4. Analisis Data G775-G780.

3.3.2.5.Analisis Caspase-3 Caspase diukur dengan metoda ELISA dengan bantuan kit komersialHuman Caspase-3 Instant ELISA Bender MedSystem mengikuti instruksi yang ditetapkan oleh produsen. Sel dipanen kemudian dilisis dengan buferlisis. Caspase-3 yang terdapat di dalam lisat diukur jumlahnya.Caspase-3 di dalam lisat diikat oleh anti caspase-3 antibodi I yang menempel di dalam microwell. Antibodi poliklonal rabbit anti human-caspase-3 berikatan dengan human caspase-3 yang diikat oleh antibodi I, kemudian diikat oleh anti bodi pendeteksi Anti-rabbit-IgG-HRP. Anti bodi pendeteksi yang tidak terikat dihilangkan dengan cara dicuci. Substrat tetramethyl benzidine ditambahkan ke dalam “sumur” bereaksi dengan HRP membentuk warna yang diukur dengan cara spektrofotometri pada panjang gelombang 450 nm. Intensitas warna sebanding dengan jumlah caspase-3 dan diukur jumlahnya dengan standar human caspase-3 yang disediakan. Prosedur rinci dicantumkan dalam Lampiran 5.

3. 4. Analisis Data

Analisis deskripsi diterapkan pada data komposi kimia, kadar RS, dan ekspresi gen. Analisis kualitatif dan semikuantitatif diterapkan pada data apoptosis. Analisis sidik ragam dengan dua faktor diterapkan pada data yang diperoleh dari penelitian tahap I fermentasi in vitro. Faktor pertama adalah strain bakteri dan faktor kedua jenis RS3. Analisis sidik ragam dengan faktor tunggal diterapkan pada data yang diperoleh pada penelitian tahap II aplikasi supernatan pada sel HCT-116. Perlakuan berupa konsentrasi SCFA. Setiap perlakuan diulang tiga kali. Bila perlakuan yang diuji menunjukkan pengaruh nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil LSD pada selang kepercayaan 5 p0,5. Analisis dikerjakan dengan bantuan piranti lunak SPSS 10.0.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kadar RS pada Produk Asal Pati Sagu Lebih Tinggi Dibanding Kadar RSpada Produk Asal Pati Beras

Komposisi bahan baku pati sagu dan pati beras dicantumkan dalam Tabel 8. Kadar amilosa di dalam pati sagu lebih tinggi dibanding pati beras. Tingkat kemurniannya sangat tinggi dan layak untuk diproses lebih lanjut menjadi produk RS3.Sifat fisiko kimia pati sagu berbeda dengan pati beras. Berdasarkan sifat pasta yang ditentukan dengan amilografi, sifat pasta pati sagu tergolong dalam tipe A Purwani et al 2006 yaitu memiliki viskositas puncak sangat tinggi namun cepat encer saat pemanasan. Beras amilosa tinggi memiliki sifat pasta tipe B viskositas puncak relatif rendah namun stabil saat pemanasan atau C tidak memiliki viskositas maksimum. Hal ini tergantung pada varietas beras. Purwani et al. 2007. Tabel 8 Komposisi kimia dan kadar amilosa pati sagu dan pati beras Komponen kimia Pati beras Pati sagu Amilosa 29,68 +0,13 32,87 +0,19 Air 12,72 +0,10 12,52 +0,14 Abu 0,29 +0,01 0,07 +0,00 Protein 2,23 +0,01 0,30 +0,00 Lemak 0,24 +0,00 0,28+0,01 Pati harus digelatinisasi sempurna dan disimpan di suhu dingin terlebih dahulu sebelum dihidrolisis oleh enzim. Gelatinisasi merusak struktur granulanya sehingga pati lebih mudah diakses oleh enzim. Penyimpanan pada suhu dingin dimaksudkan untuk menginduksi re-asosiasi dan re-kristalisasi fraksi-fraksi pati amilosa dan amilopektin. RS3 diperoleh dari bagian pati yang tidak terhidrolisis oleh enzim, bagian ini dikeringkan dengan pengering semprot. RS3 berbentuk serbuk warna putih. Berdasarkan bahan baku dan enzim yang menghidrolisisnya, produk RS3 dinamakan sebagai berikut: RSSA RS3 asal sagu yang dihidrolisis oleh amilase, RSSP RS3 asal sagu yang dihidrolisis oleh pululanase, RSSAP RS3 asal sagu yang dihidrolisis oleh amilase dan pululanase, RSRA RS3 asal pati beras yang dihidrolisis oleh amilase, RSRP RS3 asal pati beras yang dihidrolisis oleh pululanase, RSRAP RS3 asal pati beras yang dihidrolisis oleh amilase dan pululanase. Hidrolisis oleh amilase menghasilkan hidrolisat yang berwarna kecoklatan dan aroma manis, sedangkan hidrolisis dengan pululanase menghasilkan hidrolisat yang relatif bening dan tidak beraroma. Hidrolisat berwarna kecoklatan dan aroma manis juga dihasilkanoleh pati yang dihidrolisis oleh kombinasi amilase dan pululanase.Warna dan aroma tersebut berasal dari karamel yang terbentuk dari gula hasil hidrolisis yang dipanaskan pada suhu tinggi 85 o Hidrolisis pati oleh amilase menghasilkan campuran antara oligosakarida, maltosa dan glukosa. Senyawa-senyawa tersebut dibuang pada proses pembuatan RS3. Sisanya adalah α-limit dekstrin yang kemudian dikeringkan untuk menda- patkan RS3. Pululanase menghidrolisis ikatan glikosidik α–1-6 pada fraksi ami- lopektin. Hasil hidrolisis berupa oligosakarida rantai lurus. Sebagian oligosakarida mampu membentuk struktur RS3 dan sebagian lainnya mengalami depolimerisasi. Depolimerasi fraksi hasil pemotongan ikatan glikosidik α-1,6 oleh enzim pululanase dilaporkan oleh Faridah et al. 2010. C dan jangka waktu lama 3 jam. Pati sagu menghasilkan produk RS3 dengan kadar pati resisten lebih tinggi dibanding pati beras. Kadar RS di dalam pati sagu atau pati beras alami masing- masing sekitar 11 dan 14. Setelah diberi perlakuan enzim, kadar RS berubah menjadi 31-38 pada produk RS3 asal sagu dan 21-26 pada produk serupa asal pati beras Gambar 7. Kadar amilosa dan sifat intrinsik pati tampaknya memberi kontribusi yang cukup signifikan dalam pembentukan RS. Rantai amilosa cenderung berinteraksi sesamanya membentuk struktur helix ganda. Struktur ini lebih tahan terhadap hidrolisis enzim dibanding struktur lurusTester et al. 2004.Oleh karena itu, makin tinggi kadar amilosa makin banyak struktur heliks yang terbentuk. Gambar 7 Kadar RS di dalam produk asal pati sagu dan pati beras. K: Kontrol, A: Amilase, P: Pululanase, AP: Amilase dan Pululanase Pati sagu dan pati beras juga memiliki struktur yang berbeda Srichuwong et al. 2005a. Unit cabang amilopektin yang berderajat polimerisasai DP panjang 13 pada pati sagu porsinya relatif lebih banyak sekitar 63 dibanding hal serupa yang ditemukan pada pati beras sekitar 57. Unit-unit rantai panjang tersebut mampu membentuk heliks dengan memperkuat ikatan hidrogen antar rantai dan mengelilingi daerah kristalin Jane et al. 1999. Konsekuensinya, struktur inipun juga menjadi lebih tahan terhadap hidrolisis enzim. Tingkat kemudahan pati dihidrolisis oleh enzim sebenarnya juga ditentukan oleh ukuran granula Tester et al. 2004. Makin besar ukuran granula makin kecil rasio antara permukaan terhadap volume dan akibatnya pengikatan enzim atau potensi hidrolisisnya berkurang. Namun, pengaruh ukuran granula terhadap hidrolisis enzim pada penelitian ini tampaknya tidak berpengaruh karena granula pati sudah rusak total akibat perlakuan gelatinisasi dan sterilisasi. 5 10 15 20 25 30 35 40 45 K A P AP K A P AP Sagu Beras K ad ar R S Perlakuan enzim Bila diperhatikan secara rinci, terdapat perbedaan rendemen produk akibat perlakuan oleh enzim amilase, pululanase maupun kombinasi antara amilase dan pululanase. Pada pati sagu, perlakuan enzim amilase menghasilkan produk dengan kadar RS sekitar 32 dan rendemen rendah sekitar 5. Perubahan kadar RS tersebut mungkin karena hilangnya sebagian fraksi pati sehingga terjadi pemekatan RS. Kadar RS yang relatif sama namun rendemen tinggi sekitar 18 diperoleh pada pati sagu dengan perlakuan enzim pululanase. Hal ini mengindikasikan bahwa ada kontribusi fraksi lurus hasil pemotongan enzim pululanase terhadap pembentukan stuktur RS3. Perlakuan kombinasi enzim amilase dan pululanase memberikan rendemen rendah 5, namun kadar RS lebih dari 38. Pada kondisi ini, fraksi lurus hasil pemotongan enzim pululanase tampaknya tidak mampu lagi membentuk struktur RS3. Dengan kata lain, perubahan kadar RS karena terjadi pemekatan. Keadaan serupa juga terjadi pada produk asal pati beras. Perlakuan enzim amilase menghasilkan produk dengan kadar RS sekitar 22 dengan rendemen sekitar 4, perlakuan enzim pululanase menghasilkan produk dengan kadar RS 25 dengan rendemen sekitar 13, dan perlakuan kombinasi amilase dan pululanase memberikan produk dengan kadar RS sekitar 27 dengan rendemen kurang dari 5. Tingkat kemudahan pati terhadap hidrolisis enzim juga ditentukan oleh struktur amilopektin di dalamnya. Struktur amilopektin menggambarkan derajat kristalin dan ini dipelajari dengan menentukan tipe difraksi sinar X. Ada tiga tipe difraksi yaitu tipe A, B dan C. Tipe A ditemukan pada serealia, tipe B ditemukan pada kacang-kacangan dan ubi-ubian. Tipe C merupakan kombinasi antara tipe A dan tipe B. Pati beras dan sagu dilaporkan memiliki difraksi sinar X tipe A Srichuwong et al. 2005a, namun Ahmad et al 1999 melaporkan bahwa sagu memiliki difraksi sinar X tipe C. Perbedaan tersebut dapat saja terjadi karena adanya perbedaan jenis sagu. Pati dengan difraksi sinar X tipe A lebih mudah dihidrolisis oleh enzim amilase dibanding tipe lainnya Srichuwong et al. 2005a. Bila pati sagu yang digunakan pada penelitian ini memiliki difraksi sinar X tipe C, maka berarti pati tersebut relatif tidak mudah dihidrolisis oleh amilase. Keadaan ini diduga juga memberikan kontribusi terhadap pembentukan RS asal pati sagu. Kadar RS yang dihasilkan pada penelitian ini sebanding dengan kadar RS pati jagung yang dibuat dengan cara hidrolisis oleh asam sitrat Zhao Lin 2009 dan bahkan lebih besar dibanding kadar RS yang terdapat di dalam pati sagu hasil hidrolisis pululanase debranching starch. Kadar RS pada pati sagu debranching hanya sekitar 5-7Leong et al. 2007. Perbedaan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya jenis bahan baku, aktifitas enzimdan kondisi proses. 4.2.Degradasi RS3 oleh Bakteri C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629 dipilih sebagai mo- del karena selain diketahui sebagai pendegradasi pati dan penghasil butirat, kedua- nya mewakili bakteri yang secara normal berada di dalam kolon. Selain itu, keduanya termasuk dalam kelompok bakteri non patogen. C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629 tumbuh secara anaerob obligat. C.butyricum BCC B2571 membentuk spora sedangkan E.rectale DSM 17629 tidak membentuk spora. Degradasi RS3 oleh C.butyricum BCC B2571 maupun E.rectaleDSM 17629 diketahui melalui pembentukan zona bening pada medium agar yang mengandung RS3. Adanya zona bening menunjukkan bahwa enzim pendegradasi pati diekskresikan oleh bakteri dengan adanya RS3 di dalam medium. Luas zona bening dipengaruhi oleh interaksi antara jenis substrat dan bakteri Lampiran 6a. Zona bening terluas dibentuk oleh C. butyricum BCC B2571pada medium berisi RSSP atau RSRPTabel 9. Di lain pihak, E. rectaleDSM 17629 tampak hanya sedikit mengeksresikan enzim pendegradasi pati. Dari Tabel 9 tampak bahwa tidak ada hubungan khusus antara luas zona bening yang dibentuk oleh C.butyricum BCC B2571 atauE.rectaleDSM 17629 dengan jenis pati maupun enzim yang dipergunakan untuk menghasilkan RS3. Sistem enzim pendegradasi pati pada kelompok bakteri gram positif penghasil butirat dilaporkan oleh Ramsay et al. 2006. Enzim tersebut berada pada dinding sel bakteri sedemikian rupa sehingga situs hidrolisis enzim berdekatan dengan sistem transpor produk hidrolisis di dalam sel. Produk hidrolisis kemudian dimetabolisme lebih lanjut untuk memproduksi SCFA. Selama fermentasi, C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629 menghasilkan gas yang jumlahnya bervariasi ditentukan oleh bakteri dan substrat Lampiran 6b. Nilai pH medium berubah menjadi asam Tabel 9 dan nilai tersebut tidak dipengaruhi oleh bakteri maupun substratnya Lampiran 6c. Komposisi gas tidak dianalisis namun dengan cara uji penyemprotan api diketahui bahwa gas tersebut bukanlah gas hidrogen karena diketahui tidak mudah terbakar.Gas yang dihasilkan kemungkinan adalah gas CO 2 . Tabel 9Zona bening, gas dan pH medium yang dihasilkan oleh C.butyricum BCC B2571 atau E.rectaleDSM 17629yang diinkubasi pada medium berisi RS3 1 Perlakuan Zona bening cm 2 Gas mL pH C. butyricum BCC B2571 RSSA 2,83b 12,20b 4,35 RSSP 4,87c 9,30b 4,57 RSSAP 0,61a 6,75a 4,28 RSRA 0,64a 8,17ab 4,31 RSRP 5,28c 11,93b 4,36 RSRAP 2,75b 8,70ab 4,43 E.rectaleDSM 17629 RSSA 0,90a 5,90a 4,64 RSSP 1,00a 8,20ab 4,74 RSSAP 1,32a 5,60a 4,68 RSRA 0,80a 10,25b 4,67 RSRP 1,35a 9,65b 4,77 RSRAP 0,72a 10,60b 4,65 a Angka di dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan beda nyata p0.05.

