Seperti yang juga telah disampaikan diatas banyak sekali unsur-unsur yang dilupakan dalam menarikan tarian tersebut pada saat tampil.
Menjadikan yang seharusnya citra dari tari Jathilan tersebut menjadi indah dan lebih mengedepankan unsur sakral sekarang seiring dengan
berjalannya waktu unsur-unsur tersebut dihilangkan. Menjadikan tarian Jathilan sangat sederhana dan lebih terkesan kurang jelas karena
gerakannya yang apa adanya dan terkesan sangat sederhana. Dalam kegiatannya para penari Jathilan di jalanan tersebut tidak lebih hanya
mencari keuntungan dengan mengambil bagian terkecil dari unsur tarian Jathilan yang sebenarnya.
2. Faktor Peluang Usaha Tinggi dan Menguntungkan
Melihat dengan perkembangan zaman sekarang ini menjadikan masyarakat menggunakan segala hal untuk dapat dijadikan komoditas agar
mendapatkan keuntungan yang besar. Seperti halnya penggunaan tarian Jathilan ini sendiri diakui oleh Pak Eko sebagai ketua dan juga pendiri atau
penggagas kelompok penari Jathilan di jalanan tersebut menyatakan bahwa dengan melihat keberadaan tarian yang sekarang mulai
terpinggirkan. Digunakanlah tarian tersebut menjadi salah satu sarana untuk mencari nafkah yang sebenarnya tarian itu sendiri bukanlah
komoditas yang dapat diperjual belikan. Namun dengan seiring berjalannya waktu tarian pun dijadikan sebuah
media atau komoditas yang dapat diperjual belikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Siapa saja yang memulai capital
dengan mendeskripsikan sebuah komoditi maka ia akan memperoleh keuntungan yang sangat besar yang dimana dalam teori tersebut
digambarkan mengenai sebuah nilai capital yang dalam penelitian diatas beberapa oknum tersebut dapat menggunakan power atau kekuatan yang
dimilikinya sebagai alat capital. Agar bisa mendapatkan keuntungan yang besar dengan menggunakan para penari Jathilan sebagai objek atau sesuatu
yang dapat dijadikan komoditi dalam memperoleh keuntungan. Selain itu pula lebih menariknya lagi bahwa dalam fenomena ini
dengan menggunakan unsur atau identitas budaya berupa tarian seseorang dapat mengumpulkan dan mendapatkan penghasilan yang dapat
menghidupi keluarganya. Dapat pula mendapatkan keuntungan lebih dari tarian tersebut, dalam beberpa teori yang dikemukakan Bauldillard
mengenai komodifikasi ini. Dalam pemikiran Baudrillard, yaitu bahwa konsumsi membutuhkan manipulasi simbol-simbol secara aktif.
Bahkan menurut Baudrillard, yang dikonsumsi bukan lagi use atau exchange value
, melainkan “symbolic value”. Maksudnya orang tidak lagi mengkonsumsi objek berdasarkan karena kegunaan atau nilai tukarnya,
melainkan karena nilai simbolis yang sifatnya abstrak dan terkonstruksi Baudrillard, 2004. Teori tersebut sesuai dengan adanya fenomena yang
diteliti oleh peneliti yang dimana dapat dibuktikan pada beberapa kesempatan wawancara dan observasi yang dilakukan.
Masyarakat dan pengguna jalan lebih melihat bukan kepada fungsi atau memperhatikan secara lebih dalam mengenai makna dan maksud dari
adanya tarian Jathilan itu sendiri. Disini lebih melihat kepada unsur ketertarikan semata kepada keunikan dari adanya kegiatan mencari uang di
jalanan atau sering kita sebut dengan mengamen yang menggunakan media taria tradisional. Disisi lain pun para penari pun dalam beberapa
pengakuannya memang memberikan jawaban bahwa tujuan mereka menampilkan taria tersebut di jalanan salah satu alasannya adalah ingin
melestarikan kebudayaan Jawa yang hampir hilang ditelan zaman. Namun anggapan itu tidak lebih dari untuk menutupi keadaan yang
sebenarnya yang sebenarnya secara tersirat para penari Jathilan yang ada di jalanan Kota Semarang kurang memperhatikan makna dari tarian
tersebut. Dengan mengganti atau bahkan menghilangkan beberpa bagian terpenting dari tarian tersebut yang salah satunya adalah tiruan dari hewan
kuda yang biasanya dipakai dalam pertunjukan Jathilan pada umumnya. Selain itu instrumen atau alat musik pengiring tarian Jathilan yang sangat
sederhana dan gerakan tarian yang seadanya menjadikan makna dari tari Jathilan itu sedikit bergeser dari yang seharusnya.
3. Faktor Sosial