Dasar Hukum Pelaksanaan Eksekusi

a. Adanya permohonan dari pemohon eksekusi kepada Ketua Pengadilan. b. Adanya peringatan atau teguran aanmaning dari Ketua Pengadilan kepada termohon eksekusi agar ianya dalam waktu tidak lebih dari 8 delapan hari, sejak aanmaning dilakukan, melaksanakan amar putusan. c. Setelah masa peringatan atau teguran aanmaning dilampaui, termohon eksekusi masih tetap tidak memenuhi isi putusan berupa pembayaran sejumlah uang, maka sejak saat itu ketua pengadilan secara ex afficio mengeluarkan surat penetapan beschikking berisi perintah kepada paniterajurusitajurusita pengganti untuk melakukan sita eksekusi executorial beslag terhadap harta kekayaan jika sebelumnya tidak diletakkan sita jaminan sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 208 R.Bg tata cara sita eksekusi hampir sama dengan sita jaminan. d. Adanya perintah penjualan lelang, dilanjutkan dengan penjualan lelang setelah terlebih dahulu dilakukan pengumuman sesuai dengan ketentuan pelelangan. Lalu diakhiri dengan penyerahan uang hasil lelang kepada pemohon eksekusi.

C. Dasar Hukum Pelaksanaan Eksekusi

8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD Sebagai realisasi dari putusan hakim terhadap pihak yang telah kalah dalam suautu perkara di pengadilan, maka masalah eksekusi telah diatur di dalam berbagai ketentuan antara lain: 1. Pasal 206 - Pasal 240 R.Bg dan Pasal 258 R.Bg tentang tata cara eksekusi secara umum. 2. Pasal 259 R.Bg tentang putusan yang menghukum tergugat untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. 3. Sedangkan pada Pasal 242 - Pasal 257 R.Bg, yang mengatur tentang sandera gijzeling tidak lagi diberlakukan secara efektif. 4. Pasal 191 R.Bg, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2001 tentang pelaksanaan putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yaitu serta merta. 5. Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang pelaksanaan putusan pengadilan. Djazuli Bachir SH menyatakan bahwa sumber hukum eksekusi adalah: 45 1. Hukum Acara Perdata. Hukum Acara Perdata yang berlaku sekarang ini diatur di dalam Herziene Inlandsch Reglement HIR yang berlaku secara khusus untuk daerah Jawa dan Madura. 45 Djazuli Bachir, Ek sek usi Putusan Perk ara Perdata: Segi Huk um dan Penegak an Huk um, Jakarta: Akademika Pressindo, hlm. 12. 8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD Sedangkan Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur di dalam Rechtsreglement voor de Buitengewesten RBG. Di dalam HIR telah diatur tentang eksekusi putusan pengadilan pada bagian kelima, yaitu pada Pasal 195 sampai dengan Pasal 224 HIR. Sedangkan di dalam R.Bg diatur pada bagian keempat, yaitu pada Pasal 206 sampai dengan Pasal 225. Sampai saat sekarang, belum ada dibuat suatu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata atau HIR atau RBG yang lain. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, HIR, dan RBG merupakan produk hukum di jaman penjajahan Belanda yang masih tetap berlaku sebagai Hukum Acara Perdata yang harus dipedomani oleh lembaga peradilan dan para praktisi hukum. 2. Hukum Acara Perdata Lain Yang Berhubungan. Di dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dikatakan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilaksanakan oleh panitera dan jurusita serta dipimpin oleh ketua Pengadilan Negeri. Selanjutnya di dalam Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, dikatakan bahwa di dalam perkara perdata maka panitera Pengadilan Negeri bertugas untuk melaksanakan putusan pengadilan. 3. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia. 8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD Di dalam Undang-Undang 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung, dikatakan bahwa Mahkamah Agung dapat meninjau atau membatalkan suatu putusan perdata atas dasar alasan: a. Apabila putusan tersebut dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang mencolok. b. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut. c. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan yang belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya. d. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu hal yang sama atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau yang sama tingkatnya telah diberikan putusan yang satu sama lain bertentangan. e. Apabila dalam suatu putusan pengadilan terdapat ketentuan- ketentuan yang satu sama lain bertentangan. f. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat dari pihak lawan yang diketahui setelahnya perkara diputus atau pada keterangan saksi atau surat-surat bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu. g. Apabila setelah perkara diputus diketemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan pada waktu perkara diperiksa, surat-surat tersebut tidak dapat ditemukan. 8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD Dengan demikian, dalam praktek hukum masih ada upaya hukum yang luar biasa untuk dapat membatalkan suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang bersifat tetap, dan upaya hukum yang luar biasa tersebut dikenal dengan derden verzet atau permohonan Peninjauan Kembali pada putusan Mahkamah Agung permohonan P.K. 4. Surat Edaran Mahkamah Agung Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 tahun 1975 dikatakan bahwa Mahkamah Agung tentang gijzeling penyanderaan sebagaimana diakui di dalam Pasal 209 HIRPasal 242 R.Bg tidak dibenarkan lagi untuk dilaksanakan dalam Hukum Acara Perdata di peradilan di Indonesia oleh karena bertentangan dengan perikemanusiaan. Dengan demikian Hukum Acara Perdata di Indonesia tidak lagi mengenal adanya penyanderaan gijzeling apabila seseorang tidak mampu membayar hutangnya dalam hal pengeksekusian tersebut. Selain peraturan peraturan di atas masih ada peraturan lain yang dapat menjadi dasar dari penerapan eksekusi yaitu: 1. Undang-undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 33 ayat 4 yaitu tentang kewajiban hukum yang bersendikan norma-norma moral, dimana dalam melaksanakan putusan pengadilan diusahakan supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara. 2. Mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan Agama diatur di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, menyatakan sesudah itu keputusan dapat dijalankan menurut aturan biasa tentang menjalankan keputusan- 8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD keputusan Pengadilan Umum. Dalam perkara ini, Stb. 1937 No. 63-639, pasal 3 ayat 5 alinea 3 berbunyi, sesudah itu keputusan dapat dijalankan menurut aturan-aturan menjalankan keputusan sipil Pengadilan Negeri Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 pasal 4 ayat 5 dan pasal- pasal lain yang berhubungan. 3. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980 yang disempurnakan. Di dalam pasal 5 dinyatakan bahwa permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan eksekusi. 4. SEMA No. 4 Tahun 1975 yang menyatakan bahwa penyanderaan ditujukan pada orang yang sudah tidak mungkin lagi dapat melunasi hutang- hutangnya. Dan kalau disandera ia akan kehilangan kebebasan bergerak, ia tidak ada lagi kesempatan untuk berusaha mendapatkan uang atau barang- barang untuk melunasi hutangnya.

