Mengkaji karakteristik suara Hylobates untuk dijadikan salah satu penciri

3 Selain kerusakan dan hilangnya sebagian habitat, kegiatan perburuan juga merupakan ancaman bagi populasi kalawet H. agilis albibarbis dan H. muelleri serta silangannya di Kalimantan. Satwa primata ini tergolong spesies yang dilindungi, dan terdaftar dalam Appendix I oleh CITES Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora sebagai satwa yang tidak boleh diperdagangkan Soehartono Mardiastuti 2002; namun tetap diburu oleh masyarakat untuk diperdagangkan dan dipelihara sebagai pet animal. Sebagai satwa yang dilindungi, terdapat upaya-upaya merehabilitasi kalawet dan Hylobates lainnya yang dipelihara oleh masyarakat untuk dikembalikan ke alam hidupan liarnya. Fenotipe ketiga jenis Hylobates yang ada di Kalimantan H. agilis albibarbis, H. muelleri, dan hibrida antara H. agilis albibarbis x H. muelleri hampir sama, sehingga cukup sulit untuk mengidentifikasi dan memisahkannya dalam program rehabilitasi dan reintroduksi. Hal ini dapat diatasi melalui analisis vokalisasi, sebagaimana dinyatakan Mitani 1987 bahwa variasi vokalisasi Hylobates mengindikasikan perbedaan genetik minimal pada level spesies sehingga dapat digunakan untuk membedakan spesies. Penelitian ini dirancang untuk mendapatkan informasi mutahir tentang aspek ekologi habitat, tingkah laku, dan populasi kalawet, di TN. Sebangau, Kalimantan Tengah, dan vokalisasi sebagai penciri spesies Hylobates di Kalimantan. Tujuan 1. Mengkaji kondisi habitat kalawet di TN Sebangau. 2. Mengkaji pola tingkah laku kalawet, meliputi aktivitas harian, jelajah harian, vokalisasi, dan komposisi jenis pakan. 3. Mendapatkan informasi populasi kalawet terkini di kawasan hutan rawa gambut TN Sebangau, melalui observasi vokalisasi.

4. Mengkaji karakteristik suara Hylobates untuk dijadikan salah satu penciri

ke-2 spesies Hylobates dan hibridanya di Kalimantan. 4 Manfaat Penelitian 1. Membantu mengidentifikasi spesies Hylobates melalui analisis suara yang sangat berguna untuk program rehabilitasi dan reintroduksi Hylobates di Kalimantan. 2. Hasil penelitian merupakan informasi mutahir yang dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam merumuskan kebijakan konservasi populasi kalawet beserta habitat. Kerangka Pemikiran Gambar 1 Skema kerangka pemikiran POPULASI KALAW ET AC UAN STRATEGI KON SERV ASI I D EN TI FI KASI SPESI ES Analisis vokalisasi AN ALI SI S BI O- EKOLOGI KALAW ET ƒ Populasi ƒ Tingkah laku ƒ Jenis pakan AN ALI SI S H ABI TAT ƒ Tipe hut an ƒ St rukt ur Veget asi ƒ Pohon Pakan ƒ Pohon Tidur ƒ Daerah j elaj ah PERBURUAN : ƒ Diperdagangkan ƒ Hewan piaraan ƒ Konsum si KERUSAKAN H ABI TAT: ƒ Legal illegal logging ƒ Konversi lahan ƒ Kebakaran hut an SOLUSI ƒ Evaluasi habit at ƒ Est im asi populasi ƒ I dent ifikasi spesies POPULASI M EN URUN Manaj em en Habit at Pengendalian Perburuan dan Pem eliharaan 5 TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Penyebaran Hylobates Hylobates merupakan salah satu genus dari famili Hylobatidae, ordo Primates. Genus Hylobates terdiri dari enam spesies, dan beberapa subspesies. Salah satu subspesies dari spesies H. agilis adalah H. agilis albibarbis yang terdapat di Kalimantan dengan klasifikasi selengkapnya sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Klas : Mammalia Ordo : Primates Famili : Hylobatidae Genus : Hylobates Spesies : Hylobates agilis Subspesies : H. agilis albibarbis Nama lokal : Kalawet, Owa-owa Napier Napier 1985; Geissmann 2003; Brandon-Jones et al. 2004. Hylobatidae terdiri dari empat genus dan 12 spesies yang hidup menyebar di kawasan hutan tropik Asia Tenggara, yaitu 1 Genus Hylobates Illiger, 1811 terdiri dari enam spesies: a H. klossii di Kepulauan Mentawai; b H. lar menyebar di Sumatera bagian utara, Semenanjung Malaysia, Thailand, Myanmar dan Yunnan Smith 1999; c H. moloch di pulau Jawa; d H. agilis di Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia; e H. muelleri di Kalimantan; dan f H. pileatus di Thailand dan Kamboja; 2 Genus Nomascus Miller, 1933: spesies N. concolor, N. gabriellae, N. leucogenys, dan N. nasutus, menyebar di China, Hainan, Laos, Vietnam dan Kamboja; 3 Genus Symphalangus Glonger, 1841: spesies S. syndactylus di Sumatera dan Malaysia; 4 Genus Bunopithecus Matthew dan Granger, 1923: spesies B. hoolock di Assam, Bangladesh, dan Myanmar Geissmann 2003; Brandon-Jones et al. 2004. Untuk jelasnya, sebaran geografik spesies dari famili Hylobatidae, dan genus Hylobates tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3 Chivers 1984 dalam Chivers 2001, Geissmann 1995. 6 Gambar 2 Sebaran geografik spesies dari famili Hylobatidae Kini, spesies B. hoolock dianggap tidak tepat menggunakan nama Bunopithecus, karena ternyata karakter dental dari spesimen fragmen rahang Bunopithecus sangat berbeda dengan karakter dental Hylobates yang ada saat ini. Bunopithecus dianggap sebagai genus dari Hylobatidae yang sudah punah. Oleh karena itu, nama genus dari spesies B. hoolock diganti dengan Hoolock, sehingga nama spesiesnya menjadi Hoolock hoolock Mootnick Groves 2005; Geissmann 2006b. A 7 Gambar 3 Sebaran geografik spesies dari genus Hylobates Berdasarkan data vokalisasi dan molekuler, Geissmann 2006a menyusun pohon filogenetik Hylobatidae, dilengkapi dengan vernacular names masing- masing spesies, seperti pada Gambar 4. Jumlah kromosom diploid antar genus bervariasi, masing-masing genus Hylobates 44, Hoolock 38, Nomascus 52, dan genus Symphalangus 50 Geissmann 2006a. H. agilis terdiri dari tiga subspesies, yaitu a H. agilis