Transmisi Harga Biji Kakao di Pasar Fisik Indonesia, Pasar Berjangka New York, dan London

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang unggul dalam bidang pertanian. Sektor pertanian di Indonesia menyumbang sekitar 2.708,161 triliun rupiah untuk nilai pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga yang berlaku pada tahun 2010 (Kementan 2011). Oleh karena itu, sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung bagi perekonomian Indonesia. Sektor pertanian terdiri dari subsektor perkebunan, subsektor hortikultura, subsektor peternakan, dan subsektor tanaman pangan. Diantara keempat subsektor tersebut, subsektor perkebunan memiliki surplus dalam hal neraca perdagangan. Hal ini dapat dilihat dari penjabaran Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Neraca Perdagangan Pertanian Indonesia Menurut Sub Sektor Tahun 2006 - 2010

No. Sub Sektor Tahun Rata-rata

pertumbuhan 2006-2010 (%) 2006 2007 2008 2009 2010

Nilai (US$ 000)

1 Tanaman Pangan

- Ekspor 264.155 288.588 348.883 321.262 477.708 17,73 - Impor 2.568.453 2.729.101 3.526.957 2.737.862 3.893.840 13,83 - Neraca -2.304.299 -2.440.513 -3.178.074 -2.416.601 -3.416.132 13,38

2 Hortikultural

- Ekspor 238.063 254.537 433.921 379.939 390.740 16,95 - Impor 527.415 810.130 926.045 1.077.463 1.292.988 26,07 - Neraca -289.352 -555.593 -492.124 -697.724 -902.248 37,92

3 Perkebunan

- Ekspor 13.972.064 1.994.893 27.363.363 21.581.669 30.702.864 25,27 - Impor 1.675.067 3.379.875 4.535.918 3.949.191 6.028.160 43,92 - Neraca 12.296.997 16.596.049 22.833.445 17.632.479 24.674.704 22,43

4 Peternakan

- Ekspor 388.939 748.215 1.148.170 754.913 951.662 34,41 - Impor 1.190.396 1.696.459 2.352.219 2.132.800 2.768.339 25,41 - Neraca -801.457 -948.244 -1.204.049 -1.377.887 -1.816.677 22,89

PERTANIAN

- Ekspor 14.863.221 21.240.264 29.300.337 23.037.582 32.522.974 25,16 - Impor 591.331 861.556 11.341.139 9.897.316 13.983.327 26,18 - Neraca 8.901.890 12.624.698 17.959.198 13.140.266 18.539.647 24,58 Sumber : BPS diolah Pusdatin (2011)


(2)

Subsektor perkebunan memiliki nilai ekspor yang lebih besar dibandingkan nilai impornya. Inilah yang menjadikan nilai neraca perdagangan subsektor perkebunan surplus dari tahun ke tahun. Walaupun terjadi penurunan nilai neraca perdagangan pada tahun 2009, subsektor perkebunan menyumbang ekspor lebih dari 90 persen terhadap total ekspor pertanian yaitu sebesar US$ 21,58 miliar dari total ekspor pertanian US$ 23,03 miliar. Pada tahun 2010 terjadi peningkatan nilai neraca perdagangan yang signifikan dari tahun sebelumnya sebesar US$ 7,04 miliar. Hal ini membuktikan bahwa subsektor perkebunan memiliki keunggulan pada sektor pertanian di Indonesia.

Sektor perkebunan mempunyai peran yang penting bagi perekonomian Indonesia. Hasil produksi perkebunan Indonesia mempunyai andil yang cukup besar dalam menyumbang devisa negara. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai dan volume ekspor perkebunan Indonesia tahun 2006-2010 pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai dan Volume Ekspor dan Komoditas Perkebunan Indonesia Tahun 2006-2010

No Komoditas Tahun Rata-rata

pertumbuhan 2006-2010

(%) 2006 2007 2008 2009 2010

1 Kelapa Volume (Ton) 978.113 1.269.969 1.080.981 957.517

1.045.960 3,19 Nilai (US$ 000) 363.081 695.812 900.917 489.885

703.239 29,76

2 Karet

Volume (Ton) 2.287.310 2.488.585 2.345.457 2.067.312

2.420.716 2,07 Nilai (US$ 000) 4.322.466 4.985.242 6.152.246 3.450.497

7.470.112 27,83

3 Kelapa Sawit

Volume (Ton) 15.386.946 15.200.733 18.141.004 21.669.489

20.394.174 7,92 Nilai (US$ 000) 5.551.160 9.078.283 14.110.229 11.728.840

15.413.639 33,38

4 Kopi

Volume (Ton) 414.105 321.006 468.750 507.968

433.595 4,32 Nilai (US$ 000) 588.502 635.696 991.458 829.261

814.311 11,46

5 Kakao Volume (Ton) 612.124 503.547 515.576 559.799

552.892 -2,00 Nilai (US$ 000) 855.047 924.186 1.269.022 1.459.297

1.643.773 18,26 Sumber : BPS diolah Pusdatin (2011)


(3)

Salah satu komoditi perkebunan yang berpotensi untuk dikembangkan adalah kakao. Kakao Indonesia merupakan komoditi utama perkebunan yang menyumbang devisa negara untuk ekspor hasil perkebunan. Nilai ekspor kakao Indonesia menempati urutan ketiga setelah kelapa sawit dan karet dengan total nilai ekspor sebesar US$ 1,64 miliar pada tahun 2010. Hal ini dapat menunjukkan potensi dan peluang komoditas kakao dalam perdagangan internasional. Kakao berperan sebagai penghasil devisa negara, penyedia lapangan pekerjaan, dan sumber pendapatan bagi petani di Indonesia. Kondisi ini didukung dengan kepemilikan area tanam kakao nasional yang sebagian besar dikelola oleh perkebunan rakyat. Pada tahun 2011 diduga luas areal kakao milik perkebunan rakyat (PR) sebesar 1.641.130 ha. Untuk perkebunan besar negara (PBN) dan perkebunan besar swasta (PBS) masing-masing luasnya diduga sebesar 54.443 ha dan 50.216 ha. Luas areal dan produksi kakao Indonesia dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas Areal dan Produksi Kakao Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 2000-2011

Tahun

Luas Areal Produksi

(Ha) (Ton) Perkebunan Rakyat (PR) Perkebuna n Besar Negara (PBN) Perkebunan Besar Swasta (PBS) Jumlah Perkebunan Rakyat (PR) Perkebunan Besar Negara (PBN) Perkebunan Besar Swasta (PBS) Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2000 641.133 52.690 56.094 749.917 363.628 34.790 22.724

421.142 2001 710.044 55.291 56.114 821.449 476.924 33.905 25.975

536804 2002 798.628 54.815 60.608 914.051 511.379 34.083 25.693

571.155 2003 861.099 49.913 53.211 964.223 634.877 32.075 31.864

698.816 2004

1.003.252 38.668 49.040

1.090.960 636.783 25.830 29.091 691.704 2005

1.081.102 38.295 47.649

1.167.046 693.701 25.494 29.633 748.828 2006

1.219.633 48.930 52.257

1.320.820 702.207 33.795 33.384 769.386 2007

1.272.781 57.343 49.155

1.379.279 671.370 34.643 33.993 740.006 2008

1.326.784 50.584 47.848

1.425.216 740.681 31.130 31.783 803.594 2009

1.491.808 49.489 45.839

1.587.136 741.981 34.604 32.998 809.583 2010 *)

1.555.596 50.104 45.839

1.651.539 773.707 36.844 34.075 844.626 2011 **)

1.641.130 54.443 50.216

1.745.789 828.255 38.068 36.769 903.092 Keterangan : *) Angka sementara dan **) Angka dugaan


(4)

Perkembangan luas areal dan produksi kakao terus meningkat setiap tahunnya. Walaupun pada tahun 2004 dan 2007 terjadi penurunan jumlah produksi, tetapi secara umum trend produksi mengalami peningkatan. Keadaan ini dapat dilihat ketika tahun 1967 total luas areal kakao hanya 12.839 ha, hingga tahun 2011 total luas areal kakao diduga sebesar 1.745.789 ha. Dilihat dari sisi produksi, pada tahun 1967 total produksi kakao hanya 1.233 ton dan pada tahun 2011 diduga total produksi kakao sebesar 903.092 ton.

Pengaruh positif yang timbul dari adanya perkembangan luas areal dan produksi kakao telah memberikan hasil yang berdampak pada peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di dunia. Indonesia berhasil menjadi produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Jumlah produksi biji kakao dari ketiga negara tersebut dibandingkan dengan negara lain dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Produksi Biji Kakao Dunia Tahun 2001-2010

Negara

Produksi (ribu ton) 2001/ 2002 2002/ 2003 2003/ 2004 2004/ 2005 2005/ 2006 2006/ 2007 2007/ 2008 2008/ 2009 2009/ 2010* AFRIKA 1.952 2.232 2.550 2.375 2.642 2.391 2.692 2.519 2.458

Kamerun 131 160 166 185 166 166 185 227 190 Pantai Gading 1.265 1.352 1.407 1.286 1.408 1.292 1.382 1.222 1.242 Ghana 341 497 737 599 740 614 729 662 632 Nigeria 185 173 180 200 200 190 230 250 240 Lainnya 30 50 60 105 128 129 166 158 154

AMERIKA 370 428 462 445 446 411 469 488 522

Brazil 124 163 163 171 162 126 171 157 161 Ekuador 81 86 117 116 114 114 118 134 160 Lainnya 165 179 182 158 170 171 180 197 201

ASIA &

OCEANIA 539 510 525 559 636 597 592 599 633

Indonesia 455 410 430 460 530 490 485 490 535 Lainnya 84 100 95 99 106 107 107 109 98

TOTAL DUNIA 2.861 3.170 3.537 3.379 3.724 3.399 3.753 3.606 3.613

Keterangan : *) Angka dugaan

Sumber : International Cocoa Organization (2011)

Indonesia pernah berada di peringkat kedua sebagai negara peghasil biji kakao terbesar di dunia pada tahun 2001/2002, namun kembali tergeser ke posisi tiga oleh Ghana pada tahun berikutnya. Pergeseran itu terjadi karena adanya serangan hama pada tanaman kakao. Indonesia menjadi pemasok terbesar biji


(5)

kakao di wilayah Asia Oceania dengan total produksi Indonesia lebih dari 80 persen total produksi keseluruhan di Asia Oceania.

Tingkat persaingan ekspor Indonesia dengan negara utama penghasil kakao lainnya sangat ketat. Hal ini dikarenakan biji kakao Indonesia yang dihasilkan oleh rakyat kualitasnya masih rendah. Kualitas kakao Indonesia masih didominasi oleh biji kakao yang belum terfermentasi, biji dengan kadar kotoran yang tinggi, serta terkontaminasi serangga, jamur, atau mikotoksin sehingga kakao Indonesia dihargai paling rendah di pasar internasional. Hal ini juga yang menyebabkan volume dan nilai ekspor kakao Indonesia fluktuatif dari tahun ke tahun. Pada Tabel 5 tersedia data mengenai volume dan nilai ekspor impor komoditi kakao Indonesia.

