ditentukan di dalam ketentuan perundang-undangan.

Selain dari proses pelaksanaan eksekusi yang dilakukan secara lelang atau penjualan di muka umum, proses pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia bukti pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan juga dapat dilakukan dengan cara menjual kendaraan bermotor tersebut secara di bawah tangan. Hal ini dilakukan apabila penjualan melalui lelang atau penjualan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tinggi yang menguntungkan kedua belah pihak baik pemberi jaminan fidusia maupun penerima jaminan fidusia.

C. Hambatan Dan Upaya Penyelesaian Dalam Proses Pelaksanaan Eksekusi Terhadap Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan

Jika telah terjadi cidera janji (wanprestasi), pemberi jaminan fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut yaitu kendaraan bermotor dalam rangka proses pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia bukti pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan. Idealnya pada waktu akan dilakukan proses eksekusi, objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor tersebut sudah dikuasai oleh kreditor sebagai penerima jaminan fidusia tersebut.

Akan tetapi pada kenyataannya tidak jarang pada saat proses eksekusi akan dilaksanakan, kreditor menemui banyak permasalahan. Permasalahan tersebut muncul antara lain karena benda yang dijaminkan tersebut masih berada dalam


(42)

penguasaan debitor. Oleh karena masih dikuasai objek jaminan tersebut, masyarakat umumnya menganggap benda jaminan tersebut adalah miliknya.

Secara umum hambatan-hambatan yang dihadapi dalam proses pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia adalah:

1. Objek Jaminan Fidusia Tidak Diserahkan Oleh Debitor.

Apabila dalam hal terjadi cidera janji (wanprestasi), debitor tidak mau menyerahkan objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor dan menghalang-halangi pengambilan kendaraan bermotor, sedangkan pada Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah ditentukan bahwa pemberi jaminan fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor namun tidak menyerahkan kendaraan bermotor pada waktu proses eksekusi dilaksanakan, penerima jaminan fidusia berhak mengambil kendaraan bermotor tersebut. Apabila perlu dapat meminta bantuan dari pihak yang berwenang, dalam hal ini aparat Kepolisian dengan cara mengajukan permohonan permintaan tertulis dan melampirkan dokumen (foto copy sertifikat jaminan bukti pemilikan kendaraan bermotor). Perlu sekali adanya sanksi yang tegas yang harus ditetapkan di dalam Undang-Undang apabila debitor tidak mau menyerahkan kendaraan bermotor tersebut.

2. Terhadap Objek Jaminan Fidusia, Persediaan Barang Saat Dieksekusi Objeknya Tidak Ada.

Pemberi jaminan fidusia dalam jangka waktu tertentu atau setiap waktu dipandang perlu oleh kreditor untuk memberikan laporan tertulis secara


(43)

terperinci kepada penerima jaminan fidusia tentang adanya serta keadaan dari objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor dan juga perubahannya disertai dengan bukti yang sah. Daftar rincian dan laporan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akta jaminan fidusia. Benda persediaan atau stock barang yang dijadikan objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor tersebut biasanya diasuransikan oleh pemberi jaminan fidusia untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, seperti: bahaya kebakaran dan kehilangan. Semua premi asuransi harus ditanggung dan dibayar oleh pemberi jaminan fidusia kendaraan bermotor tersebut.

3. Objek Jaminan Fidusia Telah Beralih Pada Pihak Ketiga.

Objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor beralih ke pihak ketiga dapat dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar dan lain-lain. Umumnya hal ini terjadi terhadap objek jaminan fidusia berupa barang bergerak seperti kendaraan bermotor ini.

Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia secara tegas melarang pemberi jaminan fidusia untuk mengalihkan, menggadaikan ataupun menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis dari penerima jaminan fidusia. Perlindungan kepentingan kreditor terhadap kemungkinan penyalahgunaan debitor atau pemberi jaminan fidusia dengan ketentuan pidana Pasal 36 Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia diancam pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).


(44)

4. Nilai Objek Jaminan Fidusia Berubah.

Kendaraan bermotor sebelum ditetapkan sebagai jaminan fidusia harus dinilai terlebih dahulu kelayakannya. Sebagaimana penilaian yang seharusnya diikuti, terhadap barang bergerak juga harus dinilai dari segi hukum, segi ekonomi, dan ditetapkan nilai taksasinya yang wajar dengan memperhatikan margin pengaman yang ditetapkan untuk masing-masing jenis barang bergerak.

