BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Rakyat
Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999. Definisi ini merupakan
penegasan bahwa hutan rakyat bukanlah hutan negara yang tanahnya tidak dibebani hak milik. Menurut Suharjito 2000, terdapat konsekuensi-konsekuensi
yang dihasilkan dari pengertian tersebut, yaitu: 1.
Hutan yang tumbuh di atas tanah adat dan dikelola oleh keluarga petani sebagai anggota suatu kelompok masyarakat adat diklaim pemerintah sebagai
hutan negara dan tidak termasuk ke dalam hutan rakyat. 2.
Hutan yang tumbuh di atas tanah milik dan diusahakan oleh orang-orang kota atau perusahaan swasta yang menyewa atau membeli tanah masyarakat lokal
dapat dikategorikan sebagai hutan rakyat. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan 2004 tentang Pedoman
Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan, pengertian hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang
dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 hektar, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari
50. Menurut Suharjito 2000 hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karena hutan rakyat juga
disebut hutan milik. Bagi masyarakat Jawa, hutan rakyat lebih dikenal dengan istilah tegalan,
pekarangan, kebun, dan lain sebagainya. Menurut Hardjanto 2000, hutan rakyat memiliki beberapa ciri pengusahaan, antara lain:
1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri dimana
petani masih memiliki posisi tawar yang lebih rendah. 2.
Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik.
3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang dapat
diusahakan dengan cara-cara sederhana. 4.
Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidental dengan kisaran tidak lebih dari
10 dari pendapatan total. Kelestarian hutan rakyat ditentukan oleh struktur tegakan hutan. Struktur
tegakan hutan yang diharapkan memenuhi syarat bagi tercapainya kelestarian, yakni kurang lebih menyerupai hutan normal. Budidaya hutan rakyat pada
dasarnya telah dikuasai oleh para petani hutan rakyat, walaupun dalam pengertian apa adanya. Artinya, mulai dari penyediaan bibit, penanaman, pemeliharaan
sampai siap jual semuanya dilakukan secara sederhana Hardjanto 2000. Usaha pengelolaan hutan rakyat dapat menyerap banyak tenaga kerja
karena kegiatannya yang meliputi penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Pada umumnya hutan rakyat yang ada di Indonesia, khususnya di
Pulau Jawa tidak lebih dari 0,25 Hektar. Hal ini disebabkan rata-rata kepemilikan lahan di Pulau Jawa sempit. Oleh sebab itu umumnya pemilik berusaha
memanfaatkan lahan dengan membudidayakan tanaman-tanaman yang bernilai tinggi, cepat menghasilkan, dan tanaman konsumsi sehari-hari. Selain pada
pekarangan rumah, umumnya hutan rakyat ditemui pada lahan marginal lahan yang tidakkurang menghasilkan komoditi pangan serta pada lahan-lahan
terlantar Hardjanto 2000. Menurut Dinas Kehutanan Jawa Tengah 2007, pola hutan rakyat
berdasarkan jenis tanaman adalah : 1.
Didominasi oleh satu jenis tanaman. Contoh : jati, akasia, mahoni. 2.
Pola hutan rakyat campuran, didominasi oleh dua atau lebih jenis tanaman kehutanan. Contoh : jati dan mahoni, jati dan sengon, mahoni, dan sengon.
3. Pola hutan rakyat agroforestri merupakan hutan rakyat campuran antara
tanaman kehutanan, tanaman perkebunan, dan tanaman hijau makanan ternak yang dipadukan dengan tanaman pangan semusim empon-empon, kunyit,
jahe, dan lain-lain. Pola agroforestri paling diminati masyarakat karena bisa menghasilkan panen harian, mingguan, maupun tahunan jangka panjang.
Manfaat hutan rakyat sangat dirasakan masyarakat, selain sebagai investasi ternyata juga dapat memberi tambahan penghasilan yang dapat diandalkan.
Masyarakat bisa memanfaatkan kayu yang ditanam di lahan milik sendiri untuk berbagai keperluan terutama untuk mencukupi kebutuhan kayu sebagai bahan
baku bangunan atau mebel. Sewaktu-waktu mereka menjual kayunya ketika ada kebutuhan ekonomi yang mendesak, akan tetapi tidak sedikit dari mereka yang
mewariskan pohon yang masih berdiri untuk anak cucu mereka Sukadaryanti 2006.
Hutan rakyat telah memberikan manfaat ekonomi yang langsung dirasakan oleh penduduk desa pemilik hutan rakyat. Manfaat yang dihasilkan adalah kayu
yang digunakan untuk bahan bangunan guna memperbaiki kondisi rumah mereka yang dulunya terbuat dari bambu. Selain itu, petani dapat memperoleh tambahan
pendapatan dari menjual kayu hasil hutan rakyat baik dalam bentuk pohon berdiri maupun dalam bentuk kayu bakar. Penjualan kayu hasil hutan rakyat ini biasanya
dilakukan apabila ada kebutuhan yang sangat mendesak dan keuangan yang ada kurang mampu mencukupi Suharjito 2000.
Ketika pembangunan hutan rakyat berhasil, maka akan ada sumbangsih positif terhadap pembangunan nasional, menurut Simon 1995 sumbangsih
tersebut dalam bentuk 1 meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan ikutan, 2 memperluas aksesibilitas dan kesempatan kerja di pedesaan, 3 memperbaiki
sistem tata air dan meningkatkan proses penguraian CO
2
dan polutan lain di udara karena adanya peningkatan proses fotosintesis di permukaan bumi, 4 dari proses
fotosintesis dapat menjaga kadar oksigen udara segar tetap pada tingkat yang menguntungkan bagi makhluk hidup, dan 5 menyediakan habitat untuk menjaga
keragaman hayati. Menurut Lembaga Penelitian IPB 1990, kerangka dasar sistem
pengelolaan hutan rakyat melibatkan beberapa sub sistem, yaitu sub sistem produksi, sub sistem pengolahan hasil dan sub sistem pemasaran hasil. Tujuan
yang ingin dicapai dari tiap-tiap sub sistem adalah sebagai berikut : 1.
Sub sistem produksi, adalah tercapainya keseimbangan produksi dalam jumlah, jenis, dan kualitas tertentu serta tercapainya kelestarian usaha dari
para pemilik lahan hutan rakyat.
2. Sub sistem pengolahan hasil, adalah terciptanya kombinasi bentuk hasil yang
memberikan keuntungan besar bagi pemilik lahan hutan rakyat. 3.
Sub sistem pemasaran hasil, adalah tercapainya tingkat penjualan yang optimal, yakni semua produk yang dihasilkan dari hutan rakyat terjual di
pasaran. Pada dasarnya pengelolaan hutan rakyat merupakan upaya menyeluruh
dari kegiatan-kegiatan merencanakan, membina, mengembangkan, dan menilai serta mengawasi pelaksanaan kegiatan produksi, pengolahan hasil dan pemasaran
secara terencana dan berkesinambungan. Tujuan akhir dari pengelolaan hutan rakyat ini adalah peningkatan peran kayu rakyat terhadap peningkatan pendapatan
pemilikpengusahaannya secara terus-menerus selama daur Lembaga Penelitian IPB 1990.
Pembangunan hutan rakyat saat ini perlu mendapat perhatian lebih, karena merupakan program nasional yang sangat strategis, baik ditinjau dari kepentingan
nasional maupun dari segi pandangan global, meliputi aspek ekonomi, ekologis maupun sosial budaya. Hutan rakyat yang bermula dari kegiatan penghijauan
lahan kritis milik masyarakat, sekarang sudah berkembang menjadi salah satu bidang usaha yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperluas
kesempatan kerja dan usaha lainnya serta menunjang pemenuhan bahan baku industri. Di Pulau Jawa, hutan rakyat disamping berasal dari kegiatan program-
program bantuan pemerintah, juga dikembangkan oleh masyarakat secara swadaya murni baik pada lahan kritis maupun lahan produktif. Hal ini disebabkan
masyarakat sudah merasakan adanya nilai tambah dari usaha hutan rakyat. Harga komoditas kayu rakyat pun meningkat dari tahun ke tahun, sehingga telah
memberi peluang yang besar bagi pengembangan hutan rakyat dan peningkatan kesejahteraan Widiarti 2000.
2.2 Pengambilan Keputusan