Tabel 5. Volume dan Nilai Ekspor Impor Biji Kakao Indonesia Tahun 2000-2009

Tahun

EKSPOR IMPOR

VOLUME (Ton)

NILAI (000 US$)

VOLUME (Ton)

NILAI (000 US$)

1 2 3 4 5

2000 424.089 341.860 18.252 18.953 2001 392.072 389.262 11.841 15.699 2002 465.622 701.034 36.603 64.001 2003 355.726 621.022 39.226 76.205 2004 366.855 546.560 46.974 77.023 2005 463.632 664.338 52.353 82.326 2006 609.035 852.778 47.939 74.185 2007 503.522 924.157 43.528 82.786 2008 515.523 1.268.914 53.331 113.381 2009 535.236 1.413.535 46.356 119.321 Sumber : BPS diolah Pusdatin (2011)

Data perkembangan volume dan nilai ekspor biji impor kakao Indonesia selama sepuluh tahun terakhir memperlihatkan dengan jelas terjadinya fluktuasi perdagangan komoditas kakao di pasar internasional. Besarnya peningkatan nilai ekspor impor dibandingkan dengan volumenya menunjukkan bahwa harga kakao cenderung meningkat (Bappebti 2011). Selain itu, tingkat persaingan perdagangan internasional juga menjadi hal yang perlu diperhatikan karena dapat menyebabkan harga ekspor kakao Indonesia juga semakin fluktuatif. Seharusnya, Indonesia sebagai salah satu penghasil biji kakao terbesar di dunia memiliki kemampuan


(6)

untuk mengontrol pergerakan jumlah dan harga biji kakao serta mengatasi fluktuasi harga biji kakao dari waktu ke waktu. Perubahan harga yang berfluktuasi ini membuat produsen tidak dapat memprediksi keuntungan yang akan diterima atau kemungkinan kerugian yang akan diperoleh akibat harga kakao yang jatuh dipasaran. Hal ini yang membuat harga menjadi salah satu hal yang penting dalam perdagangan kakao di Indonesia karena selain menjadi indikator penerimaan bagi perusahaan, harga juga menjadi salah satu indikator penentuan produksi di masa depan.

Alternatif cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya fluktuasi harga tersebut adalah dengan sistem pasar berjangka komoditi. Transaksi yang terjadi pada pasar berjangka akan memberikan kejelasan berapa volume yang harus dihasilkan oleh produsen sehingga memberikan gambaran jumlah faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan sejumlah produk yang diinginkan pasar. Informasi mengenai kepastian jumlah produk yang harus dihasilkan akan membantu produsen untuk meminimalkan risiko rendahnya harga karena kelebihan penawaran. Pusat pasar berjangka dunia untuk komoditas kakao

unfermented berada di New York serta kakao fermented berada di London. Sedangkan di Indonesia, pusat pasar perdagangan kakao terdapat di Makassar sebagai daerah penghasil kakao terbesar di Indonesia dengan transaksi penyerahan barang langsung (fisik) atau disebut juga transaksi secara spot. Walaupun di Indonesia sudah ada bursa berjangka Jakarta Futures Exchange (JFX), namun kontrak berjangka kakao baru mulai dijalankan pada 15 Desember 2011 sehingga belum terbilang efektif untuk menggambarkan harga komoditi biji kakao Indonesia.

The London International Financial Futures Exchange (LIFFE) dan The New York Board of Trade (NYBOT) dipilih dalam penelitian ini karena merupakan lantai bursa perdagangan berjangka utama untuk komoditi biji kakao

fermented dan unfermented. Perdagangan pada bursa tersentralisasi ini dapat meningkatkan transparansi pasar karena semua pedagang baik aktual maupun potensial memiliki akses yang sama terhadap harga yang terbentuk. Harga yang terjadi pada lantai bursa perdagangan komoditas ini berubah dari menit ke menit berdasarkan hasil informasi pasar baru. Hal ini menunjukkan harga komoditas


(7)

yang bersifat volatil. Data perkembangan harga komoditi kakao di pasar domestik dan dunia dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Perkembangan Harga Komoditi Kakao di Pasar Domestik dan DuniaTahun 2001 – 2009

Sumber : Disbun Propinsi dan International Cocoa Organization (2011)

Perdagangan komoditi biji kakao memerlukan suatu wadah yang menaungi seluruh pihak yang terlibat dalam bisnis kakao agar dapat menempatkan komoditi kakao Indonesia pada kedudukan yang lebih baik di pasar dunia. Hal inilah yang mendasari terbentuknya Askindo (Asosiasi Kakao Indonesia). Askindo merupakan organisasi yang sifatnya nasional dan menyeluruh dengan keanggotaan yang terbuka bagi perusahaan, koperasi, dan kelompok tani kakao yang bergerak sebagai produsen, pengolah, pabrikan, dan pedagang kakao Indonesia. Askindo berfungsi sebagai tempat pertukaran dan penyebarluasan informasi mengenai hal yang terkait dengan komoditi kakao, memperluas hubungan kerjasama internasional, membantu usaha peningkatan mutu kakao Indonesia, memberikan masukan kepada pemerintah dalam hal peraturan perundangan yang berkaitan dengan perdagangan kakao, dan sebagainya.

Adanya kebijakan pemerintah mengenai perdagangan bebas membuat perdagangan internasional menjadi tidak mustahil lagi untuk dijalankan. Suatu negara dapat dengan mudah melakukan kegiatan perdagangan ke negara lain. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mengukur dan menganalisis


(8)

seberapa erat keterkaitan harga biji kakao antar pasar fisik Indonesia dengan pasar berjangka di New York dan London. Diduga terdapat hubungan antara harga biji kakao di Indonesia dengan harga yang terjadi di The New York Board of Trade

(NYBOT) untuk komoditi biji kakao unfermented dan The London International Financial Futures Exchange (LIFFE) untuk komoditi biji kakao yang fermented. Untuk itulah dibutuhkan alat analisis yang akurat untuk melihat pergerakan harga biji kakao yang terjadi.

1.2. Perumusan Masalah

Kakao memiliki berbagai macam turunan produk diantaranya adalah kakao biji, kakao buah, kakao pasta, lemak kakao, tepung kakao, dan makanan mengandung coklat lainnya. Keenam komoditas ini menunjukkan perkembangan volume dan nilai ekspor yang baik. Pada tahun 2009 biji kakao menjadi komoditas unggulan dengan volume ekspor sebesar 439.305 ton dan nilai ekspor US$ 1,08 miliar. Sementara itu lemak kakao menyumbang 41.605 ton volume ekspor dengan nilai ekspor US$ 230 juta dan tepung kakao dengan volume ekspor 27.540 ton serta nilai ekspor sebesar US$ 45 juta (Ditjenbun 2011). Perkembangan volume dan nilai ekspor komoditi biji kakao dan produk lain kakao Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditi Biji Kakao dan Produk Lain Kakao Indonesia


(9)

Penelitian ini menggunakan komoditi biji kakao karena memiliki volume dan nilai ekspor yang tertinggi dibanding dengan produk turunan lainnya. Berdasarkan data sebelumnya dapat dilihat volume dan nilai ekspor biji kakao menempati urutan pertama dengan total 439.305 ton dan US$ 1,08 miliar pada tahun 2009. Selain itu, akibat industri pengolahan kakao domesik yang kurang berkembang maka komoditas biji kakao memiliki potensi yang lebih unggul untuk diekspor dibanding dengan produk turunan lainnya.

Komoditas kakao seperti umumnya produk pertanian lainnya juga memiliki beberapa permasalahan yang terkait dengan harga, salah satunya adalah perubahan harga. Perubahan harga pada komoditas pertanian umumnya dipengaruhi oleh jumlah permintaan yang diinginkan konsumen dan jumlah penawaran yang ditawarkan produsen. Apabila ketersediaan barang berlebih akan menyebabkan kerugian dari segi biaya gudang dan adanya risiko kerusakan serta penurunan kualitas barang.

Potensi kerugian yang ditimbulkan oleh fluktuasi harga membutuhkan suatu penanganan khusus agar dapat diminimalisasi. Salah satu caranya adalah mengembangkan suatu sarana manajemen risiko yang disebut dengan pasar berjangka (forward). Manfaat adanya bursa berjangka ini adalah sebagai tempat pembentukan harga dengan mekanisme perdagangan yang transparan dan fungsi lindung nilai (hedging) terhadap barang yang diperdagangkan. Ketersediaan informasi yang dapat diakses tanpa hambatan akan mampu memprediksi penawaran dan permintaan di masa yang akan datang sehingga komoditi dapat diramalkan dan pelaku kegiatan agribisnis dapat merencanakan pengembangan usahanya ke depan.

Salah satu pelaku bisnis kakao di Indonesia adalah Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) sebagai organisasi yang bertujuan untuk menempatkan komoditas kakao Indonesia pada kedudukan yang lebih baik di pasar dunia, khususnya untuk harga komoditi biji kakao. Namun, saat ini diperkirakan Indonesia masih menjadi penerima harga (price taker) dalam perdagangan biji kakao dunia. Keadaan ini menjadikan posisi tawar Indonesia masih tergolong lemah yang ditandai dari rendahnya harga jual biji kakao Indonesia di dunia. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan Askindo dalam meningkatkan posisi tawar biji


(10)

kakao Indonesia, maka perlu dilakukan analisis transmisi harga yang dapat menunjukkan keterkaitan harga antar pasar biji kakao Indonesia dengan pusat perdagangan kakao di dunia.

Saat ini terdapat dua cara umum yang dilakukan dalam pemasaran kakao, antara lain dengan pelaksanaan secara fisik (spot) seperti yang dilakukan Indonesia dan pelaksanaan transaksi secara berjangka (forward) seperti di bursa New York dan London. Harga fisik dan harga berjangka mempunyai hubungan saling mempengaruhi. Kedua harga tersebut cenderung memiliki pergerakan searah dengan fluktuasi yang tidak selalu sama, namun hal tersebut tidak selalu terjadi. Harga fisik merupakan acuan bagi harga berjangka, namun hal tersebut tidak selalu terjadi karena tidak semua harga berjangka bereaksi terhadap

perubahan harga fisik. Sebaliknya harga berjangka merupakan sinyal harga masa

depan untuk pasar fisik. Menurut wawancara yang dilakukan dengan ketua

Askindo, mekanisme pembentukan harga biji kakao di Indonesia mengacu pada harga yang dibentuk dari pusat perdagangan komoditi kakao yang terletak di Makassar. Harga biji kakao di Makassar diduga diperoleh dengan mempertimbangkan harga yang terjadi di bursa perdagangan komoditi berjangka

New York Board of Trade (NYBOT) untuk komoditi biji kakao unfermented dan

London International Financial Futures Exchange (LIFFE) untuk komoditi biji kakao fermented.

Adanya globalisasi membuat suatu kejadian di dunia menjadi semakin terkait satu sama lain dan dapat cepat berpengaruh terhadap belahan dunia lainnya. Dampak globalisasi yang dirasakan dalam bidang ekonomi diikuti oleh adanya perdagangan bebas. Hal inilah yang menyebabkan bahwa harga biji kakao yang terjadi di pasar fisik Indonesia diduga tidak berdiri sendiri. Adapun hal lain yang diduga mempengaruhinya adalah harga kakao yang terfermentasi di pasar berjangka London dan juga harga kakao yang tidak terfermentasi di pasar berjangka New York. Kedua bursa ini diduga memberika pengaruh karena merupakan pusat perdagangan berjangka terbesar di dunia untuk komoditi kakao.

