38 harus menjaga kesetaraan antara perlindungan masyarakat, kejujuran,
keadilan prosedural, dan substantif.
2. Prof. Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum.
Dalam Bab I Undang-undang Nomor 5 Tahun 2011 yang memuat Ketentuan Umum, sama sekali tidak dikemukakan pengertian mengenai
“manipulasi”. Demikian juga halnya dengan pengertian mengenai “kertas kerja”. Dan, dalam Penjelasan Pasal 55 huruf a dan Pasal 56 Undang-
Undang tersebut, telah dinyatakan Cukup Jelas. Jika kata atau istilah “manipulasi” dan “kertas kerja” mempunyai pengertian yang sama antara
yang digunakan dalam praktik akuntan publik dengan istilah dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011, tentu hal itu sudah bersesuaian,
akan tetapi sebaliknya jika tidak sama, maka akan menimbulkan permasalahan dalam konkritisasinya.
Dalam praktik profesi akuntan publik: manipulasi dalam audit justru dimaknai sebagai hal yang positif. Dalam audit digunakan istilah “data
manipulating” atau “data manipulation” yang bermakna seorang investigator atau auditor menganalisis data yang tersimpan dalam bermacam-macam
media penyimpanan data untuk menemukan sesuatu yang dicarinya. Jika demikian halnya, berarti akuntan publik dalam menjalankan jasa profesinya
sebenarnya tidak masuk dalam lingkup negatif untuk melakukan kejahatan, sehingga tidak seharusnya diancam dengan sanksi pidana. Namun, apabila
kata “manipulasi” itu oleh pembentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 dipersepsi sama dengan “manipulasi” yang sudah umum dikenal dalam
Hukum Pidana, maka apa yang telah dituang dalam Pasal 55 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2011 tidak bersesuaian dengan Legal Spirit dalam
bagian menimbang sebagaimana telah saya kemukakan di atas.
Pengertian kertas kerja tidak dijelaskan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011. Bahwa, kertas kerja dalam pekerjaan profesi Akuntan Publik
merupakan suatu rencana pemeriksaan terhadap laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen perusahaan, yang antara lain merumuskan
metodologi pemeriksaan, pengambilan sampling, analisis data, dan perumusan kesimpulan yang berisi pendapat akuntan publik yang
melakukan pemeriksaan.
39 Rumusan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 berbunyi:
“melakukan manipulasi, membantu melakukan manipulasi … dan seterusnya”; “menghilangkan data atau catatan pada kertas kerja atau tidak
membuat kertas kerja…” Sedangkan istilah-istilah tersebut yang sebenarnya tidak mengandung pengertian yang negatif namun ditransfer
begitu saja ke dalam rumusan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011, sehingga apabila dihadapkan dengan satu pilar saja dari hukum
pidana, yaitu pilar pertama, maka hal itu sudah tidak bersesuaian, karena perbuatan manipulasi dalam konteks akuntan publik, demikian juga dengan
kertas kerja bukan merupakan perbuatan yang dilarang. Padahal untuk sampai pada ancaman pidana, maka harus ada orang yang melanggar
perbuatan yang dilarang itu.
Apabila kebijakan atau politik hukum pidana yang terimplementasi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tetap hendak dipertahankan, dalam
arti tidak berkehendak dilakukan evaluasi untuk ditinjau ulang, maka dengan adanya ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2011 akan mematikan profesi akuntan publik, sehingga lahirnya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2011 bertentangan dengan tujuan dibuatnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011. Ini berarti, telah bertentangan dengan norma dalam UUD 1945;
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 sebenarnya termasuk dalam kelompok peraturan-peraturan hukum administratif, yaitu seperti halnya
antara lain: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
dirubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 semua telah mencantumkan ketentuan pidana dalam Undang-Undang tersebut.
Kebijakan tersebut merupakan perkembangan kebijakan legislatif yang cenderung selalu mencantumkan ketentuan pidana dalam hukum
administrasi. Hukum administrasi pada dasarnya merupakan hukum mengatur atau hukum pengaturan, yaitu hukum yang dibuat dalam
melaksanakan kekuasaan mengatur atau kekuasaan pengaturan, sehingga penggunaan istilah hukum pidana administrasi sering pula disebut dengan
hukum pidana mengenai pengaturan atau hukum pidana dari aturan-aturan. Dengan demikian, hukum pidana administrasi itu merupakan perwujudan
40 dari kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk
menegakkan atau melaksanakan norma yang ada dalam hukum administrasi tersebut.
Pengujian Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 Pasal 55 dan Pasal 56 terhadap UUD 1945, maka yang menjadi pertanyaan: apakah relevan
memfungsikan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan norma dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011, dalam hal ini Pasal 55 dan
Pasal 56 Undang-Undang tersebut. Pertanyaan ini mengemuka, karena sebagaimana telah dikemukakan tadi, yaitu yang terkait dengan tiga pilar
dalam hukum pidana bahwa, perbuatan manipulasi dalam konteks akuntan publik, demikian juga dengan kertas kerja bukan merupakan perbuatan
yang dilarang. Di samping itu, dikaitkan dengan hubungan hukum antara pihak Akuntan Publik dengan klien adalah lebih bersifat hubungan
keperdataan, sehingga menjadi janggal jika memanggil hukum pidana, yang melibatkan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan lihat Penjelasan
Pasal 55 huruf b. Namun demikian, mengingat subjek hukum pidana baik orang seorang maupun badan hukum tidak kebal terhadap hukum, maka
jika misalnya terjadi Tindak Pidana Pemalsuan cukup mengacu pada norma yang diatur dalam KUHP. Karena itu, belum saatnya memanggil
hukum pidana ke dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011. Terkecuali ada yang lebih spesipik yang tidak diatur dalam KUHP patut
dipertimbangkan diatur dalam Undang-undang tentang Akuntan Publik yang akan datangpembaharuan Undang-undang tentang Akuntan Publik.
Penggunaan hukum pidana atau sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011, pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan
atau politik hukum pidana. Namun demikian, sebagaimana tadi telah dikemukakan bahwa, melaksanakan politik kriminal, berarti mengadakan
pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang paling efektif dalam usaha penanggulangan tersebut. Karena itu, jangan sampai Undang-
Undang yang dibuat bertentangan dengan tujuannya.
Pidana itu merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh yang dikenai, maka dari itu tidak henti-hentinya mencari dasar,
hakikat dan tujuan pidana dan pemidanaan untuk memberikan pembenaran dari pidana itu. Mengapa demikian? Karena pidana yang telah dijatuhkan
41 bukan hanya dirasakan tidak enak, melainkan juga sesudah itu orang yang
dikenai masih merasakan akibatnya yang berupa “cap” yang diberikan oleh masyarakat bahwa orang itu pernah berbuat “jahat”. Berhubungan yang
demikian itu, maka hendaknya hukum pidana merupakan obat yang terakhir ultimum remedium. Artinya, jika tidak perlu sekali jangan
menggunakan hukum pidana sebagai sarana. Untuk itu, ketentuan pidana yang tercantum dalam Pasal 55 dan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2011 yang secara dogmatis perumusannya tidak sesuai dengan tiga pilar atau masalah pokok dalam hukum pidana sebagaimana telah
dikemukakan di atas, patut dipertimbangkan untuk dicabut, karena selain tidak memberikan manfaat juga telah melahirkan Undang-Undang yang
bertentangan dengan tujuannya.
Dengan Pasal 55 dan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 yang perumusannya tidak bersesuaian dengan tiga masalah pokok dalam
hukum pidana, sehingga jika tetap dipertahankan justru akan “membunuh” jasa akuntan publik yang sebenarnya keberadaannya sangat dibutuhkan
lihat Konsideran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011. Namun demikian, dalam hal lain jika akuntan publik melakukan suatu kejahatan yang terkait
dengan profesinya, maka hukum pidana sepatutnya dipanggil, akan tetapi jangan sampai hukum pidana menjadi pengancam utama bagi
perkembangan jasa akuntan publik di Indonesia. Dan, terkait dengan masalah ini, Herbert L. Packer telah mengingatkan sebagaimana tadi
dikemukakan.
Kecermatan dalam merumuskan ketentuan pidana yang tercantum dalam Pasal 55 dan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 diperlukan
jangan sampai menimbulkan kontradiktif dengan dibuatnya Undang-undang tersebut. Karena itu, bimbingan ilmu hukum pidana menjadi sangat
penting dalam mengarahkan pembentuk Undang-Undang. Jadi, jangan timbul kesan “asal buat” dan “asal jadi” karena biaya untuk itu begitu besar.
Suatu hal yang perlu dipertimbangkan dan diingat: adanya kondisi kriminalisasi yang berlebihan akan mengakibatkan turunnya nilai hukum
pidana di mata masyarakat. Untuk itu, pendekatan penal belum tentu harus dengan penjatuhan pidana, akan tetapi dapat juga dilakukan dengan cara
lain yang lebih bermanfaat. Jadi, dilihat sesuai dengan konteksnya.
42
3. Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H.