agilis yang menyebar di dataran tinggi Sumatera bagian barat dan semenanjung Malaysia, b H. agilis ungko di dataran rendah Sumatera bagian Timur, dan c H. agilis albibarbis 8 Gambar 4 Pohon filogeni Hylobatidae berdasarkan data vokalisasi dan molekuler Geissmann 2006a di Kalimantan Barat dan Tengah Marshall Sugardjito 1986, Supriatna Wahyono 2000, GCC 2004, Geissmann 2006a. Penyebaran H. agilis albibarbis di Kalimantan Tengah ke arah timur dibatasi oleh Sungai Barito dan ke utara dibatasi Sungai Kapuas Supriatna Wahyono 2000. H. muelleri menyebar hampir di seluruh pulau Kalimantan, kecuali di daerah barat Sungai Barito dan selatan Sungai Kapuas, sebagai daerah penyebaran H. agilis albibarbis seperti pada Gambar 3 Geissmann 1995. H. muelleri juga terdiri dari tiga subspesies, yaitu a H. muelleri muelleri di Kalimantan Timur dan Selatan, b H. muelleri abbotti di Kalimantan Barat dan sebelah utara Sungai Kapuas, c H. muelleri funereus di daerah Serawak Geissmann 2006a. Di daerah hulu Sungai Barito Barito Ulu, sebagai batas daerah sebaran H. agilis albibarbis dengan H. muelleri dilaporkan telah terjadi hibrida di antara keduanya yang diketahui sejak tahun 1979 oleh Dr. Marshall Marshall Sugardjito 1986, McConkey et al. 2003. Selain di Barito Ulu, hibrida juga terjadi di semenanjung Malaysia antara H. agilis dengan H. lar, dan di Thailand antara H. lar dengan H. pileatus Brockelman Gittins 1984. Morfologi Hylobates sering disebut sebagai kera kecil small apes karena postur tubuhnya yang kecil dengan bobot badan sekitar 4-8 kg. H. agilis memiliki bobot Hoolock 9 badan rata-rata berkisar 4-7 kg dengan panjang badan antara 45-55 cm, H. muelleri 5-6.4 kg dan panjang badan 42-47 cm, H. moloch 4-8 kg dan panjang badan 75-80 cm Supriatna Wahyono 2000, H. lar dan H. pileatus 5-7 kg dengan panjang badan 45-65 cm Smith 1999, Sullivan 2004. Pada umumnya jantan sedikit lebih besar dari pada betina, namun Fleagle 1988 tidak mengkategorikan perbedaan ukuran tubuh tersebut sebagai dimorfisme seksual. Bobot badan yang ringan dibutuhkan untuk menunjang sifatnya yang arboreal. Warna rambut H. agilis mulai dari coklat muda kemerahan sampai hitam, terutama sekitar pergelangan tangan dan kaki sampai jari-jari berwarna hitam dan umumnya lebih gelap dari warna bagian tubuh lainnya, sehingga sering juga disebut blackdark-handed gibbon. Rambut H. agilis Sumatera pada umumnya berwarna hitam, sedangkan H. agilis Kalimantan bervariasi dari coklat muda sampai coklat hitam dan bagian ventral lebih gelap daripada dorsal Groves 2001, GCC 2004. Pada umumnya agilis memiliki garis lengkung putih pada alis white brow sampai pipi cheek patches. Garis lengkung putih ini lebih kontras di sekeliling wajah pada jantan daripada betina, bahkan garis putih di pipi pada betina berangsur hilang menjelang dewasa pada umur sekitar enam tahun. Kalawet betina dewasa yang dipelihara pada kondisi cahaya yang kurang atau defisiensi nutrisi dapat kehilangan garis putih pada alis GCC 2004. Profil kalawet jantan dan betina, serta H. muelleri dapat dilihat pada Gambar 5. H. agilis mempunyai lengan yang lebih panjang dari kaki indeks intermembralnya 100 dilengkapi dengan empat jari yang panjang dan ibu jari yang lebih kecil. Kondisi ini memungkinkan H. agilis dapat bergerak secara brakhiasiberayun dengan lincah dari pohon ke pohon menggunakan tangannya seperti menggantung pada dahan tanpa menggenggam. Kaki sebagai salah satu alat gerak kurang difungsikan pada Hylobates sehingga menjadi lebih pendek, tidak berkembang sebaik lengan yang berfungsi sebagai alat gerak utama dalam brakhiasi Fleagle 1988, Kuester 2000. Metode lokomosi demikian memungkinkan H. agilis dapat berpindah sejauh tiga meter sekali berayun. Selain itu, H. agilis juga dapat berpindah dengan cara memanjat, melompat, dan berjalan bipedal sambil mengangkat kedua lengannya Napier Napier 1967, Fleagle 1988, Nowak 1997. 10 Kalawet jantan dewasa Kalawet betina dewasa Kalawet betina dewasa Kalawet betina muda H. muelleri betina dewasa H. muelleri remaja Gambar 5 Profil kalawet H. agilis albibarbis dan H. muelleri a,b LAHG Sebangau, c,e Hampapak, d Palangka Raya, f Nijman 2005b Habitat Vegetasi Suatu populasi menempati suatu wilayah tertentu yang dapat memenuhi segala kebutuhannya, khususnya kebutuhan dasar populasi yaitu untuk berlindung, berkembangbiak, makanan dan air serta untuk pergerakan. Suatu kawasan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar populasi tersebut dikenal sebagai habitat Alikodra 2002. H. agilis yang ada di Indonesia menempati habitat hutan dataran tinggi di Sumatera H. agilis agilis dan hutan dataran rendah H. agilis ungko di Sumatera dan H. agilis albibarbis di Kalimantan Tengah dan Barat Supriatna Wahyono a b c d e f 11 2000. Dataran rendah di Kalimantan berupa hutan rawa dan hutan dataran rendah kering terbentang sangat luas mencapai ratusan kilometer ke arah hulu atau pedalaman. Hutan rawa dibedakan dalam tiga kelompok utama, yaitu hutan bakau yang dipengaruhi air laut, hutan rawa air tawar yang mendapat air dari sungai, dan hutan rawa gambut tadah hujan, sedangkan hutan dataran rendah kering merupakan hutan Dipterocarpaceae MacKinnon et al. 2000. Hutan dataran rendah Kalimantan, kecuali hutan bakau, antara Sungai Kapuas dan Sungai Barito merupakan habitat kalawet H. agilis albibarbis, sedangkan H. muelleri yang endemik Kalimantan tersebar di bagian lainnya dari pulau Kalimantan MacKinnon et al. 2000, Supriatna Wahyono 2000. Selain Hylobates , Pulau Kalimantan juga dihuni oleh beberapa jenis satwa primata