Hubungan harga biji kakao di berbagai pasar pada umumnya dapat menggunakan pendekatan model Vector Autoregression (VAR). Model VAR merupakan permodelan multivariate yang dapat menjelaskan hubungan dinamis


(11)

antar variabel yang diduga berhubungan. Hingga saat ini, permodelan VAR telah digunakan dalam berbagai penelitian untuk melihat bagaimana hubungan pergerakan harga yang terjadi di berbagai pasar. Permodelan VAR pada penelitian Hafizah (2009) digunakan untuk menganalisis integrasi pasar fisik crude palm oil

(CPO) di Indonesia dan Malaysia, serta pasar berjangka di Rotterdam. Permodelan VAR lainnya digunakan Fitrianti (2009) untuk menganalisis integrasi pasar karet alam di pasar fisik Indonesia dan pasar berjangka dunia. Selain itu, analisis mengenai transmisi harga teh hitam di Indonesia pun juga dapat menggunakan permodalan VAR seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Adinugroho (2011). Pada penelitian kali ini, permodelan VAR digunakan untuk menganalisis transmisi harga biji kakao di pasar spot Indonesia, pasar forward di London dan New York. Sehingga diharapkan melalui model VAR ini dapat terlihat hubungan harga komoditi biji kakao antara pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York, dan London yang mendekati keadaan sebenarnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan yang diangkat dari penelitian ini adalah :

1. Bagaimana volatilitas harga biji kakao di pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York dan London?

2. Bagaimana hubungan harga biji kakao di pasar fisik Indonesia terhadap harga di pasar berjangka New York dan London berdasarkan model VAR yang dibuat?

3. Bagaimana implikasi transmisi harga yang dapat diaplikasikan di Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) untuk meningkatkan posisi kakao Indonesia yang lebih baik di pasar dunia?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis volatilitas harga biji kakao di pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York dan London.

2. Menganalisis hubungan harga biji kakao di pasar fisik Indonesia terhadap harga di pasar berjangka New York dan London berdasarkan model VAR yang dibuat.


(12)

3. Menyusun rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) untuk meningkatkan posisi kakao Indonesia yang lebih baik di pasar dunia.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan pertimbangan bagi pihak yang berkepentingan, antara lain:

1. Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) sebagai organisasi pusat informasi perdagangan kakao di Indonesia.

2. Pelaku bisnis kakao, baik petani, pengusaha, produsen, eksportir, maupun importir kakao, untuk membantu dalam perencanaan produksi dan pemasarannya serta mengantisipasi fluktuasi harga kakao.

3. Peneliti lain, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya secara lebih mendalam.

4. Pembaca, diharapkan penelitian ini dapat menjadi tambahan pengetahuan dalam memperluas wawasan, sekaligus sebagai bahan informasi dan literatur untuk penelitian selanjutnya.

5. Pemerintah, diharapkan penelitian ini dapat menjadi informasi dalam penyusunan kebijakan di sektor perkebunan kakao Indonesia.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas mengenai transmisi harga biji kakao di pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York dan London sehingga tidak membahas lebih lanjut mengenai harga di negara-negara penghasil kakao lainnya dan faktor-faktor non harga yang mempengaruhinya. Komoditas yang menjadi objek penelitian adalah komoditas biji kakao yang merupakan komoditas ekspor Indonesia. Data harga biji kakao domestik adalah harga biji kakao di pasar spot Makassar dan didapatkan dari data yang dikumpulkan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), sedangkan data harga biji kakao di New York Board of Trade (NYBOT) adalah merupakan harga yang terbentuk di pasar

forward yang dikumpulkan oleh International Cocoa Association (ICCO). Harga biji kakao di London International Financial Futures Exchange (LIFFE) merupakan data harga transaksi secara forward yang diperoleh melalui situs


(13)

Reuters. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diambil dari berbagai sumber dan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) sehingga dalam penelitian ini dapat terlihat hubungan harga biji kakao Indonesia dengan harga biji kakao di bursa komoditi New York dan London.


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kakao di Dunia

Tanaman kakao pertama kali dibudidayakan dan dimanfaatkan oleh Suku Indian Maya dan Suku Astek (Aztec) sebagai bahan makanan dan minuman coklat. Suku Maya dahulu hidup di daerah yang sekarang disebut Guatemala, Yucatan, dan Honduras (Amerika Tengah). Oleh karena itu, berdasarkan penelusuran sejarah menujukkan bahwa tanaman kakao berasal dari hutan-hutan tropis di Amerika Tengah dan di bagian utara Amerika Selatan. Seiring penaklukan Suku Maya oleh Suku Astek, maka Suku Astek lebih dikenal sebagai penanam dan pembudidaya tanaman kakao oleh Bangsa Spanyol yang datang pada tahun 1519. Kemudian pada tahun 1525, masyarakat Spanyol tercatat sebagai penanam pertama kakao di Trinidad (Wahyudi et al. 2008).

Wahyudi et al. (2008) juga menyatakan bahwa pengenalan kakao terus berkembang hingga ke Eropa pada tahun 1528. Rasa olahan kakao sebagai cokelat yang lezat membuat komoditi ini menjadi terkenal sebagai produk makanan dan minuman baru di Spanyol. Hingga pada awal tahun 1550 pengenalan kakao semakin meluas hingga ke seluruh daratan Eropa. Beberapa pabrik pengolahan kakao mulai berdiri di daerah Lisbon (Portugal), Genoa, Turin (Italia), dan Marseilles (Prancis). Negara lain yang tercatat sebagai perintis penanaman kakao adalah Belanda, khususnya untuk penanaman kakao di Asia.

Kakao semakin terkenal setelah ditemukan cara baru pengolahannya seperti inovasi baru yang dipopulerkan oleh C.J Van Houten sekitar tahun 1828 di Belanda. Inovasi tersebut berupa alat untuk mengekstrak biji kakao menjadi lemak cokelat (cocoa butter) atau bubuk cokelat (cocoa powder). Sejak saat itu perdagangan biji kakao di Amerika dan Eropa berkembang sangat pesat.

Produsen kakao terbesar di dunia berada di Pantai Gading (Ivory Coast), kemudian diikuti oleh Ghana dan Indonesia, dengan produksi masing-masing adalah 40 persen, 19 persen, dan 11 persen dari total produksi dunia. Ketiga negara produsen terbesar kakao ini menghasilkan 70 persen produksi kakao dunia dan sisanya dihasilkan oleh negara-negara lain1.

       1


(15)

Konsumsi kakao dunia didominasi oleh negara-negara Eropa, Amerika Serikat, atau negara-negara industri dengan pendapatan per kapita jauh di atas US$ 1.000. Negara-negara maju dengan tingkat pendapatan tinggi merupakan pengolah dan konsumen dari produk-produk berbasis kakao. Pada tahun 2008/2009 negara-negara di Eropa mengkonsumsi sekitar 41 persen dari total konsumsi kakao dunia, sementara negara di Benua Amerika sekitar 22 persen, diikuti negara-negara di Asia 18 persen, dan Afrika 17 persen. Perbandingan konsumsi kakao antar negara terdapat pada Tabel 6.

Tabel 6. Konsumsi Biji Kakao Dunia Tahun 2001-2010

2001/ 2002 2002/ 2003 2003/ 2004 2004/ 2005 2005/ 2006 2006/ 2007 2007/ 2008 2008/ 2009 2009/ 2010* EROPA 1.282 1.320 1.348 1.379 1.456 1.541 1.551 1.446 1.499

Jerman 195 193 225 235 306 357 385 342 361 Belanda 418 450 445 460 455 465 490 440 470 Lainnya 669 677 678 684 695 719 676 664 668

AFRIKA 422 446 464 501 485 515 564 622 660

Pantai Gading 290 315 335 364 336 336 374 419 400 Lainnya 132 131 129 137 149 179 190 203 260

AMERIKA 758 814 852 853 881 854 831 773 813

Brazil 173 196 207 209 223 224 232 216 226 Amerika Serikat 403 410 410 419 432 418 391 361 382 Lainnya 182 208 235 225 226 212 208 196 205

ASIA & OCEANIA 413 499 575 622 698 699 804 650 687

Indonesia 105 115 120 115 140 140 160 120 120 Malaysia 105 150 203 249 267 270 331 278 298 Lainnya 203 234 252 258 291 289 313 252 269

TOTAL DUNIA 2.875 3.079 3.239 3.355 3.520 3.609 3.750 3.491 3.659 ORIGIN 960 1.089 1.186 1.262 1.293 1.325 1.468 1.412 1.490

Keterangan : *) Angka dugaan

Sumber : International Cocoa Organization (2011)

Komoditi kakao dunia diperdagangkan melalui bursa tersentralisasi (bursa berjangka). Bursa tersebut merupakan bursa perdagangan untuk komoditi kakao yang diadakan oleh The New York Board of Trade (NYBOT) dan The London Financial Exchange (LIFFE). Kedua bursa komoditi ini merupakan pasar berjangka komoditi terdepan di dunia dan dilengkapi dengan transaksi penentuan harga baik domestik dan internasional bagi produk-produk pertanian. Tujuan dari bursa komoditi perdagangan adalah menyediakan informasi baik harga, produksi, konsumsi, maupun hal lain yang terkait dengan komoditi kakao serta menyebarluaskan informasi tersebut. Mekanisme pembentukan harga dari kedua


(16)

bursa komoditi tersebut sama yaitu ketika transaksi terjadi di lantai perdagangan maka harga akan segera dikirim kepada pihak yang ditunjuk. Kemudian pihak tersebut akan menyebarluaskan data tersebut ke seluruh dunia. Selain perdagangan fisik (spot), dalam bursa komoditi juga terdapat perdagangan kontrak berjangka yang terjadi di pasar berjangka (forward).

Transaksi pada pasar forward adalah sebagai berikut, pembeli dan penjual dapat bernegosiasi melalui satu-satunya variabel yaitu harga. Standar perjanjian kontrak legal dan perdagangan disusun berdasarkan kesepakatan bersama. Pembelian dan penjualan kontrak berjangka menyediakan informasi kepada industri dengan proses pembentukan harga yang dapat dipercaya. Hal tersebut memungkinkan para pelaku bisnis untuk mengunci harga sebagai antisipasi perubahan harga ke depan yang rentan terhadap volatilitas harga tinggi dengan menegosiasikan harga pasar berjangka terbaik (New York Board of Trade 2004).

Perbedaan mendasar antara bursa komoditi di New York dan London ini terletak pada komoditi yang diperdagangkan dan mata uang yang dipergunakan. Bursa NYBOT memperdagangkan komoditi kakao tanpa fermentasi (unfermented) dengan mata uang dollar Amerika Serikat sedangkan bursa LIFFE memperdagangkan komoditi kakao terfermentasi (fermented) yang gradenya lebih berkualitas dibandingkan bursa NYBOT dengan mata uang poundsterling Inggris.

Pihak yang terkait langsung dengan bursa komoditi NYBOT dan LIFFE adalah The International Cocoa Organization (ICCO). ICCO merupakan organisasi negara produsen/eksportir dan konsumen/importir kakao. Tujuan dari organisasi ini adalah meningkatkan kerjasama internasional, mengendalikan pasokan di pasar dunia, dan memperkuat upaya pembangunan yang berkaitan dengan perekonomian kakao dunia, terutama dalam stabilisasi harga agar diperoleh tingkat harga kakao yang rasional.

Mekanisme pengendalian harga yang dilakukan ICCO diperoleh dengan sistem stok yang membutuhkan biaya yang sangat besar. Biaya ini ditimbulkan dari biaya penyimpanan yang tinggi dan juga biaya kompensasi yang besar untuk pengendalian ekspor kakao. Kebijakan sistem stok ini dilakukan dengan tujuan mengurangi excess supply kakao di pasar dunia. Akan tetapi, tidak semua supply


(17)

Roesmanto (1991), hal ini terjadi karena tidak seluruhnya negara penghasil kakao merupakan anggota ICCO. Kebijakan ini menjadi peluang bagi negara-negara yang bukan anggota ICCO untuk meningkatkan supply kakaonya.

ICCO beranggotakan kelompok negara produsen antara lain Brazil, Kamerun, Pantai Gading, Ghana, Nigeria, Ekuador, dan lain-lain. Kelompok negara konsumen anggota ICCO adalah Kanada, Eropa, Jepang, Norwegia, Uni Soviet, Swiss, dan lain-lain.

Sampai saat ini Indonesia belum tergabung menjadi anggota ICCO. Alasan yang menjadi pertimbangan atas sikap tersebut antara lain dalam pasar bebas kakao, Indonesia dirasa akan mampu bersaing di pasar internasional karena keunggulan komparatif yang dimilikinya. Selain itu, karena pemasaran kakao tidak ditangani oleh ICCO tetapi ditentukan oleh pasar di London dan bursa komoditi di New York maka manfaat Indonesia untuk ikut bergabung menjadi anggota ICCO masih belum jelas. Walaupun Indonesia bukan merupakan anggota ICCO tetapi Indonesia akan tetap aktif dalam berbagai pertemuan ICCO untuk memantau dan mengkaji perkembangan organisasi tersebut (Roesmanto 1991). 2.2. Kakao di Indonesia

Kakao di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Bangsa Spanyol pada tahun 1560 di Sulawesi, Minahasa. Indonesia mengekspor kakao diawali dari pelabuhan Manado ke Manila dengan jumlah ekspor sekitar 92 ton pada tahun 1825-1828. Ekspor Indonesia sempat terhenti setelah tahun 1828 karena serangan hama pada tanaman kakao. Penyebaran tanaman kakao di Jawa baru dimulai sekitar tahun 1880. Percobaan penanaman kakao dilakukan di perkebunan kopi milik orang Belanda di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini disebabkan pada saat itu tanaman kopi Arabika mengalami kerusakan akibat terserang penyakit karat daun.

Jenis kakao yang banyak dibudidayakan adalah jenis Criollo, Forastero, dan Trinitiaro yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Jenis

Criollo menghasilkan biji kakao bermutu sangat baik dan dikenal sebagai kakao mulia, fine flavor cocoa, choiced cocoa, atau edel cocoa. Jenis Forastero

menghasilkan biji kakao bermutu menengah dan dikenal sebagai ordinary cocoa


(18)

Forastero sehingga menghasilkan biji kakao yang dapat termasuk fine flavor cocoa atau bulk cocoa. Jenis Tritiaro yang banyak ditanam di Indonesia adalah Hibrid Djati Runggo (DR) dan Uppertimazone Hybrida atau yang biasa disebut dengan kakao lindak (Bappebti 2011).

Pengusahaan perkebunan kakao di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh perkebunan rakyat dan sisanya adalah produksi dari perkebunan swasta dan perkebunan pemerintah. Pada tahun 2011 diduga luas areal perkebunan rakyat mencapai 1,6 juta ha diikuti luas areal perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta masing-masing sebesar 54 ribu ha dan 50 ribu ha. Sementara itu, produksi kakao di seluruh Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan bertambahnya luas areal lahan kakao. Produksi kakao diprediksi mencapai 903.092 ton pada tahun 2011. Produksi kakao Indonesia masih sangat berpeluang untuk terus ditingkatkan. Hal ini dapat dilihat dari ketersediaan lahan perkebunan kakao Indonesia yang cukup luas (Ditjenbun 2011).

Sebagian besar produksi kakao Indonesia sebesar 96 persen adalah biji yang belum difermentasi (unfermented beans) dan umumnya di ekspor belum dalam bentuk olahan, yaitu masih dalam bentuk biji (beans)2.Padahal sebagian besar permintaan impor dari negara Uni Eropa adalah biji kakao yang telah difermentasi untuk dijadikan produk cokelat olahan. Sedangkan ekspor kakao

unfermented dari Indonesia yang masuk ke Malaysia dan Singapura akan diolah untuk dijadikan kakao fermentasi dan menjual hasil olahan tersebut dengan harga yang berlipat. Kondisi ini terjadi akibat keterbatasan pengetahuan yang dimiliki petani dan kebutuhan ekonomi yang seringkali memaksa petani menjual kakao hasil panen mereka dalam bentuk biji yang tidak terfermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa petani sangat membutuhkan bantuan dan dukungan untuk menghasilkan nilai tambah dengan hasil panen yang difermentasi terlebih dahulu. Upaya untuk mencegah berkurangnya keuntungan para petani misalnya dengan cara memberikan penyuluhan dan bimbingan teknis.

Kebutuhan kakao untuk industri kakao nasional masih belum tercukupi sehingga tidak heran bila Indonesia masih harus mengimpor biji kakao untuk       

2


(19)

kepentingan bahan baku industri. Volume dan nilai impor kakao Indonesia dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Volume dan Nilai Impor Biji Kakao Indonesia Tahun 2006-2010

Tahun

IMPOR VOLUME

(Ton)

NILAI (000 US$)

1 2 3

2006 47.109 76.031

2007 43.845 83.239

2008 53.761 119.130

2009 46.929 121.390

2010 47.455 164.609

Sumber : BPS diolah Pusdatin (2011)

Volume dan nilai impor biji kakao Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun. Dapat dilihat pada tabel bahwa rata-rata pertumbuhan volume impor biji kakao dari tahun 2006 hingga 2010 adalah sebesar 1,03 persen. Sedangkan untuk rata-rata pertumbuhan nilai impor biji kakao tahun 2006-2010 adalah sebesar 22,52 persen (Ditjenbun 2011).

Persaingan perdagangan kakao yang semakin ketat membuat perlu adanya suatu wadah yang berfungsi sebagai sarana pengelolaan risiko bagi komoditi kakao. Untuk itulah pada tahun 1999 pemerintah membentuk suatu bursa komoditi Indonesia yang disebut Jakarta Future Exchange (JFX) di bawah pengawasan Kementrian Perdagangan. Namun, komoditi yang diperdagangkan pada awal pendirian bursa ini hanya komoditi CPO, olein, dan kopi. Sedangkan komoditi kakao mulai diperdagangkan pada bursa ini tahun 2011.

Bursa komoditi ini mempunyai fungsi penting diantaranya adalah sebagai sarana yang mempermudah untuk mengakses informasi pasar. Informasi yang dapat diketahui dari bursa ini antara lain informasi mengenai harga, produksi, konsumsi, volume perdagangan, dan perkiraan pasar di masa yang akan datang. Untuk mengantisipasi fluktuasi yang akan terjadi di masa depan maka dapat dilakukan kontrak berjangka sebagai upaya perlindungan nilai. Semakin lancar informasi yang dapat diakses membuat para pelaku bisnis dapat mengantisipasi risiko yang mungkin akan terjadi dengan harga di masa depan. Hal ini diharapkan


(20)

dapat membuat pembentukkan harga yang terjadi di bursa semakin transparan dan bersaing di pasaran. Harga yang terjadi di bursa umumnya dijadikan sebagai harga acuan (reference price) oleh dunia usaha, termasuk petani dan produsen/pengusaha kecil untuk melakukan transaksi di pasar fisik.

Menurut Ariyoso (2010), salah satu ciri barang komoditi yang diperdagangkan di bursa adalah harga komoditi yang bersangkutan sering mengalami gejolak. Hal ini disebabkan perubahan kondisi perekonomian yang mempengaruhi fluktuasi harga sehingga membuat para pelaku bursa ini melakukan mekanisme hedging dengan tujuan melindungi aktiva dan/atau kewajiban agar posisi mereka tetap berada dikondisi Break Even Point (BEP). Margin yang telah ditetapkan berlaku untuk periode waktu tertentu dan dapat diubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Selain itu, ada biaya komisi yang dikenakan oleh pialang berjangka yang besaran minimumnya ditetapkan oleh bursa atas persetujuan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti 2011).

Saat ini, perdagangan kakao Indonesia secara umum masih menggunakan transaksi spot dengan pusat perdagangan di pasar fisik Makassar. Hal ini terjadi karena banyak pelaku bisnis kakao yang belum mengetahui adanya transaksi

forward untuk komoditi kakao yang mulai dijalankan pada akhir Desember 2011. Transaksi spot merupakan mekanisme perdagangan yang memperjualbelikan suatu barang dengan serah terima barang saat transaksi berlangsung dan pembayarannya dilakukan tunai pada saat itu juga.

Adapun pihak yang terkait langsung dengan perdagangan kakao di Indonesia adalah Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo). Askindo merupakan organisasi para pelaku bisnis kakao Indonesia yang bertujuan menempatkan kakao Indonesia pada kedudukan yang terbaik di pasar internasional. Askindo diharapkan dapat bersikap terbuka, kekeluargaan, adil, efektif dalam mencapai tujuan, efisien dalam pelaksanaan kegiatan, dan struktur organisasinya sehingga dapat dipertahankan dan ditingkatkan iklim usaha yang sehat, terbuka, dan bebas dari bentuk persaingan yang tidak wajar.


(21)

2.3. Analisis Transmisi Harga

Analisis transmisi harga dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: a) pendekatan metode korelasi, dengan menghitung Total Sum Square Correlation

antara harga yang bergerak secara bersamaan pada pasar yang diuji, b) metode regresi sederhana, dan c) Vector Autoregression (VAR). Ketiga metode tersebut menelaah keterpaduan pasar dengan menggunakan harga komoditi dalam deret waktu (time series) sebagai input data untuk melakukan analisis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode VAR.

Penelitian mengenai analisis transmisi harga komoditas telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya yaitu Sianturi (2005) yang menganalisis tentang transmisi harga gula domestik terhadap harga gula dunia, Hafizah (2009) melakukan penelitian mengenai transmisi harga CPO di Indonesia terhadap harga CPO di Malaysia dan Pasar berjangka di Rotterdam, dan analisis integrasi pasar karet alam antara pasar fisik di Indonesia dengan pasar berjangka dunia yang diteliti oleh Fitrianti (2009). Selain itu, ada juga penelitian mengenai analisis transmisi harga teh hitam grade Dust di Jakarta Tea Auction terhadap Colombo Tea Auction dan Guwahati Tea Auction yang telah dilakukan oleh Adinugroho (2011).

Sianturi (2005), Hafizah (2009), Fitrianti (2009), dan Adinugroho (2011) menggunakan pendekatan metode VAR didalam penelitiannya untuk menganalisis transmisi harga pada komoditasnya masing-masing. Hasil penelitian Sianturi (2005) dengan menggunakan perangkat lunak Mickrofit 4.0 menunjukan bahwa harga gula di pasar domestik dipengaruhi oleh harga gula dunia jenis raw sugar

dan sekaligus menjadi pemimpin harga bagi gula domestik, sementara harga gula domestik tidak mempengaruhi secara nyata kedua jenis harga gula dunia (raw sugar dan white sugar). Hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan negara

net importer gula, sehingga kebijakan domestik dan fluktuasi harga gula kurang mempengaruhi harga gula dunia.

Hafizah (2009) dalam penelitiannya yang menggunakan model ekonometrika Vector Error Correction Model (VECM) menyimpulkan bahwa pasar forward Rotterdam merupakan pasar referensi atau pasar acuan bagi pasar


(22)

Rotterdam akan menyebabkan pembentukan harga di pasar spot Indonesia dan Malaysia. Harga CPO Rotterdam dalam jangka pendek dipengaruhi oleh Malaysia dan nilai tukarnya serta dirinya sendiri. Harga CPO Malaysia dipengaruhi oleh dirinya sendiri, nilai tukarnya, harga CPO Rotterdam dan Indonesia, nilai tukarnya dan harga minyak kedelai. Adapun harga CPO Indonesia dalam jangka pendek dipengaruhi oleh harga CPO Rotterdam dan Malaysia serta nilai tukar Indonesia dan Malaysia.

