4.3 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat
Sistem pengelolaan hutan pada umumnya terbagi menjadi tiga bagian sub sistem, termasuk pada pengelolaan hutan rakyat. Tiga sub sistem tersebut terdiri
atas sub sistem produksi, sub sistem pengolahan hasil, dan sub sistem pemasaran Lembaga Penelitian IPB 1990. Sub sistem produksi meliputi kegiatan
penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Proses pemanenan seluruhnya diserahkan kepada pembeli sehingga petani hanya tinggal mendapatkan uang hasil
panen. Sub sistem pengolahan hasil merupakan rangkaian proses yang dilakukan petani hutan rakyat dalam membentuk produk akhir dari hasil hutan rakyat yang
kemudian dijual ataupun dipakai sendiri secara langsung. Kenyataannya, petani di Desa Bojonggedang tidak melakukan proses pengolahan hasil untuk dijual. Sub
sistem pemasaran merupakan kegiatan penjualan hasil hutan rakyat dari petani hutan rakyat dalam perannya sebagai produsen kepada pembeli konsumen baik
secara langsung maupun melalui perantara tengkulak.
4.3.1 Sub sistem produksi
Para petani hutan rakyat di Desa Bojonggedang umumnya menyebut lahan hutan rakyat yang dimilikinya dengan istilah kebun. Sub sistem produksi
pengelolaan hutan merupakan tahapan awal sekaligus inti dalam suatu pengelolaan hutan, karena pada tahap inilah yang menentukan berhasil atau
tidaknya pengelolaan hutan rakyat. Kegiatan yang dilakukan dalam sub sistem produksi ini meliputi persiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, dan
pemeliharaan, tanpa ada kegiatan pemanenan oleh petani. Seluruh petani di lokasi penelitian tidak melaksanakan semua tahapan sub sistem produksi, melainkan
hanya melaksanakan dua tahapan pokok saja yaitu penanaman dan pemeliharaan, sedangkan tahapan pemanenan dilakukan oleh tengkulak karena alasan
kemudahan. Kegiatan pemanenan kayu dilakukan langsung oleh para tengkulak atau umumnya disebut bandar atau pengobeng dengan sistem borongan per
jumlah pohon. Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan petani, tidak ditemukan aturan
maupun kebiasaan adat khusus daerah sekitar yang diterapkan oleh petani dalam pengelolaan hutan rakyat. Sebagian petani hutan rakyat dalam mengelola lahan
miliknya, melakukannya secara pribadi tanpa bantuan dan sebagian lagi dengan bantuan buruh tani. Luas lahan yang dimiliki petani beragam, begitu pula dengan
jarak lahan hutan rakyat dengan tempat tinggal sehingga penyebaran lokasi hutan rakyat di lokasi penelitian tidak merata. Lahan yang luas dan lokasi yang relatif
jauh dari tempat tinggal menjadikan beberapa petani memilih menggunakan jasa orang lain dalam mengelola lahan miliknya.
Anggota keluarga yang mengelola lahan umumnya hanya sebatas orang tua saja, sedangkan anak-anak jarang sekali dilibatkan dalam pengelolaan hutan
rakyat, salah satu penyebabnya adalah minimnya kemampuan teknis terkait pengelolaan hutan rakyat yang diturunkan atau diajarkan dari orang tua kepada
anak-anaknya. Generasi muda umumnya lebih memilih untuk bekerja sebagai pekerja pabrik maupun membuka bengkel dengan modal keterampilan selama
mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan SMK. Kegiatan yang pertama kali dilakukan dalam rangkaian proses pengelolaan
hutan adalah persiapan lahan, pada kegiatan persiapan lahan, petani melakukan pembersihan lahan yang akan ditanami dan pembuatan lubang tanam.