lainnya, seperti orangutan Pongo pygmaeus, bekantan Nasalis larvatus, beberapa spesies Presbytis, di antaranya P. baricunda, P. cristata, P. frontata, P. hosei, dan P. melalophos ; Macaca nemestrina dan M. fascicularis. Dalam kawasan habitat penyebaran kalawet H. agilis albibarbis, sampai saat ini terdapat empat taman nasional TN, yaitu TN Gunung Palung seluas 90.000 ha di Kalimantan Barat, TN Bukit Baka-Bukit Raya 181.090 ha di Kalimantan Barat dan Tengah, TN Tanjung Puting 415.040 ha, dan TN Sebangau 568.700 ha di Kalimantan Tengah. Selain itu, juga terdapat beberapa cagar alam CA, antara lain: CA Bukit Tangkiling 2.061 ha, CA Pararawen III 5.855 ha, dan CA Bukit Sapat Hawung 239.000 ha Ditjen PHKA 2006b. Keberadaan taman nasional dan cagar alam tersebut sebagai kawasan konservasi dalam habitat penyebaran kalawet, merupakan hal yang menguntungkan dalam upaya konservasi kalawet. Namun demikian, kawasan konservasi tersebut, tidak terlepas dari perambahan dan penebangan liar Alikodra Syaukani 2004; Simbolon Mirmanto 2000, terlebih lagi kawasan hutan yang tidak termasuk kawasan konservasi. Alikodra Syaukani 2004 menyatakan bahwa deforestasi penghancuran hutan di Indonesia saat ini sudah berada pada titik yang sangat membahayakan. Tingkat deforestasi pada zaman Orde Baru berkisar 0,8-1,0 juta hektar per tahun, dan kini di era reformasi, meningkat menjadi 1,6-2,5 juta hektar per tahun. Deforestasi tersebut terutama disebabkan oleh legal dan illegal logging, konversi 12 kawasan hutan menjadi perkebunan terutama kelapa sawit, dan kebakaran Rieley Ahmad-shah 1996, Boehm et al. 2003, Drasospolino 2004. Data Departemen Kehutanan 1997, menunjukkan telah terjadi deforestasi di kawasan hutan Kalimantan sebesar 25,9 selama tahun 1985–1997. Deforestasi ini terus berlangsung dari tahun ke tahun sampai saat ini. Hampir seluruh kawasan hutan di Kalimantan Tengah, sebelumnya telah dimanfaatkan sebagai penghasil kayu dengan sistem tebang pilih. Akibatnya, hutan rawa gambut yang tersisa saat ini, termasuk kawasan yang dilindungi, sebelumnya pernah ditebangi minimal sekali Simbolon Mirmanto 2000. Selanjutnya, Simbolon Mirmanto 2000 menyatakan bahwa hutan rawa gambut dalam kawasan TN Tanjung Puting, masih terjadi penebangan liar secara intensif, membuat hutan tersebut semakin rusak dan mendorong terjadinya kebakaran. Hal yang sama juga terjadi di TN Gunung Palung. Alikodra Syaukani 2004 menyatakan bahwa sekitar 80 kawasan TN Gunung Palung rusak parah akibat penebangan liar yang didorong oleh dibukanya ekspor kayu bulat di era reformasi. Deforestasi yang cukup tinggi juga terjadi di kawasan hutan rawa gambut Sebangau, antara Sungai Sebangau dan Sungai Katingan, dan kawasan proyek lahan gambut sejuta hektar MRP mega rice project. Berdasarkan analisis foto lansat, Boehm et al. 2003 mendapatkan data deforestasi di kawasan tersebut sebesar 33 dalam jangka waktu 10 tahun, antara tahun 1991 – 2001. Itu berarti, deforestasi di kawasan tersebut rata-rata 3,3tahun. Deforestasi antara tahun 1991-1997 berkisar 1,9tahun, meningkat menjadi 6,5tahun antara tahun 1997-2000. Peningkatan luas kawasan hutan rawa gambut yang mengalami kerusakan tersebut, disebabkan oleh kebakaran hutan pada tahun 1997, aktivitas penebangan liar, dan aktivitas mega rice project. Pada kondisi normal, vegetasi hutan rawa air tawar lebih kaya akan jenis flora dan tinggi tajuk dari pada hutan rawa gambut. Hal ini memberi gambaran bahwa hutan rawa air tawar lebih kaya unsur hara karena disuplai oleh aliran sungai, dibandingkan dengan rawa gambut yang hanya tadah hujan Mackinnon et al. 2000. Hal ini berarti, semakin jauh dari sungai, semakin miskin hara, dan pada akhirnya produktivitas primernya semakin rendah. 13 Analisis vegetasi pada hutan rawa gambut di Sebangau sebagai kawasan hutan bekas konsesi perusahaan HPH telah dilakukan oleh Shepherd et al. 1997. Kerapatan pohon dbh diameter at breast high ≥ 7 cm di daerah marginal ±2 km dari sungai, 1.693 pohonha, daerah peralihan 6,5 km dari sungai, 2.500 pohonha, dan daerah interior 18 km dari sungai, 1.347 pohonha. Tinggi pohon dan diameter batang dbh yang lebih besar, lebih banyak pada daerah interior dari pada daerah peralihan dan marginal. Struktur fisik hutan terbentuk oleh adanya perbedaan tinggi pohon menurut jenis, umur dan sifat tumbuhnya. Kondisi ini membentuk stratifikasi menjadi relung ekologi tertentu bagi suatu jenis satwa, seperti adanya perbedaan ketinggian tempat makan dalam suatu habitat bagi beberapa primata simpatrik. Untuk analisis struktur fisik vegetasi hutan, Soerianegara Indrawan 1998 membedakan stadium tumbuh vegetasi, sebagai berikut: a. semai seedling mulai dari kecambah sampai setinggi 1,5 m, b. pancang sapling tumbuhan berkayu yang tingginya lebih dari 1,5 m dan diameter kurang dari 10 cm, c. tiang pole tumbuhan berkayu dengan diameter 10 – 20 cm, dan d. pohon dewasa yang berdiameter ≥20 cm. Daerah Jelajah Pada umumnya suatu kelompok keluarga Hylobates menempati suatu wilayah teritori tertentu dalam habitatnya yang cenderung dipertahankan secara ketat dari gangguan individu atau kelompok lainnya Leighton 1987, Mitani 1987, Nowak 1997, Geissmann 2003. Wilayah teritorinya ditandai dengan vokalisasi, khususnya pada pagi hari melalui duet call sebagai tanda keberadaannya kepada kelompok-kelompok tetangganya Leighton 1987, Smith 1999. Selain teritori, satwa primata dalam memanfaatkan habitat, juga dikenal adanya daerah jelajah home range sebagai area habitat yang digunakan untuk seluruh aktivitas hidup suatu kelompok satwa