4.3. Produksi SCFA selama Fermentasi in vitro

Jumlah dan komposisi SCFA selama fermentasi dipengaruhi oleh jenis bakteri dan RS3 yang disuplementasikan ke dalam medium Lampiran 6d, 6e, 6f. SCFA yang dihasilkan oleh C.butyricum BCC B2571 maupun E.rectaleDSM 17629 selama fermentasi RS3 dicantumkan dalam Tabel 10. Secara umum total SCFA yang dihasilkan oleh kedua jenis bakteri tersebut sebanding dan SCFA yang dominan adalah asetat. Pada penelitian ini, C. butyricum BCC B2571 mampu menghasilkan butirat pada konsentrasi hingga 46 mM di dalam medium yang disuplementasi dengan RSSA. Nilai tersebut lebih tinggi p0.05 dari pada butirat yang dihasilkannya di dalam medium yang disuplementasi dengan RS3 lainnya, yaitu RSSP, RSSAP, RSRA, RSRP danRSRAP. Tabel 10SCFA yang dihasilkan oleh C.butyricum BCC B2571 dan E.rectaleDSM 17629di dalam medium berisi RS3 1 Perlakuan Asetat mM Propionat mM Butirat mM C. butyricum BCC B2571 RSSA 83,70 47,57 b 46,70 b RSSP b 46,71 8,90 ab 17,65 a RSSAP a 18,04 11,90 a 11,14 a RSRA a 57,76 17,80 ab 18,14 a RSRP a 52,19 24,37 ab 21,76 a RSRAP a 48,88 7,95 a 27,05 a E.rectaleDSM 17629 a RSSA 66,74 38,70 ab 46,05 ab RSSP b 93,76 52,30 b 59,39 b RSSAP b 74,53 31,97 ab 44,93 ab RSRA b 108,08 27,63 b 33,99 a RSRP a 21,12 5,64 a 6,03 a RSRAP a 40,12 14,95 a 22,46 a a a Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata p0.05. Butirat dengan konsentrasi 40 mM dihasilkan olehE. rectaleDSM 17621 tidak hanya di dalam medium yang disuplementasi dengan RSSA tetapi juga di dalam medium yang disuplementasi dengan RSSP maupun RSSAP. Nilai tersebut lebih tinggi p0.05 dari pada butirat yang dihasilkan di dalam medium yang disuplementasi dengan RSRP. Proporsi butirat mencapai 19 hingga 33 dari SCFA total. Perbedaan tersebut diduga berkaitan dengan perbedaan sifat fisikpolimorfisme. Lesmes et al. 2008 melaporkan bahwa perbedaan polimorfisme RS3 menginduksi strain bakteri kolon yang berbeda pula. Fermentasi RS3 diarahkan untuk menghasilkan butirat berkonsentrasi tinggi. Seperti yang diharapkan, fermentasi RSSA oleh C. butyricum BCC B2571 menghasilkan asetat, propionat dan butirat pada konsentrasi berturut-turut 84mM, 48 mM dan 46 mM atau pada rasio molar sekitar 1,8 : 1 : 1. Fermentasi RSSA oleh E.rectaleDSM 17629 menghasilkan asetat 66 mM, 38 mM propionat dan 46 mM butirat atau rasio molar sekitar 1,7 : 1 : 1.2. Asetat, propionat dan butirat pada konsentrasi tinggi yaitu masing-masing 93 mM, 52 mM dan59mMatau ra-sio molar 1.8 : 1 : 1 juga dihasilkan olehE.rectaleDSM 17629 di dalam medium yang disuplementasi dengan RSSP.Produksi SCFA oleh C. butyricum BCC B2571 atau E. rectale DSM 17629lebih tinggi pada medium fermentasi dengan glukosa sebagai sumber karbon tunggal. C. butyricum BCC B2571 menghasilkan asetat, propionat dan butirat 115 mM, 47 mM dan 53 mM atau rasio molar 2,4:1:1,1, sedangkan E.rectale DSM 17629 menghasilkan asetat 594 mM, propionat 291 mM dan butirat 287 mM atau rasio molar 2:1:1 Lampiran 7. RS3 merupakan substrat ideal untuk produksi butirat dan hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh peneliti lain. Konsentrasi butirat yang dihasilkan pada penelitian ini lebih tinggi dari fermentasi RS3 oleh kultur campuran bakteri asal feses manusia Lesmes et al. 2008; Zhao Lin 2009 dan sebanding dengan konsentrasi butirat pada studi yang dilaporkan oleh Reid et al.1996dan1998. Sejalan dengan keaadaan di atas, tingginya SCFA yang dihasilkan oleh kultur murni tunggal diduga berkaitan dengan tidak adanya kompetisi antar strain bakteri. Tabel 11 menampilkan perbandingan hasil fermentasi in vitro RS3. Produksi SCFA oleh C.butyricum BCC B2573 maupun E.rectale DSM 16729 di dalam medium yang disuplementasi dengan RS3 lebih kecil dibanding dengan SCFA yang dihasilkannya di dalam medium tanpa suplementasi RS3 glukosa sebagai satu-satunya sumber karbon. Glukosa merupakan gula sederhana yang siap dimetabolisme oleh bakteri. Hal ini berbeda dengan RS3 yang sifatnya lebih kompleks dibanding glukosa. Tabel 11 Hasil fermentasi in vitro pada subtrat RS3 RS3 Inokulan Asetat mM Propionat mM Butirat mM Pustaka Kentang C. butyricum 42 - 78 Reid et al. 1996 Kentang C. butyricum 21 - 54 Reid et al. 1998 Jagung Ekstrak feses ttd-14,14 ttd- 5,29 Ttd – 0,75 Lesmes et al. 2008 Jagung Ekstrak feses 4 - 18 2 - 18 1-16 Zhao Lin 2009 Sagu; beras C. butyricum; E.rectale 18 - 108 5 - 52 6 - 59 Penelitian ini ttd: tidak terdeteksi Keadaanin vivo sangat berbeda dengan kondisi in vitro. In vivo, glukosa berasal dari fermentasi selulosa oleh bakteri dan tersedia dalam jumlah sangat terbatas terutama di saluran pencernaan bagian bawah. Olehkarena itu, penam- bahan RS3 sangat diperlukan. Hal ini sangat penting untuk memicu agar bakteri penghasil butirat mampu berkompetisi dengan spesies lainnya. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa RS3 masih efektif karena bakteri mampu memanfaatkan RS3 untuk menghasilkan butirat. Jalur pembentukan asetat, propionat dan butirat sudah dilaporkan. Menurut Miller dan Wolin 1996, asetat berasal dari CO 2 melalui jalur Wood Ljungdahl; propionat melalui jalur fiksasi CO 2 Butirat yang dihasilkan oleh C. butyricum BCC B2571 pada penelitian ini diduga dibentuk melalui jalur butiril CoA transferase. Hal ini didasarkan pada data yang menunjukkan adanya akumulasi asetat. Penelitian lain secara terpisah dan butirat berasal dari kondensasi dua molekul asetil-Coenzim A. Ada dua jalur alternatif pada tahap akhir sintesis butirat. Pertama jalur butirat kinase. Enzim fosfotransbutirilase dan butirat kinase mengonversi butiril-CoAmenjadi butiratdengan membentuk produk perantara butirilfosfat. Kedua, jalur butiril-CoA transferase. Enzim butiril-CoA:asetat CoA- transferasementransfer gugus CoA ke asetat eksternal sehingga menghasilkan asetil-CoA dan butirat. Jalur fosfotransbutirilasedan butirat kinase banyak ditemukan pada bakteri solventogenik C. acetobutylicumCary et al. 1988. Jalur butiril-CoA transferase merupakan jalur dominan bagi bakteri penghasil butirat yang ditemukan pada usus besar atau kolon Louis et al. 2004. juga menunjukkan adanya pergeseran metabolit yang dihasilkan olehC.butyricumBCC B2571bila bakteri tersebut ditumbuhkan di dalam kondisi yang berbeda Purwani et al. 2009. Jalur serupa kelihatannya juga digunakan oleh E. rectale DSM17629.Hasil penelitian ini konsisten dengan studi yang dilaporkan oleh Duncan dan Flint 2008. yang menyatakan bahwa E.rectale pada kondisi invitro mengkonsumsi asetat untuk membentuk butirat. Metabolisme fermentasi in vivo ditentukan oleh perubahan populasi mikroba. Pada kasus fermentasi RS3, peran penting C. butyricum BCC B2571 atau E.rectaleDSM 1769 sebagai pendegradasi pati dan penghasil butirat sudah sangat jelas. RS3 dari sagu yang diperoleh dengan hidrolisis amilase RSSA atau pululanase RSSP dianggap potensial ditinjau dari kemampuannya sebagai substrat, masing-masing oleh C. butyricum BCC B2571 dan E.rectale DSM 17629. Hal tersebut dapat menjadi bagian dari strategi dalam upaya meningkatkan populasi bakteri penghasil butirat. Butirat merupakan salah satu ciri bagi pangan fungsional yang ditujukan bagi kesehatan organ kolon. Bahan pangan yang tidak tercerna dan mampu memodifikasi komposisi mikroflora usus besar sedemikian rupa sehingga menguntungkan kesehatan inang dikenal sebagai prebiotik Gibson Roberfroid 1995. Prebiotik telah menjadi fokus perhatian berbagai pihak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa RS3 yang dibuat melalui hidrolisis enzim memiliki peluang untuk berperan sebagai prebiotik. Secara umum pati resisten dianggap sebagai bagian dari komponen serat pangan. Purwani et al 2009 melaporkan bahwa RS3 mampu menstimulasi pertumbuhan C.butyricum BCC B2571. Studi lain yang tidak dipublikasi juga menunjukkan bahwa RS3 menstimulasi pertumbuhan E.rectale DSM 17629 dan membentuk SCFA termasuk butirat. Kemampuan butiratmenghambat proliferasi dan menginduksi apoptosis sel kanker kolon diuraikan pada sub bab berikutnya.

4.4. Aplikasi Supernatan Hasil Fermentasi RS3 untuk Menghambat Prolife-

rasi dan Menginduksi Apoptosis Sel HCT-116. 4.4.1. Uji Toksisitas Berdasarkan hasil penelitian di atas, supernatan hasil fermentasi RSSA oleh C.butyricum BCC B2571 atau RSSP oleh E.rectaleDSM 16729 dipilih untuk dipelajari kemampuannya dalam menghambat proliferasi dan menginduksi sel kanker. Komposisi SCFApada supernatan dicantumkan pada Lampiran 8. Penelitian didahului dengan uji toksisitas terhadap sel VERO. Sel VERO merupakan sel lestari non kanker yang berasal dari organ ginjal kera hijau Afrika. Uji toksisitas dimaksudkan untuk konfirmasi bahwa perlakuan supernatan pada batas konsentrasi tertentu tidak mengganggu sel non kanker. Sel VERO dipilih karena hingga saat ini sel lestari asal organ kolon normal tersedia sangat terbatas dan secara komersial tidak bisa diperoleh.Hasil uji toksisitas supernatan C.butyricum BCC B2571 dan E.rectale DSM 17629 terhadap sel VERO dan HCT-116 ditampilkan dalam Tabel 12, 13 dan Lampiran 9a, 9b, 9c dan 9d. Hasil uji toksitas menunjukkan bahwa supernatan yang mengandung SCFA asetat, propionat, butirat 10 mMbersifat tidak toksik atau tidak menghambat proliferasi sel VERO namun toksik terhadap sel HCT-116.Hal ini diduga ada hubungannya dengan perbedaan sifat permukaan sel. Permukaan sel normal memiliki bentuk mikroviliseragam, sedangkan mikrovili sel kanker tidak seragam Kahan et al. 976. Dengan kondisi tersebut, SCFA dari luar sel diangkut ke dalam sel untuk memenuhi kebutuhan reguler sel normal, yaitu sebagai sumber energi dan metabolisme. Namun pada sel kanker memiliki DNA cacat SCFA ini menghambat enzim HDAC sehingga mengubah ekspresi sejumlah gen yang berkaitan dengan siklus sel dan apoptosis. Tabel 12 Pengaruh supernatan C.butyricum BCC B2571 terhadap jumlah sel hidup dan hambatan proliferasi sel VERO dan HCT-116 Sel Sel hidup x 10 4 hambatan proliferasi pada pada perlakuan Kontrol P1 P2 P3 Kontrol P1 P2 P3 VERO 5,0 8,3 5,8 0,0 0,0 -66,7 -16,7 100,0 HCT-116 10,0 8,7 7,8 3,3 0,0 13,3 21,7 66,7 Keterangan: Asetat, propionat, butirat pada: P1 = 3,4 mM; 3,0 mM; 2,7 mM; P2 = 6,8 mM; 6,0 mM; 5,3 mM; P3 = 13,6 mM; 12,0 mM; 10,6 mM Tabel 13 Pengaruh supernatan E.rectale DSM 17629 terhadap jumlah sel hidup dan hambatan proliferasi sel VERO dan HCT-116 Sel Sel hidup x 10 4 hambatan proliferasi pada pada Kontrol P1 P2 P3 Kontrol P1 P2 P3 VERO 3,3 5,0 3,8 2,0 0,0 - 53,8 - 15,4 38,5 HCT-116 12,3 4,8 3,5 1,8 0,0 61,2 71,4 85,7 Keterangan: Asetat, propionat, butirat pada: P1 = 3,7 mM; 4,2 mM; 3,6 mM; P2 = 7,3 mM; 8,4 mM; 7,2 mM; P3 = 14,7 mM; 16,7 mM; 14,3 mM Umumnya studi in vitro pada kultur sel kanker jugamenggunakan kon- sentrasi butirat 10mM Whitehead et al. 1986, Singh et al. 1997, Ruemmele et al. 1999, Avivi-Green et al. 2002, Nohara et al. 2007. Disamping itu, studi dengan manusia sebagai model menunjukkan bahwa konsentrasi SCFA di dalam fesesnya sangat rendah 29 µmol g -1 -95 µmol g -1 Supernatan C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629 dengan komposisi asetat, propionat dan butirat yang terdapat pada Perlakuan 1 dan Perlakuan 2 dipaparkan pada sel kanker kanker HCT-116. Karakteristik molekuler sel HCT-116 adalah sel mengalami mutasi pada gen ß-catenin dan ras dan tidak mengekspresikan COX2. Sel ini sudah umum digunakan pada penelitian kanker Ahn dan Schroder 2002. seperti dilaporkan oleh Schwiertz et al. 2002.