Pembersihan lahan yang dilakukan petani adalah pembersihan atau penyiangan atas gulma yang tumbuh di lahan yang akan ditanami. Dalam proses pembersihan
lahan ini, beberapa petani menyewa orang lain untuk melakukan pembersihan lahan namun ada pula yang langsung melakukannya sendiri jika jarak kebun dan
rumahnya tidak terlalu jauh dan lahan yang harus dibersihkan tidak terlalu luas. Persiapan lahan ini umumnya diakhiri dengan pembuatan lubang tanam. Jarak
lubang tanam bervariasi antar petani, namun ada pula petani yang tidak menentukan jarak tanam sehingga penanamannya hanya berdasarkan posisi lahan
kosong yang ada di kebunnya saja. Dari petani yang diteliti, 6,67 petani tidak menentukan berapa jarak antar lubang tanam, sedangkan selebihnya bervariasi
dalam menentukan jarak tanam mulai dari 1 m x 1 m sampai 5 m x 5 m, jarak tanam yang banyak diterapkan oleh petani adalah 3 m x 3 m.
Ketersediaan bibit maupun akses petani dalam mendapatkan bibit merupakan hal yang sangat penting dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat.
Pengadaan bibit yang dilakukan petani umumnya dengan cara membeli dari pedagang keliling. Dari petani yang diteliti, 83 memperoleh bibit dengan cara
membeli Gambar 5, menurut petani cara ini lebih mudah dilakukan karena petani tidak perlu mempersiapkan persemaian melainkan hanya tinggal membayar
bibit yang harganya berkisar antara Rp 1.000,- sampai Rp 1.500,- per bibit sengon Paraserianthes falcataria tergantung kondisi dan tinggi bibit. Diantara petani
ada pula yang memiliki persemaian pribadi dengan skala kecil, bibit di persemaian tersebut diperoleh dari mengumpulkan bibit yang tumbuh alami di
kebun. Petani dengan luasan lahan yang relatif kecil mengandalkan bibit yang tumbuh alami di kebunnya untuk dirawat hingga mencapai masa siap tebang, atau
dengan cara memindahkan bibit yang masih kecil ke tempat yang lahannya masih terbuka. Petani hutan rakyat di Desa Bojonggedang dapat dengan mudah
memperoleh bibit untuk kebutuhan penanaman di lahan yang dimilikinya, khususnya bibit sengon. Petani yang ingin membeli bibit dapat membeli dari
pedagang yang setiap pekan berkeliling dengan kendaraan bak terbuka menjual bibit sengon. Artinya akses petani dalam memperoleh bibit sengon di Desa
Bojonggedang sangat tinggi, penjual bibit tersebut bahkan menjangkau daerah- daerah dalam selama masih memungkinkan dilewati oleh mobil.
Gambar 5 Grafik sumber pengadaan bibit oleh petani. Berdasarkan petani yang diteliti, pola tanam yang diterapkan adalah pola
tanam monokultur dan agroforestri. Seperti yang dipaparkan oleh Lembaga Penelitian IPB 1990 bahwa hutan rakyat monokultur adalah hutan rakyat yang
hanya terdiri dari satu jenis tanaman pohon berkayu, dan hutan rakyat agroforestri adalah hutan rakyat yang memiliki bentuk usaha kombinasi kehutanan dengan
cabang usaha tani lainnya. Mayoritas petani menanam satu jenis pohon kayu yaitu sengon dengan diselingi bermacam-macam tanaman non kayu seperti terlihat pada
Gambar 6. Beberapa petani memiliki pohon mahoni Swietenia macrophylla di kebun mereka, tegakan mahoni yang ada di kebun mereka umumnya tidak sengaja
ditanam melainkan adalah pohon yang tumbuh alami sejak bertahun-tahun silam sehingga tegakan mahoni yang ada di kebun petani sebagian telah berumur lebih
dari sepuluh tahun. Sebagian petani yang menanam mahoni bertujuan menggunakan tegakan mahoni sebagai penanda batas kebun petani yang satu
dengan kebun petani yang lain, contohnya dapat dilihat pada Gambar 7. Kondisi pola tanam monokuktur yang diterapkan petani, memiliki kelemahan yang cukup
mengkhawatirkan. Kelemahan tegakan kayu yang hanya satu jenis diantaranya adalah sangat mudah rusak karena terserang hama dan penyakit, seperti kondisi di
Desa Bojonggedang dimana tegakan sengon sebagian rusak karena diserang hama dan penyakit sengon. Penyebaran hama dan penyakit tersebut relatif cepat dimana
hanya dalam tempo beberapa bulan, seluruh tegakan sengon dalam suatu kebun dapat terjangkit hama dan penyakit yang sama. Untuk pola tanam agroforestri,
tanaman lain selain tanaman kayu yang ditanam petani dalam satu lahan kebunnya antara lain kelapa, coklat, pisang, kapulaga, dan tanaman sayur sayuran,
diantaranya dapat dilihat pada Gambar 8. Tanaman tersebut dapat memberikan penghasilan tambahan kepada petani dalam periode bulanan, serta dapat menjadi
tambahan lauk untuk dimakan sehari hari.