primata; area inti core area merupakan area yang paling banyaksering di tempati dalam melakukan sebagian besar aktivitasnya; dan jelajah harian daily range adalah jarak yang ditempuh 14 kelompok melakukan aktivitasnya dalam satu hari NRC. 1981, Fleagle 1988, Collinge 1993, Rowe 1996. Perilaku menjelajah satwa primata sangat terkait dengan kebutuhan pakan Oates 1986. Spesies yang folivorous cenderung mempunyai daerah jelajah yang lebih sempit karena ketersediaan dedaunan lebih bersifat umum dan merata, dibandingkan dengan spesies yang frugivorous, dimana ketersediaan buah lebih terbatas; dan spesies dengan ukuran tubuh yang besar cenderung membutuhkan daerah jelajah yang lebih luas untuk mendukung kebutuhan hidupnya, dibandingkan dengan ukuran tubuh yang lebih kecil, seperti diilustrasikan pada Gambar 6 Fleagle 1988. Gambar 6 Hubungan luas daerah jelajah dengan ukuran tubuh satwa primata simbol tertutup = folivorous, simbol terbuka = frugivorous, segi tiga = nokturnal, segi empat = diurnal terestrial, dan bulat = diurnal arboreal Fleagle 1988. Itu sebabnya, luas daerah jelajah di antara spesies dan kelompok Hylobates cukup bervariasi. Chivers 2001 merangkum luas daerah jelajah beberapa spesies Hylobates sebagai berikut: H. hoolock 38 ha, H. lar 41 ha, H. concolor 46 ha, H. klossii 32 ha, H. pileatus 36 ha, H. muelleri 44 ha, H. agilis 29 ha, hibrida H. agilis x H. muelleri 18 dan 34 ha, H. moloch 17 ha, dan siamang 31 ha. Ahsan 2001 mendapatkan variasi luas daerah jelajah di antara tiga kelompok H. hoolock yang diamati, masing-masing 40,7 ha, 86 ha, dan 25,7 ha. Selain itu, Ahsan 2001 juga mencatat bahwa H. hoolock lebih aktif berpindah dengan panjang jelajah yang lebih tinggi pada pagi hari. Berat badan kelom pok kg 15 Rowe 1996 menyatakan bahwa daerah jelajah satwa primata dapat berubah dari tahun ke tahun, tergantung perubahan iklim, ketersediaan sumber pakan dan air, persaingan antar kelompok dalam spesies yang sama, perburuan dan degradasi habitat. Hal ini didukung oleh Collinge 1993 bahwa luas daerah jelajah dapat berubah tergantung pada ketersediaan sumber pakan dan air, dan tempat berlindung. Hasil penelitian Iskandar 2007 pada owa Jawa H. moloch membuktikan bahwa daerah jelajah dipengaruhi oleh perubahan iklim dan tipe hutan. Luas daerah jelajah H. moloch di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak pada musim hujan di hutan primer sebesar 16,58 ha, sedikit lebih sempit, dibandingkan pada hutan sekunder sebesar 17,61 ha. Demikian halnya pada musim kemarau, luas daerah jelajah di hutan primer 18,91 ha, lebih sempit dibandingkan pada hutan sekunder sebesar 21,13 ha. Selanjutnya Iskandar 2007 menjelaskan bahwa daerah jelajah owa Jawa yang lebih sempit pada musim hujan dan di hutan primer dibandingkan pada musim kemarau dan di hutan sekunder, disebabkan oleh ketersediaan sumber pakan berupa buah yang lebih banyak pada musim hujan dan pada hutan primer. Hal ini berarti, semakin melimpah ketersediaan pakan, semakin sempit daerah jelajah, dan sebaliknya. Chivers 2001 merangkum beberapa hasil penelitian dan menyimpulkan bahwa Hylobates mempertahankan sekitar 80-90 dari daerah jelajahnya sebagai teritori. Hylobates menempati dan menetap pada daerah teritori dengan luas antara 20-40 ha Geissmann 2003, daerah jelajah siamang 47 ha dan H. Lar 57 ha Raemaekers 1979, H. muelleri 33-43 ha Leighton 1987, hibrida H. Muelleri dengan H. agilis albibarbis 43-46 ha McConkey 1999 dalam McConkey et al. 2003, H. klossii 33 ha Whitten 1980 dalam Bismark 2006. Teritori tersebut dipertahankan secara ketat dan tidak akan pindah ke wilayah lain ketika wilayah tersebut mengalami gangguan Shneider 1995 dalam Geissmann 2003. Perilaku demikian menyebabkan Hylobates mudah terancam ketika habitatnya terganggu. Tingkah Laku Struktur sosial Hylobates merupakan jenis kera kecil yang hidup di hutan hujan tropis Asia Tenggara Marshall Sugardjito 1986, Fleagle 1988, Geissmann 1995, Reichard 16 1998 secara arboreal pada kanopi tengah dan atas. Mereka hidup secara monogami dalam kelompok kecil sebagai kelompok keluarga family group yang biasanya terdiri dari dua sampai enam individu, sepasang jantan dan betina dewasa, dan beberapa anak pada umur yang berbeda Leighton 1987, Fleagle 1988, Reichard 1998, Geissmann 2003, Sullivan 2004, Nijman 2004. Kelompok umur Hylobates dalam satu kelompok keluarga dapat dibedakan atas: a bayi atau infant dari lahir sampai 2 tahun, b anak-anak atau juvenile, umur 2-4 tahun, c remaja atau adolescent, umur 4-6 tahun, d muda atau sub- adult , umur enam tahun atau lebih tetapi belum kawin, dan e dewasa umur di atas enam tahun saat mencapai dewasa kelamin Leighton 1987, Sullivan 2004. Jantan dan betina muda menjelang dewasa atau mencapai dewasa kelamin akan meninggalkan kelompoknya dan hidup mandiri dengan pasangannya sebagai kelompok keluarga yang baru Kirkwood Stathatos 1992. Brockleman et al. 1998 dalam penelitiannya pada H. lar, mendapati anggota kelompok subadult jantan F1 mulai melakukan solo songs di sekitar batas teritori kelompoknya F sebagai perilaku khas Hylobates. Dua tahun kemudian, jantan muda F1 tersebut meninggalkan kelompoknya dan menjadi pasangan kawin dengan induk di kelompok A menggantikan jantan A yang kemungkinan dikalahkan oleh F1. Walaupun Hylobates pada umumnya hidup monogami, Fuentes 2000 mendapatkan adanya individu yang kawin dengan betina bukan pasangannya di alam. Hal ini merupakan upaya untuk menjamin keberhasilan reproduksi dalam rangka mempertahankan eksistensi genetiknya genetic fitness di bawah tekanan