4.4.2. SCFA di dalam Supernatan Menghambat Proliferasi Sel HCT-116.

Perlakuanpaparan supernatan mengakibatkan perubahan morfologi pada sel HCT-116. Sel HCT-116 yang diberi perlakuan supernatan sebagian besar mengelupas dan mengapung di dalam medium setelah 48 jam inkubasi. Sel HCT- 116 kontrol masih melekat Lampiran 10.Perlakuan berupa paparan supernatan memberikan pengaruh signifikan p0,05 terhadap viabilitas, jumlah sel total dan hambatan proliferasi sel HCT-166 Lampiran 11. Jumlah sel hidup dan total sel HCT-116 berbanding terbalik dengan konsentrasi asetat, propionat dan butirat di dalam supernatan Gambar 8, sedangkan hambatan proliferasi sel HCT-116 sebanding dengan konsentrasi asetat, propionat dan butirat di dalam supernatan Gambar 9. Hambatan sudah terjadi pada konsentrasi butirat 2,6 mM Perlakuan 1 supernatan dari C.butyricum BCC B2571. Hambatan tertinggi terjadi pada konsentrasi butirat 7,2 mM Perlakuan 2 supernatan dari E.rectaleDSM 17629. Gambar 8 Pengaruh supernatan terhadap jumlah sel HCT-116. A. Supernatan C. butyricum BCC B2571. Perlakuan 1 asetat, propionat, butirat = 3,4 mM; 3,0 mM; 2,6 mM, Perlakuan 2 asetat, propionat, butirat = 6,8 mM; 6,0 mM; 5,2 mM. B Supernatan E. rectale DSM 17629. Perlakuan 1 asetat, propionat, butirat = 3,6 mM; 4,2 mM; 3,6 mM, Perlakuan 2 asetat, propionat, butirat = 7,2 mM; 8,4 mM; 7,2 mM. B A Gambar 9.Pengaruh supernatan terhadap hambatan proliferasi sel HCT-116. A. Supernatan C. butyricum BCC B2571. Perlakuan 1 asetat, propionat, butirat = 3,4 mM; 3,0 mM; 2,6 mM, Perlakuan 2 asetat, propionat, butirat = 6,8 mM; 6,0 mM; 5,2 mM. B Supernatan E. rectale DSM 17629. Perlakuan 1 asetat, propionat, butirat = 3,6 mM; 4,2 mM; 3,6 mM, Perlakuan 2 asetat, propionat, butirat = 7,2 mM; 8,4 mM; 7,2 mM. A B Hasil di atas sejalan dengan studi yang dilaporkan oleh peneliti lain. Ruemmele et al. 1999 melaporkan bahwa butirat menghambat proliferasi sel kanker kolon Caco-2. Efek penghambatan mulai terjadi pada konsentrasi 0,1 mM dan hambatan maksimal sekitar 30-50 terjadi pada konsentrasi 10mM. Hatayama et al. 2007 melaporkan bahwa perlakuan butirat juga menghambat proliferasi sel LS174T, dimana besarnya hambatan tergantung pada konsentrasinya. Sel yang diberi perlakuan butirat 1 atau 2 mM jumlahnya lebih kecil dibanding sel yang tidak diberi perlakuan butirat.

4.4.3. Apoptosis, Ekspresi mRNA Bcl-2 dan Bax

Apoptosis sel mati bunuh diri adalah suatu bentuk kematian sel. Apoptosis berperan penting dalam perkembangan organisme multi seluler. Apoptosis juga penting untuk regulasi dan pemeliharaan populasi sel pada suatu jaringan dibawah kondisi fisiologi dan patologiMbazima et al. 2008. Sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan memiliki ciri-ciri sel apoptosis yang meliputi pengerutan sel, kondensasi bahkan fragmentasi khromatin. Dibawah mikroskop fluoresen, sel tersebut tampak berpendar sedangkan sel HCT- 116 yang tidak diberi paparan SCFA tidak berpendar Gambar 10. Apoptosis terjadi pada sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan C.butyricum BCC B25671 maupun E.rectaleDSM 17629. Pengaruh supernatan terhadap apoptosis pada sel HCT-116 yang diukur secara semikuantitatif dicantumkan dalam Tabel 14. Apoptosis terbesar terjadi pada sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan dari C.butyricum BCC B2571. Tidak tampak hubungan yang jelas antara besarnya skornilai apoptosis dengan konsentrasi SCFA butirat. Hal ini dapat dipahami karena analisis tersebut bersifat semikuantitatif. Oleh karena itu, keberadaan sel apoptosis dikonfirmasi dengan pengamatan lain yang dijelaskan pada sub bab selanjutnya. Gambar10Pengaruh supernatan terhadap sel HCT-116 dengan pewarna HOECHST 3258. C. butyricum BCC B2571 Perlakuan 1 asetat, propionat, butirat = 3,4 mM; 3,0 mM; 2,6 mM, Perlakuan 2 asetat, propionat, butirat = 6,8 mM; 6,0 mM; 5,2 mM. E. rectale DSM 17629. Perlakuan 1 asetat, propionat, butirat = 3,6 mM; 4,2 mM; 3,6 mM, Perlakuan 2 asetat, propionat, butirat = 7,2 mM; 8,4 mM; 7,2 mM. Perbesaran 40 X Tabel 14 Pengaruh supernatan terhadap apoptosis pada sel HCT-116 Supernatan Skor Kontrol Tanpa supernatan C.butyricumPerlakuan 1asetat, propionat, butirat = 3,4 mM; 3,0 mM; 2,6 mM 3 C. butyricumPerlakuan 2asetat, propionat, butirat = 6,8 mM; 6,0 mM; 5,3 mM 3 E.rectalePerlakuan 1asetat, propionat, butirat = 3,6 mM; 4,2 mM; 7,2 mM 2 E.rectalePerlakuan 2asetat, propionat,butirat = 7,2 mM; 8,4 mM; 7,2 mM 3 Kontrol C. butyricum Perlakuan 1 C. butyricum Perlakuan 2 E. rectale Perlakuan 1 E. rectale Perlakuan 2 Hasil pengamatan ini sejalan dengan pernyataan yang disampaikan oleh peneliti lain. Avivi-Green et al. 2002 menyatakan bahwa butirat pada konsentrasi 2-10 mM mampu menginduksi apoptosis pada sel Caco2 atau RSB. Gejala serupa juga ditemukan pada penelitian yang melibatkan hewan model. Le- Leu et al. 2002melaporkan bahwa kadar SCFA dan butirat pada feses tikus berkorelasi positif dengan respon apoptosis akut pada distal colonic crypt. Pemberian pakan yang berisi RS terbukti mampu meningkatkan kadar SCFA di sekum dan kolon tikus dan hal ini mengurangi terjadinya neoplasma intestinal dan adenocarcinoma colorectalLe-Leu et al. 2007. Kim et al 2007 melaporkan bahwa apoptosis pada sel HCT-116 dapat diinduksi oleh komponen bioaktif 3,3’-diindolylmethane DIM. Apoptosis terjadi melalui dua jalur utama. Jalur pertama, apoptosis diaktivasi oleh pengikatan TNF Tumor Necrosis Factor atauFatty acid synthetase ligand FasL pada reseptor permukaan. Jalur ini dikenal dengan jalur ekstrinsikatau jalur kematian reseptor death receptor pathway. Kedua, stres intrinsik contoh kerusakan DNA atau keterbatasan growth factor memicu sitokrom C keluar dari mitokondria. Jalur ini dikenal sebagai jalur intrinsik atau jalur mitokondria.Apoptosis melalui jalur mitokondria diatur oleh ekspresi gen dari famili Bcl-2 B-cell lymphoma-2. Famili gen Bcl-2 terdiri dari dua kelompok yakni kelompok gen anti apoptosis dan pro-apoptosis. Famili Bcl-2 yang bersifat anti apotosis antara lain adalah Bcl-2, Bcl- XL maupun Bcl-W. Produk gen ini adalah protein yang berada di membran mitokondria dan berfungsi untuk menstabilkan integritasnya. Stabilnya membran mitokondria menghalangi sitokhrom C lepas sehingga sel menjadi tidak berapoptosis. Famili gen Bcl-2 proapotosis menyandi protein yang berada di sitosol dan berfungsi sebagai sensor ketika sel menerima rangsangan misal kerusakan DNA. Protein ini mampu membentuk homodimer atau heterodimer dan bermigrasi dari sitosol ke membran mitokondria dan berinteraksi dengan protein anti apoptosis. Interaksi tersebut menghasilkan pori yang mengganggu stabilitas membran. Akibatnya sitokrom C menjadi lebih mudah lepas dan sel berapoptosis Elmore 2007.Famili gen Bcl-2 pro apoptosis diantaranya adalah Bad, Bax dan Bad. Ekspresi gen Bcl-2 dan Bax B-lymphoma Cell associated X-protein pada sel HCT-116 tanpa atau diberi paparan supernatan disajikan pada Gambar 11. mRNA Lampiran 12 digunakan sebagai templateuntuk sistesis cDNA yang kemudian diamplifikasi dan hasilnya dimonitor secara real-timedikenal dengan RT-PCR. Hasil reaksi RT-PCR berupa plot amplifikasi yang contohnya disajikan pada Lampiran 13. Dari plot tersebut diketahui nilai C t Dari Gambar 11tampak bahwa supernatan C. butyricumBCC B2571 berisi butirat2,6 dan 5,3 mM meningkatkan p0.05 ekspresi Bax mRNA sebesar 7-9 kali dibanding ekspresinya pada sel HCT-116 yang tidak diberi paparan supernatan. Perlakuan tersebut relatif tidak mengubah ekspresi mRNA Bcl-2. Respon berbeda terjadi ketika supernatan dari E.rectale 17629 dipaparkan pada sel HCT-116. Di sini, ekspresi mRNA Bcl-2 menurun secara nyata p0.05 akibat paparan supernatan sedangkan ekspresi mRNA Bax relatif tidak berubah. Ekspresi mRNA Bcl berkurang menjadi 0,2-0,3 kali dibandingkan ekspresi yang terjadi pada sel yang tidak menerima paparan supernatan. Secara keseluruhan, data menunjukkan bahwa rasio bax terhadap Bcl-2 meningkat Gambar12. Hal ini mengindikasikan bahwa protein pro-apoptosis berada dalam jumlah lebih besar dibanding protein anti apoptosis sehingga sel lebih mudah berapoptosis. Menurut Ruemmele et al. 1999, rasio antara protein pro-apoptosis terhadap anti apoptosis merupakan regulator yang menentukan tingkat kemudahan sel untuk berapoptosis. setiap gen target kemudian dihitung ekspresinya Lampiran 14. Ekspresi gen Bax atau Bcl-2 dipengaruhi oleh perlakuan yang diterapkan Lampiran 15. Gen Bcl-2 menyandi protein berukuran 26 kDa. Protein Bcl-2 berada di membran mitokondria dan dalam bentuk dimer sesama Bcl-2 bersifat menstabilkan integritas membran mitokondria sehingga memberikan efek anti- apoptosis. Protein Bax berada di dalam sitosol dan mampu membentuk pori pada membran mitokondria sehingga mempermudah keluarnya sitokrom C. Bila protein Bax membentuk dimer sesamanya atau dengan protein pro-apoptosis lain seperti Bak maka sitokhrom dengan mudah keluar dari mitokondria. Kondisi serupa juga terjadi jika Bax membentuk dimer dengan protein Bcl-2. Dengan demikian, tingkat kemudahan sel untuk berapoptosis ditentukan homodimer BaxBax dan heterodimer BaxBcl-2. Gambar 11Pengaruh supernatan terhadap ekspresi mRNA Bax dan Bcl-2. A. Supernatan C. butyricum BCC B2571. Perlakuan 1 asetat, propionat, butirat = 3,4 mM; 3,0 mM; 2,6 mM, Perlakuan 2 asetat, propionat, butirat = 6,8 mM; 6,0 mM; 5,2 mM. B Supernatan E. rectale DSM 17629. Perlakuan 1 asetat, propionat, butirat = 3,6 mM; 4,2 mM; 3,6 mM, Perlakuan 2 asetat, propionat, butirat = 7,2 mM; 8,4 mM; 7,2 mM. A B A Gambar 12Pengaruh supernatan terhadap rasio ekspresi mRNA BaxBcl-2. Perubahan ekspresi gen pada sel kanker yang menerima perlakuan supernatan berkaitan dengan kemampuan SCFA terutama butirat dalam menghambat aktifitas enzim HDAC Hinnebush et al. 2002, De Ruijter et al. 2003, Pajak et al. 2007. Pada sel kanker, butirat menghambat aktifitas HDAC sehingga protein histon mengalami hiperasetilasi sedemikian rupa sehingga interaksi ionik antara protein histon dengan DNA terganggu. Akibatnya, kromatin atau eukromatin menjadi kurang kompak dan ekspresi sejumlah gen menjadi berubah. Hinnebusch et al. 2002 melaporkan bahwa hiperasetilasi protein histon terjadi pada sel kanker kolon HT-29 atau HCT-116 yang diberi perlakuan butirat 5 mM. Butirat mengakibatkan up regulation ekspresi meningkat pada gen DR5, TNF-R1, TNF-R2, Fas-R, Smad3 dan p21WAF-1 danmengakibatkan down regulation ekspresi berkurang pada cdk2, cdk4, cyclin A dan cyclin B1 Pajak et al. 2007. Pada penelitian ini, up regulation gen Bax terjadi pada sel kanker HCT-116 dengan supernatan C. butyricum BCC B2571. Down regulation gen Bcl-2 terjadi pada sel kanker HCT-116 dengan perlakuan supernatan E. rectale DSM 17629. 4.4.4. Konsentrasi Caspase-3 Pengaruh supernatan terhadap konsentrasi Caspase-3 pada sel HCT-116 ditampilkan pada Lampiran 17. Konsentrasi Caspase-3 meningkat nyata p0.05 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00 Kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2 R asi o B ax B cl -2 Supernatan C. Butyricum BCC B2571 E.rectale 17629 setelah sel HCT-116 diberi paparan supernatan berisi butirat 5 mM supenatan C.butyricum BCC B2571 atau E.rectaleDSM 17629, Perlakuan 2. Konsentrasicaspase-3 yang dihasilkan oleh HCT-116 dengan supernatan dari C.butyricum BCC B2571 lebih rendah dibanding sel yang diberi supernatan E.rectaleDSM 17629. Gambar13Pengaruh supernatan terhadap konsentrasi caspase-3pada sel HCT-116. A. Supernatan C. butyricum BCC B2571. Perlakuan 1 asetat, propionat, butirat = 3,4 mM; 3,0 mM; 2,6 mM, Perlakuan 2 asetat, propionat, butirat = 6,8 mM; 6,0 mM; 5,2 mM. B Supernatan E. rectale DSM 17629. Perlakuan 1 asetat, propionat, butirat = 3,6 mM; 4,2 mM; 3,6 mM, Perlakuan 2 asetat, propionat, butirat = 7,2 mM; 8,4 mM; 7,2 mM. B A Ada komponen lain yang diduga memberikan kontribusi terhadap perbedaan jumlah Caspase-3 yang dihasilkan oleh HCT-116. Gambar 13 menampilkan konsentrasi Caspase-3 yang dihasilkan oleh sel HCT-116 tanpa atau dengan perlakuan supernatan.Jan et al. 2002, melaporkan bahwa propionat murni maupun yang dihasilkan oleh propionibacterium menginduksi procaspase-3 dan memotongnya dalam bentuk aktif sebagai caspase-3. Propionat hasil fermentasi RS3 tampaknya juga berperan dalam produksi Caspase-3 Ada beberapa jenis caspase diantaranya adalah caspase-3 yang menjadi eksekutor utama dalam proses apoptosis. Caspase-3 ada di dalam sel dan dihasilkan dalam bentuk inaktif atau zimogen. Zimogen tersebut menjadi aktif bila sel mengalami apoptosis. Caspasejuga berperan penting dalam mengaktikan DNAsedan memotong protein struktural di inti sel Elmore 2007.Apoptosis pada sel kanker yang diinduksi oleh SCFA maupun komponen bioaktif ditandai oleh aktifnya caspase-3 Avivi-Green et al. 2002, Kim et al. 2005, Hsu et al. 2009. Caspase Cystein-Aspartate Protease merupakan salah satu enzim protease spesifik dengan sisi aktif sistein dan memotong substrat pada situs aspartat. Ruemmele et al. 1999 melaporkan bahwa caspase-3 memotong protein PARP atau poly-ADP-ribose polymerase pada sel Caco-2 yang mengalami apoptosis oleh adanya induksi butirat. PARP merupakan proteinenzim yang terlibat dalam reparasi DNA. Jika PARP dipotong oleh caspase-3 maka enzim menjadi aktif dankerusakan DNA dapat diperbaiki. Dengan kata lain, sel kanker menjadi tidak berkembang. Substratlain bagi caspase-3 adalahCAD caspase activated DNAse. Dalam keadaan normal, CAD bersifat inaktif dan membentuk komplek dengan ICAD inhibitor of CAD. Jika sel berapoptosis, maka ICAD dipotong oleh caspase-3 dan hal ini mengakibatkan CAD aktif dan konsekuensinya DNA menjadi terfragmentasi Elmore 2007. Substrat yang menjadi sasaran bagi caspase-3 pada penelitian ini masih perlu dieksplorasi

4.4.5. Perkiraan Model Apoptosis

Tabel 15 merupakan rangkuman respon pengaruh supernatan C. butyricum BCC B2571 atau E. rectale DSM 17629 terhadap sel HCT-116. Kedua supernatan menghambat proliferasi sel HCT-116 meskipun dengan intensitas yang berbeda. Apoptosis pada HCT-116 juga diinduksi oleh supernatan C.butyricum BCC B2571 maupun E.rectale DSM 17629. Paparan supernatan C.butyricum BCC B2571 meningkatkan ekspresi gen Bax maupun Bcl-2 namun ekspresi Bax jauh lebih besar dibanding ekspresi Bcl-2. Di lain pihak, ekspresi Bax relatif konstan namun ekspresi Bcl-2 justru direpresi ketika sel HCT-116 mendapatkan paparan supernatan E.rectale DSM 17629. Kondisi ini mengindikasikan bahwa porsi protein Baxlebih besar dibanding porsi protein Bcl-2. Tabel 15Ringkasan hasil: hambatan proliferasi dan respon sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan dari C. butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629 Variabel Supernatan C.butyricum BCC B2571 E.rectale 17629 Proporsi asetat : propionat : butirat mM 218 : 192 : 170 117 : 134 : 115 Rasio molar asetat : propionat : butirat 1,3 : 1,1 : 1 1 : 1,2 : 1 Inhibisi 34 ; 68 85; 98 Apoptosis Terdeteksi Terdeteksi Expresi gen Bax x lipat 6,69 ; 8,38 0,99 ; 1,19 Expresi gen Bcl-2 x lipat 1,12 ; 1,86 0,24 ; 0,26 Rasio BaxBcl-2 3,59 ; 7,50 3,78 ; 5,03 Caspase -3 ng10 6 0,14 ; 0,27 cell 0,15 ; 0,73 Telah dijelaskan sebelumnya bahwa protein Bax dapat berpindah dari sitosol ke membran mitokondria. Interaksi protein Bax dan protein Bcl-2 mengakibatkan fungsinya sebagai penstabil integritas membran rusak. Pada kasus sel HCT-116 yang mendapatkan supernatan C.butyricum BCC B2571, makin banyak protein Bax berarti makin besar peluangnya dalam berinteraksi dengan protein Bcl-2 sehingga sel makin mudah berapoptosis. Pada kasus sel HCT-116 dengan supernatan E.rectale DSM 17629, sedikitnya protein Bcl-2 berarti makin kurang stabil in-tegritas membran mitokondria. Oleh karena itu, dapat dipahami jika peningkatan rasio BaxBcl-2 pada akhirnya menstimulasi sel untuk berapoptosis. Hal ini dikuatkan oleh kenyataan adanya peningkatan konsentrasi enzim caspase-3 pada sel HCT-116 yang mendapat paparan supernatan C. butyricum BCC B2571 atau E. rectale DSM 17629. Model apoptosis yang terjadi pada sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan dari C. butyricum BCC B2571 atau E. rectale DSM 17629 dicantumkan dalam Gambar 14. Ekspresi Bax dan Bcl-2 seimbang Gambar 14a kemudian berubah: ekspresi Bax dan Bcl-2 meningkat oleh supernatan C. butyricum BCC B2571 Gambar 14b sedangkan ekspresi Bcl-2 terepresi oleh paparan supernatan E.rectale DSM 17629. Gambar 14 Perkiraan model apoptosissel HCT-116 dengan paparan supernatan C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629.

5. SIMPULANDAN SARAN

5.1. Simpulan

Proses retrogradasi dan hidrolisis enzimatis dengan amilase, pululanase atau kombinasinya mengubah kadar RS pati sagu dari sekitar 11 menjadi 31-38, dan pati beras dari sekitar 13 menjadi 21-26. Perubahan terjadi karena hilang- nya sebagian pati oleh hidrolisis enzim. Fermentasi in vitroRS3 pati sagu dan beras direspon berbeda oleh bakteri kolon secara individu. C. butyricum BCC B2571 di dalam medium berisi RSSA pati resisten tipe 3 asal sagu yang dihidrolisis oleh amilase menghasilkan supernatan yang mengandung asetat 84 mM, propionat 48 mM dan butirat 47 mM. Asetat, propionat dan butirat di dalam supernatan fermentasi in vitro RSSP Pati resisten tipe 3 asal sagu yang hidrolisis oleh pululanase oleh E.rectale DSM 17629 masing-masing adalah 95 mM, 52 mM dan 59 mM. Profil SCFA tersebut merupakan yang terbaik diantara hasil fermentasi pati resisten tipe 3 asal sagu maupun beras. Aplikasi supernatan hasil fermentasi C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale 17629 tersebut pada sel HCT-116 mampu menghambat proliferasinya dan menginduksi apoptosis. Supernatan dari C. butyricum BCC B2571 menghasilkan hambatan lebih rendah kurang dari 70 dibanding hambatan yang ditimbulkan oleh E.rectale DSM 17629 yang mencapai 80. Perlakuan supernatan C. butyricum BCC B2571 meningkatkan ekspresi Bax maupun Bcl-2, sedangkan supernatan E.rectale DSM 17629 relatif tidak mengubah ekspresi Bax namun justru merepresi ekspresi Bcl-2. Secara keseluruhan, rasio ekspresi BaxBcl-2 meningkat. Konsentrasi caspase-3 juga meningkat akibat perlakuan supernatan. Secara keselurahan mengindikasikan bahwa apoptosis terjadi melalui jalur mitokondria. .

5.2. Saran

Ekspresi famili gen Bcl-2 lainnya seperti Bid, Bak, Bad, Bcl-XL, Bcl-W perlu dieksplorasi. Kemungkinan sel HCT-116 melakukan apoptosis melalui jalur ekstrinsik masih perlu dieksplorasi untuk mendapatkan informasi yang kom- prehensif. Substrat bagi caspase-3 yang dihasilkan oleh sel HCT-116 perlu dipelajari. Selain itu, respon sel kanker kolon yang memiliki karakteristik molekuler berbeda dengan HCT-116 terhadap supernatan hasil fermentasi juga perlu dievaluasi.