Gambar 6 Kondisi hutan rakyat Desa Bojonggedang.
Gambar 7 Tegakan mahoni sebagai pembatas kebun.
Gambar 8 Contoh tanaman pertanian pada hutan rakyat, kakao dan kapulaga kiri dan kelapa kanan.
Petani melakukan upaya pemeliharaan tanamannya berdasarkan anjuran dari penyuluh kehutanan. Metode pemeliharaan yang dilakukan masing-masing
petani bervariasi dan pengetahuan tersebut diperoleh dari penyuluh kehutanan maupun diskusi dengan sesama petani hutan rakyat di desa. Kegiatan yang
dilakukan adalah
pemupukan, penyiangan,
pendangiran, penyulaman,
pemangkasan cabang, penjarangan, serta pemberantasan hama dan penyakit. Beberapa kegiatan pemeliharaan tersebut umumnya dilakukan hanya pada saat
bibit pohon masih berumur relatif muda dan tidak terlalu tinggi, tidak ada umur pasti sampai kapan kegiatan pemeliharaan masih dilakukan. Ketika pohon sudah
tumbuh besar beberapa kegiatan pemeliharaan sudah tidak lagi dilakukan dan pohon dibiarkan tumbuh sendiri.
Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan saat bibit masih kecil adalah pemupukan, pendangiran, dan penyiangan. Ketiga kegiatan pemeliharaan tersebut
sudah tidak dilakukan lagi ketika bibit sudah tumbuh relatif besar. Pupuk yang digunakan oleh petani mayoritas adalah pupuk kandang yang mudah diperoleh
karena beberapa petani memiliki hewan ternak seperti kambing dan ayam sehingga tidak perlu membeli pupuk. Pupuk kandang berupa kotoran ternak ini
juga mudah diperoleh bagi petani yang tidak memiliki ternak karena dapat membeli dari peternak kambing maupun ayam dengan harga yang relatif murah
dibandingkan dengan harga pupuk kimia. Sebagian petani juga menggunakan campuran pupuk kandang dan pupuk kimia yaitu NPK, namun penggunaan pupuk
kandang yang komposisinya lebih banyak, hal ini dikarenakan faktor dana yang memang tidak banyak dialokasikan untuk membeli pupuk oleh sebagian besar
petani. Sebagian besar petani menyewa tenaga kerja untuk melakukan proses penyiangan dan pendangiran ini, dalam satu hari upah yang dibayarkan untuk
setiap Hari Orang Kerja HOK sebesar Rp 20.000,- dengan tambahan makan siang. Sedangkan jika tanpa makan siang upah yang dibayarkan sebesar Rp
25.000,-. Hitungan HOK yang digunakan adalah lima jam per HOK. Namun petani menyewa tenaga kerja hanya saat tertentu saja ketika petani berhalangan,
hal ini terkait dengan keterbatasan dana yang mereka miliki. Kegiatan pendangiran dan penyiangan hanya dilakukan petani sesekali saja bergantung