D. Aturan-Aturan Pelaksanaan Eksekusi

Dokumen yang terkait

KONTRIBUSI PAJAK KENDARAAN BERMOTOR TERHADAP PAD DAN DAMPAKNYA BAGI PENGEMBANGAN WILAYAH PROVINSI SUMATERA UTARA

3 110 9

Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan (Studi Kasus di Bank HSBC Wilayah Medan)

3 58 100

Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia Terhadap Objek Jaminan Dalam Kepailitan

5 41 117

Analisis Yuridis Fungsi Dan Peranan Kantor Pendaftaran Fidusia Ditinjau Dari Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (Suatu Penelitian Di Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara)

0 54 140

Analisa Hukum Terhadap Kekuatan Eksekutorial Sertipikat Jaminan Fidusia (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia)

4 24 95

Akibat Hukum Bagi Para Pihak Dengan Adanya Fidusia Yang Tidak Didaftarkan Dalam Perjanjian Pembiayaan Kendaraan Bermotor (Suatu Tinjauan Yuridis Atas UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia).

0 4 29

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERUPA KENDARAAN BERMOTOR YANG DIDAFTARKAN SETELAH ADANYA WANPRESTASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA.

0 0 2

Analisis Yuridis Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan (Studi Pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum Dan HAM Sumatera Utara)

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan (Studi Pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum Dan HAM Sumatera Utara)

0 0 13

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA A. Sejarah dan Pengertian Jaminan Fidusia - Analisis Yuridis Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan (Studi Pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum Dan HAM Sum

0 0 14