6. DAFTAR PUSTAKA

AhmadBF, WilliamPA, DoublierJ, DurandS, Buleon A. 1999. Physico-chemical characterisation of sago starch. Carbohydr Polym38: 361-370. Ahn EH, Schroeder JJ. 2002. Sphingoid Bases and Ceramide Induce Apoptosis in HT-29 and HCT-116 Human Colon Cancer Cells. Exp Biol Med 227: 345-353. Anonim. 2010. Apoptosis. http:www.apoptosisworld.com . AOAC. 2006.Official Methods Analysis.Washington D.C, Association of Official Analytical Chemistry. Archer SY, Meng S, Shel A, Hodin RA. 1998. p21 WAF1 is requared for butyrate- mediated growth inhibition of human colon cancer cell. Cell Biology 95: 6791-6796. AugenlichtLHet al. 2002. Short chain fatty acids and colon cancer. Am Soc Nutr Sci132: 3804S-3808S. Avivi-Green C, Polak-Charcon S, Madar Z, Schwartz B. 2002.Different molecular events account for butyrate-induced apoptosis in two human colon cancer cell lines. JNutr 132: 1812-1818. Barcenilla A et al. 2000.Phylogenetic relationships of butyrate-producing bacteria from the human gut. Appl Environ Microbiol 66: 1654–1661. Barrett JC. 1993.Mechanisms of multistep carcinogenesis and carcinogen risk assessment. Environ Health Perspectives 100, 9-20. Beck MT, Peirce SK, Chen WY. 2002. Regulation of bcl-2 gene expression in human breast cancer cells by prolactin and its antagonist, hPRL-G129R. Oncogene 21: 5047-5055. BirdAR, BrownIL, ToppingDL. 2000. Starches, resistant starches, the gut microflora and human health. Curr Issues Intest Microbiol1: 2-37. BPS. 2009. Statistik Perkebunan Indonesia 2007 – 2009 Sagu. Jakarta: Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan. BPS. 2010.Statistik Pertanian Indonesia.Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. Brouns F, Kettlitz B, Arrigoni E. 2002. Resistant starch and the butyrate revolution Trends Food Sci Tech 13: 251-261. Campbell SE et al. 2006.Comparative effects of RRR-alpha- and RRR-gamma- tocopherol on proliferation and apoptosis in human colon cancer cell lines.BMC Cancer 6:13. Cary JW, Petersen DJ, Papoutsakis ET, Bennett GN. 1988. Cloning and expression of clostridium acetobutylicum phosphotransbutyrylase and butyrate kinase genes in escherichia coli. J Bacteriol 170: 4613-4618. Chen Z. 2003. Physicochemical properties of sweet potato starches and their application in noodle products [disertasi]. The Netherlands: Department of Agrotechnology and Food Sciences, Wageningen University. Davie JR. 2003.Inhibition of histone deacetylase activity by butyrate. JNutr 133: 2485S-2493S. Defrizal. 2007. Baktiterapi pada kanker lidah di Rumah Sakit Kanker Dharmais- Jakarta. Ind J Cancer1:59-62. De Ruijter AJM, Van Gennip AH, Caron HN, Kemp S, Van Kuilenburg BP. 2003. Review Article Histone deacetylases HDACs: characterization of classical HDAC family. Biochem J 370:737-749. Doyle A, Griffiths JB. 2000.Cell and Tissue Culture for Medical Research, Wiley. DuboisM, GillesKA, HamiltonJK, RebersPA, Smith F. 1956. Colometric method for determination of sugar and related substances. J Anal Chem 28: 350- 356. Duncan SH, Flint HJ. 2008. Proposal of a neotype strain A1-86 for Eubacterium rectale. Request for an Opinion. IntSystc EvolMicrobiol58: 1735-1736. Elmore S. 2007. Apoptosis: a review of programmed cell death. Toxicol Pathol 35: 495-516. EnglystHN, KingmanSM, Cummings JH.1992. Classification and measurement of nutritionally important starch fractions. EurJClinNutr46 2:S33-50 Euresta. 1993. European concerted action on resistant starch. Newsletter. Netherland, Human Nutr. Depart. Wageningen University. Faridah DN, Fardiaz D, Andarwulan N, Sunarti TC. 2010. Perubahan struktur pati garut Maranta arundinaceae sebagai akibat modifikasi hidrolisis asam, pemotongan titik cabang dan siklus pemanasan-pendinginan. J Teknol Ind Pangan21: 135-142. FlachM.1997. Sago Palm. Promoting the Conservation and Use Underutilized and Negleted Crops. 13th. International Plant Genetic Resources Institute IPGRI, Italy and IPK Germany. Gibson GR, Roberfroid MB. 1995. Dietary modulation of the human colonie microbiota: introducing the concept of prebiotics. J Nutr 125: 1401-1412. Globocan. 2008. General world cancer statistics. globocan.iarc.fr. GoniI, Garcia-DizL, Manas, Saura-CalixtoF. 1996. Analysis of resistant starch: a method for foods and food products. Food Chem 56: 445-449. Guraya HS, James C, Champagne ET. 2001.Effect of cooling, and freezing on the digestibility of debranched rice starch and physical properties of the resulting material. Starch – Stärke53: 64-74. Hadjiagapiou C, Schmidt L, Dudeja PK, Layden TJ, Ramaswamy K. 2000. Mechanisms of butyrate transport in Caco-2 cells: role of monocarboxylate transporter 1. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol

279: G775-G780.

Hatayama H, Iwashita J, Kuwajima A, Abe T. 2007. The short-chain fatty acid, butyrate, stimulates MUC2 mucin production in the human colon cancer cell line, LS174T. Biochem Biophys Res Comm 356:599-603. Herawati D, Kusnandar F, Sugiyono, Thahir R, Purwani EY. 2010.Pati sagu termodifikasi HMT Heat Moisture Treatment untuk peningkatan kualitas bihun sagu. J Pascapanen 7:7-15. HinnebuschBF, MengS, WuJT, ArcherSY, HodinRA. 2002. The effects of short- chain fatty acids on human colon cancer cell phenotype are associated with histone hyperacetylation. J Nutr 132: 1012-1017. Hsu CP et al. 2009. Mechanisms of grape seed procyanidin-induced apoptosis in colorectal carcinoma cells. Anticancer Research 29: 283-290. Indrasari SD, Purwani EY, Widowati S, Damardjati DS. 2008. Peningkatan nilai tambah beras melalui mutu fisik, cita rasa dan gizi. Di dalam: Daradjat AA, Setyono A, Makarim AK, Hasanuddin A, editor. Padi: Inovasi Teknologi Produksi Buku 2. Jakarta: LIPI Pr. Jan Get al. 2002. Propionibacteria induce apoptosis of colorectal carcinoma cells via short-chain fatty acids acting on mitochondria. Cell Death Differ 9: 179 - 188. Jane Jet al. 1999. Effects of amylopectin branch chain length and amylose content on the gelatinization and pasting properties of starch. Cereal Chem 76: 629-637. JulianoBO. 1971. A simplified assay for milled-rice amylose. Cereal Sci Today 16:334-340. Kahan BD et al. 1976. Cell surface alteration on colon adenocarcinoma cells. Cancer Res 36:3526-3534. KastomoD. 2007. Kolon endometriosis. Ind JCancer2:73-76. Kim KW, Chung MK, Ne NEK, Kim MH, Park OJ. 2003. Effect of resistant starch from corn or rice on glucose control, colonic events, and blood lipid concentrations in streptozotocin-induced diabetic rats. J Nutr Biochem 14: 166-172. KimYJet al. 2005. Anticancer effects of oligomeric proanthocyanidins on human colorectal cancer cell line, SNU-C4. World J Gastroenterol 11: 4674- 4678. Kim EJ et al. 2007. Activation of caspase-8 contributes to 3,3-diindolylmethane- induced apoptosis in colon cancer cells. J Nutr 137:31-36. Le-Leu RK, Hu Y, Young GP. 2002. Effects of resistant starch and nonstarch polysaccharides on colonic luminal environment and genotoxin-induced apoptosis in the rat. Carcinogenesis 23: 713-719. Le-Leu RKet al. 2005. A symbiotic combination of resistant starch and bifidobacterium actis facilitates apoptotic deletion of carcinogen-damage cell in rat colon.J Nutr 135: 996-1001. Le-Leu RK et al. 2007. Effect f dietary resistant starch and protein on colonic fermentation and intestinal tumourigenesis in rat. Carcinogenesis28:240- 245. Lecona E et al. 2008. Kinetic analysis of butyrate transport in human colon adenocarcinoma cells reveals two different carrier-mediated mechanisms. Biochem J409: 311-320. Leong YH, Karim AA, Norziah MH.2007. Effect of pullulanase debranching of sago Metroxilon sagu starch at subgelatinization temperature on the yield of resistant starch. StarchStaerke 59: 21-32. Lesmes U, Beards EJ, Gibson GR, Tuohy KK,Shimoni E.2008.Effects of resistant starch tipe III polymorphs on human colon microbiota and short chain fatty acids in human gut models. J Agric Food Chem56:5415-5421. Limbongan J. 2007. Morfologi beberapa jenis sagu potensial di Papua. J Litbang Pertanian 26: 16-24. Lodish H, Berk A, Matsudaira P, A.Kaiser C, Krieger M, P.Scott M, Zipursky SL, Darnell J, editor. 2003.Molecular Cell Biology. 5 th Ed .New York: WH Freeman; 1990. Louis P et al. 2004.Restricted Distribution of the Butyrate Kinase Pathway among Butyrate-Producing Bacteria from the Human Colon. J Bacteriol186:2099-2106. Louis P, Scott KP, Duncan SH, Flint HJ. 2007. Understanding the effect of diet on bacterial metabolism in the large intestine. J App Microbiol 102:1197- 1208. Louis P, Flint HJ. 2009. Diversity,metabolismand microbial ecologyof butyrate- producing bacteria fromthe human large intestine. FEMS Microbiol Lett 294:1-8. Macfarlane GT, Gibson GR, Drasar BS, Cummings JH. 1995. Metabolic significance of the gut microflora. Di dalam Whitehead R, ed. Gastrointestinal and Oesophageal Pathology. Edinburgh, Churchill Livingstone. Mathewson PR. 1998. Common enzyme reaction. Cereal Foods World 43: 798- 807. Mbazima VG, Mokgotho MP, February F, Rees DJG, Mampuru LJ. 2008. Alteration of Bax-to-Bcl-2 ratio modulates the anticancer activiuty of methanolic extract of Commelina benghalensis Commelinaceae in Jurkat T cells. Afr J Biotechnol 7: 3569-3576. Miller TL, Wolin MJ. 1996.Pathways of acetate, propionate, and butyrate formation by the human fecal microbial flora. App Environ Microbiol 62: 1589-1592. Mitsuoka T. 1990.A profile of intestinal bacteria.Japan: Yakult Honsha Co.Ltd. Nohara K, Yokoyama Y, Kano K. 2007. The important role of caspase-10 in sodium butyrate-induced apoptosis. Kobe J Med Sci 53:265-273. Nugent, AP. 2005. Health properties of resistant starch. British J Nutr 30: 27-54. Oday DH. 2006. Apoptosis. http:www.utm.utoronto.ca~w3cellan apoptosis. html . Pajak B, Orzechowski A, Gajkowska B. 2007. Molecular basis of sodium butyrate-dependent proapoptotic in cancer cells. Adv Med Sci 52:84-88. Parkin DM, Bray MF, Ferlay J, Pisani P. 2005. Global Cancer Statistics, 2002. CA Cancer J Clin 55: 74-108. Patel et al. 2008. Curcumin enhances the effect of 5-fluororacil and oxaliplatin in mediating growth inhibition of colon cancer cells by modulating EFGR and IGF-IR. Int J Cancer 122:267-273. Patindol J, Wang YJ. 2003. Fine structures and physicochemical properties of starches from chalky and translucent rice kernels. J Agric Food Chem 51: 2777-2784. Pfaffl MW. 2001. A new mathematical model for relative quantification in real- time RT-PCR. Nucleic Acid Research 29: 2002-2007. Purwani EY, Widaningrum, Thahir R, Muslich . 2006. Effect of heat moisture treatment of sago starch on its noodle quality. Indon J AgricSci 7: 8-14. Purwani EY, Yuliani S, Indrasari SD, Nugraha S, Thahir R. 2007.Physico- chemical properties of rice and its glycemic index. J Teknol Ind Pangan18: 41-45. Purwani EY, Purwadaria T, Agustinisari I, Suhartono MT. 2009.Preliminary study on utilization of enzyme hidrolyzed starch by Clostridium butyricum BCC- B2571. International Symposium on Nutrion and 6 th Asia Pacific Clinical Nutrition Society at Makassar, October 10-13. Putra RP. 2010. Pati resisten dan sifat fungsional tepung pisang tanduk Musa paradisiaca Formatypica yang dimodifikasi melalui fermentasi bakteri asam laktat dan pemanasan otoklaf [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. RamsayAG, ScottKP, Martin JC, RinconMT, FlintHJ. 2006. Cell-associated - amylases of butyrate-producing firmicute bacteria from the human colon. J Microbiol 152: 3281-3290. Reid CA, Hillman K, Henderson C. 1998. Effect of retrogradation, pancreatin digestion and amyloseamulopectin ratio on the fermentation of starch by Clostridium butyricum NCIMB 7423. J Sci Food Agric 76: 221-225. Ruemmele FMet al. 1999. Butyrate mediates Caco-2 cell apoptosis via up- regulation of pro-apoptotic BAK and inducing caspase-3 mediated cleavage of poly-ADP-ribose polymerase PARP.Cell Death Differ 6: 729-35. Ryan JA. 2008. Introduction to animal cell culture. Technical Bulletin. Corning life sciences. Sajilata MG, Singhal RS, Kulkarni PR. 2006. Resistant starch - A review. Comp Rev Food Sci Food Safety5:1-17. Schwiertz A, Lehmann U, Jacobasch G, Blaut M. 2002. Influence of resistant starch on the SCFA production and cell counts of butyrate-producing Eubacterium spp in the human intestine. J App Microbiol 93:157-162. Sharp R, Macfarlane GT. 2000. Chemostat enrichments of human feces with resistant starch are selective for adherent butyrate-producing clostridia at high dilution rate. Appl Environ Microbiol 66: 4212-4221. Singh B, Halestrap AP, Paraskeva C. 1997. Butyrate can act as a stimulator of growth or inducer of apoptosis in human colonic epithelial cell lines depending on the presence of alternative energy sources. Carcinogen 18: 1265-1270. SrichuwongS, SunartiTC, MishimaT, IsonoN, HisamatsuM. 2005a. Starches from different botanical sources I: Contribution of amylopectin fine structure to thermal properties and enzyme digestibility. CarbohydrPolym 60: 529– 538. Srichuwong S, Sunarti TC, Mishima T, Isono N, Hisamatsu M. 2005b. Starches from different botanical sources II: Contribution of starch structure to swelling and pasting properties. Carbohydr Polym 62:25–34. StantanR. 1992. Have your trees and eat them? Food Sci Technol Today 7: 89-94. Sugiyono, Pratiwi R, Faridah DN. 2009. Modifikasi pati garut Marantha arundinacea dengan perlakuan siklus pemanasan suhu tinggi-pendinginan Autoclaving-Cooling Cycling. J Teknol Indi Pangan20: 17-24. Sukardiman, Rahman A, Ekasari W, Sismindari. 2005. Induksi Apoptosis Senyawa Andrografolida dari Sambiloto Andrographis paniculata Nees terhadap Kultur Sel Kanker. Media Kedokteran Hewan 21: 105-110. Suprihatno Bet al. 2010. Deskripsi Varietas Padi.Subang: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Tan SY. 2003. Resistant Rice Starch Development. Louisiana: The Department of Food Science, Louisiana State University. Tester RF, Karkalas J, Qi X. 2004. Starch structure and digestibility enzyme- substrate relationship. Worlds Poult Sci J 60:186-195. Topping DL, Clifton PM. 2001. Short-Chain Fatty Acids and Human Colonic Function: Roles of Resistant Starch and Nonstarch Polysaccharides. Physiol Rev 81: 1031-1064. Vatanasuchart N, Tungtrakul1 P, Wongkrajang K, Naivikul O.2010. Properties of pullulanase debranched cassava starch and type-iii resistant starch. Kasetsart J Nat Sci 44: 131–141. WangX, ConwayPL, BrownIL, Evans AJ. 1999. In vitro utilization of amylopectin and high-amylose maize amilomaize starch granules by human colonic bacteria. Appl Environ Microbiol65: 4848-4854. WangL, WangYJ. 2004. Rice starch isolation by neutral protease and high- intensity ultrasound. J Cereal Sci 39: 291-196. Whitehead RH, Young GP, Bhathal PS. 1986. Effects of short chain fatty acids on a new human colon carcinoma cell line LIM1215. Gut 27: 1457-1463. Wolter F, Stein J. 2002. Resveratrol enhances the differentiation induced by butyrate in Caco-2 colon cancer cell. J Nutr 132:2082-2086. World Cancer Research Fund. 2011. Update Project Report Summary. Food, Nutrition, Physical Activity, and the Prevention of Colorectal Cancer. American Institute for Cancer Research. Continuous. Yang CZet al. 2006. Starch properties of mutant rice high in resistant starch. J Agric Food Chem 54:523-528. Zakaria FR. 2001. Pangan dan Pencegahan Kanker. J Teknol Ind Pangan 12: 171-177. Zhao XH, LinY. 2009. Resistant starch prepared from high-amylose maize starch which citric acid hydrolysis and its simulated fermentation in vitro. Eur Food Res Technol 228: 1015-1021. Zhu Y. 2003.Enhanced butyric acid fermentation by clostridium tyrobutyricum immobilized in a fibrous-bed bioreactor. Ohio: Department of Chemical Engineering, The Ohio State University. LAMPIRAN Lampiran 1 Spesifikasi enzim Amilase • Densitas: 1,26 gml • Aktifitas: 120 KNU-Tg. 1 KNU-T Kilo Novo Unit-Teramyl setara dengan 5,9 x 10 5 U, dimana 1 U amilase membebaskan 1,0 mg maltosa dari pati pada suhu 20 o C, pH 6,9 selama 3 menit. Pululanase • Densitas: 1,20 gmL • Aktifitas: 1350NPUNg. 1 NPUN Novo Pullulanse UNit setara dengan 140 U, dimana 1 U pululanase membebaskan 1,0 µmol of maltotriosa dinyatakan sebagai glukosa dari pululan pada suhu 25 o C, pH 5,0. Lampiran 2Komposisi Medium Medium Komposisi gL RCM yeast extract3; beef powder 10; pepton 10; glukosa5; pati terlarut 1; NaCl 5; Na-asetat3; sisteinhidrokhlorida 0,5 pH: 6,8 PYG trypton5; bacteriological peptone5; yeast extract10; beef extract5; glukosa5; Tween 80 1 mL, resazurin 0,001; CaCl 2 0,01; MgSO 4 0,02; K 2 HPO 4 0,04; KH 2 PO 4 0,04;NaHCO 3 0,4NaCl 0,08;Vitamin K 1 0,0002. pH: 7,0 Lampiran 3 Komposisi DMEM Bahan Jumlah gL Calcium Chloride•2H 2 O 0,265 Ferric Nitrate•9H 2 O 0,0001 Magnesium Sulfate 0,09767 Potassium Chloride 0,4 Sodium Chloride 6,4 Sodium Phosphate Mono 0,109 L-Arginine•HCl 0,084 L-Cystine•2HCl 0,0626 L-Glutamine 0,584 Glycine 0,03 L-Histidine•HCl•H 2 O 0,042 L-Isoleucine 0,105 L-Leucine 0,105 L-Lysine•HCl 0,146 L-Methionine 0,03 L-Phenylalanine 0,066 L-Serine 0,042 L-Threonine 0,095 L-Tryptophan 0,016 L-Tyrosine•2Na•2H 2 O 0,10379 L-Valine 0,094 Choline Chloride 0,004 Folic Acid 0,004 myo-Inositol 0,0072 Niacinamide 0,004 D-Pantothenic Acid, Ca 0,004 Pyridoxal•HCl 0,004 Riboflavin 0,0004 Thiamine•HCl 0,004 D-Glucose 1 Lampiran 4Prosedur ekstraksi mRNA RNeasy Kitt, Qiagen 1. Sel dipanen dan dipeletkan. Kepadatan sel sekitar 5 x 10 6 2. Sel dilisis dengan 350 µl bufer RLT yang tersedia kemudian divortex 3. Lisat dikumpulkan dan ditambah 1 x volume etanol 70 4. Sampel 700 µL dipindahkan ke kolom spin dan disentrifugasi 8000 g, 15 detik. Cairan dibuang. 5. Membran kolom spin dicuci dengan cara menambahkan bufer RW1 700 µl kemudian kolom spin dan mensentrifugasi 8000 g, 15detik. Cairan dibuang. 6. Membran kolom spin dicuci dengan 500 µL RPE kemudian kolom spin disentrifugasi 8000 g, 15 detik. Cairan dibuang. 7. Membran kolom spin dicuci dengan 500 µL RPE kemudian kolom spin disentrifugasi 8000 g, 2 menit. 8. Elusi RNA pada membran dengan cara memindahkan kolom spin ke tabung kolektor 1,5 ml kemudian ditambah 30-50 µ l air bebas RNAse dan disentrifugasi 8000 g, 1 menit. Tahap ini bisa diulang untuk mendapatkan RNA lebih banyak. Lampiran 5 Prosedur analisa caspase-3 Instant ELISA, Bender MedSystems 1. Plate disiapkan sesuai dengan jumlah sampel, blanko dan standar 2. Air destilata 140 µL ditambahkan ke dalam well untuk sampel 3. Air destilata juga ditambahkan ke dalam well untuk blanko maupun standar 4. Sampel 10 µL dimasukkan ke well untuk sampel 5. Plate ditutup dan diinkubasi pada suhu kamar 18-25 o C selama 3 jam, digoyang 200 rpm. 6. Tutup plate dibuka dan well dikosongkan, dicuci 6 kali dengan bufer 400 µL. Pada tahap pencucian terakhir, well ditiriskan di atas kertas tisu untuk menghilangkan sisa bufer. 7. Larutan substrat TMB 100 µL ditambahkan ke dalam well 8. Plate diinkubasi pada suhu ruang selama 10 menit di tempat gelap. 9. Reaksi dihentikan dengan menambahkan larutan penghenti reaksi 100 µL. 10. Intesitas warna diukur dengan spektrofotometer pada 420 nm. 11. Konsentrasi caspase sampel diukur dari kurva standar berikut: 12. Konsentrasi caspase-3 dikonversi dari ngml menjadi ng10 6 sel y = 0,092x R² = 0,996 0,000 0,200 0,400 0,600 0,800 1,000 1,200 1,400 1,600 1,800 2,000 0,00 5,00 10,00 15,00 A bs orba n 45 5 n m Caspase ngml Lampiran 6 Analisis sidik ragam data Fermentasi in vitro a. Zona bening Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 88.859 11 8.078 31.058 .000 Intercept 122.786 1 122.786 472.076 .000 A 27.418 1 27.418 105.413 .000 B 29.742 5 5.948 22.870 .000 A B 27.066 5 5.413 20.812 .000 Error 5.722 22 .260 Total 226.414 34 Corrected Total 94.581 33 a R Squared = .940 Adjusted R Squared = .909 b. Gas Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 121.277 11 11.025 6.803 .000 Intercept 2091.375 1 2091.375 1290.530 .000 A 8.531 1 8.531 5.264 .037 B 49.490 5 9.898 6.108 .003 A B 55.171 5 11.034 6.809 .002 Error 24.308 15 1.621 Total 2401.520 27 Corrected Total 145.585 26 a R Squared = .833 Adjusted R Squared = .711 c. pH Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model .981 11 8.921E-02 9.241 .000 Intercept 658.684 1 658.684 68229.319 .000 A .761 1 .761 78.782 .000 B .113 5 2.268E-02 2.350 .077 A B 6.215E-02 5 1.243E-02 1.288 .307 Error .203 21 9.654E-03 Total 683.457 33 Corrected Total 1.184 32 a R Squared = .829 Adjusted R Squared = .739 d. Asetat Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 15956.987 11 1450.635 4.288 .004 Intercept 92070.258 1 92070.258 272.143 .000 A 1712.668 1 1712.668 5.062 .038 B 8469.649 5 1693.930 5.007 .005 A B 8455.900 5 1691.180 4.999 .005 Error 5751.370 17 338.316 Total 129610.037 29 Corrected Total 21708.357 28 a R Squared = .735 Adjusted R Squared = .564 e. Propionat Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 6227.432 11 566.130 3.337 .014 Intercept 14807.078 1 14807.078 87.277 .000 A 489.986 1 489.986 2.888 .109 B 2975.440 5 595.088 3.508 .025 A B 2515.002 5 503.000 2.965 .044 Error 2714.496 16 169.656 Total 26166.025 28 Corrected Total 8941.928 27 a R Squared = .696 Adjusted R Squared = .488 f. Butirat Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 6307.095 11 573.372 6.376 .001 Intercept 22219.037 1 22219.037 247.082 .000 A 863.512 1 863.512 9.602 .007 B 3033.881 5 606.776 6.748 .001 A B 2641.008 5 528.202 5.874 .003 Error 1438.813 16 89.926 Total 33956.644 28 Corrected Total 7745.907 27 a R Squared = .814 Adjusted R Squared = .687 Lampiran 7 SCFA di dalam medium yang berisi glukosa 1,5 sebagai sumber karbon tunggal Strain Asetat mM Propionat mM Butirat mM Asetat : Propionat : Butirat C.butyricum BCC B2571 115 47 53 2,4 : 1 : 1,1 E.rectale DSM 17629 594 291 287 2,0 : 1 : 1,1 Lampiran 8Komposisi SCFA di dalam supernatan yang dipaparkan ke sel HCT- 116 Supernatan SCFA Asetat mM Propionat mM Butirat mM C.butyricum BCC B2571 218 192 170 E.rectale DSM 17629 117 134 115 Lampiran 9 Uji Toksisitas a. Jumlah sel VERO yang hidup x 10 4 tanpa atau dengan paparan supernatan C. butyricum BCC B2571 Ulangan Perlakuan Tanpa supernatan Supernatan x 16 Supernatan x 32 Supernatan x 64 I 3 6 9 II 5 6 10 III 4 6 7 IV 5 8 9 V 6 5 10 VI 7 4 5 Rata-rata 5 5,83 8,33 Std 1,4 1,33 1,97 inhibisi -16,67 Tumbuh -66,67 Tumbuh b. Jumlah sel HCT-116 yang hidup x 10 4 tanpa atau dengan paparan supernatan C. butyricum BCC B2571 Ulangan Perlakuan Tanpa supernatan Supernatan x 16 Supernatan x 32 Supernatan x 64 I 9 4 6 7 II 10 4 8 9 III 10 3 7 11 IV 13 3 9 8 V 9 3 8 8 VI 9 3 9 9 Rata-rata 10 3,33 7,83 8,67 Std 1,5 0,52 1,17 1,37 inhibisi 66,67 21,67 13,33 Keterangan: • Sel dikulturkan di dalam 24 well plate dengan kepadatan 3 x 10 4 • Proporsi asetat, propionat,butirat pada pengenceran 16 – 64 x adalah sebagai berikut: Pengenceran Asetat mM Propionat mM Butirat mM 16 x 13,6 12,0 10,6 32 x 6,8 6,0 5,3 64 x 3,4 3,0 2,7 c. Jumlah sel VERO hidup x 10 4 tanpa atau dengan paparan supernatan E.rectale DSM 17629 Ulangan Perlakuan Tanpa supernatan Supernatan 2 x Supernatan 4 x Supernatan 8 x Supernatan 16 x Supernatan 32 x I 3 2 2 4 6 II 2 2 2 3 4 III 4 2 1 3 6 IV 4 1 3 5 4 Rata-rata 3,25 1,75 2 3,75 5 Std 1,0 0,0 0,5 0,8 1,0 1,2 inhibisi 46,2 38,5 -15,4 tumbuh -53,8 tumbuh Sel dikulturkan di plate 24 sumur dengan kepadatan 3 x 10 4 b. Jumlah sel HCT-116 hidup x 10 4 tanpa atau dengan paparan supernatan E.rectaleDSM 17629 Ulangan Perlakuan Tanpa supernatan Supernatan 2 x Supernatan4 x Supernatan8 x Supernatan16 x Supernatan32 x I 15 1 1 1 3 7 II 11 1 2 4 3 III 11 3 2 4 5 IV 12 3 2 3 4 Rata-rata 12,25 0,25 2 1,75 3,5 4,75 Std 1,9 0,5 1,2 0,5 0,6 1,7 inhibisi 97,96 83,67 85,71 71,43 61,22 Keterangan: • Sel dikulturkan di dalam24well plate dengan kepadatan 3 x 10 4 • Proporsi asetat, propionat, butirat pada pengenceran 2-32 x adalah sebagai berikut: Pengenceran Asetat mM Propionat mM Butirat mM 2 x 58,7 66,8 57,3 4 x 29,3 33,4 28,6 8 x 14,7 16,7 14,3 16 x 7,3 8,4 7,2 32 x 3,7 4,2 3,6 Lampiran 10Peruba han morfologi sel HCT-116 Perbesaran 80 X Kontrol C.butyricum: Perlakuan 1 C.butyricum: Perlakuan 2 E. rectale : Perlakuan 1 E. rectale: Perlakuan 2 Lampiran 11 Analisis sidik ragam data jumlah sel inhibisi proliferasi a. Sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan C.butyricum BCC B2571 Sum of Squares df Mean Square F Sig. Viable cell Between Groups 102046666666666.70 2 51023333333333.30 11.67 0.01 Within Groups 26213333333333.34 6 4368888888888.88 Total 128260000000000.00 8 Total cell Between Groups 79279088888888.90 2 39639544444444.44 8.96 0.02 Within Groups 26525866666666.67 6 4420977777777.77 Total 105804955555555.60 8 Inhibition Between Groups 5635.69 2 2817.84 445.1 4 0.00 Within Groups 25.32 4 6.33 Total 5661.01 6 b. Sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan E.rectale DSM 17629 Sum of Squares df Mean Square F Sig. Viable cell Between Groups 905199355555556.00 2 452599677777778.00 74.166 .000 Within Groups 36615066666666.67 6 6102511111111.11 Total 941814422222222.00 8 Total cell Between Groups 798529622222222.00 2 399264811111111.10 54.385 .000 Within Groups 44048466666666.67 6 7341411111111.11 Total 842578088888889.00 8 Inhibition Between Groups 17188.88 2 8594.44 2351.341 .000 Within Groups 21.93 6 3.67 Total 17210.81 8 Lampiran 12Hasil pengukuran mRNA di dalam sampel Sampel mRNA µgml C0R1 162,1120 C0R2 280,0495 C0R3 162,8575 C1R1 358,9841 C1R2 324,8903 C1R3 74,1992 C2R1 713,1444 C2R2 707,6266 C2R3 560,5451 A0R1 459,4940 A0R2 456,1807 A0R3 452,2130 A1R1 268,7208 A1R2 260,4203 A1R3 268,1266 A2R1 302,9236 A2R2 107,8207 A2R3 128,8954 Lampiran 13 Contoh plot amplifikasi Plot amplifikasi analisis RT-PCR untuk GAPDH, Bax dan Bcl-2 pada sel HCT- 116 tanpa atau dengan paparan supernatan dari E.rectale DSM 17629. GAPDH + SCFA GAPDH - SCFA Bcl-2 - SCFA Bcl-2 + SCFA Bax + SCFA Bax - SCFA Lampiran 14Nilai Ct dan perhitungan ekspresi gen Control Treatment ∆Control ∆treatment ∆∆Ct GAPDH BCl-2 BAX GAPDH BCl-2 BAX GAPDH BCl-2 BAX GAPDH BCl-2 BAX GAPDH BCl-2 A0 A1 23,48 33,40 25,92 22,10 32,93 24,56 0,00 9,93 2,44 0,00 10,84 2,46 0,00 -0,91 23,28 33,33 25,79 22,28 34,58 24,91 0,00 10,05 2,52 0,00 12,30 2,64 0,00 -2,25 22,94 29,17 25,52 22,23 32,89 24,70 0,00 6,23 2,58 0,00 10,66 2,47 0,00 -4,43 C0 C1 22,65 21,92 24,38 22,09 21,385 20,875 0,00 -0,73 1,73 0,00 -0,71 -1,22 0,00 -0,03 21,01 21,21 23,23 21,91 21,785 20,955 0,00 0,21 2,23 0,00 -0,13 -0,96 0,00 0,33 21,83 21,92 23,01 20,62 20,575 22,635 0,00 0,09 1,18 0,00 -0,05 2,02 0,00 0,14 C0 C2 22,65 21,92 24,38 22,275 21,54 21,475 0,00 -0,73 1,73 0,00 -0,73 -0,80 0,00 0,00 21,01 21,21 23,23 22,21 21,545 21,39 0,00 0,21 2,23 0,00 -0,66 -0,82 0,00 0,87 21,83 21,92 23,01 22,975 21,6 21,56 0,00 0,09 1,18 0,00 -1,38 -1,42 0,00 1,47 A0 A2 23,195 22,085 25,37 25,78 25,73 24,865 0,00 -1,11 2,18 0,00 -0,05 -0,91 0,00 -1,06 23,195 22,085 25,37 23,41 24,515 25,16 0,00 -1,11 2,18 0,00 1,11 1,75 0,00 -2,22 23,195 22,085 25,37 22,12 22,955 24,23 0,00 -1,11 2,18 0,00 0,83 2,11 0,00 -1,95 Keterangan: C t dinyatakan dalam siklus Lampiran 15Analisis sidik ragam data ekspresi gen a. Sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan C.butyricum BCC B2571 Sum of Squares df Mean Square F Sig. Bcl Between Groups 1.247 2 .624 1.865 .248 Within Groups 1.672 5 .334 Total 2.919 7 Bax Between Groups 79.789 2 39.894 41.213 .001 Within Groups 4.840 5 .968 Total 84.629 7 b. Sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan E. rectale DSM 17629 Sum of Squares df Mean Square F Sig. Bcl Between Groups 1.083 2 .542 20.570 .004 Within Groups .132 5 2.633E-02 Total 1.215 7 Bax Between Groups 3.375E-02 2 1.687E-02 1.298 .352 Within Groups 6.500E-02 5 1.300E-02 Total 9.875E-02 7 Lampiran 16Analisis sidik ragam dataCaspase-3 a. Caspase-3 dari sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan C.butyricum BCC B2571 Sum of Squares df Mean Square F Sig. Caspase Between Groups 0.03 2 0.01 13.62 0.01 Within Groups 5.317E-03 5 1.063E-03 Total 0.03 7 b. Caspase-3 dari sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan E.rectale DSM 17629 Sum of Squares df Mean Square F Sig. Caspase Between Groups .73 2 .37 167.046 .000 Within Groups 1.313E-02 6 2.189E-03 Total .744 8 Lampiran 17 Publikasi ii ABSTRACT ENDANG YULI PURWANI. Proliferation Inhibition ofHCT-116 Colon Cancer Cell byFermentation Product of Resistant Starch Type 3 Derived from Sago and Rice. Supervised by MAGGY T.SUHARTONO, TRESNAWATI PURWADA- RIA and DIAH ISKANDRIATI. Resistant starch type 3 RS3 is retrograded starch which is not digested by human starch degrading enzymes, and will thusundergo bacterial fermentation in the colon. The main fermentation products are the Short Chain Fatty Acid SCFA, mostly acetate, propionate and butyrate. SCFA, especially butyrate, has been implicated in providing protection against cancer. The control of the cell proliferation and apoptosis present obvious target for preventive in cancer. The objectives of the research were: 1 to prepare RS3 derived from sago or rice starch through enzyme hydrolysis, 2 to study the SCFA profile produced in the in vitro fermentation of the RS3 by colonic butyrate producing bacteria, 3 to investigate the effect of the RS3 fermentation product on proliferation inhibition and apoptosis in HCT-116 colon cancer cell line, and explored its mechanism. Sago or rice starch was retrograded and hydrolyzed with amylase10 6 Enzyme hydrolysis of retrograded sago or rice starch was beneficial for concentrating RS. RS3 derived from sago contained higher RS 31-38 than those derived from rice starch 21-26. The in vitro fermentation revealed that C. butyricum BCC B2571 produced acetate, propionate and butyrate at concentration of 83.70 mM, 47.57 mM, 46.70 mM when the medium was supplemented with RS3 derived from sago treated with amylase RSSA at con- centration 1. High levels of acetate 95mM, propionate 52 mM and butyrate 59 mM was also produced by E.rectale DSM17629 in medium supplemented withRS3 derived from sago treated with pullulanse RSSP at concentration 1. The cell free supernatant, either from C.butyricum BCC B2571 grown in medium supplemented with RSSA or E.rectale 17629 grown in medium supplemented with RSSP was applied to treat HCT-116 cells. It was found that the supernatant inhibited proliferation and induced apoptosis ofHCT-116. This treatmentincreas- ed the expression ratio of BaxBcl-2, indicating possibility that apoptosis occurred through mitochondrial pathway which simultaneously increased the caspase-3 concentration. Ug starch, pullulanase 4500 Ug starch and the combination of amylase and pullulanase. The residue of the enzyme hydrolysis was separated and spray dried to obtained RS3. RS3 was further supplemented as carbon source for the in vitro fermentation study. It was performed by Clostridium butyricum BCC B2571andEubacterium rectaleDSM 17629, which have been regarded as beneficial colonicbacteria. The SCFA was analyzed by gas chromatography. Cell free supernatant was collected and applied to treat human colorectal cancer cell HCT-116. HCT-116 cells was cultured in complete medium and after 50 confluent, the incuba-tion was continued for another 48 hours in the absence or presence ofRS3 fermentation product. Cell number, apoptosis, expression of Bcl-2 and Bax gene, as well as caspase-3 enzymes were measured.

