Kondisi Mangrove HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Mangrove

Kondisi vegetasi mangrove di pesisir Desa Tiwoho relatif baik. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya jenis dan kepadatan mangrove yang cukup tinggi, serta faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi dan menunjang komunitas mangrove. Formasi jenis mangrove umumnya didominasi oleh jenis-jenis dari famili Rhizophoraceae, Avicenniaceae, Sonneratiaceae. Jenis-jenis mangrove yang terdapat di Desa Tiwoho antara lain adalah Avicennia marina, Bruguiera ghymnorhirza, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata, Ceriops tagal, Sonneratia alba, dan Xylocarpus granatum Tabel 5. Tabel 5 Sebaran jenis mangrove No. Jenis Jalur 1 Jalur 2 1. Avicennia marina 2. Bruguiera ghymnorhirza 3. Rhizophora apiculata 4. Rhizophora stylosa 5. Rhizophora mucronata 6. Ceriops tagal 7. Sonneratia alba 8. Xylocarpus granatum - : Ditemukan : Tak ditemukan Penyebaran jenis mangrove pada lokasi penelitian tidak merata. Pada Jalur 1 ditemukan 7 jenis mangrove sedangkan untuk Jalur 2 ditemukan 8 jenis dengan 7 jenis sama dengan yang ada di Jalur 1 ditambah jenis Xylocarpus granatum. Pada lahan bekas tambak hanya ditemukan 3 jenis mangrove yaitu Avicennia marina, Rhizophora apiculata , Ceriops tagal dan Sonneratia alba. Jumlah individu yang masuk dalam garis berpetak sebanyak 411 pohon. Hasil perhitungan jumlah pohon untuk masing-masing jalur yaitu pada Jalur 1 memiliki jumlah individu sebanyak 214 pohon Tabel 6. Jenis tertinggi pada Rhizophora stylosa dengan 100 pohon dan terendah Rhizophora mucronata yaitu 2 pohon. Pada Jalur 2, diperoleh kelimpahan individu sebanyak 197 pohon dengan jenis tertinggi Sonneratia alba sebanyak 77 pohon dan terendah Rhizophora apiculata serta Xylocarpus granatum masing-masing 1 pohon. Jumlah anakan tertinggi terdapat pada Jalur 1 sebanyak 576 anakan dari 6 jenis mangrove, sedangkan di Jalur 2 hanya 258 anakan dari 7 jenis mangrove. Di Jalur 1, jumlah anakan terbanyak terdapat pada jenis Sonneratia alba sebanyak 258 anakan sedangkan pada Jalur 2 jenis Rhizophora stylosa sebanyak 173 anakan. Tabel 6 Kerapatan mangrove Lokasi Jumlah Pohon100m 2 Jalur 1 214 Jalur 2 197 Petakan 1 1 Petakan 2 2 Petakan 3 1 Petakan 4 - Petakan 5 - Petakan 6 - Petakan 7 1 Petakan 8 2 Petakan 9 4 Petakan 10 10 : Jumlah pohon dalam petakan tambak Sumber : Data primer 2007 Sebaran vegetasi mangrove di lokasi penelitian hampir menyebar ke seluruh bagian lahan ekosistem mangrove. Bila diamati lebih lanjut, adanya persamaan sebaran jenis vegetasi mangrove di lokasi penelitian. Terdapat tiga famili mangrove yang menyebar di lokasi penelitian ini yaitu Famili Avicenniaceae, Famili Rhizophoraceae , Famili Sonneratiaceae Gambar 3. Pada Jalur 1 dominan mangrove yang tumbuh adalah Famili Rhizophoraceae dan pada Jalur 2 didominasi oleh Famili Sonneratiaceae. Jumlah jenis mangrove di Desa Tiwoho relatif sedikit bila dibandingkan dengan yang ditemukan di Pulau Mantehage sebanyak 24 jenis mangrove Lalamentik et al. 1997. Gambar 3 Peta sebaran mangrove Berdasarkan transek sepanjang 100 meter dari arah laut ke darat, diketahui tipe zonasi ekosistem mangrove pada kedua jalur penelitian. Pada Jalur 1, terdapat Rhizophora spp. yang kemudian di belakangnya terdapat jenis Sonneratia alba dan Avicennia marina yang berasosiasi dengan Bruguiera spp. Zona berikutnya yang mendekati daratan terdapat jenis Ceriops tagal. Pada zona di dekat daratan ini didapati beberapa pohon mangrove seperti Rhizophora spp. yang telah ditebang oleh penduduk setempat. Pada Jalur 2, zona di depan menghadap laut didominasi oleh Sonneratia alba dan Avicennia marina kemudian di belakang zona ini terdapat Rhizophora spp. Zona belakang ditempati oleh Bruguiera ghymnorhirza dan Xylocarpus granatum yang berasosiasi dengan Ceriops tagal. Pada kawasan rehabilitasi didominasi oleh Rhizophora spp. dan sebagian Avicennia spp. dan Sonneratia alba . Umumnya tegakan mangrove di jalur penelitian ini berupa anakan juga ada beberapa pohon. Kerapatan Relatif Jenis Mangrove Masing-masing jenis mangrove memiliki nilai kerapatan, frekuensi, tutupan, dan indeks nilai penting yang berbeda-beda. Kerapatan dari 7 jenis yang ditemukan pada Jalur 1 yang tertinggi adalah Rhizophora stylosa dengan kerapatan relatif 46.72, sedangkan untuk nilai terendah adalah jenis Rhizophora mucronata dengan nilai kerapatan relatif 0.93. Pada Jalur 2, kerapatan tertinggi terdapat pada jenis Sonneratia alba dengan kerapatan relatif 39.09. Sedangkan untuk nilai terendah adalah jenis Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum dengan kerapatan relatif 0.51 Lampiran 3a. Nilai kerapatan relatif yang tinggi pada jenis Rhizophora stylosa Jalur 1 dan Sonneratia alba Jalur 2 menunjukkan bahwa jenis ini terdapat cukup melimpah pada lokasi penelitian, dan sebaliknya untuk jenis Rhizophora mucronata Jalur 1, Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum Jalur 2 merupakan jenis yang jarang ditemukan. Dari perbandingan nilai kerapatan relatif pada kedua jalur, diketahui bahwa jenis Rhizophora stylosa memiliki kerapatan relatif lebih tinggi daripada jenis Sonneratia alba. Keadaan ini menunjukkan bahwa secara relatif jenis Rhizophora stylosa berjumlah lebih banyak dalam luasan daerah penelitian dibandingkan dengan jenis yang lain pada kedua jalur. Berdasarkan data yang diperoleh maka dibuat tiga kriteria kerapatan mangrove yaitu kerapatan tinggi 10 pohon, kerapatan sedang 5-10 pohon dan kerapatan rendah 5 pohon. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup, kondisi ekosistem mangrove dapat digolongkan kedalam tiga kriteria yaitu sangat padat dengan nilai kerapatan 1500 baik, kepadatan sedang 1000 - 1500 rusak dan kepadatan jarang dengan nilai 1000 rusak. Kerapatan mangrove yang termasuk dalam kriteria kerapatan tinggi yaitu pada daerah Jalur 1 dan Jalur 2 serta lahan bervegetasi mangrove yang terdapat di sekitar lahan terbuka sebelah Timur. Pada bagian lahan ini memiliki tingkat kerapatan yang tinggi karena mangrove tumbuh dengan baik di daerah ini dan masih alami. Kriteria kerapatan sedang terdapat pada sebagian petakan lahan bekas tambak yaitu pada petakan 1,2,3,7,8,9, dan 10. Sedangkan untuk kriteria kerapatan mangrove rendah yaitu pada daerah lahan terbuka sebelah Barat dan Timur serta pada petakan tambak 4,5, dan 6 serta pada sebagian petakan bekas lahan tambak 1,2,3,7,8,9, dan 10 Gambar 4. Gambar 4 Peta sebaran kerapatan ekosistem mangrove Frekuensi Relatif Jenis Mangrove Nilai dari frekuensi relatif dapat menggambarkan sebaran jenis pohon dalam suatu areal. Frekuensi relatif jenis yang ditemukan pada Jalur 1 berkisar antara 2.71 hingga 24.32. Pada Jalur 2 nilai frekuensi relatif jenis berkisar antara 2.86 hingga 28.57. Nilai frekuensi relatif tertinggi ditemukan pada Jalur 2 yaitu pada jenis Sonneratia alba dengan nilai 28.57 dan terendah ditemukan di Jalur 1 yaitu pada jenis Rhizophora mucronata dengan nilai 2.71 Lampiran 3b. Pada Jalur 1, nilai frekuensi jenis tertinggi pada jenis Rhizophora stylosa dan Sonneratia alba yaitu sebesar 24.32 yang diikuti oleh Ceriops tagal dan Rhizophora apiculata 13.51, Avicennia marina dan Bruguiera gymnorrhiza 10.81 dan yang terkecil ditemukan pada Rhizophora mucronata 2.71. Nilai frekuensi jenis tertinggi pada Jalur 2 ditemukan pada jenis Sonneratia alba sebesar 28.57 yang diikuti oleh Avicennia marina dan Rhizophora stylosa 25.71, Bruguiera gymnorrhiza 8.57, Ceriops tagal 5.71, dan yang terkecil ditemukan pada Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum 2.86. Nilai frekuensi dipengaruhi oleh jumlah ditemukannya jenis mangrove dalam suatu petak pengamatan. Frekuensi jenis tertinggi di Jalur 1 yaitu jenis Rhizophora stylosa dan Sonneratia alba serta terendah jenis Rhizophora mucronata. Hal ini dimungkinkan karena Rhizophora stylosa dan Sonneratia alba memiliki jumlah yang banyak dibandingkan dengan jenis lain meskipun diameter pohonnya kecil. Sedangkan frekuensi jenis terendah pada jenis Rhizophora mucronata yang jumlahnya sedikit. Frekuensi jenis tertinggi di Jalur 2 yaitu jenis Sonneratia alba dan terendah jenis Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum. Dari perbandingan frekuensi jenis di kedua jalur, jenis Sonneratia alba memiliki nilai frekuensi jenis tertinggi dibandingkan dengan Rhizophora stylosa. Jadi frekuensi jenis lebih dipengaruhi oleh jumlah jenis daripada ukuran diameter pohon. Jumlah jenis yang banyak dapat terjadi karena jenis tersebut dapat tumbuh dan berkembang pada kondisi lingkungan yang baik, ataupun kurangnya aktivitas pemanfaatan oleh manusia. Nilai frekuensi relatif yang tinggi pada jenis Rhizophora stylosa, Sonneratia alba menunjukkan bahwa jenis ini terdapat cukup melimpah pada lokasi penelitian, dan sebaliknya untuk jenis Rhizophora mucronata Jalur 1, Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum Jalur 2 merupakan jenis yang jarang ditemukan. Tutupan Relatif Jenis Mangrove Penutupan relatif tertinggi pada Jalur 1 terlihat pada jenis Rhizophora stylosa 67.65 dan terendah pada jenis Rhizophora mucronata 0.03. Sedangkan pada Jalur 2 nilai tutupan tertinggi terlihat pada jenis Sonneratia alba 59.59 dan yang terendah adalah jenis Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum 0.01 Lampiran 3c. Jenis yang dominan memiliki produktivitas yang besar dimana dalam menentukan suatu jenis vegetasi dominan yang perlu diketahui adalah diameter batang Odum, 1994. Jenis dan umur dari pohon sangat menentukan besarnya diameter batang yang mempengaruhi penutupan dan penutupan relatif, selain itu faktor alam dan ketersediaan nutrien di ekosistem mangrove juga merupakan salah satu faktor pendukungnya. Penutupan relatif yang kecil yang terlihat pada beberapa jenis diakibatkan karena jenis-jenis tersebut oleh masyarakat sering digunakan dalam keperluan sehari-hari. Mangrove dengan diameter batang yang besar akan lebih mudah dikeringkan untuk keperluan rumah tangga dibandingkan mangrove yang diameter pohonnya kecil. Nilai Penting Jenis Mangrove Indeks Nilai Penting INP menyatakan kepentingan suatu jenis tumbuhan dan juga menggambarkan tingkat penguasaan jenis dalam suatu komunitas. Selain itu, INP juga memberikan suatu gambaran besarnya pengaruh dan peranan suatu jenis dalam suatu komunitas mangrove. Dari analisis data didapatkan bahwa jenis mangrove yang memiliki nilai penting tertinggi yaitu jenis Rhizophora stylosa yaitu 138.70 sedangkan jenis Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum memiliki nilai terendah yaitu 3.38 Lampiran 3d. Pada Jalur 1, Rhizophora stylosa memiliki nilai penting tertinggi 138.70 dan jenis Rhizophora mucronata memiliki nilai terendah 3.66. Pada Jalur 2, Sonneratia alba memiliki nilai tertinggi 127.25 dan nilai terendah dimiliki oleh Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum 3.37. Dari perbandingan nilai penting di kedua jalur, jenis Rhizophora stylosa memiliki nilai penting tertinggi. Baik tidaknya pertumbuhan mangrove dalam suatu komunitas dapat dilihat dari analisis kondisi vegetasinya yang menunjukkan besar kecilnya peranan suatu jenis terhadap komunitas yang ada. Keadaan ini dapat dilihat dalam nilai indeks penting yang dimiliki oleh suatu jenis mangrove. INP yang tinggi menggambarkan bahwa jenis-jenis ini mampu bersaing dengan lingkungannya dan disebut jenis dominan. Sebaliknya, rendahnya INP pada jenis tertentu mengindikasikan bahwa jenis ini kurang mampu bersaing dengan lingkungan yang ada disekitarnya serta jenis lainnya. Rendahnya ketahanan terhadap gejala alam serta besarnya eksploitasi mengakibatkan jenis-jenis tersebut berkurang dari tahun ke tahun. Grafik INP mangrove dapat dilihat dalam Gambar 5. 20 40 60 80 100 120 140 160 Avicennia marina Bruguiera gymnorrhiza Ceriops tagal Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Sonneratia alba Rhizophora mucronata Xylocarpus granatum Jenis Mangrove N ila i P en tin g Jalur 1 Jalur 2 Gambar 5 Grafik indeks nilai penting INP pada Jalur 1 dan Jalur 2 4.2 Kondisi Lingkungan Ekosistem Mangrove Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh PPGK 1996, kawasan pantai Tiwoho tergolong sebagai pantai Tipe III dengan karakteristik garis pantai berbakau, pasir, kerakal, terumbu karang dan bertebing terjal serta reliefnya rendah sampai tinggi. Kondisi geologi di kawasan pantai ini bermaterial batuan sedimen yang terdiri dari breksi, konglomerat dan batu pasir. Proses yang dominan adalah marin dengan terpaan gelombang laut terhadap garis pantai relatif kecil yang disebabkan oleh adanya terumbu karang di sepanjang pantai. Bentuk lahan pantai yang dapat dijumpai setelah lahan mangrove adalah hamparan padang lamun dengan substrat berpasir dan selanjutnya semakin ke arah laut terdapat rataan terumbu karang. Kondisi terumbu karang di Desa Tiwoho masih dalam keadaan baik. Adapun luas terumbu karang di desa ini mencapai sekitar 30 ha, dimana luas karang hidup termasuk karang lunak mencapai 28 sedangkan karang mati mencapai 72 Pemerintah Desa Tiwoho, 2003. Komposisi jenis suatu komunitas mangrove ditentukan oleh seleksi tumbuhan yang bisa mencapai dan mampu hidup di tempat tersebut. Komposisi dan kondisi vegetasi mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor ekologi yaitu interaksi antara mangrove dengan keadaan suhu, salinitas, kemiringan lahan, substrat dan hidrologi sistem aliran air. Suhu dan Salinitas Kisaran suhu di lokasi penelitian berkisar antara 27-29 o C sedangkan kisaran salinitas antara 27-30 PSU. Sebaran suhu di ekosistem mangrove Desa Tiwoho masih berada dalam kisaran suhu normal untuk pertumbuhan mangrove. Menurut Aksornkoae 1993, kisaran suhu lingkungan untuk ekosistem mangrove yang alami berkisar antara 21-31 o C, suhu air berada pada kisaran suhu 28 o C. Selanjutnya Supriharyono 2007 menambahkan bahwa selain salinitas, suhu air juga merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan tumbuhan mangrove. Suhu yang baik untuk kehidupan mangrove tidak kurang dari 20 o C, sedangkan kisaran perubahan suhu tidak melebihi 5 o C. Salinitas merupakan gambaran jumlah garam dalam suatu perairan Dahuri, et al . 2004. Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulai air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai Nontji, 2005. Salinitas suatu perairan sangat penting untuk pertumbuhan, ketahanan dan zonasi jenis-jenis mangrove. Pada umumnya, vegetasi mangrove dapat bertahan dan mampu hidup dengan subur pada lingkungan estuari dengan kisaran salinitas antara 10-30 PSU. Ada beberapa jenis mangrove yang mampu tumbuh pada kisaran salinitas yang tinggi. Sebagai contoh jenis Avicennia marina dan Excoecaria agallocha di Australia dapat tumbuh di daerah dengan salinitas lebih kurang 85 PSU, Avicennia officinalis dapat bertahan hidup pada kisaran salintas maksimum 63 PSU, begitu juga dengan jenis Ceriops spp. dapat mentolerir sampai batas maksimum 72 PSU, Soneratia spp. 44 PSU, Rhizophora apiculata 65 PSU, dan Rhizophora stylosa 74 PSU. dan Bruguiera spp. pada daerah dengan salinitas tidak lebih dari 37 PSU. Tidak ada ketetapan baku yang mengindikasikan salinitas maksimum air di daerah intertidal dimana mangrove dapat bertahan hidup. Sebaran salinitas di ekosistem mangrove yang masih alami adalah 30 PSU. Salinitas di petakan tambak 1 sampai 5 adalah 28 PSU sedangkan di petakan tambak 6 sampai 10 adalah 27 PSU Gambar 6. Jika salinitas kurang dari 28 PSU maka pertumbuhan mangrove akan mengalami penurunan. Kemampuan mangrove tumbuh pada air asin juga karena kemampuan akar-akar tumbuhan. Johanes dalam Supriharyono 2007 mengatakan bahwa jenis dari genera Rhizophora , Avicennia dan Leguncularia mempunyai akar-akar yang dapat memisahkan garam. Walaupun jenis mangrove dapat tumbuh pada salinitas yang ekstrim atau sangat tinggi, namun biasanya pertumbuhannya kurang baik atau pendek-pendek. Gambar 6 Peta sebaran salinitas di ekosistem mangrove Desa Tiwoho Kemiringan Lahan Kemiringan lahan didefinisikan sebagai bagian lahan yang kedudukannya lebih rendah lebih awal digenangi air laut dibandingkan bagian lahan yang kedudukannya tinggi. Pada Peta Sistem Lahan dan Kesesuaian Lahan terbitan BAKOSURTANAL 1988, lahan pesisir Tiwoho bercorak Kajapah KJP berupa rawa pasang surut yang berbentuk daratan lumpur dengan kemiringan 2 serta mempunyai relief 2 m. Menurut Triatmodjo 1999, kemiringan dasar pantai tergantung pada bentuk dan ukuran material dasar. Pantai lumpur mempunyai kemiringan sangat kecil sampai mencapai 1 : 5000. Persentasi kemiringan tersebut menurut Sunarto 1991 termasuk dalam kriteria lereng datar. Hal ini sejalan dengan hasil pengukuran kemiringan lahan di perairan pantai Tiwoho. Kemiringan lahan mangrove bekas tambak dan setiap bagian lahannya tergolong sebagai lereng datar dan landai. Untuk kriteria lereng datar yakni adanya kenaikan tinggi pada lahan terbuka bagian tengah yang selanjutnya melandai ke arah laut. Keadaan ini menyebabkan aliran air laut yang memasuki lahan pada saat pasang tidak menggenangi seluruh bagian lahan terbuka sebelah Timur melainkan hanya pada bagian lahan yang berada dekat pantai. Kemiringan lahan yang tergolong sebagai lereng landai diduga karena dipengaruhi oleh aliran air tawar yang disuplai dari lahan bervegetasi mangrove yang berdekatan dengan lahan terbuka. Debit aliran air tawar juga meningkat karena adanya pasokan oleh air hujan yang mengakibatkan substrat permukaan lahan terbuka tergerus oleh aliran air tawar kemudian terakumulasi pada saluran utama. Berkenaan dengan itu, Wuisan 2001 melaporkan bahwa pada bagian lahan yang terdapat vegetasi mangrove berlereng datar sedangkan pada bagian lahan yang tidak terdapat mangrove berlereng landai. Hal ini mengindikasikan berlangsungnya proses erosi pada bagian lahan tersebut. Sistem Aliran Air Laut dan Tawar Perairan pantai Desa Tiwoho sebagai salah satu lokasi pantai Semenanjung Minahasa bagian Utara yang dipengaruhi massa air Laut Sulawesi. Fenomena pasang surut yang terjadi di perairan pantai Tiwoho secara umum dipahami sebagai rambatan gelombang pasang surut yang terjadi di Laut Sulawesi. Berkenaan dengan tipe pasang surut, beberapa studi di sejumlah lokasi pantai Semenanjung Minahasa teridentifikasi tipe pasang surut ganda campuran. Dahuri et al . 2004 dan Nontji 2005 menyatakan bahwa karakteristik tipe pasang surut ganda campuran umumnya terjadi di perairan pantai Kepulauan Indonesia bagian Timur. Lahan mangrove bekas tambak terdiri dari 10 petakan tambak yang masing- masing dibatasi oleh pematang Gambar 7. Pengamatan aliran air laut pada lahan bekas tambak telah dilakukan secara visual mengikuti periode waktu terjadinya pasang surut yang pada saat pasang, air laut mengalir masuk menggenangi lahan mangrove bekas tambak. Aliran air laut pada saat pasang memasuki lahan bekas tambak terutama melalui kedua saluran utama yang terletak tegak lurus garis pantai dan memotong lahan bekas tambak. Air laut mengalir memenuhi saluran utama kemudian menggenangi lahan bekas tambak melalui pintu saluran air, dan menyebar memenuhi ruang dalam petakan tambak. Air laut menggenangi petakan tambak 1,2,3 dan 6 melalui saluran utama di sebelah Barat Gambar 7. Setelah memenuhi petakan tambak 3, air laut memasuki petakan tambak 4 melalui pematang di antara petakan tambak 3 dan 4. Selain itu, petakan tambak 4 juga digenangi air laut yang mengalir memenuhi saluran utama di sebelah Timur menuju saluran air di antara petakan tambak 4 dan 5. Setelah itu air laut menggenangi petakan tambak 5 melalui pintu saluran air pada petakan tambak 5. Gambar 7 Peta saluran air di ekosistem mangrove Air laut yang mengalir memenuhi saluran utama di sebelah Barat juga menggenangi petakan tambak 6 melalui pintu saluran air pada petakan tambak 6. Selanjutnya memasuki saluran utama yang berada di belakang petakan tambak 6 sampai 10 dan menggenangi bagian lahan bervegetasi mangrove yang sebagian lahannya terbuka. Air laut mengalir menggenangi petakan tambak 7 melalui saluran air di antara petakan tambak 1,2,3 dengan petakan tambak 6,7,8 serta melalui saluran utama di belakang petakan tambak 6 sampai 10. Setelah memenuhi petakan tambak 3, air laut mengalir melintasi pematang di antara petakan tambak 8 dan petakan tambak 3 menggenangi petakan tambak 8, serta melalui saluran utama di belakang petakan 6 sampai 10. Sedangkan petakan tambak 9 dan 10 digenangi oleh air laut yang mengalir melalui saluran utama yang berada di sebelah Timur menuju saluran utama yang berada di belakang petakan tambak 6 sampai 10 dan memasuki petakan tambak 9 dan 10 melalui pintu saluran air pada kedua tambak tersebut. Air laut mengalir menggenangi penuh saluran utama kemudian memasuki lahan terbuka pada sebelah Barat. Semakin ke arah darat air laut mengalir melalui bagian lahan terbuka tersebut yang biasanya dialiri air tawar yang disuplai dari bagian lahan bervegetasi mangrove yang berada lebih dekat dengan bagian daratan utama. Selain itu, aliran air laut menyebar menggenangi bagian lahan terbuka yang berada mengarah ke Barat sampai seluruh bagian lahan tergenang. Petakan tambak 8,9 dan 10 lebih lama mengalami kekeringan apabila dibandingkan dengan petakan tambak lainnya, namun hanya digenangi air laut pada saat pasang purnama. Khususnya pada petakan tambak 9 dan 10 pada musim penghujan nampaknya digenangi oleh air tawar. Sebaliknya petakan tambak 1 dan 6 pada saat surut lebih lama mengalami kekeringan dibandingkan petakan tambak yang lain. Sebaliknya pada saat surut air laut akan mengalir keluar melalui pintu saluran pada setiap petakan tambak dan memasuki saluran utama menuju ke pantai Gambar 7. Tipologi Substrat Lokasi penelitian ini memiliki substrat liat, lumpur, lumpur berpasir dan pasir. Tipe substrat yang mendominasi yaitu substrat berlumpur dan lumpur berpasir. Karakteristik substrat yang demikian cocok untuk jenis mangrove yang tumbuh pada lokasi penelitian, yaitu jenis Rhizophora spp. Supriharyono 2007 memaparkan bahwa tipe substrat yang cocok untuk pertumbuhan mangrove adalah lumpur lunak, yang mengandung silt, clay dan bahan-bahan organik yang lembut. Substrat yang terdapat pada lahan mangrove bekas tambak terdiri dari empat tipe substrat yaitu liat, lumpur, lumpur berpasir dan pasir Gambar 8. Dahuri et al. 2004 menyatakan bahwa mangrove dapat hidup pada berbagai substrat seperti tanah berpasir, lempung dan berbatu. Pada bagian lahan terbuka sebelah Barat substratnya terdiri dari material lumpur, liat dan pasir sedangkan pada lahan terbuka sebelah Timur yaitu substrat liat, pasir juga lumpur yang pada bagian lahan yang selalu dialiri air tawar keadaannya menjadi licin. Tipe substrat yang dominan pada ekosistem mangrove adalah lumpur yang berasal dari material vulkanis. Dominasi sedimen piroklastik atau sedimen vulkanik disebabkan oleh aktivitas gunung berapi yang mengeluarkan material warna hitam dan abu-abu. Lahan bervegetasi mangrove yang berdekatan dengan lahan terbuka sebelah Barat dengan substrat lumpur berpasir ditumbuhi oleh jenis Ceriops tagal dan Rhizophora spp. Sedangkan lahan bervegetasi mangrove yang berdekatan dengan lahan terbuka sebelah Timur juga didominasi oleh tipe substrat substrat lumpur dan lumpur berpasir juga ditumbuhi oleh jenis Rhizophora spp. Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa, dan Sonneratia alba dan Bruguiera gymnorrhiza . Selain itu, Avicennia spp., Sonneratia dan Rhizophora spp. juga terdapat pada kesepuluh petakan tambak. Gambar 8 Peta sebaran substrat di ekosistem mangrove Tipe substrat yang terdapat pada petakan tambak 1 yaitu substrat lumpur berpasir, liat dan lumpur. Tipe substrat yang mendominasi adalah substrat lumpur berpasir. Substrat lumpur berpasir juga mendominasi beberapa bagian petakan lahan bekas tambak lainnya yaitu pada petakan 3,6 dan 10. Keberadaan sedimen bertekstur lumpur berpasir tersebut dipengaruhi oleh aliran air laut ketika memasuki lahan mangrove bekas tambak melalui saluran utama sebelah Barat. Khususnya sekitar lahan mangrove sebelah Barat lahan terbuka keberadaan substratnya hanya dipengaruhi air laut pada kondisi pasang purnamabulan baru karena keadaan lahan tergenang. Aliran air laut yang memasuki lahan mangrove bekas tambak melalui saluran utama yang berada di sebelah Timur mempengaruhi keberadaan substrat lumpur berpasir yang terdapat pada petakan lahan tambak 3,8,9 dan 10. Petakan tambak 2,4,5,7,8 dan 9 didominasi oleh substrat berlumpur Tabel 7. Masing-masing substrat pada bagian lahan tersebut dipengaruhi oleh aliran air laut yang memasuki lahan mangrove bekas tambak melalui saluran utama sebelah Timur dan aliran air tawar yang disuplai dari lahan bervegetasi mangrove yang berdekatan dengan lahan terbuka tersebut. Substrat lumpur juga mendominasi bagian lahan yang bervegetasi mangrove di sekitar lahan terbuka sebelah Timur. Substrat liat juga terdapat pada petakan tambak 1 hingga 5 walaupun keberadaan substrat tersebut tidak mendominasi tipe substrat yang ada di bagian petakan tersebut. Keberadaan substrat pada petakan tambak 1 dan 2 dipengaruhi oleh aliran air laut yang memasuki lahan pada saat pasang melalui saluran utama sebelah Barat. Sedangkan pada petakan tambak 4 dan 5 dipengaruhi oleh aliran air laut yang memasuki lahan pada saat pasang melalui saluran utama sebelah Timur. Menurut Tee dalam Mansur 1997, tekstur tanah sangat mempengaruhi jenis tumbuhan yang hidup diatasnya. Rhizophora, Avicennia dan Bruguiera umumnya tumbuh pada tanah dengan kadar fraksi liat di atas 65 dan lumpur sekitar 20 - 30. Substrat yang menghampari lahan mangrove bekas tambak di Desa Tiwoho memiliki kadar fraksi liat dan lumpur kurang dari 65 yang ternyata berbeda dengan kisaran tersebut Buhang, 2005. Berdasarkan uraian di atas, kadar fraksi substrat liat dan lumpur pada lahan mangrove bekas tambak di Desa Tiwoho tidak memenuhi kadar yang umumnya dibutuhkan oleh vegetasi mangrove tersebut di atas. Hal ini dapat mengindikasikan adanya degradasi kemampuan substrat atau habitat mangrove untuk menopang terjadinya proses regenerasi alami vegetasi mangrove secara berkelanjutan atau bahkan proses regenerasi alami vegetasi mangrove berlangsung dalam waktu yang lama melewati kisaran waktu 15-20 tahun yang lazim dibutuhkan pada umumnya oleh semua habitat mangrove dapat memulihkan kondisinya secara alami. Selain itu terjadi perubahan kondisi normal hidrologi lahan mangrove bekas tambak dapat menyebabkan proses dimaksud terhambat. Secara umum, tipe substrat di kawasan studi didominasi oleh substrat lumpur. Tabel 7 Tipe substrat di lahan bekas tambak Petak Tambak Jenis Substrat Dominan Jenis Substrat Lainnya 1 Lumpur berpasir Liat, lumpur 2 Lumpur Liat 3 Lumpur, lumpur berpasir Liat 4 Lumpur Liat 5 Lumpur Liat 6 Lumpur berpasir Pasir, lumpur 7 Lumpur, pasir Lumpur berpasir 8 Liat Lumpur, pasir, lumpur berpasir 9 Lumpur Liat, lumpur berpasir 10 Lumpur berpasir Lumpur Sumber : Data primer 2007

4.3 Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove