Toksisitas Short Chain Fatty Acid (SCFA), Produk Turunan Pati Resisten Tipe 3 Hasil Fermentasi Ubi Jalar (Ipomoea batatas) Oleh Bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 Terhadap Sel HCT-116

(1)

TOKSISITAS SHORT CHAIN FATTY ACID (SCFA) BUTIRAT,

PRODUK TURUNAN PATI RESISTEN TIPE 3 HASIL

FERMENTASI UBI JALAR (Ipomoea batatas) OLEH BAKTERI

Clostridium butyricum BCC B2571 TERHADAP SEL HCT-116

SKRIPSI

DESY AYU CANDRANINGRUM

F24080127

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

TOXICITY OF SHORT CHAIN FATTY ACID DERIVED FROM TYPE-3

RESISTANT STARCH FROM SWEET POTATO (

Ipomoea batatas

)

FERMENTED BY

Clostridium butyricum BCC B2571

AGAINST HUMAN

COLON CARCINOMA CELL LINE HCT-116

Desy Ayu Candraningrum and Maggy T Suhartono

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural

Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220,

Bogor, West Java, Indonesia

Phone: +62 856 2905656, E-mail: dgluth1490@gmail.com

ABSTRACT

Sweet potato (Ipomoea batatas) is a food that contains high type 3

resistant starch. Fermentation of type 3 resistant starch by several bacteria such

as Clostridium can produce Short Chain Fatty Acid (SCFA) containing acetate,

propionate, and butyrate. SCFA butyrate is capable to inhibit the growth of colon

carcinoma cells with an apoptosis pathway. The aim of this research was to

analyze the toxicity of SCFA produce from fermentation of type-3 resistant starch

from sweet potato with the bacterium Clostridium butyricum BCC B2571 against

human colon carcinoma cell line using hemacytometer cell counting method and

detection of apoptotic cells by Hoechst 33258 staining. The type 3 resistant starch

fermented from sweet potato with a molar ratio of acetate, propionate, and

butyrate at

52.95 mM : 66.93 mM : 92.41 mM were used as the primary working

solution which was further diluted

. VERO cell was used in the analysis as a

normal cell with treatment given at concentration of 10 mM; 5 mM: 2.5 mM: 1.25

mM: 0.625 mM, while HCT 116 cells was used as a colon cancer cells by

treatment with 1.25 mM; 0.625 mM: 0.313 mM: 0.156 mM; 0.078 mM. The results

showed that the butyrate concentration of 1.25 mM showed the high toxicity of

85.42% to HCT 116 cells and in VERO cells showed low toxicity at 46.97%.

Detection of apoptosis using Hoechst 33258 staining showed that apoptosis

occurred in HCT-116 cells by a SCFA concentration of 1.25 mM and 0.625 mM.


(3)

DESY AYU CANDRANINGRUM. F24080127.

Toksisitas

Short Chain Fatty Acid

(SCFA

)

, Produk Turunan Pati Resisten Tipe 3 Hasil Fermentasi Ubi Jalar

(

Ipomoea batatas

) Oleh Bakteri

Clostridium butyricum BCC B2571

Terhadap Sel

HCT-116

. Di bawah bimbingan Maggy Thenawidjaja Suhartono. 2012

RINGKASAN

Kanker kolon merupakan salah satu penyakit kanker yang menempati urutan ketiga terbesar di dunia dapat berakibat kematian. Pada dasawarsa ini, ada sekitar satu juta kasus kanker kolon dan rectum. Data terbaru menunjukkan bahwa dari sekitar 1.2 juta kasus kanker kolon, diperkirakan 608.700 kasus diantaranya menyebabkan kematian pada tahun 2008. Penderita kanker umumnya berasal dari negara maju. Kasus kanker kolon tertinggi terdapat di Australia, New Zealand, Eropa, dan Amerika Utara. Tingginya kasus kanker ini disebabkan karena tingginya pola konsumsi daging pada negara-negara tersebut yang berakibat pada pola makan rendah serat.

Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk menurunkan kasus kanker kolon adalah melalui pemanfaatan bahan pangan dengan membuat suatu ingredien pangan. Salah satu bahan pangan yang dapat dimanfaatkan sebagai pangan fungsional pencegah kanker kolon adalah ubi jalar. Ubi jalar (Ipomoea batatas) merupakan komoditas pangan penting di Indonesia. Tanaman ini dapat hidup baik di daerah kurang subur maupun kering sehingga kemampuan adaptasinya yang tinggi inilah yang menyebabkan ubi jalar dapat dimanfaatkan sepanjang tahun di Indonesia.

Ubi jalar mengandung karbohidrat yang tinggi yang mampu menjadi sumber energi bagi manusia. Kandungan pati yang tinggi pada ubi jalar sangat bermanfaat dalam pencegahan kanker kolon karena pati tersebut dapat difermentasi. Pati ubi jalar ini dapat diolah menjadi pati resisten tipe 3 yang merupakan pati yang lolos dari pencernaan enzim amilase di usus halus. Pada sistem pencernaan, pati resisten tipe 3 (type 3 resistant starch ) di usus besar akan difermentasi oleh bakteri-bakteri fermentatif di usus besar seperti Clostridium butyricum sehingga menghasilkan asam lemak rantai bebas (SCFA) yang kemudian akan dijadikan bahan untuk menghambat pertumbuhan sel kanker kolon pada penelitian ini.

Dari hasil penelitian, digunakan dua jenis kultur sel yaitu kultur sel VERO yang bertindak sebagai sel normal dan kultur sel HCT-116 yang bertindak sebagai sel kanker kolon. Masing-masing kultur sel ini diberikan perlakuan dengan SCFA butirat hasil fermentasi ubi jalar dengan beberapa konsentrasi tertentu. Pada sel VERO, konsentrasi SCFA butirat yang diberikan adalah 0.625 mM, 1.25 mM, 2.5 mM, 5 mM, dan 10 mM. Hasil penghambatan kurang dari 50% yang didapatkan dari sel VERO ini yang kemudian digunakan sebagai batas konsentrasi yang diujikan pada sel HCT-116. Dari hasil pengamatan, didapatkan bahwa besar penghambatan kurang dari 50 % pada sel VERO terdapat pada konsentrasi 1.25 mM dan 0.625 mM dengan masing-masing besar penghambatan sebesar 46.97% dan 33.33%.

Pada perlakuan terhadap sel HCT-116, konsentrasi yang digunakan adalah 0.078 mM, 0.156 mM, 0.313 mM, 0.625 mM, dan 1.25 mM. Dari hasil pengamatan, penghambatan tertinggi terdapat pada konsentrasi 1.25 mM sebesar 85.42%. Besar penghambatan pada konsentrasi 0.078 mM, 0.156 mM, dan 0.313 mM menghasilkan nilai -41.67%, -54.17%, dan -22.92%. Nilai minus ini menandakan bahwa pada konsentrasi-konsentrasi tersebut SCFA butirat tidak dapat menghambat pertumbuhan. Dari hasil uji gula pereduksi terhadap konsentrasi 0,078 mM dan 0.156 mM didapatkan hasil bahwa SCFA butirat mengandung gula pereduksi sebanyak 0.0085 μg/ml dan 0.0056 μg/ml. Selain itu, kandungan dari media tumbuh DMEM memiliki peranan penting menambah nutrisi sel untuk tumbuh sehingga penghambatan tidak terjadi.

Pengamatan apoptosis sel dilakukan pada konsentrasi SCFA butirat 0.625 mM, 1.00 mM, dan 1.25 mM dengan menggunakan metode Hoechst 33258. Berdasarkan pengamatan dengan mikroskop fluoroscent, apoptosis terjadi pada sel HCT-116 yang diberikan perlakuan dengan SCFA butirat konsentrasi 1.25 mM. Apoptosis ini ditandai dengan terlihatnya fragmentasi DNA pada sel. Fragmentasi DNA pada konsentrasi 1.25 mM lebih banyak dibandingkan pada konsentrasi 1.00 mM dan 0.625 mM.


(4)

TOKSISITAS SHORT CHAIN FATTY ACID (SCFA) BUTIRAT, PRODUK

TURUNAN PATI RESISTEN TIPE 3 HASIL FERMENTASI UBI JALAR

(Ipomoea batatas) OLEH BAKTERI Clostridium butyricum BCC B2571

TERHADAP SEL HCT-116

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

DESY AYU CANDRANINGRUM

F24080127

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITU PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(5)

Judul Skripsi : Toksisitas Short Chain Fatty Acid (SCFA) butirat, Produk Turunan Pati Resisten Tipe 3 Hasil Fermentasi Ubi Jalar (Ipomoea batatas) Oleh Bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 Terhadap Sel HCT-116

Nama : Desy Ayu Candraningrum

NIM : F24080127

Menyetujui, Pembimbing Akademik,

(Prof. Dr. Ir. Maggy Thenawidjaja Suhartono) NIP.130 604 332

Mengetahui: Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc) NIP. 19680526.199303.1.004


(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Toksisitas Short Chain Fatty Acid (SCFA), Produk Turunan Pati Resisten Tipe 3 Hasil Fermentasi Bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 Terhadap Sel HCT-116 adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 18 Oktober 2012 Yang membuat pernyataan

Desy Ayu Candraningrum F24080127


(7)

© Hak cipta milik Desy Ayu Candraningrum, tahun 2012 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(8)

BIODATA PENULIS

Penulis bernama Desy Ayu Candraningrrum. Lahir di Manokwari, 1 Desember 1990 dari ayah Sabar Rahardjo dan Ibu A. A. Ayu Mayuni Karang, sebagai putri ketiga dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan SMA pada tahun 2008 dan tercatat sebagai lulusan SMA N 2 Yogyakarta. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB. Penulis memilih Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian sebagai mayor perkuliahan utama penulis.

Selama masa kuliah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi termasuk HIMITEPA, penulis pernah bergabung dalam beberapa kepanitiaan besar yang dibuat oleh HIMITEPA diantaranya LCTIP XVIII pada tahun 2010 sebagai divisi sponsorship serta pada kepanitiaan HACCP VIII bergabung dalam divisi humas. Selain mengikuti kepanitiaan, penulis juga mengikuti event-event edukasi seperti seminar nasional maupun internasional. Penulis mendapatkan penghargaan sebagai best presenter pada lomba presentasi karya ilmiah dalam The 53rd IAAS World Congress 2010 Indonesia yang diselenggarakan oleh IAAS pada bulan Juli 2010. Selain itu, pada tahun 2011 Penulis berhasil meraih juara 2 dalam lomba proposal bisnis tingkat Nasional “UNIVATION 2011” yang diselenggarakan oleh Universitas Padjajaran, Bandung. Pada September 2011, penulis memulai penelitian tugas akhirnya yang berjudul “Toksisitas Short Chain Fatty Acid (SCFA) butirat, Produk Turunan Pati Resisten Tipe 3 Hasil Fermentasi Ubi Jalar (Ipomoea batatas) Oleh Bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 Terhadap Sel HCT-116” dengan bimbingan dari Prof. Dr. Ir. Maggy Thenawidjaja Suhartono


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas karunia dan rahmatNya sehingga penyusunan tugas akhir penelitian magang ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Toksisitas Short Chain Fatty Acid (SCFA), Produk Turunan Pati Resisten Tipe 3 Hasil Fermentasi Bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 Terhadap Sel HCT-116 dilaksanakan sejak bulan September 2011 hingga Mei 2012.

Tersusunnya tugas akhir magang ini tak luput dari dukungan, bantuan, dan doa dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Allah SWT atas karunia-Nya penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan skripsi serta pendidikannya di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor

2. Papa dan Mama. Orang tua tercinta yang tidak henti-hentinya memberikan semangat kepada penulis serta selalu mengingatkan penulis agar segera lulus

3. Kakak-kakakku, Dian Ayu Januarika, Widya Kemala Saraswati, kakak iparku Teddy Rayendra, Partnerku Rulian Syauri, serta ponakan-ponakanku tersayang Azzahra Khaerunisa Rayendra dan Athiya Shafwah Rayendra yang selalu sabar, menghibur ,dan memberi semangat kepada penulis 4. Prof. Dr. Ir. Maggy Thenawidjaja Suhartono atas bimbingann, ajaran, serta nasehat-nasehat Ibu

terhadap penulis mulai dari awal penulis belajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan hingga penulis melakukan penelitian dan tugas akhir. Terima kasih banyak ibu.

5. Dr. Ir. Budiatman Setiamihardja, M.Sc dan Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr sebagai penguji dalam sidang akhir. Terima kasih atas segala masukan, dukungan, dan nasehat-nasehat bapak sekalian dalam kesuksesan sidang akhir penulis,

6. Dr. Ir. Endang Yuli Purwani atas bimbingan, nasehat, serta bantuan terhadap penulis selama penulis melakukan penelitian dan menyelesaikan tugas akhir

7. Ibu Silmi Mariya, S.Si, M. Si atas bimbingan serta bantuan terhadap penulis selama penulis melakukan penelitian di PSSP, Bogor

8. Pusat Studi Satwa Primata Bogor yang menjadi tempat penulis melakukan penelitian atas segala fasilitas yang mendukung agar penelitian penulis berjalan lancar

9. Laboratorium Biokimia Pangan Ilmu dan Teknologi Pangan IPB beserta mbak Vera dengan segala kemurahan hatinya memberikan ijin kepada penulis untuk menumpang penelitian lanjutan sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik

10. Staff UPT dan staff Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan: Bu Novi, Mbak Ani, Mbak Darsi, Bu Ina, Pak Samsu atas segala bantuan selama penulis melaksanakan kuliah hingga tugas akhir 11. Teman-teman penghilang penat selama masa kuliah: Ranti/sam, Icha, Dias, Arin, Sendy, Niken,

Cindy, Sinta, Misran/Mizu, Ahmadun/cutbray, Virza, Andika, Kak Dede, Cici Sally, Sarinah/Inamon. Terima kasih untuk kalian yang selalu ada mendengarkan keluh kesah, senang-senang, dan berbagi selama penulis kuliah di ITP, sukses selalu teman-teman

12. Teman-teman seperjuangan selama penelitian: Nia dan Febrian yang dengan sabar selalu membantu penulis selama penelitian, sukses selalu nia dan ebi.

13. Teman-teman satu kelompok praktikum terpadu sari buah “ORELLO” atas kebersamaan, dan pelajaran yang diberikan selama praktikum terpadu berlangsung

14. Teman-teman ITP 45 yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas segala hal yang telah dilewati bersama selama perkuliahan

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu dan teknologi pangan.


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Inhibisi SCFA hasil fermentasi bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap sel

VERO………...16 Tabel 2. Inhibisi SCFA hasil fermentasi bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap sel HCT 116………....16 Tabel 3. Konsentrasi gula pereduksi pada konsentrasi 0.078 mM dan 0.156 mM………18 Tabel 4. Besar penghambatan butirat pada beberapa sel kanker dari berbagai bahan dan kemampuan


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Jalur pembentukan asetat, propionat dan butirat………5

Gambar 2. Morfologi Sel HCT-116……….7

Gambar 3. Morfologi sel VERO...………...8

Gambar 4. Komposisi Dulbecco Modified Eagle’s Medium (DMEM)...………..19

Gambar 5. Besar nilai penghambatan pertumbuhan dengan perlakuan SCFA butirat terhadap sel VERO dan sel HCT 116 pada berbagai studi………20

Gambar 6. Sel VERO dengan perlakuan SCFA butirat……….21

Gambar 7. Sel HCT 116 dengan perlakuan SCFA butirat……….22

Gambar 8. Hasil pewarnaan Hoechst pada beberapa konsentrasi SCFA butirat………...24


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Produktivitas ubi jalar dari tahun 2000-2010……….31

Lampiran 2. Inhibisi SCFA terhadap sel VERO beserta contoh perhitungannya…………...32

Lampiran 3. Inhibisi SCFA terhadap sel HCT 116 beserta contoh perhitungan……….34

Lampiran 4. Kurva standar glukosa gula pereduksi SCFA………...………..…36

Lampiran 5. Konsentrasi gula pereduksi pada SCFA Butirat konsentrasi 0.078 mM dan


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………..i

DAFTAR TABEL………ii

DAFTAR GAMBAR………..iii

DAFTAR LAMPIRAN………...iv

I. PENDAHULUAN………...…..1

1.1 LATAR BELAKANG………...………..1

1.2 TUJUAN PENELITIAN………...……..2

II. TINJAUAN PUSTAKA………....3

2.1 KANKER KOLON………..……...3

2.2 PATI RESISTEN………...…….3

2.3 SHORT CHAIN FATTY ACID (SCFA)………...4

2.4 SEL HCT-116………..6

2.5 SEL VERO………..8

2.6 BAKTERI Clostridium butyricum BCC B2571………..9

2.7 PERAN GULA PEREDUKSI BAGI PERTUMBUHAN SEL KANKER……….…9

III. METODOLOGI PENELITIAN………...…...11

3.1 BAHAN DAN ALAT………...11

3.2 METODOLOGI PENELITIAN………11

3.2.1 Penyiapan sel dan pengkulturan (sub kultur)……….11

3.2.2 Analisa toksisitas………..………..12

3.2.3 Deteksi apoptosis dengan menggunakan metode pewarnaan Hoescht 33258………..…13

3.2.4 Deteksi gula pereduksi dengan metode DNS……….13

3.2.4.1 Penyiapan pereaksi DNS………..13

3.2.4.2 Penetapan kurva standar glukosa…..………..….14

3.2.4.3 Penetapan total gula pereduksi……….14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………...………....15

4.1 TOKSISITAS SHORT CHAIN FATTY ACID TERHADAP SEL VERO DAN SEL HCT-116………15

4.2 DETEKSI APOPTOSIS HASIL PERLAKUAN SCFA TERHADAP SEL HCT 116……….23

V. SIMPULAN DAN SARAN……….27

5.1 SIMPULAN………...27

5.2 SARAN……….…27

DAFTAR PUSTAKA………....28


(14)

I.

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kanker secara umum dapat disebabkan oleh berbagai macam hal seperti adanya pengaruh pola makan, obesitas, dan kebiasaan merokok. Pada kanker kolon, kejadian ini umumnya disebabkan oleh kelebihan berat badan dan obesitas, konsumsi alkohol, merokok, serta pola makan rendah serat (Jemal et al. 2011). Pola makan yang sehat akan memicu terbentuknya sistem pencernaan yang sehat sehingga dapat menunjang kesehatan manusia. Pola makan rendah serat merupakan pola konsumsi makanan dengan sedikit kandungan serat yang mampu melancarkan sistem pencernaan. Pada umumnya, pola makan rendah serat disebabkan oleh tingginya konsumsi daging dibandingkan serat seperti sayuran dan buah-buahan. Kanker kolon atau kanker usus besar merupakan suatu tumor ganas yang ditemukan di kolon dan rectum (Siregar, 2008). Kolon dan rectum merupakan bagian dari saluran pencernaan atau disebut juga saluran gastrointestinal yang berfungsi sebagai penghasil energi bagi tubuh dan membuang zat-zat yang tidak berguna.

Kanker kolon merupakan penyakit kanker yang menempati urutan ketiga terbesar di dunia yang dapat menyebabkan kematian pada tahun 2008 dengan sekitar 49.960 kasus kematian yang disebabkan oleh kanker kolon (Jemal et al. 2008). Data terbaru mengenai kanker kolon, penyakit ini menempati urutan ketiga tertinggi pada lelaki dan urutan kedua tertinggi pada wanita dari sekitar 1,2 juta kasus kanker dan 608.700 kasus diantaranya diperkirakan menyebabkan kematian pada tahun 2008 (Jemal et al. 2011). Kasus kanker kolon lebih sering terjadi pada negara maju. Pada negara maju ini, kasus kanker kolon merupakan penyebab tersering ketiga dari seluruh kasus kanker pada semua usia. Kasus kanker kolon tertinggi terdapat di Australia, New Zealand, Eropa, dan Amerika Utara (Jemal et al. 2011). Tingginya kasus kanker kolon pada negara-negara ini disebabkan karena tingginya pola konsumsi daging. Negara-negara ini memiliki pola konsumsi daging yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara mediterania karena lebih banyak mengonsumsi sayuran, buah-buahan, serta ikan.

Salah satu langkah pencegahan yang dilakukan untuk menurunkan kasus kanker kolon adalah melalui pemanfaatan bahan pangan dengan membuat suatu ingredien pangan yang dapat dimanfaatkan untuk menekan terjadinya kanker kolon. Salah satu bahan pangan yang dimanfaatkan sebagai pangan fungsional pencegah kanker kolon adalah ubi jalar. Ubi jalar (Ipomoea batatas) merupakan komoditas penting khususnya di Indonesia. Ubi jalar atau dikenal juga dengan sweet potato ini merupakan tumbuhan yang berasal dari benua Amerika. Tanaman ini dapat hidup baik di daerah kurang subur maupun kering sehingga karena kemampuan adaptasinya yang tinggi inilah tanaman ubi jalar dapat dimanfaatkan sepanjang tahun di Indonesia. Di Indonesia, produktivitas ubi jalar semakin meningkat setiap tahun, data dari Departemen Pertanian tahun 2010 menyebutkan bahwa total produksi ubi jalar pada tahun 2009 menghasilkan sekitar 2 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya total produksi sekitar 1.8 juta ton. Beberapa sentra produksi ubi jalar terbesar di Indonesia terdapat di Jawa Barat dan Papua dengan jumlah produksi per tahun sekitar 300.000 ton ubi jalar.

Salah satu sifat paling utama dari ubi jalar yang dimanfaatkan dalam pencegahan kanker kolon adalah sifat pati amilosa tinggi yang dapat dihidrolisis menjadi pati resisten tipe 3 dan dapat difermentasi. Karena memiliki kandungan amilosa yang tinggi pada patinya, ubi jalar dapat diolah menjadi pati resisten tipe 3 yang dapat difermentasi oleh bakteri kolon agar menghasilkan asam butirat yang baik bagi pencernaan. Pati resisten tipe 3 ini lolos dari pencernaan dalam lambung kemudian menuju usus besar. Saat berada di usus besar, pati resisten tipe 3 kemudian difermentasi


(15)

oleh bakteri-bakteri usus besar sehingga menghasilkan SCFA (Short Chain Fatty Acid). Short Chain Fatty Acid adalah asam lemak organik dengan 1 sampai 6 atom karbon yang merupakan produk akhir hasil fermentasi kompleks polisakarida di usus besar (Cummings dan Macfarlane, 1991). SCFA merupakan produk fermentasi pati resisten berupa asam lemak rantai bebas seperti propionat, butirat, dan asetat. Diantara asam lemak rantai pendek itu, butirat dilaporkan mampu menghambat pertumbuhan sel kanker dengan cara memicu sel kanker untuk bunuh diri (apoptosis) dan menghambat aktivitas DNA repairing enzyme (Le-Leu, 2002). Studi sebelumnya melaporkan bahwa butirat dapat memicu terjadinya respon apoptosis yang menyebabkan kerusakan DNA (Clarke et al. 2012)

Dengan melihat studi-studi sebelumnya, penghambatan kanker kolon dengan menggunakan SCFA kemungkinan dapat dilakukan apabila sel DNA yang rusak dapat dirangsang untuk melakukan apoptosis atau bunuh diri, tetapi studi mengenai kemampuan apoptosis ini masih sangat minimal.

1.2 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui konsentrasi SCFA yang mampu menghambat pertumbuhan sel kanker kolon HCT 116 serta mengetahui daya penghambatan SCFA dari pati resisten tipe 3 ubi jalar yang difermentasi oleh bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 serta mengidentifikasi adanya apoptosis yang terjadi pada sel kanker kolon.


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KANKER KOLON

Kanker kolon merupakan suatu tumor yang tumbuh bersifat ganas yang dapat merusak DNA atau jaringan sehat disekitar kolon (usus besar). Kanker kolon ini umumnya disebabkan oleh adanya faktor genetik, konsumsi alkohol yang tinggi, serta pola makan yang rendah serat. Berdasarkan data dari Global Research Statistics pada tahun 2008, negara-negara dengan kasus kanker kolon di dunia terdapat pada negara maju seperti Australia, New Zealand, Eropa, dan Amerika Utara (Jemal et al. 2011). Kasus kanker kolon yang cukup banyak juga terdapat di negara Amerika Serikat dengan sekitar 50.000 penderita meninggal akibat kanker kolon tiap tahunnya (Byrne. 2008).

Kolon dan rectum merupakan dua hal yang saling berkaitan. Kolon dan rectum merupakan bagian dari sistem pencernaan akhir manusia. Kolon merupakan saluran otot (usus) besar yang berfungsi untuk mengumpulkan dan menyimpan sisa-sisa metabolisme tubuh yang kemudian akan diteruskan pada rectum untuk dibuang keluar dari tubuh. Awal mula terjadinya kanker kolon adalah dengan tumbuhnya suatu tumor atau benjolan pada dinding kolon maupun rectum yang disebut polip. Polip bersifat jinak. Dalam perkembangannya, beberapa polip dapat bersifat ganas (cancerous atau malignant) dan ada yang tetap bersifat jinak (Byrne. 2008). Menurut American Cancer Society (2012), kemungkinan polip dapat berubah menjadi kanker tergantung dari jenis polip tersebut seperti:

a. Polip adenomatus (adenoma)

Polip ini disebut polip pre-cancerous, polip ini merupakan jenis polip yang dapat berubah menjadi kanker

b. Polip hyperplasia dan polip inflamantori

Pada umumnya polip ini merupakan polip non pre-cancerous, tetapi polip ini memiliki kemungkinan untuk berubah menjadi kanker apabila tumbuh di kolon ascending

c. Displasia

Displasia merupakan sel yang terlihat abnormal apabila dilihat melalui mikroskop yang terdapat pada kolon atau rectum. Sel ini dapat berubah menjadi kanker dan umumnya ditemukan pada penderita Ulcherative colitis dan Chron’s disease

Faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya kanker kolon dapat berasal dari factor lingkungan maupun dari keturunan. Sekitar 88 hingga 94% faktor tersebut berasal dari lingkungan seperti tingginya pola konsumsi daging, merokok, obesitas, merokok, dan konsumsi alkohol sedangkan 5 hingga 10% disebabkan oleh faktor keturunan (Siregar. 2007)

2.2

PATI RESISTEN

Pati resisten didefinisikan sebagai suatu kumpulan pati dan produk degradasi pati yang tidak dapat diserap di usus baik usus kecil maupun usus besar manusia yang sehat. Pati resisten dikenal sebagai serat yang tidak dapat dicerna yang tahan dari pencernan oleh enzim amilase di usus kecil dan difermentasi menjadi short chain fatty acid (SCFA) oleh mikroba dalam usus besar (Keenan et al. 2006). Pati resisten merupakan salah satu bagian dari serat makanan. Menurut The American Association of Cereal Chemists, serat makanan merupakan suatu bagian yang dapat dimakan dari tumbuhan atau karbohidrat analog yang tahan terhadap pencernaan dan penyerapan dalam usus halus manusia dengan fermentasi seluruhnya maupun sebagian di dalam usus besar (Joseph. 2002).


(17)

Secara umum, pati resisten diklasifikasikan dalam empat tipe. Pati resisten tipe 1 yang secara fisik terjebak atau tidak dapat diakses dalam dinding sel dari biji yang disosoh dan biji seperti kacang-kacangan. Pati resisten tipe 2 merupakan pati yang granulanya tidak tergelatinisasi terdapat dalam kentang, pisang hijau, dan pati maizena tinggi amilosa. Pati resisten tipe 3 merupakan pati kristal teretrogradasi yang terbentuk selama proses pembuatan makanan konvensional seperti pemasakan dan pendinginan kentang dan pasta, roti, sereal, dan pati maizena tinggi amilosa teretrogradsi. Tipe terakhir adalah pati resisten tipe 4 yang secara kimiadimodifikasi karena adanya ikatan silang (cross-linkage) dengan zat-zat kimia lainnya. (Aigster. 2009, Sajilata et al. 2006).

Pada dasarnya pati murni sulit untuk dicerna. Pati murni dapat dengan mudah dicerna melalui proses pemasakan, terutama dengan adanya air yang mampu membantu proses gelatinisasi pati. Penghancuran dari struktur makanan melalui penyosohan atau pengunyahan dapat meningkatkan daya cerna dari pati karena adanya akses dari emzim pencernaan ke dalam matriks (Topping. 2003). Disamping pemasakan, pendinginan juga dapat membantu pembentukan kristal-kristal granula pati yang dapat menahan pencernaan disebut proses retrogradasi.

Mekanisme dalam pembuatan pati resisten pada umumnya melalui tahap pemanasan, pendinginan kembali (retrogradasi), hidrolisis dengan menggunakan enzim maupun non-enzim dan kombinasinya. Tahap awal pemanasan ditujukan agar pati tergelatinisasi dengan ditandai masuknya air ke dalam granula pati. Gelatinisasi adalah proses membengkaknya granula-granula pati akibat pemanasan dan tersuspensi dalam air panas (Winarno. 2002). Gelatinisasi disebabkan oleh adanya energi kinetik dari molekul air yang semakin kuat sehingga molekul air dapat masuk dalam granula pati (Devega. 2011). Setelah pemanasan, dilakukan pendinginan yang dapat memicu proses retrogradasi. Proses retrogradasi ini ditandai dengan molekul-molekul amilosa yang berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula sehingga terbentuk jarring-jaring mikrokristal dan mengendap (Winarno. 2002). Interaksi yang terjadi antara rantai amilosa membentuk struktur yang lebih tahan terhadap hidrolisis. Hidrolisisi pada pati umumnya dilakukan oleh enzim. Salah satu enzim yang dapat menghidrolisis pati adalah enzim pululanase (EC 3.2.1.41). Enzim ini dapat menghidrolisis pati dengan cara memotong ikatan α-(1,6) pada amilopektinnya.

2.3

SHORT CHAIN FATTY ACID (SCFA)

Short chain fatty acid (SCFA) merupakan suatu asam lemak rantai pendek yang dihasilkan dari proses fermentasi mikroba-mikroba di usus besar. Pati atau produk-produk turunan pati serta pati yang telah melalui proses retrogradasi yang kemudian bertahan dalam usus besar adalah jenis-jenis pati yang difermentasi oleh bakteri-bakteri kolon untuk memproduksi SCFA. Serat makanan yang tidak dapat dicerna atau diabsorpsi oleh usus halus dan prebiotik akan difermentasi di usus besar sehingga menghasilkan SCFA (Hijova dan Chmelarova. 2007).

SCFA merupakan suatu asam organik dengan 1 hingga 6 atom karbon dan merupakan anion utama yang dihasilkan dari fermentasi bakteri polisakarida, oligosakarida, protein, dan prekursor glukoprotein di usus besar (Cummings dan Macfarlane. 1991). Reaksi umum pembentukan SCFA sebagai berikut (Topping dan Clifton. 2001) :

59 C6H12O6 + 38 H2O  60 CH3COOH (asetat) + 22 CH3CH2COOH (propionat) + 18 CH3CH2CH2COOH (butirat) + 96 CO2 + 268 H+ + panas + bakteri


(18)

Proses fermentasi ini melibatkan banyak proses dan penguraian mikroba dalam pemecahan bahan organiknya sehingga menghasilkan suatu senyawa yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba, pemeliharaan, serta produk akhir lainnya yang kemudian digunakan oleh kolon. Produk akhir dari fermentasi ini adalah SCFA beserta gas-gas seperti CO2, CH4, H2, dan panas (Topping dam Clifton. 2001). SCFA memiliki tiga asam lemak utama, yaitu asetat (C2), propionat (C3), dan butirat (C4), selain itu ada beberapa SCFA yang diproduksi seperti valerat (C5) dan kaproat (C6). Masing-masing asam lemak ini dihasilkan oleh jalur yang berbeda dan memiliki fungsinya tersendiri.

Banyak mikroflora dalam usus yang dapat digunakan untuk merombak glukosa menjadi SCFA dengan cara fermentasi. Fermentasi dilakukan oleh bakteri-bakteri di usus besar ini dengan memanfaatkan sumber C yang terdapat pada pati resisten. Mayoritas dari bakteri di usus besar ini menggunakan jalur glikolisis untuk mengambil sumber karbon yang kemudian diubah menjadi piruvat dan asetil ko-A (Macfarlane dan Macfarlane. 2003). Metabolisme glukosa menjadi piruvat dan asetil ko-A merupakan kunci utama dari proses fermentasi karbohidrat menjadi SCFA.

Jalur pembentukan SCFA pada bakteri kolon memiliki beberapa versi pada tiap-tiap jenis SCFA yang diproduksi. Berdasarkan dari Louis et al (2007), katabolisme glukosa berlangsung melalui jalur Embden Meyerhof-Parnas menghasilkan CO2 dan piruvat. Daur pembentukan asetat dilangsungkan melalui jalur Wood Ljungdahl yang bermula dari CO2. Propionat berasal dari fiksasi CO2, sedangkan pada butirat dibentuk melalui dua jalur yaitu butirat kinase dan jalur butiril-CoA:asetil-CoA transferase. Pada jalur pertama, enzim fosfo transbutirilase dan butirat kinase mengonversi butiril-CoA menjadi butirat dengan produk antara butiril-fosfat. Pada jalur kedua, enzim butiril-CoA:asetat CoA-transferase mentransfer gugus CoA ke asetat eksternal sehingga dihasilkan asetil-CoA dan butirat. Skema pembentukan SCFA ini dapat dilihat pada gambar 1.


(19)

Gambar 1. Jalur pembentukan asetat, propionat dan butirat. 1a: jalur butirat kinase, 1b:butiril-CoA:asetil CoA transferase, 2: jalur akrilat, 3:jalur suksinat, 4: jalur propandiol. (Louis et al. 2007). Tanda panah terputus menunjukkan adanya produk antara. DHAP: dihidroksiaseton pospat, P: Pospat, PEP: Pospoenolpiruvat.

Asetat merupakan SCFA yang terdapat di usus besar kemudian ditrasportasikan ke dalam hati sehingga tidak dimetabolisme di usus besar. Di dalam hati, asetat digunakan dalam lipogenesis. Selain itu, asetat merupakan substrat utama dalam sintesis kolesterol (Hijova dan Chmelarova. 2007). Selain sebagai substrat utama kolesterol, asetat juga membantu produksi butirat pada beberapa bakteri dalam usus besar. SCFA lain yang dihasilkan dari fermentasi bakteri usus besar adalah propionat. Propionat dibentuk melalui tiga jalur utama, pertama melalui jalur akrilat dengan mengubah piruvat menjadi laktat sehingga dihasilkan propionat, kedua melalui jalur fiksasi CO2 sehingga membentuk suksinat yang kemudian terbentuk propionat, dan terakhir jalur propanadiol yang menghasilkan propanol sebagai produk sampingnya. Pada hewan ruminansia, propionat merupakan prekursor utama dari proses glukoneogenesis (Hijova dan Chmelarova. 2007). Studi mengenai propionat pada manusia memang masih sedikit dibandingkan studi pada hewan ruminansia. Propionat dimetabolisme dalam hati, dengan semakin meningkatnya produksi propionat melalui fermentasi dapat menghambat sintesis kolesterol dalam hati (Hijova dan Chmelarova. 2007). SCFA butirat merupakan salah satu sumber energi yang dibutuhkan oleh jaringan kolon. Disamping sebagai sumber energi, butirat juga banyak diimplikasikan untuk mengontrol apoptosis, pembelahan, dan diferensiasi sel. Dari seluruh SCFA ini, sekitar 70-90% butirat dimetabolisme di jaringan kolon. Butirat tidak diproduksi oleh bakteri asam

Suksinil-CoA CO2

L-fukosa

DHAP + L-laktaldehid

Propan-1,2-diol Propionaldehid Propanol Propionil-CoA 4 CO2 PEP Piruvat L-laktat Laktil-CoA Akrilil-CoA Propionil-CoA Oksaloasetat Suksinat Metilmalonil-CoA Propionil-CoA Propionat CO2

Heksosa (glukosa, fruktosa); pentosa (xilosa, arabinosa)

Asetat Asetil-CoA Asetil-CoA Aetoasetil-CoA β-hidroksibutiril-CoA Krotinil-CoA Butiril-CoA Butiril-P Butirat Asetat Asetil-CoA CO2


(20)

2.4

SEL HCT-116 (ATCC CCL-247™)

Sel HCT-116 merupakan salah satu sel kanker kolon yang diisolasi dari jaringan kolon manusia. Sel HCT-116 ini pada dasarnya memiliki tiga morfologi yaitu HCT-116, HCT-116a, dan HCT-116b. Sel HCT-116 tumbuh menjadi sel yang berbentuk polygonal yang hampir berhimpit satu dengan lainnya, sel HCT-116a adalah sel yang tidak membentuk monolayer karena sel satu dengan lainnya sangat berhimpit sehingga cenderung terbentuk klaster-klaster padat, sel HCT-116b merupakan sel yang berbentuk polygonal dan akan menjadi padat apabila sel tersebut sudah konfluen atau penuh satu bidang pandang mikroskop (Brattain et al .1981).

Sel HCT-116 merupakan sel kanker kolon manusia yang memiliki fenotip untuk bermutasi (Weber et al. 2002). Pada beberapa studi mengenai sel HCT-116, sel ini diketahui memiliki DNA cacat sehingga lebih rentan terhadap apoptosis. Sel ini juga memiliki kemampuan untuk tumbuh pada medium semipadat dan fibroblast konfluen (Brattain et al. 1981). Menurut Brattain et al (1981), sel HCT-116 memiliki kemampuan tumorigenik (dapat memproduksi tumor) sekitar 50% terhadap hewan yang terjangkit dengan waktu laten rata-rata sekitar 16 hari.

Sel HCT-116 ini dapat tumbuh dengan baik apabila media tumbuhnya mengandung 10% growth factor serum dan antibiotik (100 unit penicillin + 100μg/mL streptomycin). Sel ini dapat tumbuh baik dalam kondisi suhu 37°C dan konsentrasi 5% CO2. Dalam pemeliharaan sel, HCT-116 dapat dijadikan sebagai stok dalam nitrogen cair sebanyak 5 juta sel/ml dengan serum yang mengandung 10% DMSO.

(a) (b)

Gambar 2. Morfologi Sel HCT-116. (a) Sel HCT 116 belum konfluen; (b) sel HCT 116 konfluen (ATCC CCL-247TM)


(21)

2.5

SEL VERO (ATCC CCL-81

TM

)

Sel VERO merupakan suatu sel lestari non kanker berbentuk ephitelial yang diisolasi dari organ ginjal normal monyet hijau afrika dewasa (Cercopithecus aethiops) pada 27 Maret 1962 oleh Y. Yusumura dan Y. Kaakita di Universitas Chiba, Jepang. Sel VERO umumnya dapat digunakan dalam berbagai penelitian seperti dalam penggunaannya dalam replikasi virus sebagai substrat vaksin sel. Sel VERO sensitif terhadap infeksi dari beberapa virus seperti SV-40, SV-5, arbovirus, reovirus, rubella, simian adenovirus, poliovirus, influenza virus, parainfluenza virus, vaccinia, dan lainnya (Sheets. 2000)

Sel VERO tidak membentuk tumor, tetapi pada fasase tinggi sel VERO dapat bersifat tumorigenik (Sheets. 2000). Umumnya sel VERO diaplikasikan pada tes mikoplasma, deteksi virus, serta sebagai substrat. Media dasar pertumbuhan sel VERO adalah Eagle’s Minimum Essential Medium (EMEM) dengan penambahan serum pertumbuhan yaitu fetal bovine serum sebesar 10%. Sel VERO dapat tumbuh optimal pada kondisi udara 95%, CO2 5%, dan temperatur 37°C. Untuk penyimpanan beku, sel VERO dapat disimpan dalam freeze medium yang berisi medium pertumbuhan serta DMSO 5% dan disimpan dalam nitrogen cair.

(a) (b)

Gambar 3. Morfologi sel VERO. (a) sel VERO belum konfluen; (b) sel VERO konfluen/penuh (ATCC CCL-81TM)


(22)

2.5

BAKTERI

Clostridium butyricum BCC B2571

Bakteri merupakan salah satu mikroba yang menghuni usus manusia. Usus manusia memiliki kondisi yang memungkinkan bagi beberapa bakteri baik patogen maupun yang bermanfaat untuk berkembang. Populasi bakteri yang berkembang di dalam usus manusia berjumlah besar sekitar setidaknya 1010 hingga 1011 cfu/g, dengan massa sekitar 250-750 g sehingga menghasilkan total bakteri sekitar 1013 cfu (Topping dan Clifton. 2001). Dalam usus besar manusia, terdapat berbagai macam jenis bakteri yang menghuni usus besar manusia. Menurut Topping dan Clifton (2001), ada lebih dari 50 genus dan lebih dari 400 spesies bakteri yang ditemukan di feses. Hal ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan beberapa bakteri-bakteri tersebut merupakan bakteri yang berasal dari pencernaan manusia. Bakteri-bakteri yang terdapat dalam usus besar yang dapat memproduksi butirat adalah Eubacterium, Peptostreprococci, Clostridia, Roseburia, dan Butyrofibriofibrisolvens (Purwani. 2011)

Salah satu bakteri kolon yang sering digunakan dalam penelitian adalah Clostridium butyricum. Bakteri ini merupakan bakteri anaerob yang hidup dalam lingkungan usus besar manusia. C. butyricum merupakan bakteri gram positif pembentuk spora, bersifat anaerob obligat, dan dapat hidup di usus besar hewan, manusia, dan tanah. Menurut Miwatani (1990), bakteri Clostridium butyricum berperan dalam menghasilkan asam lemak rantai pendek (SCFA), terutama asam butirat, asetat, dan propionat serta sejumlah asam format dan laktat. Bakteri ini sering digunakan untuk fermentasi guna menghasilkan asam butirat karena Clostridium butyricumBCC B2571 membutuhkan medium pertumbuhan yang sederhana , dapat menghasilkan metabolit tinggi, dan mudah diisolasi (Dewi. 2009). Bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 ini juga mampu menghidrolisis pati dengan adanya aktivitas enzim ekstraselular α-amylase yang diproduksi bakteri tersebut, enzim ini menghidrolisis polisakarida menjadi dekstrin yang terdiri dari 6-9 unit glukosa (Dewi. 2009).

2.6

PERAN GULA PEREDUKSI BAGI PERTUMBUHAN SEL KANKER

Karbohidrat banyak terdapat dalam berbagai bahan nabati, baik berupa gula sederhana, maupun karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi seperti pectin, selulosa, pati, serta lignin. Dari beberapa jenis karbohidrat tersebut, pati merupakan salah satu jenis karbohidrat yang terdapat pada umbian seperti ubi jalar. Selama proses pematangan, kandungan pati dalam buah-buahan atau umbi-umbian dapat berubah menjadi gula-gula pereduksi yang akan menimbulkan rasa manis (Winarno. 2002).

Gula pereduksi merupakan suatu gula yang memiliki gugus aldehida atau gugus hemiasetal (dalam bentuk cincin) di karbon anomeriknya (atom karbon nomor 1) yang kemudian dapat teroksidasi (reaktif). Gula pereduksi ini dapat membentuk rantai dan elongasi (pemanjangan). Ciri khas dari gula pereduksi adalah dengan adanya ikatan β-glikosidik. Ada tidaknya sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif (Winarno. 2002). Gugus hidroksil reaktif pada glukosa (aldosa) biasanya terletak pada atom karbon nomor 1 (anomerik), sedangkan pada fruktosa (ketosa) gugus hidroksil reaktifnya terletak pada karbon nomor 2. Beberapa contoh dari gula pereduksi adalah glukosa, maltosa, laktosa. Pada umumnya gula pereduksi dapat mengalami suatu reaksi pencoklatan yang disebut reaksi maillard. Reaksi ini terjadi karena adanya interaksi antara gula pereduksi dengan gugus amina primer (protein) yang dapat menghasilkan bahan berwarna coklat (Winarno. 2002).


(23)

perkembangannya. Beberapa nutrien yang umum digunakan adalah vitamin, asam amino, gula serta pengontrolan pH dan tekanan osmotik. Gula yang digunakan merupakan karbohidrat yang akan menjadi sumber energi bagi sel kanker. Metabolisme pembentukan SCFA berasal dari metabolisme dari glukosa. Metabolisme glukosa pada sel menghasilkan piruvat dan asam laktat (Freshney. 1992). Glukosa yang digunakan untuk nutrisi kultur sel dapat digantikan oleh galaktosa atau fruktosa yang secara signifikan dapat mereduksi pembentukan asam laktat (Freshney. 1992)


(24)

II. METODOLOGI

3.1 BAHAN DAN ALAT

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah SCFA butirat yang dihasilkan dari fermentasi pati resisten tipe 3 dengan bakteri fermentatif Clostridium butyricum BCC B2571 yang berasal dari Balai Besar Veteriner Bogor. Pati resisten yang digunakan merupakan pati ubi jalar varietas Jago yang diperoleh dari Balai Penelitian Ubi-ubian dan Serealia (Baliser) Malang. Sampel yang digunakan berupa cell free supernatant yang memiliki rasio molar asam asetat, propionat, dan butirat 52.95 mM : 66.93 mM : 92.41 mM atau 1 : 1.3 : 1.7. SCFA butirat ini kemudian diperlakukan pada sel VERO (ATCC CCL-81) dan sel HCT-116 (ATCC CCL-247) yang didapat dari Pusat Studi Satwa Primata Bogor. Sel VERO merupakan sel lestari non kanker yang diisolasi dari organ ginjal monyet hijau afrika dewasa sedangkan sel HCT 116 merupakan sel kanker kolon yang diisolasi dari jaringan kolon manusia.

Bahan yang digunakan adalah media Dulbecco’s Modified Eagle Medium (DMEM) (Gipco USA) yang disuplementasikan dengan Fetal Bovine Serum 10% (Gipco USA) dan antibiotik (penisilin 100 unit/mL; streptomycin 100μg/mL) (Invitrogen USA), Phosphate Buffer Saline (PBS 1X) steril (Gipco USA), Trypsin 0.25%, Glutaraldehyde 2%, serta pewarna Hoescht 33258 (10 mg/L) (Sigma USA). Sedangkan alat yang digunakan adalah flask T25, hemasitometer, mikroskop inversi, mikroskop fluorosencence, biosafety cabinet, refrigerator, mikro pipet, pipet steril, sentrifuse 1500 G, tabung sentrifuse, water-bath, spectrophotometry double beam, microplate 24 well.

3.2 METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu : tahap penyiapan sel dan pengkulturan (sub kultur), tahap analisa toksisitas dengan metode hemasitometer, dan tahap deteksi apoptosis dengan pewarnaan Hoescht 33258.

3.2.1

Penyiapan Sel dan Pengkulturan (Sub Kultur) (Purwani, 2011)

Sel yang digunakan untuk analisis ini merupakan sel yang dibekukan dalam freezer bersuhu -70°C sehingga harus dilakukan pencairan (thawing) dalam water-bath bersuhu 37°C. Sel tersebut kemudian ditanam ke dalam flask T25 dengan diisikan media Dulbecco’s Modified Eagle Medium (DMEM) yang telah disuplementasikan dengan serum Fetal Bovine Serum 10% dan antibiotik (penisilin 100 unit/mL; streptomycin 100 μg/mL). Setelah ditanam dalam flask T25, sel kemudian diinkubasikan dalam inkubator bersuhu 37°C dan 5% CO2.

Sub kultur sel dilakukan setiap seminggu sekali dengan bergantung pada jumlah konfluensi sel yang telah mencapai 100%. Selain itu, untuk menjaga kebutuhan nutrisi sel yang cukup maka media diganti setiap 2-3 hari. Proses subkultur sel dilakukan dengan membuang media sel dalam flask yang kemudian ditambahkan dengan Phosphate Buffered Saline (PBS 1X) sebanyak 5 ml untuk mencuci media yang masih tertinggal dalam flask T25. Setelah PBS dibuang, trypsin 0.25% sebanyak 5 ml ditambahkan ke dalam flask untuk melepaskan sel yang menempel pada dinding-dinding flask kemudian diinkubasikan pada


(25)

suhu 37°C dan 5% CO2 selama 5-10 menit. Media sebanyak 3 ml kemudian ditambahkan pada flask T25 berisi trypsin 0.25% dan dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse. Suspensi sel kemudian disentrifuse dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Setelah mendapatkan pellet dan supernatan, media kemudian dibuang untuk membuang sekaligus menghentikan kerja trypsin hingga yang tersisa hanya pellet. Pellet kemudian diresuspensikan dengan media segar (DMEM) sebanyak 3 ml dan dihitung dengan hemasitometer untuk mengetahui jumlah sel yang akan ditanam secara akurat. Setiap sub kultur, sel yang ditanam sebanyak 1x105 sel ke dalam flask T25.

3.2.2

Analisa Toksisitas (Purwani. 2011)

Analisa toksisitas dengan metode hemasitometer dilakukan pada sel VERO dan sel HCT-116. Analisis ini dilakukan untuk mencari konsentrasi yang tepat dari SCFA butirat yang memiliki toksisitas kurang dari 50% terhadap sel VERO serta konsentrasi SCFA butirat yang memiliki daya toksisitas lebih dari 50% terhadap sel HCT-116. Tahap awal yang dilakukan adalah penanaman sel pada microplate 24 well dengan jumlah 1x104 sel dan disuplementasi dengan 1 ml media tumbuh untuk setiap well. Tahap selanjutnya adalah pengenceran SCFA dari konsentrasi awal ke beberapa konsentrasi yaitu 10 mM; 5 mM; 2.5 mM; 1.25 mM; dan 0.625 mM untuk sel VERO dan konsentrasi 1.25 mM; 0.625 mM; 0.313 mM; 0.156 mM; dan 0.078 mM untuk sel HCT-116. Pada tiap konsentrasi pengenceran SCFA butirat dengan media DMEM dipersiapkan sebanyak 2 mL. Media sel dalam microplate 24 well kemudian diganti dengan media yang telah diencerkan dengan konsentrasi SCFA yang telah dibuat. Setiap konsentrasi yang dibuat dilakukan duplo. Sel dalam media yang mengandung konsentrasi SCFA hasil pengenceran tersebut kemudian diinkubasikan kembali pada suhu 37°C dan CO2 5% selama 48 jam. Setelah 48 jam, sel kemudian dihitung menggunakan metode hemasitometer sebanyak 50 μL menggunakan tryphan blue 0.1%, pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop inversi. Pada perhitungan, jumlah sel/mL dapat dihitung dengan rumus :

Persen inhibisi dapat dihitung dengan rumus (Purwani, 2011):

Keterangan:

A = Jumlah sel hidup pada kontrol


(26)

3.2.3

Deteksi Apoptosis menggunakan pewarnaan Hoechst

33258 (Purwani, 2011)

Deteksi apoptosis menggunakan pewarnaan Hoechst 33258 ini dilakukan pada sel HCT-116 yang telah diberikan perlakuan dengan SCFA butirat dengan tiga konsentrasi yang dipilih dari hasil perhitungan hemasitometer yang menunjukkan daya inhibisi tinggi terhadap sel HCT-116 dan daya inhibisi rendah terhadap sel VERO yaitu pada konsentrasi 0.625 mM, 1.00 mM, dan 1.25 mM. Deteksi apoptosis ini dilakukan pada slide chamber 8 well dengan menanamkan sebesar 104 sel HCT-116 per well dan diikubasi selama 24 jam pada inkubator bersuhu 37°C dan CO2 5%. Setelah inkubasi, media dibuang kemudian diganti dengan media berisi konsentrasi pengenceran 1.25 mM; 1.00 mM; dan 0.625 mM dan diinkubasi kembali selama 48 jam. Pewarnaan dilakukan setelah inkubasi 48 jam. Media tumbuh sel dibuang kemudian sel dicuci dengan Phosphate Buffer Saline (1X) sebanyak tiga kali pencucian. Fiksasi sel dimulai dengan menambahkan glutaraldehyde 2% sebanyak 250 μL per well kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 1 jam. Pencucian glutaraldehyde 2% kemudian dilakukan dengan PBS 1X selama tiga kali. Tahap selanjutnya adalah pewarnaan dengan Hoechst 33258 (10 mg/L) sebanyak 250 μL per well dan diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit. Setelah 30 menit, pencucian kembali dilakukan dengan PBS 1X untuk menghilangkan sisa-sisa pewarna ataupun larutan-larutan yang tersisa yang dapat menghambat pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan mikroskop fluoroscent dengan eksitasi cahaya pada 365 nm dan emisi cahaya pada 460 nm.

3.2.4

Deteksi Gula Pereduksi dengan Metode DNS (Miller, 1959)

Metode DNS merupakan metode yang digunakan untuk mengukur kandungan gula pereduksi yang terdapat dalam suatu bahan pangan, dalam penelitian ini metode ini digunakan untuk mengukur jumlah gula pereduksi yang terkandung pada SCFA butirat dengan konsentrasi tertentu. Prinsip dari pengukuran dengan metode DNS ini gula pereduksi yang memiliki suasana alkali (basa) mereduksi asam 3,5-dinitrosalisilat (DNS) membentuk senyawa yang dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm. Perubahan warna yang terbentuk adalah cairan sampel ketika dipanaskan berubah menjadi warna merah.

3.2.4.1

Penyiapan Pereaksi DNS

Pereaksi DNS dibuat dengan melarutkan 10,6 g asam 3,5 dinitrosalisilat dan 19,8 g NaOH ke dalam 1416 ml air. Setelah itu ditambahkan 306 g Na-K Tartrat, 7,6 g fenol yang dicairkan pada suhu 50oC dan 8,3 g Na-Metebisulfit. Larutan ini diaduk rata, kemudian 3 ml larutan ini dititrasi dengan HCl 0,1 N dengan indikator fenolftalein. Banyaknya titran berkusar 5-6 ml. Jika kurang dari itu harus ditambahkan 2 g NaOH untuk setiap ml kekurangan HCl 0,1 N.


(27)

3.2.4.2

Penetapan Kurva Standar Glukosa

Kurva standar glukosa dibuat dengan mengukur nilai gula pereduksi pada glukosa pada selang 0,2 – 0,5 mg/l. Kemudian nilai gula pereduksi dicari dengan metode DNS. Hasil yang didapatkan diplotkan dalam grafik secara linier. Tetapi dalam penelitian ini, kurva standar glukosa dibuat pada selang 0.001-0.01 μg/ml.

3.2.4.3

Penetapan Total Gula Pereduksi

Pengujian gula pereduksi menggunakan kurva standar DNS adalah sebagai berikut : 1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 3 ml pereaksi DNS. Larutan tersebut ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit. Biarkan sampai dingin pada suhu ruang. Ukur absorbansi pada panjang gelombang 550 nm menggunakan spektrofotometer. Blanko yang digunakan adalah 1 ml aquades dengan 3 ml pereakis DNS.


(28)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

TOKSISITAS SHORT CHAIN FATTY ACID TERHADAP SEL VERO

DAN SEL HCT-116

Pengamatan terhadap toksisitas SCFA dilakukan terhadap sel VERO dan sel HCT-116. Sel VERO merupakan sel lestari non kanker yang berasal dari organ ginjal kera hijau Afrika (Purwani, 2011). Sel VERO ini digunakan karena sel ini dapat beradaptasi untuk tumbuh di suspensi, mampu tumbuh dalam media serum free dan protein free yang dengan kata lain sel VERO ini digunakan karena sel lestari yang berasal dari organ kolon sangat terbatas dan tidak dapat diperoleh secara komersil

.

Pengamatan toksisitas SCFA hasil fermentasi bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap sel VERO ini dilakukan setelah sel diinkubasikan selama 48 jam dengan menggunakan metode perhitungan hemacytometer pada mikroskop inversi. Dengan metode hemacytometer ini, sel dihitung dalam microplate 24 well sebanyak 50μL dengan menggunakan tryphan blue 0.1%. Penggunaan tryphan blue ini berfungsi untuk mewarnai sel yang telah mati. Menurut Freshney (1987), reaktivitas pewarna tryphan blue didasarkan pada kemampuan chromopore yang bermuatan negatif dan tidak berinteraksi dengan membran sel kecuali pada sel yang rusak. Maka itu, pewarna tryphan blue ini hanya mewarnai sel yang telah rusak atau mati sehingga pada saat pengamatan sel, sel yang hidup dapat terlihat sebagai sel yang tidak mengalami perubahan warna menjadi biru. Selain sifat dari tryphan blue yang dapat mewarnai, pewarna tryphan blue dapat menjadi toksik terhadap sel hidup apabila dilakukan kontak cukup lama. Penghitungan sel ini dilakukan dengan menggunakan metode hemasitometer. Metode hemasitometer merupakan metode yang umumnya digunakan untuk menghitung jumlah sel dalam suatu kultur sel.


(29)

Tabel 1. Inhibisi SCFA hasil fermentasi bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap sel VERO

Konsentrasi SCFA butirat

(mM) % Inhibisi

Kontrol 0.00

0.625 33.33

1.25 46.97

2.5 56.06

5 56.06

10 84.85

Tabel 2. Inhibisi SCFA hasil fermentasi bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap sel HCT 116

Konsentrasi SCFA butirat

(mM) % Inhibisi

Kontrol 0.00

0.078 -41.67

(tidak menghambat)

0.156 -54.17

(tidak menghambat)

0.313 -22.92

(tidak menghambat)

0.625 8.33

1.25 85.42

SCFA butirat yang digunakan merupakan SCFA yang dihasilkan dari proses fermentasi pati resisten ubi jalar jago terhadap bakteri Clostridium butyricum BCC B2571. Fermentasi ubi jalar ini menghasilkan rasio molar asetat : propionat : butirat sebesar 52.95 mM : 66.93 mM : 92.41 mM atau 1 : 1.3 : 1.7 . SCFA butirat dengan konsentrasi 92.41 mM kemudian diencerkan sehingga mencapai konsentrasi butirat sebesar 0.625 mM hingga 10 mM. Pemilihan konsentrasi butirat sebesar 0.625 mM hingga 10 mM didasarkan pada studi sebelumnya. Menurut Adiputra (2012), konsentrasi SCFA butirat dari pati resisten tipe 3 ubi jalar Sukuh hasil fermentasi Eubacterium rectale 17629 mulai 1.25


(30)

konsentrasi mulai dari 2.5 mM hingga 10 mM SCFA butirat toksik terhadap sel VERO. Hal ini dikarenakan perbedaan jenis bakteri yang digunakan pada proses fermentasi dan perbedaan jenis sumber pati resisten yang digunakan. Berbeda dengan Purwani (2011), supernatan yang mengandung SCFA (asetat, propionat, butirat) yang berasal dari pati resisten sagu pada konsentrasi 2.7 mM tidak toksik terhadap sel VERO. Hal ini dapat dikarenakan perbedaan jenis bakteri yang digunakan pada proses fermentasi dan perbedaan jenis sumber pati resisten yang digunakan. Perbedaan polimorfisme pati resisten dapat menginduksi koloni bakteri yang berbeda yang juga mengakibatkan pembentukan SCFA butirat yang berbeda jumlah (Lesmes et al. 2008)

Berdasarkan Tabel 1 toksisitas SCFA hasil fermentasi bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap sel VERO pada beberapa konsentrasi menunjukkan daya inhibisi yang berbeda-beda. Inhibisi tertinggi terdapat pada konsentrasi SCFA 10 mM yaitu sebesar 84.85%, persen inhibisi selanjutnya diikuti oleh konsentrasi SCFA 5 mM sebesar 56.06% dan konsentrasi 2.5 mM sebesar 56.06%. Pada konsentrasi 1.25 mM daya inhibisi yang dicapai rendah (<50%) yaitu sebesar 46.97%, dan inhibisi terkecil terdapat pada konsentrasi 0.625 mM yaitu sebesar 33.33%. Apabila dilihat dari besar inhibisi yang didapat maka semakin besarnya konsentrasi SCFA yang diberikan pada sel VERO maka semakin besar pula daya inhibisinya. Data ini sejalan dengan Purwani (2011) yang menyatakan bahwa supernatan SCFA butirat hasil fermentasi Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap pati resisten tipe 3 sagu yang dihidrolisis enzim amilase pada konsentrasi 2.7 mM tidak toksik terhadap sel VERO, tetapi pada konsentrasi 10.6 mM toksik terhadap sel VERO.

Pada Tabel 2 menunjukkan besar penghambatan yang dihasilkan SCFA butirat terhadap sel HCT-116. Sel HCT-116 merupakan sel kanker kolon yang digunakan dalam penelitian. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa hasil perlakuan SCFA butirat pada beberapa konsentrasi terpilih terhadap sel HCT-116 berpengaruh terhadap persen inhibisi yang terjadi. Berdasarkan Tabel 2, inhibisi tertinggi terdapat pada konsentrasi 1.25 mM dengan nilai penghambatan sebesar 85.42 %. Pada konsentrasi 0.625 mM besar penghambatan yang dihasilkan sebesar 8.33 %. Berbeda dengan Purwani (2011), pada konsentrasi 2.7 mM SCFA hasil fermentasi Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap pati resisten tipe 3 sagu yang dihidrolisis enzim amilase dapat menghambat pertumbuhan sel HCT 116 sebanyak 13.3% dan pada konsentrasi SCFA butirat 10.6 mM memberikan hambatan maksimum sebesar 66.7%. Perbedaan besar konsentrasi yang mampu menghambat pertumbuhan sel HCT 116 dapat disebabkan karena perbedaan jenis asal pati resisten yang digunakan. Menurut Lesmes et al (2008), perbedaan polimorfisme pati resisten dapat menginduksi koloni bakteri yang berbeda yang juga mengakibatkan pembentukan SCFA butirat yang berbeda jumlah.

Pada tiga konsentrasi selanjutnya, SCFA butirat menghasilkan nilai minus pada pertumbuhan sel kanker. Konsentrasi 0.313 mM, 0.156 mM, dan 0.078 mM masing-masing memberikan nilai penghambatan sebesar -22.92 %, -54.17 %, dan -41.67%. Nilai minus yang terdapat pada Tabel 2 menggambarkan besar nilai pertumbuhan sel HCT 116. Pengujian lanjut untuk mengetahui faktor yang dapat memicu pertumbuhan sel HCT-116 ini adalah dengan melakukan pengujian terhadap gula pereduksi yang terkandung dalam SCFA butirat pada konsentrasi yang memberikan nilai pertumbuhan tertinggi yaitu konsentrasi 0.156 mM dan 0.078 mM. Konsentrasi 0.313 mM, 0.156 mM, dan 0.078 mM penghambatan menunjukkan nilai minus, apabila dilihat dari konsentrasi sel yang ada, hal ini dapat diakibatkan pada konsentrasi tersebut terdapat growth factor atau komponen-komponen yang mampu menunjang perkembangan sel dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi SCFA butirat yang diberikan. Salah satu growth factor yang dibutuhkan oleh sel adalah gula sebagai sumber energinya.


(31)

Tabel 3. Konsentrasi gula pereduksi pada konsentrasi 0.078 mM dan 0.156 mM

Konsentrasi sampel

(mM)

Rata-rata

(μg/ml)

0.078 0.0085

0.156 0.0056

Berdasarkan data pada Tabel 3, pada dua konsentrasi sampel terkecil yaitu 0.078 mM dan 0.0156 mM menghasilkan jumlah gula pereduksi sebesar 0.0085 μg/ml dan 0.0056 μg/ml. Hal ini menunjukkan bahwa kedua konsentrasi ini mengandung sejumlah gula yang merupakan sumber energi pertumbuhan dari sel. Gula-gula ini dapat berasal dari fermentasi pati menjadi SCFA dengan dihasilkannya piruvat dan laktat. Glukosa merupakan salah satu jenis karbohidrat yang sering digunakan sebagai sumber energi kultur sel. proses fermentasi pati menjadi SCFA merpakan proses dari metabolisme glukosa. Bahan utama dari fermentasi ini adalah gula-gula sederhana seperti glukosa, fruktosa, dan galaktosa. Gula-gula sederhana ini merupakan gula pereduksi. Sebagai penghasil energi pertumbuhan sel, glukosa dapat disubstitusi dengan fruktosa atau galaktosa. Pada pertumbuhan yang lambat, kedua gula pereduksi ini dapat mereduksi pembentukan asam laktat (Freshney. 1992). Pada konsentrasi 0.078 mM dan 0.156 mM, SCFA tidak dapat menghambat pertumbuhan sel kanker karena pada kedua konsentrasi tersebut terkandung gula pereduksi. Berdasarkan data Tabel 3, Konsentrasi gula pereduksi semakin bertambah banyak pada konsentrasi yang lebih kecil. Hal ini dapat disebabkan adanya gula pereduksi yang belum termetabolisme sempurna sehingga masih terkandung dalam SCFA.


(32)

Bahan Jumlah (g/L)

Calcium Chloride2H2O 0.265

Ferric Nitrate9H2O 0.0001

Magnesium Sulfate 0.09767

Potassium Chloride 0.4

Sodium Chloride 6.4

Sodium Phosphate Mono 0.109

L-ArginineHCl 0.084

L-Cystine2HCl 0.0626

L-Glutamine 0.584

Glycine 0.03

L-HistidineHClH2O 0.042

L-Isoleucine 0.105

L-Leucine 0.105

L-LysineHCl 0.146

L-Methionine 0.03

L-Phenylalanine 0.066

L-Serine 0.042

L-Threonine 0.095

L-Tryptophan 0.016

L-Tyrosine2Na2H2O 0.10379

L-Valine 0.094

Choline Chloride 0.004

Folic Acid 0.004

myo-Inositol 0.0072

Niacinamide 0.004

D-Pantothenic Acid, Ca 0.004

PyridoxalHCl 0.004

Riboflavin 0.0004

ThiamineHCl 0.004

D-Glucose 1

Gambar 4. Komposisi Dulbecco Modified Eagle’s Medium (DMEM). Medium DMEM merupakan medium yang digunakan untuk menunjang pertumbuhan sel HCT 116 (Purwani. 2011)

Gambar 4 merupakan gambar yang menjelaskan komposisi nutrien-nutrien yang terdapat dalam media DMEM. Komposisi media DMEM juga dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan sel kanker. Sel membutuhkan growth factors untuk tumbuh. Beberapa growth factors seperti asam amino yang dibutuhkan oleh sel untuk pembentukan protein dan sintesis asam nukleat (DNA dan RNA), sumber karbohidrat seperti glukosa yang berfungsi untuk memberikan energi pertumbuhan bagi sel, serta beberapa vitamin seperti kolin, asam folat, pyridoxal, riboflavin, asam pantothenat, thiamin, dan inositol (Freshney. 1992). Pada pengenceran konsentrasi 0.078 mM, 0.156 mM, dan 0.313 mM, jumlah media DMEM yang digunakan untuk menumbuhkan sel HCT 116 lebih banyak dibandingkan dengan jumlah SCFA butirat yang dicampurkan dengan media sehingga tidak menghambat pertumbuhan sel HCT 116 tetapi menumbuhkan sel HCT 116 karena faktor-faktor penunjang pertumbuhan tersedia cukup untuk menunjang pertumbuhan sel HCT 116.


(33)

Pemilihan dua konsentrasi lanjutan yang digunakan dalam analisis daya inhibisi pada sel HCT-116 ini dilakukan dengan melihat besar konsentrasi SCFA butirat yang toksisitas atau persen inhibisi kurang dari 50% pada sel Vero. Konsentrasi 1.25 mM dan 0.625 mM dipilih sebagai konsentrasi pengenceran selanjutnya untuk perlakuan SCFA butirat terhadap sel HCT-116. Menurut Ruemmele et al (1999) efek penghambatan butirat dapat diamati pada konsentrasi 0.1 mM (100 μM) dengan maksimal penghambatan (sekitar 30-50%) terdapat pada konsentrasi 10 mM. Berbeda dengan hasil yang didapat, pada konsentrasi 1.25 mM efek penghambatan butirat terletak cukup tinggi (lebih dari 50%) yaitu sekitar 85.42%. SCFA butirat yang difermentasi dari pati resisten tipe 3 ubi jalar Jago ini menunjukkan daya penghambatan yang lebih tinggi pada konsentrasi yang lebih rendah dari studi sebelumnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan dari sel kanker yang digunakan sehingga terjadi perbedaan hasil yang didapatkan (Adiputra. 2012)

Gambar 5. Besar nilai penghambatan pertumbuhan dengan perlakuan SCFA butirat terhadap sel VERO dan sel HCT-116 pada berbagai konsentrasi

Pada gambar 5 menggambarkan efek inhibisi pada berbagai konsentrasi SCFA butirat terhadap sel VERO dan sel HCT-116 terlihat bahwa daya penghambatan sel kanker dengan pemberian perlakuan SCFA pada berbagai konsentrasi pada sel VERO dan sel HCT-116 cukup berbeda. Pada konsentrasi 1.25 mM, perlakuan pada sel VERO menunjukkan inhibisi sebesar 46.97% sedangkan pada sel HCT-116 menunjukkan inhibisi sebesar 85.42%. Data ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi SCFA butirat yang sama, SCFA butirat memiliki kemampuan untuk menghambat perkembangan sel HCT-116 lebih besar dibandingkan pada sel VERO. Hal ini diduga karena adanya perbedaan sifat permukaan sel antara sel normal dengan sel kanker (Purwani. 2011). Pada sel normal, permukaan selnya memiliki letak mikrovili yang seragam, sedangkan pada sel kanker yang memiliki DNA cacat letak mikrovilinya tidak seram, hal ini berakibat pada sel normal SCFA digunakan sebagai sumber energi dan metabolisme sel tetapi pada sel kanker SCFA digunakan untuk


(34)

Gambar 6. Sel VERO dengan perlakuan SCFA butirat: (a) tanpa perlakuan; (b) 0.625 mM; dan (c) 10 mM

(a)

(b)


(35)

Gambar 7. Sel HCT 116 dengan perlakuan SCFA butirat (a) tanpa perlakuan; (b) 0.625 mM; dan (c) 1.25 mM

Dari gambar 6 terlihat bahwa sel VERO dengan perlakuan 10 mM (c) memperlihatkan morfologi sel yang rusak dengan ditandai jumlah sel yang tidak konfluen (tidak penuh). Morfologi ini dapat disebabkan oleh adanya cytophatic effect. Menurut Brouqui et al (1994), efek cytopathic sel

(a)

(b)


(36)

bengkak dan bulat yang terjadi secara individu atau dalam fokus kecil dan menjadi menonjol di atas sel normal di sekitarnya. Pada perlakuan terhaadap sel VERO pada konsentrasi 0.625 mM, sel masih terlihat konfluen (penuh), hal ini sejalan dengan tabel 1 yang memperlihatkan konsentrasi 0.625 mM pada sel VERO menghasilkan penghambatan sebesar <50%. Cytophatic effect ini digunakan sebagai penanda bahwa sel tersebut mulai menunjukkan keabnormalannya. Gambar 7 memperlihatkan morfologi sel HCT-116 tanpa perlakuan, konsentrasi 0.625 mM, dan konsentrasi 1.25 mM. Pada konsentrasi tanpa perlakuan terlihat bahwa sel HCT mengalami pertumbuhan dengan terlihatnya sel yang berkumpul membentuk koloni sehingga menyerupai suatu benjolan besar, sedangkan pada konsentrasi 0.625 mM sel HCT-116 terlihat tidak begitu konfluen, pada konsentrasi 1.25 mM terlihat bahwa tingkat konfluen sel HCT-116 lebih sedikit, terlihat dari jumlah sel HCT-116 yang lebih sepi dibandingkan pada konsentrasi 0.625 mM.

Menurut Hinnebusch et al (2002), kemampuan short chain fatty acid untuk menginduksi penghambatan pertumbuhan sel, diferensiasi, dan apoptosis di sel kanker kolon tergantung pada efek histon hiperasetilasi. SCFA butirat dapat menaikkan jumlah dari histon asetilasi dan menghambat aktivitas histon deasetilisasi (HDAC). Pada konsentrasi SCFA butirat 0.313 mM, 0.156 mM, dan 0.078 mM sel HCT-116 mengalami pertumbuhan, hal ini dapat dikarenakan saat konsentrasi 0.078 mM sampai 0.313 mM jumlah butirat yang terkandung dalam ekstrak tidak mencukupi untuk menghambat HDAC. Karena HDAC tidak terhambat maka kromatin sel tidak kompak yang menyebabkan fragmentasi DNA tidak terjadi. DNA tergabung dalam suatu bentuk kompak bernama kromatin, suatu komplek DNA-protein yang dinamis. Subunit inti dari kromatin yaitu nukleosom yang terbuat dari suatu oktamer dari 4 inti histon (Ruijter et al. 2003). Berbeda halnya pada konsentrasi 0.625 mM, SCFA butirat masih mampu menghambat HDAC. Berdasarkan studi Davie (2003), selama penghambatan aktivitas HDAC oleh butirat, aktivitas HAT tetap berlangsung yang menyebabkan histon hiperasetilisasi masih tersedia sehingga penghambatan sel HCT-116 tetap berlangsung. HAT ini memiliki aktivitas sebagai koaktifator transkripsi dan berperan sebagai gen promoter dari faktor transkripsi maka HAT dapat meningkatkan jumlah histon asetilase dan meningkatkan transkripsi promoter (Davie. 2003).

B. DETEKSI APOPTOSIS HASIL PERLAKUAN SCFA TERHADAP SEL

HCT-116

Sel dapat mengalami kerusakan salah satunya dengan cara apoptosis. Apoptosis merupakan suatu kematian sel secara terprogram yang melibatkan sel tersebut sendiri. Istilah apoptosis ini berasal pada tahun 1972 dari literatur biomedis untuk menjelaskan struktur khas kematian sel yang menggambarkan kehilangan sel dalam jaringan hidup. Kerusakan sel ini dimulai dengan adanya penyusutan sel yang disertai oleh transien, tetapi sel kemudian mengalami penggemukan dan blebbing dari permukaan, dan berakhir pada pemisahan sel ke dalam beberapa bagian-bagian yang dibatasi oleh membran tubuh.

Deteksi apoptosis ini dilakukan dengan menggunakan mikroskop fluorscent. Sebelum pengamatan, sel diberikan pewarnaan hoescht 33258. Pada pewarnaan ini, pewarna Hoechst akan

menembus membran plasma dan DNA dalam sel. Berbeda dengan sel normal, inti sel yang mengalami apoptosis memberikan warna sangat kental kromatin yang seragam saat diwarnai dengan Hoechst 33342. Hal ini dapat dilihat dengan adanya bentuk crescent sekitar pinggiran inti, atau inti keseluruhan dapat terlihat seperti berbentuk manik-manik bulat terang.


(37)

Gambar 8. Hasil pewarnaan Hoechst pada beberapa konsentrasi SCFA butirat (a) tanpa perlakuan; (b) 0.625 mM; (c) 1.25 mM

(b)

(a)


(38)

Berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop fluorescent, apoptosis terjadi pada sel HCT-116 pada perlakuan dengan konsentrasi 1.25 mM. Apoptosis ini terlihat dengan adanya fragmentasi DNA (ditunjukkan oleh tanda panah) yang merupakan salah satu dari ciri khas terjadinya apoptosis (Gambar 8). Pada pengamatan, fragmentasi DNA pada konsentrasi SCFA butirat 1.25 mM lebih banyak dibandingkan pada konsentrasi SCFA butirat 0.625 mM dan tanpa perlakuan. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa butirat dapat menghambat perkembangan sel kanker melalui apoptosis (Purwani 2012; Ruemmele 1999;).

Tabel 4. Besar penghambatan butirat pada beberapa sel kanker dari berbagai bahan dan kemampuan apoptosisnya

Bahan Jenis sel kanker Konsentrasi (mM) Persen inhibisi (%)

Jenis bakteri Apoptosis

Rasio molar asetat : propionat : butirat RS 3 dihidrolisis enzim amilase Sagu (RSSA) (Purwani. 2011)

HCT 116 2.7 13.30

Clostridium butyricum BCC

B2571

ada 2 : 1 : 1

RS 3 dihidrolisis enzim amilase Sagu (RSSA) (Purwani. 2011)

HCT 116 7.2 71.40

Eubacterium rectale DSM

17629

ada 2 : 1 : 1

RS 3 Ubi Jalar Sukuh

(Adiputra. 2012)

HCT 116 0.65 75.10

Eubacterium rectale DSM

17629

ada 1.3 : 1.1 : 1

RS 3 Ubi

Jalar Jago HCT 116 1.25 85.42

Clostridium butyricum BCC

B2571

ada 1 : 1.3 : 1.7 Chios

Mastic Gum (Balan et al. 2005)

HCT 116 0.05 50.00 tidak ada ada tidak

disebutkan SCFA

butirat (Ruemmell

e et al. 1999)

Caco-2 5 87.90 tidak ada ada tidak

disebutkan

Tabel 4 memperlihatkan bahwa apoptosis terjadi pada sel kanker yang diberikan perlakuan dengan butirat. Besar penghambatan sel kanker berbeda-beda tergantung dari jenis bahan penghasil butirat dan jenis bakteri penghasil butirat. Pada beberapa studi, besar penghambatan pertumbuhan sel kanker yang diberikan pearlakuan SCFA butirat dari berbagai bahan menghasilkan nilai yang berbeda.


(39)

Pada SCFA butirat hasil fermentasi RS 3 Ubi Jalar Jago yang merupakan sampel penelitian ini memperlihatkan bahwa pada konsentrasi 1.25 mM memberikan nilai penghambatan sebesar 85.42%, bila dibandingkan dengan SCFA butirat hasil fermentasi RS3 sagu yang dihidrolisis enzim amilase pada konsentrasi lebih tinggi (2.7 mM) memberikan penghambatan pertumbuhan sebesar 13.3% padahal kedua perlakuan ini menggunakan bakteri fermentatif yang sama yaitu Clostridium butyricum BCC B2571. Perbedaan bahan yang digunakan untuk menghasilkan SCFA butirat mempengaruhi nilai konsentrasi serta besar penghambatan SCFA butirat terhadap sel kanker.

Apoptosis merupakan suatu proses fisiologis kematian sel yang terprogram terhadap sel yang tidak berguna dieliminasi selama pembentukan dan proses biologis normal lainnya. Mekanisme dari apoptosis erat kaitannya dengan mekanisme aktivasi caspase. Balan et al (2005) menyebutkan bahwa aktivasi caspase-3 merupakan muara dari aktivasi caspase-8 dan caspase-9, dan dikaitkan dengan proses kematian. Pengaktifan caspase-8 menginduksi aktivasi dari bid (suatu domain untuk mengaktifkan gen Bcl (BH3). Gen BH3 ini kemudian menempel pada protein Bax yang memicu keluarnya sitokrom-C dari mitokondria. Protein Bax merupakan salah satu protein yang pro terhadap apoptosis dan digunakan untuk menginduksi keluarnya sitokrom-C dari mitokondria, sehingga dapat mengaktifkan caspase-9 untuk memicu terjadinya fragmentasi DNA. Caspase berperan penting dalam apoptosis dengan mengaktifkan DNAase, menghambat DNA repairing enzyme, dan memecah struktur protein di inti sel (Elmore. 2007)

Gambar 9. Mekanisme apoptosis sel (Elmore. 2007)

Beberapa studi menyebutkan mekanisme apoptosis dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu death receptor, perubahan struktur membran, protease cascade (sinyal untuk mengaktifkan famili sistein protease intraseluler), perubahan mitokondria (pengeluaran sitokrom-C), dan fragmentasi DNA. Gambar 9 menggambarkan proses apoptosis melalui tiga jalur yaitu jalur ekstrinsik, jalur intrinsic (jalur mitokondria), dan jalur perforin. Ketiga jalur ini memiliki muara yang sama yaitu pada pengaktifan caspase 3. Pengaktifan caspase 3 menyebabkan terjadinya fragmentasi DNA. Fragmentasi DNA merupakan tanda terjadinya apoptosis pada sel.


(40)

IV. KESIMPULAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, SCFA butirat hasil fermentasi bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 ini dapat menghambat perkembangan sel kanker kolon dengan cara apoptosis. Konsentrasi SCFA butirat sebesar 1.25 mM menunjukkan persen inhibisi yang tinggi sebesar 85.42% terhadap sel HCT-116 tetapi pada perlakuan dengan sel VERO menunjukkan persen inhibisi yang rendah yaitu sebesar 46.97%. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi SCFA butirat sebesar 1.25 mM toksik terhadap sel HCT-116 dan tidak toksik terhadap sel VERO. Pada konsentrasi SCFA butirat 0.078 mM, 0.156 mM, dan 0.313 mM tidak mampu menghambat pertumbuhan sel kanker sebesar -41.67%, -54.17%, dan -22.92%. Hasil uji gula pereduksi terhadap konsentrasi 0.078 mM dan 0.156 mM menunjukkan bahwa kedua konsentrasi tersebut mengandung sejumlah gula pereduksi sebesar 0.0085 μg/ml dan 0.0056 μg/ml. Semakin kecil konsentrasi SCFA maka jumlah gula pereduksi yang terkandung semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa bertambahnya jumlah sel kanker pada ketiga konsentrasi tersebut dapat disebabkan karena adanya kandungan gula pereduksi yang berfungsi sebagai sumber energi bagi pertumbuhan sel kanker. Selain itu adanya asam-asam amino, vitamin, serta growth factor lain yang terdapat dalam media pertumbuhan sel HCT 116 juga dapat mempengaruhi pertumbuhan sel HCT 116. Penghambatan perkembangan sel HCT-116 juga didukung oleh hasil deteksi apoptosis pada konsentrasi SCFA butirat 1.25 mM dan 0.625 mM menunjukkan adanya apoptosis yang terjadi pada sel HCT-116 dengan terlihatnya fragmentasi DNA pada sel HCT 116.

5.2 Saran

Berdasarkan data yang diperoleh, masih perlu adanya studi lebih lanjut mengenai konsentrasi SCFA yang tepat untuk menghambat pertumbuhan sel kanker kolon dengan membandingkan pengaruh SCFA terhadap bakteri patogen dalam usus manusia normal agar dapat menjadi pembanding dari studi-studi sebelumnya sehingga didapatkan konsentrasi yang tepat dari SCFA.


(41)

DAFTAR PUSTAKA

Adiputra F. 2012. Inhibitory Effect of Short Chain Fatty Acid Derived from Type III Resistant Starch Fermentation of Sweet Potato (Ipomoea batatas) Against Colon Carcinoma Cell Line HCT-116. [Skripsi]. Jakarta: Atma Jaya Catholic University of Indonesia.

American Cancer Society. 2012. Colorectal Cancer. Atlanta: American Cancer Society

Aigster, Annelisse. 2009. Physicochemical and Sensory Properties of Resistant Starch-based Cereal Products and Effects on Postprandial Glychemic and Oxidative Stress Response in Hispanic Women. [Disertasi]. Blacksburg: Virginia Polytechnic Institute and State University.

[ATCC] American Type Culture Collection. Cell Biology : ATCC Number CCL-81TM [terhubung berkala].

http://www.atcc.org/ATCCAdvancedCatalogSearch/ProductDetails/tabid/452/Default.aspx? ATCCNum=CCL-81&Template=cellBiology (4 Juli 2012).

[ATCC] American Type Culture Collection. Cell Biology : ATCC Number CCL-247TM [terhubung berkala].

http://www.atcc.org/ATCCAdvancedCatalogSearch/ProductDetails/tabid/452/Default.aspx? ATCCNum=CCL-247&Template=cellBiology (4 Juli 2012).

Balan KV, Demetzos C, Prince J, Dimas K, Cladaras M, Han Z, Wyche JH, Pantazis P. 2005. Induction of Apoptosis in Human Colon Cancer HCT116 Cells Treated with an Extract of the Plant Product, Chios Mastic Gum. J In Vivo 19: 93-102.

Brattain MG, Fine WD, Khaled FM, Thompson J, Brattain DE. 1981. Heterogeneity of Malignant Cells from a Human Colonic Carcinoma. Cancer Research 41: 1751-1756.

Brouqui P, Birg ML; Raoult D. 1994. Cythopathic effect, Plaque Formation, and Lysis of Ehrlichia chaffeensis Grown on Continuous Cell Lines. Infection and immunity62(2): 405-411. Byrne L. 2008. Colorectal Cancer. MPHP-439 Online Textbook Chapter.

Clarke JM, Young GP, Topping DL, Bird AL, Cobiac L, Scherer BL, Winkler JG, Lockett TJ. 2012. Butyrate delivered by butyrylated starch increases distal colonic epithelial apoptosis in carcinogen-treated rats. Carcinogenesis 33(1):197-202.

Cummings JH, Macfalane GT. 1991. The Control and Consequences of Bacterial Fermentation in The Human Colon. J Appl Bacteriol 70; 443-459.

Davie JR. 2003. Inhibition of Histone Deacetylase Activity by Butyrate. J Nutrition 133: 2485S-2493S.

Departemen Pertanian. 2010. Prospek pengembangan ubi jalar mendukung diversifikasi pangan dan ketahanan pangan. [terhubung berkala]

http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/anjak_2010_10.pdf (12 Oktober 2012)

Elmore S. 2007. Apoptosis: A Review of Programmed Cell Death. Toxicologic pathology 35: 495-516.

Freshney R I. 1987. Culture of Animal Cells: A Manual of Basic Technique, p.117. New York: Alan R. Liss, Inc.

Freshney R I. 1992. Animal Cell Culture: A Practical Approach, p. 62-64. New York: Oxford University Press.


(42)

Hinnebusch BF, Meng S, Wu JT, Archer SY, Hodin RA. 2002. The effects of short-chain fatty acids on human colon cancer cell phenotype are associated with histone hyperacetylation. Am. Soc. Nutr. Sci 132:1012-1017.

Jemal ADVM, Bray F, Center MM, Jacques F, Elizabeth W, David F. 2011. Global Cancer Statistics. CA Cancer J. Clinic 61: 69-90

Joseph G. 2002. Manfaat serat makanan bagi kesehatan kita. Makalah Falsafah Sains, Mei 2002. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB

Keenan MJ, Jun Z, Kathleen LM, Anne MR; Bateman HG, Emily T, Christina KJ, Richard TT, Sheri M, Roy JM, Maren H. 2006. Effects of Resistant Starch, A Non-digestible Fermentable Fiber, on Reducing Body Fat. Animal physiology. Louisiana: Louisana State University Lesmes U, Beards EJ, Gibson GR, Tuohy KK, Shimoni E. 2008. Effects of resistant starch type III

polymorphs on human colon microbiota and short chain fatty acids in human gut models. J Agric Food Chem 56: 5415-21.

Leu RKL, Brown IL, Hu Y, Morita T, Esterman A, Young GP. 2007. Effect of dietary resistent starch and protein on colonic fermentation and intestinal timourigenesis in rat. Carcinogenesis 28(2): 240-245.

Louis P, Scott KP, Duncan SH, Flint HJ. 2007. Understanding the effect of diet on bacterial metabolism in the large instestine. J of Applied Microbiology 102: 1197-1208.

Macfarlane, Sandra and Macfarlane, George T. 2003. Regulation of short-chain fatty acid production. Proceedings of the Nutrition Society 62: 67-72.

Miller GL. 1959. Use of dinitrosalicylic acid reagent for determination of reducing sugar. Anal Chem 31: 426.

Parkin DM, Bray F, Ferlay J, Pisani. 2002. Global cancer statistic. CA Cancer J. Clin 55:74-108. Purwani EY. 2011. Penghambatan Proliferasi Sel Kanker Kolon HCT-116 Oleh Produk Fermentasi

Pati Resisten Tipe 3 Sagu dan Beras. [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Purwani EY, Purwadaria T, Suhartono MT. 2012. Fermentation RS3 derived from sago and rice starch with Clostridium butyricum BCC B2571 or Eubacterium rectale DSM 17629. Anaerobe 18(1):55-61.

Putri WS, Supriyanti FMT, Zackiyah. 2010. Penentuan Aktivitas dan Jenis Inhibisi Ekstrak Metanol Kulit Batang Artocarpus heterophyllus LAMK Sebagai Inhibitor Tirosinase. J. Sains dan Teknologi Kimia 1(1): 94-99.

Ruemmele FM, Dionne S, Qureshi I, Sarma DSR, Levy E, Seidman EG. 1999. Butyrate Mediates Caco-2 Cell Apoptosis via Up-Regulation of Pro-Apoptotic BAK and Inducing Caspase-3 Mediated Cleavage of Poly-(ADP-Ribose) Polymerase (PARP). Cell Death and Differentiation 6:729-735.

Ruijter, Annemieke JM; Gennip, Albert H; Caron, Huib N; Stephan KEMP, Kuilenburg, Andre BP. 2003. Histone deacetylase (HDACs): characterization of the classical HDAC family. J. Biochem 370: 737-749

Sajilata MG, Rekha SS, Pushpa RK. 2006. Resistant Starch- A Review. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety, Vol. 5. Chicago: Institute of Food Technology.

Sheets R. 2000. History and Characterization of Vero Cell Line. [Laporan]. Vaccines and Related Biological Products Advisory Committee

Siregar GA. 2007. Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Kanker Usus Besar. Medan: Universitas Sumatera Utara.


(43)

Resistant Starch and Nonstarch Polysaccharides. Physiological Reviews Vol. 81, No. 3. Adelaide: Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization, Health Sciences and Nutrition

Topping DL, Fukushima M, Bird AR. 2003. Resistant starch as prebiotic and synbiotic: state of the art. Proceeding of the Nutritions Society 62: 171-176


(44)

Lampiran 1. Produktivitas ubi jalar dari tahun 2000-2009

Provinsi Produksi tahun (x 1000 ton)

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Jawa Barat 385.8 298 367.8 346.9 389.6 390.4 389 375.7 376.5 469.6

Papua 281.1 283.6 257.3 512.4 298.5 273.9 290.4 306.8 337.1 343.3

Jawa Timur 193.6 189.7 168.8 167.6 165 150.6 150.5 149.8 136.6 162.6

Jawa Tengah 142.3 131.7 126.9 139.5 144.1 144.6 123.5 143.4 117.2 147.1

Sumatera Utara 127 116.2 118.2 135.7 117.3 115.7 102.7 117.6 114.2 140.1

NTT 156.4 147.1 133.1 86.7 126.4 99.7 111.3 102.4 107.3 103.6

Bali 65.2 63.6 68 64.9 72.5 88.5 92.1 91.2 88.2 79

Sumatera Barat 32.9 30.3 37.6 45 55.5 50.4 53.8 53.8 61.8 77.5

Sulawesi Selatan 73.4 80.4 77.7 61.8 76.5 53.5 54.3 58.8 66.5 68.4

Sulawesi Utara 23.4 18 15 25.6 32.4 38.7 37.3 35.5 42.1 53.1

Lainnya 346.6 384.9 379.1 405.4 423.9 451 449.3 451.9 434.2 413.5

Total produksi di

Indonesia 1828 1735 1750 1991 1902 1857 1854 1887 1882 2058


(45)

Lampiran 2. Inhibisi SCFA terhadap sel VERO beserta contoh

perhitungannya

Inhibisi SCFA butirat hasil fermentasi bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap sel Vero menggunakan Hemacytometer

Konsentrasi SCFA (mM)

Jumlah sel

Rata-rata Konsentrasi

sel (x 105) % Inhibisi Ulangan 1 Ulangan 2

Kontrol 40 26 33 3.30 0

0.625 25 19 22 2.20 33.33

1.25 19 16 17.5 1.75 46.97

2.5 15 14 14.5 1.45 56.06

5 12 17 14.5 1.45 56.06

10 6 4 5 0.50 84.85

Contoh perhitungan Perhitungan jumlah sel :

Untuk konsentrasi SCFA 10 mM: Ulangan 1 =

6

2

x

2

x

10

4

=

6 x 104

Ulangan 2 =

4

2

x

2

x

10

4

=

4 x 104

Rata-rata =

(6

+

4)

2

x

10

4

=

5 x 104 sel = 0.5 x 105 sel

Perhitungan inhibisi sel (x105) pada konsentrasi 10 mM pada sel VERO

dengan :


(46)

sehingga:

x100 % inhibisi =


(47)

Lampiran 3. Inhibisi SCFA terhadap sel HCT 116 beserta contoh

perhitungan

Konsentrasi SCFA (mM)

Jumlah sel

Rata-rata Konsentrasi sel

(x 105) % Inhibisi Ulangan 1 Ulangan 2

Kontrol 19 29 24 2.40 0

0.078 41 27 34 3.40 -41.67 (Tidak

menghambat)

0.156 39 35 37 3.70 -54.17 (Tidak

menghambat)

0.313 32 27 29.5 2.95 -22.92 (Tidak

menghambat)

0.625 20 24 22 2.20 8.33

1.25 5 2 3.5 0.35 85.42

Contoh perhitungan Perhitungan jumlah sel :

Untuk konsentrasi SCFA 1.25 mM: Ulangan 1 =

5

2

x

2

x

10

4

=

5 x 104

Ulangan 2 =

2

2

x

2

x

10

4

=

2 x 104

Rata-rata =

(5

+

2)

2

x10

4

=

3.5 x 104 sel = 0.35 x 105 sel

Perhitungan inhibisi sel (x105) pada konsentrasi 1.25 mM pada sel HCT 116

dengan :


(48)

sehingga:

x100 % inhibisi =

= 85.42 %

240000

35000


(49)

Lampiran 4. Kurva standar glukoda gula pereduksi SCFA

Konsentrasi kurva standar gula pereduksi Konsentrasi

(μg/ml) U1 Absorbansi U2 Rata-rata

0 0 0 0

0.001 0.002 0.001 0.0015

0.0025 0.003 0.002 0.0025

0.005 0.004 0.003 0.0035

0.0075 0.005 0.004 0.0045

0.01 0.005 0.006 0.0055


(50)

Lampiran 5. Konsentrasi gula pereduksi pada SCFA Butirat konsentrasi

0.078 mM dan 0.156 mM beserta contoh perhitungan

Konsentrasi sampel

(mM)

U Absorbansi Konsentrasi (μg/ml) Rata-rata (μg/ml)

0.078 1 0.003 0.0046 0.0085

2 0.007 0.0125

0.156 1 0.003 0.0046 0.0056

2 0.004 0.0066

Contoh perhitungan gula pereduksi:

Didapatkan dari persamaan garis grafik : y = 0.5033x + 0.0007

dengan : y : absorbansi

x : konsentrasi gula pereduksi Pada konsentrasi sampel 0.078 mM : y = 0.5033x + 0.0007

U1 : x = (0.003 – 0.0007)/0.5033 = 0.0046 μg/ml

U2 : x = (0.007 – 0.0007)/0.5033 = 0.0125 μg/ml

Rata-rata = (UI + U2)/2

= (0.0046 + 0.0125)/2 = 0.0085 μg/ml


(1)

Lampiran 2. Inhibisi SCFA terhadap sel VERO beserta contoh

perhitungannya

Inhibisi SCFA butirat hasil fermentasi bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap sel Vero menggunakan Hemacytometer

Konsentrasi SCFA (mM)

Jumlah sel

Rata-rata Konsentrasi

sel (x 105) % Inhibisi Ulangan 1 Ulangan 2

Kontrol 40 26 33 3.30 0

0.625 25 19 22 2.20 33.33

1.25 19 16 17.5 1.75 46.97

2.5 15 14 14.5 1.45 56.06

5 12 17 14.5 1.45 56.06

10 6 4 5 0.50 84.85

Contoh perhitungan Perhitungan jumlah sel :

Untuk konsentrasi SCFA 10 mM: Ulangan 1 =

6

2

x

2

x

10

4

=

6 x 104

Ulangan 2 =

4

2

x

2

x

10

4

=

4 x 104

Rata-rata =

(6

+

4)

2

x

10

4

=

5 x 104 sel = 0.5 x 105 sel

Perhitungan inhibisi sel (x105) pada konsentrasi 10 mM pada sel VERO

dengan :

[A] : Konsentrasi sel tanpa perlakuan (kontrol) [B] : Konsentrasi sel dengan perlakuan (sampel)


(2)

sehingga:

x100 % inhibisi =


(3)

Lampiran 3. Inhibisi SCFA terhadap sel HCT 116 beserta contoh

perhitungan

Konsentrasi SCFA (mM)

Jumlah sel

Rata-rata Konsentrasi sel

(x 105) % Inhibisi Ulangan 1 Ulangan 2

Kontrol 19 29 24 2.40 0

0.078 41 27 34 3.40 -41.67 (Tidak

menghambat)

0.156 39 35 37 3.70 -54.17 (Tidak

menghambat)

0.313 32 27 29.5 2.95 -22.92 (Tidak

menghambat)

0.625 20 24 22 2.20 8.33

1.25 5 2 3.5 0.35 85.42

Contoh perhitungan Perhitungan jumlah sel :

Untuk konsentrasi SCFA 1.25 mM: Ulangan 1 =

5

2

x

2

x

10

4

=

5 x 104

Ulangan 2 =

2

2

x

2

x

10

4

=

2 x 104

Rata-rata =

(5

+

2)

2

x

10

4

=

3.5 x 104 sel = 0.35 x 105 sel

Perhitungan inhibisi sel (x105) pada konsentrasi 1.25 mM pada sel HCT 116

dengan :

[A] : Konsentrasi sel tanpa perlakuan (kontrol) [B] : Konsentrasi sel dengan perlakuan (sampel)


(4)

sehingga:

x100 % inhibisi =

= 85.42 %

240000

35000


(5)

Lampiran 4. Kurva standar glukoda gula pereduksi SCFA

Konsentrasi kurva standar gula pereduksi

Konsentrasi

(μg/ml) U1 Absorbansi U2 Rata-rata

0 0 0 0

0.001 0.002 0.001 0.0015

0.0025 0.003 0.002 0.0025

0.005 0.004 0.003 0.0035

0.0075 0.005 0.004 0.0045

0.01 0.005 0.006 0.0055


(6)

Lampiran 5. Konsentrasi gula pereduksi pada SCFA Butirat konsentrasi

0.078 mM dan 0.156 mM beserta contoh perhitungan

Konsentrasi sampel

(mM)

U Absorbansi Konsentrasi (μg/ml) Rata-rata (μg/ml)

0.078 1 0.003 0.0046 0.0085

2 0.007 0.0125

0.156 1 0.003 0.0046 0.0056

2 0.004 0.0066

Contoh perhitungan gula pereduksi:

Didapatkan dari persamaan garis grafik : y = 0.5033x + 0.0007

dengan : y : absorbansi

x : konsentrasi gula pereduksi Pada konsentrasi sampel 0.078 mM : y = 0.5033x + 0.0007

U1 : x = (0.003 – 0.0007)/0.5033 = 0.0046 μg/ml

U2 : x = (0.007 – 0.0007)/0.5033 = 0.0125 μg/ml

Rata-rata = (UI + U2)/2

= (0.0046 + 0.0125)/2 = 0.0085 μg/ml