Harga dari objek jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor tersebut selalu berubah-ubah dari saat awal penjamin karena objek jaminan fidusia mengalami penyusutan (depresiasi), sehingga nilainya setelah dieksekusi menjadi kurang ketika dilakukan pembayaran utang kepada kreditor. Apabila hasil dari eksekusi objek jaminan fidusia oleh kreditor tidak mencukupi dalam pembayaran pinjaman kepada kreditor, maka debitor tetap bertanggung jawab atas hutang yang belum terbayar tersebut.

5. Mahalnya Biaya Lelang Dan Penyelenggaraan Lelang.

Dalam hal parate eksekusi dilakukan melalui lembaga lelang, beberapa faktor penghambat yang menimbulkan masalah dalam pelaksanaan tugas ini yaitu adanya komisi. Prosedur yang wajib ditempuh ketika akan melakukan lelang eksekusi adalah pengumuman lelang, pemberian prioritas (hak didahulukan) dan penentuan pemohon lelang atau pemimpin lelang, dan penentuan juru lelang (vendu meester) sebagai pejabat umum yang berwenang membuat grosse akta risalah lelang pada wilayah hukum tertentu. Barang yang dilelang melalui Kantor Lelang dan Balai Lelang


(45)

dikenakan bea lelang dan penyelenggaraan lelang. Peraturan lelang menetapkan persen yang lebih tinggi untuk bea lelang barang bergerak seperti kendaraan bermotor dibandingkan dengan persenan bea lelang untuk barang tidak bergerak. Hal ini disebabkan karena biasanya barang tidak bergerak harganya lebih mahal dari pada barang bergerak seperti kendaraan bermotor tersebut. Biaya penyelenggaraan lelang lainnya yang biasanya memberatkan debitor adalah biaya iklan di surat kabar. Biaya iklan ini dibebankan kepada debitor sebagai pemilik objek jaminan fidusia kendaraan bermotor tersebut.

Dalam menghadapi hambatan-hambatan dalam proses pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia bukti pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan, terdapat upaya-upaya dalam penyelesaiannya. Antara lain:

1. Kreditor harus menguasai objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor tersebut. Dalam hal ini debitor sebagai pemberi jaminan fidusia kendaraan bermotor tersebut harus menyerahkan kendaraan bermotor tersebut kepada kreditor. Apabila kendaraan bermotor yang dijadikan sebagai objek jaminan fidusia digunakan oleh debitor, maka debitor harus menyerahkan bukti pemilikan kendaraan bermotor tersebut kepada kreditor. Hal ini untuk menghindari kemungkinan terjadinya masalah dalam proses pengeksekusian apabila debitor lalai dalam melaksanakan kewajibannya. 2. Pemberi jaminan fidusia dalam jangka waktu tertentu atau setiap waktu

harus memberikan laporan tertulis secara terperinci kepada penerima jaminan fidusia yaitu kreditor tentang adanya serta keadaan dari objek


(46)

jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor tersebut dan juga perubahan yang mungkin terjadi disertai dengan bukti yang sah. Hal ini penting untuk dilakukan agar kreditor mengetahui keadaan dan kemungkinan terjadinya perubahan dari kendaraan bermotor yang dijadikan objek jaminan fidusia tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan terjadinya kesalahpahaman antara kreditor dan debitor pada saat proses pelaksanaan eksekusi yang mungkin terjadi atas kendaraan bermotor tersebut.

3. Kendaraan bermotor yang dijadikan sebagai objek jaminan fidusia antara kreditor dan debitor tidaklah boleh beralih tangan kepada pihak ketiga. Dalam hal ini kendaraan bermotor tersebut tidak boleh dijual, disewakan ataupun ditukar dengan kendaraan bermotor yang lain tanpa persetujuan dari kreditor tersebut. Hal ini dikarenakan kreditor adalah pemilik dari kendaraan bermotor yang dijadikan sebagai objek jaminan fidusia selama debitor masih memiliki hutang kepada kreditor tersebut.