pada kondisi tanah di sekitar bibit dan gulma yang tumbuh. Ketika gulma yang tumbuh tidak disiangi, maka pertumbuhan bibit akan terhambat karena akan ada
persaingan penyerapan hara dalam tanah antara bibit dengan gulma. Pemangkasan cabang dilakukan oleh mayoritas petani yaitu sebanyak
76,67 dari total petani yang diteliti. Kegiatan pemangkasan cabang ini diperlukan demi memperoleh kualitas kayu yang baik, karena pohon dengan
sedikit percabangan akan menyebabkan pohon tersebut tumbuh lurus dengan sedikit mata kayu sehingga tinggi bebas cabang pohon akan semakin optimal dan
kualitas kayu yang dihasilkan pun semakin tinggi. Semakin lurus pohon dan semakin minim mata kayunya, maka kualitas kayu yang dihasilkan akan semakin
baik. Namun ada beberapa pendapat yang berkembang diantara petani hutan rakyat bahwa semakin banyak cabang pada pohon, maka pohon tersebut akan
tumbuh semakin besar, sehingga pemangkasan cabang justru sengaja tidak dilakukan dengan anggapan agar batang pohon yang ditanam semakin besar.
Bibit-bibit pohon yang ditanam tidak seluruhnya berhasil tumbuh dengan baik, peneliti tidak memperoleh informasi terkait data kuantitatif persentase hidup
bibit yang ditanam oleh petani karena tidak pernah ada petani yang melakukan pendataan secara pasti terkait bibit yang tumbuh dan bibit yang mati. Namun
berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar petani mengaku banyak bibit yang ditanam mengalami kematian meskipun jumlah bibit yang mati tidak melebihi
setengah dari jumlah bibit yang ditanam. Dengan kata lain persentase hidup bibit yang ditanam petani umumya lebih dari 50. Petani tetap melakukan penyulaman
pada tempat dimana bibit sebelumnya mati atau pada lahan yang masih kosong, dikarenakan tidak seluruh bibit yang ditanam dapat tumbuh dengan baik. Dengan
melakukan penyulaman, maka petani telah mengoptimalkan lahan yang ada untuk tempat tumbuh pohon sehingga produktivitas lahan tersebut menjadi tinggi.
Sebagian besar petani tidak melakukan penyimpanan bibit khusus untuk bibit yang akan digunakan untuk penyulaman, karena ketika butuh bibit untuk
penyulaman maka petani akan langsung membeli dari penjual bibit keliling. Petani yang memilih tidak melakukan penyulaman dikarenakan mereka
mengandalkan bibit alami yang telah ada di kebun yang dirasa sudah cukup banyak untuk tetap tumbuh dan menggantikan bibit yang mati.