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian Fitrianti (2009) adalah pendekatan dengan Vector Error Correction Model (VECM). Penelitian ini menganalisis integrasi pasar karet alam antara pasar fisik di Indonesia dengan pasar berjangka dunia. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat hubungan integrasi spasial dan kointegrasi antara pasar berjangka dunia (Singapore Commodity Exchange, Tokyo Commodity Exchange, Agricultural Future Trading of Thailand, dan Shanghai Future Exchange).

Hasil penelitian Adinugroho (2011) yang menganalisis tentang transmisi harga teh hitam grade Dust di Indonesia menunjukkan tidak terdapatnya hubungan timbal balik antara harga teh di auction Jakarta, Colombo, dan Guwahati sehingga perubahan harga yang terjadi di kedua auction luar tersebut tidak tertransmisikan terhadap harga yang terjadi Jakarta Tea Auction. Hasil penelitian ini menggunakan model VAR yang termasuk ke dalam VAR in level karena data yang digunakan sudah stasioner.

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan VAR untuk menganalisis transmisi harga. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dari segi komoditas, yaitu biji kakao. Jadi pada penelitian ini akan menganalisis transmisi harga biji kakao di pasar fisik Indonesia dengan harga di pasar berjangka The New York Board of Trade (NYBOT) dan The London Financial Exchange (LIFFE) dengan menggunakan pendekatan model Vector Autoregressive (VAR).


(23)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Fluktuasi dan Volatilitas Harga

Fluktuasi merupakan istilah yang mengacu pada ketidakstabilan, ketidaktetapan, guncangan, kelabilan, dan perubahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fluktuasi harga merupakan keadaan yang menunjukan gejala turun naiknya harga dan perubahan harga tersebut karena pengaruh permintaan dan penawaran. Sedangkan volatilitas merupakan pengukuran statistik dari besarnya jarak antara fluktuasi harga selama periode waktu tertentu. Ukuran tersebut menunjukan penurunan dan peningkatan harga dalam periode yang pendek dan tidak mengukur tingkat harga, namun derajat variasinya dari satu periode ke periode berikutnya (Hugida 2011).

Salah satu komoditas yang rentan terhadap adanya fluktuasi harga adalah komoditas pertanian. Umumnya, fluktuasi harga pada komoditas ini terjadi akibat ketidakseimbangan antara jumlah barang yang tersedia dengan jumlah barang yang diminta oleh konsumen. Jika terjadi kelebihan pasokan maka harga komoditas akan turun, sebaliknya harga akan naik jika terjadi kekurangan pasokan.

Fluktuasi harga yang tinggi juga berpengaruh kepada penerimaan dan keuntungan pelaku usaha yang diperoleh dari hasil kegiatan usahataninya. Hal ini sama seperti pendapat Hutabarat (1999) yang menyatakan bahwa fluktuasi harga yang tinggi tidak menguntungkan bagi perkembangan agribisnis karena dapat memiliki pengaruh negatif terhadap keputusan pemilik modal untuk melakukan investasi akibat ketidakpastian penerimaan yang akan diperoleh.

Volatilitas harga terjadi tidak hanya di pasar uang ataupun pasar saham saja tetapi juga di pasar komoditas lainnya. Ada tiga hal yang menjadi alasan pentingnya permodelan dan peramalan volatilitas harga diantaranya adalah hasil analisis dapat bermanfaat bagi pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masalah risiko bisnis, ketepatan permodelan dapat diperoleh dengan memodelkan ragam galatnya sehingga hasil ramalan bersifat time-varying (berubah terhadap waktu) serta mendapatkan model peramalan dan pendugaan harga yang lebih tepat (Sumaryanto 2009).


(24)

Analisis volatilitas harga penting dilakukan ketika pelaku bisnis menghadapi ketidakstabilan dan ketidakpastian kondisi harga dan pola pergerakannya yang tidak dapat diperkirakan.

3.2. Teori Harga

Teori harga merupakan teori ekonomi yang menjelaskan tentang perilaku harga pasar barang atau jasa tertentu. Harga merupakan suatu nilai tukar dari produk barang maupun jasa yang dinyatakan dalam satuan moneter. Harga menjadi salah satu penentu keberhasilan dalam proses perdagangan karena harga menentukan seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh dari penjualan produk baik berupa barang maupun jasa. Teori harga membahas mengenai harga suatu barang atau jasa yang pasarnya kompetitif tinggi rendahnya ditentukan oleh permintaan pasar dan penawaran pasar.

Permintaan (demand) pasar merupakan jumlah (kuantitas) suatu komoditas yang mampu dan ingin dibeli oleh konsumen pada suatu tempat dan waktu tertentu pada berbagai tingkat harga dengan faktor lain yang tidak berubah (caterisparibus). Teori permintaan menerangkan tentang hubungan antara jumlah permintaan dan harga. Hubungan tersebut dapat digambarkan melalui kurva permintaan. Kurva permintaan menunjukkan hubungan antara harga suatu produk dengan jumlah produk yang diminta masyarakat, jika hal-hal lainnya dianggap konstan (cateris paribus). Kurva permintaan berslope (koefisien arah) negatif terhadap harga, hal ini berdasarkan hukum permintaan yang menyatakan ketika harga naik maka permintaan akan turun dan sebaliknya jika harga turun maka permintaan akan naik. Pergerakan sepanjang kurva permintaan terjadi apabila harga komoditi berubah sehingga dapat menyebabkan perubahan jumlah komoditi yang diminta atau ingin dibeli konsumen. Sedangkan, pergeseran kurva permintaan merupakan akibat dari perubahan faktor-faktor di luar harga komoditi tersebut. Menurut Sukirno (2002), ada beberapa faktor penentu permintaan diantaranya adalah harga barang itu sendiri, harga barang substitusi atau komplementer, pendapatan masyarakat, jumlah penduduk, dan selera masyarakat. Penawaran (supply) pasar merupakan hubungan yang menunjukkan banyaknya suatu komoditas yang akan ditawarkan untuk dijual pada suatu tempat


(25)

dan waktu tertentu pada berbagai tingkat harga dengan faktor lain yang tidak berubah (cateris paribus). Kurva penawaran adalah suatu kurva yang menunjukkan hubungan antara harga suatu barang tertentu dengan jumlah barang tersebut yang ditawarkan. Kurva penawaran menunjukkan hubungan yang positif antara jumlah komoditas yang akan dijual dengan tingkat harga dari komoditas tersebut. Artinya, jika harga naik maka penawaran terhadap barang akan bertambah dan sebaliknya jika harga turun maka jumlah penawaran terhadap suatu barang akan menurun juga. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penawaran pasar merupakan fungsi dari harga komoditi dengan koefisien arah (slope) yang positif. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran diantaranya adalah harga barang itu sendiri, harga barang substitusi atau komplementer, harga input atau biaya produksi, kebijakan pemerintah, dan tingkat teknologi yang digunakan (Sadono 2002). Perubahan dari faktor-faktor ini dapat menggeser fungsi penawaran dari suatu komoditi.

Kurva permintaan dan penawaran yang digambarkan dalam satu kurva akan saling memotong di suatu titik yang dinamakan dengan titik equilibrium. Titik equilibrium disebut juga titik keseimbangan pasar yang menunjukkan jumlah produk dan harga keseimbangan suatu komoditi yang terjadi di pasar.

Ada beberapa metode dalam menentukan harga jual suatu produk antara lain (1) pendekatan permintaan dan penawaran (supply demand approach), dilakukan dengan cara mencari harga keseimbangan, yaitu harga yang mampu dibayar konsumen dan harga yang diterima produsen sehingga terbentuk jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan, (2) pendekatan biaya (cost oriented approach), dilakukan dengan cara menghitung biaya yang dikeluarkan produsen dengan tingkat keuntungan yang diinginkan, dan (3) pendekatan pasar (market approach), dilakukan dengan cara merumuskan harga untuk produk yang dipasarkan dengan cara menghitung variabel-variabel yang mempengaruhi pasar dan harga seperti situasi dan kondisi politik, persaingan, sosial budaya, dan lain-lain (Marras 1999).


(26)

3.3. Konsep Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional adalah kegiatan memperdagangkan suatu barang-barang dan jasa, yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Perdagangan internasional timbul karena pada hakikatnya tidak ada suatu negara pun di dunia ini yang dapat menghasilkan semua barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduknya.

Perdagangan tersebut dapat dijelaskan oleh teori Heckescher–Ohlin yang menekankan pada perbedaan relatif faktor alam dan harga faktor produksi sebagai faktor yang paling penting. Berdasarkan teori tersebut, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi dan faktor produksi. Teori H-O menganggap bahwa tiap negara akan mengekspor komoditi yang mempunyai faktor produksi berlimpah dan murah dan mengimpor komoditi yang relatif jarang dan mahal. Penyamaan harga faktor produksi dengan perdagangan akan menghapuskan atau mengurangi perbedaan harga faktor produksi sebelum perdagangan.

Suatu kegiatan perdagangan internasional terjadi ditandai dengan adanya kegiatan ekspor dan impor atau pertukaran komoditi antar dua negara, dimana kegiatan ini dapat terjadi karena adanya perbedaan permintaan dan penawaran serta adanya perbedaan tingkat harga antar kedua negara. Secara teoritis, suatu negara (misalnya negara A) akan dapat mengekspor suatu komoditi (misalnya biji kakao) ke negara lain (misalnya negara B). Negara A mau dan mampu mengekspor komoditinya tersebut ke negara B apabila harga domestik negara A (sebelum terjadi perdagangan internasional) lebih rendah dari harga domestik di negara B. Harga domestik komoditas tersebut di negara A relatif lebih rendah karena di negara A jumlah penawaran akan barang tersebut lebih tinggi dari permintaan konsumen negara A, atau dengan kata lain mengalami excess supply

untuk komoditas tersebut di negara A. Dengan kondisi demikian maka negara A mempunyai kesempatan untuk menjual kelebihan produksi komoditinya tersebut ke negara lain. Sedangkan di lain pihak, negara B terjadi kekurangan penawaran karena jumlah pemintaan domestik negara B melebihi jumlah penawaran


(27)

domestik negara B, atau dengan kata lain mengalami excess demand. Akibat dari keadaan ini maka harga untuk komoditas tersebut di negara B menjadi tinggi. Maka dengan keadaan seperti ini negara B ingin membeli komoditas tersebut dari negara A yang harganya relatif lebih murah. Setelah kedua negara tersebut (negara A dan negara B) melakukan komunikasi dan negosiasi, maka negara A menyetujui untuk mengekspor komoditinya tersebut ke negara B, dan negara B secara langsung melakukan impor komoditi tersebut dari negara A. Dengan terjadinya kegiatan yang dilakukan antar kedua negara tersebut maka terjadilah suatu proses kegiatan perdagangan internasional (Salvatore 1997). Kegiatan perdagangan internasional dapat dijelaskan melalui gambar berikut ini :

P P P Sb

EB

Sa Pb

Q1 S

P1

EA

Pa Db

Da D

O Q Q Q

Qa Qb

Gb. (3a) Gb. (3b) Gb. (3c)

Gambar 3. Proses Terjadinya Perdagangan Internasional Sumber : Salvatore 1997

Keterangan :

Kiri : Negara A, berperan sebagai negara pengekspor Kanan : Negara B, berperan sebagai negara pengimpor Tengah : Pasar Internasional

Pa : Harga domestik barang di negara A tanpa perdagangan internasional O – Qa : Jumlah produksi domestik barang di negara A tanpa perdagangan

internasional

Pb : Harga domestik barang di negara B tanpa perdagangan internasional O – Qb : Jumlah produksi domestik barang di negara B tanpa perdagangan

internasional


(28)

tanpa perdagangan internasional

EB : Keseimbangan antara penawaran dan permintaan barang di negara B tanpa perdagangan internasional.

P1 : Harga barang yang terjadi di pasar internasional setelah kedua negara sepakat untuk melakukan proses ekspor impor

Q1 : Jumlah barang yang diproduksi atau jumlah barang yang tersedia di pasar internasional setelah kedua negara sepakat untuk melakukan proses ekspor impor

Berdasarkan Gambar 3, diasumsikan bahwa komoditi yang akan digunakan untuk perdagangan internasional adalah komoditi biji kakao. Grafik diatas menjelaskan bahwa sebelum terjadi proses perdagangan internasional, harga biji kakao di negara A (negara pengekspor) adalah sebesar Pa, sedangkan harga biji kakao di negara B (negara pengimpor) adalah sebesar Pb. Sebelum terjadi proses perdagangan internasional jumlah produksi biji kakao di negara A adalah sebesar O – Qa, sedangkan jumlah produksi biji kakao di negara B adalah sebesar O – Qb. Apabila harga biji kakao di negara B adalah sebesar Pa maka hal ini akan menyebabkan terjadinya kondisi kelebihan permintaan (excess demand), sedangkan apabila harga biji kakao di negara A adalah sebesar Pb maka hal ini akan menyebabkan terjadinya kondisi kelebihan penawaran (excess supply). Pertemuan antara kondisi excess supply dan excess demand inilah yang nantinya akan membentuk harga di pasar internasional yang disepakati oleh kedua negara tersebut. Dalam hal ini negara A akan mengekspor biji kakao ke negara B, sedangkan negara B akan mengimpor biji kakao dari negara A. Sehingga dengan demikian terjadilah proses perdagangan internasional.

Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari aktivitas perdagangan internasional atau perdagangan luar negeri yaitu seseorang dapat menikmati suatu barang atau jasa yang tidak dapat dihasilkan dalam negeri dengan cara mengimpornya dari negara lain. Selain itu, perdagangan luar negeri memungkinkan dilakukannya spesialisasi sehingga barang dan jasa dapat dihasilkan secara lebih murah karena lebih cocok dengan kondisi negara tersebut, baik dari segi bahan baku maupun cara berproduksi. Negara yang melakukan perdagangan luar negeri dapat memproduksi barang atau jasa yang lebih besar


(29)

daripada yang dibutuhkan pasar dalam negeri sehingga tingkat perekonomian dan pendapatan nasional dapat ditingkatkan serta angka pengangguran dapat ditekan. 3.4. Hubungan Pasar Fisik dan Pasar Berjangka

Pasar spot merupakan pasar yang melakukan serah terima barang pada saat transaksi berlangsung dan pembayaran dilakukan tunai pada saat itu juga. Transaksi spot dapat juga dilakukan dengan serah terima barang saat transaksi dan dibayar kemudian sesuai kesepakatan atau dengan melakukan ijon yaitu membayar sekarang saat komoditi masih diproses. Sedangkan, pasar berjangka merupakan pasar yang memperdagangkan kontrak berjangka atas komoditi tertentu yang telah ditetapkan persyaratannya secara standar dalam kontak berjangka, antara lain jenis komoditi, mutu, jumlah satuan perkontrak, waktu penyerahan, tempat penyerahan, dan persyaratan penyerahan. Perbedaan antara penjualan tunai di pasar fisik (spot) dengan kontrak berjangka (forward) adalah pada penjualan fisik (spot) komoditas yang diperdagangkan merupakan barang sebenarnya yang ada pada saat ini, sedangkan penjualan dengan menggunakan kontrak berjangka melibatkan pembelian dan penjualan kontrak yang terstandarisasi untuk pengiriman komoditi di masa yang akan datang.

Hafizah (2009) menyatakan bahwa terdapat beberapa tipe kontrak forward

yaitu: (1) kontrak harga tetap (fixed price contract) dimana dalam kontrak ini digunakan harga yang tetap (flat price) produsen berjanji untuk mengirim pada saat yang ditentukan dan dibayar saat pengiriman, dengan cara ini ada kemungkinan produsen kehilangan kesempatan potensial apabila harga naik, (2) kontrak harga yang ditetapkan (price to be fixed contract) dimana tipe ini pelaku pasar memiliki kemampuan untuk menetapkan harga pada saat yang paling menguntungkan, (3) harga yang tertunda atau harga ditetapkan nanti dengan tipe ini terjadi transfer risiko penyimpanan ke pembeli, (4) kontrak untuk menunda pembayaran (deffered payment contract) biasanya untuk menghindari pajak, (5) kontrak harga minimum, dan (6) kontrak harga forward dengan referensi (reference price forward contract).

Harga fisik (spot price) merupakan harga yang terjadi di pasar fisik untuk komoditi yang langsung diambil atau diantar pada tempat dan waktu tertentu. Harga tersebut terjadi atas kesepakatan bersama penjual dan pembeli, termasuk di


(30)

dalamnya persyaratan penyerahan atau standar komoditi yang diperdagangkan. Harga fisik terbentuk karena adanya permintaan dan penawaran sehingga bila terjadi perubahan pada faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran maka harga fisik akan berubah. Kenaikan permintaan oleh konsumen atau berkurangnya penawaranoleh produsen akan suatu komoditi akan menaikkan harga dan bila permintaan menurun atau penawaran meningkat akan terjadi kelebihan stok yang dapat menurunkan harga.

Harga berjangka merupakan harga yang terjadi di bursa berjangka pada waktu tertentu dan penyerahan di kemudian hari. Harga terbentuk dari harapan para pelaku bursa komoditas berdasarkan prediksi permintaan dan penawaran suatu komoditas di berbagai produsen dan konsumen komoditas yang bersangkutan. Harga berjangka merupakan harga kontrak di masa yang akan datang yaitu sebuah kontrak berjangka yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak untuk membeli ataupun menjual suatu asset finansial maupun nonfinansial tertentu yang penyerahannya dilakukan secara cash settlement (penyelesaian pembayaran tunai) di masa yang akan datang, dengan harga yang ditetapkan sekarang.

Pengaruh perubahan harga berjangka terhadap harga fisik pada umumnya tergantung pada waktu penyerahan yang terjadi pada perdagangan berjangka. Terdapat hubungan antara pasar berjangka dengan pasar spot yaitu harga pada pasar berjangka saat jatuh tempo akan dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan harga pada pasar spot pada waktu yang sama, sehingga ada kemungkinan harga pada pasar berjangka saat jatuh tempo akan sama dengan harga spot pada waktu yang sama. Namun, apabila waktu penyerahan lebih lama maka harga fisik tidak terlalu berpengaruh karena faktor-faktor yang mempengaruhi harga fisik saat ini belum tentu berlaku di kemudian hari.

3.5 Transmisi Harga

Transmisi harga merupakan pengiriman atau penerusan harga dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Di dalam transmisi harga dapat dilihat hubungan saling mempengaruhi dari harga di antara berbagai pasar. Transmisi harga yang simetris akan terjadi dengan baik pada pasar yang menganut Law of One Price. Saphiro (2009) menyatakan bahwa Law of One Price adalah hukum


(31)

penyesuaian harga pada produk yang sama dan saling menuju pada kesetaraan harga dikisaran tertentu serta pada umumnya gagasan yang terbentuk terjadi pada pasar yang kompetitif dengan keterbukaan informasi. Dengan adanya Law of One Price maka produk yang sama atau bersifat identik pada suatu pasar kompetitif harus dalam harga yang sama.

Transmisi harga yang tinggi dapat mencerminkan efisiensi pada suatu pasar. Hal ini ditunjukan dari peningkatan harga yang terjadi pada suatu pasar dapat menyebabkan pasar lain yang menjual produk yang sama akan merespon perubahan harga tersebut dengan mengikuti harga yang terjadi di pasar acuan, dengan kata lain kenaikan harga di pasar acuan relatif sama besar dengan harga di pasar lainnya. Selain itu, juga menandakan bahwa pasar tersebut sudah terintegrasi dengan baik karena persebaran informasinya merata. Keadaan ini dapat dilihat melalui respon yang ditimbulkan terhadap perubahan harga tersebut. Transmisi harga simetris yang seperti ini terjadi pada pasar persaingan sempurna (Irawan 2007).

Transmisi harga tidak dapat berjalan dengan baik akibat dari kebijakan stabilisasi yang dijalankan pemerintah. Pasar dapat menjadi tersegmen melalui berbagai instrumen kebijakan perdagangan yang diterapkan pemerintah, pasar yang tidak terintegrasi secara sempurna, atau tingginya biaya transaksi. Menurut Conforti (2004) ada enam faktor yang mempengaruhi transmisi harga diantaranya adalah biaya transportasi dan transaksi, kekuatan pasar, increasing return of scale

pada produksi, produk yang homogen dan differensiasi, nilai tukar, kebijakan dalam negeri suatu negara.

Irawan (2007) juga menjelaskan proses transmisi harga yang tidak sempurna dan bersifat asimetris terjadi pada komoditas pertanian. Pada dasarnya dinamika harga komoditas pertanian di daerah konsumen memiliki pola yang sama dengan dinamika harga di daerah produsen karena permintaan yang dihadapi petani di daerah produsen merupakan turunan dari permintaan di daerah konsumen. Namun, informasi pasar mengenai naik turunnya harga diteruskan kepada petani secara lambat dan tidak sempurna. Hal ini menyebabkan fluktuasi harga di pasar konsumen lebih tinggi dibanding di pasar produsen dan perbedaan


(32)

fluktuasi harga tersebut akan semakin besar apabila transmisi harga yang terjadi semakin tidak sempurna.

Perbedaan transmisi harga tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: struktur pasar, rantai pemasaran, nilai tukar, kebijakan pemerintah, serta biaya transportasi dan lainnya.

3.6. Model Vector Autoregression (VAR)

Konsep Vector Autoregression (VAR) pertama kali diperkenalkan oleh Christoper Sims pada tahun 19803. Model ini timbul berdasarkan pemikiran Sims yang berpendapat bahwa suatu model ekonometrika struktural yang dibangun berdasarkan hubungan antar variabel yang mengacu pada teori seringkali tidak sesuai dengan kenyataan. Terkadang beberapa teori ekonomi struktural memberikan penjelasaan yang berbeda terhadap suatu fenomena ekonomi yang sesungguhnya. Untuk itulah model VAR muncul sebagai salah satu solusi metode dalam melihat hubungan dinamis time series antar variabel yang diduga memiliki hubungan satu sama lain (Nachrowi dan Usman 2006).

Pendekatan ini dibentuk dengan menyusun sistem persamaan dimana semua variabel diperlakukan endogenous (variabel dependen). Hal ini dikarenakan semua variabel baik endogen maupun eksogen dipercaya saling berhubungan. Jadi, VAR tidak perlu membedakan variabel yang menjadi eksogen maupun yang menjadi endogennya. Asumsi yang harus dipenuhi dalam analisis VAR adalah semua variabel tak bebas bersifat stasioner, semua sisaan bersifat

white noise, yaitu memiliki rataan nol, ragam konstan, dan diantara variabel tak bebas tidak ada korelasi. Selain itu, model VAR merupakan model linier sehingga hasil permodelan dapat diestimasi dengan menggunakan model OLS.

Irawan (2005) menjelaskan bahwa VAR merupakan suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap variabel sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag (lampau) dari variabel itu sendiri, serta nilai lag dari variabel lain yang ada dalam sistem. Variabel penjelas pada VAR meliputi nilai       

3

 Vector Autoregression sebagai pendekatan alternative model terhadap model persamaan ganda dikemukakan oleh C.A Sims dalam artikelnya yang berjudul “Macroeconomics and Reality”, Econometrica, Vol. 48, pp.1-48, 1980. 


(33)

lag seluruh variabel tak bebas dalam sistem VAR yang membutuhkan identifikasi retriksi untuk mencapai persamaan melalui interpretasi persamaan.

Ada beberapa jenis model VAR yang dikembangkan. Widarjono (2010) menjelaskan dalam salah satu tulisannya bahwa model VAR terdiri dari 3 jenis yaitu VAR in level jika data yang digunakan sudah stasioner, VAR in difference

jika data yang digunakan belum stasioner dan tidak ada kointegrasi antara variabel-variabel yang digunakan dalam model, dan VECM (Vector Error Correction Model) jika data yang digunakan belum stasioner dan ada kointegrasi antara variabel yang digunakan dalam model.

Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dilihat bahwa kelebihan dari metode VAR adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan dengan model VAR sangat sederhana dan tidak membedakan antar variabel yang akan dimasukan ke dalam persamaan.

2. Estimasi model VAR dilakukan dengan sangat mudah menggunakan OLS secara terpisah pada setiap persamaan.

3. Peramalan dengan menggunakan model VAR lebih akurat jika dibandingkan dengan model persamaan simultan yang lebih kompleks.

Selain kelebihan, model VAR juga mempunyai kekurangan, antara lain: 1. Model VAR merupakan model yang tidak struktural dan bersifat atheoritic

(tidak berdasarkan teori) karena tidak memanfaatkan informasi atau teori terdahulu.

2. Model VAR kurang cocok digunakan dalam menganalisis kebijakan karena penekanan hasil model VAR terletak pada peramalan.

3. Pemilihan banyaknya lag yang digunakan dalam persamaan juga dapat menimbulkan permasalahan. Jumlah parameter yang akan bermasalah pada derajat bebas akan bertambah.

4. Variabel yang ada di dalam model VAR harus stasioner. Jika tidak stasioner perlu dilakukan perubahan (transformasi) dalam bentuk data, misalnya melalui

first difference.

5. Interpretasi koefisien dari hasil estimasi model VAR itu tidak mudah. Sebagian besar peneliti melakukan interpretasi pada estimasi fungsi respon impuls dan dekomposisi ragam.


(34)

3.7. Kerangka Pemikiran Operasional

Kakao menjadi salah satu komoditas unggulan dari sektor perkebunan di Indonesia. Tingginya total nilai ekspor kakao hingga mencapai angka US$ 1,64 miliar di tahun 2010 menjadikan komoditas ini berada pada peringkat ketiga setelah kelapa sawit dan karet untuk komoditas yang menyumbang devisa negara terbesar dalam bidang perkebunan. Kontribusi terbesar dari komoditi kakao tersebut berasal dari volume dan nilai ekspor biji kakao yang mencapai 380.513 ton dengan nilai US$ 854 juta pada tahun 2008. Selain itu, potensi dan peluang komoditas biji kakao dalam perdagangan internasional dapat dilihat dari peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di dunia. Indonesia berhasil menjadi produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.

Seiring dengan berkembangnya waktu, adanya globalisasi memberikan pengaruh di berbagai bidang salah satunya adalah perekonomian. Dampak globalisasi dibidang ekonomi diikuti oleh adanya kebijakan liberalisasi perdagangan yang membuat seluruh negara di dunia dapat melakukan perdagangan dengan bebas ke negara lain, termasuk juga untuk perdagangan komoditi biji kakao. Sebagai salah satu produsen terbesar penghasil biji kakao di dunia, seharusnya Indonesia memiliki kemampuan untuk mengontrol perdagangan biji kakao baik dalam hal jumlah ataupun posisi tawar yang kuat dalam pembentukan harga. Padahal, harga merupakan hal penting dalam perdagangan karena menjadi indikator penentuan produksi dan penerimaan bagi perusahaan.

Saat ini terdapat dua pasar berjangka yang menjadi pusat perdagangan komoditas kakao di seluruh dunia yaitu The New York Board of Trade (NYBOT) untuk komoditas kakao jenis unfermented dan The London International Financial Futures Exchange (LIFFE) untuk jenis kakao yang fermented. Adanya liberalisasi perdagangan menyebabkan kemungkinan bahwa harga biji kakao yang terjadi di pasar fisik Indonesia tidak berdiri sendiri melainkan diduga mempunyai hubungan dengan kedua pasar berjangka tersebut. Untuk itulah penting dilakukan analisis transmisi harga agar dapat diketahui hubungan antara harga biji kakao di


(35)

pasar fisik Indonesia dengan harga biji kakao di pasar berjangka NYBOT (New York) dan LIFFE (London).

Selain menganalisis dan mengkaji hubungan transmisi harga biji kakao yang terjadi di pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York, dan London, tingkat volatilitas harga biji kakao dan respon terhadap guncangan serta berapa besar pengaruh terjadinya guncangan tersebut juga dapat diketahui.

Pendugaan hubungan antara harga biji kakao di Indonesia dengan harga biji kakao yang terjadi di The New York Board of Trade (NYBOT) dan The London Financial Exchange (LIFFE) dapat digunakan suatu pendekatan dengan model Vector Autoregression (VAR). VAR merupakan permodelan multivariate

yang dapat menunjukan besarnya pengaruh perubahan harga yang terjadi di suatu pasar akibat faktor musiman dan faktor lain yang terjadi di pasar tersebut. Selain itu, VAR juga mampu mengungkapkan secara terperinci tentang peran pasar acuan, arah transmisi harga, kecepatan transmisi harga, tingkat keterisolasian, dan tingkat keterpaduan pasar.

Permodelan VAR dapat menggambarkan data time series yang dinamis sehingga dapat melihat respon dan besar pengaruh harga di Indonesia jika salah satu bursa mengalami guncangan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu Askindo sebagai organisasi para pelaku bisnis kakao untuk membuat kebijakan agar dapat melindungi kepentingan pelaku usaha kakao dalam negeri dan dapat menempatkan posisi kakao Indonesia pada kedudukan yang lebih baik lagi di pasar dunia. Dengan demikian maka dapat digambarkan kerangka operasional dari penelitian ini yang tercantum pada Gambar 4.


(36)

Keterangan : : diluar cakupan penelitian : yang dibahas dalam penelitian Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional

Kakao sebagai penyumbang devisa terbesar ketiga dari komoditas

perkebunan Indonesia.

Harga biji kakao unfermented di pasar

berjangka NYBOT

Harga biji kakao di pasar fisik Indonesia 

Analisis transmisi harga dengan pendekatan model VAR

Rekomendasi kebijakan bagi Askindo Harga biji kakao fermented di pasar

berjangka LIFFE Adanya globalisasi

manyebabkan terjadinya perdagangan bebas

Permasalahan:

Posisi Indonesia diperkirakan masih menjadi penerima harga (price taker)


(37)

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga Maret 2012. Penelitian dilakukan di Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo). Penentuan tempat dilakukan secara sengaja (purposive) karena tempat tersebut merupakan pusat informasi mengenai pergerakan harga kakao nasional dan mengetahui segala informasi perdagangan kakao Indonesia dan internasional.

4.2. Data dan Instrumentasi

Penelitian ini dibatasi dengan menganalisis data sekunder kuantitatif untuk mengetahui hubungan transmisi harga pada bursa komoditi yang telah ditentukan. Data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain data harga biji kakao di Indonesia yang bersumber dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Departemen Perdagangan Republik Indonesia dan harga biji kakao di The New York Board of Trade (NYBOT) bersumber dari The International Cocoa Organization (ICCO) dan The London International Financial Futures Exchange (LIFFE) yang bersumber dari situs Reuters dengan rentang data per hari dari tanggal 25 Agustus 2011 hingga 10 April 2012.

Penelitian ini menggunakan data yang diperoleh melalui studi pustaka di Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan (DitJenBun), Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Departemen Pertanian (Pusdatin Deptan), Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), Kementrian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendagri), Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), dan International Cocoa Organization (ICCO). Selain itu, diperoleh juga beberapa informasi tambahan melalui wawancara dengan pihak Askindo serta instansi-instansi lain yang dapat mendukung ketersediaan data penelitian tersebut. Penelusuran melalui situs web internet, makalah, dan jurnal penelitian juga dilakukan untuk mendapatkan teori yang mendukung penelitian.


(38)

4.3. Pengolahan dan Analisis Data

Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode kuantitatif dengan pendekatan model VAR yang diperkenalkan oleh Sims pada tahun 1980, berdasarkan pemaparan Enders (1995) dan Widarjono (2010). Tahapan pengolahan data dengan menggunakan model VAR adalah: a) uji stasioneritas data dan derajat intergrasi, b) penentuan panjang lag, c) uji kointegrasi, d) estimasi model VAR, e) fungsi respon impuls, f) dekomposisi ragam. Software yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Microsoft Exel

untuk membuat tabulasi data dan Eviews 7 untuk mengolah data model VAR. Secara garis besar, langkah-langkah untuk menggunakan metode VAR dalam sebuah penelitian adalah sebagai berikut:

1. Uji Stasioneritas Data dan Derajat Integrasi

Langkah pertama yang harus dilakukan dalam estimasi model ekonomi dengan data time series adalah dengan menguji stasioneritas pada data atau disebut juga stationary stochastic process. Kestasioneran diperlukan untuk menghindari adanya spurious regression (regresi palsu). Suatu persamaan dikatakan stasioner apabila memiliki mean, variance, dan covariance yang konstan pada setiap lag dan tidak mengandung unit root.

Uji stasioneritas data ini dapat dilakukan dengan menggunakan Augmented Dickey-Fuller (ADF) pada derajat yang sama (level atau different) hingga diperoleh suatu data yang stasioner, yaitu data yang variansnya tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya (Enders, 1995).

Widarjono (2010) menjelaskan bahwa fungsi uji ADF adalah untuk melihat ada tidaknya trend di dalam pergerakan data yang akan diuji. Uji ADF terdiri dari perhitungan regresi yang dirumuskan sebagai berikut.

ΔYt = Yt-1+ i t-i+1 + εt (1) ΔYt = α0 + Yt-1+ i t-i+1 + εt (2) ΔYt = α0 + α1t + Yt-1 + i t-i+1 + εt (3)


(39)

dimana

ΔYt = Selisih variabel (Yt – Yt-1) = (ρ-1)

α0, α1, , i = Koefisien t = Trend waktu

Y = Variabel yang diuji stasioneritasnya P = Panjang lag yang digunakan dalam model ε = Error persamaan

Perbedaan persamaan 1 (satu) dengan dua regresi lainnya adalah memasukkan konstanta dan variabel trend waktu. Persamaan 1 (satu) digunakan pada data observasi yang diasumsikan hanya memiliki intersep, tidak memiliki konstanta dan trend. Persamaan 2 digunakan dengan asumsi data observasi terdapat konstanta dan intersep. Persamaan 3 digunakan apabila data observasi diasumsikan memiliki komponen konstanta, intersep, dan trend. Hipotesis dalam uji ini adalah H0 jika =0 berarti data time series mengandung unit root yang bersifat tidak stasioner dan H1 jika <1 berarti data bersifat stasioner.