stres lingkungan seperti terbatasnya ketersediaan pakan. Aktivitas Harian Waktu aktivitas Hylobates sedikit berbeda dengan jenis primata diurnal lainnya. Hylobates mulai beraktivitas sebelum matahari terbit, tetapi lebih cepat istirahat di pohon tidur pada sore hari Chivers, 2001. Aktivitas harian utama satwa primata meliputi aktivitas makan, melakukan perjalananberpindah, istirahat, bersuara Chivers 1973, MacKinnon MacKinnon 1980. Selain itu, satwa primata juga melakukan aktivitas menelisik grooming dan bermain dalam 17 waktu istirahat. Chivers 2001 menyatakan bahwa aktivitas harian Hylobates berlangsung selama kurang lebih 9,5 jam dalam sehari, dari pukul 06:19 pagi sampai pukul 15:43 sore hari. Chivers 2001 merangkum aktivitas harian beberapa spesies Hylobates, dengan pola sebagai berikut: 38 alokasi waktu untuk makan, berpindah 12, istirahat 42 termasuk aktivitas menelisik 3, dan 8 untuk vokalisasi. Aktivitas harian H. agilis rata-rata selama sembilan jam sehari yang dimulai pada pukul 06.15-07.30 pada pagi hari sampai pukul 13.10-17.40, dengan aktivitas utama adalah makan, berpindah, bersuara, dan istirahat Gittins Raemaekers 1980. H. lar aktif rata-rata selama 8-9 jam dan berada di pohon tidur rata-rata selama 15 jam per hari Reichard 1998. Aktivitas bersuara pada pagi hari merupakan awal aktivitas harian kelompok Hylobates yang berfungsi untuk menunjukkan teritorialnya sekaligus sebagai pengaturan ruang antar kelompok Bates 1970. Aktivitas bersuara pada ungko sebagian besar dilakukan pada pagi hari yang dapat terdengar sampai 1 km Gittins Raemaekers 1980, bahkan terdengar sampai 2 km O’Brien et al. 2004. Setelah turun dari pohon tidur, kelompok Hylobates memulai aktivitas makannya pada pohon yang sedang berbuah. Lamanya kegiatan makan pada suatu pohon bervariasi bergantung pada jenis dan kelimpahan pakan. Aktivitas makan ungko cenderung lebih banyak pada ketinggian tajuk menengah, 15-25 m, karena pada kanopi tengah ini merupakan jenis pohon yang menyediakan lebih banyak buah. Sebaliknya, tajuk yang tinggi atau kanopi atas pada umumnya merupakan jenis-jenis Dipterocarpaceae yang menghasilkan lebih banyak daun Gittins Raemaekers 1980. Pola aktivitas harian Hylobatidae dalam memanfaatkan daerah jelajahnya bervariasi di antara spesies, dan terkait pula dengan sebaran dan jumlah sumber pakan, dan sebaran pohon tidur. Hal ini dicontohkan oleh MacKinnon MacKinnon 1980 bahwa H. lar menggunakan waktu untuk makan lebih sedikit dan waktu untuk berpindah lebih banyak dibanding S. syndactylus Gambar 7. 18 Gambar 7 Perbandingan aktivitas harian H. lar dan S. syndactylus Palombit 1997 dalam penelitiannya di TN Gunung Leuser, Sumatera Utara, mendapatkan aktivitas harian yang sedikit berbeda antara H. lar dengan S. syndactylus . H. lar menggunakan waktu untuk aktivitas makan sebesar 34, berpindah 16, istirahat 45, vokalisasi 3 dan interaksi antar kelompok 2; sedangkan S. syndactylus menggunakan waktu untuk aktivitas makan sebesar 40, berpindah 12, istirahat 44, vokalisasi 1, dan interaksi antar kelompok 3. Selain pola aktivitas harian, pola makan di antara spesies Hylobatidae juga cukup bervariasi, seperti dirangkum oleh Conklin-Brittain et al. 2001 sebagai berikut: H. hoolock, H. agilis, H. klossii, H. lar dan H. pileatus, rata-rata 72 buah, 15 daun, 6 bunga, dan 7 insekta; H. moloch, dan H. muelleri, rata-rata 60 buah, 37 daun, 1 bunga, dan 2 insekta; dan S. syndactylus siamang 40 buah, 49 daun, 6 bunga, dan 5 insekta, serta N. concolor 21 buah, 71 daun, dan 7 bunga. S. syndactylus dan N. concolor cenderung mengkonsumsi lebih banyak daun dibandingkan dengan spesies lainnya. Kedua spesies Hylobatidae ini lebih banyak hidup pada kawasan hutan dengan ketinggian sedang sampai pegunungan, dimana ketersediaan pohon buah semakin terbatas, sedangkan spesies Hylobatidae lainnya lebih banyak di kawasan hutan dataran rendah yang lebih kaya dengan keragaman pohon dan pohon buah Chivers 2001, Conklin-Brittain et al. 2001. Aktivitas harian satwa primata pada umumnya dipelajari melalui pendekatan alokasi waktu time budget setiap jenis aktivitas. Penelitian pola makan satwa Istirahat Berpindah Makan Vokalisasi Istirahat Berpindah Makan Vokalisasi Waktu jam Waktu jam 19 primata di habitatnya umumnya didasarkan pada persentase alokasi waktu untuk aktivitas makan Conklin-Brittain et al. 2001, Ahsan 2001. Beberapa metode yang dapat digunakan dalam mempelajari berbagai aktivitas satwa disajikan oleh Martin Bateson 1993, di antaranya ad libitum sampling, focal sampling, instantaneous sampling dan scan sampling. Vokalisasi Semua spesies dari Hylobatidae menghasilkan suara atau vokalisasi menyerupai nyanyian dengan pola yang spesifik untuk spesies dan jenis kelamin, biasanya dilakukan pada pagi hari Geissmann 1995, Geissmann Nijman 2006. Aktivitas bersuara di pagi hari merupakan awal aktivitas harian kelompok Hylobates. Vokalisasi berfungsi antara lain: untuk menunjukkan teritorinya, sekaligus sebagai pengaturan ruang antar kelompok, atraksi kawin, dan untuk mempererat hubungan sebagai pasangan kawin Bates 1970, Leighton 1987, Cowlishaw 1992. Vokalisasi dari Hylobatidae cukup nyaring melengking sehingga dapat terdengar sampai 1 km Gittins Raemaekers 1980, bahkan terdengar sampai 2 km O’Brien et al. 2004. Pola vokalisasi Hylobates dapat divisualisasikan dalam bentuk sonagram, dan menunjukkan variasi di antara individu dan spesies, antara lain dalam hal durasi, frase suara, jumlah not, dan frekuensi, seperti pada Gambar 8 Geissmann 1995, Geissmann 2006a. Variasi vokalisasi tersebut, mengindikasikan perbedaan genetik minimal pada level spesies Brockelman Schilling 1984, Geissmann 1984, sehingga dapat digunakan sebagai penciri spesies Mitani 1987. Pada dewasa ini, karakteristik vokalisasi masing-masing spesies dapat digunakan untuk memperkirakan hubungan sistematik spesies dari Hylobatidae dan menyusun pohon filogeninya Geissmann 2002a. Hylobatidae betina menghasilkan vokalisasi yang sangat menonjol, nyaring melengking dan terbagi dalam beberapa pase, disebut great call; biasanya terdiri dari 6-100 not, tergantung spesies, dengan durasi 6-30 detik. Bentuk not dan interval antar not dari great call merupakan pola spesifik spesies Geissmann 1995, Haimoff 1984. Great call betina biasanya diikuti oleh suara jantan 20 Gambar 8 Sonagram vokalisasi Hylobatidae 1 great call betina, 2 Jantan, a. H. agilis, b. H. lar, c. H. moloch, d. H. muelleri, e. H. pileatus, f. H. klossii, g. H. hoolock, h. N. Concolor, i. N. Leucogenys, j. N. Gabriellae, dan k. S. syndactylus Geissmann 1995, Geissmann 2006a 2 1 21 menghasilkan nyanyian yang lasim disebut duet call, kecuali pada H. moloch dan H. klossii Dallmann Geissmann 2001, Geissmann 2006a. Vokalisasi great call, biasanya didahului oleh serangkaian not-not singkat sebagai pengantar, kemudian disambung dengan not-not great call. Interval antar great call sekitar 2 menit, diisi dengan not-not singkat sebagai selingan Geissmann 2006a. Vokalisasi dari genus Bunopithecus Hoolock, Nomascus dan Symphalangus , hanya berupa duet call dari pasangan kawin, sedangkan pada genus Hylobates, kecuali H. moloch dan H. klossii, dapat berupa duet call, solo betina dan solo jantan. Vokalisasi H. moloch dan H. klossii, hanya berupa solo betina termasuk great call, dan solo jantan; tidak menghasilkan duet call Geissmann Nijman 2006. Vokalisasi great call dibedakan atas tiga fase, yaitu fase pre-trill, fase trill dan fase post-trill, pada spesies H. moloch Dallmann Geissmann 2001, 2001a, H. klossii Haimoff Tilson 1985, dan H. agilis Haimoff Gittins 1985, seperti pada Gambar 9 Dallmann Geissmann 2001. Gambar 9 Komposisi great call dari Hylobates Hasil penelitian Dallmann dan Geissmann 2001 pada H. moloch mendapatkan adanya perbedaan yang signifikan great call betina antar individu dan antar populasi. Keragaman vokalisasi great call antar individu pada spesies H. moloch, lebih tinggi dibandingkan dengan H. klossii, tetapi lebih rendah dari H. agilis Dallmann Geissmann 2001a. 22 Populasi Populasi didefinisikan sebagai kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang saling berinteraksi dan melakukan perkembangbiakan pada suatu tempat dan waktu tertentu Anderson 1985. Batasan populasi tersebut, disesuaikan oleh Alikodra 2002 untuk digunakan dalam pengelolaan satwa liar, menjadi “kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya”. Tarumingkeng 1994 mendefinisikan populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan, dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu. Pada umumnya populasi primata di hutan hujan tropis menghadapi ancaman karena destruksi dan fragmentasi habitat, dan kegiatan perburuan untuk konsumsi dan perdagangan hewan piaraan Meijaard et al. 1999, Robinson Bennett 2000, Cowlishaw Dunbar 2000. Tidak terkecuali, populasi satwa primata di Indonesia dihadapkan pada ancaman oleh aktivitas legalillegal logging, perambahan dan konversi hutan, kebakaran hutan dan perburuan satwa Meijaard et al . 1999, Apriadi 2001, Andayani et al. 2001, O’Brien et al. 2004. Alikodra 2002 menyatakan bahwa populasi satwa liar, termasuk primata, semakin terdesak oleh aktivitas kehidupan manusia. Satwa liar banyak yang diburu untuk berbagai keperluan antara lain: diperdagangkan, konsumsi daging, keperluan pertunjukan, dan dipelihara sebagai hewan kesayangan pet. Suatu populasi memiliki sifat-sifat khas yaitu kepadatan densitas, laju kelahiran natalitas, laju kematian mortalitas, sebaran distribusi, pemencaran dispersi, struktur umur, potensi biotik, sifat genetik, nisbah kelamin dan perilaku Tarumingkeng 1994, Alikodra 2002. Kepadatan populasi itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa parameter demografi antara lain natalitas, mortalitas, struktur populasi, nisbah kelamin, dan migrasi Alikodra 2002. Studi populasi Hylobates, khususnya ukuran populasi dan karakteristik demografik di habitatnya, masih relatif jarang dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari sifat Hylobates itu sendiri yang hidup arboreal pada kanopi atas sehingga 23 populasi yang tidak terhabituasi cukup sulit untuk dihitung dan diteliti Brockelman Srikosamatara 1993, O’Brien et al. 2004, Nijman 2004. Akibatnya, informasi kepadatan populasi dan karakteristik demografik Hylobates khususnya di Indonesia masih relatif sedikit Tabel 1. Perilaku vokalisasi Hylobates di pagi hari, dapat dimanfaatkan dalam melakukan survei populasi satwa primata tersebut Brockelman dan Srikosamatara 1993, Nijman 2004. Estimasi kepadatan kelompok dan populasi dapat dilakukan dengan metode fixed point count berdasarkan vokalisasinya O’Brien et al. 2004, Buckley 2004. Selain itu, metode yang umum digunakan dalam estimasi besar populasi Hylobates adalah line transect Kool 1992. Tabel 1 Estimasi densitas beberapa populasi Hylobates di Indonesia Densitas individukm 2 Lokasi H. agilis S. syndactilus H. moloch Sumber 1,4 10,3 - 2,8 4,2 - TN Bukit Barisan Selatan, Sumatera 2,2 6,7 - O’Brien et al. 2004 6 24,6 - 11,4 7,2 - TN Kerinci Seblat, Sumatera 10,8 11,4 - Yanuar 2001 TN Way Kambas, Sumatera 1,9 2,8 - Yanuar Sugardjito 1993 Riau, Sumatera 4,26 - - Apriadi 2001 TN Gunung Palung, Kalbar 13,5- 15,6 - - Mitani 1990 Sebangau, Kalteng 7,4 - - Buckley 2004 Gn. Dieng - - 3,0-3,6 Nijman Van Balen 1998 TN Gunung Gede- Pangrango - - 3,1-3,5 Nijman 2004 Gn. Dieng - - 6,1-13,7 Geissmann Nijman 2001 TN. Ujung Kulon - - 9,2 Iskandar 2001 TN Gn. Halimun - - 8,3 Kool 1992 H. agilis albibarbis 24 Status Konservasi Semua famili Hylobatidae di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 301Kpts-II1991 dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999. Selain itu, H. agilis dikategorikan oleh IUCN International Union for Conservation of Nature and Natural Resources sebagai spesies yang masih berisiko rendah namun hampir terancam low risk : near threatened Eudey 2000; sedangkan menurut CITES Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora termasuk dalam Appendix I sebagai satwa yang tidak boleh diperdagangkan Soehartono Mardiastuti 2002. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Geografi Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah sebelumnya merupakan kawasan hutan produksi yang kemudian dirubah fungsinya menjadi taman nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 423Menhut- II2004 Tanggal 19 Oktober 2004, seluas 568.700 ha. Kawasan Taman Nasional Sebangau berada pada tiga wilayah daerah tingkat II, yaitu Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kota Palangka Raya, dengan koordinat 113° 18- 114° 03 BT dan 01° 55-03° 07 LS. Kawasan ini terletak di antara Sungai Katingan dan Sungai Sebangau, dan dialiri oleh beberapa sungai kecil yang bermuara di kedua sungai tersebut Gambar 10 Drasospolino, 2004. Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, sebagian kawasan hutan Sebangau dikelola oleh CIMTROP Centre for International Cooperation in Management of Tropical Peatland Universitas Palangka Raya sebagai Laboratorium Alam Hutan Gambut LAHG seluas ±50.000 ha. LAHG CIMTROP Universitas Palangka Raya berada pada daerah aliran sungai Sebangau yang membatasinya dengan Desa Kereng Bangkirai, kecamatan Pahandut, Kota Palangka Raya. 25 LAHG CIMTROP Univ. Palangka Raya Luas : ±50.000 ha Gambar 10 Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah Sebagai taman nasional yang baru, data informasi ekologi TN Sebangau masih sangat terbatas, kecuali di kawasan Laboratorium Alam Hutan Gambut LAHG CIMTROP Universitas Palangka Raya yang kini merupakan bagian dari TN Sebangau, sudah dilakukan beberapa penelitian, seperti vegetasi Rieley et al. 1996, Shepherd et al. 1997, dan biodiversitas fauna Rieley et al. 1996, Page et al. 1997. Topografi Secara umum topografi TN Sebangau relatif datar dengan ketinggian antara 5-20 m dari permukaan laut dpl seperti terlihat pada Gambar 11, dan ketebalan gambut antara 0-12 m CIMTROP 2002. Keadaan ini membentuk beberapa tipe hutan dengan vegetasi yang berbeda. Tipe hutan beserta vegetasinya yang ada di LAHG berbeda menurut jaraknya dari Sungai Sebangau. TN SEBANGAU KALIMANTAN 26 Gambar 11 Profil topografi TN Sebangau CIMTROP 2002 Rieley et al. 1996, Rieley Ahmad-Shah 1996, Shepherd et al. 1997, dan Page at al. 1999, membedakan beberapa tipe hutan di LAHG, yaitu 1 hutan rivarian RF dengan jarak sampai 1 km dari sungai, 2 hutan rawa gambut campuran MSF 1-5 km, 3 hutan tegakan rendah LPF 5-13 km, dan 4 hutan tegakan tinggi TIF 13 km dari pnggir sungai. Kedalaman muka air tanah water table di bawah permukaan gambut di LAHG yang diukur pada akhir musim kemarau di beberapa lokasi, bervariasi menurut tipe hutan. Pengukuran kedalaman muka air tanah di MSF 2 lokasi masing-masing 39,0 cm; di LPF 3 lokasi masing-masing 34,3 cm, 23,7 cm dan 24 cm; dan di TIF 1 lokasi 150 cm Rieley et al. 1996, Shepherd et al. 1997. 27 Iklim Iklim di Pulau Kalimantan adalah iklim hujan tropis. Iklim ini memiliki delapan bulan basah dan tidak memiliki bulan kering yang nyata. Jumlah hujan pada bulan paling kering lebih dari 60 mm Ditjen PHKA 2006a. Musim hujan di Palangka Raya dan sekitarnya termasuk LAHG mulai pada bulan Oktober sampai bulan Juni, sedangkan musim kemarau dari bulan Juli sampai bulan September. Curah hujan tahunan maksimum mencapai 2.600 mm, dengan curah hujan bulanan bervariasi dari 22-525 mm CIMTROP 2002. Temperatur udara di LAHG rata-rata 27,2 C dengan kisaran 23,1 C-34,7 C di areal terbuka sekitar camp LAHG, sedangkan temperatur udara di dalam hutan rata-rata 25,6 C dengan kisaran 23,0 C-29,6 C Realey et al. 1996. Flora Terdapat beberapa jenis flora di kawasan ini, antara lain ramin Gonystilus bancanus , jelutung Dyera costulata, dan belangeran Shorea belangeran, bintangur Calophyllum sclerophyllum, jinjit Calophyllum canum, meranti Shorea sp., nyatoh Palaquium sp., keruing Dipterocarpus sp., agathis Agathis sp., menjalin Xanthophyllum sp, bengaris Kompassia malaccensis, hangkang Palaquium leiocarpum, tumih Combretocarpus rotundatus, jambu- jambu Eugenia sp., galam tikus E. spicata, manggis-manggis Gracinia sp., malam-malam Diospyros pseudomalabarica dan D. siamang, medang Ixora sp., kenari Blumeodendron takbrai, mahang kerume Ternstroemia magnifica, Lithocarpus dasystachys, milas merah Xanthophyllum amoenum , mendarah merah Knema intermedia, kopi-kopi Randia sp., Aglaia rubiginosa, Parastemon sp., Polyalthia sp., Neoscortechinia kingii, Litsea sp. Xylopia fusca, Aromadendron nutans, Horsfieldia crassifolia, Cotylelobium lanceolatum, Licania splendens, Campnosperma coriaceum, Tetractomia tetrandra, Syzygium clavatum, Castanopsis foxworthyii. Gymnostoma sumatrana , Ilex hypoglauca, Palaquium pseudorostratum , Tetramerista glabra, dan Syzygium remotifolium Shepherd et al. 1997, Ditjen PHKA 2006a. Profil vegetasi hutan di kawasan LAHG CIMTROP dapat dilihat pada Gambar 12. 28 Gambar 12 Vegetasi di LAHG, TN Sebangau Fauna Jenis Mamalia yang terdapat di kawasan hutan Sebangau, antara lain orangutan Pongo pygmaeus, bekantan Nasalis larvatus, kalawet H. agilis, monyet ekor panjang M. fascicularis beruk M. nemestrina, kalasi Presbytis baricunda , beruang madu Helarctos malayanus, babi hutan Sus barbatus, rusa Sambar Cervus unicolor, kijang mas Muntiacus atheroides, kancil Tragulus javanicus , macan dahan Neofelis nebulosa, tupai Tupaia sp., loris Nycticebus coucang , dan tarsius Tarsius bancanus. Jenis burung antara lain pecuk ular Anhinga melanogaster, cangak laut Ardea sumatrana, cangak merah A. purpurea, elang hitam Ictinaetus malayensis, pergam Ducula bicolor, enggang berjambul putih Aceros comatus, enggang gunung A. undulatus, enggang gading Buceros vigil, enggang badak B. rhinoceros, dan bangau tong-tong Leptoptilus javanicus, layang-layang api Hirundo rustica, dan layang-layang bulu H. tahitica. Jenis reptil antara lain sanca Python reticulatus , ular air Homalopsis buccata, ular pipa berekor merah Cylindrophis 29 rufus , cobra Naja sumatrana, ular hijau Ahaetulla prasina, ular coklat malaya Xenelaphis hexagonatus, cicak terbang Draco sp., biawak Varanus borneensis, kura-kura kotak Cuora amboinensis, dan kura-kura berduri Heosemys spinosa Page et al. 1997, Ditjen PHKA 2006a. 30 METODE PENELITIAN Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Laboratorium Alam Hutan Gambut LAHG seluas ±50.000 ha, yang dikelola oleh CIMTROP Centre for International Cooperation in Management of Tropical Peatland Universitas Palangka Raya, di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah Gambar 13. Gambar 13 Lokasi penelitian Kawasan LAHG terletak ±20 km arah selatan kota Palangkaraya dengan luas 50.000 ha, merupakan hutan bekas konsesi HPH PT. Setia Alam Jaya yang ditinggalkan sejak tahun 1996, dan kini menjadi bagian dari Taman Nasional Sebangau. Kawasan LAHG terdiri dari beberapa tipe hutan yaitu hutan rivarian RF, hutan rawa campuran MSF, hutan tegakan rendah LPF, dan hutan tegakan tinggi TIF Rieley et al. 1996, Rieley Ahmad-Shah 1996, Shepherd et al. 1997, dan Page at al. 1999, seperti diilustrasikan pada Gambar 14. TN SEBANGAU LAHG 31 1 km 5 km 13 km Gambar 14 Ilustrasi tipe hutan di LAHG Hutan rivarian merupakan daerah genangan air ketika sungai meluap musim hujan dengan jarak sampai 1 km dari pinggir sungai, didominasi oleh tumbuhan herba dan semak. Hutan rawa gambut campuran MSF terletak antara 1-5 km dari pinggir sungai dengan kedalaman gambut 2-6 m. Lantai hutan selalu tergenang oleh luapan sungai di musim hujan rata-rata 0,3 m di atas permukaan gambut, dan pada musim kering muka air tanah 0,4 m di bawah permukaan gambut. MSF mempunyai vegetasi yang relatif tinggi sampai 35 m dengan lapisan kanopi yang bertingkat. Hutan tegakan rendah LPF terletak antara 5-13 km dari pinggir sungai dengan kedalaman gambut 6-10 m. Pada musim hujan, lantai hutan LPF juga tergenang air lebih dari 0,3 m di atas permukaan gambut, dan pada musim kering muka air tanah hanya 0,24 m di bawah permukaan gambut. Karakteristik vegetasi di LPF, antara lain: tinggi kanopi jauh lebih rendah dibanding MSF dan TIF, kanopi lapisan atas maksimum 20 m, sangat terbuka dan didominasi oleh tumih Combretocarpus rotundatus; tinggi kanopi lapisan bawah rata-rata di bawah 15 m yang sebagian besar merupakan vegetasi tingkat tiang; dan lantai hutan rata-rata ditumbuhi oleh pandan yang cukup padat. Hutan tegakan tinggi TIF berjarak lebih dari 13 km dari pinggir sungai dengan kedalaman gambut 8-12 m. Berbeda kontras dengan MSF dan LPF, TIF tidak tergenang di musim hujan, hanya muka air tanah yang naik menjadi 0,2-0,3 m di bawah permukaan gambut, sedangkan di musim kering muka air tanah sekitar 1,5 m di bawah permukaan gambut. Karakteristik vegetasi di TIF, antara lain: terdiri atas pohon besar dengan kanopi yang tinggi sampai 45 m, dan lapisan kanopi yang bertingkat dan relatif lebih tertutup. Lantai hutan relatif bersih dari pandan dan semak Realey et al. 1996, Rieley Ahmad-Shah 1996, Shepherd et al. 1997. MSF sungai RF LPF TIF 32 Waktu Penelitian Peninjauan lapangan dan survei awal dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan November 2004. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juli sampai dengan November 2005. Materi Penelitian Materi yang digunakan sebagai objek penelitian dalam analisis vegetasi adalah vegetasi yang terdapat di habitat kalawet di enam lokasi pengamatan di LAHG, sedangkan materi pengamatan populasi adalah 47 kelompok kalawet yang teridentifikasi di enam lokasi pengamatan di LAHG TN. Sebangau Gambar 17. Untuk pengamatan tingkah laku harian, hanya satu keluarga yaitu kelompok KC 4 ekor yang terdiri dari sepasang jantan-betina dewasa, seekor remaja dan seekor bayi. Untuk analisis vokalisasi, dilakukan perekaman suara dari 13 kelompok H. agilis albibarbis di LAHG, dua kelompok hibrida H. agilis albibarbis x H. muelleri di Barito Ulu, dua pasang dan satu betina dewasa H. muelleri di kandang rehabilitasi ‘Kalaweit Program’ Hampapak, Kalimantan Tengah. Alat yang digunakan berupa 2 unit binokuler, 1 unit GPS Global Positioning System Etrex Garmin 12, 2 unit kompas, 1 unit rekorder kaset, 1 unit rekorder digital, dan 1 unit kamera digital, serta foto landsat dan sejumlah software pendukung. Metode Penelitian Habitat

1. Analisis vegetasi