Informed Consent Ethical Clearance

Dalam penelitian ini, peneliti selalu berpedoman pada norma dan etika penelitian, yaitu:

3.7.1 Informed Consent

Setiap calon subjek penelitian akan diberikan Lembaran Penjelasan, dan jika bersedia menjadi subjek penelitian, maka subjek penelitian akan diminta untuk mengisi diberikan Lembaran Persetujuan Setelah Penjelasan yang sudah disediakan oleh peneliti.

3.7.2 Ethical Clearance

Ethical Clearance diperoleh dengan mengajukan surat permohonan izin penelitian ke komisi etik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

BAB 4 HASIL PENELITIAN

Populasi penelitian ini adalah mahasiswa FKG USU yang belum pernah menerima perawatan ortodonti. Besar sampel adalah 62 orang besar sampel minimum adalah 47 orang. Sampel pada penelitian ini terdiri dari 30 orang dengan maloklusi Klas II Angle dan 32 orang dengan maloklusi Klas III Angle. Penelitian ini menggunakan fotometri dari model studi yang diambil secara langsung. Tabel 1. Prevalensi kesimetrisan lengkung gigi pada maloklusi Klas II Angle Frekuensi orang Persentase Asimetri dalam batas normal 10 33 Asimetri klinis 20 67 Total 30 100 Tabel 1 menunjukkan bahwa sebesar 33 n=10 memiliki asimetri lengkung gigi dalam batas normal dan 67 n=20 memiliki asimetri lengkung gigi secara klinis. Tabel 2. Prevalensi kesimetrisan lengkung gigi pada maloklusi Klas III Angle Frekuensi orang Persentase Asimetri dalam batas normal 11 34 Asimetri klinis 21 66 Total 32 100 Tabel 2 menunjukkan bahwa sebesar 34 n=11 memiliki asimetri lengkung gigi dalam batas normal dan 66 n=21 memiliki asimetri lengkung gigi secara klinis. Tabel 3. Prevalensi asimetri lengkung gigi secara klinis pada maloklusi Klas II dan Klas III Angle Frekuensi orang Persentase Maloklusi Klas II Maloklusi Klas III Maloklusi Klas II Maloklusi Klas III Asimetri Kanan 8 13 40 62 Asimetri Kiri 12 8 60 38 Total 20 21 100 100 Tabel 3 menunjukkan pada kelompok maloklusi Klas II memperlihatkan 40 n=8 memiliki asimetri lengkung gigi pada sisi sebelah kanan lebih lebar, dan 60 n=12 memiliki asimetri lengkung gigi pada sisi sebelah kiri lebih lebar. Sedangkan untuk kelompok maloklusi Klas III memperlihatkan 62 n=13 memiliki asimetri lengkung gigi pada sisi sebelah kanan lebih lebar, dan 38 n=8 memiliki asimetri lengkung gigi pada sisi sebelah kiri lebih lebar. Tabel 4. Prevalensi kesimetrisan lengkung gigi maksila dan mandibula pada maloklusi Klas II Angle Maksila Mandibula Frekuensi orang Persentase Frekuensi orang Persentase Asimetri dalam batas normal 7 35 Asimetri klinis 13 65 20 100 Total 20 100 20 100 Tabel 4 menunjukkan asimetri lengkung gigi pada maloklusi Klas II, sebesar 35 n=7 menunjukkan asimetri dalam batas normal pada maksila sedangkan pada mandibula tidak ditemukan n=0. Selanjutnya, sebesar 65 n=13 menunjukkan asimetri secara klinis pada maksila dan sebesar 100 n=20 menunjukkan asimetri klinis pada mandibula. Tabel 5. Prevalensi kesimetrisan lengkung gigi maksila dan mandibula pada maloklusi Klas III Angle Maksila Mandibula Frekuensi orang Persentase Frekuensi orang Persentase Asimetri dalam batas normal 5 24 Asimetri klinis 16 76 21 100 Total 21 100 21 100 Tabel 5 menunjukkan asimetri lengkung gigi pada maloklusi Klas III, sebesar 24 n=5 menunjukkan asimetri dalam batas normal pada maksila sedangkan pada mandibula tidak ditemukan n=0. Selanjutnya, sebesar 76 n=16 menunjukkan asimetri secara klinis pada maksila dan sebesar 100 n=21 menunjukkan asimetri klinis pada mandibula