Penggunaan aplikasi program Eviews 7 mengkategorikan data tersebut stasioner atau tidak dengan membandingkan nilai Mackinnon critical dengan nilai mutlak ADFstatistiknya. Jika dalam uji stasioneritas ini menunjukkan nilai ADFstatistik yang lebih besar daripada Mackinnon critical value, maka dapat diketahui bahwa data tersebut stasioner karena tidak mengandung unit root. Sebaliknya, jika nilai ADFstatistik lebih kecil daripada Mackinnon critical value, maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut tidak stasioner pada derajat level. Dengan demikian,

differencing data untuk memperoleh data yang stasioner pada derajat yang sama di

first differentI(1) harus dilakukan, yaitu dengan mengurangi data tersebut dengan data periode sebelumnya (Ajija et al. 2011). Jika data sudah stasioner sejak awal maka model VAR in level dapat langsung dilakukan. Jika data belum stasioner, maka harus melalui proses differencing, kemungkinan model yang digunakan adalah model VAR in difference (VARD) dan Vector Error Correction Model


(1)

87

 

Lampiran 6. Analisis Dekomposisi Ragam

Variance Decomposition of DLOG (INDO):

Period S.E. DLOG(INDO) DLOG(LIFFE) DLOG(NYBOT)

1 0.025972 100.0000 0.000000 0.000000 2 0.032846 63.06420 36.93567 0.000130 3 0.032870 62.97548 37.00705 0.017476 4 0.032928 62.75822 36.98195 0.259835 5 0.033049 62.29890 37.43544 0.265663 6 0.033053 62.28715 37.43975 0.273108 7 0.033057 62.27214 37.45170 0.276163 8 0.033061 62.25923 37.46440 0.276366 9 0.033061 62.25895 37.46428 0.276762 10 0.033061 62.25810 37.46509 0.276814 11 0.033061 62.25774 37.46543 0.276829 12 0.033061 62.25773 37.46543 0.276844 13 0.033061 62.25769 37.46547 0.276845 14 0.033061 62.25768 37.46547 0.276846 15 0.033061 62.25768 37.46547 0.276846 16 0.033061 62.25768 37.46548 0.276846 17 0.033061 62.25768 37.46548 0.276846 18 0.033061 62.25768 37.46548 0.276846 19 0.033061 62.25768 37.46548 0.276846 20 0.033061 62.25768 37.46548 0.276847 21 0.033061 62.25768 37.46548 0.276847 22 0.033061 62.25768 37.46548 0.276847 23 0.033061 62.25768 37.46548 0.276847 24 0.033061 62.25768 37.46548 0.276847 25 0.033061 62.25768 37.46548 0.276847 26 0.033061 62.25768 37.46548 0.276847 27 0.033061 62.25768 37.46548 0.276847 28 0.033061 62.25768 37.46548 0.276847 29 0.033061 62.25768 37.46548 0.276847 30 0.033061 62.25768 37.46548 0.276847


(2)

88

 

Lampiran 6. Lanjutan

Variance Decomposition of DLOG (LIFFE):

Period S.E. DLOG(INDO) DLOG(LIFFE) DLOG(NYBOT)

1 0.019646 1.344599 98.65540 0.000000 2 0.019966 1.339174 98.09596 0.564863 3 0.020218 1.326220 97.66834 1.005444 4 0.020437 1.303657 97.70038 0.995967 5 0.020448 1.309413 97.64862 1.041963 6 0.020461 1.307699 97.64472 1.047585 7 0.020468 1.307263 97.64477 1.047970 8 0.020468 1.307367 97.64291 1.049723 9 0.020469 1.307287 97.64293 1.049779 10 0.020469 1.307282 97.64288 1.049836 11 0.020469 1.307283 97.64282 1.049897 12 0.020469 1.307280 97.64282 1.049895 13 0.020469 1.307280 97.64282 1.049899 14 0.020469 1.307280 97.64282 1.049901 15 0.020469 1.307280 97.64282 1.049900 16 0.020469 1.307280 97.64282 1.049901 17 0.020469 1.307280 97.64282 1.049901 18 0.020469 1.307280 97.64282 1.049901 19 0.020469 1.307280 97.64282 1.049901 20 0.020469 1.307280 97.64282 1.049901 21 0.020469 1.307280 97.64282 1.049901 22 0.020469 1.307280 97.64282 1.049901 23 0.020469 1.307280 97.64282 1.049901 24 0.020469 1.307280 97.64282 1.049901 25 0.020469 1.307280 97.64282 1.049901 26 0.020469 1.307280 97.64282 1.049901 27 0.020469 1.307280 97.64282 1.049901 28 0.020469 1.307280 97.64282 1.049901 29 0.020469 1.307280 97.64282 1.049901 30 0.020469 1.307280 97.64282 1.049901


(3)

89

 

Lampiran 6. Lanjutan

Variance Decomposition of DLOG (NYBOT):

Period S.E. DLOG(NYBOT) DLOG(LIFFE) DLOG(INDO)

1 0.010618 28.86648 0.174240 70.95928 2 0.022112 6.709498 76.45985 16.83066 3 0.022305 6.819900 76.38785 16.79225 4 0.022436 6.741102 76.24450 17.01440 5 0.022646 6.618284 76.66573 16.71599 6 0.022653 6.620613 76.64820 16.73119 7 0.022662 6.615413 76.65965 16.72493 8 0.022668 6.612139 76.67093 16.71693 9 0.022668 6.612172 76.66996 16.71787 10 0.022668 6.611899 76.67081 16.71729 11 0.022668 6.611814 76.67109 16.71709 12 0.022668 6.611813 76.67106 16.71713 13 0.022668 6.611801 76.67110 16.71710 14 0.022668 6.611799 76.67111 16.71709 15 0.022668 6.611799 76.67111 16.71710 16 0.022668 6.611798 76.67111 16.71709 17 0.022668 6.611798 76.67111 16.71709 18 0.022668 6.611798 76.67111 16.71709 19 0.022668 6.611798 76.67111 16.71709 20 0.022668 6.611798 76.67111 16.71709 21 0.022668 6.611798 76.67111 16.71709 22 0.022668 6.611798 76.67111 16.71709 23 0.022668 6.611798 76.67111 16.71709 24 0.022668 6.611798 76.67111 16.71709 25 0.022668 6.611798 76.67111 16.71709 26 0.022668 6.611798 76.67111 16.71709 27 0.022668 6.611798 76.67111 16.71709 28 0.022668 6.611798 76.67111 16.71709 29 0.022668 6.611798 76.67111 16.71709 30 0.022668 6.611798 76.67111 16.71709


(4)

RINGKASAN

RESTIKA RADITIA AULIA. Transmisi Harga Biji Kakao di Pasar Fisik Indonesia, Pasar Berjangka New York, dan London. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan HARMINI).

Kakao merupakan komoditi perkebunan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil biji kakao terbesar ketiga di dunia yang seharusnya memiliki kemampuan untuk mengontrol pergerakan perdagangan biji kakao baik dalam hal jumlah ataupun harganya. Kenyataannya seperti pada produk pertanian lain, Indonesia belum mampu mengatasi berfluktuasinya harga biji kakao dari waktu ke waktu. Fluktuasi harga yang terjadi baik di pasar dunia maupun lokal akan menimbulkan risiko bila dilaksanakan langsung dengan penyerahan fisik (spot). Risiko tersebut diantaranya adalah risiko kerusakan fisik dan penurunan nilai komoditi. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya fluktuasi harga tersebut adalah dengan strategi pasar berjangka komoditi. Pasar berjangka ini memiliki manfaat salah satunya sebagai lindung nilai (hedging). Praktik pemasaran pada pasar berjangka sudah banyak dilakukan terutama untuk produk-produk ekspor. Pasar berjangka New York dan London merupakan pasar bagi biji kakao dunia sudah lazim menggunakan cara ini dalam proses transaksinya. Berdasarkan dari fakta yang ada maka timbul pertanyaan penelitian yaitu bagaimana volatilitas pergerakan harga biji kakao di masing-masing pasar dan transmisi harga yang terjadi antara pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York, dan London serta bagaimana implikasinya terhadap Asosiasi Kakao Indonesia.

Adapun tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk menganalisis volatilitas dan transmisi harga biji kakao di pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York dan London serta merumuskan rekomendasi kebijakan untuk Asosiasi Kakao Indonesia agar dapat meningkatkan posisi kakao Indonesia yang lebih baik di pasar dunia. Tujuan penelitian akan dijawab dengan metode ekonometrika yang dilengkapi dengan analisis deskriptif. Kerangka teoritis disusun berdasarkan teori yang ada dan penelitian terdahulu yang terkait. Model ekonometrika adalah


(5)

dilanjutkan dengan aplikasi model yaitu Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Decompotition Variance.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka didapatkan hasil bahwa seluruh variabel belum stasioner pada tingkat level sehingga perlu dilakukan uji stasioneritas pada tingkat first difference dimana pada tingkat ini seluruh variabel sudah stasioner. Berdasarkan analisis kointegrasi maka diperoleh hasil bahwa tidak terdapat kointegrasi diantara ketiga variabel tersebut yang artinya adalah tidak ada hubungan atau keseimbangan dalam jangka panjang antar variabel. Model VAR yang tepat digunakan untuk data yang diteliti adalah model VARD (VAR in difference). Hasil estimasi model VARD adalah harga biji kakao Indonesia dipengaruhi oleh harga biji kakao LIFFE pada periode sebelumnya. Harga biji kakao LIFFE dipengaruhi oleh harga biji kakao LIFFE itu sendiri pada periode sebelumnya. Adapun NYBOT dipengaruhi oleh harga biji kakao LIFFE pada periode sebelumnya dan dua periode sebelumnya.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1) Pasar berjangka NYBOT merupakan pasar yang memiliki volatilitas tinggi diikuti oleh pasar berjangka LIFFE dan pasar fisik Indonesia, (2) Tidak adanya kointegrasi atau hubungan jangka panjang antara ketiga tempat tersebut mengindikasikan bahwa tidak terjadi transmisi harga biji kakao Indonesia dengan harga biji kakao yang terjadi di LIFFE dan NYBOT, (3) Implikasi model VAR yang dapat diaplikasikan di Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) adalah membuat kebijakan agar Indonesia dapat meningkatkan kualitas biji kakao dan produk-produk turunan lainnya mulai dari hulu hingga hilir. Hal ini dapat tercapai jika melihat segala peluang dan potensi yang dimiliki oleh biji kakao Indonesia sehingga nantinya komoditi ini bisa meningkatkan posisi tawarnya.

Adapun saran yang direkomendasikan pada penelitian ini adalah pemerintah hendaknya bekerjasama dengan Askindo dalam memberikan penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan kepada seluruh pelaku bisnis kakao dalam upaya meningkatkan kualitas biji kakao Indonesia. Selain itu, industri pengolahan juga penting untuk ditingkatkan agar biji kakao Indonesia mempunyai nilai tambah dan nilai jual yang tinggi di pasar internasional. Askindo juga perlu meningkatkan kerjasama dengan pemerintah untuk mengefektifkan bursa


(6)

berjangka di Indonesia agar dapat meminimalisasi terjadinya fluktuasi harga dan sebagai cara untuk memperbaiki posisi tawar biji kakao Indonesia di perdagangan internasional. Saran untuk penelitian selanjutnya sebaiknya menganalisis juga mengenai pergerakan harga komoditas turunan kakao lainnya, menganalisis transmisi harga biji kakao ditempat lain serta menambah variabel yang diduga mempengaruhi pergerakan harga biji kakao.