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sistem pencernaan yang sehat sangat diperlukan oleh setiap orang. Pentingnya kesehatan sistem pencernaan makin disadari seiring dengan adanya perubahan pola konsumsi pangan dan gaya hidup yang penuh dengan tekanan stres. Hal ini wajar karena saluran pencernaan merupakan organ dengan luas permukaan dan kapasitas metabolisme tertinggi bagi tubuh manusia. Organ ini terlibat langsung dalam penyerapan zat-zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan maupun menjaga kesehatan, dan pembuangan zat-zat racun maupun bahan yang tidak diperlukan oleh tubuh. Sistem pencernaan yang kurang bagus dapat mengakibatkan kelainanseperti konstipasi bahkan kanker. Kanker adalah sirkulasi darah pertumbuhan tidak terkendali pembelahan sel melebihi batas normal dari selsuatu jaringan yang menyerang jaringan di dekatnya serta dapat bermigrasi ke jaringan tubuh yang lain melalui atau sistem limfatik. Pertumbuhan yang tidak terkendali tersebut disebabkan oleh kerusakan DNA sehingga menyebabkan mutasipada gen vital yang mengontrol pembelahan sel. Kanker kolon dan rektum colorectal cancer, CRC, adalah pertumbuhan sel yang tak terkendali neoplasia pada daerah usus besar sehingga mengganggu sistem pencernaan secara lokal dan mekanisme fisiologis tubuh secara umum. Ada sekitar 1,2 juta kasus kanker kolon dan rektum baru pada tahun 2008 atau mencapai sekitar 9,8 di seluruh duniaGlobocan 2008. Secara global, kanker kolon menempati urutan ketiga setelah kanker paru-paru dan, payudara. CRC menempati urutan ketiga untuk laki-laki dan urutan kedua bagi perempua n. Data statistik kanker di Indonesia belum tersedia sampai saat ini. Hanya ada sekitar 600 malignan kolon di RS Dharmais Jakarta pada kurun waktu 1994-2006 Kastomo 2007. Kemungkinan besar banyak kasus serupa terjadi di tempat lain namun belum dilaporkan secara rinci. Sekitar 80 dari kasus CRC berkaitan dengan diet Le-Leu et al. 2007, 15 disebabkan oleh faktor keturunan sedangkan sisanya berasal dari faktor lain termasuk lingkungan.Tingginya persentase CRC yang diakibatkan oleh faktor makanan menunjukkan bahwa CRC sebenarnya dapat dihindari.Komponen bahan pangan yang mampu mencegah kanker kolon diantaranya adalah resveratrol terdapat di dalam anggur merah, proantocyadinin di dalam buah, sayur dan biji- bijian, kurkumin dalam kunyit dan pati resisten biji-bijian, ubi-ubian, palma Wolter dan Stein 2002, Kim et al. 2005, Le-Leu et al. 2007,Patel et al. 2008. Keadaan di atas mendorong dilakukannya riset tentang kontribusi ingredien pangan dalam bentuk pati resisten tipe 3 Resistant Starch Type 3; selanjutnya disebut RS3 dalam mencegah CRC. Pati resisten Resistant Starch = RS didefinisikan sebagai fraksi pati yang tidak terserap oleh sistem pencernaan pada individu yang sehat Euresta 1993. Ada empat kelompok RS, yaitu RS1, RS2, RS3 dan RS4 Englyst et al. 1992. RS1 adalah pati yang secara fisik terperangkap di dalam matriks sehingga tidak dapat diakses oleh enzim. RS2 adalah granula pati mentah yang didominasi oleh struktur kristalin sehingga sulit dihidrolisis oleh enzim. RS3 adalah pati retrogradasi dan RS4 adalah pati modifikasi secara kimiawi. RS lolos dari sistem pencernaan yang sehat dan langsung memasuki usus besar kolon selanjutnya difermentasi oleh mikroflora yang ada di dalamnya. Fermentasi dilakukan oleh sejumlah bakteri antara lain dari genusEubacterium,Peptostreptococci,Clostridia,Roseburia spp dan Butyrofibriofibrisolvens.Bakteri tersebut mampu mendegradasi pati karena memiliki enzim pengurai pati, yaitu amilase Wang et al. 1999. Hasil fermentasi RS di kolon berupa asam lemak rantai pendek SCFA: short chain fatty acid, yaitu asam asetat, propionat dan butiratBird et al. 2000, Ramsay et al. 2006.SCFA tersebut langsung diserap dan SCFA yang tidak diserap akan diangkut melalui sistem vena portal menuju organ tertentu untuk dimetabolisme. SCFA terutama butirat dilaporkan memberikan dampak yang menguntungkan bagi kesehatan inang.SCFA selain menjadi sumber energi utama bagi sel-sel kolon normal juga mampu menghambat pertumbuhan sel kankerAugenlicht et al. 2002. Penghambatan proliferasi sel kanker dapat terjadi melalui inaktifasi enzim histon deasetilase HDAC: histone deacetylase sehingga mengubah ekspresi gen tertentuHinnebusch et al. 2002 atau menginduksi apoptosis Kim et al. 2005, Le- Leu et al. 2005. Induksi apoptosis pada sel-sel yang memiliki DNA rusak maupun kanker pada dasarnya merupakan target dari pencegahan maupun terapi pada penyakit kanker. RS3 dapat dikembangkan dari beberapa sumber karbohidrat diantaranya kentang, jagung, beras, pisang dan sebagainya. Pada penelitian ini, RS3 dibuat dari pati beras dan sagu. Kedua komoditas dipilih karena tersedia dalam jumlah besar danberagam. Saat ini banyak varietas unggul beras dihasilkan oleh para pemulia padi, namun hanya sebagian saja yang populer untuk dikonsumsi langsung. Beberapa varietas memiliki keunggulan agronomi namun kurang diterima oleh konsumen karena kualitas tanaknya kurang bagus. Varietas padi yang termasuk di dalamnya antara lain adalah Cisokan dan Batang Piaman. Oleh karenanya, padi-padi tersebut sangat cocok bila dijadikan bahan ingredien pangan fungsionaldiantaranya untuk mencegah CRC.Sagu Metroxylon sp adalah sumber pati lain yang cukup penting di Indonesia. Luas area sagu di dunia diperkirakan mencapai 2,25 juta ha dalam bentuk hutan sagu dan 0,2 juta ha dalam bentuk semi budidaya. Indonesia memiliki luas area produksi sagu terbesar di dunia dan diikuti oleh Papua Nugini, Malaysia dan Filipina Flach 1997. Pohon sagu mampu menghasilkan pati sekitar 2-3 tonhatahun, lebih tinggi dibanding singkong maupun jagung, masing-masing 2 tonhatahun dan 1 tonhatahun Stantan 1992. Selain itu, pati sagu juga dapat diperoleh dari batang pohon aren Arenga pinata. Pati beras dan sagu memiliki sifat berbeda. Pati beras mengandung amilosa kurang dari 30, sedangkan pati sagu lebih dari 30. Pati sagu memiliki pola difraksi sinar X tipe C Ahmad et al. 1999, sedangkan pati beras memiliki pola difraksi sinar X tipe A Patindol Wang 2003. Fraksi amilopektin pada pati beras memiliki rantai cabang dengan derajat polimerisasi DP lebih dari 13 dengan porsi lebih sedikit dibanding yang terdapat di dalam pati sagu Srichuwong et al. 2005a. Sifat-sifat tersebut memberikan kontribusi yang berbeda dalam pembentukan pati resisten. RS3 dibuat melalui kombinasi proses retrogradasi interaksi antar fraksi amilosa dan hidrolisis enzimatis. Hidrolisis non enzimatis misalnya dengan asam sebenarnya juga dapat digunakan untuk menghasilkan RS3. Hidrolisis secara enzimatis dipilih dengan pertimbangan enzim bekerja sangat spesifik.Hidrolisis dilakukan oleh amilase, pululanase dan kombinasinya. Pada penelitian ini, RS3 difermentasi oleh kultur murni Clostridium butyricum BCC B2571 atau Eubacterium rectale DSM 17629 sebagai strain bakteri model. Keduanya merupakan bakteri pendegradasi pati dan penghasil butirat yang secara normal berada di kolon serta termasuk kelompok non patogen. Bakteri yang sering ditemukan di kolon antara lain berasal dari famili bakterioid, bifidobakteria, lactobacilli. Selanjutnya pengaruh supernatan hasil fermentasi terhadap sel kanker dipelajari secara in vitro dengan kultur sel HCT-116.