4. Kendaraan bermotor sebelum ditetapkan sebagai objek jaminan fidusia antara kreditor dan debitor harus dinilai terlebih dahulu kelayakannya. Kendaraan bermotor ini harus dinilai terlebih dahulu dari segi hukum, segi ekonomi, dan ditetapkan nilai taksasinya yang wajar dengan memperhatikan margin pengaman yang ditetapkan untuk masing-masing jenis barang bergerak. Hal ini dikarenakan harga dari objek jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor tersebut selalu berubah-ubah dari saat awal penjamin karena objek jaminan fidusia mengalami penyusutan (depresiasi), sehingga


(47)

nilainya setelah dieksekusi menjadi kurang ketika akan dilakukan pembayaran utang kepada kreditor.

5. Proses pelaksanaan eksekusi melalui cara lelang atau penjualan umum sangat merugikan pihak debitor. Hal ini dikarenakan melalui cara lelang atau penjualan umum tersebut, memakan proses yang sangat lama dan juga biaya yang banyak atas pelaksanaannya. Dan semua biaya-biaya atas pelaksanaan lelang atau penjualan umum tersebut harus ditanggung oleh pihak debitor, maka itulah pelaksanaan dari lelang atau penjualan umum ini sangat merugikan pihak debitor. Untuk menghindari kerugian-kerugian yang diderita atas pelaksanaan lelang atau penjualan umum tersebut, maka antara pihak kreditor dan juga pihak debitor dapat mengambil kesepakatan untuk menjual kendaraan bermotor tersebut di bawah tangan. Hal ini boleh saja dilakukan apabila kedua belah pihak sepakat melaksanakannya dan keuntungan yang diperoleh juga jauh lebih tinggi dari pada melalui proses lelang atau penjualan umum tersebut.


(48)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini akan diuraikan beberapa kesimpulan terhadap penjelasan dan pemahaman teori maupun hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Adapun kesimpulan tersebut antara lain:

1. Di dalam surat kuasa perjanjian pembiayaan kendaraan bermotor berupa mobil yang telah didaftarkan pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Ham Sumatera Utara yang dilakukan oleh debitor dan PT Toyota Astra Financial selaku kreditor, terdapat kekuatan eksekutorial jaminan kendaraan bermotor berupa mobil tersebut terhadap pemegang jaminan fidusia. Di dalam surat kuasa tersebut dikatakan bahwa kreditor berhak untuk melakukan tindakan-tindakan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak apabila debitor lalai dalam melakukan salah satu ataupun seluruh kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, yang meliputi:

a. Berhak mengambil secara langsung kendaraan bermotor tersebut yang apabila diperlukan dapat menggunakan bantuan dari pihak Kepolisian dan/atau pihak berwenang lainnya.

b. Kreditor diperbolehkan memasuki areal kantor, gudang, pabrik, areal parkir ataupun tempat lain dimana barang tersebut berada.


(49)

c. Kreditor berhak untuk mengambil STNK, barang, ataupun dokumen lainnya yang sehubungan dengan barang yang disimpan atau ada dalam kuasa dari pihak debitor maupun pihak lain siapapun adanya. d. Kreditor mendapatkan persetujuan untuk mengadakan pemblokiran

atas STNK atau BPKB.

e. Kreditor berhak untuk menjual kendaraan tersebut di atas pada pihak ketiga atau siapapun adanya menurut cara dan harga yang dianggap patut oleh kreditor tersebut.

Berdasarkan isi dari contoh salah satu surat kuasa di atas, maka dapat ditegaskan bahwa jaminan fidusia berupa bukti pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan memiliki kekuatan eksekutorial dan juga memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang jaminan fidusia. 2. Dalam proses pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia bukti pemilikan

kendaraan bermotor yang telah didaftarkan, kreditor mendapatkan hak preferen atas objek jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor yang diterimanya. Hak preferen adalah hak dari penerima jaminan fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Kreditor dapat menjalankan eksekusi yang dilakukan secara lelang atau penjualan di muka umum yang harus dilakukan melalui prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Selain dari proses pelaksanaan eksekusi yang dilakukan secara lelang atau penjualan di muka umum, proses pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia bukti pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan


(50)

juga dapat dilakukan dengan cara menjual kendaraan bermotor tersebut secara di bawah tangan.

3. Secara umum hambatan-hambatan yang dihadapi dalam proses pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia adalah:

a. Objek Jaminan Fidusia Tidak Diserahkan Oleh Debitor.

b. Terhadap Objek Jaminan Fidusia, Persediaan Barang Saat Dieksekusi Objeknya Tidak Ada.

c. Objek Jaminan Fidusia Telah Beralih Pada Pihak Ketiga. d. Nilai Objek Jaminan Fidusia Berubah.

e. Mahalnya Biaya Lelang Dan Penyelenggaraan Lelang.

Dalam menghadapi hambatan-hambatan dalam proses pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia bukti pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan, terdapat upaya-upaya dalam penyelesaiannya. Antara lain:

a. Kreditor harus menguasai objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor tersebut.

b. Pemberi jaminan fidusia dalam jangka waktu tertentu atau setiap waktu harus memberikan laporan tertulis secara terperinci kepada penerima jaminan fidusia yaitu kreditor tentang adanya serta keadaan dari objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor tersebut dan juga perubahan yang mungkin terjadi disertai dengan bukti yang sah.


(51)

c. Kendaraan bermotor yang dijadikan sebagai objek jaminan fidusia antara kreditor dan debitor tidaklah boleh beralih tangan kepada pihak ketiga.

d. Kendaraan bermotor sebelum ditetapkan sebagai objek jaminan fidusia antara kreditor dan debitor harus dinilai terlebih dahulu kelayakannya.

e. Proses pelaksanaan eksekusi melalui cara lelang atau penjualan umum sangat merugikan pihak debitor. Untuk menghindari kerugian-kerugian yang diderita atas pelaksanaan lelang atau penjualan umum tersebut, maka antara pihak kreditor dan juga pihak debitor dapat mengambil kesepakatan untuk menjual kendaraan bermotor tersebut di bawah tangan.

B. SARAN

Berdasarkan beberapa kesimpulan yang telah diuraikan di atas maka sangat perlu untuk dicari langkah-langkah yang tepat untuk menyelesaikan berbagai masalah yang telah diuraikan sebelumnya. Untuk itu ada beberapa saran yang mungkin dapat dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, yaitu sebagai berikut:

1. Jaminan fidusia sebagai salah satu jaminan yang saat ini semakin dipercaya oleh para kreditor karena memiliki kekuatan eksekutorial secara ekonomis memberikan keuntungan bagi para pelaku usaha. Untuk itu perlindungan hukum kepada kreditor yang dijamin oleh Undang-Undang tentang Jaminan


(52)

Fidusia diharapkan benar-benar dirasakan terutama pada waktu eksekusi jaminan fidusia dilakukan. Oleh karena itu eksekusi jaminan fidusia sebagai suatu hak jaminan yang mempunyai kekuatan eksekutorial sudah seharusnya dapat langsung dilaksanakan tanpa adanya ketentuan pembatasan-pembatasan yang menghambat dilaksanakannya proses eksekusi.

2. Dalam proses pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia bukti pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan, kreditor mendapatkan hak preferen atas objek jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor yang diterimanya. Hak preferen adalah hak dari penerima jaminan fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Kreditor hendaknya mendaftarkan objek jaminan fidusia yang dimilikinya kepada Kantor Pendaftaran Fidusia agar dapat memiliki hak preferen sehingga dapat langsung melaksanakan proses eksekusi terhadap objek jaminan fidusia tersebut apabila debitor cidera janji (wanprestasi) atas pelunasan hutangnya.

3. Untuk mengatasi berbagai hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, diharapkan kepada pemerintah dan pembentuk undang-undang agar menjadikan berbagai putusan pengadilan yang ada sebagai bahan masukan bagi perkembangan pembentukan peraturan atau regulasi baru untuk mengoptimalkan implementasi jaminan fidusia, sehingga lebih menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.


(53)

BAB II

SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA

A. Sejarah dan Pengertian Jaminan Fidusia

Fidusia berasal dari kata “fides” yang artinya adalah kepercayaan. Sesuai

dengan arti dari kata ini, maka hubungan hukum antara debitor sebagai pemberi jaminan fidusia dan kreditor sebagai penerima jaminan fidusia merupakan hubungan hukum yang berdasarkan atas rasa kepercayaan dari kedua belah pihak satu sama lain.

Pranata jaminan fidusia telah diberlakukan sebelumnya di dalam masyarakat hukum romawi. Ada dua bentuk jaminan fidusia di dalam masyarakat hukum romawi ini, yaitu fidusia cum creditore dan fidusia cum amico. Kedua bentuk jaminan fidusia ini timbul dari perjanjian yang disebut dengan pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cession.9

Timbulnya jaminan fiducia cum creditore ini disebabkan karena kebutuhan masyarakat akan adanya hukum jaminan. Pada waktu itu dirasakan adanya suatu kebutuhan terhadap hukum jaminan ini, namun belum diatur oleh konstruksi hukum. Dengan adanya jaminan fiducia cum creditore ini maka kewenangan yang dimiliki kreditor akan lebih besar yaitu sebagai pemilik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan. Debitor percaya bahwa kreditor tidak akan menyalahgunakan wewenang yang telah diberikan itu. Kekuatannya hanya terbatas pada kepercayaan dan secara moral saja, tidak memiliki kekuatan hukum.


(54)

Hal ini merupakan kelemahan dari jaminan fidusia pada bentuk awalnya jika dibandingkan dengan sistem hukum jaminan yang dikenal sekarang.

Karena adanya kelemahan itu maka ketika jaminan gadai dan jaminan hipotek berkembang sebagai hak-hak jaminan, jaminan fidusia menjadi terdesak dan bahkan akhirnya hilang dari hukum romawi. Jadi jaminan fidusia itu timbul karena memang adanya kebutuhan masyarakat akan hukum jaminan. Namun kemudian lenyap karena dianggap tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan masyarakat.

Perkembangan selanjutnya dari jaminan fidusia yaitu ketika hukum Belanda meresepsi hukum romawi, dimana jaminan fidusia sudah lenyap dan jaminan fidusia juga tidak ikut diresepsi. Itulah sebabnya mengapa di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pedata, tidak ditemukan pengaturan mengenai jaminan fidusia.10

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pranata jaminan yang diatur adalah jaminan gadai untuk barang bergerak dan jaminan hipotek untuk barang tidak bergerak. Pada mulanya kedua pranata jaminan tersebut dirasakan cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang perkreditan. Namun karena terjadinya krisis pertanian yang melanda negara-negara Eropa pada pertengahan sampai akhir abad ke-19, terjadi penghambatan pada perusahaan-perusahaan pertanian untuk memperoleh kredit.

Pada waktu itu tanah sebagai jaminan kredit menjadi agak kurang popular, dan kreditor menghendaki jaminan gadai sebagai jaminan tambahan disamping jaminan tanah tadi. Bentuk ini digunakan untuk menutupi suatu perjanjian


(55)

peminjaman dengan jaminan. Pihak penjual yaitu penerima kredit menjual barangnya kepada pembeli yaitu pemberi kredit dengan ketentuan bahwa dalam jangka waktu tertentu penjual akan membeli kembali barang-barang itu dan yang penting barang-barang tersebut akan tetap berada dalam penguasaan penjual dengan kedudukan sebagai peminjam pakai.

Dalam perkembangan selanjutnya, jaminan fidusia telah mengalami perkembangan yang sangat berarti. Perkembangan itu misalnya menyangkut kedudukan dari para pihak. Pada zaman romawi dulu kedudukan penerima jaminan fidusia adalah sebagai pemilik atas barang yang difidusiakan, akan tetapi sekarang sudah diterima bahwa penerima jaminan fidusia hanya berkedudukan sebagai pemegang jaminan saja. Tidak hanya sampai disitu, perkembangan selanjutnya juga menyangkut kedudukan debitor, hubungannya dengan pihak ketiga, dan mengenai objek yang difidusiakan.

Mengenai objek jaminan fidusia ini, baik Hoge Raad Belanda maupun Mahkamah Agung di Indonesia secara konsekuen berpendapat bahwa jaminan fidusia hanya dapat dilakukan atas barang-barang bergerak. Namun dalam praktek, orang-orang sudah menggunakan jaminan fidusia untuk barang-barang tidak bergerak. Apalagi dengan belakunya Undang-Undang Pokok Agraria yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960, perbedaan antara barang bergerak dan tidak bergerak menjadi kabur karena undang-undang tersebut menggunakan pembedaan berdasarkan tanah dan bukan tanah.11


(56)

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, objek jaminan fidusia menjadi jelas. Yaitu meliputi benda bergerak baik benda bergerak yang berwujud maupun yang benda bergerak yang tidak berwujud dan juga benda tidak bergerak khususnya bangunan hak-hak atas tanah.

Istilah kata fidusia sendiri berasal dari bahasa Belanda yaitu fiducie.

Sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan fiduciary transfer of ownership, yang artinya adalah kepercayaan. Di dalam berbagai literatur yang ada, fidusia lazim disebut dengan istilah Fidusia Eigendom Overdract (FEO), yaitu penyerahan hak milik berdasarkan atas rasa kepercayaan.12

Fidusia merupakan istilah yang telah lama dikenal di dalam bahasa Indonesia. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menggunakan istilah fidusia, sehingga istilah tersebut telah menjadi yang resmi dalam hukum Indonesia. Di dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia kita jumpai pengertian fidusia. Fidusia adalah: “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya yang diadakan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu”.13

Yang diartikan dengan pengalihan hak kepemilikan adalah pemindahan hak kepemilikan dari pemberi jaminan fidusia kepada penerima jaminan fidusia atas dasar rasa kepercayaan, dengan syarat bahwa benda yang menjadi objeknya tetap berada di tangan pemberi jaminan fidusia.

12 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 55.


(57)

Disamping istilah fidusia dikenal juga istilah jaminan fidusia. Istilah jaminan fidusia ini dikenal dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Jaminan fidusia adalah: “hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi jaminan fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima jaminan fidusia terhadap kreditur lainnya”.14

Jaminan fidusia muncul dalam perkembangan akan kebutuhan suatu lembaga jaminan yang dapat memberikan kemudahan baik kepada kreditur maupun debitur. Adanya lembaga jaminan fidusia ini sangat diperlukan untuk memberikan perlindungan dan kepastian serta rasa aman dalam dunia perekonomian. Kebutuhan akan modal yang terus meningkat dalam rangka memajukan suatu usaha tidak terlepas dari adanya lembaga jaminan ini. Maka itulah lembaga jaminan fidusia dirasakan sangat perlu keberadaannya di dalam dunia perekonomian.

B. Subjek dan Objek Jaminan Fidusia


(1)

Dengan ini izinkanlah penulis untuk mengucapkan rasa hormat dan terima kasih setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, S.H. M.H. D.F.M. selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Muhammad Hayat, S.H., selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah banyak membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk segala nasehat dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis, penulis ucapkan terima kasih.

7. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H, selaku Dosen Pembimbing II penulis yang telah sangat membantu penulis dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk segala nasehat dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis, penulis sangat berterima kasih.


(2)

8. Bapak Dr. H. Eddy Ikhsan, S.H., M.Hum selaku Dosen Wali penulis semasa perkuliahan yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan serta motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan didikan dan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 10.Ibu saya Hj. Muliani dan Ayah saya H. Selamat yang selalu memberikan

dukungan, motivasi, serta doa kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

11.Abang saya Riki Suhendro, S.H, Rommy Sugiarto, S.H, dan Risal Suprapto, S.H yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12.Kakak ipar saya Chairy Safira Siagian, Rosliana Tarigan, dan Regita Titani yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

13.Abangda Eka Sihombing, S.H selaku pegawai pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum Dan HAM Sumatera Utara. Terima kasih banyak telah membantu penulis dalam memperoleh informasi serta data-data yang dibutuhkan guna penyempurnaan skripsi ini.

14.Rekan-rekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang merupakan teman akrab penulis yang telah banyak membantu selama ini.


(3)

Novia Andrina, Olivia Seprina Siregar, Sabrina Hasman, Muharroimi Souvany, dan rekan-rekan lainnya yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu.

15.Semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi ini dan berbagai hal lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapatkan Rahmat dan Ridho dari Allah SWT.

Penulis memohon maaf kepada Bapak dosen pembimbing, serta dosen penguji apabila ada sikap maupun kata yang tidak berkenan di hati selama penulisan skripsi ini. Penulis sangat berharap agar tulisan ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Medan, 23 September 2013 Penulis,


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGAN TAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah... 5

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 6

E. Metode Penelitian ... 8

F. Keaslian Penulisan ... 11

G. Sistematika Penulisan... 12

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA A. Sejarah dan Pengertian Jaminan Fidusia ... 15

B. Subjek dan Objek Jaminan Fidusia ... 20

C. Proses Terjadinya Jaminan Fidusia ... 22

D. Sifat Jaminan Fidusia ... 25

E. Hapusnya Jaminan Fidusia... 26

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG EKSEKUTORIAL A. Pengertian Eksekusi ... 29


(5)

C. Dasar Hukum Pelaksanaan Eksekusi………....45

D. Aturan-Aturan Pelaksanaan Eksekusi………...49

BAB IV ANALISIS YURIDIS KEKUATAN EKSEKUTORIAL JAMINAN FIDUSIA BUKTI PEMILIKAN KENDARAAN BERMOTOR YANG TELAH DIDAFTARKAN (STUDI PADA KANTOR WILAYAH KEMENTRIAN HUKUM DAN HAM SUMATERA UTARA) A. Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Jaminan Fidusia ... 55

B. Proses Pelaksanaan Eksekusi Terhadap Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan ... 61

C. Hambatan Dan Upaya Penyelesaian Dalam Proses Pelaksanaan Eksekusi Terhadap JaminanFidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan ... 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 74

B. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 80


(6)

ABSTRAK

Analisis Yuridis Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan (Studi Pada Kantor Wilayah

Kementrian Hukum Dan HAM Sumatera Utara)

Eksekusi merupakan suatu proses pelaksanaan keputusan pengadilan. Tujuan dari pada dilaksanakannya eksekusi adalah pengambilan pelunasan kewajiban debitor melalui hasil penjualan benda-benda tertentu milik debitor atau pihak ketiga pemberi jaminan. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah kekuatan eksekutorial jaminan fidusia bukti pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang jaminan fidusia, bagaimana proses pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia bukti pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan, dan apakah yang menjadi hambatan dan bagaimana upaya penyelesaian dalam proses pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia bukti pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan.

Metode penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif analitis. Penelitian ini merupakan penelitian yang membahas doktrin-doktrin atau asas-asas hukum dengan menggunakan suatu metode pendekatan yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian.

Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa jaminan fidusia bukti pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum Dan HAM, memiliki kekuatan eksekutorial dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang jaminan fidusianya.

Proses pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia bukti pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan dapat dilakukan dengan cara melaksanakan eksekusi yang dilakukan secara lelang atau penjualan di muka umum yang harus dilakukan melalui prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.

Terdapat berbagai macam hambatan dalam proses pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia bukti pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan ini. Akan tetapi terdapat juga beberapa macam upaya penyelesaian yang dapat dilakukan dalam menghadapi hambatan tersebut.

Kata Kunci: - Kekuatan Eksekutorial - Jaminan Fidusia


Dokumen yang terkait

KONTRIBUSI PAJAK KENDARAAN BERMOTOR TERHADAP PAD DAN DAMPAKNYA BAGI PENGEMBANGAN WILAYAH PROVINSI SUMATERA UTARA

3 110 9

Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan (Studi Kasus di Bank HSBC Wilayah Medan)

3 58 100

Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia Terhadap Objek Jaminan Dalam Kepailitan

5 41 117

Analisis Yuridis Fungsi Dan Peranan Kantor Pendaftaran Fidusia Ditinjau Dari Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (Suatu Penelitian Di Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara)

0 54 140

Analisa Hukum Terhadap Kekuatan Eksekutorial Sertipikat Jaminan Fidusia (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia)

4 24 95

Akibat Hukum Bagi Para Pihak Dengan Adanya Fidusia Yang Tidak Didaftarkan Dalam Perjanjian Pembiayaan Kendaraan Bermotor (Suatu Tinjauan Yuridis Atas UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia).

0 4 29

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERUPA KENDARAAN BERMOTOR YANG DIDAFTARKAN SETELAH ADANYA WANPRESTASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA.

0 0 2

Analisis Yuridis Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan (Studi Pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum Dan HAM Sumatera Utara)

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan (Studi Pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum Dan HAM Sumatera Utara)

0 0 13

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA A. Sejarah dan Pengertian Jaminan Fidusia - Analisis Yuridis Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan (Studi Pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum Dan HAM Sum

0 0 14