dibutuhkan pada umumnya oleh semua habitat mangrove dapat memulihkan kondisinya secara alami. Selain itu terjadi perubahan kondisi normal hidrologi
lahan mangrove bekas tambak dapat menyebabkan proses dimaksud terhambat. Secara umum, tipe substrat di kawasan studi didominasi oleh substrat lumpur.
Tabel 7 Tipe substrat di lahan bekas tambak
Petak Tambak Jenis Substrat Dominan
Jenis Substrat Lainnya 1
Lumpur berpasir Liat, lumpur
2 Lumpur Liat
3 Lumpur, lumpur berpasir
Liat 4 Lumpur
Liat 5 Lumpur
Liat 6
Lumpur berpasir Pasir, lumpur
7 Lumpur, pasir
Lumpur berpasir 8
Liat Lumpur, pasir, lumpur berpasir
9 Lumpur
Liat, lumpur berpasir 10 Lumpur
berpasir Lumpur
Sumber : Data primer 2007
4.3 Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove
Pemanfaatan mangrove di Desa Tiwoho telah berlangsung lama. Sekitar 12 ha dari 62.50 ha luas keseluruhan lahan mangrove di kawasan pesisir Desa
Tiwoho Kecamatan Wori, lebih dari 10 tahun yang lalu telah dikonversi menjadi tambak. Namun hingga kini hampir semua areal bekas tambak tidak pernah
difungsikan, selain itu proses regenerasi alami vegetasi mangrove tidak menampakkan hasil pada zona-zona tertentu. Hal tersebut jelas menghalangi
proses penghutanan kembali secara alami lahan mangrove bekas tambak yang merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Bunaken. Mackinnon dan
Mackinnon dalam Davies et al. 1995 mengemukakan bahwa setiap kehilangan ekosistem mangrove seluas 1 ha akan mengurangi kemampuan perairan sekitarnya
berproduksi sebesar 480 kghatahun. Proses regenerasi alami vegetasi mangrove pada umumnya membutuhkan
waktu sekitar 15-25 tahun Lewis 1982 dalam Djamaluddin 2004. Perbaikan lahan telah dilakukan beberapa kali dengan mengadakan regenerasi buatan
vegetasi mangrove melalui penanaman kembali, namun demikian belum mendapatkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Vegetasi mangrove yang
ditanam tidak semuanya berhasil hidup sehingga keadaan lahan mangrove bekas tambak di Desa Tiwoho tetap terbuka.
Kerusakan yang terjadi dilokasi ini disebabkan karena adanya konversi lahan yang dijadikan lahan tambak sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dan
juga ditunjang dengan adanya pemanfaatan mangrove sebagai bahan kebutuhan rumah tangga bagi masyarakat sekitar lahan bekas tambak ini. Kondisi ini akan
semakin parah lagi jika penanganan dan pengelolaan rehabilitasi yang dilaksanakan tidak memperhatikan aspek daya dukung lahan serta kondisi lahan
yang semakin mengalami perubahan akibat dari proses konversi lahan yang telah dilaksanakan selama ini.
Selain itu, salah satu penyebab terjadinya peningkatan kerusakan pada ekosistem mangrove adalah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap
pelestarian dan pemanfaatan ekosistem mangrove bagi keberlangsungan sumberdaya alam, sehingga eksploitasi terhadap ekosistem ini menjadi semakin
meningkat dan tak terkendali. Hal ini juga ditunjang dengan penegakan huum yang masih sangat minim, sehingga pelanggaran-pelanggaran yang terjadi tidak
memperoleh sanksi hukum dan efek jera terhadap pelanggarnya. Sebaran kerusakan ekosistem mangrove Desa Tiwoho dikelompokkan
menjadi 3 tiga kriteria yaitu kerusakan rendah, kerusakan sedang dan kerusakan tinggi. Untuk kawasan yang termasuk dalam tingkat kerusakan yang tinggi yaitu
dominan terdapat pada seluruh lahan bekas tambak serta lahan terbuka sebelah Barat dan sebelah Timur juga pada beberapa bagian lahan lainnya. Kerapatan
mangrove yang sangat jarang bahkan adanya lahan terbuka menyebabkan kawasan ini terkriteria rusak dan hal ini mengindikasikan bahwa di kawasan ini
terjadi pemanfaatan mangrove yang cukup tinggi. Tingkat kerusakan sedang terdapat pada sebagian petakan lahan bekas tambak khususnya pada petakan
tambak 1,2,3,7,8,9,10 serta bagian lahan yang terdapat pada kawasan ekosistem mangrove sebelah Timur. Sedangkan untuk tingkat kerusakan rendah tersebar
pada ekosistem mangrove yang masih alami Gambar 9.
Gambar 9 Peta sebaran kerusakan ekosistem mangrove 4.4 Pendekatan Ekologi untuk Strategi Rehabilitasi Mangrove
Kriteria penetapan suatu kawasan dapat dilakukan rehabilitasi tentu tidak lepas dari unsur kepentingan perlindungan kawasan pantai sebagai lapis pertama
peralihan antara laut dan daratan. Dengan mengamankan pantai secara tidak langsung akan dapat melindungi kawasan daratan. Kriteria lain adalah besarnya
tingkat kerusakan suatu kawasan. Pada umumnya kawasan yang mengalami kerusakan cukup luas tidak mungkin dilakukan sekedar perlindungan. Jalan
terbaik adalah melakukan rehabilitasi. Dengan upaya ini secara tidak langsung akan memberi waktu kawasan yang tersisa untuk memulihkan diri.
Berdasarkan tingkat kerusakan mangrove ditentukanlah suatu pola ruang ekologi untuk rehabilitasi di ekosistem mangrove Desa Tiwoho. Pola ruang
ekologi ini digolongkan menjadi tiga kriteria yaitu pola ruang ekologi untuk rehabilitasi I, II dan III Gambar 10.
Gambar 10 Pola ruang ekologi untuk rehabilitasi ekosistem mangrove Pola Ruang Ekologi untuk Rehabilitasi I
Pola ruang ekologi untuk rehabilitasi I merupakan suatu pola rehabilitasi yang ditentukan berdasarkan tingkat kerusakan tinggi dengan kerapatan mangrove
yang rendah serta salinitas. Bagian lahan yang termasuk dalam pola ekologi untuk rehabilitasi I yaitu lahan terbuka sebelah Barat dan sebelah Timur, petakan bekas
lahan tambak 4,5,6 serta sebagian dari petakan bekas lahan tambak 1,2,3,7,8,9 dan 10. Kawasan ini merupakan prioritas utama untuk pelaksanaan kegiatan
rehabilitasi karena hampir seluruh bagian lahan tersebut tidak ditumbuhi mangrove. Selain itu, pada saat pasang air laut tidak mencapai bagian belakang
lahan yaitu pada lahan terbuka sebelah Barat sehingga bagian lahan ini hanya mendapatkan pemasukan air laut pada saat pasang tertinggi saat purnama saja dan
hanya mendapat masukan air tawar. Rehabilitasi dilakukan pada kawasan yang mengalami kerusakan dengan
memperhatikan faktor-faktor lingkungannya. Keadaan substrat serta morfologi lahan perlu dikaji sebelum rehabilitasi dilakukan. Perbaikan kondisi fisik lahan
serta penataan sistem saluran air juga adalah tahap awal yang harus dilakukan sebelum rehabilitasi tersebut dilaksanakan. Pada kawasan yang termasuk dalam
pola ruang ekologi untuk rehabilitasi I ini mendapat perlakuan yang lebih khusus karena kondisi fisik lahannya yang rusak.
Untuk persiapan rehabilitasi perlu dipersiapkan juga bibit-bibit mangrove yang sesuai dengan lingkungan mangrove tersebut. Kesesuaian dengan tipe
substrat, suhu dan salinitas serta tingkat perendaman air pasang surut sangat diperlukan dalam pemilihan bibit-mangrove tersebut. Pada kawasan yang
termasuk dalam pola ruang ekologi untuk rehabilitasi I membutuhkan bibit mangrove yang lebih banyak dibandingkan dengan kawasan yang termasuk dalam
pola ruang ekologi untuk rehabilitasi II dan III karena kawasan pola ruang ekologi untuk rehabilitasi I ini cukup luas dan hampir seluruh bagian lahan tidak
ditumbuhi mangrove. Petakan tambak 1,2,3,4,5,8 dan 9 yang bersubstrat liat, berlumpur dan tanah
yang agak keras sangat cocok ditanami jenis Bruguiera gymnorrhiza yang berasosiasi dengan Ceriops tagal. Pada petakan 9 juga hanya digenangi pada saat
pasang purnama dan masukan air tawar pada saat hujan. Pada petakan 4 dan 5 yang bersubstrat lumpur dan lumpur berpasir cocok untuk ditanami mangrove
jenis Rhizophora stylosa dan Bruguiera gymnorrhiza. Pada petakan 6 dan 7 yang bersubstrat lumpur, pasir dan lumpur berpasir,
sangat sesuai ditanami jenis mangrove Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata
dan Rhizophora apiculata. Sedangkan untuk petakan 1 yang merupakan daerah yang lebih dulu tergenang pada saat pasang, bersubstrat lumpur
berpasir sangat cocok ditanami jenis Rhizophora stylosa dan Rhizophora apiculata.
Demikian halnya dengan petakan tambak 2 hingga 5, bisa ditanami jenis mangrove Rhizophora spp yang berasosiasi dengan jenis mangrove lainnya.
Pola Ruang Ekologi untuk Rehabilitasi II
Untuk pola ruang ekologi untuk rehabilitasi II ini termasuk dalam kategori tingkat kerapatan dan kerusakan sedang. Bagian lahan yang tergolong dalam pola
ruang ekologi untuk rehabilitasi II ini masih ditumbuhi mangrove tetapi dalam jumlah yang tidak banyak. Petakan bekas lahan tambak 1,2,3,7,8,9, dan 10 adalah
bagian lahan yang termasuk dalam pola ruang ekologi II. Pada bagian lahan ini bersubstrat liat, lumpur, lumpur berpasir dan berpasir. Jenis tanaman mangrove
yang bisa ditanam di bagian lahan ini adalah Rhizophora spp. dan Sonneratia spp.
Dalam hal ini jumlah bibit yang ditanam hanya dalam jumlah yang sedikit dan bisa disesuaikan dengan jenis mangrove yang sudah ada di bagian lahan tersebut.
Petakan tambak 9 dan 10 yang bersubstrat liat, berlumpur dan tanah yang agak keras sangat cocok ditanami jenis Bruguiera gymnorrhiza yang berasosiasi
dengan Ceriops tagal. Di daerah petakan ini juga hanya digenangi pada saat pasang purnama dan masukan air tawar pada saat hujan. Pada petakan 7 dan 8
yang bersubstrat lumpur, pasir dan lumpur berpasir, sangat sesuai ditanami jenis mangrove Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata.
Sedangkan untuk petakan 1 dan 6 yang merupakan daerah yang lebih dulu tergenang pada saat pasang, bersubstrat lumpur berpasir sangat cocok ditanami
jenis Rhizophora stylosa dan Rhizophora apiculata. Demikian halnya dengan petakan tambak 2 hingga 5, bisa ditanami jenis mangrove Rhizophora spp yang
berasosiasi dengan jenis mangrove lainnya.
Pola Ruang Ekologi untuk Rehabilitasi III
Pada pola yang ketiga ini mencakup bagian lahan mangrove yang masih ditumbuhi jenis mangrove alami dengan kerapatan yang tinggi dan tingkat
kerusakan yang rendah. Untuk kawasan yang termasuk dalam pola ruang ekologi III ini dilakukan pengembangan perlindungan untuk menjaga kelestarian serta
keanekaragaman jenis mangrove yang ada di kawasan ini. Kawasan bervegetasi mangrove ini merupakan habitat bagi berbagai biota dan merupakan sabuk hijau
yang berfungsi untuk melindungi pantai. 4.5 Hubungan antara Partisipasi dengan Karakteristik Masyarakat
Data statistik tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Desa Tiwoho mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tahun 2000 penduduk Desa
Tiwoho tercatat sebanyak 1.031 jiwa sedangkan pada tahun 2006 mengalami pertambahan penduduk sebanyak 46 jiwa sehingga jumlahnya tercatat sebanyak
1.077 jiwa yang tersebar pada 293 kepala keluarga. Desa Tiwoho terdiri atas 6 dusun. Dusun 1 terdiri dari 51 KK dan kemudian berturut-turut sampai dusun 6
yaitu 48 KK, 48 KK, 42 KK, 51 KK dan 53 KK. Aktivitas penduduk Desa Tiwoho lebih berorientasi pada sumberdaya yang
ada di laut juga di darat perkebunan dan pertanian sehingga sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Selain itu, ada
juga yang bekerja sebagai pegawai, tukang, wiraswasta dan sopir Lampiran 3a. Ditinjau dari segi pendidikan, masyarakat Desa Tiwoho umumnya memiliki
tingkat pendidikan yang tergolong menengah, karena dari 1.077 jiwa, penduduk yang sementara mengikuti dan telah menamatkan studi di Perguruan Tinggi
sebanyak 20 orang Lampiran 3b. Tingkat partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi ekosistem mangrove yang
terdapat di Desa Tiwoho dapat dilihat dari faktor yang dianggap paling berpengaruh besar terhadap tingkat partisipasi yakni karakteristik masyarakat itu
sendiri. Karakteristik masyarakat tersebut yang diamati adalah umur, pekerjaan, lama tinggal, pendidikan, dan penghasilan. Analisis yang digunakan untuk melihat
hubungan karakteristik masyarakat dengan tingkat partisipasinya dalam
rehabilitasi ekosistem mangrove yang ada di sekitar kawasan tersebut adalah Analisis Komponen Utama atau Principal Component Analysis PCA yang
dikerjakan dengan menggunakan software Xlstat. Dari hasil analisis komponen utama diketahui bahwa kontribusi setiap
variabel pada partisipasi masyarakat menunjukkan bahwa ragam pada sumbu pertama hingga keempat mencapai 90.40. Komponen pertama hingga keempat
dicirikan dengan nilai akar ciri 2.50, 1.53, 0.93 dan 0.47 yang masing-masing menjelaskan 41.67, 25.42, 15.51 dan 7.79 nilai keragaman dari gugus data
Lampiran 5. Faktor pendidikan, partisipasi, dan penghasilan merupakan faktor-faktor
yang memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama pertama. Faktor pekerjaan dan penghasilan, memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama
kedua. Faktor partisipasi, umur dan pekerjaan memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama ketiga. Sedangkan faktor penghasilan dan partisipasi
memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama keempat Lampiran 5. Hal ini menunjukkan kedekatan variabel-variabel tersebut terhadap masing-masing
sumbu. Hasil analisis antara faktor-faktor karakteristik masyarakat dengan tingkat
partisipasi dalam rehabilitasi ekosistem mangrove umumnya terlihat berkorelasi positif. Variabel umur dan lama tinggal mempunyai korelasi atau hubungan
negatif. Faktor-faktor karakteristik yang mempunyai nilai korelasi atau hubungan
positif antar variabel adalah variabel pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan. Korelasi atau hubungan positif ini artinya bahwa untuk setiap peningkatan nilai
suatu variabel, maka akan diikuti oleh peningkatan nilai variabel yang berkorelasi. Demikian pula sebaliknya untuk korelasi negatif.
Hubungan atau korelasi tingkat partisipasi responden dengan faktor-faktor karakteristik individu yang mempunyai nilai paling besar adalah hubungan antara
variabel pendidikan. Selanjutnya variabel yang memiliki nilai korelasi dengan tingkat partisipasi cukup adalah variabel pekerjaan dan variabel penghasilan.
Sedangkan variabel lama tinggal dan umur tidak mempunyai nilai yang terlalu besar.
Tingkat korelasi atau hubungan yang besar antara partisipasi dengan variabel pendidikan dalam rehabilitasi ekosistem mangrove di Desa Tiwoho ini
dapat dijelaskan bahwa tingkat pendidikan yang semakin tinggi berperan sangat kuat dalam menentukan tinggi rendahnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan
rehabilitasi mangrove. Tingkat pendidikan yang cenderung lebih tinggi pada masyarakat Desa Tiwoho mempunyai hubungan yang erat dengan ekosistem
mangrove dalam meningkatkan pendapatannya. Hal ini terlihat makin dewasa pola pikir mereka dalam menanggapi dan menyikapi kegiatan pelestarian
mangrove seperti kegiatan penyuluhan dan pelatihan baik yang diberikan pemerintah maupun kegiatan oleh LSM tentang manfaat dari keberadaan
ekosistem mangrove bagi mereka dan generasi selanjutnya. Selain itu yang mempunyai korelasi atau hubungan signifikan dengan
tingkat partisipasi masyarakat adalah pekerjaan dan penghasilan. Umumnya mereka yang mempunyai pekerjaan tetap, penghasilan cukup semakin jelas
tingkat partisipasinya. Hal ini dikarenakan mereka lebih paham akan manfaat yang akan diperoleh dari pelestarian sumberdaya mangrove tersebut. Sedangkan
faktor umur dan lama tinggal yang mempunyai nilai korelasi negatif terhadap tingkat partisipasi tersebut menandakan bahwa sebaran umur dan lama tinggal
tidak berperan menentukan tinggi rendahnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi sumberdaya mangrove.
Korelasi antara variabel dengan sumbu utama dapat dilihat pada lingkaran korelasi, yakni dengan koordinat variabel atau kualitas representasi dari variabel
pada sumbu utama yang ditunjukkan dengan dekat tidaknya variabel tersebut pada sumbu. Semakin dekat variabel tersebut dengan sumbu, semakin besar korelasinya
positif atau negatif. Gambaran hubungan variabel karakteristik masyarakat dengan tingkat partisipasi yang ada di Desa Tiwoho dapat dilihat pada Gambar 11.
Sedangkan distribusi individu dan variabel pada sumbu utama dapat dilihat pada Gambar 12.
Variables axes F1 and F2: 67.10
Partisipasi Penghasilan
Pekerjaan
Pendidikan Lama Tingga
l Umur
-1 -0,75
-0,5 -0,25
0,25 0,5
0,75 1
-1 -0,75
-0,5 -0,25
0,25 0,5
0,75 1
F1 41.67 F
2 25.
42
Gambar 11 Hubungan variabel karakteristik masyarakat dengan partisipasi pada sumbu utama F1dan F2.
Biplot axes F1 and F2: 67.10
34 33
32
31 30
29
28 27
26
25 24
23 22
21
20 19
18 17
16 15
14 13
12 11
10 9
8
7 6
5 4
3 2
1
Partisipasi Penghasilan
Pekerjaan
Pendidikan Lam a Tinggal
Umur
-4 -2
2 4
-8 -6
-4 -2
2 4
6 8
F1 41.67 F
2 25
.42
Gambar 12 Distribusi individu dan variabel karakteristik masyarakat pada F1 dan F2.
Tampak pada Gambar 11 dan 12, individu-individu yang mempunyai partisipasi tinggi cenderung mengelompok pada sumbu utama pertama positif.
Indvidu-individu yang mempunyai partisipasi sedang cenderung menyebar pada kedua sumbu utama positif dan negatif, sedangkan individu-individu yang
mempunyai partisipasi rendah cenderung menyebar pada sumbu utama pertama negatif. Dari hasil interpretasi sebaran individu tersebut di atas terhadap masing-
masing sumbu, dapat dijelaskan bahwa masyarakat yang mempunyai partisipasi tinggi cenderung memiliki pendidikan, penghasilan, dan pekerjaan yang lebih
tinggi dan lebih baik daripada masyarakat yang memiliki partisipasi rendah terhadap rehabilitasi mangrove di Desa Tiwoho.
Umumnya terlihat, tingkat pemahaman serta partisipasi masyarakat terhadap kegiatan rehabilitasi mangrove cukup baik dan merata di semua kalangan
masyarakat Desa Tiwoho. Individu-individu yang mempunyai tingkat partisipasi tinggi ini umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani pemilik, nelayan
juga pegawai swasta serta memiliki tingkat pendidikan SD hingga perguruan tinggi dengan penghasilan antara Rp.500.000 hingga di atas Rp.2.000.000.
Hampir sama halnya dengan individu-individu yang mempunyai partisipasi tinggi,
individu-individu yang mempunyai tingkat partisipasi rendah ini memiliki mata pencaharian selain sebagai nelayan juga sebagai petani, pedagang, buruh bahkan
ada juga PNS. Tingkat pendidikan mereka pada umumnya sekolah dasar SD hingga SLTA dengan penghasilan berkisar antara Rp.500.000 hingga di bawah
Rp.2.000.000. Sedangkan individu-individu yang mempunyai tingkat partisipasi rendah memiliki pekerjaan yang secara langsung berhubungan dengan ekosistem
mangrove yaitu petani dan pedagang. 4.6 Arahan Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove
Formulasi strategi rehabilitasi ekosistem mangrove memerlukan suatu proses analisis secara multidimensi dengan mengakomodir semua aspek yang
berkaitan dengan rehabilitasi ekosistem secara strategis. Arahan rehabilitasi ekosistem mangrove disusun didasarkan atau mempertimbangkan dimensi
pembangunan berkelanjutan ekologi, ekonomi sosial budaya dan kelembagaan. Input data mengenai aspek ekologis merupakan hasil pengukuran dan analisis
yang dilakukan langsung pada ekosistem mangrove selama penelitian, input data sosial dan ekonomi merupakan hasil wawancara dengan para responden yang
telah ditentukan sebelumnya dan input data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi terkait.
Untuk mengarahkan strategi rehabilitasi ekosistem mangrove di kawasan tersebut berdasarkan input ekologis, sosial budaya dan ekonomi, maka dilakukan
analisis dengan menggunakan analisis SWOT Strength, Weakness, Opportunity, Threat
. Analisis SWOT adalah suatu analisis alternatif yang digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam merumuskan strategi
rehabilitasi. Analisis SWOT merupakan pemilihan hubungan atau interaksi antar unsur-unsur internal yaitu kekuatan dan kelemahan terhadap unsur-unsur eksternal
yaitu peluang dan ancaman. Berdasarkan hasil identifikasi faktor internal dan eksternal didapatkan
unsur-unsur SWOT Tabel 8.
Tabel 8 Komponen dan faktor-faktor SWOT rehabilitasi ekosistem mangrove Desa Tiwoho
Kekuatan Strenght Kelemahan Weakness
1. Potensi ekosistem mangrove
2. Pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan
pelestarian mangrove semakin membaik 3.
Partisipasi masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove semakin baik
4. Adanya lembaga pengelola yang
mendukung pelestarian ekosistem mangrove 5.
Adanya peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan ekosistem mangrove
1. Pembukaan lahan tambak tanpa adanya
tindak lanjut perbaikan lahan 2.
Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat
3. Lemahnya pemahaman peraturan
perundang-undangan dan penegakan hukum
Peluang Opportunity Ancaman Threat
1. Adanya sistem saluran air
2. Penataan tanah reklamasi lahan
3. Adanya kesiapan pemerintah daerah dan
LSM dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi mangrove
4. Adanya program dan dukungan masyarakat,
pemerintah dan LSM terhadap kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove
1. Kegagalan regenerasi mangrove secara
alami 2.
Penebangan liar dari masyarakat luar Desa Tiwoho
3. Pelibatan masyarakat harus lebih
intensif dalam upaya memperluas tingkat kesadaran dan pemahaman di
semua lapisan masyarakat
Sumber: Hasil olahan data primer 2007
1. Kekuatan Strength
S1 : Potensi ekosistem mangrove
Ekosistem mangrove yang ada di Desa Tiwoho memiliki komposisi yang terukur seperti jumlah jenis, distribusi jenis, serta struktur komunitas mangrove
yang meliputi zonasi vegetasi mangrove, variabel struktur komunitas mangrove, pengukuran diameter mangrove, jumlah pohon dan anakan, serta kerapatan
mangrove. Ekosistem mangrove ini terdapat hampir sepanjang pantai Desa Tiwoho dengan luas areal ekosistem mangrove sekitar 62.50 ha. Hamparan ini
merupakan benteng perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang berada di belakangnya dan potensi yang ada dapat memberikan manfaat yang besar bagi
penduduk setempat. Selain itu, potensi ekosistem mangrove di Desa Tiwoho juga memiliki potensi pengembangan bagi berbagai kegiatan yang berkaitan dengan
eksistensi ekosistem mangrove ini. S2
: Pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan pelestarian mangrove semakin membaik
Tingkat pemahaman masyarakat terhadap fungsi mangrove dan pentingnya pelestarian mangrove yang semakin baik merupakan unsur kekuatan yang
diperlukan dalam menentukan arah kebijakan pelestarian mangrove. Dengan
semakin baiknya tingkat pemahaman, maka semakin mudah bagi masyarakat untuk menerima dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove di daerah ini khususnya dalam kegiatan rehabilitasi.
S3 : Partisipasi masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove semakin baik
Keikutsertaan masyarakat secara aktif dalam pelestarian ekosistem mangrove, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, LSM ataupun atas kesadaran
sendiri merupakan modal awal yang baik dalam kegiatan rehabilitasi untuk pengelolaan dan pemanfataan berkelanjutan nantinya. Diharapkan dengan
partisipasi yang aktif ini akan meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya keberadaan ekosistem mangrove bagi pemenuhan
kebutuhan hidup mereka khususnya masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem ini.
S4 : Adanya lembaga pengelola yang mendukung pelestarian ekosistem mangrove
Ekosistem mangrove di Desa Tiwoho dikelola oleh LSM KELOLA. Sebagai pengelola secara langsung adalah masyarakat dibawah pengawasan
pemerintah daerah. Pemanfaatan ekosistem mangrove tanpa ada pengelolaan yang baik mengakibatkan terjadinya erosiabrasi. Sekarang dengan adanya LSM
KELOLA yang menjadi inspirator dan membuat suatu sistem pengelolaan ekosistem mangrove bersama-sama dengan masyarakat desa, sehingga masyarakat
merasakan memiliki sumberdaya ekosistem mangrove dan harus bertanggung jawab terhadap kelestariannya.
S5 : Adanya peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
ekosistem mangrove
Salah satu perangkat yang mengatur pengelolaan ekosistem mangrove sehingga manfaatnya dapat lestari dari segi fisik, sosial ekonomi dan ekologi yaitu
adanya peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan ekosistem mangrove. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan
ekosistem mangrove antara lain : 1.
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
2. UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
3. UU No. 5 Tahun 1994
Pengesahan Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati
4. UU No. 23 Tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup
5. PP No. 28 Tahun 1985 Perlindungan Hutan
6. PP No. 18 Tahun 1994
Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata
Alam 7.
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah 8.
Keppres No. 32 Tahun 1990 Pengelolaan Kawasan Lindung Dengan peraturan perundang-undangan ini, memberikan pijakan hukum
yang kuat dalam kegiatan pengelolaaan dan pemanfaatan sumberdaya ekosistem mangrove. Supaya pelaksanaan peraturan ini berjalan dengan baik maka perlu
disosialisasikan pada masyarakat sehingga dapat dipahami dan timbul kesadaran tentang arti pentingnya keberdayaan sumberdaya ekosistem mangrove bagi
kehidupan. 2. Kelemahan
Weakness
W1 : Kegagalan regenerasi mangrove secara alami Kegagalan regenerasi mangrove secara alami merupakan ancaman
yang paling utama dalam rehabilitasi ekosistem mangrove. Kegagalan ini diakibatkan oleh perubahan fisik lahan mangrove termasuk adanya
pengaruh-pengaruh faktor hidrooseanografi yang ada di kawasan tersebut. W2 : Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat
Sebagian masyarakat yang ada di lokasi penelitian hanya memiliki tingkat pendidikan sekolah dasar SD. Hal ini menjadi kendala bagi masyarakat dalam
memahami pentingnya ekosistem mangrove bagi kehidupan. Sehingga dalam memanfaatkan potensi ekosistem mangrove tidak memperhatikan pengelolaan
yang berkelanjutan yang berakibat pada kerusakan mangrove.
W3 : Lemahnya pemahaman peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum
Pengelolaan ekosistem mangrove dalam rangka mencapai kelestarian pembangunan, harus berdasarkan peraturan sehingga dapat menghindarkan
akibat-akibat negatif yang timbul dari kesalahan pengelolaannya. Kurangnya
pemahaman masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan, memicu terjadinya pemanfaatan yang tidak terkontrol sehingga menyebabkan rusaknya
ekosistem mangrove. 3. Peluang
Opportunity
O1 : Adanya sistem saluran air Perubahan fisik lahan mangrove berpengaruh pada aliran masuk
keluarnya air laut dan air tawar. Perubahan sistem hidrologi akibat adanya konstruksi tambak merupakan salah faktor penghalang penghutanan
kembali ekosistem mangrove secara alami. Pengaturan pola sirkulasi air atau sistem hidrologi lahan mangrove merupakan langkah awal yang penting
dan menjadi peluang utama dalam menunjang proses regenerasi mangrove secara alami.
O2 : Penataan tanah reklamasi lahan Reklamasi lahan dilakukan untuk mengembalikan ketinggian bekas
lahan tambak dengan ketinggian yang sama dengan bagian lahan mangrove yang vegetasinya masih alami. Pemanfaatan ekosistem mangrove yang tidak
disertai tindak lanjut perbaikan fisik termasuk penataan tanah atau reklamasi lahan, menimbulkan kerusakan ekosistem mangrove sehingga
perlu diadakan peremajaan kembali. Penanaman mangrove sudah pernah dilakukan oleh pemerintah, LSM bahkan masyarakat setempat namun
belum maksimal dan masih mengalami kegagalan. O3 : Adanya kesiapan pemerintah daerah dan LSM dalam pelaksanaan
program-program pelestarian rehabilitasi mangrove
Kesiapan pemerintah daerah dan LSM dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove sangat diperlukan mengingat pemerintah sebagai
pengambil kebijakan serta pelaksanaan program, dan LSM sebagai fasilitator dan pendamping masyarakat lokal dalam kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove
tersebut.
O4 : Adanya program dan dukungan masyarakat, pemerintah dan LSM terhadap pengelolaan ekosistem mangrove
Adanya dukungan masyarakat, pemerintah dan LSM merupakan salah satu peluang dalam kegiatan rehabilitasi mangrove di Desa Tiwoho. Kesiapan
pemerintah daerah dan LSM dalam pelaksanaan kegiatan ini sangatlah tidak
mungkin dapat terlaksana jika tidak adanya dukungan dari masyarakat setempat terhadap kegiatan yang akan dijalankan.
Secara umum, rehabilitasi ekosistem mangrove di Desa Tiwoho mendapat perhatian dan dukungan yang cukup baik dari masyarakat, pemerintah dan juga
LSM. Hal ini dapat dilihat dari program-program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah maupun LSM dengan mengikutsertakan masyarakat berjalan cukup
baik meskipun sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang maksimal. 4. Ancaman
Threat Beberapa ancaman yang ditemukan dalam pelaksanaan pengembangan
partisipasi masyarakat dan perlu dicari pemecahannya adalah :
T1 : Pembukaan lahan tambak tanpa adanya tindak lanjut perbaikan lahan
Adanya bekas lahan tambak yang tidak disertai tindak lanjut perbaikan atau rehabilitasi menyebabkan sumberdaya mangrove mengalami penurunan. Hal ini
juga ditunjang dengan adanya kegiatan pemanfaatan sumberdaya mangrove yang tidak memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya alam, sehingga eksploitasi
dan pemanfaatan mangrove tersebut mempercepat proses terjadinya penurunan sumberdaya mangrove itu sendiri.
T2 : Penebangan liar dari masyarakat baik dalam dan luar Desa Tiwoho
Pengambilan mangrove secara tebang liar dilakukan oleh penduduk luar sekitar Desa Tiwoho dan ada juga dari penduduk desa. Penebangan ini
dimanfaatkan sebagai kayu bakar dan juga bahan bangunan atau untuk bahan pembuatan perahu. Kegiatan ini sudah cukup lama berlangsung dan bila dibiarkan
terus akan menyebabkan rusaknya ekosistem mangrove. T3 : Pelibatan masyarakat harus lebih intensif dalam upaya memperluas tingkat
kesadaran dan pemahaman di semua lapisan masyarakat Dewasa ini, masyarakat adalah sebagai ujung tombak dalam pembangunan
suatu desa. Dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi mangrove hendaknya pemerintah melibatkan unsur masyarakat secara intensif untuk perluasan tingkat
kesadaran dan pemahaman tentang ekosistem mangrove di semua lapisan masyarakat.
Dari semua komponen faktor SWOT yang didapatkan, baik itu faktor internal maupun eksternal dilakukan pembobotan dan skoring untuk mengetahui
tingkat kepentingan dari faktor-faktor tersebut dalam arahan alternatif kebijakan rehabilitasi ekosistem mangrove Desa Tiwoho.
Tabel 9 Hasil analisis faktor-faktor internal Internal Strategic Factors Analysis Summary - IFAS
Komponen Faktor Internal Kode
Kekuatan Strength Bobot Rating Skor
S1 Potensi ekosistem mangrove
0.2 +4 0.8 S2
Pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan pelestarian mangrove semakin membaik
0.15 +3 0.45 S3
Partisipasi masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove semakin baik
0.15 +3 0.45 S4
Adanya lembaga pengelola yang mendukung rehabilitasi ekosistem mangrove
0.1 +2 0.2 S5
Adanya peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan ekosistem mangrove
0.05 +2 0.1 Kelemahan Weakness
W1 Kegagalan regenerasi mangrove secara alami
0.2 -4 -0.8 W2
Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat 0.1 -3 -0.3
W3 Lemahnya pemahaman peraturan perundang-undangan
dan penegakan hukum 0.05 -2 -0.1
TOTAL 1
0.8 Sumber: Hasil olahan data primer 2007
Tabel 10 Hasil analisis faktor-faktor eksternal External Strategic Factors
Analysis Summary - EFAS
Komponen Faktor Eksternal Kode
Peluang Opportunity Bobot Rating Skor
O1 Adanya sistem saluran air
0.2 +4 0.8 O2
Penataan tanah reklamasi lahan 0.2 +4 0.8
O3 Adanya kesiapan pemerintah daerah dan LSM dalam
pelaksanaan kegiatan rehabilitasi mangrove 0.15 +3 0.45
O4 Adanya program dan dukungan masyarakat, pemerintah
dan LSM terhadap rehabilitasi ekosistem mangrove 0.1 +2 0.2
Ancaman Threat
T1
Pembukaan lahan tambak tanpa adanya tindak lanjut perbaikan lahan
0.15 -4 -0.45 T2
Penebangan liar dari masyarakat baik dalam dan luar Desa Tiwoho
0.1 -3 -0.3 T3
Pelibatan masyarakat harus lebih intensif dalam upaya memperluas tingkat kesadaran dan pemahaman di
semua lapisan masyarakat 0.1 -2 -0.2
TOTAL 1 1.3
Sumber: Hasil olahan data primer 2007
Berdasarkan hasil analisis SWOT, untuk semua faktor yaitu IFAS internal strategic factors analysis summary
dan EFAS external strategic factors analysis summary
pada Tabel 9 dan 10, menunjukkan bahwa kondisi mangrove berada
pada kuadran I dengan nilai 0.8 dan 1.3 yang artinya ekosistem mangrove di Desa Tiwoho dapat dikelola baik ditinjau dari faktor kekuatan dan potensi wilayah
untuk memanfaatkan peluang yang ada. Hasil pembobotan matriks SWOT mengindikasikan bahwa dalam
rehabilitasi ekosistem mangrove di Desa Tiwoho mengacu pada suatu strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang yang ada seoptimal
mungkin, sehingga para stakeholders dapat mengelola dan memanfaatkan mangrove sesuai dengan peruntukkan secara lestari dan berkelanjutan. Kondisi
rehabilitasi ekosistem mangrove Desa Tiwoho berada pada kuadran pertama Gambar 13, yaitu posisi strategi rehabilitasi ekosistem mangrove mendukung
strategi agresif. Posisi tersebut mengindikasikan bahwa kegiatan rehabilitasi harus menghindari unsur-unsur ancaman. Peluang harus segera dimanfaatkan karena ada
kekurangan yang dapat menghambat usaha kegiatan rehabilitasi.
Gambar 13 Hasil analisis matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal dan faktor eksternal
Strategi rehabilitasi yang dihasilkan dari analisis keterkaitan faktor internal IFAS dan faktor eksternal EFAS dikelompokkan menjadi 4 strategi, yaitu
penggunaan seluruh unsur-unsur kekuatan dalam pelaksanaan strategi untuk memanfaatkan peluang yang ada SO, penggunaan unsur-unsur kekuatan yang
ada untuk menghindari ancaman yang datang ST, pengurangan kelemahan dari pelaksanaan pengelolaan dengan memanfaatkan peluang yang ada WO, dan
Peluang
Ancaman Kekuatan
Kelemahan
III. mendukung strategi trun-round I. Posisi strategi rehabilitasi
ekosistem mangrove 0.8 – 1.3 mendukung strategi agresif
IV. mendukung strategi defensif II. mendukung strategi diversifikasi
pengurangan kelemahan yang ada untuk meminimalkan ancaman yang akan datang WT.
Hasil analisis matriks keterkaitan unsur SWOT untuk strategi rehabilitasi menunjukkan adanya 7 tujuh alternatif strategi dalam rehabilitasi ekosistem
mangrove Desa Tiwoho yang didasarkan pada faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman Tabel 11.
Tabel 11 Hasil analisis matriks keterkaitan unsur SWOT untuk strategi
rehabilitasi ekosistem mangrove Desa Tiwoho
Kekuatan S Kelemahan W
Peluang O 1
Penataan sistem saluran air tawar dan air laut
2
Mengembalikan fungsi mangrove sesuai dengan pola ruang ekologi
rehabilitasi 1
Peningkatan partisipasi masyarakat dan stakeholder lainnya dalam
kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove
Ancaman T 1 Pengadaan sarana budidaya
mangrove pembibitan dan penyemaian yang dikelola langsung
oleh masyarakat
2
Pengembangan sistem tambak berbasis konservasi silvofisheri
yang baik 1
Peningkatan kualitas SDM masyarakat sekitar ekosistem
mangrove 2
Penegakan hukum dan penguatan kelembagaan
Sumber: Hasil olahan data primer 2007 Arahan strategi rehabilitasi yang dihasilkan terdiri dari beberapa alternatif
kebijakan, dan untuk menentukan prioritas strategi yang harus digunakan, dilakukan penjumlahan skor dari keterkaitan unsur-unsur SWOT yang terdapat
dalam suatu alternatif strategi. Jumlah skor akan menentukan rangking prioritas alternatif strategi rehabilitasi ekosistem mangrove Desa Tiwoho sebagaimana
disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Prioritas strategi rehabilitasi ekosistem mangrove DesaTiwoho
No Strategi
Keterkaitan Faktor SWOT
Jumlah Skor
Rangking Aspek 1
Penataan sistem saluran air tawar dan air laut
S1, S2, S3, S4, O1, O2, O3,
O4 1.25 1 Ekologi
2
Mengembalikan fungsi mangrove sesuai dengan pola ruang ekologi
rehabilitasi S1, S2, S3, S4,
S5, O3, O4 0.9 2 Ekologi
3
Pengadaan sarana budidaya mangrove pembibitan dan penyemaian yang
dikelola langsung oleh masyarakat S1, S2, S3, S4,
T1, T3 0.85 3 Ekologi
4
Pengembangan sistem tambak berbasis konservasi silvofisheri
yang baik S1, S3, S4, S5,
T1, T2, T3 0.85 4 Ekologi
5
Peningkatan partisipasi masyarakat dan stakeholder lainnya dalam
kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove
W2, W3, O3, O4
0.4 6 Sosial Kelembagaan
6
Peningkatan kualitas SDM masyarakat sekitar ekosistem
mangrove W1, W2, T1,
T3 0.55 5 Sosial
7
Penegakan hukum dan penguatan kelembagaan
W3, T2, T3 0.25
7 Kelembagaan
Sumber: Hasil olahan data primer 2007
4.7 Rencana Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Desa Tiwoho