Petani yang melakukan penjarangan sebanyak 50 dari total petani. Kegiatan penjarangan merupakan upaya seleksi terhadap pohon yang
pertumbuhannya bagus sehat dengan tetap mempertahankannya dan menebang pohon-pohon yang pertumbuhannya kurang bagus terhambat atau terkena hama
dan penyakit. Tujuan dari dilakukannya penjarangan antara lain memacu pertumbuhan tegakan, meningkatkan kualitas tegakan, dan meningkatkan
ketahanan terhadap stres lingkungan. Namun demikian, kegiatan penjarangan yang dilakukan petani tidaklah sepenuhnya untuk tujuan seperti itu. beberapa
petani melakukan penjarangan karena didesak kebutuhan ekonomi yang mengharuskan mereka menjual pohon di kebun yang dirasa bagus
pertumbuhannya dan sudah siap tebang, sehingga memberikan ruang bagi bibit- bibit yang baru tumbuh. Sebagian petani memilih tidak melakukan penjarangan
pada kebunnya walaupun beberapa kondisi pohon pertumbuhannya buruk. Persepsi ini berhubungan dengan sistem penjualan kayu yang dilakukan petani,
yaitu penjualan dilakukan berdasarkan banyaknya jumlah pohon sistem borongan sehingga bagi petani semakin banyak jumlah pohon maka penghasilan
saat panen akan semakin besar. Dalam hal ini persepsi dan pemahaman petani dalam kegiatan penjarangan masih beragam khususnya terkait tujuan dari
dilakukannya penjarangan. Berdasarkan wawancara dengan penyuluh kehutanan di lokasi penelitian,
hama yang umum ditemukan pada tegakan sengon di lokasi penelitian adalah ulat kantung dan hama busuk akar uret. Petani menggunakan obat furadan untuk
mengendalikan hama tersebut meskipun tidak seluruh petani menggunakannya karena terkendala faktor dana. Pestisida untuk mengendalikan hama ulat dapat
dibeli di toko penjual alat pertanian, hal ini memudahkan petani dalam mengendalikan hama yang menyerang sengon miliknya. Penyakit yang
menyerang sengon dan belum diketahui obatnya oleh petani adalah karat puru, seperti terlihat pada Gambar 9. Penyakit ini menyerang tanaman sengon
berapapun umurnya, sengon yang terkena penyakit ini batang atau cabangnya muncul benjolan-benjolan yang akhirnya membusuk dan mematikan sengon
tersebut. Pengendalian penyakit tersebut dengan cara memangkas cabang yang muncul benjolan agar tidak meluas ke bagian lain maupun menular ke pohon lain,
sedangkan benjolan yang muncul di batang utama pohon, petani tidak punya pilihan lain selain menebang pohon tersebut.
Gambar 9 Penyakit karat puru pada sengon. Petani di Desa Bojonggedang tidak melakukan penebangan langsung,
seluruh petani menyerahkan proses pemanenan sampai pengangkutan kepada
tengkulak atau pihak pabrik penggergajian. Lokasi penggergajian kayu, relatif dekat dengan tempat tinggal petani, kayu hasil tebangan dikumpulkan di lokasi
tersebut seperti dapat dilihat pada Gambar 10, untuk selanjutnya dilakukan proses penggergajian. Sistem yang digunakan adalah sistem borongan, yaitu penjualan
kayu berdasarkan jumlah tegakan dan taksiran besar pohon berdiri, bukan berdasarkan kubikasi, namun tetap ada beberapa petani yang menjual kayu
miliknya dengan sistem kubikasi. Posisi pohon yang ditebang dipilih secara acak dengan mempertimbangkan besar kecil pohon, sehingga tidak ada petak tebang
khusus yang direncanakan akan ditebang pohonnya. Metode yang dilakukan dalam proses penjualan kayu berbeda-beda, sebagian petani melakukan transaksi
dengan tengkulak hanya menyebutkan berapa uang yang dibutuhkan dan tengkulak yang akan menentukan jumlah pohon yang ditebang. Hal ini terkait
dengan desakan kebutuhan ekonomi, masyarakat di lokasi penelitian mengibaratkan bahwa memiliki tegakan sengon sama dengan memiliki emas
dimana ketika ada kebutuhan mendesak sengon tersebut dapat langsung dijual dan masyarakat dapat langsung memperoleh uangnya. Artinya akses masyarakat
terhadap pasar sangat tinggi dan hal ini membantu berkembangnya aktivitas pengelolaan hutan rakyat di lokasi penelitian.
Gambar 10 Kondisi log di lokasi penggergajian kayu Desa Bojonggedang. Motivasi utama petani dalam menjual kayu adalah konsumtif untuk
kebutuhan hidup yang mendesak, dalam kondisi dimana petani membutuhkan kayu untuk membangun rumah, maka pohon miliknya akan ditebang sendiri
dengan menyewa chain saw milik pabrik penggergajian kayu atau tengkulak.
4.3.2 Sub sistem pengolahan hasil