Giri Terhadap Dunia Giri Terhadap Nama Baik

ditangguhkan melewati batas waktu jatuh temponya, utangnya bertambah besar seakan-akan terkena bunga. Seseorang yang “dipojokkan dengan giri” sering terpaksa membayar kembali utang–utang yang semakin membesar dengan berlalunya waktu. Giri memiliki dua pembagian yang jelas yaitu giri terhadap dunia dan giri terhadap nama baik.

A. Giri Terhadap Dunia

Giri terhadap dunia secara harafiah diartikan “membayar kembali giri” adalah kewajiban seseorang untuk membayar On kepada sesamanya. Menurut Mattulada dalam Nur Afni 2005:31 Giri kepada dunia adalah kewajiban- kewajiban kepada pertuanan-kaum, kepada hubungan–hubungan keluarga, seperti pembagian uang guna kebajikan, pemberi bantuan pekerjaan, dan pada teman sekerja. Menurut Benedict 1982:152 giri terhadap dunia adalah suatu kewajiban untuk membayar kembali semua kebaikan-kebaikan yang telah diterima. Giri terhadap dunia dapat digambarkan sebagai dipenuhinya hubungan-hubungan yang bersifat kontrak. Berbeda dengan Gimu yaitu suatu pemenuhan kewajiban- kewajiban berdasarkan hubungan akrab yang dialami seseorang sejak lahirnya. Jadi dapat dikatakan bahwa Giri terhadap dunia mencakup semua kewajiban yang menjadi tanggungan seseorang kepada keluarga mertuanya, sedangkan gimu pada keluarga kandung. Giri terhadap dunia bila digabungkan pengertiannya dengan linguistik dalam kesetiaan dalam bahasa Jepang dapat berarti terimakasih dan kesetiaan. Universitas Sumatera Utara

B. Giri Terhadap Nama Baik

Giri terhadap nama sendiri adalah kewajiban untuk tetap menjaga kebersihan nama dan serta reputasi seseorang dari noda fitnah. Giri yang ini adalah sederetan kebajikan, yang beberapa diantarannya seakan-akan saling bertentangan dalam pandangan orang barat, tetapi dalam pandangan orang Jepang mempunyai kesatuan, karena merupakan kewajiban-kewajiban yang bukan pembayaran kembali terhadap kebaikan yang telah diterima, kewajiban-kewajiban itu berada diluar lingkup On. Kewajiban-kewajiban itu adalah tindakan–tindakan yang tetap menjaga reputasi baik seseorang tanpa mendasarkannya pada suatu utang tertentu yang sebelumnya dipunyai orang itu terhadap orang lain. Karena itu, tercakup didalamnya melaksanakan segala macam persyaratan etiket menurut “tempat seseorang sesuai”, misalnya, kalau merasa sakit sama sekali tidak memperlihatkannya dan mempertahankan reputasi dalam profesi dan keahlian. Giri dalam nama juga menuntut tindakan-tindakan yang yang menghilangkan noda atau cela; noda itu mengotori nama seseorang dan karena itu harus dihilangkan. Noda itu dapat memaksa seseorang untuk membalas dendam kepada orang yang merugikan namanya atau memaksa seseorang untuk melakukan bunuh diri, dan diantara kedua ekstrem ini terdapat segala macam kemungkinan tindakan, benedict 1982:152. Bangsa Jepang tidak memiliki istilah tersendiri untuk “giri terhadap nama”. Mereka hanya melukiskannya sebagai giri “diluar On”. Kemudian selama orang menjaga Giri dan membersihkan nama dari noda, orang itu tidak melakukan agresi atau perlawanan. Orang itu hanya melakukan hal yang seimbang antara kewajiban giri dan kewajiban membayar kembali Giri. Mereka berkata bahwa Universitas Sumatera Utara “dunia ini miring” selama suatu penghinaan, noda atau kekalahan tidak dapat dibalas atau dihilangkan. Dimana saja kebajikan untuk menghilangkan noda atau kehormatan seseorang ini diagungkan baik di Jepang maupun di negara barat. Intinya kebajikan itu dinilai lebih tinggi dibandingkan keuntungan material manapun. Kalau orang mengorbankan miliknya, kelurganya dan hidupnya sendiri demi kehomatan, maka ia adalah orang bajik. Giri terhdap nama juga mencakup banyak tingkah laku yang tenang dan terkendali, yaitu dengan tidak memperlihatkan perasaan, serta mempertahankan harga diri. Harga diri adalah salah satu wujud dari giri terhadap nama. Contohnya wanita tidak boleh menjerit ketika melahirkan bayinya, pria harus mengatasi rasa sakit dan bahaya, kalau banjir melanda sebuah desa di Jepang , maka setiap orang yang mempunyai harga diri , mengumpulkan barang-barang yang bisa ia bawa dan mencari tempat yang lebih tinggi, tidak ada teriakan-teriakan, tidak ada mondar-mandir dan tidak ada kepanikan. Tingkah laku demikian itu adalah bagian dari rasa hormat seseorang terhdap dirinya sendiri, meskipun diakui orang tersebut tidak menjiwainya. Harga diri bagi bangsa Jepang memberi kesadaran pada diri mereka bahwa mereka harus hidup sesuai dengan tempatnya. Orang yang bisa menghargai diri sendiri adalah orang yang mampu memisahkan antara melakukan tidakan yang sesuai dengan apa yang diharapkan dengan melakukan sesuatu yang tidak diharapkan. Jadi Giri terhadap nama juga mewajibakn sessorang untuk hidup sesuai dengan tempat dalam hidup ini. Kalau orang gagal dalam Giri terhadap nama ini, makan ia tidak berhak menghormati dirinya sendiri. Giri terhadap nama berarti juga memenuhi banyak macam ikatan yang ada hubungannya dengan tempat yang sesuai. Seorang yang berutang bisa Universitas Sumatera Utara mempertaruhkan giri terhadap namanya ketika ia meminta pinjaman, satu generasi yang lalu dikatakan orang lain bahwa “saya setuju untuk ditertawakan didepan umum kalau saya gagal membayar kembali jumlah ini.” Kalau ia gagal, ia tidak secara harafiah dijadikan bahan tertawaan umum; di Jepang tidak ada tiang cacian umum. Tetapi menjelang tahun baru, yaitu tanggal jatuh tempo semua utang, orang yang tidak membayar utang itu, mungkin melakukan bunuh diri untuk membersihkan namanya. Sifat membela diri di Jepang, adalah suatu kebijaksanaan yang juga merupakan tata krama universal untuk tidak mengatakan terus terang kepada seseorang bahwa ia telah membuat suatu kesalahan profesional. Kepekaan ini terutama sangat terlihat dalam situasi–situasi dimana seseorang telah dikalahkan oleh orang lain. Umpamanya, bahwa orang lain lebih diutamakan untuk suatu pekerjaan, atau bahwa yang bersangkutan telah gagal dalam ujiannya. Orang yang kalah “menyandang malu” untuk kegagalan itu. Berbagai jenis tata krama diatur untuk menghindarkan situasi-situasi yang dapat menimbulkan rasa malu dan yang mungkin menyangkut giri seseorang terhadap namanya. Aksi agresif yang paling ekstrem dilakukan oleh orang Jepang modren adalah bunuh diri. Bunuh diri, kalau dilakukan dengan pantas, menurut adat mereka akan membersihkan nama dan menegakkan kembali citranya. Universitas Sumatera Utara

2.2 Komik