BAB 5 PEMBAHASAN

Asimetri lengkung gigi merupakan hal yang umum ditemukan pada setiap maloklusi cit. Angle 1866. 15 Apabila asimetri lengkung gigi yang tidak dirawat secara dini, maka cenderung berkembang menjadi asimetri fungsional, skeletal dan akhirnya akan mempengaruhi estetika wajah. 11,21 Masalah yang terjadi tidak hanya berkaitan dengan masalah estetika, melainkan juga dapat mengakibatkan gangguan struktur dan fungsi dari sendi temporomandibula. 25 Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran kesimetrisan lengkung gigi berdasarkan foto model studi sampel. Populasi sampel merupakan mahasiswa FKG USU yang memiliki maloklusi Klas II atau Klas III Angle dan belum pernah menerima perawatan ortodonti. Besar sampel pada penelitian ini berjumlah 62 orang sampel yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok dengan maloklusi Klas II Angle yang berjumlah 30 orang dan kelompok dengan maloklusi Klas III Angle yang berjumlah 32 orang. Tabel 1 menunjukkan prevalensi kesimetrisan lengkung gigi pada sampel dengan maloklusi Klas II Angle, bahwa dari 30 orang sampel, terdapat sebesar 33 n=10 memiliki asimetri lengkung gigi dalam batas normal dan 67 n=20 memiliki asimetri lengkung gigi secara klinis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sampel dengan maloklusi Klas II yang disertai asimetri lengkung gigi cukup banyak ditemukan. Hasil penelitian ini mendekati penelitian yang telah dilakukan oleh Scanavani bahwa ditemukan prevalensi asimetri lengkung gigi cukup tinggi pada kelompok maloklusi Klas II Angle. 10,13 Sampel penelitian pada kelompok maloklusi Klas II Angle sebesar 63 memiliki maloklusi Klas II Angle subdivisi. Karakteristik pada maloklusi Klas II subdivisi adalah malokusi Klas II pada satu sisi, dan oklusi Klas I molar pada sisi berlawanan. Ketidaksesuaian hubungan molar antara kedua sisi dapat menyebabkan asimetri pada lengkung dan pergeseran midline. 30 Sesuai dengan penelitian Alavi dkk., melaporkan bahwa kelompok maloklusi Klas II subdivisi memperlihatkan adanya perbedaan asimetri lengkung gigi yang signifikan dengan kelompok oklusi normal dan asimetri ditemukan lebih besar pada maksila dan mandibula pada dewasa yang memiliki maloklusi Klas II subdivisi. 29 Tabel 2 menunjukkan prevalensi kesimetrisan lengkung gigi pada sampel dengan maloklusi Klas III Angle, bahwa dari 32 orang sampel, sebesar 34 n=11 memiliki asimetri lengkung gigi dalam batas normal dan 66 n=21 memiliki asimetri lengkung gigi secara klinis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah sampel maloklusi Klas III yang disertai asimetri lengkung gigi cukup banyak ditemukan. Penelitian ini didukung penelitian Nie dan Lin yang menyatakan bahwa sampel dengan maloklusi Klas III memiliki jumlah dan derajat asimetri lengkung gigi yang paling banyak ditemukan. 16 Kondisi asimetri lengkung gigi cenderung ditemukan pada individu dengan maloklusi Klas III. 10,13 Beberapa sampel pada kelompok ini disertai gigitan terbalik, baik yang anterior maupun posterior. Pasien yang disertai dengan gigitan terbalik cenderung menunjukkan asimetri lengkung gigi. 7,10,13 Pada penelitian Kula menyatakan bahwa 30 dari grup yang secara klinis signifikan memiliki asimetri secara transversal pada rahang atas, terdapat beberapa individu dari grup tersebut benar-benar memiliki gigitan terbalik posterior. 15 Tabel 3 menunjukkan pada kelompok maloklusi Klas II memperlihatkan sebesar 40 n=8 memiliki asimetri lengkung gigi dengan sisi sebelah kanan lebih lebar, dan 60 n=12 memiliki asimetri lengkung gigi dengan sisi sebelah kiri lebih lebar. Sedangkan untuk kelompok maloklusi Klas III memperlihatkan 62 n=13 memiliki asimetri lengkung gigi dengan sisi sebelah kanan yang lebih lebar, dan 38 n=8 memiliki asimetri lengkung gigi dengan sisi sebelah kiri yang lebih lebar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada sampel maloklusi Klas II lebih banyak ditemukan asimetri lengkung gigi dengan sisi sebelah kiri yang lebih lebar sedangkan pada kelompok maloklusi Klas III lebih banyak ditemukan asimetri lengkung gigi dengan sisi sebelah kanan yang lebih lebar. Hasil penelitian untuk kelompok maloklusi Klas II ini sesuai dengan penelitian Maurice dan Kula yang dilakukan pada sampel fase gigi bercampur, bahwa lebih banyak ditemukan asimetri lengkung gigi dengan sisi sebelah kiri lebih lebar. 