1.2. Tujuan

a. Mendapatkan RS3 daripati beras dan pati sagumelalui proses kombinasi proses retrogradasi dan hidrolisis enzim b. Mempelajari profil SCFA yang dihasilkan oleh kultur tunggal C.butyricum BCC B2571 atau E.rectaleDSM 17629 pada media fermentasi yang disuplementasi dengan RS3 tersebut di atas. c. Mempelajari penghambatan proliferasi dan apoptosis pada sel lestari asal kanker kolon manusia, yaitu HCT-116yang diberi paparan SCFA hasil fermentasi RS3.

1.3. Keluaran yang diharapkan

a.RS3 dari pati beras dan pati sagu yang bersifat butirogenik, yakni RS3 yangdapatmenghasilkan asam butirat ketika difermentasi. b.Sel kanker yang proliferasinya terhambat dan mengalami apoptosis ketika sel yang bersangkutan diberi paparan supernatan hasil fermentasi RS3.

1.4. Manfaat hasil penelitian

Teknik pembuatan RS3 bermanfaat bagi industri dalam menyediakan ingredien pangan fungsional pencegah kanker kolon. Haltersebuttentunya mendorong permintaan terhadap bahan baku beras dan sagu sehingga pendapatan produsen petani diperbaiki. Hasil penelitian juga memberikan pemahaman terhadap peran bakteri kolon secara individu dalam fermentasi RS3. Pemahaman ini penting untuk menyusun strategi pengembangan dan pemanfaatan RS3 sebagai komponen bahan pangan yang memiliki fungsi unik yang mampu mencegah penyakit kanker kolonCRC. 1.5.Hipotesis a. RS3 asal pati sagu maupun pati beras dapat dimanfaatkanoleh C.butyricum BCC B2571 atau E.rectaleDSM 17629 dengan menghasilkan SCFA. b. SCFA mampu menghambat proliferasi dan menginduksi apoptosis pada sel lestari asal kanker kolon.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Potensi Sagu dan Beras Sagu dan beras merupakan sumber karbohidrat penting di kawasan Asia dan khususnya di Indonesia. Tanaman sagu tumbuh secara alami terutama di daerah dataran atau rawa dengan sumber air yang melimpah. Tanaman ini masih tumbuh dengan baik pada ketinggian 1.250 m dpl dengan curah hujan 4.500 mmtahunLimbongan 2007. Tanaman sagu berkembang di beberapa wilayah di Indonesia, yaitu sebagian Sumatera, Sulawesi dan Papua BPS 2009. Di propinsi Papua ditemukan lebih dari 60 jenis aksesi sagu dan Papua dianggap sebagai sentra keragaman genetik sagu terbesar di dunia Limbongan 2007. Di Indonesia, terutama di Jawa Barat, istilah pati sagu juga dipakai untuk menyatakan pati yang diekstrak dari tanaman aren Arenga pinnata. Oleh karena itu, di wilayah ini dikenal dua jenis pati disebut juga aci sagu, yakni aci kirai dan aci kawung, masing-masing diperoleh dari batang pohon sagu dan batang pohon aren. Sagu dikonsumsi secara langsung sebagi makanan pokok diantaranya di Sulawesi dalam bentuk kapurung, sagu lempeng, di Papua dalam bentuk papeda dan sebagainya. Sagu juga diolah menjadi aneka kue kering. Sagu juga telah menjadi mi atau bihun Purwani et al. 2006, Herawati et al. 2010. Berbeda dengan sagu, beras merupakan tanaman yang secara intensif dibudidayakan oleh petani. Produksi beras meningkat dari sekitar 60 juta ton pada tahun 2008 menjadi lebih dari 64 juta ton pada tahun 2009 BPS 2010. Di samping itu, lebih dari seratus varietas padi telah berhasil dirakit oleh para pemulianya dalam satu dekade terakhir ini. Varietas-varietas tersebut memiliki sifat agronomis maupun kualitas rasa nasi yang sangat beragam sesuai dengan kondisi alam dan preferensi masyarakat Indonesia Suprihatnoet al. 2010. Sifat nasi sangat ditentukan oleh kadar amilosa beras. Berdasarkan kadar amilosa, beras dikelompokka n menjadi: a beras ketan dengan kadar amilosa 10, b beras beramilosa rendah dengan kadar 10-20, c beras beramilosa sedang dengan kadar 20-25 dan d beras beramilosa tinggi dengan kadar 25Indrasari et al. 2008. Makin tinggi kadar amilosa makin pera tekstur nasinya. Seperti halnya sagu, beras juga dikonsumsi langsung dalam bentuk nasi. Beras beramilosa sedang umumya disukai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebagian etnis Melayu di Sumatera menyukai beras beramilosa tinggi. Beras juga diolah menjadi berbagai produk seperti bihun dan berondong. Beras yang kurang disukai untuk konsumsi langsung memiliki peluang untuk diolah menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti RS3.

2.2. Struktur dan Degradasi Pati

Granula pati memiliki bentuk dan ukuran spesifik tergantung pada sumbernya. Granula pati sagu berbentuk oval dan berukuran besar yakni lebih dari 30 µ m, sedangkan granula pati beras berbentuk poligonal berukuran kecil yakni kurang dari 10 µ m Ahmad et al.1999, Srichuwong et al. 2005, Yang et al. 2006 . Ukuran granula pati ikut mempengaruhi tingkat kemudahannya diakses oleh enzim-enzim pendegradasinya. Makin besar ukuran granula pati makin kecil rasio luas permukaannya terhadap volume sehingga mengurangi ikatan dengan enzim atau dengan kata lain menurunkan potensi hidrolisisnya Tester et al. 2004. Pati terdiri dari dua fraksi, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa adalah polimer rantai lurus yang tersusun atas unit monomer glukosa melalui ikatan glikosidik α-1,4. Fraksi ini mudah larut dalam air dan mampu membentuk struktur helik ganda. Kadar amilosa pati sagu dan pati beras bervariasi antar varietas seperti tampak dalam Tabel 1. Berat molekul amilosa sagu berkisar antara 1,41x 10 6 - 2,23x 10 6 Da Ahmad et al. 1999. Amilopektin adalah polimer mirip amilosa namun bercabang melalui ikatan glikosidik α-1,6 pada titik percabangannya. Amilopektin membentuk struktur klaster. Rantai amilopektin di dalam klaster dibedakan menjadi rantai A dan B. Rantai A merupakan rantai yang tidak membawa rantai yang lain dan umumnya memiliki derajat polimerisasi DP 15 unit glukosa. Rantai B membawa rantai lain melalui ikatan glikosidik α-1,6 dan memiliki DP 13-24, 25-36 unit glukosa atau bahkan lebih panjang lagi.

Dokumen yang terkait

Karakteristik bekatul padi (Oryza Sativa) awet serta aktifitas antioksidan dan penghambatan proliferasi sel kanker secara in vitro dari minyak dan fraksinya

0 18 476

Penghambatan proliferasi sel kanker kolon HCT 116 oleh produk fermentasi pati resistentipe 3 sagu dan beras

0 11 109

Aktivitas kitooligomer hasil reaksi enzimatik terhadap proliferasi sel limfosit dan sel kanker

1 32 256

Manfaat Buah Merah untuk Meningkatkan Kualitas Kesehatan: Studi Sifat Fungsional terhadap Peningkatan Sistem Imun dan Penghambatan Proliferasi Sel Kanker

0 6 1

Toksisitas Short Chain Fatty Acid (SCFA), Produk Turunan Pati Resisten Tipe 3 Hasil Fermentasi Ubi Jalar (Ipomoea batatas) Oleh Bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 Terhadap Sel HCT-116

1 10 90

Potensi Sitotoksik Ekstrak Batang Bunga Matahari (Helianthus annuus L.) terhadap Sel Kanker Kolon HCT 116

0 2 34

PENGARUH EKSTRAK ETANOL PROPOLIS DAN PERBEDAANNYA DENGAN 5-FLUOROURACIL TERHADAP EKSPRESI CASPASE 3, PROLIFERASI DAN APOPTOSIS PADA KULTUR SEL KANKER KOLON (CELL LINE WiDr).

0 0 7

PENGARUH EKSTRAK PROPOLIS TERHADAP EKSPRESI CASPASE 3, PROLIFERASI DAN INDUKSI APOPTOSIS PADA SEL KANKER KOLON (CELL LINE WiDr)

0 0 8

EFEK SITOTOKSIK DAN PENGHAMBATAN KINETIKA PROLIFERASI KOMBINASI EKSTRAK ETANOL DAUN KETAPANG (Terminalia catappa) DAN DOXORUBICIN TERHADAP SEL KANKER SERVIKS HeLa

0 1 17

AKTIVITAS PENGHAMBATAN PROLIFERASI SEL KANKER SERVIKS OLEH FRAKSI HEKSANA BIJI KECIPIR (Psophocarpus tetragonolobus L.) - repository perpustakaan

0 0 18