Integrasi Pasar Fisik Crude Palm Oil di Indonesia, Malaysia dan Pasar Berjangka di Rotterdam

(1)

1

INTEGRASI PASAR FISIK

CRUDE PALM OIL

DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA

DI ROTTERDAM

DIAN HAFIZAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

2

SURAT

PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :

INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2009

Dian Hafizah

H353070041


(3)

3

ABSTRACT

DIAN HAFIZAH. Integration of Crude Palm Oil s Spot Market in Indonesia, Malaysia and Forward Market in Rotterdam (DEDI BUDIMAN HAKIM as Chairman and RATNA WINANDI as Member of The Advisory Committee).

Currently, Rotterdam commodity market specifically for crude palm oil (CPO) is used for price reference when estimating its price movement. In contrast, despite the fact that Indonesia and Malaysia are mayor CPO exporters, CPO traders refers to spot market in determining their price. As a result, they face difficulties when price fluctuates sharply. Therefore, research on price or market integration for CPO will be useful to minimize the effect of price fluctuation. The objectives of research are: (1) to analyse price cointegration of CPO market, and (2) to formulate the policy implication of CPO price formation in Indonesia. Impulse response function and variance decomposition based on the vector error-correction model are analysed. The research showed that there is co-integration between three of market and Rotterdam as refferences. Indonesia act as price taker, this is because Indonesian goverment has no bargaining power to determine price of domestic market and international market.


(4)

4

RINGKASAN

DIAN HAFIZAH. Integrasi Pasar Fisik Crude Palm Oil di Indonesia, Malaysia dan Pasar Berjangka di Rotterdam. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM dan RATNA WINANDI.

Indonesia sebagai salah satu penghasil Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia seharusnya memiliki kemampuan untuk mengontrol pergerakan CPO baik dalam hal jumlah ataupun harganya. Kenyataannya seperti pada produk pertanian lain, Indonesia belum mampu mengatasi berflutuasinya harga CPO dari waktu ke waktu. Akibat fluktuasi harga baik di pasar dunia maupun lokal ini maka akan menimbulkan resiko yaitu bila dilaksanakan langsung dengan penyerahan fisik (spot) maka akan terdapat resiko kerusakan fisik dan resiko penurunan nilai. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya fluktuasi harga tersebut adalah dengan strategi pasar berjangka komoditi. Pasar berjangka ini memiliki manfaat sebagai lindung nilai (hedging) dan sebagai investasi. Praktek pemasaran pada pasar berjangka sudah banyak dilakukan terutama untuk produk-produk ekspor. Rotterdam yang merupakan pasar bagi CPO dunia sudah lazim menggunakan cara ini dalam proses transaksinya. Dari fakta yang ada maka timbul pertanyaan penelitian yaitu: bagaimana pergerakan harga di masing-masing pasar dan hubungan integrasi antar pasar dan bagaimana implikasinya terhadap kebijakan perdagangan CPO di Indonesia.

Adapun tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk menganalisis kointegrasi antar variabel harga di masing-masing pasar CPO dan merumuskan implikasi kebijakan perdagangan CPO di Indonesia. Tujuan penelitian akan dijawab dengan metode ekonometrika yang dilengkapi dengan analisa deskriptif. Kerangka teoritis disusun berdasarkan teori yang ada dan penelitian terdahulu yang terkait. Model ekonometrika adalah Vector Error Correction Model (VECM). Setelah terbentuk model dilanjutkan dengan aplikasi model yaitu Impulse

ResponseFunction dan Forecast Error Decompotition Variance.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka didapatkan hasil bahwa dalam tingkat level terdapat tiga variabel yang stasioner yaitu Malaysia, Rotterdam dan Nilai Tukar Indonesia sedangkan tiga variabel lainnya tidak stasioner sehingga perlu dilakukan uji stasioner pada tingkat first difference

dimana pada tingkat ini seluruh variabel sudah stasioner. Berdasarkan analisis kointegrasi maka didapatkan hasil terdapat satu kointegrasi artinya adalah terdapat hubungan atau keseimbangan dalam jangka penjang antarvariabel. Estimasi VECM dilakukan karena dalam jangka pendek terdapat ketidakseimbangan diantara variabel sehingga perlu dilakukan penyesuaian. Hasilnya adalah dalam jangka pendek Harga CPO Rotterdam dipengaruhi oleh Malaysia dan nilai tukarnya serta dirinya sendiri. Harga CPO Malaysia dipengaruhi oleh dirinya sendiri, nilai tukarnya, harga CPO Rotterdam dan Indonesia, nilai tukarnya dan harga minyak kedelai. Adapun Indonesia dalam jangka pendek dipengaruhi oleh harga CPO Rotterdam dan Malaysia serta nilai tukar Indonesia dan Malaysia.

Kesimpulan dari penelitian adalah: (1) terdapat hubungan kointegrasi antara pasar forward Rotterdam, pasar spot Indonesia dan Malaysia, (2) berdasarkan analisis impulse response dapat disimpulkan bahwa pasar forward


(5)

5

Rotterdam merupakan pasar referensi atau pasar acuan bagi pasar spot Indonesia dan pasar spot Malaysia, artinya perubahan yang terjadi pada pasar Rotterdam akan menyebabkan pembentukan harga di pasar spot Indonesia dan Malaysia, (3) pembentukan harga di Indonesia selain dipengaruhi oleh pasar Rotterdam juga dipengaruhi oleh pasar spot Malaysia dengan sifat hubungan satu arah. Artinya Malaysia berpengaruh terhadap pembentukan harga di Indonesia namun Indonesia tidak berpengaruh dalam pembentukan harga di Malaysia, dan (4) untuk memperbaiki posisi tawar Indonesia maka salah satu strategi yang dapat dilakukan membangun bursa berjangka di Indonesia dan mengembangkan industri hilir dari minyak kelapa sawit. Saran yang direkomendasikan pada penelitian ini, untuk pelaksanaan kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah perlu adanya konsolidasi produksi agar lebih mengefektifkan bursa berjangka dan meminimalkan biaya di bursa. Selain itu konsolidasi produksi juga penting untuk menjamin ketersediaan produk CPO untuk diperdagangkan di lantai bursa.


(6)

6

@ Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


(7)

7

INTEGRASI PASAR FISIK

CRUDE PALM OIL

DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA

DI ROTTERDAM

DIAN HAFIZAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

8

Judul Tesis : Integrasi Pasar Fisik Crude Palm Oil di Indonesia, Malaysia dan Pasar Berjangka di Rotterdam Nama Mahasiswa : Dian Hafizah

Nomor Pokok : H353070041

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Dr.Ir.Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Dr.Ir.Ratna Winandi, M.S.

Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof.Dr.Ir.Bonar M. Sinaga, M.A. Prof.Dr.Ir.Khairil A.Notodiputro, M.S.


(9)

9


(10)

10

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya. Shalawat dan salam senantiasa terlimpah pada Rasulullah Muhammad SAW.

Tesis dengan judul Integrasi Pasar Fisik Crude Palm Oil di Indonesia, Malaysia dan Pasar Berjangka di Rotterdam , merupakan salah satu prasyarat untuk menyelesaikan studi pascasarjana pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tesis ini disusun dengan harapan memberikan informasi dan gambaran mengenai integrasi antarpasar CPO.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ketua Komisi Pembimbing Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. dan Ibu Dr. Ir. Ratna Winandi, M.S., selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dan mengarahkan penulis dengan memberikan saran dan sumbangan pemikiran yang sangat membantu selama penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Harianto, M.S. selaku penguji luar komisi pembimbing yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. selaku Ketua Mayor dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian.

2. Seluruh Jajaran Pimpinan Kantor Pemasaran Bersama dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi terkait dengan bantuan penelitian tesis, pencarian literatur dan data.


(11)

11

3. Saudara-saudaraku yang kukasihi (Desriani S.Si. M.Si., dr. Rinal Effendi, Ade Sukma, S.Pt., dan Bagus Dermawan) atas dukungannya kepada penulis. 4. Teman-teman EPN angkatan 2007 (Pak Adi, Mba Asri, Mba Desi, Bang

Roni, Wanti, Mba Wiwiek, Mas Ambar, Feri, Fitri, Pak Narta, Pak Suryadi, Pak Zulkifli, Mba Ries, Roger dan Joseph).

5. Seluruh Staf Program Studi EPN (Mba Rubi, Mba Yani, Mba Aam, Bu Kokom, Pak Husein) yang selalu sabar dan penuh pengertian.

6. Teman teman serumah (Uni Tuti dan Wiwit) yang selalu bersedia meluangkan waktunya untuk mendengarkan seluruh masalah.

7. Pihak-pihak lain yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namun telah banyak turut memberikan sumbang saran dan bantuan serta doa selama penulis kuliah di IPB.

Secara khusus dan penuh rasa cinta dan hormat penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Papa dr. H. Zulkifli Djamilah, Sp.P.D. dan Mama Dra. Hj. Darmawati yang selalu mendoakan keberhasilan penulis.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan tesis ini dimasa mendatang. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2009


(12)

12

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 13 Desember 1983, sebagai anak ketiga dari lima bersaudara pasangan dr. H. Zulkifli Djamilah, Sp.P.D. dan Dra. Hj. Darmawati. Tahun 1994 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 11 Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Penulis melanjutkan studi di SMPN 1 Batusangkar dan menyelesaikan studi pada tahun 1997, kemudian melanjutkan ke SMAN 1 Batusangkar dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2000 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang Sumatera Barat dan meraih gelar Sarjana Pertanian pada tahun 2005.

April 2006 penulis diangkat menjadi menjadi staf pengajar di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan S2 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dengan sponsor Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.


(13)

13

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 10

1.5. Keterbatasan Penelitian ... 11

II. TINJAUANPUSTAKA ... 12

2.1. Konsep Integrasi Pasar ... 12

2.2. Konsep Persaingan Sempurna ... 18

2.3. Konsep Pasar Berjangka ... 20

2.4. Model Analisis dengan Pendekatan Vector Autoregression ... 31

2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 37

III. METODE PENELITIAN ... 45

3.1. Kerangka Pemikiran ... 45

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 47

3.3. Metode Analisis Data ... 48

3.2.1. Uji Stasionaritas ... 48

3.2.2. Uji Kointegrasi ... 51

3.2.3. Impulse Response Function ... 53

3.2.4. Forecast Error Variance Decomposition ... 54


(14)

14

IV. GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN MINYAK SAWIT

INDONESIA DAN DUNIA ... 57

4.1. Sejarah Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia ... 57

4.2. Permintaan Crude Palm Oil ... 59

4.3. Produksi Crude Palm Oil ... 61

4.4 Kondisi Pasar Crude Palm Oil ... 63

4.4.1. Indonesia ... 63

4.4.2. Malaysia ... 66

4.4.3. Rotterdam ... 68

4.5. Kebijakan Perdagangan Crude Palm Oil ... 69

4.6. Harga Crude Palm Oil Indonesia ... 76

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 79

5.1. Integrasi Pasar Crude Palm Oil ... 79

5.2. Analisis Data Deret Waktu ... 80

5.2.1. Uji Stasionaritas ... 81

5.2.2. Tingkat Selang Optimal ... 85

5.2.3. Pengujian Stabilitas Vector Autoregression ... 86

5.2.4. Analisis Kointegrasi ... 87

5.2.5. Vector Error Correction Model ... 89

5.2.6. Impulse response ... 93

5.2.7. Forecast Error Variance Decomposition ... 98

VI. IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 101

6.1. Hubungan Harga Crude Palm Oil Indonesia dan Rotterdam ... 101

6.2. Hubungan Harga Crude Palm Oil Indonesia dan Malaysia ... 102

6.3. Hubungan Harga Crude Palm Oil Malaysia dan Rotterdam ... 103

6.4. Implikasi Kebijakan Pembentukan Harga Crude Palm Oil Indonesia ... 103

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 109


(15)

15

7.2. Saran ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 111


(16)

16

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Luas Areal Pertanaman Kelapa Sawit di Indonesia ... 59

2. Perkembangan Produksi Crude Palm Oil Indonesia dan Dunia Periode Tahun 2000-2007 dan Proyeksi 2008 ... 62

3. Perkembangan Ekspor Crude Palm Oil Indonesia Tahun 2000-2006 ... 64

4. Ekspor Crude Palm Oil Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Tahun 2003-2007 ... 65

5. Ekspor Crude Palm Oil Malaysia Berdasarkan Negara Tujuan Tahun 2003-2007 ... 67

6. Jumlah Impor Crude Palm Oil Rotterdam Berdasarkan Negara Asal ... 68

7. Ekspor Crude Palm Oil Rotterdam Berdasarkan Negara Tujuan Tahun 2003-2007 ... 69

8. Perkembangan Perubahan Pajak Ekspor dan Harga Patokan Ekspor untuk Tahun 2007-2008 ... 73

9. Hasil Pengujian Akar Unit Tingkat Level ... 82

10. Hasil Pengujian Akar Unit Tingkat First Difference ... 83

11. Panjang Selang Optimum Berdasarkan Beberapa Kriteria ... 85

12. Nilai Adj R2 Variabel Rotterdam, Malaysia, Indonesia dan Minyak Kedelai Pada kandidat Selang Optimal ... 86

13. VAR Stability Condition Check ... 87


(17)

17

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Harga Bulanan Crude Palm Oil di Pasar Spot Indonesia,

Malaysia dan di Pasar Forward Rotterdam ... 9

2. Model Keseimbangan Spasial Dua Kawasan ... 14

3. Model Perdagangan Pasar A dan Pasar B ... 17

4. Model Pendekatan Integrasi Pasar Crude Palm Oil ... 47

5. Pergerakan Harga Crude Palm Oil Indonesia Januari 2000-November 2008 ... 76

6. Pertumbuhan Harga Crude Palm Oil Indonesia Januari 2000 November 2008 ... 77

7. Grafik Impulse Response dari Nilai Logaritma Harga Crude Palm Oil Rotterdam terhadap Variabel Lain ... 94

8. Grafik Impulse Response dari Nilai Logaritma Harga Malaysia terhadap Variabel Lain ... 95

9. Grafik Impulse Response dari Nilai Logaritma Harga Crude Palm Oil Rotterdam terhadap Variabel Lain ... 96

10. Grafik Impulse Response dari Nilai Logaritma Harga Minyak Kedelai terhadap Variabel Lain ... 97


(18)

18

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Summary Johansen Test ... 115

2. Johansen Test ... 116

3. Analisis VECM ... 117

4. Analisis Impulse Response... 119


(19)

19

I. PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Crude Palm Oil (CPO) memiliki beragam produk yang dapat

dikembangkan. Produk turunan dari CPO biasanya digunakan untuk produk pangan antara lain digunakan untuk pembuatan margarin, bahan pengganti lemak coklat pada es krim dan juga untuk pembuatan minyak goreng. CPO pada industri oleokimia digunakan sebagai bahan baku bagi produk farmasi, kosmetika, plastik, minyak pelumas, lilin dan sabun. Seiring dengan meningkatnya harga minyak bumi dunia, CPO juga dijadikan sebagai alternatif bahan bakar.

Keunggulan yang dimiliki oleh CPO antara lain memiliki sifat antioksidan dan bebas lemak jenuh. CPO kaya akan vitamin A dan E yang dapat mengurangi resiko penyakit jantung dan kanker. Produktifitas minyak dari tanaman kelapa sawit tinggi setelah kedelai bila dibandingkan dari minyak nabati lainnya sehingga dapat diproduksi dengan biaya yang relatif lebih rendah (Buana, 2004).

Permintaan CPO baik dalam maupun luar negeri terus meningkat dari waktu ke waktu, hal ini dikarenakan banyaknya manfaat dan keunggulan CPO seperti yang telah dipaparkan. Menurut Oil World pada tahun 2003 konsumsi dunia mencapai 123.95 juta ton dan pada tahun 2007 mencapai 153.84 juta ton dengan rata-rata pertumbuhan 4.78 persen per tahunnya. Peranan CPO di dalam negeri sendiri tidak kalah penting dimana CPO banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng. Konsumsi minyak goreng untuk Indonesia sendiri terus mengalami peningkatan, konsumsi per kapita sebesar16.5 kg per orang dan khusus untuk minyak goreng sawit sebesar 12.7 kg per orang. Tahun


(20)

20

2005 konsumsi minyak goreng Indonesia 6 juta ton dan 83.3 persen dari jumlah tersebut untuk penggunaan minyak goreng sawit. Tahun 2008 total konsumsi CPO untuk keperluan pembuatan minyak goreng dalam negeri setara dengan 24.9 persen dari produksi CPO nasional.

Permintaan baik di dalam negeri maupun luar negeri itu merupakan peluang bagi Indonesia dalam melakukan pengembangan untuk peningkatan produksi CPO ke depannya. Sebagai salah satu penghasil CPO terbesar di dunia, Indonesia seharusnya memiliki kemampuan untuk mengontrol pergerakan CPO baik dalam hal jumlah ataupun harganya. Kenyataannya Indonesia belum mampu mengatasi berflutuasinya harga CPO dari waktu ke waktu. Adapun fluktuasi harga terjadi akibat berbagai faktor seperti cuaca, kondisi ekonomi dan politik suatu negara, distribusi, faktor permintaan dan penawaran. Liberalisasi dan globalisasi juga membuat harga akan lebih fluktuatif sehingga informasi harga yang cepat dan akurat merupakan suatu keharusan dan hal ini belum dapat diakses sepenuhnya oleh pelaku pasar di Indonesia (Syafii, 2002).

Akibat kegiatan pemasaran yang dilakukan pelaku pasar dalam hal ini produsen akan memberikan nilai tambah pada produk. Salah satu dari fungsi pemasaran yang dilakukannya adalah menambah nilai kegunaan waktu produk. Seorang produsen CPO harus mampu memperkirakan dan menganalisis berapa jumlah produk yang dibutuhkan oleh konsumen. Produsen akan mendapatkan peningkatan nilai tambah produk jika mampu memanfaatkan nilai kegunaan waktu. Artinya produsen harus mampu menyediakan produk yang diinginkan konsumen berbeda waktunya dengan saat panen. Terdapat dua jenis resiko terkait kegunaan waktu yaitu terdapat resiko kerusakan produk dan resiko penurunan


(21)

21

nilai. Resiko kerusakan produk antara lain adanya bencana alam atau kegagalan panen. Resiko penurunan nilai contohnya turunnya kualitas karena proses penyimpanan atau transportasi dan karena adanya perubahan harga yang tiba-tiba.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya fluktuasi harga tersebut adalah sistem pasar berjangka komoditi. Transaksi yang terjadi pada pasar berjangka akan memberikan kejelasan berapa volume yang harus dihasilkan oleh produsen sehingga memberikan gambaran jumlah faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan sejumlah produk yang diinginkan pasar. Pengetahuan produsen tentang kepastian jumlah produk yang harus dihasilkan akan membantu untuk meminimalkan resiko rendahnya harga karena kelebihan penawaran.

Pelaku pasar di Rotterdam yang merupakan pasar bagi CPO dunia sudah lazim menggunakan pasar berjangka untuk memperjualbelikan komoditinya. Di Indonesia sebenarnya sudah terdapat wadah untuk melakukan praktek forward

dengan dibentuknya Pasar Berjangka Komoditi dengan diterbitkannya Undang-Undang nomor 32 tahun 1997 sebagai landasan hukum untuk perdagangan berjangka komoditi tetapi bursa berjangka ini tidak memperdagangkan CPO. Satu-satunya pelaksanaan transaksi CPO di Indonesia dilakukan dengan penyerahan barang langsung (fisik) atau disebut juga dengan transaksi secara spot.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengukur dan menganalisis seberapa erat keterkaitan pembentukan harga CPO antara pasar domestik Indonesia yang dilaksanakan dengan proses spot sebagai satu-satunya cara transaksi yang dilakukan di Indonesia, dengan pasar dunia di Rotterdam yang dilaksanakan dengan transaksi forward. Selain dua variabel harga di Indonesia dan Rotterdam,


(22)

22

penelitian ini dalam menganalisis proses pembentukan harga CPO juga mempertimbangkan pengaruh dari harga domestik Malaysia yang merupakan pesaing Indonesia baik dalam hal produksi maupun pangsa ekspor. Selain itu penelitian ini mempertimbangkan harga komoditi lain yang mempengaruhi harga CPO yaitu harga minyak kedelai serta melibatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar karena perbedaan mata uang antara transaksi yang dilakukan di Indonesia dan di Rotterdam.

1.2. Rumusan Masalah

Kelapa sawit memiliki peranan penting dalam perekonomian negara. Tahun 2007 perkebunan kelapa sawit mampu menyerap tenaga kerja langsung sebesar 3.3 juta kepala keluarga dan pengembangan kelapa sawit juga mendorong pengembangan wilayah. Perkebunan kelapa sawit memiliki makna strategis bagi perluasan lapangan kerja dan kesejahteraan petani dimana kebun seluas 10 000 hektar dapat menyerap tenaga kerja sekitar 3 000 orang. Sementara untuk investasi yang sama pembangunan pabrik pengolah (produk turunan) membutuhkan tenaga kerja sebanyak 140 orang (Buana, 2004).

Komoditi CPO seperti umumnya produk pertanian lainnya memiliki beberapa permasalahan terkait dengan pemasarannya salah satunya adalah harga yang berfluktuasi dari waktu ke waktu. Perubahan harga yang selalu berfluktuasi membuat pelaku pasar dalam hal ini produsen tidak dapat memprediksi apakah nantinya akan menerima harga yang tinggi atau merugi karena harga jatuh di pasaran. Harga yang terjadi, akan mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil sekarang. Meninjau dari sisi pembeli atau konsumen terdapat resiko


(23)

23

akibat harga yang berfluktuasi antara lain berhentinya produksi akibat tidak tersedianya bahan baku atau harga bahan baku yang terlalu tinggi. Stok yang berlebihan akan menyebabkan kerugian dari segi biaya gudang dan adanya resiko kerusakan dan penurunan kualitas barang. Potensi kerugian yang ditimbulkan oleh fluktuasi harga itu membutuhkan suatu penanganan khusus agar dapat diminimalisir. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dalam bentuk ketersediaan informasi yang mampu memprediksi mengenai penawaran dan permintaan di masa yang akan datang yang dapat diakses tanpa hambatan, sehingga harga komoditi dimasa yang akan datang dapat diramalkan dan pelaku kegiatan agribisnis dapat merencanakan pengembangan usahanya ke depan. Selain itu resiko fluktuasi harga dapat dialihkan pada pihak-pihak yang memang bersedia dan mengambil keuntungan dari harga yang terjadi dalam hal ini ditanggung oleh spekulan.

Berdasarkan kepentingan negara Indonesia sendiri, manajemen harga komoditi pertanian untuk mengendalikan dan mengatasi fluktuasi harga juga harus mendapatkan perhatian yang serius oleh negara. Hal ini penting untuk dilakukan karena akan sangat berpengaruh pada perekonomian. Pada negara berkembang CPO adalah salah satu penyumbang devisa terbanyak sehingga dengan adanya fluktuasi harga akan mempengaruhi penerimaan fiskal, pengeluaran dan pada akhirnya akan mempengaruhi ekonomi.

Kondisi pasar CPO yang khas menyebabkan berkembangnya suatu sarana manajemen resiko yang disebut dengan bursa berjangka (forward). Manfaat dengan adanya bursa berjangka adalah tempat pembentukan harga dengan mekanisme perdagangan yang wajar dan transparan. Pasar berjangka ini memiliki


(24)

24

manfaat sebagai lindung nilai (hedging) dan sebagai investasi. Informasi-informasi mengenai historis harga dan Informasi-informasi lainnya disajikan secara transparan dan dapat diakses oleh siapa saja sehingga pelaku pasar dapat memprediksikan harga di masa yang akan datang dengan akurat. Melalui bursa berjangka pelaku pasar dapat terhindarkan dari asymmetry information (Syafii, 2002).

Sekarang ini terdapat dua cara yang umum dilakukan dalam pemasaran CPO antara lain dengan pelaksanaan secara spot biasa dilakukan untuk transaksi lokal (domestik) baik itu di Indonesia dan Malaysia serta pelaksanaan transaksi secara forward. Adapun transaksi yang dilakukan di Rotterdam secara umum banyak dilakukan dengan transaksi secara forward. Pelaksanaan pemasaran CPO dengan cara spot di Indonesia (lokal), Malaysia dan forward di Rotterdam (internasional) ini apabila dilihat sepintas sepertinya berdiri sendiri-sendiri, namun apabila dilihat lebih lanjut antara ketiganya memiliki keterkaitan dalam penentuan harga pada masing-masing pasar.

Secara empiris harga yang terbentuk di pasar forward Rotterdam dan yang terbentuk di Malaysia digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan bagi penjual dan pembeli CPO untuk memberikan penawaran harga di pasar spot

Indonesia. Berdasarkan informasi tersebut barulah kemudian harga di pasar Indonesia terbentuk. Begitu pula sebaliknya pembentukan harga di pasar forward

bukan hanya ditentukan oleh pelaku pasar yang langsung terlibat di pasar Rotterdam saja namun juga mempertimbangkan harga di negara produsen. Bila dijelaskan lebih lanjut harga transaksi forward ditentukan oleh pelaku pasar, masing-masingnya sudah mendapatkan informasi yang jelas mengenai harga di


(25)

25

pasar spot. Pembentukan harga di pasar forward terjadi karena adanya informasi terkini mengenai jumlah pasokan dan permintaan di saat ini (spot) untuk kemudian diprediksikan di saat yang akan datang (forward). Pembentukan harga di pasar spot juga tergantung pada informasi tentang permintaan yang telah terbentuk pada sistem forward. Apabila pada saat ini permintaan yang dilakukan sebelumnya (saat forward) meningkat maka harga saat ini (spot) juga akan meningkat.

Pelaksanaan mekanisme hedging pada pasar berjangka adalah para pelaku selalu melakukan dua transaksi sekaligus. Pelaksanaannya dapat dilakukan pada pasar pertama menggunakan transaksi spot dan menjual produk di pasar kedua dengan menggunakan transaksi forward atau sebaliknya. Imbas dari pengambilan keputusan dengan cara ini adalah kerugian yang mungkin timbul akibat fluktuasi harga di pasar spot akan tertutupi dengan keuntungan akibat harga yang lebih stabil di transaksi forward dan sebaliknya.

Menurut Buana (2004), dalam menetapkan harga CPO ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan harga. Dari sisi penawaran faktor yang berpengaruh yaitu: (1) produksi CPO yang ditawarkan dimana faktor ini dipengaruhi lagi oleh luas areal tanam, penggunaan peralatan tanam (planting

material) serta iklim dari daerah kebun kelapa sawit itu sendiri, dan (2) produksi

subtitusi dari CPO (seed oil) yang dipengaruhi oleh iklim dan harga sebelumnya. Pada pasar dunia, CPO bersaing dengan minyak nabati lainnya terutama minyak kedelai dan minyak biji lobak sehingga perubahan pada produksi maupun permintaan pada salah satu minyak akan mempengaruhi harga minyak lainnya.


(26)

26

Harga CPO dilihat dari sisi permintaan dipengaruhi oleh dua kelompok yaitu untuk keperluan minyak makan (oleopangan) dan nonpangan (oleokimia). Permintaan untuk pangan ditentukan oleh populasi dan konsumsi per kapita. Semakin banyak populasi penduduk maka akan makin banyak permintaan CPO untuk kebutuhan pangan. Konsumsi per kapita ditentukan oleh daya beli, makin makmur suatu negara makin tinggi konsumsi per kapitanya. Lebih lanjut Buana menunjukkan bahwa maksimum konsumsi per kapita berbeda dari satu etnik ke etnik lainnya dengan rasio minyak nabati-minyak hewani yang berbeda pula. Masalah kesehatan juga merangsang pengurangan konsumsi lemak hewani dan menggantikannya dengan minyak nabati.

Permintaan untuk nonpangan dipengaruhi oleh isu lingkungan, energi dan teknologi. Jepang misalnya, dalam waktu dekat akan mengharuskan penggunaan energi yang terbarui. Salah satu sumber yang potensial adalah biodiesel yang dapat berasal dari minyak sawit maupun minyak nabati lainnya. Apabila hal tersebut diberlakukan, maka permintaan minyak sawit diperkirakan akan meningkat tajam yang akan membentuk keseimbangan harga yang baru.

Trend harga CPO dari masing-masing pasar di spot Indonesia, Malaysia dan

forward Rotterdam dapat dilihat pada Gambar 1 yang memperlihatkan pergerakan

harga di pasar spot Indonesia, Malaysia dan pasar forward Rotterdam. Secara visual harga yang terjadi di ketiga pasar memiliki pergerakan yang hampir sama. Berdasarkan bentuk grafik maka terdapat kecenderungan kenaikan harga dari waktu ke waktu. Terutama kenaikan yang meningkat cepat adalah dimulai dari awal tahun 2006 hingga awal 2008 dan kemudian setelah kenaikan yang cepat diikuti pula dengan penurunan yang tajam hingga diakhir 2008.


(27)

27

Sumber: Badan Pengawas Perdagangan Pasar Berjangka (Bappepti), Tahun 2000 2008 (diolah)

Gambar 1. Harga Bulanan CPO di Pasar Spot Indonesia, Malaysia dan di Pasar Forward Rotterdam

Kenaikan yang meningkat drastis di awal 2006 terjadi karena mengikuti pergerakan kenaikan harga minyak bumi dunia yang disebabkan karena negara-negara penghasil minyak bumi membatasi produksi minyak mereka sedangkan permintaan dunia naik karena negara-negara di utara menghadapi musim dingin. Akibat minyak bumi yang meningkat maka orang mulai mencari alternatif untuk menggantikan fungsinya antara lain dengan menjadikan CPO sebagai sumber dari

biofuel sehingga harga CPO menjadi meningkat. Selain itu dalam pengolahannya


(28)

28

sehingga seiring dengan kenaikan minyak bumi maka biaya untuk memproduksi CPO juga meningkat.

Peningkatan harga CPO mencapai puncaknya pada awal 2008 yang kemudian diikuti dengan penurunan harga CPO secara tajam. Hal ini merupakan imbas dari krisis di Amerika yang kemudian merambat menjadi krisis global sehingga perekonomian dunia menjadi lesu. Tak terkecuali untuk komoditi CPO baik internasional (Rotterdam dan Malaysia) maupun di dalam negeri.

Berdasarkan penjelasan akan pergerakan harga yang terjadi di ketiga pasar CPO tersebut maka timbul pertanyaan penelitian yaitu :

1. Bagaimana pergerakan harga CPO di masing-masing pasar spot Indonesia, Malaysia dan pasar forward Rotterdam serta hubungan integrasi antarpasar? 2. Bagaimana implikasinya terhadap kebijakan CPO di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk:

1. Menganalisis integrasi pasar di Indonesia, Malaysia dan Kota Rotterdam. 2. Merumuskan implikasi kebijakan Pembentukan Harga CPO di Indonesia.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang dilakukan meliputi keterpaduan harga yang terjadi antara transaksi yang dilakukan dengan spot di Indonesia dan Malaysia serta yang dilakukan dengan forward di Rotterdam. Komoditi yang menjadi objek penelitian adalah komoditi CPO yang merupakan komoditi ekspor Indonesia.


(29)

29

1.5. Keterbatasan Penelitian

1. Data harga CPO domestik adalah harga CPO di pasar spot Medan dan didapatkan dari data yang dikumpulkan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) begitu pula dengan data harga CPO di Rotterdam adalah merupakan harga yang terbentuk di pasar forward yang dikumpulkan oleh Bappepti.

2. Harga CPO domestik Malaysia diasumsikan adalah harga yang terbentuk melalui transaksi spot. Data harga domestik Malaysia ini didapatkan dari

International Financial Statistics yang dikeluarkan oleh IMF.

3. Penelitian ini tidak mengkaji pengaruh faktor-faktor nonharga terhadap integrasi antarpasar CPO.


(30)

30

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Integrasi Pasar

Konsep teori dari integrasi pasar adalah hukum satu harga untuk seluruh pasar, dimana diasumsikan apabila tidak ada biaya transaksi, komoditi yang sama pada pasar yang berbeda akan memiliki harga yang sama pula. Lebih lanjut dijelaskan, jika suatu barang diperdagangkan pada dua harga yang berbeda orang-orang akan memilih untuk membeli pada pasar yang menjual barang dengan harga terendah dan produsen akan mencoba menjual barang pada pasar yang menjual barang dengan harga tertinggi. Akibatnya seiring dengan naiknya permintaan harga akan naik namun pada pasar yang sebelumnya memiliki harga yang tinggi seiring dengan naiknya penawaran harga akan turun sehingga tindakan ini membuat harga antarpasar menjadi sama (Nicholson, 2000).

Integrasi pasar dapat juga dipahami dari dua aspek yaitu integrasi vertikal dan integrasi horizontal. Konsep yang pertama dipahami sebagai integrasi industri yang mencerminkan sifat dari agribisnis. Integrasi pasar vertikal menunjukkan perubahan harga di suatu pasar akan direfleksikan pada perubahan harga di pasar lain secara vertikal dalam produk yang sama. Integrasi vertikal adalah keterkaitan hubungan antara suatu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam suatu rantai pemasaran (Suparmin, 2005 dalam Irawan dan Rosmayanti, 2007).

Pengertian integrasi atau keterpaduan pasar juga dapat dipahami sebagai sampai seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditas pada suatu tingkat lembaga pemasaran tertentu dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga pemasaran


(31)

31

lainnya. Dalam suatu sistem pasar terpadu yang efisien akan terlihat adanya korelasi yang tinggi sepanjang waktu dari beberapa pasar (Heytens, 1986).

Konsep yang kedua adalah integrasi yang didalamnya termasuk integrasi pasar spasial, integrasi pasar temporal, integrasi harga silang dan integrasi silang bentuk produk. Integrasi pasar silang mencerminkan efek perubahan harga di satu tingkat pemasaran terhadap harga pada tingkat di atasnya misalnya perubahan harga di tingkat petani akan mempengaruhi harga di tingkat pedagang. Integrasi dikatakan terjadi apabila terdapat kondisi harga di tingkat selanjutnya sama dengan harga ditingkat sekarang ditambah dengan biaya pemasaran. Integrasi pasar temporal mencerminkan pengaruh dari perubahan harga di waktu sekarang terhadap harga di waktu yang akan datang. Integrasi silang bentuk produk mencerminkan pengaruh perubahan harga pada satu produk terhadap harga produk turunannya.

Integrasi pasar spasial merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara pasar regional dan pasar regional lainnya. Integrasi pasar spasial mencerminkan efek dari perubahan harga pada satu pasar terhadap pasar lainnya dimana hal ini diasumsikan pada integrasi sempurna dengan dua daerah yang berbeda. Dua pasar dikatakan terintegrasi apabila perubahan harga pada satu pasar akan mempengaruhi harga pasar lainnya dengan arah yang sama dan tingkat yang sama pula.

Integrasi pasar spasial digambarkan sebagai hubungan harga dari pasar-pasar yang terpisah secara geografis. Konsep ini diterangkan dengan menggunakan model keseimbangan spasial (spatial equilibrium model). Model ini dikembangkan dengan menggunakan kurva kelebihan penawaran (excess supply)


(32)

32

a b c d

DA

DB SA

SB

P1 P1

P2 Harga

Jumlah

a. Pasar A: Surplus b. Pasar B: Defisit

ES

ED

Jumlah Harga

dan kelebihan permintaan (excess demand) pada dua wilayah yang melakukan perdagangan. Harga yang terbentuk pada masing-masing pasar dan jumlah komoditi yang diperdagangkan dapat diduga melalui model keseimbangan parsial (Tomek dan Robinson, 1990).

Prinsip yang digunakan untuk mengembangkan model perdagangan antar daerah digambarkan dengan bantuan diagram yang menunjukkan fungsi penawaran dan permintaan dari masing-masing pasar seperti yang terlihat pada Gambar 2.

Sumber: Tomek dan Robinson, 1990

Gambar 2. Model Keseimbangan Spasial Dua Kawasan

Analisis pasar dibagi dalam dua kategori antara lain pasar yang memiliki potensi surplus dan pasar yang berpotensi defisit. Misalkan pada pasar A adalah pasar yang berpotensi surplus dan pasar B adalah pasar yang berpotensi defisit, dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa pasar A tidak ada perdagangan maka harga

0


(33)

33

yang terbentuk adalah P1 di Pasar A dan P2 di pasar B dimana P1<P2. Kelebihan cadangan konsumsi di pasar A akan mendorong pelaku pasar di pasar tersebut untuk menjual kelebihan cadangannya ke pasar lain sedangkan pelaku di pasar B akan mendatangkan komoditi dari pasar lain untuk memenuhi permintaan pada pasar B.

Model keseimbangan spasial ini digunakan untuk menjelaskan hubungan harga akibat perdagangan yang terjadi antara dua pasar. Kelebihan penawaran adalah selisih antara jumlah yang ditawarkan dengan jumlah yang diminta pada suatu tingkat harga pada waktu tertentu, yang akan meningkat dengan semakin tingginya harga dan akan bernilai nol pada saat terjadi keseimbangan pasar A (P1). Kelebihan permintaan adalah selisih antara jumlah yang diminta dengan jumlah yang ditawarkan pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, akan meningkat dengan semakin rendahnya harga dan waktu tertentu, dan akan bernilai nol pada saat keseimbangan pasar B (P2).

Kurva yang terbentuk tersebut berlaku jika memenuhi beberapa asumsi. Pertama adalah tidak adanya hambatan perdagangan. Prakteknya integrasi yang sempurna yang ditandai dengan terciptanya law of one price ini sangat mungkin tidak terjadi hal ini dapat dijelaskan berdasarkan alasan berikut kawasan tidak terkait secara arbitrase berarti masing-masing kawasan tidak terbuka untuk dimasuki oleh pelaku pasar lainnya. Halangan untuk terjadinya keterpaduan karena adanya hambatan dalam perdagangan, informasi yang tidak sempurna dan adanya pengalihan resiko yang ketiga dapat juga karena terjadi kompetisi yang tidak sempurna.


(34)

34

Ada beberapa alasan kenapa suatu kawasan atau negara tidak terbuka untuk dimasuki oleh pelaku pasar dari kawasan lain, salah satunya karena pemerintah negara tersebut menciptakan pembatas atau hambatan dalam perdagangan, sehingga pelaku pasar tidak dapat keluar masuk pasar dengan bebas. Hambatan perdagangan yang umum diterapkan oleh pemerintah suatu negara dalam bentuk hambatan tarif maupun nontarif. Hambatan tarif adalah dalam bentuk pajak, sedangkan hambatan nontarif misalnya dalam bentuk ketentuan ketentuan yang harus dipenuhi oleh pelaku pasar. Hambatan yang diterapkan itu akan meningkatkan biaya transfer sehingga perdagangan akan terus berlangsung sampai biaya transfer sama dengan selisih harga atau bahkan melebihi. Jika hal ini terjadi maka pelaku pasar tidak akan memperoleh keuntungan melakukan perdagangan antarpasar. Akibatnya transfer kelebihan permintaan maupun kelebihan penawaran tidak akan terjadi dan harga akan bergerak secara individu pada masing-masing pasar.

Asumsi kedua yang harus dipenuhi adalah tidak terdapat biaya transaksi yang terjadi di masing-masing pasar. Informasi dapat diakses oleh seluruh pelaku pasar dengan baik sehingga dapat digunakan seluruhnya untuk memprediksikan harga di masa depan. Perubahan harga yang terjadi di salah satu pasar (Pasar A dan Pasar B) akan ditransmisikan dengan sempurna dalam waktu yang singkat.

Sesuai dengan Gambar 2 maka dengan adanya informasi harga yang dapat diakses oleh seluruh pihak dapat dijelaskan dengan melihat seberapa besar persentase perubahan harga di Pasar A menyebabkan persentase perubahan pula di Pasar B dan sebaliknya. Perbaikan arus informasi menyebabkan perubahan harga pada satu pasar akan langsung ditransmisikan dengan sempurna, besarnya


(35)

35

PB1 PEB2 PE PEA2

PA1 PB1-PA1

TC x

y

Excess Supply di pasar 1 (ESA)

Excess Demand di pasar 2 (EDB)

QE2 QE1 nilai ( ' 1) ( 2 1')

1 P P P

P atau dengan kata lain adalah persentase perubahan harga di Pasar A akan sama dengan persentase perubahan harga di Pasar B.

Sumber: Tomek dan Robinson, 1990

Gambar 3. Model Perdagangan Pasar A dan Pasar B

Kurva excess supply dan excess demand dapat berubah searah dengan perubahan kekuatan penawaran dan permintaan pada masing-masing pasar. Berdasarkan Gambar 3 jika tidak ada biaya transfer antarpasar (A dan B) maka total unit komoditi yang akan ditransfer dari pasar A ke pasar B sebesar OQE1 dengan tingkat harga yang sama antara keduanya yaitu sebesar OPE. Volume perdagangan antarkedua pasar akan semakin menurun dengan adanya biaya transfer. Jika biaya transfer lebih besar dari PB1 PA1 maka tidak akan ada perdagangan antara keduanya. Pada kasus ini permintaan dan penawaran akan

Harga (P) Transfer Biaya (TC)

Komoditi (Q) 0


(36)

36

sama antarkedua daerah sedangkan perbedaan harga akan semakin kecil dibandingkan biaya transfer.

Efek perubahan biaya transfer yang terjadi antardua pasar (A dan B) dapat dijelaskan dengan membangun garis volume perdagangan (xy). Pada garis ini dapat dilihat apabila biaya transfer yang terjadi sebesar nol maka perdagangan akan maksimum dan sebaliknya bila biaya transfernya adalah sebesar PB1 PA1 maka tidak akan terjadi perdagangan. Perdagangan yang terjadi akan menyebabkan harga komoditi di pasar A akan naik menjadi OPEB2 dan di pasar B akan turun menjadi OPEA2. Keterangan tersebut menjelaskan bahwa perubahan harga di suatu pasar akibat perubahan kekuatan pasar akan menyebabkan perubahan harga di pasar lain yang melakukan perdagangan dengan pasar tersebut. Hal ini menunjukkan adanya integrasi pasar antara kedua daerah yang melakukan perdagangan.

Integrasi pasar vertikal digunakan untuk melihat tingkat keeratan hubungan antarsuatu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam suatu rantai pemasaran. Integrasi pasar vertikal dipengaruhi oleh penyebaran informasi harga yang merata ke seluruh lembaga pemasaran (produsen grosir retail-konsumen). Apabila informasi tersebut tidak tersebar secara sempurna sampai ke konsumen maka harga yang terbentuk di pasar tidak menunjukkan adanya integrasi pasar vertikal yang baik.

2.2. Konsep Persaingan Sempurna

Pasar adalah suatu institusi atau badan yang menjalankan aktivitas jual beli barang dan jasa (Sugiarto, 2002). Adapun pengertian pasar secara definisi


(37)

37

ekonomi menurut Dahl dan Hammond (1977) adalah ruang atau dimensi tempat bekerjanya penawaran dan permintaan dengan kekuatannya masing-masing, sehingga mampu menentukan dan mengubah harga. Sebuah konsep pasar yang ideal didefinisikan sebagai suatu pasar dimana kompetisi yang terjadi mencerminkan pasar persaingan sempurna. Adapun ciri dari pasar persaingan sempurna adalah komoditas yang diperjualbelikan adalah sama dengan jumlah pembeli dan penjual yang sangat banyak, indikasi dari barang yang sama ini adalah semua pelaku pasar bertindak sebagai penerima harga, tidak ada satu pihak pun yang mampu merubah harga keseimbangan yang terjadi. Harga terbentuk sepenuhnya karena proses tarik menarik antara kurva permintaan dan penawaran. Seluruh pelaku pasar bebas untuk berusaha dan pihak satu tidak dapat mempengaruhi keputusan pelaku lainnya.

Ciri penting lainnya dari pasar persaingan sempurna adalah masing-masing pihak yang terlibat dalam pasar memiliki pengetahuan yang sempurna mengenai harga. Akibatnya harga yang berlaku di pasar tidak bisa dipengaruhi oleh salah satu pihak saja dan pelaku pasar adalah price taker. Akibat banyaknya pelaku pasar maka hambatan pasar tidak ada dan pembeli maupun penjual dapat dengan mudah untuk keluar masuk pasar.

Tanpa adanya informasi yang jelas mengenai kualitas dan harga suatu barang maka akan mengurangi ketepatan pelaku pasar dalam mengambil suatu keputusan. Berdasarkan perbedaan penguasaan informasi yang ada antarpelaku pelaku pasar akan menimbulkan pergerakan ke arah kombinasi keseimbangan antara harga dan kuantitas namun dengan kecepatan penyesuaian yang berbeda antara harga dan kuantitas. Penjelasan dari adanya jeda waktu untuk mencapai


(38)

38

keseimbangan karena adanya biaya transaksi. Biaya ini dikeluarkan oleh pelaku pasar untuk mendapatkan informasi contohnya, produsen akibat tidak mengetahui seberapa besar permintaan terhadap produk yang akan dihasilkan maka mereka harus mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan dan penyesuaian stok (Nicholson, 2000).

Pada pasar berjangka informasi antara lain tentang harga dan volume dapat diakses sepenuhnya oleh para pelaku pasar sehingga masing-masing dapat mengambil keputusan berdasarkan informasi yang tepat. Membaiknya arus informasi yang berhubungan dengan harga, produksi, konsumsi, volume perdagangan dan juga perkiraan (ekspektasi) pasar, membuat pasar berjangka lebih transparan dan bersaing (competitive). Semakin banyak informasi tentang pasar diketahui orang, akan membuat mereka semakin mampu mengantisipasi pembentukan harga di pasar.

Menurut suatu hasil studi yang dilakukan oleh Bappebti tentang pasar berjangka ternyata bahwa pendapatan yang diperoleh mereka yang menggunakan pasar berjangka untuk tujuan untuk lindung nilai lebih stabil dibandingkan dengan mereka yang tidak menggunakannya. Bagi para penggunanya, pasar berjangka memberi kesempatan untuk menstabilkan pendapatan mereka.

2.3. Konsep Pasar Berjangka

Perdagangan dengan menggunakan kontrak berjangka pertama kali diperkenalkan di Chicago pada tahun 1860an. Perbedaan antara penjualan tunai dengan kontrak berjangka adalah pada penjualan tunai melibatkan pengiriman barang sebenarnya dari komoditi dan kebanyakan penjualan tunai tidak dibuat di


(39)

39

pasar sentral sedangkan penjualan dengan menggunakan kontrak berjangka melibatkan pembelian dan penjualan kontrak yang terstandarisasi untuk pengiriman komoditi di masa yang akan datang (Tomek dan Robinson, 1972).

Pelaksanaan pasar berjangka adalah dengan menandatangani kontrak yang menentukan harga, kualitas, kuantitas dan waktu penyerahan. Pengiriman barang berdasarkan pada waktu yang spesifik dengan ukuran yang jelas dan pada harga tertentu dimana dalam kontrak disebutkan pula grade yang spesifik dan lokasi penyerahan. Patut diingat bahwa tidak ada pasar sekunder untuk kontrak pada perdagangan berjangka dimana kontrak diciptakan di pasar berjangka yang disebut bursa. Sebagai pasar yang terorganisasi, transaksi di bursa hanya dilakukan anggota bursa yang terdiri dari pialang berjangka dan pedagang berjangka. Para pengguna bursa yang bukan anggota bursa tetapi ingin memanfaatkan bursa untuk tujuan lindung nilai (hedging) atau spekulasi harus menyalurkan keinginannya tersebut melalui anggota bursa yang berstatus pialang berjangka.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa fungsi dari pasar berjangka adalah sebagai alokasi sementara dari komoditi musiman yang diproduksi. Pasar berjangka membantu pembeli sehingga dapat menghemat biaya penyimpanan karena komoditi yang dibelinya akan datang pada saat dibutuhkan saja sesuai dengan tanggal kontrak yang sudah disepakati. Fungsi yang kedua adalah untuk pengalihan resiko, dimana kerugian yang dialami dalam penjualan tunai akan dapat tertutupi dengan penjualan pada penjualan di pasar berjangka. Walaupun pada pasar berjangka tidak mendapatkan harga yang benar-benar tinggi namun juga tidak akan didapatkan harga yang benar-benar rendah seperti pada penjualan


(40)

40

tunai. Harga cenderung stabil karena harga yang dimasa akan datang sudah ditetapkan pada saat sekarang. Fungsi yang ketiga adalah bursa berjangka sebagai lindung nilai pada operasional dan marjin. Contohnya pabrik pengolahan tepung dapat membeli gandum di pasar tunai dan kemudian menjual tepungnya dengan menggunakan pasar berjangka, sehingga diharapkan biaya penyimpanan tepung akan mampu ditutupi oleh penjualan tepung.

Fungsi yang keempat adalah sebagai tempat pembentukan harga dimana harga yang terjadi di pasar berjangka (forward) merefleksikan konsensus antara sejumlah besar pembeli dan penjual yang memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan penjualan dan pembelian di pasar. Harga tersebut tidak hanya merefleksikan keadaan pasokan dan permintaan yang sebenarnya dari komoditi yang bersangkutan namun juga perkiraan pasokan dan permintaan untuk masa yang akan datang. Harga di pasar berjangka akan selalu berubah menyesuaikan diri dengan perubahan informasi pasar yang terjadi. Hal ini penting bagi perencanaan produksi, pengolahan dan pemasaran komoditi, sehingga membantu mengurangi biaya-biaya operasional yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi ekonomi.

Setiap pelaku pasar berjangka harus selalu siap dengan informasi yang akurat mengenai harga di pasar spot. Prinsipnya adalah pembentukan harga terjadi akibat adanya kebutuhan barang untuk penyimpanan dan untuk hedging

tergantung dari permintaan dan penawaran yang berlangsung, dengan adanya fungsi ini maka pembentukan harga pada pasar berjangka sangat dipengaruhi oleh perubahan informasi yang terjadi dimana hipotesisnya harga pada pasar berjangka akan bereaksi berlebihan terhadap informasi baru. Selain itu dengan adanya


(41)

41

spekulator perubahan sedikit harga tapi dilakukan dalam jumlah yang besar akan ikut mempengaruhi pembentukan harga yang baru.

Antara pasar berjangka dan pasar spot terdapat hubungan satu sama lainnya. Harga pada pasar berjangka saat jatuh tempo akan dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan harga pada pasar spot pada waktu yang sama, sehingga ada kemungkinan harga pada pasar berjangka saat jatuh tempo akan sama dengan harga spot pada waktu yang sama. Adapun perbedaan harga yang terjadi antara pasar berjangka dengan harga spot pada waktu yang sama disebut dengan basis.

Mekanisme dalam perdagangan berjangka, seorang nasabah tidak perlu menyetor uang sebesar nilai kontrak yang diperjualbelikan, tetapi hanya dalam sejumlah persentase kecil berkisar 3-5 persen dari nilai kontrak. Sejumlah uang ini disebut dengan marjin. Setiap saat nasabah dapat melepas atau menjual kontraknya sebelum kontrak jatuh tempo, namun harus diingat bahwa transaksi jual beli yang terjadi adalah suatu bisnis yang tidak hanya senilai marjin yang disetorkan, tetapi sesungguhnya sebesar nilai kontrak tersebut, dengan demikian, bila terjadi kenaikan harga komoditi yang menjadi subyek suatu kontrak di pasar yang amat besar maka marjin yang disetorkan bisa berlipat atau hilang dalam waktu singkat.

Lebih lanjut Kang dan Mahajan (2006), menerangkan tentang keuntungan dari dilaksanakannya market based instrument yang menerapkan pasar berjangka sebagai salah satu alat dalam manajemen resiko dibandingkan dengan kebijakan lainnya yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi volatilitas harga. Adapun keuntungan dilaksanakannya market based instrument adalah pendekatan


(42)

42

ini menyediakan penerimaan yang pasti di masa yang akan datang sehingga pengguna dapat merencanakan aliran dana. Pada kebijakan lain pemerintah menerapkan pendekatan stabilisasi dalam mengatasi gejolak harga. Pemerintah berusaha mempengaruhi harga di pasar dengan cara mengalirkan dana ke produsen sehingga harga dapat seimbang saat harga rendah. Konsepnya adalah terjadi transfer resiko dari produsen ke pemerintah. Kelemahan dari cara ini adalah dibutuhkan dana yang besar untuk dapat dilaksanakan dan tindakan ini tidak membangun pasar menjadi lebih baik karena semuanya tergantung pada pemerintah. Penerapan market based instrument lebih kearah harga pasar daripada harga yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga harga dapat bergerak secara wajar dan komoditi turunan akan memperbaiki pembiayaan. Pasar berjangka komoditi juga memiliki mekanisme pembentukan harga yang lebih efisien karena dalam pasar ini menerapkan instrumen pembiayaan berdasarkan strategi harga di depan yang melibatkan penetapan harga, batasan harga bagi produk yang akan dikirimkan dimasa depan.

Kemudian dijelaskan keuntungan lain dari diterapkannya market based

instrument adalah pasar berjangka komoditi memiliki mekanisme pembentukan

harga yang lebih efisien, menyediakan informasi yang bisa diandalkan pada perdagangan fisik karena banyak kalangan yang dapat menggunakan pasar ini, setiap partisipan memiliki andil dalam proses pembentukan harga dan akan menghasilkan informasi bagi permintaan di masa datang dan kondisi penawaran. Sebaliknya dibandingkan dengan pasar cash pasar berjangka lebih transparan sehingga manipulasi harga lebih sulit untuk dilakukan.


(43)

43

Fakta yang menunjukkan selalu bergejolaknya harga-harga untuk masa mendatang secara sederhana merefleksikan berubahnya konsensus di antara peserta pasar karena diterimanya informasi terkini mengenai situasi pasokan/permintaan komoditi yang diperdagangkan oleh mereka. Harga di pasar berjangka akan selalu berubah menyesuaikan diri dengan perubahan informasi pasar yang terjadi. Hal ini penting bagi perencanaan produksi, prosesing dan pemasaran komoditi, sehingga membantu mengurangi biaya-biaya operasional yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi ekonomi. Adanya pasar berjangka juga dapat membantu terintegrasinya pasar-pasar lokal ke dalam pasar nasional atau bahkan internasional. Makna terintegrasinya pasar nasional adalah harga di berbagai tingkat pemasaran yang berbeda akan bergerak mendekati pasar-pasar nasional dan internasional. Hal ini akan menjamin lebih realistisnya harga komoditi. Yang, Bessler dan Leatham (2001) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa harga pada pasar berjangka adalah refleksi dari estimasi harga di spot

periode kedepannya.

Termasuk dalam transaksi spot antara lain adalah serah terima barang saat transaksi berlangsung dan langsung dibayar tunai pada saat itu juga, atau dapat juga serah terima barang saat transaksi dan dibayar kemudian sesuai kesepakatan atau dengan melakukan ijon yaitu membayar sekarang saat komoditi masih diproses. Contoh dari pasar spot yang ada di dalam negeri adalah pasar spot CPO di Medan.

Pelaksanaan kontrak berjangka adalah dengan menandatangani kontrak yang menentukan harga kualitas, kuantitas dan waktu penyerahan. Kontrak ini dalam prakteknya dapat diperjual belikan sebelum jatuh tempo penyerahan


(44)

44

dimana dengan harga yang bergerak harga beli bisa lebih besar, sama atau lebih kecil dibandingkan dengan harga jual (spekulatif). Lebih jauh dijelaskan bahwa walaupun berjangka transaksi ini pada akhirnya bermaksud melakukan serah terima barang secara fisik. Pelaksanaan dengan cara ini dilakukan untuk mengurangi resiko produsen dari biaya antara lain membayar denda barang di dalam kapal yang sudah berlabuh atau pembayaran sewa gudang, saat pembeli mangkir. Contoh pasar berjangka (forward) adalah di pasar forward di Rotterdam. Di pasar forward ini harga CPO dunia terbentuk dimana transaksinya berasal dari produsen dan konsumen CPO termasuk Indonesia yang merupakan negara produsen.

Mengenai cara pelaksanaan manajemen resiko harga dalam tulisannya Kang dan Mahajan (2006), menyebutkan bahwa instrumen yang digunakan dalam penentuan harga komoditi ada dua kategori yang pertama adalah instrumen yang terstandarisasi yang memperdagangkan komoditi yang diperjualbelikan. Kategori selanjutnya adalah over the counter yaitu transaksi bilateral antara dua perusahaan tanpa adanya pertukaran dimana harga ditentukan oleh keputusan perdagangan daripada lelang. Definisi dari kontrak forward adalah persetujuan antara penjual dan pembeli untuk mengirimkan sejumlah barang yang spesifik di satu waktu tertentu pada waktu yang akan datang dengan harga yang sudah ditentukan. Terdapat tiga konsep penting dalam definisi ini yaitu: (1) tidak ada transfer tunai ketika kontrak dibuat, (2) tidak terdapat resiko default tergantung dari reputasi penjual dan pembeli yang terlibat, dan (3) dalam kontrak ini kedua belah pihak harus saling menaati perjanjian.


(45)

45

Terdapat beberapa tipe kontrak forward yaitu: (1) kontrak harga tetap

(fixed price pontract) dimana dalam kontrak ini digunakan harga yang tetap (flat

price) produsen berjanji untuk mengirim pada saat yang ditentukan dan dibayar

saat pengiriman, dengan cara ini ada kemungkinan produsen kehilangan kesempatan potensial apabila harga naik, (2) kontrak harga yang ditetapkan (price

to be fixed contracts) dimana dengan tipe ini pelaku pasar memiliki kemampuan

untuk menetapkan harga pada saat yang paling menguntungkan, (3) harga yang tertunda atau harga ditetapkan nanti dengan tipe ini terjadi transfer resiko penyimpanan ke pembeli, (4) kontrak untuk menunda pembayaran (deffered

payment contract) biasanya untuk menghindari pajak, (5) kontrak harga minimum,

dan (6) kontrak harga forward dengan referensi (reference price forward contract). Pelaksanaan forward contract dalam manajemen resiko harga oleh pelaku pasar terbagi dalam dua posisi. Posisi pertama disebut sebagai posisi short apabila pelaku harga yang bertindak sebagai produsen atau pedagang membeli komoditas pada pasar fisik sekarang untuk dijual pada pasar yang akan datang dengan tingkat harga yang telah disepakati. Apabila pedagang atau produsen membeli komoditas untuk waktu pengiriman yang akan datang maka posisinya dalam bursa berjangka dalam posisi long.

Adapun definisi dari future contract adalah untuk menjelaskan forward

yang terstandarisasi dimana sebuah future contract bukanlah suatu stok atau komoditi tapi bisa diperdagangkan sebagai stok. Penjual dan pembeli pada perjanjian futurecontract bertransaksi sebagaimana pada forwardcontract namun dapat saja tidak berupa penjualan yang aktual dan dapat ditutup dengan pengalihan kontrak kepada pihak lain. Penting untuk diketahui bahwa cara ini


(46)

46

bukan untuk meningkatkan pendapatan produsen namun sebagai media untuk meminimalkan resiko karena pergerakan harga.

Definisi dari option adalah perdagangan komoditi dimasa datang dengan

range harga dimana penjual mendapatkan semacam asuransi berupa penerimaan

harga penjualan minimum dan bagi pembeli akan membayar dengan harga tertinggi. Option dapat digunakan untuk menyediakan perlindungan cadangan sementara di sisi lain pelaku pasar berusaha mendapatkan keuntungan potensial. Adapun SWAP dikembangkan sebagai instrumen manajemen resiko jangka panjang. Sebuah komoditi kontrak SWAP diobligasi dalam dua perusahaan untuk menyikapi harga yang mengambang dengan harga tetap (atau kebalikannya) untuk ukuran tertentu komoditi pada interval waktu tertentu. Artinya suatu perjanjian SWAP antara dua perusahaan (hedger dan penyedia hedge) dimana hedger

(pengguna komoditi atau produsen) setuju untuk membayar harga yang tetap dan menerima harga yang mengambang untuk volume tertentu dari komoditi untuk periode tertentu.

Berdasarkan UU No. 32/1997, tentang perdagangan berjangka komoditi, disebutkan beberapa institusi yang terlibat dalam aktivitas Perdagangan Berjangka, yakni: (1) pengguna/pemakai, yaitu dunia usaha dan masyarakat umum yang terdiri lagi atas kelompok hedger dan kelompok investor/spekulator yang memanfaatkan pergerakan harga komoditi yang terjadi di pasar berjangka untuk mencari keuntungan, (2) penyelenggara, yang terdiri dari Bursa Berjangka Jakarta dan Kliring Berjangka Indonesia, dan (3) pelaku dan penunjang.

Pengguna dari pasar berjangka antara lain adalah produsen, pengolah, pedagang, eksportir dan konsumen yang ingin melindungi dirinya dari resiko


(47)

47

fluktuasi harga. Mereka yang menggunakan pasar berjangka untuk tujuan ini disebut dengan hedger yaitu pihak-pihak yang ingin mengurangi resiko flutuasi harga. Selain hedger maka ada pelaku yang disebut spekulator yaitu mereka yang ingin mencari keuntungan dari adanya fluktuasi harga dimana mereka membeli kontrak berjangka pada saat harga rendah dan menjualnya pada saat harga naik.

Terdapat beberapa definisi yang sering dihubungkan dengan spekulator pada pasar berjangka. Pertama adalah spreaders yaitu pihak yang berperan dalam transaksi dengan melihat perbedaan harga. Fungsi dari spreaders adalah untuk melihat perbedaan harga di kedua pasar dan berdasarkan selisih harga di kedua pasar tersebut dia akan membeli di pasar yang harganya rendah untuk dijual kembali di pasar yang harganya tinggi sehingga dengan aktivitasnya tersebut kedua pasar akan mengalami penyesuaian dan harga menjadi relatif sama. Kedua adalah scalpers adalah spekulan yang fungsinya melakukan spekulasi pada transaksi harian. Akibat adanya scalpers maka akan terjadi kesinambungan transaksi karena seorang scalpers akan mengumpulkan informasi-informasi yang dapat mempengaruhi keseimbangan harga pada hari itu baik formal maupun informal (Hakim, 2009).

Bursa Berjangka Indonesia merupakan institusi yang menyediakan fasilitas bagi terselenggaranya kegiatan transaksi berjangka. Sebagai penyelenggara akitivitas perdagangan berjangka, Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) melakukan fungsi pengawasan dan memiliki wewenang membuat peraturan sendiri (dengan persetujuan Bappebti) untuk dipatuhi oleh anggota dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam transaksi, adalah badan hukum yang bertugas menyelesaikan semua tertib administrasi bagi tiap transaksi. Selain BBJ yang


(48)

48

bertindak sebagai penyelenggara pada pasar berjangka adalah lembaga kliring. Tugas lembaga kliring adalah untuk mencatat posisi setiap anggota pasar saat transaksi berakhir. Kliring Berjangka Indonesia melakukan kegiatan administrasi pelaporan, pemantauan dan pemeriksaan terhadap anggotanya untuk memastikan aktivitas perdagangan berjangka komoditi dijalankan sebagaimana peraturannya.

Tugas lembaga kliring lainnya adalah memungut marjin, dimana definisi dari marjin adalah sejumlah dana yang harus dipertahankan seorang nasabah kepada broker anggota kliring dari suatu bursa atau oleh broker kepada lembaga kliring untuk menjamin broker atau lembaga kliring yang bersangkutan terhadap kerugian yang mungkin terjadi.

Pelaku dan penunjang dalam pasar berjangka terdiri dari unsur pelaku adalah Pialang Berjangka dan Perdagangan Berjangka. Pialang Berjangka adalah badan hukum yang boleh menerima amanat (order) dari nasabah. Pialang Berjangka harus memiliki izin usaha dari Bappebti, menjadi anggota Bursa Berjangka Jakarta dan dapat pula menjadi anggota Kliring Berjangka Indonesia. Pialang Berjangka dalam melaksanakan kegiatannya wajib menunjuk wakil Pialang Berjangka sebagai tenaga ahli yang telah lulus ujian profesi yang diselenggarakan oleh pihak Bappebti.

Pedagang Berjangka adalah anggota Bursa Berjangka Jakarta harus memiliki sertifikat pendaftaran Bappebti. Pedagang Berjangka adalah orang yang melakukan transaksi untuk rekeningnya sendiri dan atau kelompok usahanya. Unsur penunjang adalah Penasehat Berjangka (analisis pasar berjangka dan komoditi yang diperdagangkan) bertugas memberikan nasehat kepada kliennya, Pengelola Sentra Dana Berjangka (badan hukum dengan ijin usaha dari Bappebti)


(49)

49

bertugas sebagai penyelenggara kegiatan menghimpun dana dari masyarakat, perbankan, tenaga ahli akutansi, hukum, pergudangan, serta lembaga penguji mutu.

Pengawas, yakni Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi adalah pembina, pengatur dan pengawasan sehari-hari seluruh kegiatan perdagangan berjangka komoditi di Indonesia. Bappebti mewujudkan kegiatan perdagangan berjangka komoditi agar teratur, wajar, efisien dan efektif, serta menumbuhkan suasana persaingan yang sehat. Untuk itulah Bappebti juga bertindak sebagai pelindung kepentingan semua pihak dalam perdagangan berjangka komoditi sehingga terwujud perdagangan berjangka komoditi yang berfungsi sebagai pengelola resiko dan pembentukan harga.

2.4. Model Analisis dengan Pendekatan Vector Autoregression

Untuk menyelesaikan permasalahan pada data time series salah satu alat analisis yang dapat digunakan adalah menggunakan Vector Autoregression (VAR) dimana jenis pendekatan ini biasanya digunakan untuk meramalkan perubahan dari error term (inovasi) suatu sistem time series. VAR dibentuk dengan menyusun sistem persamaan dimana semua variabel diperlakukan endogenous

(variabel dependen).

Definisi dari VAR adalah suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap variabel sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai selang (lampau) dari variabel itu sendiri serta nilai selang dari variabel lain yang ada dalam sistem. Panjangnya selang variabel yang optimal diperlukan untuk menangkap pengaruh dari setiap variabel terhadap variabel yang lain di dalam sistem VAR. Penentuan


(50)

50

panjangnya selang optimal ini bisa menggunakan beberapa kriteria antara lain

Akaike Information Criteria (AIC), Schwartz Information Criteria (SIC),

Hannah-Quin Criteria (HQ), Likehood Ratio (LR), maupun Final Prediction Error (FPE).

Panjang selang yang optimal terjadi jika nilai-nilai kriteria yang telah disebutkan mempunyai nilai absolut paling kecil dan pada beberapa kriteria panjang selang optimal terjadi jika nilai adjusted R2 adalah paling tinggi.

Thomas (1997) menjelaskan bahwa kelebihan dari metode ini dapat digunakan untuk data dari berbagai waktu, hasil yang diperoleh tidak spurious

(palsu), dapat menentukan besar integrasi, arah transformasi harga, pasar yang menjadi pemimpin atau pengikut harga maupun pasar yang terisolasi. Struktural VAR tidak hanya menghasilkan rekomendasi berdasarkan keluaran modelnya dalam merespon adanya suatu shock tetapi juga sesuai dengan model teoritik dan dapat melihat respon jangka panjang berdasarkan data historisnya. Selain itu model VAR adalah model linier sehingga model VAR mudah diestimasi dengan menggunakan model OLS.

Tulisan lain terkait tentang penggunaan pendekatan VAR untuk menyelesaikan masalah ekonomi dibahas oleh Widarjono (2007), dimana dalam tulisannya dinyatakan bahwa model VAR dibangun dengan pertimbangan meminimalkan pendekatan teori dengan tujuan agar mampu menangkap fenomena ekonomi dengan baik, dengan demikian VAR adalah model nonstruktural atau merupakan model tidak teoritis (ateoritis). Pada pembentukan VAR nonstruktural model tidak dibuat berdasarkan bangunan teori yang ada namun lebih menekankan pada ada tidaknya saling ketergantungan antar variabel ekonomi. Syarat agar VAR dapat digunakan dalam analisis data adalah semua variabel tak


(51)

51

bebas harus bersifat stasioner artinya data time series yang dipakai tidak memiliki

trend. Apabila dilakukan analisis pada data yang tidak stasioner akan

menghasilkan hasil regresi yang palsu dan akan menyebabkan nilai standard error

menjadi kecil dan t besar (sebaran t tidak valid). Syarat lain yang harus dipenuhi adalah semua sisaan bersifat white noise yaitu memiliki rataan nol, ragam konstan dan diantara variabel tidak bebas tidak ada korelasi.

Lebih lanjut dijelaskan dalam VAR tidak perlu membedakan variabel yang menjadi eksogen maupun yang menjadi endogen. Semua variabel baik endogen maupun eksogen yang dipercaya saling berhubungan seharusnya dimasukkan dalam model dan untuk melihat hubungan antara variabel di dalam VAR kita membutuhkan sejumlah selang variabel yang ada. Selang variabel ini dibutuhkan untuk menangkap efek dari variabel tersebut terhadap variabel lain dalam model.

Kemudian Widarjono menjelaskan bahwa proses pembentukan model VAR langkah pertamanya adalah dengan melakukan uji stasionaritas data. Uji ini adalah untuk melihat apakah pergerakan data yang akan diuji memiliki trend atau tidak. Uji kestasioneran data dapat menggunakan uji Augmented Dickey Fuller (ADF). Uji ADF terdiri dari perhitungan regresi yang dirumuskan sebagai berikut :

t m

i t t

t t Y Y

Y

1 1 1

2 1

dimana:

Yt = Selisih variabel harga t = Trend waktu

, , , 2

1 = Koefisien k = Jumlah selang


(52)

52

t = Galat persamaan

Jika data adalah stasioner pada level maka disebut dengan model VAR biasa (unrestricted VAR), VAR in level atau model nonstruktural disebut begitu karena tidak memerlukan keberadaan hubungan secara teoritis antarvariabel, dan sebaliknya jika data tidak stasioner pada tingkat level tetapi stasioner pada proses differensi data, maka harus diuji apakah data mempunyai hubungan dalam jangka panjang atau tidak dengan melakukan uji kointegrasi. Rumus umum dari uji kointegrasi ini adalah sebagai berikut :

t t p t p t

t AY AY BX

Y 1 1 ...

dimana:

Yt = k vektor dari variabel nonstasioner I(1) Xt = d vektor dari variabel determinastik

t = vektor dari inovasi.

Suatu persamaan dikatakan terkointegrasi apabila antarvariabel memiliki hubungan jangka panjang. Mengenai hal ini Widarjono menjelaskan sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Engle dan Granger bahwa walaupun suatu data

time series seringkali tidak stasioner pada level atau disebut nonstasionaritas data

tetapi kombinasi linier antara dua atau lebih data nonstasioner dapat menjadi stasioner, menurutnya data time series yang tidak stasioner ini dikatakan terkointegrasi. Lebih lanjut dijelaskan salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam VAR adalah semua variabel tak bebas bersifat stasioner. Apabila data tidak stasioner, maka perlu dilakukan uji kointegrasi, dimana jika data yang tidak stasioner terkointegrasi, maka kombinasi linier variabel-variabel dalam sistem


(53)

53

akan bersifat stasioner, sehingga dapat diperoleh sistem persamaan jangka panjang yang stabil (Enders, 1995).

Suatu deret waktu dikatakan terintegrasi pada selang ke-d atau I(d) jika data tesebut bersifat stasioner setelah pendiferensian sebanyak d kali. Variabel-variabel tidak stasioner yang terintegrasi pada tingkat yang sama dapat membentuk kombinasi linier yang bersifar stasioner. Komponen dari vektor Yt dikatakan terkointegrasi jika ada vektor = ( 1, 2,..., n) sehingga kombinasi linier Yt bersifat stasioner, dengan syarat ada unsur matrikas bernilai tidak sama dengan nol. Vektor dinamakan vektor kointegrasi. Rank kointegrasi (r) dari vektor adalah banyaknya vektor kointegrasi yang saling bebas. Nilai (r) dapat diketahui melalui uji Johansen. Hipotesisnya adalah:

H0 = rank r H1 = rank>r

Apabila rank kointegrasi lebih besar dari nol, maka model yang digunakan adalah VECM dan apabila rank kointegrasi sama dengan nol, maka model yang digunakan adalah VAR dengan pendiferensian sampai selang ke d. Apabila terdapat kointegrasi maka model yang terbentuk disebut Vector Error Correction

Model (VECM). Model VECM ini merupakan model yang terestriksi (restricted

VAR) karena adanya kointegrasi yang menunjukkan hubungan teoritis jangka panjang antar variabel dalam sistem VAR. Spesifikasi VECM merestriksi hubungan perilaku jangka panjang antar variabel yang ada agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasi namun tetap membiarkan perubahan-perubahan dinamis dalam jangka pendek. Terminologi kointegrasi ini dikenal sebagai koreksi kesalahan (error correction) karena bila terjadi deviasi terhadap keseimbangan


(1)

136 Lampiran 3. Lanjutan

[-0.55428] D(LOG(KED(-1))) 0.227498 0.288512 0.300308 0.289597

(0.14710) (0.16551) (0.19651) (0.14026) [ 1.54651] [ 1.74316]* [ 1.52822] [ 2.06473]**

D(LOG(KED(-2))) 0.072466 0.088295 0.292799 -0.023202

(0.14950) (0.16821) (0.19971) (0.14254) [ 0.48472] [ 0.52492] [ 1.46612] [-0.16277]

C 2.676728 1.228372 -0.948863 2.490763

(1.04176) (1.17211) (1.39164) (0.99328) [ 2.56943]* [ 1.04800] [-0.68183] [ 2.50761]***

LOG(ERM) -1.898622 -1.241689 -0.891741 -1.034606 (0.34465) (0.38778) (0.46041) (0.32862) [-5.50878]* [-3.20204]* [-1.93686]* [-3.14838]***

LOG(ERI) -0.022071 0.042451 0.231605 -0.124785

(0.09334) (0.10502) (0.12469) (0.08900) [-0.23645] [ 0.40421] [ 1.85745]* [-1.40211] R-squared 0.485909 0.482118 0.215874 0.346776 Adj. R-squared 0.424441 0.420197 0.122120 0.268673 Sum sq. resids 0.317223 0.401578 0.566084 0.288387 S.E. equation 0.058720 0.066068 0.078442 0.055988 F-statistic 7.905137 7.786059 2.302551 4.439992 Log likelihood 153.6425 141.3811 123.5274 158.5982 Akaike AIC -2.723894 -2.488098 -2.144758 -2.819197 Schwarz SC -2.418772 -2.182976 -1.839636 -2.514075 Mean dependent 0.003613 0.002952 0.007603 0.005656 S.D. dependent 0.077401 0.086766 0.083720 0.065469 Determinant Residual Covariance 5.94E-12

Log Likelihood 779.3720 Log Likelihood (d.f. adjusted) 753.8707 Akaike Information Criteria -13.49751 Schwarz Criteria -12.17532

Keterangan: (*** ) nyata pada 1% = 2.32 (**) nyata pada 5% = 1.96

(*) nyata pada 10% = 1.64


(2)

137 Lampiran 4. Analisis Impulse Response

Response of LOG(ROT):

Bulan LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED) 1 0.058720 0.000000 0.000000 0.000000 2 0.067191 -0.009453 0.018529 0.008139 3 0.050050 -0.004005 0.029038 0.011839 4 0.036220 0.018926 0.032767 0.013171 5 0.038692 0.028811 0.036137 0.014368 6 0.043850 0.027300 0.037820 0.016430 7 0.045724 0.023481 0.037101 0.018471 8 0.045641 0.022214 0.036184 0.019133 9 0.045390 0.022541 0.036118 0.018736 10 0.045168 0.023071 0.036455 0.018347

Response of LOG(MAL):

Bulan LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED) 1 0.060137 0.027360 0.000000 0.000000 2 0.082967 0.006025 0.021228 0.010964 3 0.065767 0.006321 0.032244 0.016973 4 0.049252 0.029244 0.034706 0.018906 5 0.050800 0.041856 0.038307 0.019476 6 0.056381 0.041167 0.040789 0.021053 7 0.058331 0.037278 0.040347 0.023290 8 0.058200 0.035873 0.039322 0.024254 9 0.058015 0.036180 0.039161 0.023929 10 0.057890 0.036661 0.039486 0.023502

Response of LOG(IND):

Bulan LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED) 1 0.067226 0.015454 0.037349 0.000000 2 0.071974 -0.001341 0.052403 0.011637 3 0.057455 0.001666 0.052174 0.024037 4 0.052318 0.016504 0.053585 0.025565 5 0.056126 0.022009 0.056902 0.024352 6 0.058656 0.020504 0.058445 0.025535 7 0.058613 0.018891 0.058164 0.027146 8 0.058258 0.019047 0.057757 0.027543 9 0.058382 0.019467 0.057827 0.027296 10 0.058482 0.019549 0.058034 0.027169

Response of LOG(KED):

Bulan LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED) 1 0.038278 -0.001088 0.004239 0.040623 2 0.048214 -0.012000 0.018394 0.051809 3 0.038832 -0.004150 0.022616 0.052555 4 0.033542 0.008347 0.025149 0.053850 5 0.034881 0.013448 0.028610 0.054754


(3)

138 Lampiran 4. Lanjutan

6 0.036387 0.013654 0.029975 0.056015 7 0.037011 0.012722 0.029671 0.057345 8 0.037360 0.012242 0.029332 0.057823 9 0.037504 0.012159 0.029328 0.057717 10 0.037415 0.012256 0.029445 0.057594

Cholesky Ordering: LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED)

Lampiran 5. Analisis Variance Decomposition

Variance Decomposition of LOG(ROT):

Period S.E. LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED) 1 0.058720 100.0000 0.000000 0.000000 0.000000 2 0.091987 94.10377 1.056146 4.057253 0.782835 3 0.109389 87.47824 0.880874 9.915901 1.724990 4 0.121997 79.14619 3.114985 15.18644 2.552381 5 0.136831 70.91172 6.909648 19.04712 3.131508 6 0.151957 65.82364 8.830123 21.63813 3.708107 7 0.165683 62.98573 9.436187 23.21606 4.362030 8 0.178052 61.10894 9.727111 24.23220 4.931749 9 0.189543 59.65899 9.997752 25.01426 5.329004 10 0.200411 58.44357 10.26806 25.68361 5.604757 11 0.210747 57.40306 10.51751 26.25624 5.823182 12 0.220619 56.52092 10.73640 26.73259 6.010088 13 0.230084 55.78366 10.91958 27.12573 6.171019 14 0.239182 55.16670 11.06882 27.45517 6.309301 15 0.247943 54.64124 11.19255 27.73741 6.428792 16 0.256401 54.18431 11.29957 27.98346 6.532659 17 0.264587 53.78139 11.39481 28.20031 6.623481 18 0.272528 53.42353 11.48013 28.39273 6.703607 19 0.280245 53.10419 11.55644 28.56435 6.775018 20 0.287755 52.81786 11.62477 28.71819 6.839169

Variance Decomposition of LOG(MAL):

Period S.E. LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED) 1 0.066068 82.85082 17.14918 0.000000 0.000000 2 0.108883 88.56486 6.620194 3.800982 1.013968 3 0.132471 84.48072 4.700202 8.492420 2.326662 4 0.149638 77.04217 7.502968 12.03507 3.419799 5 0.169029 69.41195 12.01209 14.56822 4.007746 6 0.188550 64.72438 14.42051 16.38758 4.467537 7 0.206188 62.12779 15.32760 17.53283 5.011776


(4)

139 Lampiran 5. Lanjutan

8 0.222086 60.41902 15.82079 18.24755 5.512642 9 0.236861 59.11566 16.24183 18.77557 5.866941 10 0.250818 58.04649 16.62089 19.22245 6.110169 11 0.264066 57.14200 16.95162 19.60568 6.300695 12 0.276696 56.37529 17.23721 19.92484 6.462660 13 0.288791 55.73283 17.47803 20.18795 6.601186 14 0.300409 55.19562 17.67673 20.40802 6.719626 15 0.311593 54.73968 17.84241 20.59609 6.821825 16 0.322383 54.34459 17.98524 20.75951 6.910659 17 0.332822 53.99705 18.11155 20.90314 6.988259 18 0.342944 53.68889 18.22417 21.03036 7.056582 19 0.352777 53.41424 18.32469 21.14372 7.117349 20 0.362343 53.16828 18.41464 21.24523 7.171856

Variance Decomposition of LOG(IND):

Period S.E. LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED) 1 0.078442 73.44798 3.881429 22.67059 0.000000 2 0.119233 68.22669 1.692567 29.12816 0.952576 3 0.144293 62.44170 1.169054 32.96369 3.425556 4 0.165393 57.53205 1.885553 35.58600 4.996401 5 0.186602 54.24417 2.872372 37.25524 5.628220 6 0.206759 52.23161 3.323050 38.33574 6.109598 7 0.225081 50.85539 3.508456 39.02623 6.609926 8 0.241894 49.83201 3.657727 39.49080 7.019470 9 0.257661 49.05401 3.794602 39.84246 7.308928 10 0.272576 48.43586 3.905067 40.13464 7.524426 11 0.286720 47.92249 3.994669 40.38097 7.701862 12 0.300194 47.49092 4.071990 40.58518 7.851909 13 0.313095 47.12933 4.138475 40.75413 7.978061 14 0.325493 46.82446 4.194137 40.89629 8.085116 15 0.337437 46.56311 4.241018 41.01832 8.177549 16 0.348969 46.33556 4.281655 41.12462 8.258161 17 0.360132 46.13541 4.317590 41.21816 8.328848 18 0.370960 45.95809 4.349556 41.30106 8.391289 19 0.381480 45.80002 4.378066 41.37499 8.446929 20 0.391719 45.65826 4.403616 41.44126 8.496864

Variance Decomposition of LOG(KED):

Period S.E. LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED) 1 0.055988 46.74284 0.037787 0.573300 52.64607 2 0.092875 43.93575 1.683256 4.130661 50.25033 3 0.115864 39.46342 1.209830 6.464335 52.86241 4 0.134727 35.38443 1.278575 8.265158 55.07184


(5)

140 Lampiran 5. Lanjutan

5 0.152858 32.69567 1.767287 9.923862 55.61319 6 0.170036 31.00271 2.073066 11.12764 55.79658 7 0.186045 29.85439 2.199232 11.83850 56.10789 8 0.200903 29.05976 2.257279 12.28371 56.39925

9 0.214728 28.48895 2.296634 12.61848 56.59593 10 0.227688 28.03814 2.332366 12.89515 56.73434 11 0.239943 27.65956 2.368149 13.12708 56.84521 12 0.251610 27.34051 2.402566 13.32050 56.93643 13 0.262771 27.07454 2.432487 13.48160 57.01138 14 0.273484 26.85192 2.456753 13.61674 57.07458 15 0.283796 26.66241 2.476474 13.73170 57.12942 16 0.293744 26.49827 2.493257 13.83109 57.17738 17 0.303366 26.35436 2.508086 13.91825 57.21930 18 0.312690 26.22714 2.521356 13.99538 57.25613 19 0.321745 26.11391 2.533240 14.06405 57.28879 20 0.330552 26.01259 2.543882 14.12550 57.31804 Cholesky Ordering: LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED)


(6)

This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.