14 Banyak penjelasan yang telah dipaparkan bahwa penyebab dari asimetri ini adalah cacat bawaan dan faktor lingkungan yang akhirnya akan menghasilkan perbedaan antara sisi kanan dan kiri yang jelas. 25 Tabel 4 menunjukkan prevalensi kesimetrisan lengkung gigi maksila dan mandibula pada maloklusi Klas II, bahwa dari 20 sampel penelitian dengan asimetri lengkung gigi pada maloklusi Klas II, sebesar 35 n=7 menunjukkan asimetri dalam batas normal pada maksila sedangkan mandibula tidak ditemukan n=0. Selanjutnya, sebesar 65 n=13 menunjukkan asimetri secara klinis pada maksila dan 100 n=20 menunjukkan asimetri secara klinis pada mandibula. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa asimetri lengkung gigi pada sampel maloklusi Klas II lebih banyak ditemukan pada mandibula. Hasil penelitian ini mendekati penelitian yang telah dilakukan oleh Nie dan Lin yang menyatakan bahwa pada sampel maloklusi Klas II Angle cenderung memiliki asimetri mandibula dibandingkan maksila. 16 Tabel 5 menunjukkan prevalensi kesimetrisan lengkung gigi maksila dan mandibula pada maloklusi Klas III bahwa dari 21 sampel, sebesar 24 n=5 menunjukkan maksila memiliki asimetri dalam batas normal sedangkan pada mandibula tidak ditemukan. Selanjutnya, sebesar 76 n=16 menunjukkan maksila memiliki asimetri klinis dan 100 n=21 menunjukkan mandibula memiliki asimetri klinis. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok maloklusi Klas III Angle lebih banyak ditemukan asimetri lengkung gigi pada mandibula. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dipaparkan oleh Haraguchi dan penelitian Ravi dkk., bahwa mandibula ditemukan asimetri yang lebih besar dibandingkan maksila. Kondisi ini disebabkan mandibula memiliki potensi pertumbuhan yang lebih lama dibandingkan maksila dan juga oleh karena anatomis dari mandibula yang berhubungan dengan sendi temporomandibula yang bersifat mobile, berbeda dengan maksila yang hanya terhubung secara kaku pada struktur kraniofasial. 29,31 Pada umumnya, evaluasi asimetri lengkung gigi dengan cara menganalisis permukaan oklusal secara visual pada model gigi menggunakan median palatal raphe sebagai referensi penting dalam pengukuran kesimetrisan lengkung gigi. Median palatal raphe merupakan bidang yang paling ideal pada semua pasien. Median palatal raphe merupakan bidang yang digunakan untuk membandingkan titik pada gigi di kedua sisi rahang. Metode dalam penelitian ini memiliki kelemahan, yaitu jika hasil trimming pada model tidak memenuhi syarat, maka median palatal raphe tidak dapat membentuk sudut 90 o terhadap garis pada belakang model dan akan mempengaruhi proyeksi garis tengah pada rahang atas ke rahang bawah. 14 Keakuratan hasil pencetakan model dan ketajaman hasil foto dari model studi sudah diperhatikan untuk meminimalisir kekurangan tersebut. Oleh sebab itu, dalam melakukan proses trimming harus dengan baik, khususnya pada sisi bagian belakang harus benar-benar rata. Dalam proyeksi garis tengah dari rahang atas ke rahang bawah harus benar-benar memperhatikan kesejajaran mengingat sampai sekarang belum ditemukan panduan yang jelas untuk mengukur midline bawah. Selain itu, pemeriksaan kesimetrisan lengkung gigi juga sebaiknya mempertimbangkan analisis midline wajah terhadap midline dental rahang atas dalam prosedur diagnosis kesimetrisan lengkung rahang. Hal ini disebabkan ada kemungkinan midline dental pada rahang atas yang salah sehingga diperlukan pemeriksaan midline wajah juga.

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan